KONSENTRASI MINER
SUSU PADA SAPI YAN
D
DEPARTEMEN ILM FAK
ERAL MAKRO (Ca, P, Mg, dan S) DALA
ANG DIBERI SUPLEMEN BIOMINERA
DIENKAPSULASI
SKRIPSI YATI MARYATI
MU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
KONSENTRASI MINERAL MAKRO (Ca, P, Mg, dan S) DALAM
SUSU PADA SAPI YANG DIBERI SUPLEMEN BIOMINERAL
DIENKAPSULASI
YATI MARYATI D24051607
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
YATI MARYATI. D24051607. 2010. Konsentrasi Mineral Makro (Ca, P, Mg, dan S) Dalam Susu Pada Sapi Yang Diberi Suplemen Biomineral Dienkapsulasi. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. H. Suryahadi, DEA
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc.
Salah satu permasalahan dalam pemeliharaan sapi perah untuk menghasilkan susu adalah rendahnya produktivitas sapi perah dan kualitas susu yang dihasilkan. Hal tersebut dapat disebabkan terutama oleh kurangnya hijauan pakan dan tingginya kebutuhan energi, protein, lemak, vitamin, dan mineral pada sapi yang sedang berproduksi tinggi serta adanya gangguan kesehatan dan kematian. Untuk mengatasi masalah tersebut, dapat dilakukan dengan suplementasi. Suplementasi dipandang sebagai langkah yang strategis karena upaya ini mampu mengatasi masalah defisiensi, meningkatkan kapasitas mencerna dari hewan karena adanya perbaikan metabolisme dan kemampuan mikroba rumen. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek pemberian suplemen biomineral cairan rumen (CR) dienkapsulasi yang dibandingkan dengan biomineral CR tanpa proteksi dan mineral mix produksi komersil terhadap kandungan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) dalam susu pada sapi yang diberi suplemen biomineral dienkapsulasi dalam pakan.
Sapi yang digunakan sebanyak 16 ekor dari 4 peternak. Sapi tersebut dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan peternak dengan masing-masing 4 perlakuan yaitu : kontrol (ransum yang biasa diberikan peternak) = R1; kontrol + 1,5% biomineral tanpa proteksi = R2; kontrol + 1,5% biomineral dienkapsulasi = R3; dan kontrol + 1,5% mineral mix = R4. Pakan yang diberikan terdiri atas hijauan, konsentrat dan ampas tahu yang diproduksi oleh KPS Bogor. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan dan 4 peternak sebagai kelompok. Selanjutnya data diolah dengan Analisis Ragam (ANOVA).
Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa pemberian suplemen berupa biomineral dienkapsulasi, biomineral tanpa proteksi dan mineral mix sebanyak 1,5% dari konsentrat tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi mineral dan kandungan mineral dalam susu. Namun, terdapat korelasi antara konsumsi mineral Ca, P, Mg, dan S dengan kadar mineral Ca, P, Mg, dan S dalam susu serta produksi susu 4% FCM.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu penambahan ketiga jenis suplemen mineral pada taraf 1,5% belum dapat meningkatkan konsumsi mineral (Ca, P, Mg, dan S) dan kandungan mineral (Ca, P, Mg, dan S) dalam susu. Penambahan suplemen biomineral dienkapsulasi sebanyak 1,5% dari konsentrat belum optimal dalam meningkatkan kandungan mineral makro dalam susu. Namun demikian, biomineral dienkapsulasi dapat digunakan sebagai suplemen mineral.
ABSTRACT
Concentration of Macro Minerals (Ca, P, Mg, and S) In Milk to the Addition of Encapsulated Biomineral Supplement
Y. Maryati, Suryahadi and A. Sudarman
Lower productivity of dairy cow is caused by lack of grass availability especially in dry season, low concentrate quality and nutrient deficiency. The purpose of this experiment was to study the concentration of macro minerals (Ca, P, Mg, and S) in milk of Fries Holland dairy cows to the addition of encapsulated biomineral supplement in feed. The biominerals was prepared from rumen liquor. This experiment used a randomized block design, with 4 treatments and 4 groups as replications. Treatments consisted of R1 (control), R2 (R1 + 1.5 % biomineral without protection), R3 (R1 + 1.5% encapsulated biomineral) and R4 (R2 + 1.5% mineral mix). The experiment was conducted for 62 days with the adaptation periods for 2 weeks. Variables observed were dry matter intake, mineral consumptions and mineral concentrations (Ca, P, Mg, and S) in milk. The data were analyzed using Analysis of Variance, and differences among treatments were further examined with Contrast Orthogonal Test. The results showed that treatments did not significantly affect feed consumption, mineral intake and mineral concentrations in milk. However, the biomineral supplements can still be used as supplement in dairy ration.
Judul : Konsentrasi Mineral Makro (Ca, P, Mg, dan S) Dalam Susu Pada Sapi Yang Diberi Suplemen Biomineral Dienkapsulasi.
Nama : Yati Maryati
NIM : D24051607
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
(Dr. Ir. Suryahadi, DEA ) (Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc.) NIP 19561124 198103 1 002 NIP 19640424 198903 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 9 Maret 1987 dari pasangan bapak
Baedarus dan ibu Yuliyana. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Pendidikan dasar dimulai dari Sekolah Dasar Insan Kamil yang diselesaikan
pada tahun 1999, kemudian dilanjutkan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
Insan Kamil yang diselesaikan pada tahun 2002. Pada tahun 2005, Penulis lulus
Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 5 Bogor.
Pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan
Bersama Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) dan pada tahun 2006 terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Selama mengikuti pendidikan di
IPB Penulis aktif di Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
rahmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana peternakan.
Skripsi ini berjudul ”Konsentrasi Mineral Makro (Ca, P, Mg, dan S) dalam
Susu pada Sapi yang Diberi Suplemen Biomineral Dienkapsulasi”. Rendahnya
produktifitas sapi perah dan kualitas susu yang dihasilkan oleh sapi perah merupakan
salah satu permasalahan dalam pemeliharaan sapi perah. Suplementasi dipandang
sebagai salah satu upaya yang strategis karena mampu mengatasi defisiensi mineral,
meningkatkan kapasitas mencerna dari hewan karena adanya perbaikan metabolisme
dan kemampuan mikroba rumen. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia,
Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian juga dilakukan di Kawasan
Usaha Peternakan sapi perah (KUNAK) Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor,
selama 62 hari yang dimulai dari bulan September sampai Nopember 2008, dan
analisis mineral susu dan pakan dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Departemen
Pertanian, Bogor dari bulan Oktober 2008 sampai bulan Juni 2009. Tujuan dari
Penelitian ini untuk mengevaluasi penggunaan biomineral cairan rumen
dienkapsulasi yang dibandingkan dengan biomineral cairan rumen tanpa proteksi dan
mineral mix produksi komersil terhadap kandungan mineral (Ca, P, Mg, dan S)
dalam susu sapi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga
terdapat manfaat atas penulisan skripsi ini untuk semua pembaca.
Bogor, Maret 2011
DAFTAR ISI
Metode ... Korelasi Konsumsi Mineral, Kadar Mineral, dan Produksi Susu...
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kelompok Mineral Makro dan Mikro... 4
2. Kebutuhan Mineral Sapi Perah... ... 5
3. Rataan Kandungan Mineral dalam Susu...
4. Kandungan Nutrien Biomineral dan MineralMix... 5. Kriteria Sapi Percobaan...
6. Hasil Analisa Proksimat Bahan Pakan... 10
12
19
24
7. Komposisi Ransum dan Bahan Kerimg (BK) Ransum Peternak...
8. Kandungan Nutrien Biomineral Dienkapsulasi, Biomineral Tanpa Proteksi dan MineralMix... 9. Kandungan Mineral Pakan...
10. Konsumsi Bahan Kering...
11. Konsumsi Mineral Ca Sapi Perah Selama Percobaan...
12. Konsumsi Mineral P Sapi Perah Selama Percobaan...
13. Konsumsi Mineral Mg Sapi Perah Selama Percobaan...
14. Konsumsi Mineral S Sapi Perah Selama Percobaan...
15. Kandungan Mineral Susu Sapi Perah Selama Percobaan...
16. Korelasi Konsumsi Bahan Kering (BK), Mineral (Ca, P, Mg, dan S), Kadar Mineral (Ca, P, Mg, dan S) dalam Susu, dan Produksi Susu 4% FCM...
26
27
30
32
34
36
38
40
42
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Proses Ekstraksi Xylosa...
2. Bagan Pembuatan Ampas Tahu.. ...
3. Diagram Pembuatan Biomineral...
4. Suplemen Biomineral Tanpa Proteksi dan Biomineral Dienkapsuladi... 14
16
18
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. ANOVA Konsumsi Bahan Kering Hijauan………..
2. ANOVA Konsumsi Bahan Kering Konsentrat………...
3. ANOVA Konsumsi Bahan Kering Total………. …….………...
4. ANOVA Konsumsi Mineral Kalsium (Ca) Hijauan……….…....
5. ANOVA Konsumsi Mineral Posfor (P) Hijauan………..
6. ANOVA Konsumsi Mineral Magnesium (Mg) Hijauan………..
7. ANOVA Konsumsi Mineral Sulfur (S) Hijauan………..
8. ANOVA Konsumsi Mineral Kalsium (Ca) Konsentrat...………
9. ANOVA Konsumsi Mineral Posfor (P) Konsentrat...…………...
10. ANOVA Konsumsi Mineral Magnesium (Mg) Konsentrat...…………...
11. ANOVA Konsumsi Mineral Sulfur (S) Konsentrat...…………...………
12.ANOVA Konsumsi Total Mineral Kalsium (Ca)………..
13. ANOVA Konsumsi Total Mineral Posfor (P)...………...
14. ANOVA Konsumsi Total Mineral Magnesium (Mg)...
15. ANOVA Konsumsi Total Mineral Sulfur (S)...………...
16. ANOVA Konsumsi Total Mineral Ca/BBM...…………...
17. ANOVA Konsumsi Total Mineral P/BBM...…………...
18. ANOVA Konsumsi Total Mineral Mg/BBM...…………...
19. ANOVA Konsumsi Total Mineral S/BBM...…………...
20. ANOVA Kandungan Mineral Kalsium (Ca) Pada Susu...………...
21. ANOVA Kandungan Mineral Posfor (P) Pada Susu...………
22. ANOVA Kandungan Mineral Magnesium (Mg) Pada Susu...…………
23. ANOVA Kandungan Mineral Sulfur (S) Pada Susu...………
24. ANOVA Kandungan Mineral Kalsium (Ca)/BBM Pada Susu………
25. ANOVA Kandungan Mineral Posfor (P)/BBM Pada Susu………...
26. ANOVA Kandungan Mineral Magnesium (Mg)/BBM Pada Susu………..
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi perah merupakan salah satu usaha peternakan yang masih harus
dikembangkan di Negara Indonesia. Laju pertumbuhan populasi sapi perah dan
produksi susu semakin menurun. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara
produksi susu yang dihasilkan dan permintaan susu. Penurunan laju pertumbuhan ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti mutu genetik ternak, lingkungan,
menejemen pemberian pakan, kurangannya hijauan pakan dan mahalnya harga pakan
serta daya dukung lingkungan. Selain itu, pemberian pakan yang kurang tepat dan
berkualitas kurang baik dapat menurunkan kemampuan produktifitas sapi perah.
Pemberian pakan yang seadanya tanpa memperhatikan kebutuhan nutrisi sapi perah
akan menyebabkan penurunan produktivitas pada ternak tersebut bahkan akan terjadi
gangguan kesehatan dan kematian.
Rendahnya daya dukung lingkungan menyebabkan hilangnya unsur hara
yang penting bagi tanaman akibat terjadinya pengikisan tanah oleh banjir atau hujan
sehingga kandungan mineral dalam tanah berkurang. Selain itu jenis tanah juga
mempengaruhi ketersediaan mineral bagi tanaman. Kedua hal tersebut dapat
mengakibatkan kandungan mineral dalam pakan tidak memenuhi kebutuhan mineral
ternak. Tidak tercukupinya kebutuhan mineral menyebabkan efisiensi penggunaan
pakan dan produktivitas ternak menjadi rendah karena akan mengganggu
metabolisme pakan dalam tubuh ternak.
Pada sapi laktasi yang memperoleh mineral dalam jumlah yang tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan produksi susu, tubuh sapi akan memobilisasi mineral
yang tersimpan dalam tulang dan jaringan tubuh lainnya. Jika keadaan defisiensi ini
berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka akan menyebabkan penurunan
produksi susu dan kualitas susu yang dihasilkan menjadi rendah.
Kualitas air susu dapat dipengaruhi oleh kadar mineral yang terkandung di
dalamnya. Konsentrasi mineral di dalam susu yang rendah dapat menurunkan berat
jenis air susu. Usaha perbaikan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki aspek
nutrisi melalui suplementasi mineral. Suplementasi mineral merupakan proses
produktivitas ternak melalui peningkatan sintesis protein mikroba di dalam rumen,
meningkatkan kecernaan dan konsumsi pakan. Selain itu, pemberian suplemen
mineral akan memberikan keseimbangan antara asam amino dan energi ternak untuk
pertumbuhan, produksi, dan perbaikan kinerja reproduksi (Parakkasi, 1999).
Cairan rumen ternak ruminansia mengandung mikroba yang merupakan
protein dengan kandungan nutrien dan nilai biologis yang yang baik, demikian pula
dengan mineral makro dan mineral mikro yang terkandung di dalamnya. Dengan
demikian cairan rumen sebagai limbah rumah potong hewan perlu dimanfaatkan
sebagai suplemen mineral organik dan dapat dinyatakan sebagai biomineral.
Dalam tubuh sapi perah, pakan yang dikonsumsi akan mengalami proses
fermentasi atau degradasi oleh mikroba rumen, produk fermentasi zat makanan ini
akan digunakan untuk membentuk protein mikroba. Namun demikian sebagian dari
pakan tersebut akan lolos dari proses degradasi dan disuplai langsung ke organ pasca
rumen. Oleh karena adanya keterbatasan dalam kemampuan mikroba rumen untuk
menggunakan zat makanan produk fermentasi, dan tingginya kebutuhan nutrien sapi
perah, maka sangat diharapkan proporsi zat makanan yang lolos fermentasi atau
degradasi lebih besar daripada proporsi zat makanan yang difermentasi atau
didegradasi dalam rumen (Orskov, 1988). Dengan demikian, zat makanan perlu
diproteksi dari proses fermentasi atau degradasi mikroba rumen yang berlebihan.
Proteksi zat makanan, terutama protein, dari fermentasi atau degradasi
mikroba di dalam rumen dapat dilakukan dengan cara dienkapsulasi yaitu suatu
metoda perlindungan yang mereaksikan zat makanan tertentu dengan gula pereduksi
melalui reaksi maillard (Windschitl dan Stern, 1988a). Hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Mulyawati (2009) menunjukkan bahwa biomineral dapat diproteksi
dengan menggunakan larutan xylosa limbah industri kertas (4%). Uji fermentabilitas
dan kecernaan in vitro memperlihatkan taraf terbaik untuk penggunaan biomineral
diproteksi adalah 1,5%. Penelitian ini mencoba untuk menguji atau mempelajari
kandungan mineral dari susu pada sapi yang diberi ransum yang mengandung
suplemen biomineral dienkapsulasi yang mudah diperoleh dan kaya akan kandungan
Perumusan Masalah
Pemanfaatan limbah cairan rumen sebagai suplemen mineral bagi ternak
ruminansia merupakan sumber mineral yang murah. Cairan rumen mengandung
banyak mikroba di dalamnya yang mampu mensintesi protein dan mineral di dalam
tubuh mikroba sehingga cairan rumen tersebut dapat digunakan sebagai sumber
mineral.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan biomineral dari cairan
rumen yang dienkapsulasi terhadap konsumsi mineral (Ca, P, Mg, dan S), kandungan
mineral (Ca, P, Mg, dan S) dalam susu serta korelasi konsumsi mineral (Ca, P, Mg,
dan S); kadar mineral (Ca, P, Mg, dan S) dalam susu; dan produksi susu 4% FCM.
Manfaat
Suplementasi biomineral ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ternak
akan mineral dan memperbaiki kualitas pakan, serta memiliki kandungan susu yang
TINJAUAN PUSTAKA
Mineral
Mineral merupakan elemen-elemen atau unsur-unsur kimia selain dari
karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen yang jumlahnya mencapai 95% dari berat
badan. Jumlah seluruh mineral dalam tubuh hanya sebesar 4% (Piliang, 2002).
Semua mineral esensial dianggap ada di dalam tubuh hewan (Widodo, 2002).
Pembagian mineral ke dalam kelompok mineral makro dan mikro tergantung kepada
jumlah mineral tersebut di dalam tubuh hewan, kandungan mineral yang lebih dari
50 mg/kg termasuk kedalam mineral makro, sedangkan di bawah jumlah tersebut
termasuk mineral mikro (Darmono, 1995).
Mineral diperlukan oleh hewan dalam jumlah yang cukup. Mineral berfungsi
sebagai pengganti zat-zat mineral yang hilang, untuk pembentukan jaringan-jaringan
pada tulang, urat dan sebagainya serta untuk berproduksi. Terdapat 22 jenis mineral
esensial yaitu tujuh mineral makro yang mencakup Kalsium (Ca), Natrium (Na),
Kalium (K), Fosfor (P), Magnesium (Mg), Klor (Cl), Sulfur (S) dan lima belas
mineral mikro dan mineral unsur jarang (trace mineral) yang mencakup Besi (Fe),
Yodium (I), Seng (Zn), Kobalt (Co), Mangan (Mn), Tembaga (Cu), Molibdenum
(Mo), Selenium (Se), Kromium (Cr), Vanadium (V), Flourin (F), Silikon (Si), Nikel
(Ni), dan Arsen (As). Alumunium (Al), Timbal (Pb), Rubidium (Ru) hanya bersifat
menguntungkan dalam beberapa kondisi (Underwood dan Suttle, 2001). Kelompok
mineral yang termasuk mineral makro dan mikro ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelompok Mineral Makro dan Mikro
Kebutuhan Mineral
Mineral dibutuhkan oleh hewan dalam jumlah yang cukup. Bagi ternak
ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga
digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Pada ternak
ruminansia, selama siklus laktasi terdapat perbedaan antara beberapa periode dalam
metabolisme mineral. Pada awal laktasi terjadi pengurasan mineral dari dalam tubuh,
hal ini disebabkan mineral diperlukan untuk sintesis air susu. Intensitas pengurasan
akan semakin berkurang dengan menurunnya produksi susu sehingga terdapat
periode penimbunan mineral dalam tubuh (Toharmat dan Sutardi, 1985). Unsur
mineral makro seperti Ca, P, Mg, Na dan K berperan penting dalam aktivitas
fisiologis dan metabolisme tubuh, sedangkan unsur mineral mikro seperti Fe, Cu, Zn,
Mn, dan Co diperlukan dalam sistem enzim (McDowell, 1992). Mineral mikro
dibutuhkan hanya dalam jumlah kecil, apabila termakan dalam jumlah besar dapat
bersifat racun (Widodo, 2002). Mineral yang dapat menyebabkan keracunan
mencakup mineral esensial seperti Cu, Zn, Se, dan mineral non esensial seperti Hg,
Pb, dan As (Darmono, 1995).
Tabel 2. Kebutuhan Mineral Sapi Perah
Sapi Perah Ca P Mg S Na Fe Mn Zn
Keterangan : Ca = kalsium P = phosphor Mg = magnesium S = sulfur
Na = natrium Fe = besi Mn = mangan Zn = seng
Sumber: NRC (1989)
Beberapa mineral berperan penting dalam meningkatkan aktivitas mikroba
dalam rumen. Mineral yang mempengaruhi proses fermentasi rumen adalah S, Zn,
hasil dan proses fermentasi pakan dalam rumen (Arora, 1989). Kebutuhan mineral
sapi perah dapat dilihat pada Tabel 2.
Suplementasi Mineral
Mineral sangat penting untuk kelangsungan hidup ternak. Hampir semua
mineral ditemukan dalam jaringan ternak dan mempunyai fungsi yang sangat penting
dalam proses metabolisme ternak. Suplementasi berbagai bahan pada pakan ternak
menghasilkan bobot ternak yang meningkat. Suplemen mineral dianjurkan untuk
memenuhi beberapa prinsip, antara lain (1) campuran akhir minimal mengandung
6-8% total P; (2) rasio Ca : P tidak melampaui 2 : 1; (3) dapat menyuplai 50% elemen
mikro Co, Cu, I, Mn dan Zn; (4) bentuk mineral yang digunakan adalah yang mudah
digunakan dan dihindarkan dari kontaminasi dengan mineral-mineral beracun
(misalnya sumber P yang terkontaminasi dengan F); (5) suplemen tersebut
hendaknya cukup palatable untuk menjamin tingkat konsumsi yang baik; (6) perlu diperhatikan ketepatan menimbang, pencampuran yang homogen dan lain
sebagainya; (7) besar partikel hendaknya lebih kecil dan seragam sehingga
pencampuran dapat dilakukan secara homogen; (8) perkiraan kebutuhan yang cukup
baik dan akurat dalam hal kebutuhan; (9) daya guna setiap elemen yang digunakan,
dan (10) tingkat konsumsi hewan (Parakkasi, 1999).
Mineral mempunyai peranan penting dalam meningkatkan aktivitas mikroba
rumen. Zn dapat mempercepat sintesa protein oleh mikroba melalui pengaktifan
enzim-enzim mikroba. Suplementasi Zn dapat meningkatkan ketahanan sapi perah
terhadap mastitis. Mineral Co berperan dalam sintesis vitamin B12. Mineral Cu dan
Co bersama-sama dapat memperbaiki daya cerna serat kasar. Sulfur adalah salah satu
unsur penting yang mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen (Arora, 1989).
Kalsium (Ca)
Kalsium (Ca) merupakan elemen mineral yang paling banyak dibutuhkan
oleh tubuh ternak (McDonald et al., 2002). Ca memiliki peranan penting sebagai penyusun tulang dan gigi. Sekitar 99 % dari total tubuh terdiri dari Ca. Selain itu Ca
berperan sebagai penyusun sel dan jaringan (McDonald et al., 2002). Menurut Piliang (2002), fungsi Ca yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai penyalur
pertumbuhan defisien Ca maka pembentukan tulang menjadi kurang sempurna dan
akan mengakibatkan gejala penyakit tulang. Gejala penyakit tulang diantaranya
adalah wajah keriput, pembesaran tulang sendi, tulang tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Sedangkan pada ransum ternak dewasa yang mengalami defisien Ca akan
menyebabkan osteomalacia (Piliang, 2002). Ca air susu cukup stabil walaupun
defisiensi Ca, namun produksi susu akan turun. Ransum yang memiliki kadar K yang
rendah akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin (Foleyet al.,1973).
Beberapa faktor makanan dapat membantu meningkatkan absorpsi Ca,
sedangkan beberapa faktor lain dapat menurunkan absorpsi Ca oleh usus halus.
Asam fitat dan asam oksalat dapat menurukan absorpsi mineral Ca dengan jalan
mengikat Ca dan membentuk garam Ca yang tidak larut dalam lumen usus halus
(Piliang, 2002).
Fosfor (P)
Fosfor (P) merupakan mineral kedua terbanyak dalam tubuh dengan distribusi
dalam jaringan yang menyerupai distribusi Ca. Fosfor memegang peranan penting
dalam proses mineralisasi tulang (Piliang, 2002). McDonald et al. (2002) menyatakan P mempunyai fungsi sangat penting bagi tubuh ternak diantara elemen
mineral lainnya. Fosfor umumnya ditemukan dalam bentuk phospholipid, asam
nukleat dan phosphoprotein. Kandungan P dalam tubuh ternak lebih rendah daripada
kandungan Ca. Gejala defisiensi P yang parah dapat menyebabkan persendian kaku
dan otot menjadi lembek. Ransum yang rendah kandungan P-nya dapat menurunkan
kesuburan (produktivitas), indung telur tidak berfungsi normal, depresi dan estrus
tidak teratur. Pada ternak ruminansia mineral P yang dikonsumsi, sekitar 70% akan
diserap, kemudian menuju plasma darah dan 30% akan keluar melalui feses.
Fosfor yang berasal dari makanan diabsorpsi tubuh dalam bentuk ion fosfat
yang larut (PO4-). Gabungan mineral P dan mineral Fe dan Mg akan menurunkan
absorpsi P (Piliang, 2002). Asam fitat yang mengandung P ditemukan dalam
biji-bijian dapat mengikat Ca untuk membentuk fitat. Fitat yang terbentuk tidak dapat
larut sehingga menghambat absorpsi Ca dan P. Dari seluruh jumlah P yang terdapat
halnya dengan kalsium, maka vitamin D dapat meningkatkan absorpsi P dari usus
halus (Piliang, 2002).
Magnesium (Mg)
Tubuh hewan dewasa mengandung 0,05% Mg. Retensi dan absorpsi Mg pada
sapi perah erat kaitannya dengan kebutuhannya. Enam puluh persen Mg dalam tubuh
hewan terkonsentrasi di tulang sebagai bagian dari mineral yang mengkristal dan
permukaan kristal terhidrasi (Linder, 1992). Menurut McDonald et al. (2002), Mg berperan dalam membantu aktivitas enzim seperti thiamin phyrofosfat sebagai
kofaktor. Ketersediaan Mg dalam ransum harus selalu tersedia. Perubahan
konsentrasi Mg dari keadaan normal selama 2-18 hari dapat menyebabkan
hipomagnesemia (Toharmat dan Sutardi, 1985).
Sekitar 30-50% Mg dari rata-rata konsumsi harian ternak akan diserap di usus
halus. Penyerapan ini dipengaruhi oleh protein, laktosa, vitamin D, hormon
pertumbuhan dan antibiotik (Ensminger et al., 1990). Magnesium sangat penting peranannya dalam metabolisme karbohidrat dan lemak. Defisiensi Mg dapat
meningkatkan iritabilitas urat daging dan apabila iritabilitas tersebut parah akan
menyebabkan tetany (Linder, 1992). Defisiensi Mg pada sapi laktasi dapat
menyebabkan hypomagnesemic tetany atau grass tetany. Keadaan ini disebabkan
tidak cukupnya Mg dalam cairan ekstracellular, yaitu plasma dan cairan interstitial
(National Research Council, 1989).
Kebutuhan Mg untuk hidup pokok adalah 2-2,5 gram dan untuk produksi
susu adalah 0,12 gram per milligram susu. Ransum yang mengandung 0,25% Mg
cukup untuk sapi perah yang berproduksi tinggi (NRC, 1989).
Sulfur (S)
Sulfur (S) merupakan komponen penting protein pada semua jaringan tubuh.
Pada ruminansia 0,15% komponen jaringan tubuh terdiri atas unsur S, sedangkan
pada air susu sebesar 0,03%. Pada hewan ruminansia terjadi sintesis asam-asam
amino yang mengandung mineral S dengan vitamin B oleh mikroba di dalam rumen.
Terdapat dua macam mekanisme metabolisme mineral S pada hewan ruminansia,
yaitu mekanisme yang menyerupai mekanisme mineral S pada hewan-hewan
dalam rumen (Piliang, 2002). Kandungan mineral S pada tanaman hijauan dapat
berkisar dari 0,04% sampai melebihi 0,3%. Bahan makanan yang mengandung
protein tinggi akan mengandung kadar mineral S yang tinggi pula (Piliang, 2002).
Kadar S dalam ransum sebesar 0,20% diperkirakan cukup untuk memenuhi
kebutuhan sapi perah laktasi. Hewan-hewan yang diberi ransum defisien dalam
mineral sulfur akan menunjukkan penyakit anorexia, penurunan bobot badan,
penurunan produksi susu, kekurusan, kusut, lemah dan akhirnya mati. Tanda-tanda
tersebut berhubungan erat dengan menurunnya fungsi rumen dan fungsi sistem
peredaran darah (McDowell, 1992).
Kosentrasi Mineral Air Susu
Air susu mengandung mineral dalam jumlah yang besar. Keberadaan mineral
makro dan mineral mikro dalam susu sangat penting untuk perkembangan tulang,
pembentukan jaringan dan otot, aktivitas enzim dan proses osmosis dalam tubuh
(Schmidtet al.,1988). Susu juga mengandung K, Ca, MgCl2, P, dan S dalam jumlah yang besar. Kandungan Fe, Cu, Zn, Al, Mn, Si, Co, dan I dalam susu sangat sedikit.
Unsur mineral yang terbanyak dalam susu adalah Ca. Unsur ini menjaga stabilitas
susu terhadap proses pemanasan (Henderson, 1971).
Mineral susu umunnya berbentuk garam yang terlarut. Unsur Ca dan
sebagian berbentuk garam terlarut dan sebagian lagi bergabung dengan kasein dan
senyawa lain membentuk koloid kalsium fosfat. Unsur S terdapat dalam asam amino
yang tersusun dalam protein (Folleyet al., 1973).
Komposisi mineral air susu cukup beragam, hal ini dipengaruhi oleh bangsa
sapi, periode laktasi, produktivitas, musim, kecukupan mineral dalam ransum dan
penyakit (Underwood, 1981; Georgievskii et al., 1982). Pengaruh ransum terhadap komposisi air susu berbeda-beda untuk setiap mineral. Ransum yang defisien Ca, P,
Na dan Fe menyebabkan penurunan produksi, namun komposisi mineral dalam air
susu tersebut tetap. Jika ransum defisien Ca dan I, dapat menyebabkan kosentrasi
mineral tersebut dalam air susu menurun (Underwood, 1981).
air 87,5%, bahan kering (BK) 12,5%, laktosa 4,8%, lemak 3,7%, protein 3,4%, dan
abu (mineral) 0,7%. Buckle et al. (1987) menyebutkan unsur-unsur mineral utama yang terdapat dalam susu dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Kandungan Mineral dalam Susu
Unsur Kadar %
Friesland Barat. Bulu sapi FH murni umumnya berwarna hitam dan putih, namun ada
pula sapi FH yang bulunya berwarna merah dan putih dengan batas-batas warna yang
jelas. Menurut Blakely dan Bade (1991), karakteristik sapi FH memiliki bobot badan
sebesar 682 kg untuk sapi betina dewasa dan 1000 kg untuk sapi jantan dewasa.
Sapi FH merupakan sapi perah dengan produksi susu paling tinggi
dibandingkan sapi perah lainnya dan air susu yang dihasilkan mengandung kadar
lemak yang rendah (Sudono, 1999). Lemak susu yang dihasilkan sapi FH rata-rata
sebesar 3,8%, bahan kering tanpa lemak 8,5% dan rata-rata produksi susu pertahun
5750-6250 kg. Selain diperah susunya, sapi FH juga baik sebagai sapi pedaging
karena pertumbuhannya cepat dan karkasnya sangat bagus (Blakely dan Bade, 1991).
Pemberian Pakan Sapi Perah
Sutardi (2002) menyatakan pemberian pakan pada ternak ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan biologis ternak, baik untuk kebutuhan pokok maupun untuk
produksi. Kebutuhan hidup pokok merupakan kebutuhan untuk mempertahankan
bobot hidup, sedangkan kebutuhan produksi untuk memproduksi air susu,
Pakan utama sapi adalah hijauan dan kosentrat. Ketersedian zat makanan
dalam pakan sapi perah secara kualitas dan kuantitas digunakan sebagai substrat
untuk sintesis susu di dalam ambing (Toharmat dan Sutardi 1985). Sapi yang sedang
berproduksi memerlukan pakan untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi susu.
Kualitas dan kuantitas pakan yang rendah akan mengakibatkan produksi susu yang
tidak maksimal. Pemberian konsentrat sapi laktasi adalah 50% dari jumlah susu yang
dihasilkan. Sedangkan hijauan diberikan sebanyak 10% dari bobot hidup, dan air
minum diberikanad libitum(Sudonoet al., 2003).
Biomineral dan Mineral Organik
Cairan Rumen
Cairan rumen merupakan limbah dari proses pemotongan ternak di Rumah
Pemotongan Hewan (RPH). Cairan rumen tergolong limbah organik berserat dan
memakan tempat yang besar (voluminous), dan merupakan media yang baik bagi
perkembangan mikroorganisme baik yang menimbulkan penyakit (patogen) maupun
yang tidak menimbulkan penyakit (apatogen) (Siagian dan Simamora, 1994). Cairan
rumen mengandung mikroorganisme yaitu bakteri yang konsentrasinya mencapai 21
X 109 per ml dan protozoa yang dapat mencapai 105-106 sel /ml cairan rumen.
Protozoa dalam cairan rumen membantu proses pencernaan dengan cara fermentasi
(Arora, 1989). Protozoa rumen mengandung 55% protein kasar, sedangkan bakteri
(hasil pupukan) kadar protein kasarnya adalah 59%, kurangnya kadar protein
protozoa dibandingkan dengan bakteri disebabkan protozoa banyak mengandung
polisakarida (Parakkasi, 1999).
Populasi protozoa dalam rumen dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
kurangnya makanan dalam jangka waktu lama, rendahnya pH dan injeksi asam ke
dalam rumen. Protozoa mempunyai kemampuan yang sangat kecil untuk mensintesa
asam amino dan vitamin B-kompleks, namun protozoa mendapatkan protein dan
sumber nitrogen dari bakteri dan menghidrogenasi asam-asam lemak tak jenuh
menjadi asam lemak jenuh (Arora, 1989).
Berbagai bentuk suplemen telah dikembangkan dan diproduksi, biomineral
limbah rumah potong, dan mempunyai nilai biologis yang cukup baik bila ditinjau
dari segi nutrien mikroba rumen (Tjakradidjajaet al. 2008).
Biomineral
Biomineral merupakan suplemen mineral yang dibuat dari cairan rumen.
Biomineral memiliki kandungan P, Na, S, Fe, Al, Cu, Zn dan Se yang lebih tinggi
daripada mineral mix, tetapi lebih rendah pada kandungan K, Ca, Mg, Mn, Co, Ni
dan Cr (Tabel 4).
Tabel 4. Kandungan Nutrien Biomineral dan MineralMix
Zat makanan Biomineral Mineralmix
Kandungan protein kasar (PK), lemak kasar (LK) dan TDN biomineral lebih
tinggi daripada mineral mix, tetapi kandungan serat kasar (SK) biomineral lebih
rendah. Biomineral telah memenuhi kebutuhan mineral mikro anak sapi FH,
walaupun kandungan Fe jauh melebihi kebutuhan anak sapi FH. Penambahan
biomineral dapat meningkatkan konsumsi anak sapi baik konsumsi segar, bahan
kering (BK), PK, SK, dan TDN. Selain itu, penambahan biomineral juga dapat
Mineral Organik
Mineral organik merupakan hasil inkorporasi mineral anorganik ke dalam
sumber protein yang dapat berasal dari mikroba seperti kapang, atau dari bahan
pakan seperti ampas tahu, ampas bir, dan lain–lain.
Anam (2004) melakukan penelitian menggunakan ampas bir sebagai pengikat
Zn dan Cu. Ampas bir yang dilarutkan ke dalam air akan menyebabkan gugus
karboksil (COO-) mengion, kemudian mengikat kation Zn++ atau Cu++. Noviana
(2004) membuat mineral organik dengan menggunakan ampas kecap sebagai
pengikat Cu dan Zn. Suplementasi Zn cenderung meningkatkan konsumsi protein
kasar sehingga masukan PK bagi ternak juga bertambah. Chaerani (2004) melakukan
penelitian tentang mineral organik berupa ransum suplemen yang mengandung
ikatan ampas tahu dengan Zn dan Cu. Suplementasi Zn menghasilkan taraf konsumsi
BK, PK dan energi dapat dicerna per ekor yang lebih tinggi daripada suplementasi
mineral lainnya. Jumlah pemberian ransum suplemen sebanyak 2 kg/hari dapat
meningkatkan kualitas dan palatabilitas ransum. Ransum suplemen mempunyai
kandungan energi dan protein yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan produksi
susu.
Muhtarudin dan Liman (2006) menyatakan bahwa mineral mikro organik
belum digunakan secara optimal di rumen, tetapi akan dimanfaatkan optimal di organ
pasca rumen sehingga dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan
organik ransum.
Xylosa
Hemiselulosa adalah polisakarida yang bukan selulosa, jika dihidrolisis akan
menghasilkan D-manosa, D-galaktosa, D-xylosa, L-arabinosa dan asam uranat
(Tarmansyah, 2009). Hemiselulosa dapat diperoleh dari proses pembuatan selulosa
pada tahapan prehidrolisa. Prehidrolisa bertujuan mempercepat penghilangan pentosa
(hemiselulosa) pada waktu pemanasan. Proses ekstraksi xylosa ditampilkan pada
Gambar 1.
Lignosulfonat adalah sebuah produk berasal dari sulfite liqour yang
dihasilkan dari pencernaan sulfite dari kayu dan asam lignosulfonic atau garam
dapat berkurang (Windschitl dan Stern, 1988a). Lignosulfonate melindungi protein
kedelai dari degradasi oleh mikroba rumen sehingga degradasi protein pada rumen
rendah (Windschitl dan Stern, 1988b).
Gambar 1. Proses Ekstraksi Xylosa Sumber : Tarmansyah (2009)
Persiapan bahan baku (serat rami)
Penentuan morfologi serat
Analisis Komponen Kimia
Prehidrolisa dengan larutan asam atau air lunak
Pemutihan pulp (bleaching)
Penentuan kualitas pulp putih
Pulp putih Bubur Pulp
Pakan Komplit Peternak Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)
Rumput gajah berasal dari Nigeria dan tersebar luas di seluruh Afrika tropika,
Rumput gajah merupakan tanaman tahunan. Tumbuh tegak membentuk rumpun yang
terdiri dari 20-50 batang, diameter batang berkisar 2-3 cm dan memiliki perakaran
pendek. Rumput ini dapat tumbuh setinggi 1,8-4,5 m dan panjang daun mencapai
16-90 cm serta lebar 8-35 mm. Bunga berbentuk tandan dengan warna keemasan
(Jayadi, 1991). Mcllroy (1976) menyatakan bahwa rumput gajah lebih disukai ternak,
tahan kering, berproduksi tinggi dan merupakan jenis yang sangat baik untuk silase
karena bernilai gizi tinggi. Produksinya dapat mencapai lebih dari 290 ton rumput
segar/ha/tahun pada daerah lembah atau dengan irigasi. Rumput ini sangat responsif
terhadap pemupukan, tahan kering dan produksinya tinggi.
Rumput gajah segar yang berumur 43-56 hari mempunyai kandungan abu
sebesar 15,4% BK, lemak 2,3% BK, SK 33,1% BK, bahan ekstrak tanpa nitrogen
(BETN) sebesar 40,0% BK, PK 9,1% BK, protein tercerna untuk sapi 5,7% dan
Total Digestible Nutrient(TDN) untuk sapi 51% (Prasetyo, 2004).
Konsentrat
Konsentrat adalah pakan yang tinggi kandungan Beta-N dan rendah
kandungan SK yaitu lebih rendah dari 18% (Ensminger et al., 1990). Konsentrat pada peternakan sapi perah di Indonesia mempunyai peran yang sangat penting untuk
meningkatkan dan mempertahankan produksi susu. Berbeda dengan negara maju
yang memiliki mutu hijauan yang relatif tinggi, di Indonesia mutu hijauan relatif
rendah yang menyebabkan peran konsentrat menjadi sangat dominan dalam
memasok energi dan zat makanan lain (Suryahadiet al., 2004).
Pemberian konsentrat untuk setiap jenis ternak berbeda-beda. Hal ini
dipengaruhi oleh bobot badan ternak, kualitas pakan hijauan yang diberikan,
produksi susu yang ingin dicapai dan kualitas konsentrat. Sapi perah berbobot badan
150 kg dengan produksi susu rata-rata per hari 13 kg dan kadar lemak 3%,
memerlukan 6-7 kg konsentrat per hari dengan kandungan PK 15% dan TDN 70%.
Konsentrat yang digunakan peternak di KUNAK Cibungbulang mempunyai
kandungan BK sebanyak 77,52%, bahan organik (BO) 89,45% BK, abu 10,55% BK,
PK 11,75% BK, LK 3,77% BK, SK 17,34% BK, Beta-N 56,59% BK dan gross
energi sebesar 4.392,16 Kkal/100 gram (Fharhandani, 2006).
Ampas Tahu
Ampas tahu adalah sumber protein yang mudah terdegradasi di dalam rumen
(Suryahadi, 1990). Proses pembuatan tahu hanya memanfaatkan sebagian protein
kedelai, sedangkan sebagian lagi masih tertinggal dalam ampasnya (Gambar 2).
Ampas tahu mengandung 58% dari jumlah protein kedelai. Jika kandungan biji
kedelai sebesar ± 38% maka protein ampas tahu sebesar 22% berdasarkan berat
kering (Wiriano, 1985). Penggunaan ampas tahu sebagai pengikat mineral organik
dapat dilakukan karena kandungan gugus karboksil dan amino ampas tahu yang
dapat mengikat mineral. Ampas tahu yang direndam dengan aquades dapat membuat
gugus tersebut mengikat mineral yang ditambahkan (Chaerani, 2004).
Kedelai
pencucian dan perendaman air
penirisan air
penggilingan air
bubur kedelai
pemasakan air dan (kadang-kadang) antibusa penyaringan
ekstrak susu kedelai ampas tahu (okara)
pengendapan (koagulasi) koagulan
pencetakan
pengepresan ---whey
tahu siap jadi
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK)
Sapi Perah Desa Cibungbulang, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat selama 62 hari dari bulan September sampai November 2008. Pembuatan
biomineral dienkapsulasi dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan
Mikrobiologi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisa mineral dalam
susu dan kandungan mineral dalam pakan dilakukan di Balai Penelitian Tanah,
Departemen Pertanian, Bogor.
Materi
Alat
Kandang yang digunakan yaitu kandang sapi kelompok dengan sistem stall.
Kandang ini dilengkapi dengan tempat makan dan minum. Peralatan yang digunakan
adalah timbangan, ember dan pita ukur.
Bahan
Sapi percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi perah
Friesian Holstein sebanyak 16 ekor dari 4 peternak, dengan kriteria seleksi
sebagaimana dicantumkan dalam Tabel 5. Pakan yang digunakan terdiri atas pakan
hijauan, konsentrat, dan ampas tahu yang disediakan oleh peternak. Suplemen yang
diberikan adalah biomineral dienkapsulasi yang berasal dari cairan rumen,
biomineral tanpa proteksi dan mineral mix. Mineral mix yang diberikan berasal dari
KPS.
Metode
Pembuatan Biomineral
Proses pembuatan biomineral mengikuti prosedur yang dilakukan oleh
Tjakradidjaja et al. (2007) yang dapat dilihat pada Gambar 3. Cairan rumen yang berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) ditambahkan dengan larutan HCl 1 M
dibagi dua, setengah bagian dari endapan ditambahkan dengan bahan carrierberupa
tepung terigu dan agar-agar. Setelah itu, endapan tersebut dikeringkan di bawah
sinar matahari selama 2 – 3 hari. Bahan kemudian dikeringkan dengan oven pada
suhu 60OC selama 1 – 2 hari. Bahan yang telah dikeringkan lalu digiling sehingga
berbentuk tepung.
Gambar 3. Diagram Pembuatan Biomineral Sumber : Tjakradidjajaet al.(2008)
Penurunan pH cairan rumen hingga 5,5
Penyaringan cairan rumen
Pengendapan cairan selama 2 malam
Biomineral tanpa proteksi
Biomineral dienkapsulasi
Penambahan bahanCarrier (tepung terigu dan agar-agar)
Pengeringan di bawah sinar
matahari selama 2-3 hari Pemanasan dengan
autoclave121oC selama 25 menit
Pengeringan dalam oven pada suhu 60OC selama 1–2 hari
Penggilingan
Cairan rumen
Tepung suplemen biomineral
Penambahanxylosa black liqoursebanyak 4%
Setengah bagian lainnya diambil dan dicampur dengan larutan xylosa black
liqour (4%), kemudian dipanaskan dengan autoclave pada suhu 121oC selama 20– 30 menit. Taraf xylosa black liquor sebanyak 4% berdasarkan hasil yang diperoleh
Mulyawati (2009). Setelah itu ditambahkan bahan carrier berupa tepung terigu dan agar-agar, lalu dikeringkan selama 2-3 hari dengan sinar matahari, kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 60OC. Setelah kering, bahan tersebut digiling
sehingga berbentuk tepung. Penggunaan tepung terigu sebesar 60% (600 g untuk
1000 g) dari endapan cairan rumen dan penambahan agar-agar sebanyak 70% (700 g
untuk 1000 g) dari endapan cairan rumen.
Tabel 5. Kriteria Sapi Percobaan
Perlakuan Peternak Umur (Tahun)
Periode
Laktasi
Bulan laktasi
(Bulan setelah
Beranak)
Bobot
Badan
(kg)
Keturunan
R1 SA 2 1 3 411,59 Cisarua
AG 6 4 2 420,29 Boyolali
HT 5 3 5 388,72 Boyolali
JF 4 2 4 452,19 Boyolali
R2 SA 2 1 5 399,69 Cisarua
AG 5 3 5 407,81 Boyolali
HT 5 3 6 403,89 Boyolali
JF 4 2 4 409,42 Boyolali
R3 SA 2 1 6 389,75 Cisarua
AG 5 3 5 429,99 Boyolali
HT 5 3 5 356,01 Boyolali
JF 3 2 4 370,12 Boyolali
R4 SA 7 5 6 391,26 Cisarua
AG 5 3 5 370,20 Cisarua
HT 5 3 5 353,11 Boyolali
Pemberian Pakan dan Minum
Pakan yang diberikan yaitu konsentrat dan hijauan, pakan tersebut diberikan
pada pagi dan sore hari. Pemberian biomineral dienkapsulasi dengan cara dicampur
dengan konsentrat. Konsentrat diberikan lebih awal, setelah konsentrat habis
kemudian ternak diberi pakan berupa hijauan. Sedangkan air minum diberikan ad
libitum.
Pengukuran Bobot Badan
Pengukuran bobot badan sapi dilakukan dengan cara mengukur lingkar dada
sapi. Lingkar dada sapi diketahui dengan cara melingkarkan pita ukur pada bagian
dada sapi. Hasil pengukuran lingkar dada sapi kemudian dikonversi ke dalam bobot
badan dengan menggunakan rumus Schoorl :
Bobot Badan Sapi = (Lingkar dada + 22)2 100
Lingkar dada diukur dalam cm dan angka 22 merupakan faktor tetap (Sudono, 1999).
Pengukuran Produksi Susu
Pengukuran produksi susu dilakukan dengan cara menampung produksi susu
pada pagi dan sore hari setiap harinya. Susu yang telah diperah, kemudian diukur
beratnya dengan menggunakan timbangan.
Rancangan Percobaan Perlakuan
Sapi perah yang digunakan sebanyak 16 ekor dengan kriteria 2-6 bulan
setelah beranak (Tabel 5). Sapi tersebut dibagi menjadi 4 kelompok dengan
masing-masing kelompok terdiri dari 4 perlakuan, yaitu :
R1 (kontrol) = pakan yang biasa diberikan peternak
R2 = R1 + 1,5% biomineral tanpa proteksi
R3 = R1 + 1,5% biomineral dienkapsulasi
R4 = R1 + 1,5% mineralmix(produksi komersil KPS)
Suplemen mineral yang ditambahkan yaitu sebanyak 1,5% dari konsentrat.
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa umur sapi yang diberi perlakuan kontrol
tanpa proteksi (R2) berkisar dari 2 sampai 5 tahun, umur sapi yang diberi suplemen
biomineral dienkapsulasi (R3) berkisar dari 2 sampai 5 tahun, dan umur sapi yang
diberi suplemen mineral mix (R4) berkisar dari 3 sampai 6 tahun.
Pemberian biomineral dienkapsulasi dilakukan dua kali dalam sehari yaitu
pada pemberian pakan pagi dan sore, yang pemberiannya dicampur dengan
konsentrat. Data diambil setiap satu minggu, setelah sapi mengalami masa adaptasi
selama 14 hari (2 minggu).
Model
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
acak kelompok (Design Randomized Block) dengan 4 perlakuan dan 4 peternak
sebagai kelompok yang dibedakan berdasarkan manajemen pemeliharaan yang
dilakukan oleh masing-masing peternak.
Model matematika yang digunakan dalam analisis :
Yij=+i+j+ij
Dimana: Yij = nilai pengamatan perlakuan ke-i blok ke-j
= rataan umum
i =efek perlakuan ke-i
j = efek blok ke-j
ij =error (galat) perlakuan ke-i dan blok ke-j
Steel dan Torrie (1995) mengemukakan bahwa data hasil penelitian dianalisis
dengan sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Kontras Ortogonal untuk
melihat perbedaan antar setiap perlakuan.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini :
1. Kandungan Mineral dalam Pakan
Kandungan mineral dalam pakan dilakukan dengan mengkoleksi hijauan,
konsentrat, dan ampas tahu dari peternak kemudian dijemur matahari selama tiga
hari dan dikeringkan dalam oven 60 0C selama 1-2 hari. Bahan pakan yang telah
dikeringkan dalam oven dianalisa kandungan mineral yang terkandung dalam pakan
2. Konsumsi Pakan (BK dan Mineral Ca, P, Mg, dan S)
Konsumsi pakan dihitung dengan cara mengurangi jumlah pakan yang
diberikan dengan jumlah pakan yang tersisa pada setiap harinya. Setelah itu
dikonversi kedalam bahan kering (BK) untuk mengetahui pakan yang dikonsumsi.
Konsumsi mineral dihitung berdasarkan konsumsi ransum (BK) dikalikan dengan
kandungan mineral ransum perlakuan (g/kg BK). Sedangkan untuk konsumsi pakan
per BBM dihitung dengan konsumsi bahan kering dikalikan dengan bobot badan
pangkat 0,75 (BB0,75).
3. Konsentrasi Mineral (Ca, P, Mg, dan S) dalam Susu
Konsentrasi mineral air susu dilakukan dengan pengambilan sampel susu
sebanyak 100 g untuk masing– masing ternak. Data diambil setiap satu minggu dan
sampel dianalisis di Balai Penelitian Tanah, Departemen Pertanian Bogor. Kadar
mineral Ca, P, Mg, dan S dalam susu per BBM dihitung dengan kadar mineral Ca, P,
Mg, dan S dikalikan dengan bobot badan pangkat 0,75 (BB0,75).
4. Korelasi Konsumsi BK Mineral (Ca, P, Mg, dan S), Konsentrasi Mineral (Ca, P, Mg, dan S) dalam Susu, dan Produksi Susu 4% FCM
Korelasi antara konsumsi bahan kering, konsumsi mineral (Ca, P, Mg, dan S),
konsentrasi mineral (Ca, P, Mg, dan S) dalam air susu, dan produksi susu 4% FCM
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Lokasi penelitian berada di daerah Kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah
(KUNAK) Cibungbulang yang terletak di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
Secara geografis lokasi penelitian terletak di daerah perbukitan pada ketinggian 460
m di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata sebesar 3,009 mm/tahun
(Desa Situ Udik, 2005). Lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi pertumbuhan ternak. Suhu udara pada pagi hari sekitar 200C dan pada
siang hari mencapai 310C. Keadaan tanah di KUNAK masih subur dengan tingkat
erosi yang ringan. Hijauan makanan ternak berupa rumput dan tanaman lainnya
ditanam di lahan tersebut.
Manajemen pemberian pakan pada penelitian ini mengikuti manajemen
pemberian pakan yang dilakukan oleh masing-masing peternak. Pemberian pakan
berupa hijauan, konsentrat dan ampas tahu dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada
pagi dan sore hari dimana konsentrat diberikan terlebih dahulu sebelum hijauan.
Peternak SA, HT, dan JA memberikan pakan berupa konsentrat sebelum sapi
diperah, sedangkan peternak AG memberikan konsentrat setelah sapi diperah. Sapi
yang digunakan dalam penelitian berasal dari daerah yang berbeda-beda, yaitu
berasal dari daerah Cisarua dan Jawa Tengah (Tabel 5).
Kandang sapi dibuat sejajar (sistem stall), susunannya berupa dua baris
sejajar dengan gang di tengah dan kepala sapi berlawanan arah. Antara sapi satu dan
yang lainnya tidak diberi sekat antar sapi, sehingga sapi diikat dengan tali tambang
pada dinding tempat menyimpan pakan. Tempat pakan terbuat dari bahan baku
semen dengan bentuk memanjang, dan digunakan untuk semua sapi yang ada di
peternakan tanpa ada sekat untuk memisahkan pakan untuk masing-masing sapi. Air
minum diberikan setelah sapi mengkonsumsi konsentrat. Pemberian air minum
dilakukan ad libitum yang ditampung di tempat pakan. Lantai kandang terbuat dari
bahan baku semen, ada juga lantai yang dialasi dengan karpet (bedding) pada
beberapa sapi. Untuk mengalirkan kotoran sapi dibuat parit pada lantai. Parit tersebut
akan mengalirkan kotoran sapi ke kebun rumput yang terdapat disekitar kandang.
Ransum Komplit Peternak
Pakan yang diberikan peternak yaitu rumput gajah, konsentrat, dan ampas
tahu. Hijauan yang diberikan berasal dari kebun hijauan masing-masing peternak.
Sedangkan konsentrat yang digunakan peternak berasal dari KPS (Koperasi
Peternakan Sapi Perah) Bogor. Kandungan nutrien dari bahan pakan yang digunakan
oleh peternak dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Analisa Proksimat Bahan Pakan*
Bahan Pakan BK Abu Pk SK LK Beta-N
(%)
---(%BK)---Ampas Tahu A 16,05 9,64 11,45 42,11 1,15 35,65
Ampas Tahu B 16,25 3,34 24,44 20,32 5,43 46,47
Konsentrat 80,86 18,71 17,82 19,06 2,65 41,76
Rumput AG 25,05 9,83 11,97 46,03 0,85 31,32
Rumput HT 21,57 8,16 11,87 41,69 0,44 37,84
Rumput JA 21,43 11,73 12,59 41,51 1,23 35,94
Rumput SA 25,21 9,64 11,45 42,11 1,15 35,65
KPRJ 76,69 23,37 4,08 50,15 0,64 21,76
Keterangan : *Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor (2008) BK = Bahan Kering LK = Lemak Kasar Beta-N = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen SK = Serat Kasar PK = Protein Kasar
AG = Peternakan Agung JA = Peternakan Jafar SA = Peternakan Sagimin HT = Peternakan H. Tukamir Ampas tahu A = ampas tahu peternak SA, HT, dan JA Ampas tahu B = ampas tahu peternak AG
KPRJ = Konsentrat tambahan peternak JA
Standar nutrien konsentrat untuk ternak perah yaitu mengandung 18% protein
kasar dan 75% TDN (Sudono, 1999). Konsentrat KPS yang digunakan oleh para
peternak yaitu konsentrat yang mempunyai kandungan protein kasar 18%, namun
hasil analisa laboratorium pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kandungan protein
kasar konsentrat hanya sebesar 17,82%. Peternak JA memberikan tambahan
konsentrat yang berasal dari Bandung dan mempunyai kualitas yang sangat rendah
dengan kandungan PK hanya 4,08%. Hasil analisa laboratorium menunjukkan bahwa
kualitas rumput gajah yang digunakan keempat peternak mempunyai kualitas yang
Mutu hijauan di Indonesia relatif rendah, oleh karena itu diperlukan konsentrat yang
berperan dalam penyediaan energi dan zat makanan lain (Suryahadi et al., 2004). Pakan tambahan berupa ampas tahu yang digunakan peternak SA, HT dan JA
mempunyai kandungan protein kasar sebesar 11,45%, sedangkan ampas tahu yang
digunakan peternak AG mempunyai kandungan PK yang tinggi yaitu 24,44%.
Konsentrat yang diberikan peternak sebanyak 4 kg per hari dan pemberiannya
dicampur dengan ampas tahu. Pemberian ampas tahu dilakukan untuk menambah
kandungan nutrien dalam ransum karena kualitas hijauan dan konsentrat yang
diberikan rendah.
Ampas tahu memiliki kandungan protein yang cukup tinggi sehingga dapat
meningkatkan kandungan protein dalam ransum. Protein sangat diperlukan tubuh
karena mempunyai peranan yang banyak bagi tubuh. Parakkasi (1999) menyatakan
bahwa peranan protein dalam tubuh adalah untuk memperbaiki jaringan tubuh,
pertumbuhan jaringan baru, metabolisme (deaminasi) untuk energi, metabolisme
kedalam zat-zat vital dalam fungsi tubuh (zat-zat vital tersebut termasuk zat anti
darah yang menghalangi infeksi) dan sebagai enzim-enzim yang esensial bagi tubuh.
Komposisi ransum dari masing-masing peternak disajikan pada Tabel 7.
Pemberian konsentrat paling banyak dilakukan oleh peternak JA yaitu sebesar 6,12
kg konsentrat segar. Konsentrat yang diberikan oleh peternak JA merupakan
campuran dari konsentrat Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPS) dan konsentrat
yang dibeli dari Bandung, sedangkan peternak yang lain hanya menggunakan
konsentrat yang diproduksi oleh KPS. Ampas tahu diberikan dalam jumlah yang
banyak oleh setiap peternak. Peternak SA dan AG memberikan ampas tahu dalam
jumlah banyak dan jumlah pemberian konsentrat yang diberikan lebih sedikit.
Sedangkan peternak HT dan JA memberikan ampas tahu dalam jumlah yang tidak
terlalu banyak, namun jumlah konsentrat yang diberikan lebih banyak dari peternak
SA dan AG.
Rumput yang diberikan oleh peternak berkisar antara 20,58 sampai 29,08 kg
rumput segar, sedangkan bobot badan sapi berkisar antara 340 sampai 460 kg.
Rumput yang diberikan seharusnya adalah 34-46 kg rumput segar. Pemberian rumput
Tabel 7. Komposisi Ransum dan Bahan Kering (BK) Ransum Peternak
Komposisi Ransum dan Peternak
Rata-rata
Zat Makanan SA AG HT JA
Komposisi Ransum
Rumput (%BK) 49,65 39,89 48,57 40,59 44,67
Konsentrat (%BK) 22,77 25,16 36,75 37,92 30,65 Ampas tahu (%BK) 27,58 34,96 14,69 21,49 24,68 Komposisi Zat Makanan Ransum
BK Ransum (% BK) 14,76 12,91 12,53 12,98 13,29 Komposisi Zat Makanan
Ransum + Suplemen
BK Ransum + B (%) 14,76 12,91 12,72 12,98 13,34 BK Ransum + BX (%) 14,79 12,92 12,57 12,98 13,31 BK Ransum + MM (%) 14,79 12,92 12,57 12,98 13,31
Keterangan : SA = Peternak Sagimin AG = Peternak Agung
HT = Peternak H. Tukamir JA = Peternak Jafar
B = Biomineral tanpa proteksi BX = Biomineral dienkapsulasi MM= Mineral mix
Pemberian pakan yang berbeda-beda mengakibatkan komposisi pakan yang
diberikan pada ternak berbeda pula. Hal ini dapat dilihat dari komposisi zat makanan
yang disajikan pada Tabel 7. Perbedaan bahan kering ransum bergantung kepada
jumlah bahan pakan dalam ransum dan kandungan bahan kering dalam bahan pakan
tersebut.
Kandungan Suplemen Mineral
Suplementasi biomineral yang diberikan pada penelitian ini berupa
biomineral tanpa proteksi, biomineral dienkapsulasi dan mineral mix. Hasil analisa kandungan suplemen biomineral tanpa proteksi dan biomineral dienkapsulasi
memiliki rata-rata komposisi nutrien yang tidak jauh berbeda jika dibandingkan
dengan hasil analisa mineral komersil (mineralmix) (Tabel 8).
Penambahan suplemen biomineral dienkapsulasi, biomineral tanpa proteksi
dan mineral mix sebanyak 1,5% dari konsentrat yang diberikan peternak mempengaruhi komposisi nutrien yang terkandung dalam ransum. Pengaruh
penambahan suplemen dapat meningkatkan konsumsi BK, konsumsi mineral Ca, P,
Tabel 8. Kandungan Nutrien Biomineral Dienkapsulasi, Biomineral Tanpa Proteksi dan MineralMix
Kandungan B BX MM
BK (%)* 84,48 84,82 99,74
Abu (%BK)* 5,24 4,47 78,88
PK (%BK)* 21,02 20,46 0,84
SK (%BK)* 0,36 0,05 4,32
LK (%BK)* 1,25 1,16 0,35
Beta-N (%BK)* 72,12 73,87 15,61
P (% BK) 0,43 0,32 0,07
Ca (% BK) 0,34 0,32 51,82
Mg (% BK) 0,08 0,08 0,23
S (% BK) 0,11 0,10 0,01
K (% BK) 0,29 0,30 0,52
Na (% BK) 0,49 0,52 0,05
Fe (ppm) 803 1337 120
Al (ppm) 1351 1092 411
Mn (ppm) 65 60 127
Cu (ppm) 8 7 3
Zn (ppm) 83 78 30
Keterangan :
Hasil analisa laboratorium Balai penelitian tanah. Departemen pertanian, Bogor (2009) *Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor (2009)
B = biomineral tanpa proteksi MM = mineral mix BX = biomineral dienkapsulasi
Komposisi nutrien dari suplemen mineral (Tabel 8) menunjukkan bahwa
kandungan nutrien biomineral dienkapsulasi dan biomineral tanpa proteksi lebih
seimbang dibandingkan mineral mix baik pada suplemen biomineral tanpa proteksi dan biomineral dienkapsulasi. Mikroba yang terdapat dalam cairan rumen merupakan
bahan dasar pembuatan biomineral. Oleh karena itu cairan rumen yang mengandung
dienkapsulasi. Hal ini dikarenakan pada proses pembuatan biomineral dienkapsulasi
melalui tahapan pemanasan denganautoclave.Proses pemanasan juga dapat merusak kandungan protein. Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi
yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan. Apriyantono (2002) menyatakan
bahwa reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim,
perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino,
cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Pemanasan dengan autoclave bertujuan agar xylosa dapat mengikat
kandungan mineral yang terdapat dalam mikroba cairan rumen. Rusdi et al. (2007) menyatakan bahwa pemanasan dapat menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimiawi
protein sehingga protein menjadi sulit didegradasi dan menurunkan kecepatan
degradasi protein oleh mikroba rumen.
Biomineral tanpa proteksi dan biomineral dienkapsulasi memiliki kandungan
Beta-N, protein kasar (PK), dan lemak kasar (LK) yang cukup tinggi dibanding
dengan mineral mix. Kandungan Beta-N pada biomineral dienkapsulasi dan biomineral tanpa proteksi yaitu 73,87%BK untuk biomineral dienkapsulasi dan
72,12%BK biomineral tanpa proteksi. Sedangkan kandungan Beta-N dalam mineral
mix sangat rendah yaitu 15,61%BK. Tingginya kandungan Beta-N dikarenakan dalam pembuatan biomineral ditambahkan bahan carier berupa tepung terigu dan
agar-agar sebagai sumber energi.
Serat kasar dari biomineral dienkapsulasi lebih rendah daripada biomineral
tanpa proteksi, padahal xylosa yang ditambahkan dalam pembuatan biomineral
dienkapsulasi merupakan sumber serat. Keadaan fisik biomineral dengan perlakuan
xylosa lebih berwarna coklat dan lebih cair daripada biomineral tanpa proteksi yang
menyebabkan penggunaan bahan carier yang meningkat. Peningkatan penggunaan
tepung dan agar-agar dapat memperkecil imbangan SK dengan Beta-N. Rendahnya
serat kasar juga dapat diakibatkan oleh jamur yang tumbuh selama penjemuran
sehingga serat kasar difermentasi oleh mikroba dan kandungannya dalam biomineral
berkurang.
Hasil analisis komposisi mineral pada suplemen biomineral dienkapsulasi dan
biomineral tanpa proteksi memiliki perbandingan kandungan kalsium (Ca) dan
tubuh ternak, namun kekurangan mineral mikro dapat berakibat bagi kesehatan
ternak (Arora, 1989).
Kandungan Mineral Pakan
Pakan yang diberikan pada penelitian terdiri dari hijauan berupa rumput
gajah, konsentrat, dan ampas tahu. Hasil analisa kandungan mineral pakan dari
tiap-tiap peternak dapat dilihat pada Tabel 9. Kandungan mineral rumput gajah, ampas
tahu, dan konsentrat memiliki kadar mineral yang berbeda-beda. Ketersediaan
mineral sangat tergantung pada jenis ransum, jumlah dan proporsi mineral tersebut.
Kadar Ca, P, Mg, dan S rumput gajah yang dianalisis dari 4 peternak masing-masing
berkisar antara 0,21-0,46%, 0,16%-0,33%, 0,18%-0,26%, dan 0,11%-0,18%. Kadar
Ca dan P paling tinggi ditunjukkan pada rumput JA dengan kandungan 0,46% dan
0,33%. Perbedaan kandungan mineral dari masing-masing kelompok dapat
dipengaruhi oleh keadaan mineral dalam tanah.
Tabel 9. Kandungan Mineral Pakan
Pakan Kadar Mineral Pakan (%)
Ca P Mg S
Rumput SA 0,25 0,16 0,21 0,16
Rumput AG 0,21 0,23 0,18 0,11
Rumput HT 0,37 0,16 0,26 0,18
Rumput JA 0,46 0,33 0,23 0,14
Ampas Tahu A 0,61 0,36 0,20 0,13
Ampas Tahu B 0,51 0,37 0,20 0,20
Konsentrat KPS 0,43 0,30 0,26 0,16
KKPB 0,10 0,08 0,08 0,07
Keterangan :
Hasil analisa laboratorium Balai Penelitian Tanah. Departemen Pertanian Bogor (2009)
SA = Peternakan Sagimin AG = Peternakan Agung
HT = Peternakan Tukamir JA = Peternakan Jafar
Ampas Tahu A = Ampas tahu peternak AG
Ampas Tahu B = Ampas tahu peternak SA, HT, dan JA
Konsentrat KPS = Konsentrat masing-masing peternak (Konsentrat KPS)
KKPB = Konsentrat tambahan peternak JA
Ampas tahu yang digunakan oleh 3 peternak yaitu pada peternak SA, HT, dan
JF adalah ampas tahu B, sedangkan ampas tahu A digunakan oleh peternak AG.
P, Mg, dan S yang tidak berbeda nyata walaupun berasal dari pabrik tahu yang
berbeda. Sedangkan konsentrat KPS memiliki persentase mineral Ca, P, Mg, dan S
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat Bandung.
Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Mineral Konsumsi Bahan Kering
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh
terhadap konsumsi bahan kering (BK) dan konsumsi BK per bobot badan metabolis
(BK/BBM), data konsumsi BK dapat dilihat pada Tabel 10. Konsumsi BK konsentrat
lebih tinggi dibandingkan konsumsi BK hijauan. Rataan konsumsi BK hijauan sama
untuk semua peternak yaitu sebesar 5,93 kg/hari, sedangkan rataan konsumsi
konsentrat berkisar antara 7,4 sampai 9,68 kg/hari.
Tambahan BK paling banyak berasal dari penambahan mineral mix, karena
kandungan BK mineral mix paling banyak dibandingkan kedua jenis biomineral.
Konsumsi total BK dari masing-masing sapi yang digunakan dalam percobaan ini
telah mencukupi kebutuhan BK dari masing-masing sapi tersebut. Rataan konsumsi
BK hijauan sama untuk semua perlakuan, hal ini dikarenakan jenis rumput yang
digunakan ke empat peternak sama yaitu rumput gajah dan jumlah permberiannya
juga relatif sama. Perlakuan cenderung meningkatkan konsumsi BK dari konsentrat
(Tabel 10) dengan kisaran konsumsi BK perlakuan R2, R3 dan R4 relatif sama.
Konsumsi BK dan BK/BBM hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan
kebutuhan BK dan kebutuhan BK/BBM dari sapi berdasarkan hasil perhitungan.
Selisih antara konsumsi dan kebutuhan BK sapi R1, R2, R3 dan R4 secara
berturut-turut adalah 2,20 ; 5,50 ; 5,20 dan 4,69 kg/ekor. Hal ini berarti konsumsi BK telah
melebihi kebutuhan sapi. Peningkatan konsumsi BK dapat meningkatkan kecernaan
pakan dalam rumen untuk memenuhi kebutuhan hidup dan produksi (Sutardi, 1981).
Konsumsi BK dari sapi yang digunakan dalam percobaan ini bergantung pada
ransum yang diberikan peternak. Petenak mempunyai manajemen pemeliharaan yang
berbeda-beda, baik pemberian pakan maupun perawatan ternaknya. Jenis rumput dan
konsentrat yang digunakan masing-masing peternak berbeda sehingga banyaknya
produktivitas ternak. Ternak yang mempunyai produksi susu yang tinggi akan
mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang lebih banyak.
Tabel 10. Konsumsi Bahan Kering
Mineral SA 0,00 0,02112 0,021205 0,024935
(kg/ekor/hari) AG 0,00 0,019008 0,0190845 0,0224415
HT 0,00 0,25344 0,25446 0,29922
JA 0,00 0,25344 0,25446 0,29922
Rataan ± SD 0±0 0,137±0,135 0,137±0,135 0,161±0,159
Total SA 14,92 14,94 14,98 14,98
Rataan ± SD 0,15±0,01 0,17±0,04 0,181±0,05 0,18±0,05
Kebutuhan** SA 12,38 11,47 10,92 12,76
Keterangan : * Konsentrat merupakan campuran dari konsentrat KPS dan ampas tahu.
**Kebutuhan pakan dihitung berdasarkan rumus Sutardi (2002) dalam Chaerani (2004). R1 = kontrol; R2 = R1 + biomineral; R3 = R1 + biomineral dienkapsulasi;
R4 = R1 + mineral mix SA = Peternak Sagimin AG = Peternak Agung HT = Peternak H. Tukamir JA = Peternak Jafar
Konsumsi BK ransum yang digunakan pada penelitian ini melebihi
kebutuhan sapi, walaupun hanya berdasarkan perkiraan dari peternak. Kebutuhan
sapi berdasarkan perhitungan dapat dilihat pada Tabel 10, sedangkan kebutuhan BK
kg dan untuk sapi perah dengan BB 500 kg dengan kadar lemak 4,0% adalah 11,59
kg (NRC, 1989).
Sapi pada peternak Agung dan Jafar mengkonsumsi BK dari hijauan dalam
jumlah yang rendah. Hal ini dikarenakan rumput yang diberikan biasanya rumput
yang masih muda dengan jumlah yang sangat sedikit (± 20-24 kg/hari). Rumput yang
masih muda mempunyai kadar air yang lebih tinggi dibandingkan rumput yang siap
panen, selain itu kandungan nutriennya juga lebih rendah. Pemberian rumput muda
pada sapi dapat mengganggu proses pencernaan sehingga sapi menjadi diare. Diare
dapat mengakibatkan proses penyerapan tidak sempurna sehingga zat makanan lebih
banyak yang terbuang. Konsumsi pakan merupakan faktor esensial untuk
menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat
konsumsi pakan dapat ditentukan kadar zat makanan dalam ransum untuk memenuhi
hidup pokok dan produksi (Parrakasi, 1999).
Konsumsi Mineral Ca
Perlakuan tidak berpengaruh terhadap konsumsi mineral kalsium (Ca). Data
konsumsi Ca pada Tabel 11 menunjukkan bahwa rataan konsumsi Ca yang berasal
dari hijauan yaitu 14,67 g/ekor/hari. Jumlah konsumsi Ca yang berasal dari
konsentrat berkisar antara 25,33 sampai 25,43 g/ekor/hari. Tambahan Ca dari
biomineral tanpa proteksi dan biomineral dienkapsulasi sama yaitu sebesar 0,09
g/ekor/hari, sedangkan tambahan Ca dari mineralmixyaitu sebesar 3,99 g/ekor/hari. Konsumsi Ca total R1, R2, R3 dan R4 secara berturutan 40,08; 40,17; 39,99
dan 54,07 g/ekor/hari. Pada perlakuan R4 total konsumsi Ca lebih tinggi di
bandingkan dengan perlakuan lainnya, hal tersebut dikarenakan kandungan mineral
Ca yang tinggi pada mineral mix yaitu sebesar 51,82%. Tabel 8 menunjukkan bahwa
kandungan Ca dari biomineral tanpa proteksi yaitu sebesar 0,34%, biomineral
dienkapsulasi sebesar 0,32%. Selain itu konsumsi Ca hijauan pada kelompok
peternak HT dan JA lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok peternak SA dan
AG, hal tersebut dikarenakan kadar mineral Ca pada hijauan peternak HT dan JA
lebih tinggi dibanding kadar mineral Ca hijauan peternak SA dan AG. Kadar mineral
Ca hijauan pada rumput peternak SA dan AG sebesar 0,25% dan 0,21%, sedangkan