• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 9 TAHUN DI KECAMATAN KEDUNGBANTENG

KABUPATEN TEGAL

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Geografi

pada Universitas Negeri Semarang

Oleh:

Laelia Nurpratiwiningsih

3201407062

JURUSAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skipsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian

Skripsi Fakultas Ilmu Sosial UNNES pada :

Hari : Kamis

Tanggal : 22 September 2011

Pembimbing I

Drs. Saptono Putro, M.Si.

NIP. 19620928 1990031 002

Pembimbing II

Drs. Tukidi, M. Pd.

NIP. 19540310 1983031 002

Mengesahkan:

Ketua Jurusan Geografi

Drs. Apik Budi Santoso, M.Si.

(3)

iii

PENGESAHAN KELULUSAN

Skipsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu

Sosial, Universitas Negeri Semarang dan disahkan pada:

Hari : Senin

Tanggal : 3 Oktober 2011

Penguji Utama

Dra. Pudji Hardati, M. Si

NIP. 19581004 1986032 001

Penguji I

Drs. Saptono Putro, M. Si.

NIP. 19620928 1990031 002

Penguji II

Drs. Tukidi, M. Pd

NIP. 19540310 1983031 002

Mengetahui: Dekan Fakultas Ilmu Sosial

Drs. Subagyo, M. Pd.

(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil

karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulisan orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat di dalam skripsi ini

dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 22 September 2011

Laelia Nurpratiwiningsih

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (Q.S Ar Ra’d ayat 11). ”

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya (Q.S Al-Baqarah ayat 286).”

Bukan kurangnya pengetahuan yang menghalangi keberhasilan, tetapi tidak cukupnya tindakan. Dan bukan kurang cerdasnya pemikiran yang melambatkan perubahan hidup ini, tetapi kurangnya penggunaan dari pikiran dan kecerdasan. (Mario Teguh)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini ku persembahkan untuk :

1. Bapakku dan Mamaku tercinta yang selalu mendukung dan mempercayaiku dalam setiap langkahku serta selalu memberikan do’a demi kesuksesanku.

2. Mba Yuli, Mba Tia, Mas Ipunk, Mas Hendy tersayang yang selalu mendukung, membimbing dan menyayangiku.

3. Sahabat-sahabat terdekatku, Teman-teman Geo ’07, KB Sejuk Kost dan seluruh Penghuni Sejuk Kost yang tak dapat ku sebutkan satu per satu.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat ALLAH SWT, dengan limpahan rahmat-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pelaksanaan Program

Wajib Belajar 9 Tahun di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal” sebagai

salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana pendidikan di Universitas Negeri

Semarang.

Penulis memperoleh bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak dalam

proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih sebesar – sebesarnya kepada :

1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M. Si. selaku Rektor Universitas Negeri

Semarang.

2. Drs. Subagyo, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas

Negeri Semarang.

3. Drs. Apik Budi Santoso, M. Si. selaku Ketua Jurusan Geografi Fakultas

Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

4. Drs. Saptono Putro, M. Si selaku Dosen Pembimbing I atas bimbingan dan

arahannya hingga terselesaikannya skripsi ini.

5. Drs. Tukidi, M. Pd. selaku Dosen Pembimbing II atas bimbingan dan

arahannya hingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Dra. Puji Hardati, M.Si selaku Penguji Utama atas bimbingan dan

arahannya hingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Para Dosen Jurusan Geografi atas ilmu yang telah diberikan selama

menempuh studi di Jurusan Geografi.

8. Para Staf TU Jurusan Geografi atas dukungan dan bantuan yang telah

diberikan selama kuliah di Jurusan Geografi.

9. Kepala Desa Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal terkait yang

telah membantu ijin dalam penelitian diwilayah penelitian skripsi ini.

10.Kepala UPT Dikpora Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal yang

(7)

vii

11.Bapak, Ibu dan Kakak-kakakku tercinta atas dukungan dan doa serta kasih

sayangnya, semoga engkau senantiasa berada dalam lindungan dan kasih

sayang Allah SWT.

12.Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, baik

secara langsung maupun tidak langsung.

Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis dapat diterima oleh

ALLAH SWT sebagai amal shaleh dan hanya ALLAH SWT yang dapat

membalas semua kebaikan bapak dan ibu semua. Akhir kata, Penulis berharap

semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Semarang, 22 September 2011

(8)

viii SARI

Laelia Nurpratiwiningsih. 2011.Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal. Skripsi. Jurusan Geografi. FIS. UNNES. Pembimbing I. Drs. Saptono, M. Si. Pembimbing II. Drs. Tukidi, M. Pd.

Kata kunci: Wajib Belajar 9 Tahun.

Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam pembangunan, karena dengan pendidikan masyarakat akan menjadi cerdas selanjutnya akan membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi. Setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 721 anak usia sekolah di Kecamatan Kedungbanteng pada tahun 2010 tidak melanjutkan pendidikan. Masalah dalam penelitian: (1) bagaimana pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun? (2) faktor-faktor apa yang menghambat pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun di Kecamatan Kedungbanteng?. Tujuan yang ingin dicapai: (1) untuk mengetahui pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun, (2) untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun di Kecamatan Kedungbanteng.

Populasi dalam penelitian adalah seluruh orang tua yang mempunyai anak usia 7-15 tahun yang tidak mengikuti program wajib belajar 9 tahun baik pada tingkat SD/MI atau SMP/MTs di Kecamatan Kedungbanteng. Jumlah populasinya yaitu 721 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara acak

menggunakan tehnik Proportional Random Sampling. Jumlah sampel penelitian

diambil 10% dari 10 desa yang tersebar di Kecamatan Kedungbanteng yaitu 72 orang tua yang memiliki anak usia 7-15 tahun tidak melanjutkan sekolah. Variabel yang digunakan, antara lain: karakter keluarga yang meliputi jumlah tanggungan anak dan jumlah keluarga inti, lingkungan keluarga dengan kondisi anak, tingkat pendidikan orang tua baik formal maupun nonformal, mata pencaharian orang tua, tingkat pendapatan orang tua dan aksesibilitas yang digunakan anak ketika sekolah. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi, wawancara, observasi dan angket. Metode dokumentasi untuk mengetahui data di Dinas Dikpora, BPPKB dan Kelurahan. Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi dari Kepala Sekolah dan Kepala UPTD Dikpora. Metode observasi digunakan untuk mengetahui kenyataan yang terdapat di lapangan mengenai keadaan geografis. Metode angket diberikan kepada orang tua yang memiliki anak usia 7-15 tahun yang tidak melanjutkan sekolah. Metode analisis data menggunakan metode deskriptif persentase.

(9)

ix

66,77% tingkat pendidikan orang tua, 65,28% mata pencaharian orang tua, 43,75% karakteristik keluarga, 63,87% lingkungan keluarga dan 61,35% aksesibilitas. Kecamatan Kedungbanteng terletak 7 km dari ibukota Kabupaten Tegal, dimana Kecamatan Kedungbanteng memiliki 10 desa dengan kondisi jalan dan kondisi rumah yang kurang baik.

(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

SARI ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Penegasan Istilah ... 7

F. Sistematika Skripsi ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pendidikan ... 11

B. Pelaksanaan Wajib Belajar ... 16

C. Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) 17 D. Tujuan dan Target Wajib Belajar ... 20

E. Tantangan dalam Wajib Belajar ... 21

F. Hambatan dalam Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun .... 24

G. Penelitian Relevan ... 33

(11)

xi

BAB III METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

B. Variabel Penelitian ... 41

C. Definisi Operasional ... 43

D. Metode Pengumpulan Data ... 47

E. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 48

F. Metode Analisis Data ... 52

G. Diagram Alir Penelitian ... 55

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Daerah Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Penelitian ... 56

2. Kondisi Penduduk Daerah Penelitian ... 60

B. Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun ... 67

1. Tingkat APK dan APM di Kabupaten Tegal ... 68

2. Perbandingan antara Jumlah Penduduk Usia 7-15 tahun yang Sekolah dan Tidak Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal tahun 2010 ... 78

3. Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2010 ... 80

C. Hambatan Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun ... 90

1. Karakteristik Keluarga yang Mempunyai Anak Usia 7-15 Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 91

2. Kondisi Lingkungan Keluarga yang Mempunyai Anak Usia 7-15 Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 93

(12)

xii

4. Jenis Pekerjaan Orang Tua yang Mempunyai Anak Usia 7-15

Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 99

5. Tingkat Pendapatan Orang Tua yang Mempunyai Anak Usia

7-15 Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 100

6. Aksesibilitas yang Digunakan Anak untuk Melakukan

Perjalanan dari Rumah Menuju ke Sekolah di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 101

D. Pembahasan ... 105

1. Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ………... 105

2. Hambatan Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun di

Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 .... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1.1.APK dan APM Kecamatan Kedungbanteng Tahun 2010 ... 3

Tabel 2.1.Beberapa Penelitian yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Program

Wajib Belajar 9 Tahun ... 37

Tabel 3.1.Orang Tua dari Anak Usia 7-15 Tahun yang Mengikuti maupun

Tidak Mengikuti Program Wajib Belajar 9 Tahun ... 41

Tabel 3.2.Klasifikasi Pendapatan Orang Tua ... 46

Tabel 3.3.Kriteria Deskriptif Persentase ... 55

Tabel 4.1.Banyaknya Perdukuhan RT dan RW Menurut Desa/ Kelurahan di

Kecamatan Kedungbanteng Tahun 2010 ... 58

Tabel 4.2.Luas Penggunaan Lahan Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan

Kedungbanteng Tahun 2010 (ha) ... 59

Tabel 4.3.Komposisi Penduduk Menurut Desa/Kelurahan dan Jenis

Kelamin di Kecamatan Kedungbanteng Tahun 2010 ... 60

Tabel 4.4.Komposisi Penduduk Menurut Desa/Kelurahan dan Kelompok

Umur di Kecamatan Kedungbanteng Tahun 2010 ... 62

Tabel 4.5.Jumlah Kepala Keluarga Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan

Kedungbanteng Tahun 2010 ... 63

Tabel 4.6.Kepadatan Penduduk Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan

Kedungbanteng Tahun 2010 ... 64

Tabel 4.7. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan

Kedungbanteng ... 65

Tabel 4.8. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan

Kedungbanteng ... 66

Tabel 4.9.Data APK/APM Siswa SD/MI dan SMP/ MTs di Kabupaten Tegal

Tahun 2011 ... 69

Tabel 4.10.Tingkat APK dan APM pada jenjang SD, SMP, SD dan SMP di

Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa

(14)

xiv

Tabel 4.11.Penduduk Menurut Kelompok Umur Usia Sekolah (7-15

Tahun) di Kecamatan Kedungbanteng Tahun 2010 ... 78

Tabel 4.12.Banyaknya SD dan SMP Menurut Statusnya di Kecamatan

Kedungbanteng Tahun Pelajaran 2010 ... 82

Tabel 4.13.Jumlah Anggota Keluarga yang Mempunyai Anak Usia 7-15

Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal pada Tahun 2011 ... 88

Tabel 4.14.Banyaknya Anak dari Orang Tua yang Memiliki Anak Usia

7-15 Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 92

Tabel 4.15.Dukungan Keluarga terhadap Anak Usia 7-15 Tahun yang Tidak

Melanjutkan Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten

Tegal Tahun 2011... 93

Tabel 4.16.Pengaruh Tempat Tinggal Anak Usia 7-15 Tahun yang Tidak

Melanjutkan Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten

Tegal Tahun 2011... 94

Tabel 4.17.Kesadaran Orang Tua yang Memiliki Anak Usia 7-15 Tahun

yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng

Kabupaten Tegal Tahun 2011 tentang Pendidikan ... 95

Tabel 4.18.Lingkungan Keluarga terhadap Anak Usia 7-15 Tahun yang

Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng

Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 96

Tabel 4.19.Pendidikan Formal Orang Tua yang Memiliki Anak Usia 7-15

Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 93

Tabel 4.20. Pendidikan Nonformal Orang Tua yang Memiliki Anak Usia

7-15 Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 97

Tabel 4.21.Lamanya Pendidikan Formal Orang Tua yang Mempunyai Anak

Usia 7-15 Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di

(15)

xv

Tabel 4.22.Lamanya Pendidikan Nonformal Orang Tua yang Memiliki

Anak Usia 7-15 Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di

Kecamatan Kedungbanteng Tahun 2011 ... 98

Tabel 4.23.Jenis Pekerjaan Pokok Orang Tua yang Memiliki Anak Usia

7-15 Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 99

Tabel 4.24.Tingkat Pendapatan Orang Tua yang Memiliki Anak Usia 7-15

Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 100

Tabel 4.25. Klasifikasi Pendapatan Orang Tua yang Memiliki Anak Usia

7-15 Tahun di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal

Tahun 2011 ... 101

Tabel 4.26.Waktu yang Dibutuhkan Anak untuk Melakukan Perjalanan dari

Rumah Menuju ke Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng

Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 102

Tabel 4.27.Jarak yang Ditempuh Anak Waktu yang Dibutuhkan Anak untuk

Melakukan Perjalanan dari Rumah Menuju ke Sekolah di

Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 102

Tabel 4.28.Kendaraan yang Digunakan Anak untuk Melakukan Perjalanan

dari Rumah Menuju ke Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng

Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 103

Tabel 4.29.Transportasi Umum yang Melewati Rumah Anak Usia 7-15

tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 104

Tabel 4.30.Aksesibilitas yang Digunakan Anak Usia 7-15 Tahun yang Tidak

Melanjutkan Sekolah dalam Melakukan Perjalanan dari Rumah

Menuju ke Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten

Tegal tahun 2011 ... 104

Tabel 4.31.Jumlah Penduduk Usia Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1.Kerangka Berfikir Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9

Tahun ... 37

Gambar 4.1.Peta Administrasi Kecamatan Kedungbanteng ... 57

Gambar 4.2.Grafik Perbandingan antara Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2010 ... 61

Gambar 4.3.Peta Pencapaian APK dan APM di Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 72

Gambar 4.4.Peta Pencapaian APK dan APM di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 77

Gambar 4.5.Grafik Jumlah Penduduk Usia 7-15 Tahun yang Sekolah dan Tidak Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng Tahun 2010 … .. 79

Gambar 4.6.Diagram Perbandingan Antara Jumlah Penduduk Usia 7-15 Tahun yang Sekolah dan Tidak Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng Tahun 2010 ... 80

Gambar 4.7.Peta Persebaran SD dan SMP di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal ... 81

Gambar 18.1.Penggunaan Sawah di Kecamatan Kedungbanteng ... 158

Gambar 18.2.Aktivitas Petani di Kecamatan Kedungbanteng ... 158

Gambar 18.3.Keadaan Jembatan di Kecamatan Kedungbanteng ... 158

Gambar 18.4.Kondisi Jalan di Kecamatan Kedungbanteng ... 158

Gambar 18.5.Kondisi SMP Negeri 1 Kedungbanteng ... 158

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Metode Pengumpulan Data Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9

Tahun di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal ... 117

2. Lembar Observasi ... 119

3. Lembar Dokumentasi ... 120

4. Kisi-kisi Instrument Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal ... 121

5. Wawancara Untuk Kepala UPT Dikpora ... 123

6. Wawancara Untuk Kepala Sekolah ... 124

7. Angket Penelitian ... 125

8. Uji Validitas dan Reabilitas ... 132

9. Perhitungan Validitas Angket ... 136

10. Perhitungan Reabilitas Angket ... 138

11. Tabulasi Pengisian Angket Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal ... 140

12. Hasil Tabel Rata-rata Analisis Angket Tahun 2011 ... 144

13. Perhitungan APK dan APM ... 150

14. Daftar Nama Anak yang Tidak Melanjutkan Sekolah di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal Tahun 2011 ... 152

15. Daftar Nama Orang Tua dari Anak Usia 7-15 Tahun yang Tidak Melanjutkan Sekolah ... 155

16. Surat Ijin Penelitian ... 156

(18)

1 A.Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam pembangunan

nasional, karena dengan adanya pendidikan bagi masyarakat akan menjadikan

masyarakat lebih maju dalam pemikirannya. Pemikiran masyarakat yang maju

akan membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi.

Pendidikan juga tidak lepas dari peran pemerintah. Pemerintah mengutamakan

pentingnya pendidikan bagi seluruh masyarakat dengan meningkatkan mutu

pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap

warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas

hidup bangsa Indonesia.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun

wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa

Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar

minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam

ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang

diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan

masyarakat. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut adalah Pemerintah

(19)

peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan

pendidikan lain yang sederajat (Departemen Pendidikan Nasional, 2010:36).

Salah satu indikator penuntasan program wajib belajar 9 tahun diukur

dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMP/sederajat. Penuntasan

progam wajib belajar 9 tahun yang bermutu pada tahun 2006-2009 bertujuan

untuk meningkatkan APK SMP/MTs/setara hingga mencapai minimal 95%. Pada

tahun 2009 APK nasional telah mencapai 98,11%, sehingga program wajib belajar

9 tahun telah tuntas sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan pemerintah

Indonesia dan bahkan target itu dapat dicapai 7 tahun lebih awal dibandingkan

dengan komitmen internasional yang dideklarasikan di Dakar mengenai

Education for All (EFA) tahun 2000 yang mewajibkan semua negara di dunia harus menuntaskan wajib belajar 9 tahun paling lambat 2015 nanti (Departemen

Pendidikan Nasional, 2010).

Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM)

memiliki arti yang berbeda. Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah

siswa berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu

terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang

pendidikan tertentu. Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa

dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk

di usia yang sama. APK dan APM dimaksudkan untuk mengetahui sukses

tidaknya upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan pada tingkat SD dan

(20)

Seluruh penduduk Kabupaten Tegal berhak untuk memperoleh pendidikan

yang layak. Pemerintah berkewajiban untuk selalu meningkatkan partisipasi

sekolah penduduk. Ratusan siswa SD di Kabupaten Tegal pada tahun 2010 sesuai

data dari Dinas Dikpora, siswa yang tidak melanjutkan ke SMP sebanyak 2000

orang (Putra, 2011). Kecamatan Kedungbanteng merupakan salah satu Kecamatan

di Kabupaten Tegal. Wilayah ini memiliki jumlah penduduk paling sedikit yaitu

43.402 jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 498 jiwa/km2. Jumlah penduduk

yang sedikit diharapkan dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya

dan dapat memanfaatkan serta mengelola Sumber Daya Alam yang ada pada

daerah sekitarnya. Keberadaan sekolah di wilayah ini diharapkan dapat

menunjang pendidikan sehingga anak dapat melanjutkan sekolah.

Tingkat APK dan APM pada jenjang SD dan SMP di Kecamatan

Kedungbanteng menurut Dinas Dikpora Kabupaten Tegal Tahun 2010, termasuk

dalam urutan ke 10 apabila dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain yang

berada di Kabupaten Tegal. Data APK dan APM di Kecamatan Kedungbanteng

tahun 2010 disajikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. APK dan APM Kecamatan Kedungbanteng Tahun 2010

Angka Partisipasi

Jenjang Pendidikan

APK (%) APM (%)

SD 104,93 101,57

SMP 70,76 69,07

Sumber: Dinas Dikpora Kabupaten Tegal Tahun 2010

Tingkat APK SD di Kecamatan Kedungbanteng tahun 2010 menunjukan

5% anak kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun di Kecamatan

(21)

Kedungbanteng tahun 2010 menunjukan jumlah murid SMP di Kecamatan

Kedungbanteng yang ada baru 71% dari penduduk umur 13-15 tahun. Pencapaian

APK SMP di Kecamatan Kedungbanteng tahun 2010 mengindikasikan belum

semua anak kelompok umur yang sesuai memperoleh pendidikan. Tingkat APM

SD di Kecamatan Kedungbanteng tahun 2010 menunjukan lebih dari 100% anak

berumur 7-12 tahun terserap di SD, sedangkan APM SMP di Kecamatan

Kedungbanteng tahun 2010 menunjukan 70% anak penduduk di Kecamatan

Kedungbanteng berumur 13-15 tahun telah terserap di SMP.

Peningkatan sumber daya manusia yang dilakukan lewat pendidikan

menghadapi beberapa kendala diantaranya faktor lingkungan fisik maupun non

fisik. Penuntasan keberhasilan wajib belajar 9 tahun dapat dipengaruhi oleh dua

faktor yaitu faktor internal (dalam diri) dan faktor eksternal (luar diri) siswa.

Faktor internal, meliputi: kemampuan, minat, motivasi, nilai-nilai dan sikap,

ekspektasi (harapan), dan persepsi siswa tentang sekolah. Faktor eksternal,

meliputi: latar belakang ekonomi orangtua, persepsi orangtua tentang pendidikan,

jarak sekolah dari rumah, hubungan guru-murid, usaha yang dilakukan

pemerintah. Banyaknya siswa yang tidak berhasil dalam belajar, termasuk

banyaknya anak-anak yang tidak sekolah bisa dilihat dari kedua aspek tersebut

(Alwen, 2007: 2).

Pendidikan sangat penting bagi masyarakat, maka dari itu peneliti tergugah

untuk mengadakan penelitian mengenai pendidikan pada suatu tempat. Fenomena

yang terjadi di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal adalah APK pada

(22)

anak usia 7-15 tahun yang belum memperoleh pendidikan. Dari penjelasan

tersebut, maka peneliti memilih judul “Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal”.

B.Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah

Identifikasi masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. tingkat APK dan APM di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal pada

tahun 2010 termasuk dalam urutan ke 10 dengan memiliki jumlah penduduk

usia 7-15 tahun paling sedikit apabila dibandingkan dengan kecamatan lain

yang berada di Kabupaten Tegal.

2. tingkat APK SMP di Kecamatan Kedungbanteng tidak sesuai dengan target

pemerintah yaitu jumlah murid SMP di Kecamatan Kedungbanteng yang ada

baru 71% dari penduduk umur 13-15 tahun, padahal pemerintah pada tahun

2009 menargetkan tingkat APK SMP sebesar 95%.

3. tingkat APM SMP di Kecamatan Kedungbanteng tahun 2010 menunjukan 70%

anak penduduk di Kecamatan Kedungbanteng usia 13-15 tahun telah terserap

di tingkat SMP, sisanya 30% penduduk di Kecamatan Kedungbanteng usia

13-15 tahun belum memperoleh pendidikan di tingkat SMP.

4. di Kecamatan Kedungbanteng masih terdapat anak usia 7-15 tahun yang tidak

sekolah, padahal pemerintah telah menetapkan program wajib belajar 9 tahun.

Permasalahan yang akan diteliti berdasarkan latar belakang yang telah

diuraikan adalah:

1. bagaimana pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun di Kecamatan

(23)

2. faktor-faktor apa yang menghambat pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun

di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan masalah yang muncul adalah:

1. untuk mengetahui pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal.

2. untuk mengidentifikasikan hambatan-hambatan pelaksanaan program wajib

belajar 9 tahun di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Tegal.

D.Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian adalah manfaat teoritis dan

manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Bagi Dinas Pendidikan, dapat memberikan informasi faktual tentang

kondisi fisik dan kondisi sosial ekonomi terhadap program wajib belajar 9

tahun agar dapat memberikan pertimbangan dalam menentukan kebijakan .

b. Bagi peneliti, dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai program wajib

belajar 9 tahun dan menerapkan ilmu pengetahuan yang di dapat di bangku

perkuliahan, serta membuktikan kesesuian teori dengan di lapangan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat, dapat memberikan masukan tentang visi pendidikan

sehingga dapat menyukseskan dan mendukung pelaksanaan program wajib

(24)

b. Bagi siswa, dapat memberikan motivasi kepada siswa agar tetap semangat

dalam mengikuti program wajib belajar 9 tahun.

E.Penegasan Istilah

Peneliti agar lebih mudah dalam melakukan penelitian, maka perlu

menegaskan beberapa istilah. Penegasan istilah dalam penelitian ini yaitu wajib

belajar 9 tahun, jumlah tanggungan orang tua, pendidikan orang tua, lingkungan

keluarga, jenis pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua dan aksesibilitas.

1. Wajib belajar 9 tahun

Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti

oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah

daerah (Departemen Pendidikan Nasional, 2010:216). Pendidikan minimal

yang dimaksud dalam penelitian adalah penduduk di Kecamatan

Kedungbanteng Kabupaten Tegal yang berusia 7-15 tahun harus mengikuti

program wajib belajar 9 tahun sampai dengan tamat.

2. Hambatan pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun

Hambatan pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun dalam

penelitian adalah jumlah tanggungan orang tua, pendidikan orang tua,

lingkungan keluarga, jenis pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua dan

aksesibilitas.

a. Jumlah Tanggungan Orang Tua

Jumlah tanggungan orang tua dalam penelitian adalah jumlah

anak yang dimiliki oleh orang tua anak usia 7-15 tahun yang tidak

(25)

b. Pendidikan Orang Tua

Pendidikan orang tua dalam penelitian, dilihat dari pendidikan

formal maupun pendidikan nonformal orang tua. Pendidikan formal yang

pernah ditempuh oleh orang tua, antara lain: pada jenjang SD, SMP,

SMA, Perguruan Tinggi maupun tidak pernah mengikuti sekolah.

Pendidikan nonformal yang pernah diikuti oleh orang tua, seperti: kursus

mengetik, kursus menjahit, kursus elektro ataupun kursus lainnya yang

pernah diikuti oleh orang tua.

c. Lingkungan Keluarga

Lingkungan keluarga dalam penelitian merupakan suatu tempat

tinggal dimana anak usia 7-15 tahun yang tidak sekolah tinggal.

Lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif

bagi anak, berupa: dukungan keluarga, keadaan tempat tingal maupun

kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan.

d. Jenis Pekerjaan Orang Tua

Jenis pekerjaan orang tua dalam penelitian adalah kegiatan yang

dilakukan oleh orang tua untuk mendapatkan sumber penghasilan hidup

sehari-hari yaitu pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan orang tua.

e. Pendapatan Orang Tua

Pendapatan adalah hasil yang berupa uang atau barang yang

diterimakan sebagai balas jasa atau kontra prestasi (BPS, 1996:8).

(26)

yang diperoleh seluruh anggota keluarga yang bekerja baik dari

penghasilan pokok ataupun sampingan.

f. Aksesibilitas

Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem

pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan

transportasi yang menghubungkannya (Tamin, 2000: 32). Faktor-faktor

yang menentukan aksesibilitas dalam penelitian ini adalah jarak yang

ditempuh anak untuk sekolah, waktu tempuh yang diperlukan anak untuk

sekolah, biaya/ongkos perjalanan yang dibutuhkan untuk sekolah dan

fasilitas transportasi yang digunakan anak ketika sekolah.

F. SISTEMATIKA SKRIPSI

Hasil penelitian agar lebih mudah dalam mempelajari, maka peneliti

membuat sistematika penulisan skripsi. Isi dari sistematika mewakili bab yang ada

dalam skripsi yang dibuat peneliti. Sistematika penulisan skripsi disusun menjadi

3 bagian yaitu: pendahuluan, isi dan penutup.

1. Bagian pendahuluan skripsi

Pendahuluan terdiri dari: halaman judul, sari penelitian, halaman

pengesahan, motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel

atau grafik dan daftar lampiran.

2. Bagian isi skripsi

BAB I : Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah penelitian,

perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian

(27)

BAB II : Landasan teori yang berisi tentang pengertian pendidikan,

pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, tujuan dan target wajib belajar 9

tahun, tantangan wajib belajar 9 tahun, dan hambatan program wajib

belajar 9 tahun.

BAB III : Metodologi penelitian yang berisi tentang populasi dan sampel

penelitian, variabel penelitian, definisi operasional, teknik

pengumpulan data, validitas dan reliabilitas instrumen, teknik

analisis data, dan diagram alir penelitian.

BAB IV : Hasil penelitian dan pembahasan yang berisi tentang uraian hasil

penelitian dan pembahasan.

BAB V : Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.

(28)

11 A. Pengertian Pendidikan

Pendidikan sangat dibutuhkan dalam penunjang pembangunan nasional

Indonesia. Pendidikan secara sederhana diartikan sebagai usaha manusia untuk

membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan

kebudayaan. Pasal 1 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, yang berbunyi: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendaliaan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara

(Departemen Pendidikan Nasional, 2010:12).

Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan

pembentukan ketrampilan saja, namun diperluas sehingga mewujudkan keinginan,

kebutuhan, dan kemampuan individu, sehingga tercipta pola hidup pribadi dan

sosial yang baik. Pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada

(29)

dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Departemen

Pendidikan Nasional, 2010:17).

Implikasi penyelenggaraan pendidikan meliputi: 1)kurikulum yang

dirancang dan diterapkan, 2)sistem evaluasi dan promosi yang dianut,

3)pendidikan dan tenaga kependidikan, terutama guru yang ditempuh,

4)pembiayaan pendidikan, dan 5)manajemen penyelenggaraan pendidikan

nasional (Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan UPI, 2007:21).

Tim Redaksi NPM (2009) menyatakan bahwa strategi penuntasan wajib

belajar pendidikan dasar 9 tahun dapat dibagi menjadi 3 pilar pembangunan

pendidikan, yaitu: 1)perluasan dan pemerataan pendidikan, 2)mutu, relevansi, dan

daya saing pendidikan, dan 3)tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa jalur

pendidikan terdiri dari atas pendidikan formal, pendidikan informal, dan

pendidikan nonformal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.

Pendidikan diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan atau

melalui jarak jauh.

1. Pendidikan Formal

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan

berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan

pendidikan tinggi (Departemen Pendidikan Nasional, 2010:98). Jadi,

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di

sekolah-sekolah pada umumnya dengan kegiatan yang sistematis, berstruktur,

(30)

tinggi dan yang setaraf dengannya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang

pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah,

sampai pendidikan tinggi.

a. Pendidikan dasar

Pendidikan dasar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan

ketrampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam masyarakat,

serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah

(Ihsan, 1995:23). Pendidikan dasar pada prinsipnya merupakan pendidikan

yang memberikan bekal dasar bagi perkembangan kehidupan baik untuk

pribadi maupun untuk masyarakat. Karena itu, bagi setiap warga negara harus

disediakan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar. Pendidikan ini

dapat berupa pendidikan sekolah ataupun pendidikan luar sekolah, yang dapat

merupakan pendidikan biasa ataupun pendidikan luar sekolah yang dapat

merupakan pendidikan biasa ataupun pendidikan luar biasa.

Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang

pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah

(MI) atau bentuk lain yang sederajat, dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)

dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat (Departemen

Pendidikan Nasional, 2010:24).

b. Pendidikan menengah

Pendidikan menengah adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta

didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan

(31)

dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja (Ihsan,

1995:22). Pendidikan menengah terdiri dari pendidikan menengah umum dan

pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah umum diselenggarakan

selain untuk mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan tinggi juga

untuk memasuki lapangan kerja. Pendidikan menengah kejuruan

diselenggarakan untuk mengikuti lapangan kerja atau mengikuti pendidikan

keprofesian pada tingkat yang lebih tinggi. Pendidikan menengah dapat

merupakan pendidikan biasa atau pendidikan luar biasa.

Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

menyebutkan bahwa Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas

(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan

Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat

(Departemen Pendidikan Nasional, 2010:25).

c. Pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik

untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki tingkat kemampuan tinggi

yang bersifat akademik dan atau professional sehingga dapat menerapkan,

mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni

dalam rangka pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan

manusia. (Ihsan, 1995:23).

Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi,

(32)

pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Departemen

Pendidikan Nasional, 2010:26).

2. Pendidikan Informal

Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan keluarga dan lingkungan

berbentuk kegiatan belajar secara mandiri (Departemen Pendidikan Nasional,

2010:30). Pendidikan informal dengan kata lain adalah proses yang

berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap,

ketrampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup

sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan

keluarga, hubungan dengan tetanga, lingkungan pekerjaan, dan permainan,

pasar, perpustakaan, dan media masa.

3. Pendidikan Nonformal

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga

pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis

taklim serta satuan pendidikan yang sejenis (Departemen Pendidikan Nasional,

2010:31). Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan

formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan

nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan

pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap

pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Fungsi pendidikan nonformal adalah mengembangkan potensi peserta didik

dengan menekankan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional

(33)

meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan

kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan,

pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta

pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta

didik.

B.Pelaksanaan Wajib Belajar

UU No. 47 tahun 2008 tentang wajib belajar mengamanatkan bahwa

setiap warga Negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

Pasal 1 menyebutkan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal

yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah

dan pemerintah daerah. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang

melandasi jenjang pendidikan menengah, bentuk SD dan MI/ bentuk lain yang

sederajat serta SMP dan Madrasah Tsanawiyah/ bentuk lain yang sederajat.

Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia bukanlah

wajib belajar dalam arti compulsory education, seperti yang dilaksanakan di

negara-negara maju, dengan ciri-ciri: (1) ada unsur paksaan agar peserta didik

bersekolah, (2) diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar, (3) tolak ukur

wajib belajar 9 tahun adalah tidak ada orang tua yang terkena sanksi, karena telah

mendorong anaknya tidak bersekolah, dan (4) ada sanksi bagi orang tua yang

membiarkan anaknya tidak sekolah (Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan UPI,

2007:121).

Pelaksanaan pendidikan dasar untuk semua tentunya diperlukan

(34)

Pembangunan yang diadopsi oleh Sidang Umum bulan Desember Tahun 1986.

Kewajiban Negara dalam hal ini kewajiban pemerintah daerah untuk

melaksanakan wajib belajar diperlukan hal-hal sebagai berikut: 1)tersedianya

sarana, seperti: gedung sekolah dan tempat pelaksanaan wajib belajar lainnya

(appealability), 2)keterjangkauan (accessability) sarana pelaksanaan wajib

belajar), 3)penerimaan (acceptability) yaitu diterima tidaknya bentuk

kelembagaan pendidikan oleh rakyat, dan 4)kesesuaian (adaptability) yaitu

kesesuaian lembaga-lembaga pendidikan dengan kebutuhan lingkungannya

(Tilaar, 2006:165).

Program pendidikan wajib belajar 9 tahun pada hakekatnya berfungsi

memberikan pendidikan dasar bagi setiap warga negara Indonesia yang berusia

7-15 tahun agar masing-masing memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan

kemampuan dasar yang diperlukan untuk dapat berperan serta dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

C.Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM)

Pembangunan manusia adalah proses agar manusia mampu memiliki lebih

banyak pilihan dalam hal pendapatan, kesehatan, pendidikan, lingkungan fisik dan

sebagainya. Badan Pusat Statistik (2010) menjelaskan konsep Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) adalah mengukur pencapaian keseluruh negara atau

provinsi. IPM mengukur pencapaian kemajuan pembangunan sosial dan ekonomi

di negara atau provinsi tertentu. IPM direpresentasikan oleh 3 dimensi, yaitu umur

panjang dan sehat (longevity), pengetahuan (knowledge) dan hidup yang layak

(35)

panjang dan sehat adalah angka harapan hidup. Dimensi pengetahuan diukur

dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, sedangkan dimensi

kehidupan yang layak diukur dengan paritas daya beli (purchsing power parity/

PPP).

Keberhasilan Indonesia untuk menurunkan peringkatnya selama periode

2007-2009 dari urutan ke-55 (2007) menjadi ke-60 (2008) dan ke-62 (2009)

mengalami kenaikan lagi pada tahun pertama periode kedua pemerintahan

Presiden SBY. Tahun 2010, peringkat Indonesia naik satu tingkat menjadi urutan

ke-61. Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) merilis, indeks

pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada di urutan ke-124 dari 187 negara

yang disurvei. IPM Indonesia hanya 0,617, jauh di bawah Malaysia di posisi 61

dunia dengan angka 0,761. UNDP menggunakan versi rata-rata lama sekolah 5,8

tahun diukur dari penduduk usia 25 tahun ke atas, sementara Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan memakai data Susenas 2010 Badan Pusat Statistik,

yaitu rata-rata lama sekolah 7,9 tahun diukur dari penduduk usia 15 tahun ke atas

(Arif, 2011).

Strategi pokok yang dituangkan dalam Repelita VI dirumuskan karena

masih ditemukannya masalah mendasar dalam bidang pendidikan. Program

pendidikan diperlukan indikator yang handal. Indikator proses pendidikan

menunjukkan keadaan proses pendidikan yang diimplementasikan terjadi di

masyarakat. Sumber data yang dipakai berasal dari sensus atau survey dengan

(36)

dibutuhkan dalam mengetahui indikator proses pendidikan, antara lain: APK,

APM dan rata-rata lama sekolah.

a. Angka Partisipasi Kasar (APK)

Indikator APK mengukur proporsi anak sekolah pada suatu jenjang

pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang

pendidikan tersebut, tetapi indikator ini lebih banyak bercerita tentang

keberhasilan sistem pendidikan dalam mendidik anak dan remaja, bukan pada

penduduk dewasa. APK memberikan gambaran secara umum tentang

banyaknya anak yang sedang/telah menerima pendidikan pada jenjang tertentu.

APK biasanya diterapkan untuk jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SLTA.

Husaini (2010:20) dalam menghitung nilai APK menggunakan rumus sebagai

berikut:

b. Angka Partisipasi Murni (APM)

Indikator APM menunjukkan proporsi anak sekolah pada satu

kelompok umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan

kelompok umurnya. APM selalu lebih rendah dibanding APK karena

pembilangnya lebih kecil (sementara penyebutnya sama). APM membatasi usia

murid sesuai dengan jenjang pendidikan sehingga angkanya lebih kecil karena

menunda saat mulai bersekolah, murid tidak naik kelas, berhenti/keluar dari

sekolah untuk sementara waktu, dan lulus lebih awal. APM diterapkan untuk

jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menegah. Husaini (2010:20)

(37)

c. Rata-rata lama sekolah

Rata-rata lama sekolah menggambarkan tingkat pencapaian setiap

penduduk dalam kegiatan bersekolah. Semakin tinggi angka lamanya

bersekolah semakin tinggi jenjang pendidikan yang telah dicapai penduduk.

Indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel

secara simultan; yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang

pendidikan tertinggi yang ditamatkan.

Rata-rata lama sekolah mayoritas penduduk di Indonesia masih relatif

rendah dan dalam kondisi memprihatinkan, yakni baru mencapai semester satu

kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Rata-rata lama sekolah

penduduk usia 15 tahun ke atas yakni 7,5 tahun atau setara dengan kelas dua

SMP atau semester satu sekolah menengah pertama (EKSPOSnews, 2011).

D.Tujuan dan Target Wajib Belajar

Tim Redaksi NPM (2009:145) mengungkap bahwa penuntasan program

wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu pada tahun 2006-2009

bertujuan untuk:

1. meningkatkan Angka Partisipasi Kasar SMP/ MTs setara hingga mencapai

minimal 95%.

2. menurunkan angka putus sekolah SMP dari 2,83% menjadi 2%.

3. meningkatkan kualitas lulusan dengan indikator 70% peserta Ujian Nasional

(38)

4. melengkapi sarana pendidikan sehingga 75% SMP memenuhi Standar Nasional

Pendidikan, antara lain: minimal 80% SMP mempunyai perpustakaan, 50%

SMP memiliki Laboratorium IPA, 50% SMP memiliki laboratorium bahasa,

dan 80% SMP mempunyai ruang ketrampilan yang memadai.

5. menyelenggarakan minimal satu rintisan SMP bertaraf internasional di setiap

kabupaten/ kota.

6. terbentuk dan berfungsinya jaringan sistem informasi pendidikan di setiap

propinsi di seluruh Indonesia dengan baik.

7. meningkatnya mutu pengelolaan SMP dengan 70% SMP Menjalankan

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan baik.

8. meningkatkan kesadaran akan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan

pendidikan.

Wajib belajar berfungsi untuk mengupayakan perluasan dan pemerataan

kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi warga negara Indonesia.

Tujuan program wajib belajar 9 tahun adalah memberikan kesempatan pendidikan

minimal bagi setiap warga negara Indonesia agar dapat mengembangkan potensi

yang ada pada dirinya dan dapat hidup mandiri di dalam masyarakat. Pendidikan

minimal yang dimaksud adalah masyarakat yang berusia 7-15 tahun wajib

mengikuti program wajib belajar 9 tahun yaitu 6 tahun di tingkat SD/MI/sederajat

dan 3 tahun di tingkat SMP/MTs/sederajat.

E.Tantangan dalam Wajib Belajar

Tim Redaksi NPM (2009:149) mengungkapkan bahwa penuntasan wajib

(39)

Kasar (APK) pada tingkat SMP sebesar 95% dihadapkan pada sejumlah tantangan

dalam pelaksanaanya.

1. Masih ada sekitar 1,9 juta anak usia 13-15 tahun belum tertampung

Masih terdapat anak yang belum sekolah karena berbagai alasan, masih masih

ada sekitar 1,9 juta anak usia 13-15 tahun di berbagai daerah di Indonesia

belum memperoleh layanan pendidikan SMP atau sederajat.

2. APK SMP dari 146 kabupaten di bawah 75%

Tahun 2005 APK SMP secara nasional telah mencapai 85,22%. Namun

demikian, masih terdapat 146 kabupaten yang angka APK SMP-nya masih

rendah di bawah 75%, di bawah APK nasional. Tanpa upaya-upaya khusus,

kabupaten-kabupaten tersebut akan terlalu sulit untuk mencapai APK 95%

pada tahun 2008/2009. Selain itu, angka absolut anak yang belum tetampung

pada daerah padat penduduk masih sangat tinggi.

3. Kondisi geografis yang sulit

Anak-anak usia 13-15 yang belum mendapatkan layanan pendidikan umumnya

berdomisili di daerah terpencil, terisolir, dan terpencar-pencar dalam komunitas

kecil. Kondisi geografis yang tidak terjangkau membuat anak sulit berangkat

sekolah. Kondisi geografis daerah mereka tinggal merupakan kendala dalam

pengadaan layanan pendidikan bagi mereka yang membutuhkan.

4. Kemiskinan

Kemiskinan sebagai akibat dari krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih

dan penyesuaian harga BBM dan TDL, jumlah keluarga miskin di Indonesia

(40)

sekolah (angka putus sekolah pada tahun 2005 sebesar 2,83%) dan

ketidakmampuan orang tua menyekolahkan anaknya kejenjang yang lebih

tinggi.

5. Kesadaran tentang pentingnya pendidikan

Sebagian masyarakat, terutama yang berpendidikan rendah, masih memandang

bahwa pendidikan kurang penting. Mereka beranggapan bahwa bekerja lebih

menguntungkan bagi anak tanpa menyadari bahwa pendidikan lebih

menguntungkan untuk jangka panjang.

6. Peran PEMDA belum optimal

Sebagian besar PEMDA Tingkat II belum optimal dalam melaksanakan

kewajiban dalam pembangunan pendidikan dengan baik. Sejumlah PEMDA

Tingkat II bahkan terkesan mengabaikan sektor pendidikan. Hal ini terlihat,

antara lain: masih rendahnya alokasi APBD dan perhatian birokrat pada sektor

pendidikan. Penyebab utama dari rendahnya partisipasi ini adalah kurangnya

pemahaman mereka akan tugas dan tanggung jawabnya dalam

penyelenggaraan pendidikan, sehingga banyak tugas dan tanggungjawab yang

tidak dilaksanakan dengan baik.

7. Peran perguruan tinggi perlu dioptimalkan

Perguruan tinggi idealnya memerankan dirinya secara aktif sebagai agen dan

katalisator perubahan dalam berbagai bidang, termasuk dalam penuntasan

wajib belajar. Namun demikian, selama ini peran yang mereka mainkan masih

(41)

yang secara nyata dan signifikan memberi kontribusi kepada penuntasan wajib

belajar sangat lemah.

8. Sarana dan prasarana pendidikan kurang memadai

Daerah-daerah terpencil dan terisolir sarana dan prasarana pendidikannya

masih sangat terbatas. Gedung sekolah masih belum memadai atau bahkan

belum ada, belum didukung oleh fasilitas pembelajaran yang memadai.

Sebagia akibatnya, sebagian anak usia sekolah terpaksa tidak memperoleh

layanan pendidikan atau mendapatkan layanan pendidikan dengan kualitas

memadai.

F. Hambatan dalam Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun

Keberhasilan Program Wajib Belajar 9 Tahun, menurut Sukardi (2010)

dapat dibagi menjadi 2 faktor, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal merupakan faktor yang dipengaruhi dari dalam individu. Faktor internal,

meliputi: kemampuan anak, minat sekolah, ekspektasi (harapan) anak, persepsi

siswa tentang sekolah dan aspirasi/ cita-cita anak. Faktor eksternal yang

dipengaruhi oleh keadaan dari luar individu tersebut, meliputi: kondisi geografis,

kondisi sosial ekonomi, keutuhan keluarga, persepsi orang tua, dan ketersedian

sarana prasarana.

Penelitian Abdillah (2010) menyebutkan bahwa permasalahan dalam

program wajib belajar 9 tahun, antara lain: tingkat pendidikan orang tua

mempunyai angka partisipasi yang rendah, mata pencaharian/pekerjaan dan

pendapatan orang tua mempunyai angka partisipasi yang sangat rendah,

(42)

angka partisipasi lingkungan tempat tinggal rendah, kesadaran orang tua tentang

pentingnya pendidikan terhitung rendah, faktor aksesibilitas tidak terlalu menjadi

suatu masalah.

Penelitian pada skripsi ini akan mengkaji 6 (enam) permasalahan yang

diduga menghambat pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun dilihat dari faktor

eksternalnya, yakni: karakteristik keluarga, lingkungan keluarga, pendidikan

orang tua, jenis pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua dan aksesibilitas yang

digunakan anak untuk melakukan perjalanan menuju ke sekolah.

1. Karakter Keluarga

Kondisi sosial adalah keadaan yang berkaitan dengan masyarakat,

kondisi ini selalu mengalami perubahan melalui proses dan interaksi sosial.

Interaksi sosial berarti proses hubungan yang saling mempengaruhi, bisa terjadi

antar individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok

dengan kelompok (Subandiroso, 1987:45).

Keluarga adalah kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari suami,

istri dan anak yang belum dewasa. Setiap keluarga memiliki karakter keluarga

tersendiri. Apabila salah satu dari unsur-unsur tersebut tidak ada, misal ada ibu

namun tidak ada ayah (baik karena meninggal atau bercerai), maka keluarga

tersebut tidak bisa dikatakan sebagai keluarga yang utuh lagi. Ini disebut

keutuhan keluarga secara stuktur. Disamping itu, ada pula keutuhan dalam

interaksi, yaitu adanya interaksi sosial yang wajar (harmonis). Ketidakutuhan

keluarga tentunya berpengaruh negatif bagi perkembangan sosial seorang anak

(43)

Keluarga inti terdiri dari beberapa individu, yaitu ayah, ibu dan anak.

Setiap individu menjadi tanggungan dalam keluarga tersebut. Jumlah

tanggungan adalah banyaknya orang yang menjadi tanggung jawab (secara

materi) oleh orang tua. Semakin banyak jumlah tanggungan, maka semakin

banyak pula dana yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Rismawati (2010:20) mengatakan jumlah tanggungan keluarga digolongkan

menjadi 4, yaitu 1) lebih dari 10 orang berarti sangat banyak tanggungan, 2)

7-9 orang berarti banyak tanggungan, 3) 5-6 orang berarti tanggungan sedang,

dan 4) 1-4 orang berarti tanggungan sedikit .

2. Lingkungan Keluarga

Kondisi sosial, interaksi sosial dapat dilakukan pada keluarga. Keluarga

dilihat dari segi pendidikan merupakan satu kesatuan hidup (sistem sosial) dan

keluarga menyediakan situasi belajar. Sebagai satu kesatuan hidup bersama

(sistem sosial), keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ikatan kekeluargaan

membantu anak mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan

antar pribadi, kerjasama, disiplin, tingkah laku yang baik serta pengakuan akan

kewibawaan. Tugas utama keluarga bagi pendidikan adalah sebagai peletak

dasar bagi pendidik akhlak dan pandangan hidup keagamaan, sifat dan tabiat

anak sebagian besar diambil dari kedua orangtuanya dan dari anggota keluarga

yang lain (Hasbullah, 2009:89).

Lingkungan keluarga adalah daerah atau kawasan tempat suatu

kelompok sosial terkecil yang terdiri dari keluarga dan anak, dimana anak

(44)

perubahan–perubahan baru yang akan diperlukan dalam masyarakat. Di dalam keluarga anak belajar bersikap, berfikir dan bergaul dengan sesamanya, agar

anak dapat berfikir dan bergaul dengan baik diperlukan peranan keluarga untuk

membimbing dan mengarahkannya demi keberhasilan pendidikan anak.

Bagi keluarga yang tidak mampu, akan merasa berat dalam memenuhi

biaya pendidikan. Keputusan untuk tidak menyekolahkan anak sebagai akibat

adanya nilai ekonomis anak yang tinggi bagi orang tua. Masih adanya

anggapan orang tua bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin hari depan yang

lebih baik (Rismayanti, 2010:20).

3. Pendidikan Orang Tua

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam

tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orang tua

dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan

anak yang baik, menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan sebagainya

(Rokhana, 2005:19).

Pendidikan orang tua dapat berpengaruh terhadap pola asuh orang tua

terhadap anak. Bagaimana orang tua dapat memberikan pendidikan di dalam

keluarga, sekolah maupun dalam bermasyarakat. Jenjang pendidikan yang

didapat orang tua antara lain: SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi. Hal

ini dapat diperoleh dari ijasah terakhir yang diterima orang tua.

4. Jenis Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan adalah suatu pernyataan tertulis yang menguraikan fungsi,

(45)

pekerjaan tertentu lainnya (Handoko, 1997:47). Pekerjaan dapat dikatakan

adalah pencaharian, barang yang dijadikan pokok penghidupan, suatu yang

dijadikan untuk mendapatkan nafkah. Jenis pekerjaan orang tua merupakan

kegiatan yang dilakukan oleh orang tua untuk mendapatkan sumber

penghasilan hidup. Jenis pekerjaan dapat berupa pekerjaan pokok ataupun

sampingan. Macam-macam pekerjaan yang dapat dilakukan oleh orang tua,

antara lain: polisi, tentara, guru, pegawai bank, karyawan, pengusaha,

pedagang, petani, dll.

5. Pendapatan Orang Tua

Faktor ekonomi keluarga banyak menentukan dalam belajar anak.

Misalnya anak dalam keluarga mampu dapat membeli alat-alat sekolah

lengkap, sebaliknya anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat membeli

alat-alat itu. Dengan alat-alat serba tidak lengkap inilah maka hati anak-anak menjadi

kecewa, mundur, putus asa sehingga dorongan belajar mereka kurang (Ahmadi,

2007:266).

Profesor P.A Samuel mengatakan bahwa ilmu ekonomi adalah suatu

studi mengenai individu-individu dan masyarakat membuat pilihan, dengan

atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumber daya yang terbatas

tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai cara

untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa dan mendiskripsikannya

untuk kebutuhan konsumsi, sekarang dan di masa datang, kepada berbagai

(46)

Kondisi ekonomi adalah kondisi yang menghendaki seseorang, suatu

masyarakat membuat keputusan tentang cara terbaik untuk melakukan sesuatu

kegiatan ekonomi. Sedangkan kegiatan ekonomi didefinisikan sebagai kegiatan

seseorang atau suatu masyarakat untuk memproduksikan barang dan jasa

maupun mengkonsumsi (menggunakan) barang dan jasa tersebut (Sukirno,

1996:4). Jadi, kondisi ekonomi adalah keadaan seseorang dalam hal keuangan

rumah tangga. Kegiatan ekonomi yang dapat berlangsung karena aktivitas

manusia dalam memenuhi kebutuhan. Kondisi ekonomi keluarga meliputi

usaha orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup (pekerjaan orang tua),

pendapatan efektif (penghasilan orang tua) dan pemenuhan kebutuhan rumah

tangga.

Rokhana (2005:8) mengungkapkan bahwa pendapatan yaitu seluruh

penerimaan baik berupa uang maupun barang baik dari pihak lain maupun dari

hasil sendiri. Pendapatan yang diperoleh seluruh anggota keluarga yang

bekerja. Orang tua dengan penghasilan yang tinggi akan mampu memenuhi

berbagai macam sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan belajar anak.

Pendapatan orang tua merupakan sebuah penghasilan yang didapat orang tua

sebagai hasil jerih payahnya selama bekerja. Pendapatan orang tua dapat

diperoleh selama tiap hari, tiap minggu, atau tiap bulan setelah bekerja.

Klasifikasi pendapatan dapat didasarkan pada Upah Minimum Regional

(UMR) atau Upah Minimum Kabupaten (UMK). Pendapatan keluarga

dikatakan tinggi bila pendapatan tiap bulan lebih besar dari UMK, sedangkan

(47)

Sumardi dan Hans Evert (1983;15) menyebutkan bahwa tingkat

ekonomi masyarakat disesuaikan dengan pendapatan dibagi menjadi 3

tingkatan yaitu ekonomi tinggi, ekonomi sedang dan ekonomi rendah.

a. Ekonomi tinggi

Golongan yang berpenghasilan tinggi adalah golongan yang

mempunyai penghasilan atas pekerjaannya jauh lebih besar dibandingkan

dengan kebutuhan pokoknya. Kebutuhan pokok adalah kebutuhan esensial

yang sedapat mungkin harus dipenuhi. Kebutuhan esensial ini seperti

makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, partisipasi,

transportasi, perawatan pribadi dan rekreasi.

b. Ekonomi sedang/ menengah

Golongan berpenghasilan sedang sudah dekat dengan golongan yang

berpenghasilan tinggi. Ini berarti golongan yang berpenghasilan ekonomi

sedang cenderung masih dapat menyisihkan hasil kerjanya untuk kebutuhan

lain yang sifatnya tidak esensial.

c. Ekonomi rendah

Ekonomi rendah adalah golongan miskin yang memperoleh

pendapatannya sebagai imbalan atas pekerjaanya yang jumlahnya sangat

sedikit apabila dibandingkan pemenuhan kebutuhan pokoknya. Kebutuhan

esensial tidak dapat terpenuhi maksimal.

6. Aksesibilitas

Lingkungan tempat tinggal adalah tempat anak–anak tinggal,

(48)

sangat mempengaruhi kegiatan belajar anak. Anak–anak yang tinggal di daerah kumuh akan ikut terbawa pada kondisi yang tidak mementingkan kegiatan

belajar (Kamanto, 1988:90).

Kondisi lingkungan sekitar yang dengan sengaja digunakan sebagai alat

dalam proses pendidikan. Lingkungan berfungsi sebagai wadah atau lapangan

terlaksananya proses pendidikan. Lingkungan fisik berupa alam atau benda

fisik, seperti rumah, pakaian, tanah datar, pegunungan, sawah dan lain-lain

(Hasbullah;2007).

Letak merupakan suatu keadaan relatif pada suatu wilayah. Letak dapat

dilihat pada letak bujur maupun letak lintangnya. Dari letak tersebut dapat

dilihat kondisi wilayah tersebut. Sedangkan topografi adalah kondisi alam yang

merintangi atau mempersulit perjalanan antar dua daerah (Soekadijo,

2000:137).

Aksesibilitas adalah kemudahan pencapaian terhadap suatu daerah.

Semakin dekat dengan jarak antar daerah berarti semakin mudah kontak terjadi

(Bintarto, 1979:16). Jarak antara rumah dengan sekolah dapat mempengaruhi

minat siswa dengan sekolah, sehingga menimbulkan sikap dan motivasi yang

baik terhadap orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah terdekat.

Jarak menjadi salah satu faktor dalam aksesibilitas. Jarak adalah sebagai

sesuatu yang dapat diukur, adalah dasar dari studi geografi. Jarak menjadi

objek utama dalam pembicaraan mengenai karateristik suatu kawasan di atas

(49)

dicapai dan membutuhkan banyak biaya. Dengan jarak yang jauh maka untuk

ke sekolah dibutuhkan biaya yang lebih.

Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan

tata guna lahan secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang

menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau

kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain

dan „mudah‟ atau „susah‟nya lokasi tersebut dicapai melalui sistem jaringan

transportasi (Tamin, 2000:32).

Miro (2005:20) menyebutkan faktor-faktor yang menentukan tinggi

rendahnya aksesibilitas, sebagai berikut ini:

a. Faktor waktu tempuh

Faktor ini sangat ditentukan oleh ketersediaan prasarana transportasi

dan sarana transportasi yang dapat diandalkan. Contohnya adalah dukungan

jaringan jalan yang berkualitas yang menghubungkan daerah asal dengan

daerah tujuan. Cepat lamanya waktu yang diperlukan dapat mempengaruhi

anak untuk mau melakukan perjalanan ke sekolah.

b. Faktor biaya/ongkos perjalanan

Biaya perjalanan ini berperan dalam menentukan mudah tidaknya

tempat tujuan dicapai, karena ongkos perjalanan yang tidak terjangkau

mengakibatkan orang (terutama kalangan ekonomi bawah) enggan atau

bahkan tidak melakukan perjalanan. Begitu pula dengan biaya perjalanan

yang dibutuhkan oleh seorang anak untuk mencapai sekolah mereka.

(50)

ongkos/ biaya yang lebih banyak jika dibandingkan dengan letak sekolah

yang dekat dengan mereka.

c. Fasilitas transportasi

Fasilitas transportasi adalah sektor yang sangat penting karena

transportasi sebagai sarana seseorang untuk melakukan perjalanan.

Keterkaitan fasilitas transportasi dengan pendidikan adalah bahwa

tercukupinya sarana dan prasarana transportasi mempengaruhi anak untuk

melanjutkan pendidikannya di sekolah.

G.Penelitian Relevan

Peneliti memperluas pengetahuan dengan menambahkan penelitian

terlebih dahulu sebagai pembanding dalam penelitiannya. Pembanding dilihat

mulai dari judul penelitian, tujuan, variabel, metode, dan hasil penelitian.

Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang lain memiliki karakteristik

(51)

No Judul Oleh Tahun Variabel Metode Kesimpulan

1. Pencapaian Program

Wajib Belajar 9

Tahun di Kecamatan

Bodeh Kabupaten

Pemalang

Duana Bagus Abdillah

2010 a. Pencapaian program

wajib belajar 9 tahun:

− Nilai APK dan APM

− Ketersediaan alat-alat

penunjang program wajib belajar 9 tahun

b. Permasalahan dalam

program wajib belajar 9 tahun:

− Tingkat pendidikan

orang tua

− Pekerjaan dan

pendapat orang tua

− Karakteristik keluarga

− Pengaruh lingkungan

tempat tinggal

Gambar

Tabel 2.1. Beberapa Penelitian yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun
Gambar 2.1. Kerangka Berfikir Pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 Tahun Tercapai
Tabel 3.1. Jumlah Orang Tua dari Anak Usia 7-15 Tahun yang Tidak maupun
Tabel 3.3 Kriteria Deskriptif Persentase
+7

Referensi

Dokumen terkait

The first file initializes the default values of converter parameters: the input voltage E, the inductance value L, the capacitor value C, the load value R, the switching

Menyatakan bahwa “Tugas Akhir” yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada progam studi Diploma Tiga D-III Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri UIN Maulana

[r]

Universitas Kristen

Seminar Nasional On Accounting 2010 “ Peran Akuntansi Dalam Pemberantasan Korupsi”, tanggal 28 April 2010, diselenggarakan oleh Kelompok Studi Akuntansi,

Profil Kesehatan Tahun 2016 ini merupakan salah satu wujud akuntabilitas dari Dinas Kesehatan Kota Depok yaitu sebagai salah satu keluaran dari upaya peningkatan sistem

integrasi ilmu agama dan ilmu umum ( sekuler) dalam level metodologis yang tentunya dalam aplikasinya berhubungan dengan integrasi ontologis dan klasifikasi ilmu... Al-Qur’an