• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancangbangun model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rancangbangun model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula"

Copied!
246
0
0

Teks penuh

(1)

RANCANGBANGUN

MODEL SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN INTELIJEN

UNTUK ANALISIS PERBAIKAN KINERJA

PABRIK GULA

Triwulandari Satitidjati Dewayana

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul

Rancangbangun Model Sistem Penunjang Keputusan Intelijen untuk Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula merupakan gagasan dan hasil penelitian saya dengan arahan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas

ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan

informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa

kebenarannya. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2011

Triwulandari Satitidjati Dewayana

(3)

ABSTRACT

TRIWULANDARI SATITIDJATI DEWAYANA. Design of Intelligent Decision Support System Model for Sugar Factory Performance Improvement Analysis. Supervised by M. SYAMSUL MA’ARIF, SUKARDI, dan SAPTA RAHARJA.

Main problems faced by sugar factories in Indonesia are low productivity and efficiency. These two aspects became the most important factors in improving sugar factory performance. Performance improvement consist of performance measurement, performance objectives, and improvement priorities setting. Since analysis of performance improvement research in sugar factories Indonesia were very limited, more research in this area are required. The purpose of this research was to design an intelligent decision support system model for sugar factory performance improvement analysis. Aspects of performance being studied were strategic performance, operational performance, and tactical performance. Objects of research are small, medium and large scale sugar factories under PTPN X. Model and prototype of performance improvement analysis resulted from this study consist of five sub-models: classification, performance measurement, best performance selection, best practice analysis, and setting performance improvement priority. To verify and validate the model, we use performance data from sugar factories during 2008 and confirmation from experts. The implementation of model results indicate that: 1) intelligence decision support system model for the analysis of the performance improvement of the sugar factory is an integrated model to achieve the objective analysis of the performance improvement in terms of determining the performance, performance targets, and priorities for performance improvement; 2) model can be used to measure strategic performance, operational performance, and especially on the tactical performance of the internal process perspective of the sugar factory; 3) output of the model selection of the best performance set as the a minimum target performance can improve the performance of strategic and operational performance of the sugar factory; and 4) model can be used to determine the priority of the sugar factory improvements and suggestions for improvement.

(4)

RINGKASAN

TRIWULANDARI SATITIDJATI DEWAYANA. Rancangbangun Model Sistem Penunjang Keputusan Intelijen Untuk Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA’ARIF, SUKARDI, dan SAPTA RAHARJA.

Industri gula Indonesia merupakan industri manufaktur yang berkembang pertama kali di Indonesia dimana pada masa kejayaannya (tahun 1930-an) pernah menjadi negara eksportir gula ke dua di dunia setelah Kuba. Namun, sejak tahun 1967 Indonesia menjadi negara pengimpor gula untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Dengan pertimbangan utama untuk memperkuat ketahanan pangan, Indonesia berupaya meningkatkan produksi gula dalam negeri, termasuk mencanangkan target swasembada gula, yang sampai sekarang belum tercapai.

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan program swasembada gula adalah pabrik (terkait dengan pengolahan). Permasalahan yang dihadapi pada sisi pengolahan yaitu rendahnya efisiensi dan produktivitas pabrik gula, yang merupakan aspek paling penting dari kinerja. Oleh karena itu perbaikan kinerja di sisi pengolahan (pabrik) menjadi kebutuhan yang mendesak dan harus dilakukan secara terus menerus. Tahap paling penting dalam perbaikan kinerja adalah tahap analisis.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan pada pabrik gula di Indonesia menunjukkan bahwa penelitian yang berhubungan dengan analisis perbaikan kinerja (sebagai proses yang digunakan secara sistematis untuk mengidentifikasi kinerja, menentukan target kinerja yang diinginkan, dan untuk menentukan prioritas perbaikan) belum pernah dilakukan. Penelitian yang terkait dengan perbaikan kinerja pabrik gula khususnya produktivitas dan efisiensi terbatas pada pengukuran untuk mengetahui nilai kinerja saja. Selain itu, dalam merancangbangun model pengukuran kinerja memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, berdasarkan kecenderungan umum dalam model pengukuran kinerja, keterbatasan yang dimiliki penelitian terdahulu yaitu menggunakan ukuran kinerja dengan range yang sempit yaitu produktivitas atau efisiensi dan tidak ada keterkaitan antar ukuran kinerja. Hal ini dapat menyebabkan upaya perbaikan yang dilakukan tidak menghasilkan perbaikan kinerja yang signifikan dan berkurangnya efektivitas sistem pengukuran kinerja. Kedua, ketidakjelasan dan rumit dalam mengaggregasikan ukuran kinerja dengan berbagai satuan pada proses pengukuran. Ketiga, infrastruktur yang digunakan dalam pengukuran kinerja masih dilakukan secara manual. Hal ini menyebabkan proses pengukuran menjadi kurang efisien.

(5)

sistem yang berbasis komputer yang dirancang agar pengguna dapat berinteraksi dengan sistem, yaitu dalam bentuk prototype sistem penunjang keputusan intelijen dengan mengkombinasikan sistem pakar dan logika fuzzy. Verifikasi dan Validasi terhadap model analisis perbaikan kinerja yang dirancangbangun dilakukan menggunakan data kinerja pabrik gula PTPN X pada tahun 2008 dan konfirmasi pakar. Pakar terdiri dari satu orang peneliti dari P3GI dan dua orang praktisi dari pabrik gula dan PTPN X.

Analisis perbaikan kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan model analisis perbaikan kinerja yang terdiri dari lima sub model yaitu pengelompokan, pengukuran kinerja, pemilihan kinerja terbaik, analisis praktek terbaik, dan penentuan prioritas perbaikan. Ke lima sub model dirancangbangun saling terkait. Oleh karena itu, model analisis perbaikan kinerja yang dirancangbangun merupakan model yang terintegrasi untuk mencapai tujuan dari analisis perbaikan kinerja yaitu penentuan kinerja, penentuan target kinerja, dan penentuan prioritas perbaikan.

Dalam penentuan kinerja, kinerja yang di ukur yaitu kinerja strategis, operasional, dan taktis. Model pengukuran kinerja menggunakan 10 ukuran kinerja yaitu umur mesin, kapasitas giling, jumlah tebu, kualitas tebu, hilang dalam proses, jam henti giling, overall recovery, efisiensi ketel, hablur gula, dan rendemen. Ukuran-ukuran kinerja tersebut terkait secara vertikal (dengan visi, misi, dan strategi industri gula) maupun horisontal (antar ukuran kinerja) dengan pendekatan input, proses, dan output.

Penentuan target kinerja dilakukan dengan pendekatan benchmarking. Target kinerja minimal ditentukan berdasarkan nilai ukuran kinerja terbaik yang dapat dicapai oleh pabrik gula pada setiap kelompok. Model pengelompokan menggunakan pendekatan klasifikasi yang ditentukan berdasarkan karakteristik pembeda pabrik gula ( metode yang digunakan pada proses pemurnian (sulfitasi dan karbonatasi) dan skala pabrik gula (skala besar, skala menengah, dan skala kecil)). Model pemilihan kinerja terbaik (keseluruhan) menggunakan pendekatan PROMETHEE. Fungsi kriteria yang digunakan adalah maksimum untuk seluruh kriteria (kinerja strategis, operasional, dan taktis). Dengan pertimbangan bahwa nilai kinerja meningkat secara linier dan selisih rentang nilai kinerja sebesar 20 maka tipe preferensi yang digunakan yaitu tipe preferensi linier dengan parameter sebesar 20. Model pemilihan kinerja terbaik (per jenis kinerja) menggunakan pendekatan sorting. Nilai kinerja setiap kelompok diurutkan dari yang tertinggi hingga terendah. Kinerja terbaik per jenis kinerja dalam setiap kelompok PG ditentukan berdasarkan nilai kinerja tertinggi.

(6)

ukuran kinerja terbaik berdasarkan nilai kinerja tertinggi, kecuali untuk ukuran kinerja umur mesin, hilang dalam proses, dan jam henti giling ditentukan berdasarkan nilai paling rendah. Pabrik gula yang memiliki nilai ukuran kinerja bukan yang terbaik maka prioritas perbaikannya adalah ukuran kinerja tersebut.

Implikasi teoritis berkaitan dengan relevansi dan kompetibilitas hasil rancangbangun model dengan teori maupun hasil penelitian terdahulu yaitu 1) mengko nfirmasi pernyataan Wibisono (2006) bahwa pendekatan terbaik untuk perusahaan manufaktur di Indonesia dalam melakukan pengukuran kinerja yaitu menggunakan pendekatan input-proses-output, 2) mengkonfirmasi hasil penelitian Radnor dan Barnes (2007) mengenai aspek formal dalam pengukuran kinerja khususnya kedalaman (keterkaitan) ukuran kinerja, dan 3) mengkonfirmasi hasil penelitian Tucker et al (1987) yang menyimpulkan bahwa

Model dan prototype sistem penunjang keputusan untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula dapat dimanfaatkan oleh perusahaan (PTPN) maupun pemerintah. Strategi yang direkomendasikan untuk mengimplementasikan perubahan yang direncanakan adalah persuasi rasional. Untuk memberikan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan tim diperlukan pelatihan mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana memanfaatkan model dan prototype dalam melakukan analisis perbaikan kinerja. Metode pelatihan yang direkomendasikan yaitu Computer-Based Training. Metode yang direkomendasikan untuk menggambarkan alur kerja yaitu Swimlane.

hasil yang dicapai melalui penerapan praktek terbaik adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas.

Keunggulan model analisis perbaikan kinerja yang dihasilkan yaitu 1) integrasi model untuk mencapai tujuan dari analisis perbaikan kinerja, 2) dapat mengagregasikan berbagai ukuran kinerja dengan satuan yang berbeda secara sederhana, 3) pendekatan untuk menentukan target kinerja mengarahkan untuk menentukan target kinerja berdasarkan kinerja terbaik yang dapat dicapai oleh pabrik gula lainnya dalam kelompok yang sama, dan 4) menghasilkan saran perbaikan yang diperlukan untuk perbaikan yang diprioritaskan. Adapun keterbatasan dari model yang dihasilkan yaitu 1) penentuan target kinerja berdasarkan kinerja terbaik dalam kelompok saja masih memiliki kemungkinan berada dibawah potensi kinerja yang dapat di capai oleh pabrik gula, 2) dalam hal penentuan prioritas perbaikan, model yang digunakan belum dapat menunjukkan prioritas perbaikan untuk seluruh pabrik gula, 3) prototype yang dihasilkan untuk membantu melakukan analisis perbaikan memerlukan kedisiplinan admin dalam meng up date data sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya agar prototype dapat dimanfaatkan oleh seluruh pabrik gula.

(7)

RANCANGBANGUN

MODEL SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN INTELIJEN

UNTUK ANALISIS PERBAIKAN KINERJA PABRIK GULA

TRIWULANDARI SATITIDJATI DEWAYANA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar

(9)

Judul Disertasi : Rancangbangun Model Sistem Penunjang Keputusan Intelijen untuk Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula

Nama : Triwulandari Satitidjati Dewayana

NIM : F361040071

Disetujui,

Komisi Pembimbing

K e t u a

Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M.Eng

Dr. Ir. Sukardi, MM

Anggota Anggota

Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT yang memberikan kekuatan, kemudahan, dan mengijinkan penulis menyelesaikan disertasi berjudul Rancangbangun Model Sistem Penunjang Keputusan Intelijen untuk Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula. Disertasi yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 disusun untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi industri gula nasional.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M.Eng sebagai ketua Komisi

Pembimbing, bapak Dr. Ir. Sukardi, MM dan bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan kepercayaan, bimbingan, arahan, saran, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

2. Rektor Universitas Trisakti yang telah memberikan kesempatan dan ijin tugas belajar kepada penulis.

3. Pimpinan Sekolah Pascasarjana, Pimpinan Fakultas Teknologi Pertanian, Pimpinan, staf pengajar, staf administrasi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu, pengalaman, dan pelayanan dengan penuh tanggungjawab dan pengabdian selama penulis menempuh studi.

4. Pimpinan, Staf pengajar dan staf administrasi Jurusan Teknik Industri Trisakt i atas dukungan, pengertian, dan motivasi selama penulis menempuh studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

5. Bapak Dr. Koesharyono, SE MM (DGI), bapak Ir. H. Andri Faizal (PT Gula Putih Mataram), bapak Dr. Aris Toharisman (P3GI), bapak Ir. Adi Santoso, MM (PTPN X), bapak Ir. Yadi Yusriadi, MM (PG Meritjan), bapak Rama Prihandana (RNI), dan bapak Drs. Hadi Suharto, MM (DGI) atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Kudang B. Seminar MSc, ibu Dr. Ir. Titi Chandra MSi, bapak Dr. Eng. Taufik Djatna S TP MSi atas waktu dan masukannya pada Ujian Tertutup.

7. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. dan bapak Dr. Ir. Agung PM, M. Agr. atas waktu dan masukannya pada Ujian Terbuka.

8. Ir. Adi Irianto, Bayu Aditya Pradhana ST, Dinda Adisty Messalina, Adisty Putri Jayanti, Orlando Aditya Kurniawan, dan keluarga besar Suryadi atas semua pengorbanan, dukungan, pengertian, motivasi, dan do’a yang diberikan selama penulis menempuh studi.

9. Berbagai pihak yang tidak disebutkan satu persatu atas dukungan dan kontribusinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.

Akhir kata, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jember - Jawa Timur pada tanggal 13 Desember

1965, sebagai putri bungsu enam bersaudara dari pasangan Drs. Sru Adji Suryadi

(Alm.) dan Hj. Soemarni. Penulis memperoleh gelar Sarjana Teknik Industri –

Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung pada tahun 1990 dan

gelar Magister Manajemen dari Program Pascasarjana Universitas Trisakti pada

tahun 1998. Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan program Doktoral (S3)

pada program studi Teknologi Industri Pertanian sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai Dosen tetap Jurusan Teknik Industri

-Universitas Trisakti. Selama mengikuti program S3, penulis memangku jabatan

Ketua Jurusan (2002 – 2010) dan Sekretaris Program Magister (2001 – saat ini) di

Jurusan Teknik Industri - Universitas Trisakti, serta Direktur Keuangan PT

Radikom Pratama. Selain itu, penulis aktif sebagai Ketua Badan Kerjasama

Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri (BKSTI) Korwil Jakarta (2009

– saat ini), Ketua Bidang Profesi Ikatan Sarjana Teknik dan Manajemen Industri

(2009 – 2012), Bidang Kelembagaan Ikatan Alumni Teknik Industri ITB (2011 –

2014), dan anggota Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI). Penulis menikah

dengan Ir. Adi Irianto dan dikarunia empat orang anak yaitu Bayu Aditya

Pradhana ST (24 tahun), Dinda Adisty Messalina (21 tahun), Adisty Putri Jayanti

(12)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN ix

1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3Tujuan Penelitian ... 8

1.4Ruang Lingkup ... 8

1.5Manfaat Penelitian ... 10

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Gula ... 11

2.2 Perbaikan Kinerja ... 24

2.3 Pengukuran Kinerja ... 25

2.4 Benchmarking ... 29

2.5 Pengambilan Keputusan ... 33

2.6 Praktek Terbaik ... 47

2.7 Sistem Penunjang Keputusan ... 49

2.8 Sistem Penunjang Keputusan Intelijen ... 51

2.9 Sistem Pakar Fuzzy ... 54

2.10 Posisi dan Kebaruan Penelitian ... 60

3. METODE PENELITIAN 3.1Kerangka Pemikiran ... 65

3.2Tahapan Penelitian ... 67

3.2.1 Analisis Sistem ... 68

3.2.2 Pemodelan Sistem ... 69

3.2.3 Implementasi Model ... 79

3.3Waktu dan Lokasi Penelitian ... 79

3.4Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 80

4. ANALISIS SISTEM 4.1Kondisi Situasional ... 83

4.2 Analisa Kebutuhan ... 87

4.3 Formulasi Masalah ... 87

(13)

ii

5. PEMODELAN SISTEM

5.1Konfigurasi Sistem ... 93

5.2Kerangka Sistem ... 95

5.2.1 Sistem Manajemen Dialog ... 95

5.2.2 Sistem Pengolahan Terpusat ... 96

5.2.3 Sistem Manajemen Basis Data ... 96

5.2.4 Sistem Manajemen Basis Pengetahuan ... 98

5.2.5 Mekanisme Inferensi ... 99

5.2.6 Sistem Manajemen Basis Model ... 99

5.3Rancangbangun Model... 100

5.3.1 Model Pengelompokan ... 100

5.3.2 Model Pengukuran kinerja ... 106

5.3.3 Model Pemilihan Kinerja Terbaik ... 122

5.3.4 Model Analisis Praktek Terbaik ... 129

5.3.5 Model Penentuan Prioritas Perbaikan ... 130

5.4Verifikasi dan Validasi Model... 133

5.4.1 Model Pengelompokan ... 133

5.4.2 Model Pengukuran kinerja ... 136

5.4.3 Model Pemilihan Kinerja Terbaik ... 141

5.4.4 Model Analisis Praktek Terbaik ... 144

5.4.5 Model Penentuan Prioritas Perbaikan ... 149

6. IMPLEMENTASI MODEL 6.1Pengukuran Kinerja... 153

6.1.1 Kinerja Strategis ... 154

6.1.2 Kinerja Operasional ... 157

6.1.3 Kinerja Taktis ... 160

6.2Penentuan Target Kinerja ... 162

6.2.1 Pengelompokan ... 162

6.2.2 Pemilihan Kinerja Terbaik ... 163

6.3Penentuan Prioritas Perbaikan ... 165

6.4Perbaikan Kinerja ... 167

6.5 Implikasi Teoritis ... 169

6.5.1 Penentuan Kinerja ... 169

6.5.2 Penentuan Target Kinerja dan Prioritas Perbaikan ... 169

6.6 Implikasi Manajerial ... 169

6.7 Keunggulan dan Keterbatasan Model ... 170

6.7.1 Keunggulan Model ... ... 171

6.7.2 Keterbatasan Model ... 172

7. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 173

7.2 Saran untuk Penelitian Selanjutnya ... 173

7.2.1 Penentuan Kinerja ... 173

7.2.2 Penentuan Target Kinerja ...174

(14)

iii

DAFTAR PUSTAKA ... 175

(15)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Instrumen kebijakan untuk industri gula Indonesia ... . 23

2 Ciri-ciri dari setiap jenis skala pengukuran ... 35

3 Perbedaan antara MADM dan MODM ... 37

4 Daftar stakeholders dan kebutuhannya ... . 88

5 Hasil identifikasi penyebab masalah stakeholders ... . 91

6 Deskripsi pengguna aplikasi SIANBAIKI ... 95

7 Matriks keputusan pengelompokan ... 104

8 Jenis kinerja, Ukuran kinerja, dan satuan ... 111

9 Kualifikasi kinerja pabrik gula ... 116

10 Kualifikasi ukuran kinerja ... 116

11 Matriks keputusan untuk kinerja strategis ... 117

12 Matriks keputusan untuk kinerja operasional ... 117

13 Matriks keputusan untuk kinerja taktis ... 117

14 Semesta pembicaraan, himpunan fuzzy kinerja strategis... 118

15 Semesta pembicaraan, himpunan fuzzy kinerja taktis... 118

16 Semesta pembicaraan, himpunan fuzzy kinerja operasional .. 119

17 Jenis representasi kurva setiap ukuran kinerja strategis... 120

18 Jenis representasi kurva setiap ukuran kinerja operasional ... 120

19 Jenis representasi kurva setiap ukuran kinerja taktis ... 121

20 Matriks Pay off ... 126

21 Daftar karakteristik pembeda PG PTPN X ... 134

22 Matriks keputusan pengelompokan pabrik gula ... 135

23 Hasil pengelompokan pabrik gula ... 135

24 Data kinerja setiap ukuran kinerja ... 137

25 Matriks keputusan untuk kinerja strategis ... 137

26 Matriks keputusan untuk kinerja operasional ... 138

27 Matriks keputusan untuk kinerja taktis ... 138

28 Hasil defuzzifikasi ... 139

(16)

v

30 Kesesuaian hasil defuzifikasi kinerja operasional ... 140

31 Kesesuaian hasil defuzifikasi kinerja taktis ... 140

32 Matriks pay off skala kecil ... 141

33 Matriks pay off skala menengah ... 141

34 Matriks pay off skala besar ... 142

35 Matriks perbandingan berpasangan skala kecil ... 142

36 Matriks perbandingan berpasangan skala menengah ... 142

37 Matriks perbandingan berpasangan skala besar ... 142

38 Peringkat Kinerja Keseluruhan ... . 143

39 Peringkat Kinerja Strategis ... . 143

40 Peringkat Kinerja Operasional ... 144

41 Peringkat Kinerja Taktis ... 144

42 Kinerja strategis terbaik ... 149

43 Prioritas perbaikan kinerja strategis ... 151

44 Kinerja operasional terbaik ... 151

45 Prioritas perbaikan kinerja operasional ... 152

46 Prioritas perbaikan untuk setiap pabrik gula ... 152

47 Nilai setiap jenis kinerja ... 164

48 Kinerja strategis dengan nilai minimal kinerja ... 167

(17)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Trend produksi dan konsumsi gula nasional ... 2

2 Aspek yang saling terkait dalam studi pergulaan nasional... 3

3 Produktivitas Gula ... 4

4 Rendemen ... 5

5 Klasifikasi pemanis ... 11

6 Proses Pembuatan Gula Kristal Putih ... 14

7 Roadmap sasaran pengembangan industri gula 2010 – 2025 24 8 Garis besar langkah-langkah siklus analisis keputusan rasional 34 9 Bentuk Preferensi Kriteria Biasa ... 39

10 Bentuk Kriteria Quasi ... 40

11 Bentuk Kriteria Linier ... 40

12 Bentuk Kriteria Level ... 41

13 Bentuk Kriteria Linier dengan area tidak berbeda ... 41

14 Bentuk Kriteria Gaussian ... 42

15 Tahap-tahap Formulasi Model ... 46

16 Siklus Model ... 46

17 Siklus data, informasi, keputusan dan aksi ... 50

18 Bagan alir pengembangan aplikasi SPK ... 52

19 Arsitektur kesatuan SPK Intelijen ... 53

20 Fungsi dasar sistem pakar ... 55

21 Struktur Dasar Sistem Pakar ... 55

22 Tahap Pembentukan Sistem Pakar ... 56

23 Alur Penyelesaian Masalah dengan Logika Fuzzy ... 60

24 Posisi dan Kebaruan Penelitian ... 62

25 Kerangka Pemikiran ... 66

26 Tahapan Penelitian ... 67

27 Tahapan Rancangbangun Model Pengelompokan ... 72

28 Tahapan Rancangbangun Model Pengukuran Kinerja ... 73

(18)

vii

Keseluruhan ... 75

30 Tahapan Rancangbangun Model Pemilihan Kinerja Terbaik Per Jenis Kinerja ... 76

31 Tahapan Rancangbangun Model Analisis Praktek Terbaik ... 77

32 Tahapan Rancangbangun Model Penentuan Prioritas ... 78

33 Tahapan Pengolahan Data ... 81

34 Keterkaitan upaya untuk mengatasi permasalahan ... 86

35 Diagram Input-Output Sistem Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula ... 92

36 Konfigurasi model ... 93

37 Diagram alir model ... 94

38 Framework model analisis perbaikan kinerja ... 100

39 Model konseptual pengelompokan pabrik gula ... 101

40 Model Pengelompokan pabrik gula ... 104

41 Decision Tree Pengelompokan Pabrik Gula ... 105

42 Skema pengambilan keputusan pengelompokan pabrik gula 106 43 Model konseptual pengukuran kinerja setiap jenis kinerja ... 107

44 Agregasi nilai kinerja ... 108

45 Keterkaitan ukuran kinerja ... 110

46 Diagram Kehilangan Gula selama Proses di Pabrik Gula ... 113

47 Model Pengukuran Kinerja ... 115

48 Hirarki keputusan Pengukuran Kinerja ... 116

49 Skema pengambilan keputusan pengukuran kinerja ... 123

50 Model Konseptual Pemilihan Kinerja Terbaik ... 124

51 Hirarki keputusan Pemilihan Kinerja Terbaik ... 125

52 Bentuk preferensi kriteria Pemilihan Kinerja Terbaik ... 125

53 Model Pemilihan Kinerja Terbaik Keseluruhan ... 127

54 Model Konseptual pemilihan kinerja terbaik perjenis kinerja 128 55 Model pemilihan kinerja terbaik perjenis kinerja ... 128

56 Skema Pengambilan Keputusan pemilihan kinerja ... 129

57 Model analisis praktek terbaik ... 130

58 Diagram alir model analisis praktek terbaik ... 130

(19)

viii

60 Skema Pengambilan Keputusan Prioritas Perbaikan ... 132

61 Hirarki Pengelompokan Pabrik Gula ... 134

62 Hirarki Keputusan Pengukuran Kinerja PTPN X ... 136

63 Hirarki Keputusan Pemilihan Kinerja Terbaik Keseluruhan .. 141

64 Root cause tree analisis praktek terbaik... 150

65 Model Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula ... 153

66 Rerata umur mesin PTPN X Tahun 2008... 154

67 Skala Pabrik ... 155

68 Rerata jumlah tebu ... 156

69 Kinerja rerata kualitas tebu ... 156

70 Kinerja strategis ... 157

71 Rerata hilang dalam proses ... 158

72 Rerata jam henti giling ... 158

73 Rerata Overall Recovery ... 159

74 Efisiensi ketel ... 159

75 Kinerja operasional ... 160

76 Hablur gula ... 161

77 Rerata rendemen ... 161

(20)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Pohon Industri untuk industri berbasis tebu... 185

2 Kapasitas Giling Per Pabrik Gula ... 186

3 Topik Penelitian ... 187

4 Spesifikasi sistem ... 191

5 Konfirmasi pakar terhadap karakteristik pembeda pabrik gula... 193

6 Konfirmasi pakar terhadap ukuran-ukuran kinerja ... 193

7 Konfirmasi pakar terhadap keterkaitan antar ukuran kinerja ... 194

8 Kualifikasi untuk kategori kinerja ... 195

9 Kualifikasi untuk kategori ukuran kinerja ... 195

10 Representasi kurva kinerja strategis ... 196

11 Representasi kurva kinerja operasional ... 198

12 Representasi kurva kinerja taktis ... 201

13 Aturan baku untuk kinerja strategis ... 202

14 Aturan baku untuk kinerja operasional ... 203

15 Aturan untuk kinerja strategis ... 204

16 Aturan untuk kinerja operasional... 207

17 Konfirmasi pakar terhadap hasil pengukuran kinerja ... 210

18 Kriteria dan bobot kriteria untuk pemilihan kinerja terbaik ... 211

19 Fungsi Kriteria ... 211

(21)

1

1.

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan dengan hasil kerja. Dengan demikian, makna dari kinerja yaitu hasil kerja dan bagaimana proses kerja berlangsung. Kinerja merupakan kunci bagi organisasi untuk keluar dari krisis yang dihadapi. Perubahan lingkungan organisasi yang cepat dan pesat menyebabkan seluruh organisasi yang bergerak disektor bisnis maupun sektor publik harus meninjau ulang cara pandang dan perilaku dalam mencapai kinerja yang lebih baik.

Kinerja organisasi atau perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh organisasi atau perusahaan pada periode tertentu dengan merujuk pada standar yang ditetapkan dan bagaimana proses kerja berlangsung. Pada umumnya, untuk mencapai kinerja sesuai standar yang ditetapkan, setiap organisasi atau perusahaan mempunyai permasalahan dan tantangan serta peluang yang menyebabkan perbaikan kinerja menjadi penting untuk dilakukan. Demikian juga dengan industri gula Indonesia.

Industri gula Indonesia merupakan industri manufaktur yang berkembang pertama kali di Indonesia. Indonesia memiliki iklim yang sangat sesuai untuk tumbuhnya tebu dan sebagai negara terkaya sumber daya genetik tebu. Berdasarkan hal tersebut, para ahli gula dunia berpendapat bahwa Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan industri gula (Khudori 2004). Pada masa kejayaannya (tahun 1930-an) Indonesia pernah menjadi negara eksportir gula kedua di dunia setelah Kuba. Namun, sejak tahun 1967 Indonesia menjadi negara pengimpor gula (Effendi 2009) untuk memenuhi kebutuhannya.

(22)

2

juga memperlihatkan bahwa kondisi lima tahun terakhir ketergantungan Indonesia terhadap impor gula mendekati 50% per tahun.

Gambar 1 Trend Produksi dan Konsumsi Gula Nasional (ditjenbun 2010, di olah)

Mengingat gula merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia sehari-hari, pemerintah mengemban tanggungjawab untuk senantiasa menjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup dan pada tingkat harga yang layak sesuai dengan kondisi perekonomian masyarakat. Selain itu, ketergantungan ketersediaan pangan terhadap impor merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan. Dengan pertimbangan utama untuk memperkuat ketahanan pangan, Indonesia berupaya meningkatkan produksi gula dalam negeri, termasuk mencanangkan target swasembada gula, yang sampai sekarang belum tercapai.

Lembaga Penelitian IPB (2002) menggambarkan keseluruhan aspek yang saling terkait dalam studi pergulaan nasional seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Berdasarkan aspek yang saling terkait, faktor yang menentukan berhasil tidaknya program swasembada gula, yaitu : 1) sisi harga komoditi gula di

2,24 2,31 2,43 2,57

2,85

4,22 4,29

4,6 4,65

4,85

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Produksi vs Konsumsi (Juta Ton)

Tahun

Juta Ton

Konsumsi

(23)

3

pasar, 2) kebun, khususnya dengan bahan baku atau usaha tani, 3) pabrik, khususnya yang berkaitan dengan pengolahan.

Gambar 2 Aspek yang Saling Terkait dalam Studi Pergulaan Nasional (LPPM IPB 2002)

Mardianto et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga permasalahan utama yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan agribisnis pergulaan yaitu : 1) produktivitas gula yang cenderung turun karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah; 2) impor gula yang semakin meningkat karena harga gula di pasar intenasional berada dibawah biaya produksinya, kebijakan

border measure yang sifatnya ad hoc, dan banyaknya impor gula ilegal; 3) harga gula di pasar domestik tidak stabil karena sistem distribusi yang kurang efisien.

Stakeholder’s Pergulaan Nasional (2006), P3GI (2008), dan Effendi (2009) menegaskan bahwa permasalahan yang dihadapi pada sisi pengolahan (pabrik) yaitu rendahnya produktivitas dan efisiensi pabrik gula. Produktivitas pabrik gula direpresentasikan dalam ton per hektar. Representasi tersebut menunjukkan banyaknya hablur gula hasil pengolahan dibandingkan dengan luas lahan tebu yang menghasilkan tebu sebagai bahan baku utama pabrik gula.

Usaha

tani Pengolahan Pemasaran

Kebijakan makro

Perdagangan

Harga Penelitian &

Pengembangan Tata niaga/

agroinput

P

e

r

m

o

d

a

la

n

/

P

e

r

k

r

e

d

it

a

n

Moneter

Fiskal

Inflasi

Tata niaga Keadaan

(24)

4

Rerata produktivitas hablur gula nasional dari tahun ke tahun ditunjukkan pada Gambar 3. Rerata produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 1935 – 1941 yaitu sebesar 16,5 ton/ha dan terendah pada tahun 1996 – 2000 yaitu sebesar 4,79 ton/ha. Kondisi lima tahun terakhir (dengan rerata sebesar 6,07 ton/ha) menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan tahun 1996 – 2004, namun masih jauh lebih rendah dibandingkan rerata yang dicapai tahun 1935 – 1941.

Gambar 3 Produktivitas Gula (Prihandana 2004 dan BPS 2010)

Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik gula (melibatkan generasi 1, 2, dan 3 ). Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 1 adalah kelemahan dalam budidaya bibit tebu. Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 2 adalah kelemahan dalam budidaya tanaman tebu yang menggunakan sistem budidaya ratoon dengan keprasan (membesarkan tunas setelah tebu di panen) yang lebih dari 3 kali, bahkan hingga belasan kali, dengan pemeliharaan yang kurang memadai sehingga sebagaian besar tanaman banyak terserang hama penyakit. Selain itu, pengelolaan proses tebang, angkut dan giling kurang optimal. Selain

16,5

9,38 8,67

6,5 6,35 5,85

4,79 4,9

6,07

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Produktivitas (Ton/Ha)

(25)

5

kelemahan dalam hal budidaya tanaman tebu, permasalahan pada generasi 2 juga di sebabkan oleh menurunnya luas areal tebu. Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 3 adalah rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula yang antara lain disebabkan oleh teknologi yang dimiliki telah usang, mesin pabrik yang sudah tua, dan hari giling per tahun yang rendah. Hari giling per tahun rendah disebabkan oleh kontinuitas pasokan bahan baku (tebu) yang rendah.

Efisiensi pabrik gula ditunjukkan dengan kemampuannya dalam mengekstraksi kandungan gula di dalam batang tebu. Kadar kandungan gula di dalam batang tebu disebut sebagai rendemen. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) rerata tingkat efisiensi pabrik gula yang diukur dengan overall recovery (OR) kurang dari 80 persen. Artinya, gula kristal yang diperoleh pabrik gula hanya mencapai 80 persen dari potensi.

Rerata rendemen efektif dari tahun ke tahun ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Rendemen (P3GI 2008 dan Bisnis Indonesia 2010)

Rendemen tertinggi dicapai pada tahun 1935 yaitu sebesar 12,46%, sedangkan pada tahun 1996 – 2002 dengan rerata rendemen sebesar 6,6%

12,46

8,12

7,8

6,6 6,99

0 2 4 6 8 10 12 14

Rendemen (%)

(26)

6

merupakan rerata rendemen terendah sampai saat ini. Kondisi enam tahun terakhir dengan rerata rendemen sebesar 6,99% menunjukkan adanya sedikit peningkatan, namun masih jauh lebih rendah dibandingkan rerata yang dicapai pada tahun 1935.

Inefisiensi terjadi antara lain karena 1) kondisi saat ini pabrik gula di Jawa memperoleh pasokan bahan baku dari tebu rakyat yang baik jumlahnya maupun mutunya cenderung menurun secara tajam; 2) mayoritas pabrik gula (PG BUMN) saat ini memiliki mesin-mesin tua; 3) pabrik bekerja hanya 60-70% dari kapasitas; dan 4) banyak pabrik gula yang kapasitasnya rendah sehingga tidak bisa mencapai skala ekonomi yang efisien.

Rendahnya produktivitas dan efisiensi yang dicapai saat ini dibandingkan dengan potensi (pencapaian tertinggi) yang pernah dicapai menunjukkan bahwa produktivitas dan efisiensi pabrik gula perlu diperbaiki. Sink dan Thomas (1989) menyatakan bahwa kinerja organisasi merupakan suatu fungsi hubungan timbal balik yang kompleks antara tujuh kriteria yaitu 1) Efektivitas, 2) Efisiensi, 3) Kualitas, 4) Produktivitas, 5) Kualitas dari kehidupan kerja, 6) Inovasi, dan 7) Profitabilitas. Merujuk pada Sink dan Thomas (1989) tersebut, efisiensi dan produktivitas merupakan dua dari tujuh aspek dari kinerja. Selain itu, Radnor dan Barnes (2007) menyatakan bahwa efisiensi dan produktivitas merupakan aspek penting dari kinerja. Berdasarkan hal tersebut, perbaikan kinerja di sisi pengolahan (pabrik) menjadi kebutuhan yang mendesak dan harus dilakukan secara terus menerus.

(27)

7

Pada dasarnya, penelitian yang terkait dengan perbaikan kinerja pabrik gula khususnya produktivitas dan efisiensi terbatas pada pengukuran untuk mengetahui kinerja. Selain itu, model pengukuran kinerja yang digunakan memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, menggunakan ukuran kinerja dengan

range yang sempit yaitu (produktivitas atau efisiensi) dan tidak ada keterkaitan antar ukuran kinerja. Hal ini dapat menyebabkan upaya perbaikan yang dilakukan tidak menghasilkan perbaikan kinerja yang signifikan dan berkurangnya efektivitas sistem pengukuran kinerja. Kedua, ketidakjelasan dan rumit dalam mengagregasikan ukuran kinerja dengan berbagai satuan pada proses pengukuran. Ketiga, masih terdapat infrastruktur yang digunakan dalam pengukuran kinerja dilakukan secara manual. Hal ini menyebabkan proses pengukuran menjadi kurang efisien.

Perbaikan kinerja dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun pada umumnya terdapat lima tahap (Swanson 1996) yang harus dilakukan yaitu : 1) tahap analisis, 2) tahap desain, 3) tahap pengembangan, 4) tahap implementasi, dan 5) tahap evaluasi. Selanjutnya, Swanson (1996) menyebutkan bahwa tahap analisis merupakan tahap paling penting. Adapun tujuan dari tahap analisis adalah untuk menentukan : 1) kinerja, 2) target kinerja, dan 3) prioritas perbaikan kinerja.

Merujuk pada inti dari definisi perbaikan kinerja (LaBonte 2001) yaitu sebagai suatu proses yang sistematis dan berkesinambungan menunjukkan bahwa analisis perbaikan kinerja perlu dilakukan secara terus menerus. Berdasarkan tujuan dari tahap analisis, masalah dalam analisis perbaikan kinerja merupakan masalah pengambilan keputusan. Selain itu, analisis perbaikan kinerja pada umumnya merupakan masalah yang bersifat kompleks, sehingga untuk menelaah atau menyelesaikan permasalahan perlu dilakukan dengan pendekatan sistem.

(28)

8

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, tahap penting yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja pabrik gula adalah tahap analisis yang bertujuan untuk menentukan kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan kinerja pabrik gula. Untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula diperlukan model sistem penunjang keputusan. Model sistem penunjang keputusan yang diperlukan merupakan integrasi dari berbagai model yang digunakan untuk mencapai tujuan pada tahap analisis yaitu dalam hal menentukan kinerja, target kinerja, dan penentuan prioritas perbaikan. Pemanfaatan komponen artificial inteligence technology dimungkinkan untuk digunakan sehingga sistem penunjang keputusan menjadi lebih intelijen. Beberapa pertanyaan yang diharapkan dapat terjawab dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana model untuk menentukan kinerja pabrik gula ? b. Bagaimana model untuk menentukan target kinerja pabrik gula ? c. Bagaimana model untuk menentukan prioritas perbaikan pabrik gula ? d. Bagaimana model sistem penunjang keputusan intelijen yang dapat

digunakan untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula agar tujuan analisis berupa penentuan kinerja, penentuan target kinerja, dan penentuan prioritas perbaikan kinerja dapat tercapai ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model sistem penunjang keputusan intelijen yang dapat membantu pengambil keputusan untuk melakukan analisis perbaikan kinerja pabrik gula. Model yang akan dihasilkan berupa model yang terintegrasi untuk mencapai tujuan analisis perbaikan kinerja yaitu dalam hal menentukan kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan kinerja.

1.4 Ruang Lingkup

Pada umumnya, perangkat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam meningkatkan kinerja yaitu

(29)

9

keuangan, 2) Perspektif pelanggan, 3) Perspektif proses internal, dan 4) Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Masing-masing perspektif menunjukkan fokus pandangan yang dititikberatkan dan merupakan peta wilayah di mana harus diletakkan strategi-strategi yang relevan. Luis S dan Prima AB (2008) menjelaskan bahwa fokus masing-masing perspektif adalah sebagai berikut 1) keberhasilan keuangan dengan pendekatan jangka pendek maupun jangka panjang untuk perspektif keuangan, 2) pelanggan untuk perspektif pelanggan, 3) serangkaian aktivitas yang ada dalam organisasi secara internal untuk perspektif proses internal, dan 4) sumberdaya khususnya sumberdaya manusia dalam organisasi untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.

Ruang lingkup penelitian yang merupakan batasan (boundary) dalam merancangbangun model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula meliputi :

a. Kinerja yang dikaji merupakan kinerja pada pabrik gula khususnya dalam perspektif proses internal. Proses internal yang dimaksud adalah proses produksi pada pabrik gula.

b. Kinerja direpresentasikan dalam kinerja strategis, kinerja operasional, dan kinerja taktis. Kinerja strategis adalah kinerja yang terkait dengan sumberdaya yang digunakan dalam proses produksi pada pabrik gula. Kinerja operasional adalah kinerja yang terkait dengan proses produksi pada pabrik gula. Kinerja taktis adalah kinerja yang terkait dengan hasil proses produksi pada pabrik gula dan merupakan prioritas kompetisi pabrik gula.

c. Aspek kinerja yang dikaji adalah produktivitas dan efisiensi.

(30)

10

rendemen yang dinyatakan dalam persen (%).

d. Pabrik gula yang dimaksud adalah pabrik gula yang menghasilkan gula kristal putih yang dihasilkan dari tebu.

e. Model yang dirancangbangun akan diaplikasikan dalam bentuk sistem yang berbasis komputer (prototipe) yang dirancang agar pengguna dapat berinteraksi dengan sistem.

f. Obyek kajian adalah pabrik gula berskala kecil, menengah dan besar.

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a. Pengembangan konsep perbaikan kinerja khususnya pada tahap analisis

dan penerapannya di Indonesia,

b. Rujukan bagi penelitian dan pengembangan analisis perbaikan kinerja dalam cakupan yang berbeda,

c. Model dalam menentukan kinerja, target kinerja, dan prioritas perbaikan kinerja pabrik gula bagi pabrik gula, PTPN dan pemerintah,

(31)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Gula

Gula merupakan salah satu sumber energi yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari, dan input penting dalam industri makanan dan minuman yang berperan sebagai bahan pemanis maupun bahan pengawet untuk sebagian pangan olahan. Klasifikasi pemanis menurut bentuk dan sumber bahan dapat di lihat pada Gambar 5 berikut ini :

Gambar 5 Klasifikasi Pemanis Berdasarkan Bentuk dan Sumbernya (Sumaryanto 2003 dalam Sabil 2005)

Secara fisik terdapat tiga jenis gula yaitu : 1) gula kristal, 2) gula bukan kristal, dan 3) gula cair. Menurut SK No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Tata Niaga Impor Gula antara lain mengkategorikan gula kristal sebagai gula kristal mentah/gula kasar (raw sugar), gula kristal rafinasi (refined sugar), dan gula kristal putih (plantation white sugar).

Gula yang dikenal dalam masyarakat luas adalah sakarosa atau sukrosa yang merupakan disakarida yang pada hidrolisa menghasilkan glukosa dan

fruktosa. Produk gula dalam negeri termasuk dalam kualifikasi yang dikenal dengan nama SHS (Superieure Hoofd Suiker).

Pemanis

Gula

Non Gula

Gula Kristal

Gula Cair

Dari bahan tanaman

Dari bahan kimia Gula bukan

(32)

Gula kristal terdiri dari gula pasir yang dihasilkan dari tebu dan gula yang dihasilkan dari bit. Namun, menurut Prihandana (2005) biaya produksi gula berbahan baku tebu lebih murah 70% dibandingkan dengan biaya produksi gula berbahan baku bit. Oleh karena itu, bahan baku industri gula yang banyak digunakan adalah tebu (Saccharum officinarum) yang merupakan tanaman perkebunan.

Di dalam batang tebu terkandung 20% cairan gula. Effendi (2009) menyebutkan bahwa cairan dalam tebu terdiri dari tiga macam yaitu : 1) Nira Tebu, 2) Air tanah atau air tebu bebas brix, dan 3) Protoplasma. Nira tebu tersimpan dalam sel-sel parenchim. Air tebu bebas brix merupakan air yang secara chemis bersatu dengan serat dan tidak dapat dipisahkan secara mekanis.

Protoplasma berbentuk semi cairan tetapi tidak mengandung gula.

Sisa pengolahan batang tebu adalah 1) tetes tebu (molases) yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula dan masih mengandung gula antara 50% sampai dengan 60%, asam amino dan mineral. Pemanfaatan tetes tebu sampai saat ini adalah sebagai bahan baku bumbu masak MSG, gula cair, dan arak; 2) Pucuk daun tebu, yang dapat digunakan sebagai pakan ternak dalam bentuk silase, pellet , dan wafer diperoleh pada tahap penebangan tebu; 3) ampas tebu yang merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan tebu, dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas, particle board

dan media untuk budidaya jamur, atau dikomposkan untuk pupuk; 4) Blotong yang merupakan hasil samping proses penjernihan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman tebu. Adapun pohon industri untuk industri berbasis tebu dapat dilihat pada Lampiran 1.

(33)

Terdapat dua sistem penebangan tebu yaitu 1) tebu bakar, sebelum dilakukan penebangan tebu dibakar terlebih dahulu; dan 2) tebu hijau, tebu langsung ditebang jika batang sudah masak. Tebu bakar akan mempercepat turunnya kadar sukrosa dan kerusakannya lebih cepat karena mudah terkontaminasi oleh mikroba (Leouconostoc mesenteroides).

Berdasarkan peralatan yang digunakan pada saat penebangan dan pengangkutan (sistem pemasokan) dapat dibedakan tiga jenis, yaitu 1) penebangan dilakukan oleh tenaga tebang manual kemudian batang tebu diikat dan diangkut menggunakan truk atau trailer (system bundled cane); 2) penebangan dilakukan oleh tenaga tebang manual tetapi pada saat pemuatan menggunakan bantuan alat mekanis karena tebu tidak diikat (system loosed cane); 3) penebangan dan pemuatan dilakukan oleh alat mekanis yang disebut

harvester, dimana tebu dipotong secara otomatis dan langsung ditampung dalam bak truk (system chopped cane).

Tebu yang telah dipanen dari areal budidaya tebu diangkut dan ditempatkan dalam areal penampungan (cane yard). Untuk menghindari menurunnya rendemen, maka tenggang waktu yang ditolerir antara waktu tebang dan giling adalah 24 jam (Moerdokusumo 1993; Effendi 2009). Makin lama tenggang waktu antara tebang dan giling akan menyebabkan semakin rendah kandungan sukrosa yang mudah larut dalam air dan dapat terhidrolisis oleh adanya ion hidrogen atau akibat aktifitas mikroba tertentu. Gula atau sukrosa dapat terdekomposisi oleh bakteri, khamir dan jamur yang aktifitasnya tergantung pada kadar sukrosa, suhu dan aktivitas air.

Sebelum proses produksi gula dilakukan, diperlukan pra-pengolahan. Pada tahap ini, tebu masuk ke dalam cane preparation menggunakan sistem elevator yang berjalan melewati cane cutter 1 yaitu suatu alat yang akan memotong tebu menjadi bagian yang lebih kecil. Setelah itu tebu akan melewati

cane cutter 2 yang berfungsi untuk memotong tebu menjadi bagian yang lebih kecil lagi karena pisau yang digunakan mempunyai jarak yang lebih rapat. Tebu yang telah dipotong-potong tersebut akan dihancurkan oleh alat yang disebut

(34)

Proses produksi gula dari tebu terdiri dari lima tahap, yaitu : 1) proses pemerahan atau penggilingan yang bertujuan untuk menghasilkan nira, pada proses ini ditambahkan air imbibisi yang digunakan untuk melarutkan kandungan sukrosa dan membunuh mikroba Leuconostoc mesenteroides; 2) proses pemurnian yang bertujuan untuk memisahkan kotoran atau zat-zat non-gula; 3) proses penguapan yang bertujuan untuk menguapkan air sebanyak-banyaknya sehingga dihasilkan nira kental; 4) proses kristalisasi ( metoda spontan, pancingan, penambahan slurry atau seed) yang bertujuan untuk memisahkan gula dari nira kental; dan 5) proses pemutaran (sentrifuse) yang bertujuan untuk memisahkan sukrosa dan molases. Adapun skema proses pembuatan gula kristal putih diperlihatkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Proses Pembuatan Gula Kristal Putih (Effendi 2009)

Industri gula merupakan salah satu industri pengolahan yang berkembang pertama kali di Indonesia. Ditinjau dari potensi yang dimiliki (iklim yang sangat sesuai untuk tumbuhnya tebu dan sebagai negara terkaya sumber daya genetik tebu) serta kapasitas produksi industri gula nasional yang

Nira Kotor Batang tebu

Ekstraksi Nira

Penjernihan Penyaringan

Blotong Muddy juice

Nira jernih

Evaporasi Air

Bagasse

GULA Kristalisasi

(35)

masih terpakai 72%, maka para ahli gula dunia berpendapat bahwa Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan industri gula (Khudori 2004).

Pada awal abad ke-16 industri gula telah diusahakan oleh penduduk Cina perantauan di sekitar Jakarta, dan selanjutnya dikembangkan secara besar-besaran oleh VOC (pengusaha Belanda) di seluruh Jawa pada abad ke-19. Jawa menjadi sentra industri gula yang memberikan kontribusi utama bagi pemerintah kolonial Belanda pada abad-20. Pada tahun 1930, Jawa menjadi eksportir terbesar ke dua di dunia setelah Kuba. Pada jaman kolonial, integrasi sistem agribisnis gula dijamin melalui organisasi dari pemerintah yang mempunyai kekuatan untuk memaksa. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial menanam tebu sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam, dan jadwal panen yang ditetapkan oleh pabrik. Dengan demikian, pabrik gula dapat memperoleh pasokan bahan baku yang cukup sepanjang musim giling, sehingga industri gula di Jawa sangat efisien.

Industri gula ditinjau dari aktivitas ekonomi merupakan industri yang memberikan dampak ganda cukup signifikan secara nasional terhadap penciptaan

output, pendapatan, nilai tambah dan tenaga kerja mengingat gula merupakan suatu komoditi pangan yang penggunaannya sangat luas. Selain dikonsumsi secara langsung (konsumsi akhir), gula juga merupakan bahan baku bagi banyak industri (input antara). Struktur Industri gula (Ismail 2005) berdasarkan analisis keterkaitan antara industri melalui analisis input-output menunjukkan bahwa secara nasional industri gula memiliki keterkaitan langsung dengan sektor-sektor dibelakangnya sebanyak 53 sektor (dari 172 sektor) dan keterkaitan langsung ke depan dengan 30 sektor. Oleh karena itu, peningkatan produksi gula selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akhir saat ini , juga diperlukan untuk mendorong peningkatan produksi industri-industri yang menggunakan gula sebagai bahan bakunya.

(36)

Mengingat gula merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia sehari-hari, pemerintah mengemban tanggungjawab untuk senantiasa menjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup dan pada tingkat harga yang layak sesuai dengan kondisi perekonomian masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan gula dari tahun ke tahun, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk melakukan impor gula.

Dibukanya impor gula secara bebas sejak awal tahun 1998, telah mengubah situasi pasar gula di dalam negeri menjadi sangat dipengaruhi oleh pasar gula dunia. Perubahan terhadap kebijakan gula nasional secara mendasar pada industri gula yang sebelumnya dikenal sebagai the most regulated commodity untuk melindungi produsen diubah menjadi komoditas yang diperlakukan dengan free trade policy berupa bebas impor dengan tarif bea masuk yang rendah. Kebijakan free trade tersebut telah menyebabkan gula impor dengan volume yang kurang terkontrol oleh pemerintah, hal ini menyebabkan

excess supply yang berlebihan dipasar gula nasional. Hal tersebut berakibat pada harga gula dalam negeri hingga mencapai tingkat yang dapat menyebabkan kebangkrutan total industri gula nasional.

Pada umumnya, kebijakan free trade dengan tarif bea masuk yang rendah tidak dilakukan oleh negara produsen gula yang termasuk dalam kategori paling efisien, apalagi di negara produsen yang masih tergantung pada gula impor seperti Indonesia. Jika industri gula nasional tidak mampu meningkatkan produksi, maka impor gula akan semakin besar.

(37)

Permasalahan industri gula nasional, pada dasarnya dapat didiagnosa dengan mengkaji permasalahan yang terdapat pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan industri gula nasional. Salah satu dari faktor-faktor yang berpengaruh adalah pabrik gula. Pada umumnya, pabrik gula (PG) di Indonesia didirikan sejak jaman Belanda. Pada tahun 1930 tercatat ada 179 PG, dan pada tahun-tahun berikutnya terjadi fluktuasi dalam hal jumlah PG. Effendi (2009) menyebutkan bahwa pada tahun 2000 jumlah PG di Indonesia mencapai 71 unit. Namun pada tahun 2008 hanya 58 unit yang beroperasi di tambah empat unit PG rafinasi.

Lokasi PG menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005) tersebar di 8 propinsi. Di Jawa, sebagai sentra utama adalah Jawa Timur (31 PG), sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing memiliki delapan dan lima PG. Di luar Jawa, Lampung menempati peringkat pertama dengan lima PG, diikuti oleh Sulawesi Selatan (3 PG), Sumatera Utara (2 PG), Sumatera Selatan (1 PG), dan Gorontalo (1). Adapun daftar pabrik gula beserta kapasitas gilingnya dapat di lihat pada Lampiran 2.

Kinerja industri gula yang mencerminkan daya saing industri gula, merupakan hasil dari interaksi antar sub sistem dalam agribisnis gula, yang terdiri dari empat sub sistem, yaitu : 1) sub sistem penyediaan input, 2) sub sistem usahatani tebu, 3) sub sistem pengolahan gula (pabrik), dan 4) sub sistem pemasaran. Selain itu, Disbun Jatim (2010) juga menyebutkan bahwa selain dipengaruhi oleh interaksi dari empat sub sistem dalam agribisnis, kinerja industri gula juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang pergulaan, perubahan keunggulan komparatif dalam penggunaan input, perubahan manajemen dan kelembagaan, serta kemajuan penemuan, inovasi dan adopsi teknologi pada industri gula dan industri lain yang berkompetisi, bersubstitusi dan berkomplemen.

(38)

kebijakan yang kondusif bagi terciptanya kondisi ke arah perbaikan kedua sektor tersebut. Selain itu, revitalisasi industri gula juga berkaitan erat dengan restrukturisasi industri gula terutama dalam aspek kelembagaan dan kepemilikan perusahaan gula, serta pemberdayaan lembaga usaha tani (koperasi) dan lembaga penelitian (Disbun Jatim 2010).

Kinerja PG dapat di kategorikan ke dalam dua aspek, yaitu : kinerja ekonomis dan kinerja teknis. Kinerja teknis pabrik gula merupakan gabungan dari 1) kinerja unit penggilingan yang ditunjukkan oleh persen HPB (hasil bagi perahan briks) dan persen pol dalam ampas; 2) kinerja unit pengolahan yang ditunjukkan oleh persen HK (Harkat Kemurnian) dan %pol nira mentah; dan 3) Ketel (boiler) sebagai komponen utama dalam proses produksi yang ditunjukkan oleh persen efisiensi ketel dan pemakaian uap (kw/ton tebu). Standar yang digunakan sebagai pembanding (Moerdokusumo 1993 dan LPPM IPB 2002) yaitu 1) > 90% untuk persen HPB; 2) < 2% untuk persen pol dalam ampas; 3) > 96% untuk Harkat Kemurnian; 4)> 90% pol nira mentah dan 5) > 78% untuk efisiensi ketel; serta 6) 60 kw/ton tebu untuk pemakaian uap.

(39)

Pulau Jawa memegang peranan penting dalam menunjang industri gula nasional. Di lihat dari jumlah PG secara nasional, sekitar 80% PG berada di Pulau Jawa dan dari total produksi gula nasional, sekitar 60% dihasilkan di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sebagian besar produksi gula (sekitar 80%) dihasilkan oleh petani tebu. Petani tebu sebagian mengusahakan tanaman tebu di lahan sawah dan sebagian di lahan kering. Namun, pertanaman tebu di lahan sawah semakin tidak mampu bersaing dengan komoditas lain terutama padi.

PG yang ada di Pulau Jawa, pada umumnya telah tua (sebagian didirikan pada tahun 1800-an). Namun, sebagian besar PG di Jawa sudah direhabilitasi dan ditingkatkan kapasitasnya. Kapasitas giling ditingkatkan dengan sasaran peningkatan efisiensi , bahkan di beberapa pabrik mencapai 3 – 4 kali kapasitas semula. Otomatisasi dan komputerisasi beberapa peralatan pabrik telah dilakukan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya kesalahan operasional. Upaya tersebut menjadikan proses pengolahan gula lebih efisien. Namun masih ada yang menggunakan mesin dan peralatan lama yang tingkat efisiensinya relatif rendah. Dari sisi kapasitas terpasang yang dimiliki PG di Pulau Jawa, menurut Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (2004) 53 % PG memiliki kapasitas giling kecil (< 3.000 TTH), 44 % berkapasitas giling menengah (antara 3.000 – 6.000 TTH), dan hanya 3% yang berkapasitas giling besar ( > 6.000 TTH).

Industri gula di Pulau Jawa menurut Woerjanto (2000) menghadapi tiga permasalahan struktural yaitu 1) rendahnya efisiensi dan produktivitas pabrik gula, 2) rendahnya daya saing tanaman tebu dibandingkan komoditas agribisnis lainnya, dan 3) industri gula termasuk dalam klasifikasi padat karya. Padatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa dan konversi lahan sawah menyebabkan luas areal lahan tebu, baik pada lahan sawah maupun lahan kering menurun dari tahun ke tahun. Dengan banyaknya jumlah pabrik gula yang sampai saat ini beroperasi, luas lahan yang tersedia menjadi tidak memadai untuk mendukung kelancaran produksi. Hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi keberlanjutan pabrik gula yang sangat tergantung pada kecukupan, kontinuitas, serta mutu bahan baku tebu yang diperolehnya.

(40)

potensi keunggulan kompetitif sumber daya lokal. Oleh karena itu, industri gula di Pulau Jawa akan tetap menjadi existing assets yang memiliki prospek di masa mendatang.

Jawa Timur selama ini merupakan propinsi penghasil gula terbesar di Indonesia, yang dihasilkan dari 30 PG milik BUMN (PTPN X, PTPN XI, dan RNI) serta satu pabrik gula swasta (PG Kebon Agung). Produktivitas gula yang masih rendah di Jawa Timur, terutama disebabkan oleh kualitas bahan baku (tebu) dan kinerja pengolahan (Disbun Jatim 2010).

Di sisi on-farm, Jawa Timur menghadapi dua permasalahan penting (Disbun Jatim 2010) yaitu : Pertama, pergeseran budidaya tebu ke lahan tegalan akibat persaingan yang ketat dengan padi dan alih fungsi sawah menjadi area non-pertanian seperti pemukiman dan industri. Perubahan budidaya tebu ke lahan tegalan harus diikuti dengan perubahan paradigma budidaya tebu, mengingat pola reynoso yang memerlukan tenaga kerja sangat intensif dan biasa dilakukan di lahan sawah tidak dapat dilakukan lagi pada lahan tegalan. Inovasi teknologi (varietas tebu yang sesuai, pengolahan tanah yang tepat, dan pemupukan yang efektif) yang menunjang optimalisasi budidaya tebu di lahan tegalan perlu terus dikembangkan. Kedua, proporsi tebu keprasan yang relatif tinggi dibanding tanaman tebu pertama (Plant Cane). Produktivitas gula menjadi sulit ditingkatkan pada kondisi tanaman ratoon yang dikepras lebih dari empat kali. Dampak dari tanaman ratoon yang dikepras secara berulang-ulang tidak terkendali akan mengakibatkan kualitas tanaman tebu menurun tajam akibat terjadinya penurunan (degradasi) inheren genetik dari varietas tebu, peka terhadap serangan penyakit tertentu seperti penyakit Ratoon Stunsting Disease (RSD) dan menimbulkan ekses campuran varietas apabila dilakukan tambal sulam bibit secara tidak terkendali.

(41)

jumlah tebu yang dihasilkan akan meningkat, maka kemampuan PG dalam menggiling tebu juga harus ditingkatkan. Oleh karena itu, kelebihan pasokan tebu harus diantisipasi dengan peningkatan kapasitas giling PG.

Selanjutnya, Disbun Jatim (2010) juga menyatakan cara lain untuk mengimbangi lonjakan jumlah tebu giling di tahun-tahun yang akan datang, yaitu dengan : meningkatkan kinerja PG serta melakukan audit PG. Kinerja PG diperbaiki dengan cara mengurangi idle capacity dan meningkatkan efisiensi melalui rehabilitasi mesin-mesin atau alat-alat yang tua dan berkinerja rendah. Kapasitas giling efektif PG diusahakan bisa mendekati atau sama dengan kapasitas terpasangnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menekan jam henti giling.

Peningkatan pemanfaatan kapasitas giling PG dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi gilingan, pengolahan, dan penggunaan energi. Audit PG dimaksudkan untuk menilai kinerja PG secara keseluruhan sehingga bisa dihasilkan rekomendasi untuk memperbaiki kinerja PG tersebut. Proses audit dilakukan dengan menelusuri perjalanan tebu menjadi gula didalam PG. Melalui proses tersebut maka berbagai hal yang menyebabkan ketidak efisienan atau kinerja PG menurun bisa ditelusuri, sehingga bisa dibuat rekomendasi untuk perbaikan. Selain itu, audit PG juga digunakan sebagai kontrol atas pelaksanaan

best management practices di PG.

(42)

Dalam pembangunan industri gula nasional, pemerintah telah menerapkan beberapa instrumen kebijakan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan industri gula Indonesia, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan mempunyai dimensi yang cukup luas, yaitu mencakup input, produksi, distribusi, dan harga (perdagangan). Namun dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan input. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2005) menyatakan bahwa secara garis besar, dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat dibagi menjadi empat tahapan utama, yaitu 1) Era Isolasi (1980 - 1997), 2) Era Perdagangan Bebas (1997 - 1999), 3) Era Transisi (1999 - 2002), dan 4) Era Proteksi dan Promosi (2003 - sekarang).

Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan respon pemerintah terhadap permasalahan yang dihadapi industri gula nasional, yang dikeluarkan secara reaktif dan cenderung bersifat ad-hoc. Kebijakan yang hanya menekankan pada hambatan perdagangan dan pembatasan impor saja tidak akan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi industri gula nasional.

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009) merumuskan visi, misi dan indikator pencapaian untuk industri gula nasional sebagai berikut :

VISI :

Mewujudkan industri gula nasional yang mandiri, berdaya saing, dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor

MISI :

1. Memperkuat struktur industri gula

2. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi 3. Mendorong investasi PG-PG keluar P. Jawa

4. Terpenuhinya kebutuhan gula konsumsi dan industri oleh industri gula dalam negeri

(43)
[image:43.595.89.540.96.813.2]

Tabel 1 Instrumen kebijakan untuk Industri Gula Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005)

Nomor SK/Keppres/Kepmen Perihal Tujuan

Keppres No. 43/1971, 14 Juli 1971

Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula

Menjaga kestabilan pasokan gula sebagai bahan pokok

Surat Mensekneg No. B.136/abn sekneg/3/74,

27 Maret 1974

Kepmen Perdagangan dan Koperasi No. 122/Kp/III/81, 12 Maret 1981

Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987

Intensifikasi Tebu Rak-yat (TRI)

Tataniaga gula pasir dalam negeri

Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri

Penjelasan mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PNP

Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu

Menjamin stabilitas harga,

devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik

UU No. 12/1992

Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997

Inpres No. 5/1998 , 5 Januari 1998

Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998

Kepmenhutbun No.282/Kpts-IX/1999,

7 Mei 1999

Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999

Kepmenperindag No. 230/MPP/Kep/6/2000, 5 Juni 2000

Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002

Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002

SK 522/MPP/Kep/9/2004

Budidaya tanaman

Program Pemgembangan Tebu Rakyat

Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997

Komoditas yang diatur tataniaga impornya

Ppenetapan harga provenue gula pasir produksi petani

Tataniaga impor gula

Mencabut Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999

Perubahan bea masuk

Tataniaga impor gula

Tentang ketentuan impor gula

Memberikan kebebasan pada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar

Pemberian peranan kepada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas

Memberikan kebebasan pada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan UU No. 12/1992

Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang

Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi

Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen

Pembebasan taris impor gula untuk melindungi industri dalam negeri

Peningkatan efektivitas bea masuk

Pembatasan pelaku impor gula untuk meningkatkan pendapatan petani atau produsen

Revisi dan mempertegas esensi Kepmenperindag No.

(44)
[image:44.595.113.489.109.508.2]

Adapun roadmap sasaran pengembangan industri gula adalah sebagai berikut :

Gambar 7 Roadmap Sasaran Pengembangan Industri Gula 2010 – 2025 (Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian 2009)

2.2 Perbaikan Kinerja

Tonchia dan Toni (2001) menyebutkan bahwa pada dasarnya kinerja dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kinerja yang berkaitan dengan biaya (biaya produksi) dan kinerja yang berkaitan dengan selain biaya (seperti kualitas, fleksibilitas, dan sebagainya). Lingkup dari kinerja menurut Grunberg (2004) mencakup aspek ekonomi dan aspek operasional. Kinerja pabrik gula (PG) dapat di kategorikan ke dalam dua aspek (Lembaga Penelitian IPB 2002), yaitu : kinerja ekonomis dan kinerja teknis.

Hasil identifikasi terhadap berbagai penelitian yang terkait dengan manajemen kinerja (Holloway 2009) menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian membahas topik perbaikan kinerja. Adapun pendekatan yang digunakan bervariasi yaitu kuantitatif, kualitatif, partisipatif, interpretatif,

history, prediksi, dan pengembangan model.

1. Tercapainya swasembada gula nasional tahun 2014

2. Berhasilnya program revitalisasi pabrik gula melalui peningkatan mutu dan volume produksi gula putih

3. Meningkatnya produksi raw sugar dalam negeri 4. Memberlakukan SNI wajib gula putih

1. Pemenuhan berbagai jenis gula dari produksi dalam negeri 2. Ekspor gula setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi

3. Restrukturisasi teknologi proses pada industri gula sesuai perkembangan yang terjadi

4. Penghapusan dikotomi pasar gula rafinasi yang dapat pula dijual ke konsumen langsung

1. Indonesia menjadi negara produsen gula yang mampu memasok kebutuhan negara-negara lain di Asia Pasifik

JANGKA PENDEK 2010-2015

JANGKA MENENGAH 2015-2020

(45)

Inisiatif terhadap perbaikan kinerja diawali pada masa revolusi industri. Seiring dengan perubahan lingkungan organisasi, meningkatnya persaingan, perubahan kebutuhan internal dan eksternal organisasi dan perkembangan teknologi yang menyebabkan perubahan dalam setiap aspek manajemen dan organisasi maka pendekatan dan metodologi dalam perbaikan kinerja juga terus berkembang.

Metoda perbaikan kinerja pada umumnya diawali dengan melakukan pemetaan terhadap aliran proses. Pendekatan ini dapat membantu dalam mengidentifikasi area potensial untuk diperbaiki. LaBonte (2001) mendefinisikan perbaikan kinerja sebagai proses yang digunakan secara sistematis untuk mengidentifikasi gap kinerja, meneliti sebab utama, memilih dan merancang tindakan, mengukur hasil, dan memperbaiki kinerja secara berkesinambungan.

Usaha yang dilakukan organisasi untuk memperbaiki kinerjanya dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pada umumnya, terdapat lima tahap yang harus dilakukan dalam model perbaikan kinerja (Swanson 1996) yaitu : 1) tahap analisis; 2) tahap desain; 3) tahap pengembangan; 4) tahap implementasi; dan 5) tahap evaluasi. Tahap yang paling kritis adalah tahap analisis. Tujuan dari tahap analisis adalah untuk menentukan kinerja, menentukan target kinerja yang diinginkan, dan untuk menentukan prioritas perbaikan.

2.3 Pengukuran Kinerja

Untuk menentukan kinerja perlu dilakukan pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja merupakan sub sistem dari manajemen kinerja (Cokins 2004; Halachmi 2005; Stiffler 2006; Baxter dan MacLeod 2008). Pengukuran kinerja didefinisikan sebagai proses untuk mengkuantifikasi efisiensi dan efektivitas dari suatu tindakan (Tangen 2004; Olsen et al. 2007; Cocca dan Alberti 2010). Tindakan yang dimaksud adalah tindakan masa lalu (Cocca dan Alberti 2010). Pengukuran kinerja adalah bagian dari analisa atau diagnosa terhadap proses untuk mengidentifikasi aktivitas mana yang diprioritaskan untuk diperbaiki.

<

Gambar

Tabel 1 Instrumen kebijakan untuk Industri Gula Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005)
Gambar 7  Roadmap Sasaran Pengembangan Industri Gula 2010 – 2025 (Dirjen
Gambar  13  Bentuk Kriteria Linier dengan  Area  Tidak Berbeda                       (Suryadi dan Ramdhani  2002)
Gambar  16  Siklus Model (Levin et al. 1995)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengadaan alat Teknologi Informasi dan Komunikasi sangat membantu baik guru maupun siswa dalam berbagai kegiatan belajar mengajar. Untuk itu perlu bantuan dana

Untuk mendapatkan suatu hasil kerja yang baik dan sesuai dengan tujuan organisasi.. maka setiap pimpinan suatu organisasi dapat dipastikan mempunyai suatu

Berdasarkan latar belakang di atas, maka judul penelitian ini adalah &#34;Pengaruh Tingkat Profitabilitas, Risiko Bisnis, Ukuran Perusahaan, Pertumbuhan Aset, Likuiditas

Perancangan aplikasi ini akan mengakses google maps untuk menampilkan peta lokasi layanan kesehatan yang dicari, lokasi pengguna yang diperoleh dari pengaksesan satelit melalui GPS

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau

20 Urusan Wajib Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Adm KeuDa, Perangkat Daerah, Kepegawaian Organisasi : 1. 29 KELURAHAN

Penulis memilih redaksi Koran harian Radar Surabaya sebagai tempat kerja praktek yang berjudul “ PERANCANGAN LAYOUT MEDIA CETAK HARIAN RADAR SURABAYA EDISI 25 JUNI S/D

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efek Hipoglikemik Ekstrak Daun Murbei (Morus multicaulis ) Terhadap Kadar Glukosa darah Tikus DM adalah karya saya dengan arahan dari