• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN (STUDI KASUS PADA POLRESTA BANDAR LAMPUNG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN (STUDI KASUS PADA POLRESTA BANDAR LAMPUNG)"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

i

CRIMINAL CASE ON INVESTIGATION STAGE (CASE STUDY ON BANDAR LAMPUNG RESORT POLICE)

By

Y. AGUSTIANDARU, SH., SIK

Police duties in law enforcement has always put forward the principle of legality in a formal investigation . Investigators face a dilemma choice to advance or stop the case when there's peace between the victim and the suspect . If the investigator is always pursuing legal certainty , the entire case will be forwarded to the judicial process . Such conditions can add to the burden of the criminal justice system that is characterized by over- capacity Pemasyarakatan institutions in Indonesia . Problems in the study discusses the implementation of progressive laws relating to the form , limitations , reasons , and barriers found Bandar Lampung Resort Police investigator. Research using normative juridical and empirical jurisdiction . Data obtained from primary data and secondary data . The data collection procedures with literature studies, field studies, and study documentation. After going through the process of data collection and processing qualitative analysis.

The results showed that the Bandar Lampung Police investigator in implementing progressive law in the form: penal mediation, applying discretion, and by empowering community policing. Furthermore, there are limitations of criminal cases that can be solved with progressive law. Sub-system within the criminal justice system found police investigators need to implement progressive laws. Constraints identified are the absence of legal rules governing the implementation of penal mediation, the possibility of deviation possessed discretionary authority investigators, as well as an understanding of law enforcement officers who have always adhered to the principle of formal legalistic.

Finally, it is suggested to police investigators that promote progressive law at this stage of the investigation . Investigators also must have a shared understanding about the limitations of the application of progressive law . In addition there is need for synergy in the criminal justice system sub progressive application of the law. Suggestions recommended that the need for written rules on penal mediation in criminal law in Indonesia . To avoid distortion , boss investigator needs to monitor the steps taken by the investigator through his case.

(2)

ii

PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN

(STUDI KASUS PADA POLRESTA BANDAR LAMPUNG)

Oleh

Y. AGUSTIANDARU, SH., SIK

Tugas Polri dalam penegakan hukum selama ini selalu mengedepankan asas legalitas formal dalam suatu penyidikan. Penyidik menghadapi suatu pilihan dilematis untuk memajukan atau menghentikan perkara ketika sudah ada perdamaian antara korban dan tersangka. Apabila penyidik selalu mengejar kepastian hukum, maka seluruh perkara akan dimajukan ke proses peradilan. Kondisi seperti ini dapat menambah beban sistem peradilan pidana yang ditandai dengan over kapasitas lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini membahas tentang penerapan hukum progresif terkait dengan bentuk, batasan, alasan, dan hambatan yang ditemukan Penyidik Polresta Bandar Lampung.

Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, studi lapangan, dan studi dokumentasi. Setelah melalui proses pengumpulan dan pengolahan data dilakukan analisis secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyidik di Polresta Bandar Lampung menerapkan hukum progresif dalam bentuk: mediasi penal, menerapkan diskresi, dan dengan memberdayakan Polmas. Selanjutnya ada batasan perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan hukum progresif. Sub sistem dalam sistem peradilan pidana berpendapat bahwa penyidik Polri perlu menerapkan hukum progresif. Hambatan yang ditemukan adalah tidak adanya aturan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan mediasi penal, kemungkinan terjadinya penyimpangan kewenangan diskresi yang dimiliki penyidik, serta pemahaman aparat penegak hukum yang selalu berpegang pada azas legalistik formal.

Akhirnya disarankan kepada penyidik Polri agar mengedepankan hukum progresif pada tahap penyidikan. Penyidik juga harus mempunyai persamaan persepsi tentang batasan penerapan hukum progresif. Selain itu perlu adanya sinergitas dalam sub sistem peradilan pidana mengenai penerapan hukum progresif. Saran yang direkomendasikan bahwa perlu adanya aturan tertulis tentang mediasi penal dalam hukum pidana di Indonesia. Untuk menghindari penyimpangan, atasan penyidik perlu melakukan pengawasan terhadap langkah yang diambil penyidik melalui gelar perkara.

(3)

PADA TAHAP PENYIDIKAN

(Studi Kasus Pada Polresta Bandar Lampung)

Oleh:

Y. AGUSTIANDARU, SH., SIK

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Studi Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM MAGISTER HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

vii

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, tanggal 19 Agustus 1981 yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Fransiskus X. Gimun dan Ibu Marseline Kasinem.

(8)

viii

“Jadilah orang biasa yang melakukan hal-hal yang luar biasa”

“Menjadi orang penting itu baik, tapi lebih penting menjadi orang baik”

(9)

ix

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,

Tesis ini dipersembahkan oleh penulis untuk orang-orang yang telah dengan tulus

dan sabar memberikan semangat, peng

ertian, ilmu, dan do’a bagi keberhasilan dan

kesuksesan dalam meraih ilmu dan gelar S2 bagi penulis.

Mereka adalah:

1. Ayahanda Fransiskus Xaverius Gimun dan Ibunda Marseline Kasinem, yang penuh dengan cinta dan kasih sayangnya, telah mendidik dan selalu berdo‟a untuk keberhasilanku;

2. Mertuaku : Ayahanda (almarhum) Hendro Purnomo dan Ibunda Erna Jogawati

selalu membimbing, menasehati, dan mendo‟akanku;

3. Yang paling kucintai dan yang teristimewa dalam hidupku : Isteriku Veronica Chandra Wati, yang selalu setia menemaniku dalam suka dan duka, serta

memberikan semangat, dan do‟a dalam segala hal;

4. Anak-anakku yang kucintai dan sayangi : Nathania Ardelia Putri dan Dionisius Evanjatra Wicaksana yang selalu menjadi pelipur hati dan pendorong semangatku.

5. Adik yang kusayangi: Dominikus Heri Handoko dan seluruh saudara dari istri yang selalu memberi dukungan;

(10)

xii

Halaman

ABSTRACT--- i.

ABSTRAK--- ii.

HALAMAN SAMPUL--- iii.

PERSETUJUAN--- iv.

PENGESAHAN--- v.

PERNYATAAN--- vi.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP--- vii.

PERSEMBAHAN--- viii.

MOTTO--- ix.

KATA PENGANTAR--- x.

DAFTAR ISI--- xi.

BAB I. PENDAHULUAN--- 1.

A. Latar Belakang Masalah--- 1.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup--- 10.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian--- 11.

D. Kerangka Teori dan Konseptual--- 12.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA--- 19.

A. Tugas dan Wewenang Polri dalam Penegakan Hukum--- 19.

B. Diskresi Kepolisian--- 23.

C. Konsep Pemolisian Masyarakat/ Community Policing--- 28.

D. Teori Keadilan dan Hukum Progresif--- 31.

E. Teori Teori Pemidanaan--- 44.

F. Sistem Peradilan Pidana--- 47.

BAB III. METODE PENELITIAN--- 50.

A. Pendekatan Masalah--- 50.

(11)

xiii

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN--- 54. A. Penerapan Hukum Progresif dalam Penyelesaian Perkara

Pidana oleh Penyidik Polresta Bandar Lampung---

54.

B. Kategori Perkara Pidana yang penyelesaiannya menggunakan penerapan Hukum Progresif---

71.

C. Alasan Perlunya Penerapan Hukum Progresif dalam Penyelesaian Perkara Pidana oleh Penyidik Polresta Bandar Lampung---

76.

D. Hambatan yang Dihadapi Penyidik dalam Penyelesaian Perkara Pidana dengan Menerapkan Hukum Progresif---

86.

BAB V. PENUTUP 92.

A. Simpulan--- 92. B. Saran--- 95.

(12)

A. Latar Belakang Masalah

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang diancam dengan pidana. Syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang. Pengertian demikian mengenai perbuatan pidana dipakai oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disebut kejahatan. Istilah kejahatan pada hakekatnya merupakan kegiatan prilaku manusia yang bertentangan dengan hukum dan norma sosial, sehingga masyarakat mencelanya, namun istilah kejahatan tidak dapat digunakan begitu saja untuk pengganti perbuatan pidana yang ada dalam pengertian stratbaar feit. Perumusan

Staartbaar Feit merupakan perbuatan yang melanggar undang-undang, dan

diancam dengan hukuman, seperti diterangkan oleh Simon dalam pendapatnya tentang Strafbaar Feit yang harus memuat beberapa unsur yaitu:

1. suatu perbuatan manusia (menselijkt handeling en) dengan hendeling dimaksudkan tidak saja "een doen" (perbuatan), akan tetapi juga "een nulaten" (mengabaikan);

2. perbuatan itu (yaitu perbuatan dan mengabaikan) dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;

3. perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya dapat dipersilahkan karena melakukan perbuatan tersebut.1

Suatu kejahatan dapat dipidana hanya dalam kapasitas ukuran normal untuk suatu perbuatan pidana, tetapi dalam arti yang lebih penting perbuatan tersebut adalah

1

(13)

suatu perbuatan yang melanggar aturan hukum. Hukum pidana diperlukan untuk mengatur sanksi dari perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.

Hukum pidana di Indonesia sesuai dengan Pasal 10 Kitab Undang Undang Hukum Pidana mengatur jenis pidana terdiri atas: Pidana pokok yg terbagi menjadi pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda; sedangkan Pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Seseorang sebelum menjalani pidana, terlebih dahulu harus melewati proses peradilan pidana yang tidak sederhana. Untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak, maka sebelumnya harus menjalani proses penyidikan dari kepolisian/penyidik lainnya, penuntutan dari kejaksaan, dan terakhir melalui proses pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang dan jenis dan berat hukuman yang akan diberikan. Rangkaian proses ini merupakan tahapan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system).

(14)

Menurut Muladi, tujuan sistem peradilan pidana terdiri dari:

1. tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;

2. tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (criminal policy);

3. tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat(social welfare), dalam konteks politik sosial (social policy).2 Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana ini terdiri dari 4(empat) sub sistem, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Berbicara tentang tujuan jangka pendek sistem peradilan pidana yaitu resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, maka sub sistem Lembaga Pemasyarakatan mempunyai peranan yang lebih besar dibanding sub sistem yang lainnya.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir sistem peradilan pidana, dan juga merupakan rangkaian penegakan hukum, bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Fungsi Lembaga Pemasyarakatan akhir-akhir ini patut dipertanyakan kembali mengingat tidak optimalnya pembinaan kepada narapida. Salah satunya yang menjadi hambatan adalah terjadinya over kapasitas dari Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia.

2

(15)

Pada akhir tahun 2012, Kementerian Hukum dan HAM merilis data bahwa kapasitas LP atau rumah tahanan yang ada di Indonesia hanya mampu menampung tahanan sebanyak 102.466 orang, namun jumlah napi sekarang ini mencapai 152.071 orang atau kelebihan kapasitas sebesar 50%. Berdasarkan data dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham sampai Juli 2013, ada beberapa LP yang mengalami over kapasitas yaitu LP Kelas I Tangerang dengan kapasitas 800 orang, namun dihuni 1.437 orang tahanan, LP Kelas I Cipinang dengan kapasitas 880 orang, namun dihuni 2.933 orang, LP Kelas II Salemba dengan kapasitas 572 orang, dihuni 1.917 orang, LP Kelas II A Karawang dengan kapasitas 590 orang, dihuni 1.102 orang, LP Kelas II Cibinong dengan kapasitas 924 orang, dihuni 1.215 orang, LP Kelas I Semarang dengan kapasitas 530 orang, dihuni 1.204 orang, LP Kelas I Madiun dengan kapasitas 536 orang, dihuni 1.473 orang, LP Kelas I Medan dengan kapasitas 700, dihuni 3.082 orang, LP Kelas II Lubuk Pakam dengan kapasitas 350 orang, dihuni 1.022 orang, LP Kelas II A Pekanbaru dengan kapasitas 361 orang, dihuni 1.581 orang, LP Kelas I Palembang dengan kapasitas 540 orang, dihuni 1.136 orang, LP Kelas II A Banjarmasin dengan kapasitas 366 orang, dihuni 2.411 orang. Rutan Kelas I Surabaya dengan kapasitas 504 orang, dihuni 1.695 orang dan Rutan Kelas I Medan dengan kapasitas 1.054 orang, dihuni 2.600 orang.3

(16)

Ketidakmampuan Lembaga Pemasyarakatan untuk menampung jumlah narapidana yang ada tidak bisa lepas dari Sub sistem lainnya dalam sistem peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kepolisian dalam hal ini adalah pintu pertama atau gerbang untuk memasuki suatu proses peradilan pidana, sehingga Polri mempunyai andil yang cukup besar sehingga terjadi over kapasitas di Lapas. Menurut penilaian Wakapolri Komjen Oegroseno dalam apel Kasatwil Kepolisian se-Indonesia di Mako Brimob Kelapa Dua, Rabu, 15 September 2013, kondisi Lapas yang overload tidak lepas dari peran polisi. Polisi terlalu mudah menahan seseorang, sehingga jumlah tahanan membludak. Menurut beliau, intensitas kepolisian dalam menahan orang akhir-akhir ini sudah keterlaluan. Tidak jarang tersangka yang menurut aturan boleh tidak ditahan namun dipaksakan untuk ditahan.5

Polri harus lebih dapat bijak dalam menentukan suatu perkara untuk dapat atau tidaknya maju ke pengadilan. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa bagi polisi, menjalankan hukum pidana tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik, tetapi dapat penuh pergulatan sosiologis dan kemanusiaan.6 Polisi-polisi yang mempersepsikan perpolisian bukan sekedar sebagai pelaksana komando undang undang, menjalankan tugasnya dengan memanfaatkan institusi diskresi, dimana ia dapat memilih antara meneruskan prosesnya secara hukum atau menghentikannya. Untuk memilih menghentikan atau tidak memperkarakan

5

Warning Kapolres, Tahanan Tewas, Copot, Radar lampung, Kamis, 15 September 2013

6

(17)

seseorang membutuhkan suatu visi yang lebih kompleks daripada sekedar menerapkan hukum saja.7

Penyidik menghadapi pilihan antara memajukan atau menghentikan perkara apabila sudah ada perdamaian antara korban dan terlapor. Pihak yang terlibat pada umumnya menginginkan proses hukum tidak usah dilanjutkan, namun ketika penyidik tetap mengajukan perkaranya ke persidangan dengan alasan bukan delik aduan, maka rasa keadilan dari korban dan terlapor tidak akan terpenuhi.

Penyidik pada situasi ini dihadapkan pilihan dilematis antara kepastian hukum dan keadilan. Menurut Gustav Radbruch, ada tiga nilai dasar yang terdapat dalam hukum, yakni nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.8 Penegak hukum secara ideal memang harus mengedepankan nilai dasar hukum tersebut secara berimbang, akan tetapi realitasnya ketiga nilai hukum ini akan mengalami pertentangan yang satu dengan yang lain. Aparat penegak hukum semestinya tidak memahami nilai adil dan pasti itu pada pemahaman yang tunggal, karena pemahaman yang tunggal inilah yang dapat menghambat penegakan hukum. Para penegak hukum diharapkan harus memiliki keberanian memperluas cara berhukum yang tidak hanya mengedepankan peraturan (rule), tetapi juga perilaku (behaviour).

Aparat penegak hukum dalam hal ini instansi Kepolisian masih selalu mengedepankan aspek peraturan (rule) dengan berpegang teguh pada asas legalitas formal dalam setiap penyidikan perkara pidana. Penggunaan asas yuridis

7

Ibid, hlm. 227.

8

(18)

formal ini, membuat Polri rigid dalam menegakkan Undang Undang. Adanya suatu kecendrungan ketika penyidik Polri tidak melakukan penyidikan sesuai dengan yang diamanatkan dalam undang undang, maka penyidik tersebut dianggap melakukan suatu penyimpangan. Anggapan itu tetap akan muncul walaupun penyidik melakukan dengan alasan keadilan dan kemanfaatan. Akibat penyidik selalu mengejar kepastian hukum, seluruh tindak pidana yang memenuhi unsur materiil dan formal akan diteruskan ke proses Sistem Peradilan Pidana berikutnya. Penuntut umum dan hakim tidak akan bisa menolak perkara yang diajukan penyidik Polri. Hal inilah yang menyebabkan jumlah narapidana akan bertambah terus dari waktu ke waktu, sehingga terjadi over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan untuk melakukan resosialisasi dan rehabilitasi narapidana agar siap kembali ke masyarakat tidak akan bisa berjalan optimal.

(19)

putusan hukum, sehingga memungkinkan terjadinya pengulangan tindak pidana atau peningkatan ekskalasi tindak pidana yang dilakukan. Proses ini akan terus berulang, sehingga kejahatan di masyarakat tidak akan pernah berhenti. Apabila hal ini terjadi maka tujuan sistem peradilan pidana jangka menengah yaitu sebagai pencegah dan pengendali kejahatan tidak akan berhasil. Ketika kejahatan terus berkembang maka masyarakat akan merasa tidak aman dalam menjalankan aktivitas perekonomian sehari-hari. Terganggunya mata pencaharian masyarakat, akan menyebabkan tujuan jangka panjang dari Sistem Peradilan Pidana yaitu untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak akan tercapai.

Dalam rangka mengurangi beban sistem peradilan pidana seperti yang diuraikan di atas, penyidik Polri sebagai lini terdepan dari Sistem Peradilan Pidana sebenarnya mempunyai andil yang cukup besar. Penyidik seharusnya tidak selalu mengedepankan asas Legalistik Formal yang mengejar kepastian hukum dalam setiap penanganan perkara pidana. Cara berhukum penyidik Polri hendaknya tidak hanya semata-mata menggunakan logika dan undang-undang saja, melainkan juga dengan hati nurani. Disinilah nilai-nilai yang lain dapat masuk seperti: empati, kejujuran, dan keberanian.9 Gagasan cara berhukum seperti ini dipelopori oleh Satjipto Rahardjo, yang dikenal sebagai gagasan hukum progresif. Asumsi dasar hukum progresif dimulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk manusia. Karena hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri, tetapi untuk nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mencapai keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia.

9

(20)

Penyidik Polri dapat menerapkan hukum progresif dalam mengambil keputusan apabila dihadapkan pilihan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan. Kewenangan diskresi diberikan kepada polisi untuk menentukan pilihan tindakan yang akan dilakukan. Memahami konsep diskresi kepolisian secara sederhana adalah memahami bahwa kewenangan anggota Polri untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya dengan berdasarkan hukum atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri demi kepentingan umum. Oleh karena itu, secara tidak langsung diskresi kepolisian dapat dikatakan sebagai salah satu penerapanan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana. Tak heran apabila Satjipto Raharjo berpendapat bahwa polisi memiliki peluang paling besar untuk menjadi penegak hukum progresif. Hukum menyediakan banyak peluang agar polisi dapat menjadi pahlawan bagi bangsanya, dengan membuat pilihan tepat dalam pekerjaannya.10

Penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana di kepolisian selain juga untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat, juga dapat mendukung keberhasilan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan tidak akan mampu membina narapidana yang hanya menjalankan masa hukuman yang cukup singkat. Output yang dihasilkan dapat menjadi lebih buruk karena narapida terkontaminasi dengan pelaku kejahatan lainnya di dalam lembaga Pemasyarakatan. Semula dihukum karena mencuri ayam, setelah keluar dari lapas menjadi pencuri sepeda motor karena bergaul dengan narapida lainnya, ataupun yang semula hanya pemakai narkoba, setelah

10

(21)

keluar menjadi pengedar narkoba. Hal ini tidak akan terjadi ketika penyidik menerapkan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana, sehingga kasus-kasus tindak pidana ringan yang sudah didamaikan tidak lagi diajukan ke pengadilan. Kondisi ini akan memperingan beban Lembaga Pemasyarakatan dalam membina narapidananya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan judul : Penerapan Hukum Progresif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus Pada Polresta Bandar Lampung)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah:

a. Bagaimanakah penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana oleh penyidik Polresta Bandar Lampung?

b. Perkara pidana apa sajakah yang penyelesaiannya dapat menggunakan penerapan hukum progresif?

c. Mengapa diperlukan penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana oleh Penyidik Polresta Bandar Lampung?

(22)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan hukum pidana yang dibatasi dalam tahap penyidikan di kepolisian terutama mengenai dasar hukum, pertimbangan, dan tolak ukur penyidik Polresta Bandar Lampung untuk menerapkan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana selama kurun waktu tahun 2013, yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya untuk mengurangi beban sistem peradilan pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk:

a. Menganalisis penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana oleh penyidik Polresta Bandar Lampung.

b. Menganalisis perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan menggunakan penerapan hukum progresif yang dilakukan oleh penyidik Polresta Bandar Lampung.

c. Menganalisis alasan perlunya penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana oleh Penyidik Polresta Bandar Lampung. d. Menganalisis hambatan yang dihadapi penyidik Polresta Bandar Lampung

(23)

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya dalam memberikan argumentasi tentang perlunya Penyidik Polri menerapkan hukum progresif dalam penyidikan Tindak Pidana, sehingga dapat mengurangi beban Sistem Peradilan Pidana khususnya terkait tugas dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan dalam membina narapidana.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan dan pertimbangan bagi penyidik Polri dalam menyelesaikan perkara pidana yang sedang dihadapinya sebagai sub sistem Sistem Peradilan Pidana yang tidak terlepas dari tugas tanggung jawab Lembaga Pemasyarakatan dalam membina narapidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan di dalam penelitian ini antara lain:

a. Teori Tujuan Hukum

(24)

Ada begitu banyak grand teori tentang apa yang menjadi tujuan hukum. Teori tujuan hukum yang dipakai penulis untuk membahas permasalahan di tulisan ini adalah teori dari Gustav Radbruch. Gustav Radbruch adalah seorang filosof hukum dari Jerman yang mengajarkan konsep tiga ide dasar hukum.

Gustav mengajarkan bahwa ada tiga ide dasar hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaeszigkeit), dan kepastian hukum (rechtssicherkeit).11 Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas dalam menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Ketika hakim dihadapkan dengan pilihan antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka ia harus mengutamakan keadilan, barulah kemanfaatan, dan yang terakhir kepastian hukum.

Teori Radbruch yang semula dipandang sebagai teori yang maju dan arif, ternyata dalam kasus tertentu tidak sesuai dengan kebutuhan hukum. Dalam kasus tertentu dipandang bahwa keadilan harus diutamakan daripada kemanfaatan dan kepastian hukum, akan tetapi dalam kasus lain mungkin kemanfaatan lebih harus didahulukan daripada keadilan dan kepastian hukum. Melihat kenyataan tersebut, timbulah teori prioritas kasuistik dimana tujuan hukum mencakupi keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dengan urutan prioritas secara proporsional sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.

11

(25)

b. Konsep Hukum Progresif

Munculnya gagasan hukum progresif pada dasarnya didasarkan pada ketidakpuasan penggunaan cara pandang positivistik dalam penegakan hukum karena seringkali dirasa gagal memenuhi keadilan. Sekalipun diakui bahwa hukum yang berdimensi positivistik bermanfaat guna menjamin kepastian hukum, tapi karena sifat dasarnya yang kaku, hukum yang demikian berpotensi mengabaikan masyarakat tempat hukum itu hidup.

Atas dasar keprihatinan ini, Satjipto Rahardjo menggagas suatu ide tentang hukum progresif. Asumsi dasar yang diajukan oleh Satjipto Rahardjo adalah mengenai pandangan tentang hubungan antara hukum dan manusia. Hukum progresif memiliki prinsip utama bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar, yaitu untuk nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mencapai keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia.12

Konsekuensi dari prinsip ini adalah setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Maka hukum tidak menjadi

suatu yang final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process, law in the

making) dalam rangka menuju hukum yang berkeadilan, yakni hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang peduli terhadap rakyat.

12

(26)

Berdasarkan asumsi asumsi di atas, Faisal, menyusun landasan konseptual dari hukum progresif adalah sebagai berikut13:

1) Hukum sebagai institusi yang dinamis

Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk menjadi (law as process, law in the making). Dalam konteks demikian , hukum akan tampak selau bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam “kepastian hukum”, status quo, dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan undang-undang maupun pada kultur hukumnya.

2) Hukum sebagai ajaran kemanusiaan dan keadilan

Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum

hanyalah sebagai „alat‟ untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan

bahagia bagi manusia. Oleh karena itu menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat sehingga keadilan substantif harus lebih didahulukan daripada keadilan prosedural.

3) Hukum sebagai aspek peraturan dan perilaku

Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules and behaviour). Peraturan akan membangun suatu sistem hukum positif yang

13

(27)

logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah (akan) terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun di sini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya. Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan di atas faktor peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap, dan perilaku dari asas legalistik-positivistik ke asas kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan kepada siapapun.

4) Hukum sebagai ajaran pembebasan

Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yamg legalistik-positivistik. Dengan ciri “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan tujuan daripada prosedur. Dalam konteks demikian, untuk melakukan penegakan hukum, perlu dilakukan langkah-langkah kreatif, inovatif, dan bila perlu melakukan mobilisasi hukum maupun rule breaking. Paradigma pembebasan yang dimaksud disini bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada

“logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata

(28)

2. Konseptual

Untuk membatasi istilah yang digunakan dalam penulisan tesis ini, dirumuskan pengertian-pengertian sebagai berikut:

a. Hukum Progresif

Secara etimologi, kata “progresif” berasal dari kata progress dari Bahasa Inggris

yang berarti kemajuan. Jika kata hukum dan progresif digabung, maka bermakna bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman agar mampu melayani kepentingan masyarakat berdasarkan aspek moralitas sumber daya para penegak hukum. Sedangkan apabila hukum progresif digabungkan dengan penafsiran hukum, hal ini berarti bahwa penafsiran progresif memahami proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap suatu konsep kuno yang tidak dapat digunakan dalam melayani kehidupan masa kini.14

b. Perkara pidana adalah suatu kasus atau permasalahan yang diancam dengan pidana.15

c. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan-perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.16

d. Penyidikan menurut Pasal 1 butir 3 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini untuk

14

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 128.

15

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 56

16

(29)

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

e. Sistem Peradilan Pidana (SPP) menurut Rusli Muhammad adalah jaringan peradilan yang bekerja sama secara terpadu di antara bagian-bagiannya untuk mencapai tujuan tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang.17

f. Narapidana menurut Pasal 1 Ayat 7 UU No. 12 tahun 1995 adalah terpidana yang menjalani hilang kemerdekaan di Lapas.

17

(30)

A. Tugas dan Wewenang Polri dalam Penegakan Hukum

Pengertian Kepolisian menurut Pasal 1 Undang Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan tugasnya, Kepolisan langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Sejak dikeluarkannya Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002, status kepolisian Republik Indonesia sudah berdiri sendiri dan tidak lagi menjadi bagian dari ABRI. Hal ini dikarenakan adanya perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

Polisi merupakan institusi hukum yang tua, setua usia timbulnya kehidupan bermasyarakat dalam sejarah manusia (ubi societas ubi politic)18. Dalam menjalankan tugasnya, polisi memiliki dua peran sekaligus, yang pertama Polisi adalah institusi yang bertugas menjaga dan memelihara ketertiban atau order masyarakat agar tercapai suasana kehidupan yang aman , tentram, dan damai (Police as maintenance order officer). Yang kedua polisi adalah institusi yang berperan dalam penegakan hukum dan norma hidup dalam masyarakat (Police as an

18

(31)

enforcement officer)19. Pada pelaksanaan demikian, polisi adalah sebagai institusi yang dapat melaksanakan berlakunya hukum, manakala hukum dilanggar, terutama oleh perilaku menyimpang (kejahatan), maka diperlukan peran polisi untuk memulihkan keadaan (restitution in integruman) pemaksa agar si pelanggar hukum menanggung akibat dari perbuatannya.

Berkaitan dengan hal di atas, tugas Kepolisian di Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 13 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat 2. Menegakkan hukum, dan:

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Penjelasan Pasal 13 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas, ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksaannya tugas pokok mana yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan. Di samping itu, dalam pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.20

Tugas Pokok Polri tersebut memuat tiga substansi yaitu: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan,

19

Ibid

20

(32)

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Substansi tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat bersumber dari kewajiban umum kepolisian yaitu memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. Substansi tugas pokok menegakkan hukum bersumber dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam kaitannya dengan peradialan pidana, contoh KUHP, KUHAP, dan berbagai undang undang tertentu lainnya. Substansi tugas pokok memberikan perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat bersumber dari kedudukan fungsi kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang pada hakikatnya bersifat pelayanan publik (public service) dan termasuk dalam kewajiban umum kepolisian.21

Pasal 14 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002, menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.

3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

5. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

6. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

7. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

21

(33)

8. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium foresnik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.

9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dan gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

10. Melayani kepentingan watga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang.

11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta;

12. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 14 Ayat (1) huruf g, memuat substansi tentang rincian tugas Polri di bidang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Tugas penyelidikan dan penyidikan yang harus dilaksanakan oleh penyelidik dan penyidik Polri meliputi kegiatan:

1. Mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

2. Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. 3. Mencari serta mengumpulkan bukti.

4. Membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi 5. Menemukan tersangka pelaku tindak pidana

Pasal 16 Ayat (1) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 menjabarkan wewenang Polri dalam rangka mendukung pelaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, yaitu sebagai berikut bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. 2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyelidikan.

(34)

4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

8. Mengadakan penghentian penyidikan.

9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkap orang yang disangka melakukan tindak pidana.

11. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

B. Diskresi Kepolisian

Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari Bahasa

Belanda “Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan

sesuatu tindakan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan, atau keadilan.22

Thomas J. Aaron mendefinisikan diskresi dalam pengertian: “discretion is power authority conferred by law to action on the basic of judgement of conscience and its

use is more than idea of morals than law” yang dapat diartikan sebagai suatu

kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan

22

(35)

keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum.23

Diskresi yang ada pada tugas polisi dikarenakan pada saat polisi menindak, lalu dihadapkan pada 2 macam pilihan apakah memprosesnya sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai penegak hukum pidana ataukah mengenyampingkan perkara itu dalam arti mengambil tindakan diskresi kepolisian. Tindakan diskresi ini mempunyai arti tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya selaku penegak hukum pidana berdasarkan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh hukum. Alasan-alasan itu bisa berupa membina pelaku demi ketertiban atau karena alasan-alasan hukum yang lainnya. Secara keseluruhan alasan-alasan-alasan-alasan inipun erat kaitannya atau masuk dalam kerangka tugas preventif polisi. Tindakan kepolisian yang berupa menindak (represif) yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan diskresi ini, disebut dengan tindakan diskresi kepolisian aktif. Sedangkan keputusan kepolisian yang berupa sikap kepolisian yang umumnya mentolerir (mendiamkan) suatu tindak pidana atau pelanggaran hukum disebut diskresi kepolisian pasif.24

Menurut Satjipto Rahardjo, salah satu alasan mengapa diskresi diperlukan bagi petugas kepolisian karena sifat tugasnya yang mendesak dan mendadak, dimana polisi harus bekerja dalam bilangan detik, tidak ada kemewahan untuk berpikir dan menimbang-nimbang seperti hakim, jaksa, dan advodkat. Jika polisi tidak cepat dan tepat bertindak, dalam bilangan detik dapat terjadi aneka peristiwa, kecelakaan,

23

M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 16.

24

(36)

bunuh diri, dan lainnya. Jadi keleluasaan dan kelonggaran diperlukan bagi pekerjaan polisi. Kekakuan pengaturan pekerjaan polisi bisa fatal. Diskresi diberikan kepada polisi untuk menentukan pilihan tindakan (course of action) yang akan dilakukan.25

Status polisi sebagai penyidik utama di dalam sistem peradilan pidana atau sebagai pintu gerbang di dalam proses, menempatkan polisi sebagai tempat menerima dan mendapatkan segala macam persoalan pidana. Tidak jarang polisi sebagai penyidik menerima terlalu banyak perkara-perkara yang sifatnya terlalu ringan, kurang berarti, dan kurang efisien kalau diproses. Selain hal tersebut seringkali polisi juga mengalami hambatan-hambatan dalam proses penyidikan seperti karena terbatasnya dana, sumber daya manusia, dan kualitas dari sumber daya manusia itu sendiri.

Polisi di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya selaku penegak hukum pada dasarnya selalu berpegang pada perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi dengan tugas dan kewajibannya yang juga sebagai pembina kamtibmas di daerahnya, terkadang kebijakan-kebijakan yang diambil bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Penyidik Polri dalam penyelesaian perkara pidana sering dihadapkan dengan perdamaian sesuai dengan ketentuan hukum adat setempat yang berlaku, yang apabila kasus itu tetap diangkat ke pengadilan, dapat menyebabkan masalah yang lebih besar lagi dan berpengaruh terhadap stabilitas kamtibmas.

Hal tersebut menunjukkan bahwa di dalam tugasnya sebagai alat negara penegak hukum, polisi ternyata mengambil sikap yang lebih flexibel di dalam menghadapi

25

(37)

ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis. Kebijaksanaan yang diambil berupa seleksi atau penyaringan perkara yang berupa penghentian atau pengenyampingan perkara tersebut merupakan salah satu bentuk diskresi yang ada di kepolisian.

Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi itu biasanya sudah banyak dimengerti oleh komponen fungsi di dalam sistem peradilan pidana, terutama oleh jaksa. Langkah kebijaksanaan yang diambil oleh polisi itu menurut M. Faal biasanya dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:26

1. Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding dengan hukum positif yang berlaku.

2. Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban, dan masyarakat.

3. Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat daripada semata-mata menggunakan hukum positif yang ada.

4. Atas kehendak mereka sendiri.

5. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Dasar hukum pelaksanaan diskresi kepolisian terdapat di dalam Pasal 18 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002. Walaupun diskresi sudah terdapat dalam Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repubik Indonesia, masih banyak aparat Kepolisian yang ragu untuk menggunakan wewenang ini terutama dalam penanganan kasus pidana. Selengkapnya Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan:

1. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

26

(38)

Selanjutnya penjelasan Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan: “Yang dimaksud dengan

“bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan

oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk

kepentingan umum.”

Penerapan diskresi kepolisian dalam penyelidikan dan penyidikan perkara pidana tercantum dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf l, yaitu: Dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang

untuk: “Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Pada

Ayat (2) diperjelas lagi bahwa: “Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan.

3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.

4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan menghormati hak asasi manusia.

(39)

5 Ayat (1) huruf a angka (4) KUHAP, yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan.

3. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.

4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. 5. Menghormati hak asasi manusia.

C. Konsep Pemolisian Masyarakat/ Community Policing

Model community policing di negara Barat muncul karena kepolisian menyadari bahwa sebagian besar upaya mereka untuk memerangi kejahatan tidaklah efektif. Model patroli preventif, reaksi cepat mendatangi tindak kejahatan, dan investigasi/ penyidikan tidak menurunkan angka kejahatan yang terjadi. Penggunaan teknologi tinggi untuk memerangi kejahatan ternyata tidak selalu didukung oleh ketersediaan anggaran untuk kepolisian. Menyadari hal ini, organisasi kepolisian di negara Barat menyadari akan arti pentingnya membentuk kemitraan dengan masyarakat untuk dapat efektif memerangi kejahatan.

(40)

petugas community police harus memahami keadaan lingkungan dan masyarakat, memahami permintaan masyarakat agar dapat melayani masyarakat secara efektif.

Polri menyadari bahwa konsep community policing ini sangat baik untuk diterapkan di Indonesia sebagai upaya untuk mengurangi angka kejahatan. Konsep Community

Policing sesungguhnya bukan merupakan konsep baru bagi bangsa Indonesia.

Nilai-nilai filosofis dan praktis community policing telah lama berkembang dan digunakan oleh Polri dalam pelaksanaan tugasnya. Siskamswakarsa dengan berbagai kegiatannya pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk praktis dari implementasi nilai-nilai community policing.

Oleh karena itu sangatlah tepat apabila Polri mengadopsi konsep community policing dalam pelaksanaan tugas kepolisian dengan dikeluarkannya Skep Kapolri No. Pol. : Skep/737/X/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Polmas dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Dengan terbitnya Skep tersebut secara resmi Kepolisian Negara Republik Indonesia menerapkan model community policing khas Indonesia dengan nama atau sebutan Polmas.

(41)

melatarbelakanginya. Masyarakat, kepada siapa fungsi kepolisian disajikan (public service) dan dipertanggung-jawabkan (public accountability) mengandung pengertian yang luas (society) yang mencakup setiap orang tanpa mempersoalkan status kewarganegaraan dan kependudukannya.

Polmas dalam perwujudannya dapat dilaksanakan sebagai suatu strategi dan falsafah. Sebagai suatu strategi, Polmas pada hakikatnya mengandung 2 unsur utama yaitu :

“membangun kemitraan antara polisi dengan masyarakat, serta untuk menyelesaikan

berbagai masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat.” Sedangkan sebagai

sebuah falsafah, Polmas mengandung makna “suatu model perpolisian yang

menekankan hubungan yang menjujung nilai-nilai sosial/kemanusiaan dan

menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga”.

Polmas mempunyai andil yang yang cukup besar dalam penyelesaian perkara pidana,. Permasalahan yang ada dapat ditempuh secara kekeluargaan dengan menggunakan musyawarah mufakat. Akan tetapi hal ini dibatasi terhadap perkara pidana yang kerugiannya kecil ataupun dampaknya tidak berakibat luas pada khayalak umum. Penyelesaian perkara pidana melalui jalur Polmas merupakan salah satu bentuk dari diskresi yang dilakukan oleh penyidik sehingga tidak semua kasus yang dilaporkan akan diteruskan ke pengadilan.

(42)

D. Teori Keadilan dan Hukum Progresif

1. Teori Keadilan

Berbagai teori keadilan telah muncul sejak berabad-abad yang lalu. Perbagai pandangan mengenai keadilan banyak diungkapkan oleh para pakar dari berbagai generasi. Menurut Plato, keadilan dapat terwujud manakala negara dipimpin oelh para aristokrat (filusuf). Negara yang dipimpin oleh penguasa yang cerdik, pandai, dan bijaksana akan melahirkan keadilan yang sempurna. Oleh karena itu, tanpa hukum sekalipun, jika negara dipimpin oleh para aristokrat maka akan tercipta keadilan bagi masyarakat. Namun dengan tidak dipimpinnya negara oleh para aristokrat, keadilan tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya hukum. Dalam kondisi inilah menurut Plato hukum dibutuhkan sebagai saran untuk menghadirkan keadilan dalam kondisi ketidak adilan.27

Ada beberapa pengertian keadilan menurut Aristoteles, diantaranya:28 a. Keadilan berbasis kesamaan

Keadilan ini bermula dari prinsip bahwa hukum mengikat semua orang, sehingga keadilan yang hendak dicapai oleh hukum dipahami dalam pengertian kesamaan. Kesamaan ini ada dua, yaitu kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Keadilan numerik ini berprinsip pada persamaan derajat bagi setiap orang di depan hukum, sedangkan kesamaan proporsional adalah memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya. b. Keadilan distributif

Keadilan distributif ini identik dengan keadilan proporsional. Keadilan distributif berpangkal pada pemberian hak sesuai dengan besar kecilnya jasa. Jadi keadilan tidak didasarkan pada persamaan, melainkan proporsionalitas, misalnya seorang profesor yang bekerja pada instansi tertentu berhak atas

(43)

gaji yang lebih besar dibanding dengan seorang yang hanya lulusan SLTA yang bekerja pada instansi yang sama.

c. Keadilan korektif

Fokus pada keadilan ini adalah pembetulan sesuatu yang salah, misalnya jika terjadi suatu kesalahan yang berdampak pada kerugian bagi orang lain, maka harus diberikan kompensasi bagi yang dirugikan tersebut. Jadi keadilan korektif ini merupakan standar umum untuk memulihkan akibat dari suatu kesalahan.

Sedangkan menurut Hans Kelsen, suatu tata sosial adalah tata yang adil. Pandangan ini bermakan bahwa tata tersebut mengatur perbuatan manusia dengan tata cara yang dapat memberikan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat. Keadilan adalah kebahagiaan sosial yang tidak dapat ditemukan manusia sebagai individu, dan berusaha untuk dicarinya dalam masyarakat. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa kerinduan manusia kepada keadilan pada hakikatnya adalah kerinduan terhadap kebahagiaan. Keadilan ini hanya dapat diperoleh dari tatanan. Menurut Kelsen, tatanan hukum yang dapat memberikan keadilan adalah tatanan hukum positif, yang dapat bekerja sistematis.29 Dengan demikian, keadilan menurut Kelsen ini merupakan keadilan yang sudah tertuang dalam tatanan yang dipositifkan.

Senada dengan Kelsen, Thomas Hobbes berpandangan bahwa keadilan sama dengan hukum positif yang dibuat oleh penguasa. Pandangan ini mengandung konsekuensi bahwa norma hukum positif adalah satu-satunya alat untuk menilai baik-buruk, adil-tidak adil. Sebagai legitimasi dari penguasa, Hobbes mengeluarkan teori kontrak sosial yang menyatakan bahwa masyarakat telah melakukan kesepakatan/ kontrak untuk menyerahkan kedaulatannya pada penguasa. Tidak jauh berbeda dengan

29

(44)

Hobbes, Imanuel Kant memperkenalkan konsepnya dengan keadilan kontraktual. Sebagaimana Hobbes, Kant juga berpandangan bahwa sebagai dasar pembentukan hukum disebabkan oleh rawannya hak pribadi untuk dilanggar. Namun bedanya, jika menurut Hobbes yang berdaulat adalah kekuasaan, maka Kant berpendapat yang berdaulat adalah hukum dan keadilan. Secara singkatnya, prinsip keadilan Kant ini dapat dirumuskan bahwa seseorang bebas untuk berekspresi dan melakukan tindakan apapun, asalkan tidak menggangu hak orang lain.30

2. Keadilan Restoratif

Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam menangani kejahatan hampir seluruhnya selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukanlah solusi terbaik dalam

menyelesaikan tindak kejahatan, khususnya tindak kejahatan dengan “kerusakan”

yang ditimbulkannya masih bisa direstorasi, sehingga kondisi yang telah “rusak”

dapat dikembalikan ke keadaan semula. Restorasi tersebut memungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Paradigma penghukuman tersebut dikenal sebagai restorative justice, dimana pelaku memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarga, dan juga masyarakat.

Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan

30

(45)

pelaku dengan upaya perbaikan. Termasuk di dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut.

Kata restorative dapat diartikan sebagai obat yang menyembuhkan atau menyegarkan. Sedangkan restorative justice dimaknai sebagai penyelesaian suatu tindak pidana tertentu yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa datang.

Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah “sebuah konsep pemikiran

yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.”31

Restorative justice dapat diimplementasikan dalam penyelesaian perkara melalui

Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR adalah tindakan memberdayakan

penyelesaian alternative di luar pengadilan melalui upaya damai yang lebih mengedepankan win-win solution, dan dapat dijadikan sarana penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan.

Penyelesaian perkara melalui mekanisme di luar pengadilan saat ini semakin lazim dilakukan dan dapat diterima oleh masyarakat karena dirasakan lebih mampu

31

(46)

menjangkau rasa keadilan, walaupun para praktisi dan ahli hukum berpendapat bahwa ADR hanya dapat diterapkan dalam perkara perdata, bukan untuk menyelesaikan perkara pidana karena pada asasnya perkara pidana tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme di luar peradilan. Penyelesaian perkara pidana dalam restorative justice dapat dicontohkan dalam bentuk mediasi penal, karena dampak yang ditimbulkan dalam mediasi penal sangat signifikan dalam proses penegakan, walaupun mungkin menyimpang dari prosedur legal system.

Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi tidak dapat dilepaskan dari cita-cita hukum yang didasarkan pada landasan filsafat hukum yaitu keadilan (law is justice), dan asas hukum proses penyelesaian perkara yang mengacu pada sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Perumusan kaidah hukum untuk penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui mediasi yang diderivasi dari cita hukum dan asas hukum. Oleh karena itu pola mediasi yang diterapkan harus mengacu pada nilai-nilai keadilan , nilai kepastian dan kemanfaatan. Sedangkan norma hukum yang diterapkan harus mempertimbangkan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.

(47)

jajaran Reskrim Polri, yang isinya berbunyi: “mengingat substansi dan materi yang termuat dalam ADR merupakan bentuk pemberian kewenangan bagi anggota Polri dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang harus diatur dengan UU, maka penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri ditangguhkan sampai dikeluarkannya payung hukum dalam bentuk peraturan perundangan yang dirancang oleh Mabes

Polri”.

3. Hukum Progresif

Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.32

Pemikiran progresif mengenai hukum di Indonesia sebenarnya sudah timbul setelah jaman kemerdekaan yang merupakan bentuk penolakan terhadap Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang dituangkan dalam Undang Undang No. 1 thn 1946. Beberapa pakar hukum pada saat itu mengganggap bahwa KUHP adalah produk hukum kolonial Belanda yang seharusnya disesuaikan dengan norma dan budaya

32

(48)

masyarakat Indonesia. Moeljatno dalam sambutan pada kuliah umum di FKIP Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 7 Maret 1964 menjelaskan bahwa:

Janganlah para petugas yang pekerjaannya dalam atau bersangkutan dengan bidang hukum tadi, sadar atau tidak sadar meneruskan begitu saja teori-teori dan praktek-praktek hukum yang dahulu pernah diajarkan dan dipraktekkan di zaman Hindia Belanda sejak berpuluh-puluh tahun. Seakan-akan dalam bidang hukum jalannya sejarah bangsa Indonesia sejak berkuasanya pemerintah Hindia Belanda hingga sekarang berlangsung terus secara tenang dan tentram; seakan-akan teori dan praktek hukum dari zaman yang silam itu merupseakan-akan naluri atau harta pusaka bagi kita, yang sedapat mungkin harus dipelihara sebaik-baiknya, tanpa perubahan dan penggantian.33

Moeljatno berdasarkan pemikirannya tersebut, menolak beberapa pasal dalam KUHP yang dianggapnya sudah tidak relevan lagi dengan budaya yang ada di Indonesia seperti pasal perkelahian tanding (182 s/d 186 KUHP), pasal-pasal yang bersangkutan dengan perdagangan budak belian (324 s/d 327 KUHP), pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah (154 KUHP), dan pasal tentang pelarangan pengemis dan gelandangan (504 dan 505 KUHP). Moeljatno menggap bahwa hukum pidana harus dibangun secara progresif untuk dapat menyelaraskan dengan revolusi yang saat itu sedang berlangsung. Cara hukum progresif menurut Moeljatno dapat dilihat dari pendapatnya yang mengatakan bahwa:

Revolusi dalam bidang tata hukum menghendaki penghapusan dari segala hal yang sifatnya lapuk dan usang untuk diganti dengan yang segar bermanfaat dan progresif, maka jalan pikiran yang yuridis formal tadi hendaknya diganti dengan dengan yang yuridis materiil dalam arti kata bahwa kata-kata yang dipakai dalam peraturan hendaknya ditafsirkan sehingga makna peraturan menjadi sesuai sekali dan seirama dengan dinamika dan progresitivitas masyarakat dimana peraturan tadi diharapkan memberi manfaatnya.34

(49)

Seiring berjalannya waktu, Satjipto Rahardjo mencetuskan gagasan hukum progresif yang merupakan bentuk keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia

peradilan” dalam kosa kata hukum di Indonesia , pada Orde Baru hukum sudah

bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada Era Reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran di atas adalah makin langkanya kejujuran, empati, dan dedikasi dalam menjalankan hukum. Lalu Satjipto Rahardjo mengajukan pernyataan, apa yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?35

Berdasarkan perenungan terhadap semua hal, dan kejadian tersebut Satjipto Rahardjo merasakan ada stagnasi dalam praktik dan teori hukum. Maka beliau mengajukan suatu gagasan untuk memilih cara yang menolak keadaan status quo, melainkan secara progresif melakukan pembebasan dan hal tersebut dirumuskan ke dalam

gagasan dan tipe “Hukum Progresif”.

Maksim utama hukum progresif adalah bahwa “hukum untuk manusia” dan bukan

“manusia untuk hukum”, dalam arti hukum tidak dipandang sebagai suatu institusi

yang mutlak dan final, melainkan sangat ditentukan oleh bagaimana hukum dapat mengabdi kepada manusia. Karena pusat hukum progresif adalah pada manusia,

35

(50)

maka menurut Satjipto Rahardjo, maka hukum progresif harus mampu mengikuti perkembangan jaman serta mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar-dasar yang ada di dalamnya.36 Konsep hukum progresif sangat dekat atau memiliki titik singgung dengan beberapa aliran hukum, atau teori hukum sebelumnya.

Adapun teori-teori yang memiliki hubungan dengan Hukum progresif adalah sebagai berikut:

a. Teori tentang Sociological Jurisprudence

Penggagas aliran Sociological Jurisprudence adalah Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, dan Kantorowics. Aliran ini berkembang di Amerika, dengan inti pemikirannya bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.37 Artinya hukum positif itu hanya akan efektif jika selaras dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.

Penganut aliran ini menekankan kepada kenyataan hukum daripada apa yang diatur secara formal dalam undang undang. Pound berpendapat bahwa bagi para ahli hukum yang beraliran sosiologis perlu lebih mempertimbangkan fakta-fakta sosial dalam pekerjaannya, apakah itu pembuatan hukum atau penafsiran serta penerapan

36

Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 67.

37

(51)

peraturan-peraturan hukum. Pound menganjurkan agar perhatian lebih diarahkan pada efek-efek yang nyata dari institusi-institusi serta doktrin-doktrin hukum.38 Aliran ini juga bertujuan untuk memberi dasar ilmiah pada proses penentuan hukum. Dasar ilmiah ini berupa cara mengenai pemahaman hukum dalam lingkungan sosial yang sangat penting untuk dapat menghasilkan hukum yang efektif secara sosiologis. Oleh karenanya hukum harus berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh sehingga membahagiakan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Konsep dasar ini merupakan gagasan untuk menjelaskan konsep hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social

engineering) dengan usaha untuk mengubah atau merombak sistem hukum

sebelumnya.39

b. Teori tentang Realisme Hukum

Realisme hukum adalah suatu aliran yang dimulai di Amerika Serikat dengan penggagas John Chipman Gray, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, dan Karl Lirerllyn. Realisme hukum adalah suatu studi tentang hukum sebagai suatu yang benar-benar secara nyata dilaksanakan, ketimbang hukum sekedar hukum sebagai sejumlah aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Menurut penganut aliran ini, sifat normatif hukum harus dikesampingkan. Karena bagi mereka, hukum pada hakikatnya adalah pola perilaku (pattern of behaviour) dari hakim di dalam persidangan. Hakim harus selalu

38

Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku Kasus Hakim Bismar Nasution, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 29

39

(52)

melakukan pilihan, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan. Keputusan tersebut sering mendahului ditemukan atau digarapnya peraturan-peraturan hukum yang menjadi landasannya.40

Oliver Wendel Homes salah satu pelopor aliran ini berpendapat bahwa kehidupan hukum bukan logika, melainkan pengalaman (the actual life of law has not been logic: it has been experience). Pemikiran Holmes ini senada dengan pemikiran John Chipman Gray, yang menolak perundang-undangan sebagai satu-satunya sumber hukum dan sebagai basis utama analisis penganut aliran hukum positif . Tugas hakim tidak semata-mata menerapkan aturan dalam perundang-undangan terhadap kasus konkret, tetapi tugas hakim adalah membentuk hukum (judge-made law).41

Konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas logika tetapi experience, maka hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Pemahaman realisme hukum bahwa hukum tidak hanya terbatas pada teks atau dokumen hukum tersebut, tetapi harus mempertimbangkan norma-norma sosial yang ada di masyarakat, sehingga tujuan sosial dapat tercapai.

c. Teori Hukum Responsif

Digagas oleh Nonet dan Selznick, yang berpendapat bahwa hukum seyogyanya bisa difungsikan sebagai fasilitator untuk memenuhi keadilan dan kepentingan publik,

40

Antonius Sudirman, Op.Cit., hlm 30.

41

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwaperancangan dan pembuatan Sistem Informasi Koperasi Universitas Diponegoro telah berhasil dilakukan

Berdasarkan hasil analisa regresi, terdapat pengaruh yang signifikan antara kompensasi terhadap kepuasan kerja karyawan (Biro Distribusi dan Transportasi) dipengaruhi

PENGARUH MINAT DAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA BAGI SISWA SMP NEGERI 1 EROMOKO KELAS VIII TAHUN AJARAN 2012/ 2013 Ida Purnama Sari, A 410 090

Adapun tahap awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah memberikan tes awal ( pre test ) kepada murid, tes tersebut terdiri dari 5 butir soal dalam bentuk

Dari daftar relawan terlihat Survey malware ID-CERT diikuti 44 relawan yang berasal dari 24 kota dan 9 propinsi di Indonesia5. Relawan paling banyak berasal dari kota Bandung

Untuk kajian ini, penyelidik memilih untuk menggunakan soal selidik strategi pembelajaran bahasa seperti yang dijelaskan oleh Alwahibee (2000) dimana strategi

4 Membaca teks secara intensif, (2) Mengiidentifikasikan dan mengelompokkan berdasarkan syarat yang memenuhi sebagai teks deskripsi yang akan dijadikan sebagai

$alam su#ga )llah. Sem%ga +im+ingan ang +a&ak +e#ikan sehingga kami +isa menusun #e-isi makalah ini.. $alam su#ga )llah. Sem%ga +im+ingan ang +a&ak +e#ikan sehingga kami