Lampiran i
DAFTAR SAMPEL PENELITIAN
No Kabupaten/Kota
Kriteria Sampel Penelitian
Sampel 1 2
1 Kab. Banyuasin √ √ Sampel 1
2 Kab. Empat Lawang √ √ Sampel 2
3 Kab. Lahat √ √ Sampel 3
4 Kab. Muara Enim × √ -
5 Kab. Musi Banyuasin √ √ Sampel 4
6 Kab. Musi Rawas × √ -
7 Kab. Ogan Ilir √ √ -
8 Kab. Ogan Komering Ilir √ √ Sampel 5 9 Kab. Ogan Komering Ulu(OKU) √ √ Sampel 6
10 Kab. OKU Timur √ √ Sampel 7
11 Kab. OKU Selatan √ × Sampel 8
12 Kab. Penukal Abab Lematang × × - 13 Kab. Musi Rawas Utara × × -
14 Kota Palembang √ √ Sampel 9
15 Kota Prabumulih × √ -
16 Kota Lubuk Linggau × √ -
▸ Baca selengkapnya: contoh anggaran dana ldks
(2)Lampiran ii
REKAPITULASI KEUANGAN DAERAH
KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
2009-2012
Belanja Modal
1 2009 Kab. Banyuasin 122294.5 85481.58 441349.8 198,522,419
2 Kab. Empat Lawang
23225.17 71407.37 190021.4 138.720741
3 Kab. Lahat 83455.62 117075.1 355790.4 120,213,819
4 Kab.Musi Banyuasin
231516.4 747496.6 86730.98 527,050,530
5 Kab. Ogan Komering Ilir
64052.7 71481.51 533734.4 192,740,750
6 Kab. Ogan 8 Kab. OKU Selatan 25961.49 71441.43 253291.2 202,290,806
9 Kota Palembang 137922 71711.24 689108.6 209,303,087
No Tahun Kabupaten/Kota DBH Pajak DBH Bukan Pajak
DAU Belanja Modal 13 Kab.Musi
Komering Ilir
63,957
Komering Ilir
41,789 99,251
Komering Ilir
Lampiran iii
Tabel Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
DBH PAJAK
DBH BUKAN
PAJAK
DANA ALOKASI
UMUM
BELANJA
MODAL
N Valid 36 36 36 36
Missing 0 0 0 0
Mean 11,2029 11,974750368 12,8234 12,3145
Std. Deviation ,81107 ,8097088936 ,51837 ,56183
Variance ,658 ,656 ,269 ,316
Range 2,76 3,0960499 2,28 2,60
Minimum 10,05 11,1760000 11,29 11,26
Maximum 12,81 14,2720499 13,58 13,86
Lampiran iv
Hasil Uji Normalitas
Tabel Kolmogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 36
Normal Parametersa,b Mean ,0000000
Std. Deviation ,33494981
Most Extreme Differences Absolute ,102
Positive ,102
Negative -,094
Kolmogorov-Smirnov Z ,614
Asymp. Sig. (2-tailed) ,846
a. Test distribution is Normal.
Lampiran v
Correlations
DBH PAJAK Correlation
Coefficient
Ares Correlation
Coefficient
,037 -,269 ,087 1,000
Sig. (2-tailed) ,832 ,113 ,614 .
Lampiran vi
Hasil Uji Autokorelasi
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 ,762a ,581 ,533 ,45733 2,075
a. Predictors: (Constant), Dana Alokasi Umum, DBH Pajak, DBH Bukan Pajak
b. Dependent Variable: Belanja Modal
Lampiran vii
Hasil Uji Multikolinearitas
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
T Sig.
Collinearity
Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 3,109 1,884 1,650 ,109
DBH PAJAK ,056 ,086 ,081 ,658 ,515 ,729 1,372
DBH BUKAN
PAJAK
,534 ,087 ,770 6,136 ,000 ,705 1,419
DANA ALOKASI
UMUM
,170 ,117 ,157 1,449 ,157 ,952 1,050
a. Dependent Variable: BELANJA MODAL
Lampiran viii
Hasil Uji Signifikansi Simultan ( Uji--F)
ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 7,121 3 2,374 19,344 ,000a
Residual 3,927 32 ,123
Total 11,048 35
a. Predictors: (Constant), DANA ALOKASI UMUM, DBH PAJAK, DBH BUKAN PAJAK
b. Dependent Variable: BELANJA MODAL
Lampiran ix
Hasil Uji Signifikansi Parsial (Uji-t)
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity
Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 3,109 1,884 1,650 ,109
DBH PAJAK ,056 ,086 ,081 ,658 ,515 ,729 1,372
DBH BUKAN
PAJAK
,534 ,087 ,770 6,136 ,000 ,705 1,419
DANA ALOKASI
UMUM
,170 ,117 ,157 1,449 ,157 ,952 1,050
a. Dependent Variable: BELANJA MODAL
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syukriy, dan Halim Abdul. 2004. “Pengaruh Dana Alokasi Umum, dan Pendapatan Asli Daerah tehadap Belanja PemerintahDaerah : Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali”. Proceeding Simposium Nasional Akuntansi VI, 16-17 Oktober 2003, Surabaya.
Agus Purwanto, Erwan dan Dyah Ratih Sulistyasturi. 2007. Metode Penelitian
Kuantitatif, Untuk Administrasi Publik, dan Masalah-Masalah Sosial.
Yogyakarta: Gaya Media.
Arwati, Dini dan Novita Hadiati, 2013. “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat. Semarang”. Seminar Nasional Teknologi Informasi &
Komunikasi Terapan 2013 (SEMANTIK 2013) ISBN: 979-26-0266-6 - 16
November 2013.
Bawono, Bernanda Gatot Tri. 2008. “Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan Banten”, Tesis UII, Tidak dipublikasikan, Jember.
Cheema, G Shabbir dan Rondinelli, Dnnis A. 1983. Decentralization and
Development. Sage Publication, Inc.
Darwanto & Yulia Yustikasari. 2007. ”Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal”. Simposium Nasional Akuntansi X Makasar 26-28 Juli 2007. Erlina, et al. 2012. Pengelolaan dan Akuntansi Keuangan Daerah, USU Press,
Garison R.H. & E. W. Noreen. (2006). Akuntansi Manajerial, (terjemahan: A. Totok Budisantoso), Buku I, Edisi Kesebelas, Penerbit: Salemba Empat, Jakarta.
Halim, Abdul. 2004 . Akuntansi Keuangan Daerah, Salemba Empat, Jakarta. Harianto, David & Priyo Hari Adi. 2007. “Hubungan Antara Dana Alokasi
Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita”. Simposium Nasional Akuntansi X Makasar 26-28 Juli 2007.
Haryuli, Olivia, Rasuli, M., dan Devi Safitri. 2013. “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Derajat Desentralisasi, Dan Derajat Kontribusi BUMD Terhadap Alokasi Belanja Modal (Pada Provinsi Kepulauan Riau)”. Diakses dari: www.jom.unri.ac.id
http://www.djpk.depkeu.go.id. http://www.spssindonesia.co.id
Program Strata Satu Fakultas Ekonomi, 2008. Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Ujian Komprehensif Program Strata, Fakultas Ekonomi, Medan.
Kusnandar dan Siswantoro,Dodik. 2012. “Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal”. Diakses dari: http://asp.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2014/03/049-ASPAK-09.pdf Mardiasmo, 2007. Akuntansi Sektor Publik, Edisi 3. Yogyakarta: Andi.
Nordiawan, Dedi. 2006. Akuntansi Sektor Publik, Salemba Empat, Jakarta
Pipin, Syarifin dan Dedah Jubaedah. 2006. Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Republik Indonesia, 2005. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.06/2005 tentang Petunjuk Penyusunan,Penelahan,Pengesahan,dan Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran(DIPA) Tahun Anggaran 2006.
Republik Indonesia, 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang
Dana Perimbangan
Republik Indonesia, 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2005 tentang
Dana Perimbangan.
Republik Indonesia, 2006. Peraturan Pemerintah Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Republik Indonesia, 2005. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Republik Indonesia, 2013. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kab. Penukal Abab Lematang.
Republik Indonesia, 2013. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2013 tentang
Pembentukan Kab. Musi Rawas Utara.
Republik Indonesia, 1999. Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah.
Republik Indonesia, 1999. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Republik Indonesia, 1999. Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah.
Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Perimbangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Tahun 2008-2012”. Diakses dari: www.academia.edu
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D). Bandung: Penerbit Alfabeta Bandung.
Sudarmanto, R, Gunawan. 2013. Statistik Terapan Berbasis Komputer Dengan
Program IBM SPSS Statistics 19. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Siddik, Machfud. 2002. Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang mengacu pada Pencapaia n Tujuan Nasional. Paper disajikan dalam Seminar Nasional “Public Sector Scorecard”. Jakarta, 17-18 April 2002.
Sudarmanto, R. Gunawan. 2005. Analisis Regresi Linear Ganda dengan SPSS: Dilengkapi Contoh Validitas, Uji Reliabilitas, Uji Asumsi Klasik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Sugiyono. 2007. Statistik untuk penelitian. Bandung:Penerbit Alfabet
Syarifuddin, Ateng. 1985. Pasang Surut Otonomi Daerah. Bandung: Binacipta Uma Sekaran. 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Edisi 4. Buku 1. J
akarta: Salemba Empat.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian asosisatif kausal, yaitu
penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkapkan permasalahan yang berisfat
hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih (Sugiyono, 2006:11).
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dana bagi hasil
pajak, dana bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi umum berpengaruh terhadap
pengalokasian anggaran belanja modal.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek
yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk di pelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 1995 : 57).
Populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintahan Kabupaten/Kota yang ada di
3.2.2 Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang di miliki oleh
populasi (Sugiyono, 1995:57). Pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling dengan cara
purposive sampling yaitu “teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu.” (Erlina, 2008:83).
Adapun kriteria yang digunakan sebagai pertimbangan dalam penetapan
sampel penelitian adalah sebagai berikut :
1. Data realisasi DBH Pajak, DBH Bukan Pajak, DAU, dan Belanja
Modal tercantum dalam dari Laporan Realisasi APBD pemerintahan
Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Selatan yang terdaftar dalam
situs www.djpk.depkeu.go.id periode 2009 - 2012.
2. Adapun kabupaten/kota yang digunakan sebagai sampel penelitian
bukan merupakan hasil pemekaran selama periode 2009 - 2012.
Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh 9 sampel yang memenuhi kriteria
untuk menjadi sampel pada penelitian yaitu 8 kabupaten dan 1 kota di Provinsi
Sumatera Selatan. Adapun Kabupaten Penukal Abab Lematang dan Kabupaten
Musi Rawas Utara merupakan kabupaten hasil dari pemekaran Kabupaten
Muara Enim dan Kabupaten Musi Rawas pada tahun 2013. Pembentukan kedua
kabupaten baru tersebut telah diatur dalam UU No. 7 tahun 2013 menetapkan
Berikut ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang
memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian.
Tabel 3.1 Sampel Penelitian
No Kabupaten/Kota
Kriteria Sampel
3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data panel (pooled data) yaitu kombinasi antara
2009 - 2012. Data Berkala adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu
untuk menggambarkan suatu kejadian/kegiatan selama periode tersebut. Data
Silang adalah data yang dikumpulkan pada waktu tertentu untuk menggambarkan
keadaan/ kegiatan pada waktu tersebut.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu
sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data
(Sugiyono, 2005:62). Data penelitian diperoleh dari Laporan Realisasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Selatan selama periode 2009 - 2012 yang dipublikasikan
dalam situs www.djpk.depkeu.go.id. Selain itu data penelitian juga dihimpun dari
jurnal-jurnal terkait, buku, skripsi, thesis, dan sumber-sumber lainnya.
3.4 Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari variabel independen dan variabel dependen.
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variable yang lain.
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen.
Yang merupakan variabel independen dalam penelitian ini adalah Dana Bagi
Hasil Pajak, Dana Bagi Hasil Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum. Sedangkan
3.4.1 Variabel Independen
3.4.1.1 Dana Bagi Hasil Pajak
Merupakan dana bagi hasil yang bersumber dari pajak. Dalam
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005 Tentang
Dana Perimbangan telah diatur pembagian dan mekanisme dari perhitungan
Dana Bagi Hasil, dimana dana bagi hasil pajak terdiri dari tiga sumber,yaitu:
1. Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Penerimaan Negara yang bersumber dari Pajak Bumi dan
Bangunan dibagi dengan imbangan 90% untuk daerah dan 10% untuk
pemerintah pusat. Adapun rincian dana bagi hasil pajak yang akan
diberikan kepada daerah dengan pembagian 90% dari total seluruh
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut:
16,2% untuk provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke
Rekening Kas Umum Daerah Provinsi.
64,8% untuk kabupaten/kota bersangkutan dan didalurkan ke
Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota.
9% untuk biaya pemungutan.
Sedangkan bagian dana bagi hasil pajak yang akan diberikan
kepada pemerintah pusat dengan pembagian 10% dari total seluruh
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan akan diberikan kepada seluruh
6,5% diberikan kepada kabupaten dan kota
3,5% diberikan secara insentif kepada kabupaten dan kota yang
realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dari sektor
pedesaan dan perkotaan pada tahun sebelumnya mencapai atau
bahkan melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.
Penyaluran dari Pajak Bumi dan Bangunan akan dilaksanakan
berdasarkan realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan yang
pada umumnya dilakukan dalam tiga tahap yaitu bulan april, bulan
agustus, dan bulan november tahun anggaran berjalan.
2. Dana Bagi Hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB)
Penerimaan Negara yang bersumber dari BPHTB dibagi dengan
imbangan 80% untuk daerah dan 20% untuk pemerintah pusat.
Adapun rincian dana bagi hasil pajak yang akan diberikan kepada
daerah dengan pembagian 80% dari total seluruh penerimaan BPHTB
adalah sebagai berikut:
16% untuk provinsi yang bersangkutan yang nantinya akan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi.
Sedangkan bagian dana bagi hasil pajak untuk pemerintah pusat
yaitu 20% dari seluruh total BPHTB akan dibagikan secara merata
kepada seluruh kabupaten dan kota. Penyaluran dari BPHTB akan
dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB tahun
anggaran berjalan yang pada umumnya dilakukan dalam tiga tahap
yaitu bulan april, bulan agustus, dan bulan november tahun anggaran
berjalan.
3. Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan PPh 21
Penerimaan Negara yang bersumber dari PPh WPOPDN dan PPh
21 dibagi dengan imbang 80% kepada daerah dan 20% kepada
pemerintah pusat. Adapun rincian dana bagi hasil pajak yang akan
diberikan kepada daerah dengan pembagian 20% dari total seluruh
penerimaan BPHTB adalah sebagai berikut:
8% untuk provinsi yang bersangkutan
12% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan (8,4% untuk
kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar dan 3,6% untuk
seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan
Penyaluran Bagi Hasil PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan WPOPDN dan Pasal
21 tahun anggaran berjalan yang dilaksanakan secara triwulan, yaitu:
penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga diberikan
masing-masing sebesar 20% dari alokasi sementara dan penyaluran
keempat didasarkan pada selisih antara alokasi defintif dengan jumlah
dana yang telah dicairkan selama triwulan pertama sampai triwulan
ketiga yang didasarkan atas pembagian sementara. Apabila
penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga
jumlahnya lebih besar daripada pembagian defentif maka kelebihan
tersebut diperhitungkan dalam penyaluran tahun anggaran berikutnya.
3.4.1.2 Dana Bagi Hasil Bukan Pajak
Merupakan dana bagi hasil yang bersumbe dari sumber daya alam
(SDA). Adapun dana bagi hasil bukan pajak bersumber dari 6 sektor,yaitu:
1. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan
Penerimaan Negara yang bersumber dari sektor kehutanan berasal
dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Provisi Sumber Daya
Hutan, dan Dana Reboisasi. Untuk dana bagi hasil bukan pajak yang
bersumber dari IHPH akan diberikan kepada daerah sebesar 80%
16% untuk provinsi yang bersangkutan
64% untuk kabupaten/kota penghasil
Sedangkan untuk bagi hasil bukan pajak yang bersumber dari
PSDH akan diberikan kepada daerah sebesar 80% dengan rincian
sebagai berikut:
16% untuk provinsi yang bersangkutan
32% untuk kabupaten/kota penghasil
32% akan diberikan dengan porsi yang sama besar untuk
seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan
Dan untuk dana bagi hasil bukan pajak yang bersumber dari Dana
Reboisasi akan diberikan kepada seluruh kabupaten/kota penghasil
sebesar 40% yang akan digunakan untuk mendanai kegiatan
rehabilitasii hutan dan wilayah disekitarnya.
2. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Perikanan
Penerimaan Negara yang bersumber dari sektor perikanan berasal
dari Pungutan Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan.
Dana bagi hasil bukan pajak yang bersumber dari sektor perikanan ini
pusat dan 80% untuk daerah yang akan diberikan dengan porsi sama
besar untuk seluruh kabupaten/kota.
3. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Umum
Penerimaan Negara yang bersumber dari sektor Pertambangan
umum berasal dari dua sumber yaitu Iuran Tetap dan Iuran Eksplorasi
dan Eksploitasi. Iuran Tetap adalah imbalan yang diterima atas
kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi,atau eksploitasi pada suatu
wilayah kerja. Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi adalah iuran produksi
pemegang kuasa usaha pertambangan atas hasil dari kesempatan
eksplorasi/eksploitasi. Iuran tetap maupun iuran eksplorasi dan
eksploitasi akan diberikan sama besar yaitu 20% untuk pemerintah
pusat dan 80% untuk daerah. Dana bagi hasil bukan pajak yang
berasal dari Iuran tetap akan diberikan kepada daerah dengan rincian
sebagai berikut:
16% untuk provinsi yang bersangkutan
64% untuk kabupaten/kota penghasil
Sedangkan dana bagi hasil bukan pajak yang berasal dari Iuran
Eksplorasi/Eksploitasi akan diberikan dengan rincian sebagai berikut:
16% untuk provinsi yang bersangkutan
32% akan diberikan dengan porsi yang sama besar untuk
seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan
4. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Minyak Bumi
Penerimaan Negara yang bersumber dari sektor Pertambangan
Minyak Bumi berasal dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan
setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya
dengan imbangan 84,5% untuk pemerintah pusat dan 15,5% untuk
daerah. Adapun rincian dana bagi hasil bukan pajak yang akan
diberikan kepada daerah dengan pembagian 15,5% adalah sebagai
berikut :
3% dibagikan untukprovinsi yang bersangkutan
6% dibagikan untuk kabupaten/.kota penghasil
6% dibagikan dengan proporsi yang sama besar untuk
seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan
0,5% digunakan untuk anggaran pendidikan dasar dengan
rincian 01% untuk provinsi bersangkutan, 0,2% untuk
kabupaten/kota penghasil, dan 0,2% dibagi rata untuk
seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
Sedangkan Penerimaan Negara yang bersumber dari pertambangan
minyak bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan
setelah dikurangi dengan komponen pajak dan pungutan lainnya akan
diberikan dengan imbangan 15% dengan rincian sebagai berikut :
5% akan diberikan untuk provinsi yang bersangkutan
10% diberikan secara merata untuk seluruh kabupaten/kota
dalam provinsi yang bersangkutan
0,5% akan digunakan untuk menambah anggaran
pendidikan dengan komposisi 0,17 diberikan secara merata
untuk provinsi yang bersangkutan dan 0,33 akan diberikan
secara merata untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi
yang bersangkutan.
5. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi
Penerimaan Negara yang bersumber dari sektor panas bumi yang
berasal dari setoran bagian pemerintah dan/atau Iuran Tetap dan Iuran
Produksi. Adapun rincian dana bagi hasil bukan pajak yang
bersumber dari panas bumi akan diberikan kepada daerah dengan
imbangan 80% adalah sebagai berikut:
32% untuk kabupaten/kota penghasil
32% akan diberikan secara merata kepada seluruh
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
6. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Gas Bumi
Penerimaan Negara yang bersumber dari sektor Pertambangan Gas
Bumi yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah
dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan akan dibagi dengan imbangan 69,5%
untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk daerah. Adapun rincian dana
bagi hasil bukan pajak yang berasal dari pertambangan gas bumi yang
akan diberikan kepada daerah dengan pembagian 30,5% adalah
sebagai berikut:
6% untuk provinsi yang bersangkutan
12% umtuk kabupaten/kota penghasil
12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
bersangkutan
0,5 diberikan untuk menambah alokasi pendidikan yang
akan diberikan dengan komposisi 0,1% untuk provinsi
untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan
3.4.1.3 Dana Alokasi Umum
Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah (Pemerintahan Daerah Di
Indonesia, 2006:108), “Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antara daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi”. Tujuan pemerataan ini diindikasikan oleh
ditemukannnya ketimpangan antar daerah. Daerah dengan tingkat kebutuhan
fiskal yang tinggi tetapi memiliki potensi fiskal yang rendah akan
memperoleh DAU dengan jumlah yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan
dengan daerah yang memiliki potensi fiskal tinggi tetapi kebutuhan fiskalnya
rendah. Hal tersebut sesuai dengan Undang -Undang Nomor 33 Tahun 2004
Tentang Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah yang menyatakan bahwa kebutuhan DAU suatu daerah
(provinsi,kabupaten.dan kota) akan ditentukan dengan menggunakan Fiscal
Gap, yaitu tingkat kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan
daerah dan potensi dari daerah tersebut.
Adapun ketentuan-ketentuan alternatif lainnya yang digunakan dalam
menetapkan besarnya DAU yang diberikan adalah sebagai berikut:
b. Proporsi DAU antar provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari
perbandingan antar bobot urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi dan kabupaten/kota
c. Jika penentuan proporsi tersebut belum dapat dihitung secara
kuaproporsintatif, maka proporsi DAU antar provinsi dan
kabupaten/kota akan ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%
3.4.2 Variabel Dependen
3.4.2.1 Belanja Modal
Merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan
modal yang sifatnya menambah aset tetap/investasi yang memberikan
manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah
pengeluaran unuk membiayai pemeliharaan yang sifatnya
mempertahankan atau menambah masa manfaat,meningkatkan kapastitas
dan kualitas aset.
Dalam pembukuannya, nilai perolehan aset nantinya akan dihitung
mulai dari pendanaan hingga aset tersedia dan siap untuk digunakan.
1. Belanja Modal Tanah
Adalah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk pengadaan /
pembelian/ pembebasan/penyelesaian ,balik nama dan sewa tanah,
pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah,
pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan
perolehan hak atas tanah dan sampai tanah yang dimaksud dalam
kondisi siap pakai.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Adalah seluruh pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan
mesin yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan antara lain
pembelian, biaya pengangkutan, biaya instalasi, serta biaya
langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan sampai
peralatan dan mesin siap untuk digunakan.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Adalah seluruh pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan/
penambahan/penggantian gedung dan bangunan termasuk
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan
pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas
gedung dan bangunan sampai dengan bangunan dan gedung dalam
kondisi siap untuk digunakan.
Adalah seluruh pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan/
penambahan/ penggantian/peningkatan/ pembangunan/ pembuatan
serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan,
pengawasan, dan pengelolaan jalan,irigasi,dan jaringan yang
menambah kapasitas sampai jalan,irigasi,dan jaringan siap untuk
digunakan.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya
Adalah seluruh pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan/
penambahan/pembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap
fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan dalam kriteria belanja
modal tanah, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal
mesin dan peralatan, serta belanja modal jalan ,irigasi dan
jaringan.
Tabel 3.2
Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel
No Variabel Defenisi Operasional Pengukuran Skala
1 Dana Bagi Hasil Pajak
Dana bagi hasil pajak adalah dana bagi hasil yang bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh 21.
Rasio
2 Dana Bagi Hasil Bukan Pajak
Dana Hasil Bukan Pajak adalah dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam yang terdiri dalam enam sekrtor,yaitu sektor kehutanan, perikanan,pertambanga
n umum, pertambangan
minyak bumi,
Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan
tujuan untuk pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk memenuhi
kebutuhannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
4 Belanja Modal
Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/investasi yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Rasio
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
mendokumentasikan data sekunder yang diperoleh dari situs
www.djpk.depkeu.go.id. Selain itu, peneliti juga melakukan studi kepustakaan
melalui jurnal-jurnal dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang
sedang diteliti.
3.6 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis statistik dengan menggunakan SPSS. Adapun metode analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain pengujian asumsi klasik yang
3.6.1 Pengujian Asumsi Klasik
3.6.1.1 Uji Normalitas
Uji normalistas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang
digunakan telah terdistribusi secara normal atau tidak. Uji normalitas juga
untuk melihat apakah model regresi yang digunakan sudah baik. Model
regresi yang baik adalah memiliki distribusi normal atau mendekati
normal. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan
Kolmogorov-Smirnov(K-S) terhadap masing-masing variable.
Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi
normal atau tidak, yaitu :
1) Analisis Grafik
Salah satu cara termudah untuk melihat normalitas residual adalah
dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara
data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi
normal. Metode yang lebih handal adalah dengan melihat normal
probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari
distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis
lurus diagonal dan plotnya data residual akan dibandingkan
dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual normal, maka
garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti
2) Analisis statistik
Uji statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat nilai
kurtosis dan nilai Z-skewness. Uji statistik lain yang dapat
digunakan untuk menguji normalitas residual adalah uji statistik
non parametrik Kolmogorov-Smirnov (K-S).
Pedoman pengambilan keputusan tentang data tersebut mendekati
atau merupakan distribusi normal berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov
dapat dilihat dari :
a) nilai Sig. Atau signifikan atau probabilitas < 0,05, maka
distribusi data adalah tidak normal,
b) nilai Sig. Atau signifikan atau probabilitas > 0,05, maka
distribusi data adalah normal.
3.6.1.2 Uji Heterokesdastisitas
Uji heterokesdastisitas adalah uji yang dilakukan untuk menguji
apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari
residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari
residual suatu pengamatan ke pengamatan lainnya tetap, maka disebuk
homokesdastisitas. Namun, jika varians berbeda, maka disebut
heterokedastisitas, dengan kata lain bahwa jika terdapat heterokedastisitas
maka model tersebut kurang efisien” (Santoso, 2001:208).
Dasar yang dapat digunakan untuk menentukan
heterokesdastisitas, antara lain:
2. Jika ada pola tertentu, seperti titik –titik yang membentuk suatu
pola tertentu teratur, bergelombang, melebar, kemudian
menyempit, maka mengindikasikan telah terjadi
heteroskedastisitas.
3. Jika tidak ada pola tertentu serta titik–titik menyebar diatas dan
dibawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi
heteroskedastisitas maka mengindikasikan telah terjadi
heteroskedastisitas. (Gozhali, 2013:139)
3.6.1.3 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan untuk menguji apakah dalam model
regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t
dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi
korelasi, maka dinamakan ada masalah autokorelasi (Ghozali, 2013:110).
Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang
lainnya yang biasanya dijumpai pada data deret waktu (time series).
Konsekuensi adanya autokorelasi dalam model regresi adalah varians
sampel tidak dapat menggambarkan varians populasinya, sehingga model
regresi yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk menaksir nilai
variabel dependen pada nilai independen tertentu.
Salah satu pengujian yang digunakan untuk mengetahui adanya
autokorelasi adalah dengan memakai uji Durbin Watson (DW Test), yaitu
yaitu jika nilai DW terletak daiantar du dan (4-du) atau du < DW <(4-du)
maka dapat dipastikan tidak terjadi autokorelasii.
3.6.1.4 Uji Multikolinearitas
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada tidaknya korelasi
yang tinggi antara variable-variabel independen dalam suatu model regresi
linear berganda.. Selain itu deteksi terhadap multikoliniearitas juga
bertujuan untuk menghindari bias dalam proses pengambilan keputusan
mengenai pengaruh pada uji parsial masing-masing variabel independen
terhadap variabel dependen.
Menurut (Ghozali, 2013 : 105), untuk mendeteksi ada atau tidaknya
multikolinearitas di dalam model regresi, dapat dilihat dari nilai tolerance
dan lawannya, serta variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini
menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh
independen menjadi variabel dependen (terikat) dan diregres terhadap
variabel independen lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel
independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen
lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi
(karena VIF = 1/Tolerance). Nilai Cutoff yang umum dipakai untuk
menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai tolerance < 0.10 atau
sama dengan nilai VIF > 10.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan jika terjadi
multikolinearitas, yaitu :
1. Mengeluarkan salah satu atau lebih variable independen yang
mempunyai korelasi tinggi dari model regresi dan identifikasi
variabel independen lainnya untuk membantu prediksi
2. Menggabungkan data cross section dan time series (pooling data)
3. Menambah data penelitian
3.6.2 Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis menggunakan model persamaan regresi berganda
dengan formula sebagai berikut :
Keterangan :
Y = Belanja Modal
a = Konstanta
X 1= Dana Bagi Hasil Pajak
X2 = Dana Bagi Hasil Bukan Pajak
X3 = Dana Alokasi Umum
b1 = Koefisien Regresi Dana Bagi Hasil Pajak
b2 = Koefisien Regresi Dana Bagi Hasil Bukan Pajak
b3 = Koefisien Regresi Dana Alokasi Umum
e = Tingkat Kesalahan Penganggu (error)
Adapun pengujian tehadap hipotesis yang diajukan dalam penelitian
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
3.6.2.1 Uji Signifikansi Simultan (Uji-F)
Uji F adalah Uji yang digunakan untuk menunjukkan apakah
semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai
pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen (Ghozali,
2005:84). Pengujian simultan membandingkan nilai signifikansi F tabel
dengan nilai signifikan F hitung dengan nilai signifikansi yaitu 0,05.
a. Ho : b1=b2=b3=0, artinya variabel Dana Bagi Hasil Pajak, Dana
Bagi Hasil Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum secara
simultan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal.
b. Ha : b1≠b2≠b3≠0, artinya variabel Dana Bagi Hasil Pajak, Dana Bagi Hasil Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum secara
simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal.
Kriteria pengambilan keputusan :
Ho diterima jika Fhitung < F tabel
Ha diterima jika F hitung > F tabel
3.6.2.2 Uji Signifikansi Parsial (Uji-t)
Uji t adalah Uji yang digunakan untuk menguji apakah masing
masing variable independen mempengaruhi variabel dependen. Bentuk
pengujian :
a. Ho : b1b2b3 = 0, artinya variabel Dana Bagi Hasil Pajak, Dana
Bagi Hasil Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum secara parsial
tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
b. Ha : b1b2b3 ≠ 0, artinya variabel Dana Bagi Hasil Pajak, Dana Bagi Hasil Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum secara parsial
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal.
Pengujian dilakukan menggunakan uji-t dengan tingkat pengujian
pada α 5% derajat kebebasan (degree of freedom) atau df=(n-k).
Kriteria pengambilan keputusan :
Ho diterima jika t hitung < t tabel
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data Penelitian
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di
bagian selatan Pulau Sumatera. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan
terletak antara 10 sampai 40 Lintang Selatan dan 1020 sampai 1060 derajat Bujur
Timur dengan luas daerah seluruhnya 87.0174 km2. Provinsi Sumatera Selatan
bagian utara berbatasan dengan provinsi Jambi, bagian timur berbatasan dengan
provinsi Kep. Bangka Belitung, bagian selatan berbatasan dengan provinsi
Lampung, dan bagian barat berbatasan dengan provinsi Bengkulu.
Secara Administratif Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 13 kabupaten
dan 4 kota, 2 diantara 13 kabupaten tersebut merupakan hasil pemekaran yang
dilakukan pemerintah daerah pada tahun 2013 melalui UU No. 7 tahun 2013 yang
menetapkan tentang pembentukan Kabupaten Penukal Abab Lematang dan UU
No. 13 Tahun 2013 menetapkan tentang pembentukan Kabupaten Musi Rawas
Utara.
Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Selatan terus bertambah dari tahun
ke tahun, tercatat pada tahun 1971 jumlah penduduk hanya 2,931 juta jiwa, tahun
1980 meningkat menjadi 3,975, tahun 1990 meningkat menjadi 5,493 juta jiwa,
jumlah penduduk mencapai 8.657.774 menjadikan Sumatera Selatan sebagai
provinsi ke-9 dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Sumatera selatan telah menjadi salah satu provinsi yang diperhitungkan oleh
investor untuk melakukan investasi hal ini didorong dari semakin meningkatnya
sarana dan prasarana penunjang di sumatera selatan, seperti keberadaan
BandaraS.M Badaruddin II yang bertaraf internasional di Kota Palembang,
Bandara Tanjung Enim di Kabupaten Muara Enim, Bandara Bading Agung di
Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Pelabuhan Palembang di Kota
Palembang, dan Pelabuhan Khusus Kerta Pati di Kabupaten Muara Enim.
Di bidang pendidikan juga sumatera selatan memiliki dua sekolah
kejuruan bertaraf internasional, yakni SMKN 4 dan SMKN 6. Di bidang
kesehatan Kota Palembang telah memiliki Puskesmas Swakelola yaitu puskesmas
yang mengelola sendiri administrasi dan keuangannya, termasuk pengadaan
sarana dan prasarana tanpa harus dibiayai APBD lagi. Ini merupakan suatu modal
dasar dan menjadi faktor penguat menuju kemandirian masyarakat.
Kemerataan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi
sumatera selatan yang tidak hanya di lakukan di kota saja tetapi di kabupaten juga
tidak menutup kemungkinan menjadikan Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah
satu provinsi di Indonesia yang patut untuk diperhitungkan.
Berikut ini adalah kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Selatan
yang terdiri dari 13 kabupaten dan 4 kota yang 8 kabupaten dan 1 kota
Tabel 4.1
Populasi dan Sampel Penelitian
4.2 Analisis Statistik Deskriptif
Statistik Deskriptif adalah statistik yang mempunyai tugas mengorganisasi
dan menganalisa data angka, agar dapat memberikan gambaran secara teratur,
ringkas, dan jelas mengenai suatu gejala, peristiwa, atau keadaan sehingga dapat
ditarik pengertian atau makna tertentu (Sugiyono, 2007:150). No Kabupaten/Kota
Variabel bebas dari penelitian ini adalah Dana Bagi Hasil Pajak, Dana Bagi
Hasil Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum dengan Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal sebagai variabel terikatnya. Berikut ini adalah uji statistik
deskriptif untuk penelitian ini.
Tabel 4.2
Mean 11,2029 11,974750368 12,8234 12,3145
Std. Deviation ,81107 ,8097088936 ,51837 ,56183
Variance ,658 ,656 ,269 ,316
Range 2,76 3,0960499 2,28 2,60
Minimum 10,05 11,1760000 11,29 11,26
Maximum 12,81 14,2720499 13,58 13,86
Sum 403,31 431,0910133 461,64 443,32
Sumber: Output SPSS
Berikut ini data deskriptif yang telah diolah menggunakan software SPSS :
1. Variabel Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Y) memiliki nilai minimum
11,26 dan nilai maksimum 13,86 dengan rata-rata 12,3145 dengan jumlah
sampel sebanyak 36 kabupaten/kota.
2. Variabel Dana Bagi Hasil Pajak (X1) memiliki nilai minimum 10,05 dan nilai
maksimum 12,81 dengan rata-rata 11,2029 dengan jumlah sampel sebanyak
3. Variabel Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (X2) memiliki nilai minimum
11,1760000, dan nilai maksimum 14,2720499 dengan rata-rata 11,974750368
dengan jumlah sampel sebanyak 36 kabupaten/kota.
4. Variabel Dana Alokasi Umum (X3) memiliki nilai minimum 11,29, nilai
maksimum 13,58 dengan rata-rata 12,8234 dengan jumlah sampel sebanyak
36 kabupaten/kota .
4.3 Pengujian Asumsi Klasik
4.3.1 Uji Normalitas
Uji Normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang
digunakan pada penelitian ini telah terdistribusi secara normal. Uji normalitas
menggunakan uji statistik non parametik Kolmogorov-Smirnov(K-S), Grafik
Histogram yang diolah menggunakan software SPSS, serta NormalProbability
Plot of Regression Standardlized Residual.
Pada pengujian normalitas dengan menggunakan uji statistik non
parametik Kolmogorov-Smirnov(K-S), data dikatakan berdistribusi normal
apabila koefisien signifikansinya lebih besar dari 0,05. Untuk pengujian
normalitas dengan memerhatikan grafik histogram, data dikatakan berdistribusi
normal apabila kurva berbentuk lonceng dan tidak menceng (skewness) ke kiri
maupun ke kanan. Dan untuk pengujian dengan menggunakan Normal
Probability Plot of Regression Standardlized Residual, data dikatakan
hasil uji normalitas dengan uji statistik non parametik Kolmogorov-Smirnov
(K-S):
Tabel 4.3
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 36
Normal Parametersa,b Mean ,0000000
Std. Deviation ,33494981
Most Extreme Differences Absolute ,102
Positive ,102
Negative -,094
Kolmogorov-Smirnov Z ,614
Asymp. Sig. (2-tailed) ,846
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber: Output SPSS
Hasil pengujian normalitas dengan menggunkan
Kolmogorov-Smirnov(K-S) dapat dilihat dari besarnya nilai Kolmogorov-Smirnov(K-S)
adalah 0,614 dan Asymp. Sign. (2-tailed) > 0,05 (koefisien signifikansi) yaitu
Gambar 4.1
Grafik Histogram
Sumber: Output SPSS
Hasil pengujian normalitas dengan menggunakan grafik histogram
menyatakan bahwa data terdistribusi secara normal. Hal ini dapat dilihat dari
bentuk kurva yang seperti lonceng dan tidak menceng (skewness) ke kiri
Gambar 4.2
NormalProbability Plot of Regression Standardlized Residual
Sumber : Output SPSS
Hasil pengujian normalitas dengan menggunakan Normal Probability
Plot of Regression Standardlized Residual menyatakan bahwa data terdistribusi
secara normal. Hal ini dapat dilihat dari sebaran titik- titik yang menyebar
4.3.2 Uji Heterokesdastisitas
Uji Heterokesdastisitas bertujuan untuk menguji apakah variasi
residual absolut sama atau tidak sama untuk semua pengamatan
(Sudarmanto,2005:162). Jika varians dari satu pengamatan terhadap
pengamatan tetap, maka disebut Homokesdastisitas dan jika berbeda disebut
Heterokesdastisitas.
Umunya ada dua pendekatan yang digunakan untuk melakukan Uji
Heterokesdastisitas yaitu menggunakan grafik dan menggunakan uji statistik.
Uji statistik yang sering dipergunakan adalah korelasi spearman, uji Glejser,
uji Park, dan uji White. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan uji
scatterplot dan korelasi spearman. Uji Scatterplot dilakukan dengan melihat
grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat(dependen) yaitu ZPRED
dengan residualnya SRESID. Ada tidaknya Heterokesdastisitas dapat diketahu
dengan melihat da atau tidaknya pola tertentu yang terbentuk pada grafik
scatterplot. Jika terdapat titik-titik yang membentu pola tertentu yang teratur,
maka mengindikasikan terjadinya Heterokesdastisitas, tetapi jika tidak terdapat
titik-titik tertentu yang menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y.
maka tidak terjadi heterokesdastisitas atau terjadi Homoskesdastisitas. Berikut
Gambar 4.3
Hasil scatterplot setelah Ln
Sumber : Output SPSS
Grafik scatterplot menunjukkan bahwa tidak ada pola tertentu serta
titik-titik tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y,
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heterokesdastisitas pada model
Tabel 4.4
Hasil Uji korelasi Spearman
*Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Sumber: Output SPSS
Hasil pengujian dengan korelasi spearman menunjukkan bahwa tidak
terjadi heterokesdastisitas, hal ini dilihat dari koefisien signifikansinya yang
lebih besar dari alpha 0,05.
Correlations
DBH PAJAK Correlation
Coefficient
Ares Correlation
Coefficient
,037 -,269 ,087 1,000
Sig. (2-tailed) ,832 ,113 ,614 .
4.3.3 Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi dimaksudkan untuk mengetahui apakah terjadi
korelasi di antara data pengamatan atau tidak. Cara yang digunakan untuk
mendeteksi ada tidaknya autokorelasi adalah dengan menggunakan uji
Durbin-Watson, yaitu jika nilai D-W terletak diantara du dan (4-du) atau du ≤ DW ≤
(4-du) maka dapat dikatakan bebas dari autokorelasi. Nilai du dapat dilihat
pada tabel Durbin-Watson dengan ketentuan tingkat signifikansi 0,05 dan
banyaknya variable yang menjelaskan dikurangi 1 atau (k-1). Berikut ini
adalah hasil uji Durbin-Watson:
Tabel 4.5
Hasil Uji Autokokelasi
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 ,762a ,581 ,533 ,45733 2,075
a. Predictors: (Constant), Dana Alokasi Umum, DBH Pajak, DBH Bukan Pajak
b. Dependent Variable: Belanja Modal
Sumber: Output SPSS
Untuk n= 36; (k-1)= 3; dengan taraf signifikansi 0,05 maka diperoleh
du = 1,654. Oleh karena itu du <DW< (4-du) yaitu 1,654 < 2,075 < (4- 1,654).
4.3.4 Uji Multikolinearitas
Uji Multikolinearitas dimaksudkan untuk membuktikan atau menguji
ada tidaknya hubungan yang linear antara variable bebas (independen) yang
satu dengan vaariabel bebas (independen) yang lain. Untuk mendeteksi
multikolinearitas pada suatu model penelitian, maka yang harus diperhatikan
adalah nilai Variance Inflation Factor(VIF) dan nilai tolerance. Jika Variance
Inflation Factor(VIF) < 10 dan nilai tolerance > 0,10 maka tidak terjadi
multikolinearitas. Berikut ini adalah hasil uji Multikolinearitas :
Tabel 4.6
a. Dependent Variable: BELANJA MODAL
Sumber: Output SPSS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Variance Inflation
Factor(VIF) dari Dana Bagi Hasil Pajak, Dana Bagi Hasil Bukan Pajak, dan
Dana Alokasi Umum lebih kecil dari 10 dan nilai tolerance Dana Bagi Hasil
0,10. Hasil perhitungan ini menunjukkan tidak terjadi multikolinearitas di
antara variabel bebas(independen) dalam penelitian.
4.4 Analisis Regresi Linear Berganda
Model pengujian hipotesis yang digunakan adalah model regresi linear
berganda (Multiple Linear Regression). Model regresi linear berganda dikatakan
sebagai model linear berganda yang baik apabila memenuhi kriteria estimasi yang
Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Pada pengujian ini, seluruh data
terlebih dahulu di trasnsform ke Logaritma. Dari pengujian asumsi klasik dapat
disimpulkan bahawa model regresi linear berganda dapat digunakan pada
penelitian ini.
Berdasarkan pengolahan data dengan SPSS diperoleh hasil pada tabel 4.6
sebagai berikut:
a. Dependent Variable: BELANJA MODAL
BM= 3,109 + 0,056DBH Pajak + 0,534 DBH Bukan Pajak + 0,170 DAU + e
Keterangan:
1. Konstanta sebesar 3,109 menunjukkan bahwa apabila tidak ada variable
DBH Pajak, DBH Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum, maka
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal akan mengalami kenaikan, hal ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar variabel DBH Pajak, DBH
Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum.
2. Setiap kenaikan pada variabel DBH Pajak akan diikuti dengan kenaikan
pada variabel Belanja Modal sebesar 0,056 satuan dan variabel lainnya
dianggap konstan.
3. Setiap kenaikan pada variabel DBH Bukan Pajak akan diikuti dengan
kenaikan pada variabel Belanja Modal sebesar 0,534 satuan dan variabel
lainnya dianggap konstan.
4. Setiap kenaikan pada variabel DAU akan diikuti dengan kenaikan pada
variabel Belanja Modal sebesar 0,170 satuan dan variabel lainnya
4.5 Pengujian Hipotesis
4.5.1 Uji Signifikansi Simultan (Uji-F)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana variabel-variabel bebas independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel terikat (dependen). Berikut ini adalah hasil uji signifikansi simultan(F-test):
Tabel 4.8
Hasil Uji Signifikansi Simultan (Uji-F)
ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 7,121 3 2,374 19,344 ,000a
Residual 3,927 32 ,123
Total 11,048 35
a. Predictors: (Constant), DANA ALOKASI UMUM, DBH PAJAK, DBH BUKAN PAJAK
b. Dependent Variable: BELANJA MODAL
Sumber: Output SPSS
Hasil pengujian signifikansi simultan menunjukkan nilai F hitung
sebesar 19,344 dengan signifikansi 0,000 lebih besar dari F tabel sebesar 2,901
dengan signifikansi 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa DBH Pajak, DBH
Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum berpengaruh secara simultan terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal.
4.5.2 Uji Signifikansi Parsial (Uji-t)
Uji signifikansi parsial(Uji t) digunakan untuk mengetahui apakah
masing-masing variabel bebas (independen) yaitu Dana Bagi Hasil Pajak, Dana
Pengalokasian Anggaran Belanja. Berikut ini adalah hasil uji signifikansi
a. Dependent Variable: BELANJA MODAL
Sumber: Output SPSS
Kesimpulan yang dapat diambil dari uji signifikansi parsial tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Dana Bagi Hasil Pajak mempunyai nilai signifikansi 0,515 yang berarti
lebih besar dari 0,05, sedangkan t hitungnya 0,658 < 1,69389.
Berdasarkan penilaian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Dana Bagi
Hasil Pajak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal(Y).
2. Dana Bagi Hasil Bukan Pajak mempunyai nilai signifikansi 0,000 yang
Hasil Bukan Pajak berpengaruh secara signifikan terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal(Y).
3. Dana Alokasi Umum mempunyai nilai signifikansi 0,157 yang berarti
lebih besar dari 0,05, sedangkan t hitungnya 1,449 < 1,69389.
Berdasarkan penilaian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Dana
Alokasi Umum tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal(Y)
4.6 Pembahasan Hasil Penelitian
4.6.1 Pengaruh Dana Bagi Hasil Pajak terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Dana Bagi Hasil Pajak
tidak berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal dengan
tingkat signifikansi lebih besar 0,05 yaitu 0,515. Hasil penelitian ini tidak
mengindikasikan bahwa pengalokasian anggaran belanja modal tidak
dipengaruhi oleh penerimaan yang berasal dari dana bagi hasil bukan pajak .
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
oviliza Haryouli, M. Rasuli, dan Devi Safitri (2013) yang memberikan hasil
penelitian berupa adanya pengaruh dana bagi hasil pajak secara parsial
4.6.2 Pengaruh Dana Bagi Hasil Bukan Pajak terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Dana Bagi Hasil Bukan
Pajak berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal dengan
tingkat signifikansi lebih kecil 0,05 yaitu 0,000. Hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa pengalokasian anggaran belanja modal dipengaruhi
oleh penerimaan yang berasal dari dana bagi hasil bukan pajak yaitu dana bagi
hasil yang bersumber dari sumber daya alam. Dana bagi hasil pajak atau dana
bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam diperoleh dari enam sektor,
yaitu Kehutanan, Perikanan, Pertambangan Umum, Pertambangan Minyak
Bumi, Pertambangan Panas Bumi, dan Pertambangan Gas Bumi dimana
besarnya presentase yang diberikan telah diatur dalam Undang-Undang No. 33
Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005 Tentang Dana Perimbangan.
4.6.3 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa DAU tidak
berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal dengan tingkat
signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu 0,157. Hal ini mengindikasikan bahwa
pengalokasian anggaran belanja modal tidak dipengaruhi oleh penerimaan yang
4.6.4 Pengaruh DBH Pajak, DBH Bukan Pajak, dan DAU terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa DBH Pajak, DBH
Bukan Pajak, dan DAU secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
pengalokasian anggeran belanja modal. penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Dini Arwati dan Novita Hadiati(2013) memberikan hasil yang sama
dengan penelitian ini yaitu PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil
kesimpulan sebagai betikut:
1. Secara Parsial dapat disimpulkan bahwa hanya Dana Bagi Hasil Bukan
Pajak yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal. Sedangkan Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana
Alokasi Umum tidak berpengaruh signifikan terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil sejalan
dari Kusnandar dan Dodik Siswantoro(2012) yang menyatakan bahwa
secara parsial Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh secara parsial
terhadap Belanja Modal.
2. Secara Simultan dapat disimpulkan bahwa Dana Bagi Hasil Pajak, Dana
Bagi Hasil Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan
terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal sehingga pemerintah
daerah dapat menjadikan penelitian ini sebagai tolak ukur dalam
pengalokasian besaran anggran belanja modal yang bersumber dari Dana
Haryuli, M. Rasuli, dan Devi Safitri (2013) yang menyatakan bahwa
Pendapatan Asli Daerah(PAD), Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil,
dan Derajat Kontribusi berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Modal
5.2. Keterbatasan Penelitian
Adapun keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut
1. Periode waktu penelitian adalah tahun 2009-2012 sehingga tidak secara
menyeluruh menggambarkan pengaruh masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen untuk rentang waktu yang
mendekati periode penelitian.
2. Ada banyak variabel lainnya yang dapat digunakan untuk mengetahu
pengaruh keberadaannya dengan pengalokasian anggaran belanja modal.
Namun penelitian ini hanya menggunakan tiga variabel bebas
(independen).
3. Jumlah populasi yang diambil menjadi sampel hanya 8 kabupaten dan 1
kota, hal ini disebabkan oleh adanya beberapa kabupaten/kota yang
realisasi anggaran pendapatan dan belanjanya tidak tercantum dalam
Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang
5.3. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mencoba memberikan saran bagi
peneliti pemerintah daerah dan peneliti selanjutnya
1. Pemerintah Daerah
Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan
sebagai dasar pengambilan keputusan dalam menentukan besaran
pengalokasian anggaran untuk belanja modal yang bersumber dari dana
bagi hasil pajak, dana bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi umum.
2. Peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk menggunakan variabel
-variabel lainnya yang memungkinkan untuk mempengaruhi
pengalokasian anggaran belanja modal dan juga diharapkan
menambahkan periode pengamatan sehingga hasil yang diperoleh dapat
mewakilkan keadaan daerah tersebut sehingga pemerintah daerah dapat
menggunakannya sebagai dasar pengambilan keputusan dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2.1.1.1 Pengertian dan Unsur-Unsur APBD
Menurut Garrison dan Noreen (2006:402), “Anggaran adalah
rencana rinci tentang perolehan dan penggunaan sumber daya keuangan dan
sumber daya lainnya untuk suatu periode tertentu”. Menurut UU No. 33
Tahun 2004, “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang disebut
APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas
dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Untuk pelaksanaan tahun
anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Desember (Pemendagri Nomor 13 Tahun 2006).
Unsur-unsur APBD menurut Halim (2004: 15-16) adalah sebagai
berikut :
1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.
2. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
4. Adanya sumber penerimaan yang mrupakan target minimal untuk
menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut dan adanya
biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran
yang akan dilaksanakan.
2.1.1.2 Fungsi APBD
Menurut Peraturan Menteri dalam Negri No. 13 Tahun 2006 ada
enam fungsi APBD, yaitu :
1. Fungsi Otorisasi
Anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan
dan belanja daerah pada tahun bersangkutan. Fungsi Otorisasi yang
dimaksudkan disini adalah diberikannya kekuasaan kepada Satuan Kerja
Perangkat Daerah untuk melaksanakan setiap anggaran, pendapatan,
belanja dan pembiayaan yang telah dianggarkan dalam APBD.
2. Fungsi Perencanaan
Anggaran Daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Setelah APBD
telah ditetapkan, maka setiap pengguna anggaran diwajibkan untuk
membuat anggaran kas agar kegiatan yang telah dianggarakan dalam
3. Fungsi Pengawasan
Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan
penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan. Dokumen perda tentang APBD memuat program dan
kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Terhadap
program dan kegiatan yang dianggarkan dalam APBD tersebut
merupakan implementasi dan pelaksanaan atas urusan pemerintahan yang
telah diserahkan dari pusat kepada daerah baik itu urusan wajib maupun
urusan pilihan.
4. Fungsi Alokasi
Anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan
kerja atau mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efesiensi dan efektifitas perekonomian. Sudah sepatutnya,
ketika menyusun program dan kegiatan yang akan dianggarkan dalam
APBD, pemerintah lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan yang dapat
menyerap tenaga kerja, sehingga pada akhirnya secara signifikan akan
mengurangi pengangguran di daerah yang tersebut.
5. Fungsi Distribusi
Anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan
kepatuhan dalam pendistribusiannya. Masyaraka harust dapat menikmati
6. Fungsi Stabilisasi
Anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian daerah. Dengan fungsi
stabilisasi ini, APBD sejatinya dapat digunakan untuk menciptakan
stabilitas ekonomi pada tingkat lokal.
2.1.1.3 Struktur APBD
Struktur APBD yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan
daerah. Adapun bentuk dan susunan APBD didasarkan pada Pemendagri No.
13 Tahun 2006 pasal 22 ayat (1) terdiri dari tiga 3 bagian, yaitu : Pendapatan
Daerah, Belanja Daerah, dan Pembiyaan Daerah.
2.1.2 Otonomi Daerah
Secara etimologi Otonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu “autos” yang
artinya sendiri dan “nomos” yang berarti hukum atau aturan, maka otonomi
diartikan sebagai hukum/aturan sendiri. Menurut Ateng Syarifuddin (1985:23) ,
“ Otonomi adalah kebebasan dan kemandiirian tetapi bukan kemerdekaan”.
Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, ,
Otonomi daerah adalah pemberian kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip demokrasi, peran
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman
daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah adalah untuk
membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam
menangani daerah. Selain itu tujuan lain dari pemberian otonomi daerah kepada
daerah adalah sebagai berikut :
1. Pelayanan dan kesejahteraan masyarakat semakin membaik
2. Pengembangan kehidupan demokrasi
3. Keadilan nasional
5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam
rangka keutuhan NKRI
6. Mendorong pemberdayaan masyarakat
7. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta
masyarakat, serta mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah, prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah adalah :
1. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab.
2. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta
potensi dan keanekaragaman daerah.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan
pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah
propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pemerintah