• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Ranting (Ramulus) Patah Tulang (Euphorbia Tirucalli L.) Sebagai Analgetik Pada Mencit Jantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Ranting (Ramulus) Patah Tulang (Euphorbia Tirucalli L.) Sebagai Analgetik Pada Mencit Jantan"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Lampiran 2. Gambar Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.)

Tanaman patah tulang Ranting Patah Tulang

(3)

Lampiran 3. Gambar Alat dan Bahan

Plantar Tes Infra Red UGO Basile Mikroskopik (BOECO Germany)

(4)

Lampiran 4. Gambar Hewan Percobaan

(5)

Lampiran 5. Perhitungan Kadar Air Serbuk Simplisia Ranting (ramulus) Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.).

No. Berat sampel (g) Volume awal (ml) Volume akhir (ml)

1. 5,007 1,80 2,20

2. 5,013 2,20 2,60

3. 5,003 2,60 3,00

Kadar air = volume air II−volume air I

berat sampel x 100 %

1. % kadar air= 2,2−1,8

5,007 ���� � 100 %

= 8 %

2. % kadar air= 2,6−2,2

5,013 ���� � 100 %

= 7,98 %

3. % kadar air= 3,0−2,6

5,003 ���� � 100 %

= 7,99 %

Rata- rata = 8 %+7,98 %+7,99 %

(6)

Lampiran 6. Perhitungan Kadar Abu Total Simplisia Ranting (ramulus) Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.).

No. Berat sampel (g) Berat kurs kosong (g)

Berat kurs + abu (g)

1. 2,007 38,650 38,833

2. 2,017 35,520 35,689

3. 2,012 37,085 37,621

Kadar abu total = berat kurs +abu −berat kurs kosong

berat sampel x 100 %

1. % kadar abu= 38,833 gram −38,650 gram

2,007 gram x 100 %

= 9,11 %

2. % kadar abu = 35,689 gram −35,520 gram

2,017 gram x 100 %

= 8,38 %

3. % kadar abu = 37,085 gram −37,261 gram

2,012 gram x 100 %

= 8,74 %

Rata- rata = 9,11 %+8,38 %+8.,4 %

(7)

Lampiran 7. Perhitungan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam Simplisia Ranting (ramulus) Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.).

No. Berat sampel (g) Berat kurs kosong (g)

Berat kurs + abu (g)

1. 2,007 38,650 38,670

2. 2,017 35,520 35,545

3. 2,012 37,085 37,100

Kadar abu tidak larut asam = berat kurs kosong −berat kurs +abu

berat sampel x 100 %

1. % kadar abu Asam = 38,650 gram −38,670 gram

2,007 gram x 100 %

= 0,99 %

2. % kadar abu Asam = 35,545 gram −35,520 gram

2,017 gram x 100 %

= 1,23 %

3. % kadar abu Asam= 37.,100 gram −37,085 gram

2,012 gram x 100 %

= 0,74 %

Rata- rata = 0,99 % + 1,23 % + 0,74 % 3

(8)

Lampiran 8. Perhitungan Kadar Sari Larut Dalam Air Simplisia Ranting (ramulus) Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.).

No. Berat sampel (g)

Berat kurs (g)

Berat Kurs + Sari (g)

1. 5,002 45,092 45,271

2. 5,000 45,100 45,279

3. 5,001 45,113 45,283

Kadar sari air = berat kurs +sari air−berat kurs kosong

berat sampel x 100/20 x 100 %

1. % kadar sari air = 45,271 gram −45,092 gram

5,002 gram x 100

20 x 100 %

= 17,89 %

2. % kadar sari air = 45,279 gram −45,100 gram

5.000 gram x 100

20 x 100 %

= 17,90 %

3. % kadar sari air = 45,283 gram −45,113 gram

5.001 gram x 100

20 x 100 %

= 17,59 %

Rata- rata = 17,89 %+17,90 %+17.59 %

(9)

Lampiran 9. Perhitungan Kadar Sari Larut Dalam Etanol Simplisia Ranting (ramulus) Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.).

No. Berat sampel (g)

Berat kurs (g)

Berat Kurs + Sari (g)

1. 5,000 43,020 43,092

2. 5,000 44,351 44,428

3. 5,001 46,328 46,415

Kadar sari etanol = berat kurs +sari etanol−berat kurs kosong

berat sampel x 100/20 x 100 %

1. % kadar sari Etanol = 43,092 gram −43,020 gram

5,000 gram x 100

20 x 100 %

= 7,20 %

2. % kadar sari air = 44,428 gram −44,351 gram

5,000 gram x 100

20 x 100 %

= 7,70 %

3. % kadar sari air = 46,415 gram −46,328 gram

5,001 gram x 100

20 x 100 %

= 7.86 %

Rata- rata = 7,20 %+7,70 %+7,86 %

(10)

Lampiran 10. Hasil Uji Analgetik Ekstrak Etanol Ranting (ramulus) Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.) Metode Plantar Infra Red (IR).

Bets I.

Kelompok

Waktu Perlakuan Menit Ke-

10 20 30 40 50 60 70 80 90

Rata-rata Respon Nyeri (detik)

Na-cmc 1%/BB 6,2 7,8 7,2 7,2 7,1 7,0 6.9 6,5 6,3

Waktu Perlakuan Menit Ke-

10 20 30 40 50 60 70 80 90

Rata-rata Respon Nyeri (detik)

Na-cmc 1%/BB 7,2 8,9 9,9 9,6 9,4 9,0 8,9 7,7 7,4

Waktu Perlakuan Menit Ke-

10 20 30 40 50 60 70 80 90

Rata-rata Respon Nyeri (detik)

(11)

Lampiran 10. (Lanjutan)

Bets IV.

Kelompok

Waktu Perlakuan Menit Ke-

10 20 30 40 50 60 70 80 90

Rata-rata Respon Nyeri (detik)

Na-cmc 1%/BB 9,7 9,9 8,1 6,9 4,9 5,0 7,3 6,9 6,3

Waktu Perlakuan Menit Ke-

10 20 30 40 50 60 70 80 90

Rata-rata Respon Nyeri (detik)

Na-cmc 1%/BB

Waktu Perlakuan Menit Ke-

10 20 30 40 50 60 70 80 90

Rata-rata Respon Nyeri (detik)

(12)

Lampiran 11. Bagan Kerja Pembuatan Ekstrak Etanol Ranting (ramulus) Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.)

Ditambahkan etanol 96% 0,75 bagian (3,64 liter), biarkan selama 5 hari

Sambil diaduk sesekali Disaring

Dimaserasi kembali dengan etanol 96% 0,25 bagian (1,21 liter)

Disaring

Dipekatkan dengan rotary evaporator

Cara Kerja Pembuatan Ekstrak Etanol Ranting (Ramulus) Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.)

486 g serbuk patah tulang

Maserat Ampas

Maserat Ampas

(13)

Lampiran12. Perhitungan Dosis Obat

Perhitungan Dosis Na cmc 1%

(14)

Lampiran 12. Perhitungan Dosis Obat (lanjutan)

Perhitungan dosis EERPT 20 mg/kg BB

No. Berat mencit (gram) Dosis (mg) Spuit (1ml) Skala 100

Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti: A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml

= 0,2 x 1000 mg/100 ml = 0,2 x 10 mg/ml = 2 mg/ml

Jlh larutan= 0,418 ��

(15)

Skala dalam syringe 1 ml= 100 skala, maka 1 skala= 1: 100 = 0,01 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti: A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

(16)

Lampiran 12. Perhitungan Dosis Obat (lanjutan)

Perhitungan dosis EERPT 40 mg/kg BB

No. Berat mencit (gram) Dosis (mg) Spuit (1ml) Skala 100 Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml = 0,2 x 1000 mg/100 ml = 0,2 x 10 mg/ml = 2 mg/ml

Jlh larutan= 0,804 ��

(17)

Skala dalam syringe 1 ml= 100 skala, maka 1 skala= 1: 100 = 0,01 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti: A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

(18)

Lampiran 12. Perhitungan Dosis Obat (lanjutan)

Perhitungan dosis EERPT 80 mg/kg BB

No. Berat mencit (gram) Dosis (mg) Spuit (1ml) Skala 100 Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

A% = 1%/100 ml Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

A% = 1%/100 ml Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

A% = 1%/100 ml

= 1 x 1000 mg/100 ml = 1x 10 mg/ml = 10 mg/ml

Jlh larutan= 1,848 ��

(19)

Skala dalam syringe 1 ml= 100 skala, maka 1 skala= 1: 100 = 0,01 ml Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

A% = 1%/100 ml Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

A% = 1%/100 ml Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

(20)

Lampiran 12. Perhitungan Dosis Obat (lanjutan)

Perhitungan dosis morfin 10 mg/kg BB

No. Berat Mencit (gram) Dosis (mg) Spuit (1ml) Skala 100 Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml = 0,2 x 1000 mg/100 ml = 0,2 x 10 mg/ml = 2 mg/ml

Jlh larutan= 0,25 ��

(21)

Skala dalam syringe 1 ml= 100 skala, maka 1 skala= 1: 100 = 0,01 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

A% = 0,2%/100 ml Konsentrasi obat dlm 0,2%, berarti:

(22)

Lampiran 12. Perhitungan Dosis Obat (lanjutan)

Perhitungan dosis antalgin 300 mg/kg BB

No. Berat mencit (gram) Dosis (mg) Spuit (1ml) Skala 100 Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

A% = 1%/100 ml Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

A% = 1%/100 ml Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

A% = 1%/100 ml

= 1 x 1000 mg/100 ml = 1x 10 mg/ml = 10 mg/ml

Jlh larutan= 6,9 ��

(23)

Skala dalam syringe 1 ml= 100 skala, maka 1 skala= 1: 100 = 0,01 ml Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

A% = 1%/100 ml Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

A% = 1%/100 ml Konsentrasi obat dlm 1%, berarti:

(24)

Lampiran 13. Hasil Uji Taraf Kepercayaan 95 % Analisis Variasi (ANOVA) Metode One Way.

Menit ke 10 Descriptives

Test of Homogeneity of Variances

Anova

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

(25)

Menit ke 20 Deskriptive

Test of Homogeneity of Variances

Anova

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

(26)

Menit ke 30 Deskriptive

Test of Homogeneity of Variances

Anova

(27)

Menit ke 40 Deskriptive Test of Homogeneity of Variances

Anova

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

Levene Statistic df1 df2 Sig.

(28)

Menit ke 50 Deskriptive

Test of Homogeneity of Variances

Anova

Tukey HSDa

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. b. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

(29)

Menit ke 60 Deskriptive

Test of Homogeneity of Variances

Anova

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

(30)

Menit ke 70 Deskriptive

Test of Homogeneity of Variances

Anova

antalgin 300 mg/kgbb 6 11.5500

EERPT 20 mg/kgbb 6 13.8000

EERPT 40 mg/kgbb 6 13.9333

morphin 10 mg/kgbb 6 14.0667

EERPT 80 mg/kgbb 6 14.2833

Sig. 1.000 1.000 0.985

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

(31)

Menit ke 80 Deskriptive

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

antalgin 300 mg/kgbb 6 10.9000

EERPT 20 mg/kgbb 6 12.2167 12.2167 EERPT 40 mg/kgbb 6 12.3167 12.3167

EERPT 80 mg/kgbb 6 12.6833

morphin 10 mg/kgbb 6 13.4333

Sig. 1.000 0.113 0.230

(32)

Menit ke 90 Deskriptive

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

antalgin 300 mg/kgbb 6 10.1500

EERPT 20 mg/kgbb 6 10.8667 10.8667

EERPT 40 mg/kgbb 6 11.0500 11.0500

EERPT 80 mg/kgbb 6 11.7333 11.7333

morphin 10 mg/kgbb 6 12.3167

Sig. 1.000 0.282 0.321 0.724

(33)

Hasil uji taraf kepercayaan 95 % respon mencit menahan induksi panas infra red

(IR) selama 90 menit.

Kelompok Waktu Pengamatan Pada Menit Ke-

10 20 30 40 50 60 70 80 90

I

II 0.000** 0.005** 0.000** 0.000** 0.000** 0.000** 0.000** 0.000** 0.000**

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2011). Nyeri.

Diakses tanggal 12 Juni 2013.

Anonim. (2013). Khasiat Tanaman Patah Tulang.

Http://khasiatdaunalami.blogspot/khasiattanamanpatahtulanghtml. Diakses tanggal 03 pebuari 2014.

Anief, M. (1995). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 59.

Ansel, H.C. (1989). Pengatar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press. Hal. 96,147.

Astuti, N dan Pudjiastuti. (1996). Penelitian Khasiat Biji Ketumbar (Coriandrum sativumL.) Sebagai Analgesik Pada Mencit. Prosiding Simposium Penelitian BahanObat Alami VIII. Bogor: Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) dengan Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami (PERHIPBA).

Arief, H. (2007). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Cetakan ketiga. Jakarta:

Penebar Swadaya. Hal. 167.

Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta: Depkes RI. Hal. 495-497.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Depkes RI. Hal. 297-303, 321-325, 333-337.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Depkes RI. Hal. 537, 569.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan. Hal. 33, 649, 659, 748, 781-782.

Ditjen RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan pertama. Jakarta: Ditjen POM. Hal. 31-32.

Field, H.L. (1987) Pain. New York: McGraw-Hill. Hal. 32.

(35)

Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants.

Journal of Pharmaceutical Sciences. 55(3): 263.

Ganiswara, S. G., (1995). Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI, hal. 207-209, 219.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi IX. AlihBahasa. Irawati Setiawan. Jakarta: EGC.Hal. 761.

Harbone, J.B. (1984). Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Terbitan Kedua. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 35, 147.

Hargreaves, K.M., Dubner, R., Brown, F., Flores, C dan Joris, J. (1988) “A New and Sensitive For Measuring Thermal Nociception in Cutaneous Hyperalgesia”.Pain. Amesterdam. Elsevier Science Publishers, Hal 77. Hesti, P., Shanty, L., dan Tetri, W. (2003). Aktivitas Analgetik Ekstrak Umbi Teki

(Cyperus rotundus L.) Pada Mencit Putih (Mus musculus L.) Jantan. http//www Hibban, M., dan Natsir, B. (2010). Studi Bioaktivitas Dan Isolasi Senyawa

Bioaktif Euphorbia tirucalli L. Sebagai Insektisida Botani Alternatf.

http//www.unita.ac.id. Diakses tanggal 03 Juli 2012.

Mutschler, E. (1991). Dinamika Obat. Edisi V. Penerjemah. Mathilda B. dan Widianto. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Hal. 177.

McGuire, D.B., dan Sheildler, V.R. (1993).Pain. Dalam:Cancer Nursing: Principles and Practice.Edisi ke 3. Editor: Groen, S.L., Fragge, M.H., Goodman, M dan Yarbro, C.H. Boston: Penerbit NA. Hal 499-556. Nurdiana; Kirana, C., Arifatin, R., dan Mulyohadi. (2000). Uji Efek Analgesik

Ekstrak Kasar dan Ekstrak Flavonoid Daun Wungu (Graftophyllum pictumGrift) Pada Tikus (Rattus rattusWister). Jurnal Kedokteran Yarsi.8(2): Hal. 56-57.

Nuryati, D. (2011). Budidaya Perkembangan Tanaman Obat Asli Indonesia.

Diakses tanggal 30 Juni 2012.

Parmar, N.S., dan Prakash, S. (2006). Screening Method in Pharmacology, Alpha Science International. Oxford. Hal. 211.

(36)

Pudjiastuti, B., Dzulkarnain, dan Nuratmi, B. (2000). Uji Analgetik Infus Rimpang Lempuyang Pahit (ZingiberamaricansBL.) Pada Mencit Putih.

Cermin DuniaKedokteran 129: 39-41.

Raylene, M.R. (2008). Penilaian nyeri. Penerjemah Lyrawati. D., (2009).http://www.lyrawati.files.wordpress.com. Diakses tanggal 12 juni 2013.

Setiawati, W., Murtiningsih, R., Gunaeni, N dan Rubiati, T. (2008). Tumbuhan Bahan Pestisida Dan Cara Pembuatannya Untuk Pengedalian Organisme Pengganggu Tumbuhan. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Hal. 141.

Sirait, M.D., Hargono, J.R., Wattimena, M., Husin, R.S., Sumadilaga. dan Santoso, S.O. (1993). PedomanPengujian Dan Pengembangan Fitofarmaka, PenapisanFarmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian KlinikPengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam. Jakarta: Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica. Hal. 156.

Siswandono., dan Soekardjo. B. (2008). Kimia Medisinal. Edisi Ke Dua. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 283-291

Suganda, A.G., dan Ozaki, Y. (1996). Efek Analgesik Ekstrak Rimpang Empat Jenis Tanaman Suku Zingiberaceae. Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII. Bogor: Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) dengan Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alam (PERHIPBA).

Tan, T.H., dan Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting; Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Samping, Jakarta: Elex Media Komputindo dan Gramedia. Hal. 295.

Turk, D.C. dan Flor, H. (1999). Chronic Pain: A Biobehavioral Perspective. Dalam: Psychosocial Factors in Pain. Editor: Gatchel R. J., dan TurkD. C.New York: The Guilford Press. Hal 18-34.

Willkinson., dan Judith, M. (2007). Diagnosa Keperawatan .Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Hal. 287.

Wilbraham, A.C., dan Matta, M.S. (1992). Pengantar Kimia Organik. Penerjemah Suminar Achamdi. Penyunting Sofia dan Nik Solihin. Bandung: ITB. Hal. 88-89.

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian uji efek analgetik pada ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) ini dilakukan secara eksperimental. Penelitian meliputi pengumpulan simplisia, identifikasi simplisia, pengolahan simplisia, pembuatan ekstrak dan pengujian efek analgetik ekstrak etanol ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) pada mencit jantan.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, neraca digital (Vibra), neraca hewan (Presica), plantar test infra red

(UGO Basile), mikroskop (BOECO Germany), cawan porselen berdasar rata, oral sonde, kandang mencit, rotary evaporator (Heidolph VV-300), seperangkat alat destilasi untuk penetapan kadar air, lumpang, stamper, stopwatch.

3.1.2 Bahan-bahan

(38)

3.2 Prosedur Kerja

3.2.1 Pengambilan Tumbuhan

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif tanpa membandingkan dengan sampel yang sama dan usia dari daerah lain. Sampel yang digunakan adalah bagian ranting patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) berwarnah hijau yang diperoleh dari kecamatan Rantau Utara, kelurahan Binaraga, kabupaten Labuhan Batu, Rantauprapat.

3.2.2 Identifikasi Tumbuhan

Identifikasi sampel dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Biologi Bidang Botani, Bogor.

3.2.2 Pengolahan Tumbuhan

Sampel yang digunakan adalah bagian ranting patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) berwarnah hijau dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan lalu ditimbang berat basahnya, dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu 40-50oC hingga kering. Setelah kering sampel ditimbang sebagai berat kering, selanjutnya diserbukkan, kemudian ditimbang beratnya. Selanjutnya serbuk simplisia disimpan dalam wadah ditempat yang terlindung dari sinar matahari.

3.3 Karakterisasi Simplisia

3.3.1 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluena) (WHO, 1998).

(39)

0,05 ml. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen.

3.3.2 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.3.3 Penetapan Kadar SariLarut dalam Etanol

(40)

sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.3.4 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.3.5 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut dalam Asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbangsampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.4 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia meliputi pemeriksaan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan triterpenoid/steroid.

3.4.1 Pemeriksaan alkaloid

(41)

Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi:

a. ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff.

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan diatas (Depkes, 1995).

3.4.2 Pemeriksaan flavonoid

Serbuk simplisia ditimbang 0,5 g, lalu ditambahkan 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling, setelah dingin ditambahkan 5 ml petroleum eter, dikocok hati-hati, lalu didiamkan sebentar. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etilasetat, disaring. Filtratnya digunakan untuk uji flavonoid dengan cara berikut:

a. sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 2 mletanol 96%, lalu ditambah 0,5 g serbuk Zn dan 2 ml asam klorida 2 N. Didiamkan selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat. Jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoid.

(42)

3.4.3 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml campuran etanol 96%-air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran kloroform-isopropanol (3:2) sebanyak 3 kali. Pada kumpulan sari ditambahkan natrium sulfat anhidrat, disaring, dan diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dengan 2 ml metanol.

Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut:

a. diuapkan 0,1 ml larutan percobaan diatas penangas air, pada sisa ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard, terjadi warna biru atau hijau yang menunjukkan adanya glikosida.

b. dimasukkan 0,1 ml larutan percobaan dalam tabung reaksi, diuapkan di atas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molish. Ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat, terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan menunjukkan adanya ikatan gula.

(43)

3.4.4 Pemeriksaan saponin

3.4.4.1 Uji Busa

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995).

3.4.4.2 Uji dengan pereaksi Liebermann-Burchard

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g, ditambahkan 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit kemudian disaring panas-panas melalui kertas saring. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling, dikocok dengan 10 ml n-heksan lalu diambil lapisan n-heksan dan diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard, apabila terbentuk warna biru,

biru-hijau, merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.4.5 Pemeriksaan tanin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dididihkan selama 3 menit dalam air suling lalu didinginkan dan disaring. Pada filtrat ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1% b/v. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.4.6 Pemeriksaan steroid/ triterpenoid

(44)

terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu ataubiru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harbone, 1984).

3.5Pembuatan Ekstrak Etanol Ranting (ramulus) Patah Tulang (Euphorbia

Tirucalli L.) Metode Maserasi

Cara Kerja: Serbuk simplisia 486 gram dimasukkan kedalam bejana tertutup dimaserasi dengan 0,75 bagian etanol 96% (3,64 liter) dalam wadah kaca, ditutup. Selanjutnya dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sesekali diaduk. Setelah 5 hari disaring, tampung maserat pada botol gelap, dan ampas di maserasi kembali dengan 0,25 bagian etanol 96% (1,21 liter), dibiarkan selama 2 hari terlindung dari cahaya, disaring. Hal ini dilakukan sebanyak 2 kali (Ditjen POM, 1979). Hasil maserat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan bantuan alat rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak etanol.

3.6 Hewan Uji

(45)

3.7Pengujian Aktivitas Analgetik Ekstrak Etanol Ranting (ramulus) Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.) (EERPT) dengan Metode Plantar Tes

Infra Red (IR) 96 nm

Cara kerja: Mencit percobaan 36 ekor dibagi menjadi enam kelompok yaitu kelompok I, II, III, IV, V dan VI. Masing-masing mencit ditimbang berat badan, kemudian dilakukan pengujian analgetik dengan metode plantar tes infra red.

Kelompok I : 6 ekor mencit diberikan Na-CMC dosis 1 %/ BB. Kelompok II : 6 ekor mencit diberikan EERPT dosis 20 mg/kg BB. Kelompok III : 6 ekor mencit diberikan EERPT dosis 40 mg/kg BB. Kelompok IV : 6 ekor mencit diberikan EERPT dosis 80 mg/kg BB. Kelompok V : 6 ekor mencit diberikan morfin sulfat dosis 10 mg/kg BB. Kelompok VI : 6 ekor mencit diberikan antalgin dosis 300 mg/kg BB.

Obat disuspensikan dan diberikan secara oral. Hewan diletakkan kedalam kotak, didiamkan selama 15 menit sampai mencit tenang, kemudian diarahkan panas

infra red (IR) 96 nm tepat ketelapak kaki hewan. Diamati dan dicatat, berapa lama waktu yang dibutuhkan mencit sampai mengakat telapak kakinya. Kemudian perlakuan diarahkan lagi sinar infrared ketelapak kaki mencit, dilakukan selang waktu 10 menit sampai 90 menit dan di buat grafik lama respon vs waktu.

3.8Analisis Statistik

(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tanaman

Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Biologi Bidang Botani menunjukkan bahwa sampel adalah tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L) (Lampiran 1, halaman 46).

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia Menurut Depkes RI (1995), standarisasi suatu simplisia merupakan persyaratan sebagai bahan obat dan menjadi penetapan nilai untuk berbagai parameter produk. Simplisia yang akan digunakan sebagai bahan baku obat harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia). Pemeriksaan karakteristik simplisia ranting patah tulang terlihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik simplisia ranting patah tulang

Perlakuan Hasil (%) M M I Edisi V.

Kadar air Kadar abu total

Kadar abu tidak larut dalam asam Kadar sari larut dalam air

Kadar sari larut dalam etanol

7,99

(47)

memberikan batasan minimal atau rentang besarnya kandungan air dalam bahan. Kadar abu memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses asal sampai terbentuk ekstrak. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan, nilai minimal atau rentang yang ditetapkan terlebih dahulu.

Hasil maserasi diperoleh rendemen sebesar 23,6% dengan berat ekstrak 115,1 gram dari berat simplisia 486 gram.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Skrining Fitokimia terhadap simplisia ranting patah tulang dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa fitokimia yang terdapat di dalamnya. Pemeriksaan penentuan golongan senyawa kimia tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L) dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia ekstrak ranting patah tulang

Skrining fitokimia Hasil

Alkaloida Keterangan : (+) = mengandung golongan senyawa,

(-) = tidak mengandung golongan senyawa

(48)

lemak, lilin, alkaloid, flavon, polifenol, tanin, saponin, aglikon dan glikosida (Wilbraham dan Matta, 1992; Filho, 2006).

Studi isolasi senyawa bioaktif pada tumbuhan patah tulang (Euphorbia. tirucalli L.) memperlihatkan bahwa terdapat 5 senyawa metabolit yang berhasil diisolasi dengan pelarut etanol yaitu senyawa alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid dan hidroquinon. Sedangkan dengan pelarut aseton ada sebanyak 6 senyawa metabolit yang berhasil diisolasi yaitu alkaloid, tanin, flavonoid, steroid, triterpenoid dan hidroquinon (Hibban dan Natsir, 2010).

4.4 Hasil Uji Analgetik Ekstrak Etanol Ranting Patah Tulang (EERPT) Menggunakan Metode Plantar Infra Red (IR) 96 nm

Metode plantar tesinfra red (IR) yang digunakan dalam percobaan ini merupakan salah satu metode pengujian analgetik. Alasan digunakan tiga macam dosis dalam penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan antara dosis dan efek hasil percobaan. Jika suatu bahan uji memberikan hubungan dosis efek, artinya makin besar dosis yang diberikan, semakin besar efeknya. Respon nyeri setelah diinduksi panas infra red pada mencit ditunjukkan dalam bentuk menjilat kaki. Mediator nyeri yang spesifik untuk ini adalah prostaglandin, dalam penelitian ini menggunakan dua pembanding yaitu antalgin dan morfin.

(49)

Tabel 4.3 Hasil waktu rata-rata respon mencit menahan induksi panas infra red

(IR) tiap 10 menit selama 90 menit

Kelompok

Waktu Perlakuan Menit Ke-

10 20 30 40 50 60 70 80 90

Rata-rata Respon Nyeri (detik)

Na-cmc 1%/BB 8,8 8,8 8,3 7,8 7,4 7,0 7,2 7,0 6,5

EERPT 20 mg/kg BB 14,2 14,2 15,1 18,6 17,3 14,9 13,8 12,2 10,8

EERPT 40 mg/kg BB 13,1 16,4 19,7 17,8 16,4 16,3 13,9 12,3 11,0

EERPT 80 mg/kg BB 17,5 20,3 20,0 22,1 18,2 17,4 14,2 12,6 11,7

Morfin 10 mg/kg BB 15,9 25,0 18,0 17,5 16,9 14,8 14,0 13,4 12,3

Antalgin 300 mg/kg BB 12,6 15,0 19,6 15,7 14,4 13,0 11,5 10,9 10,1

(50)

Hasil pengujian analgetik metode plantar tes infra red didapat grafik seperti Gambar 4.2 di atas. Bila dilihat dari data waktu yang dibutuhkan untuk menahan induksi nyeri selama 90 menit terlihat bahwa pemberian kontrol Na-CMC efek analgetiknya paling kecil ataupun tidak mempunyai efek analgetik yang diinginkan. Kelompok EERPT dosis 20 dan 40 mg/kg BB dilihat dari grafik di atas memberikan efek analgetik yang diharapkan dalam puncak sedang, kelompok dosis 80 mg/kg BB dilihat dari grafiknya memberikan efek analgetik yang cukup kuat. Bisa dikatakan bahwa semakin besar dosis EERPT yang diberikan, waktu menahan induksi nyeri semakin lama.

0

Na-cmc 1%/BB EERPT 20 mg/kg BB

EERPT 40 mg/kg BB EERPT 80 mg/kg BB

Morfin 10 mg/kg BB Antalgin 300 mg/kg BB

Gambar 4.2Induksi nyeri infra redekstrak etanol ranting patah tulang (EERPT) dibandingkan dengan morfin sulfat dan antalgin

(51)

Rasa nyeri merupakan mekanisme untuk melindungitubuh terhadap suatu gangguan dan kerusakan dijaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik dankejang otot dengan pembebasan mediator nyeri yang meliputi prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium dan asetilkolin (Mutschler, 1991; Guyton, 1995; Tan dan Rahardja, 2002).

Berdasarkan mekanisme kerja efek analgetik berfungsi menghambat biosintetis prostaglandin. Prostaglandin merupakan hormon lokal yang disintesis di berbagai organ dan bekerja di tempatitu juga. Prostaglandin dilepaskan ke peredaran darah dengan cepat saat terjadi kerusakan jaringan. Prostaglandin terlibat pada terjadinya nyeri yang berlangsung lama, proses peradangan dan timbulnya demam (Mutschler, 1991; Tan dan Rahardja, 2002).

Untuk mengetahui lebih jauh adanya perbedaan waktu menahan induksi nyeri yang diberikan antara kelompok perlakuan dilakukan analisa statistik ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95%. Dari hasil analisis statistik diperoleh perbedaan bermakna p < 0,05 waktu dibutuhkan menahan induksi nyeri

(52)

Tabel. 4.4 Hasil uji taraf kepercayaan 95 % respon mencit menahan induksi nyeri

infra red (IR) selama 90 menit.

Keterangan :p = nilia signifikansi (berbeda bermakna p < 0.05) , * berbeda bermakna dengan kontrol p < 0,05,

# Tidak berbeda bermakna dengan morfin sulfat p > 0,05, ≠

Tidak berbeda bermakna dengan antalgin p > 0,05

kelompok Waktu Pengamatan Pada Menit Ke-

10 p 20 p 30 p Waktu Pengamatan Pada Menit Ke-

40 p 50 p 60 p Waktu Pengamatan Pada Menit Ke-

(53)

Hasil analisis uji taraf kepercayaan 95% pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa kelompok dosis EERPT dosis 20, 40 dan 80 mg/kg BB pada menit ke 10 sampai menit ke 90 terhadap kontrol Na-CMC mampu menahan nyeri dan memperlihatkan perbedaan bermakna p < 0,05.

EERPT dosis 20 mg/kg BB terhadap pembanding morfin, nilai berbeda bermakna. Dilihat dari hasil analisis puncak respon EERPT dosis 20 mg/kg BB dimenit ke 40 yaitu 18,6 detik dan morfin dimenit ke 20 yaitu 25,0 detik, ini sangat jauh berbeda dilihat dari puncak respon aktivitas analgetik. Terhadap pembanding antalgin dengan EERPT dosis 20 mg/kg BB tidak bermakna. Dilihat dari hasil analisis puncak respon EERPT 20 mg/kg BB dimenit ke 40 yaitu 18,6 detik dan antalgin dimenit ke 30 yaitu 19,6 detik, EERPT 20 mg/kg BB ini memberikan aktivitas analgetik equivalen dengan pembanding antalgin.

EERPT dosis 40 mg/kg BB terhadap pembanding morfin, nilai berbeda bermakna. Dilihat dari hasil analisis puncak respon EERPT dosis 40 mg/kg BB dimenit ke 30 yaitu 19,7 detik dan morfin dimenit ke 20 yaitu 25,0 detik, ini sangat jauh berbeda dilihat dari puncak respon aktivitas analgetik. Terhadap kelompok antalgin dengan EERPT dosis 40 mg/kg BB tidak bermakna. Dilihat dari hasil analisis puncak respon EERPT 40 mg/kg BB dimenit ke 30 yaitu 19,7 detik dan antalgin dimenit ke 30 yaitu 19,6 detik, EERPT 40 mg/kg BB ini memberikan aktivitas analgetik equivalen dengan pembanding antalgin.

(54)

morfin. Terhadap kelompok pembanding antalgin adanya nilai berbeda bermakna.

Khasiat ranting patah tulang sebagai analgetik, kemungkinan karena kandungan alkaloidnya yang cukup besar. Hal ini juga didukung oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan yaitu Laporan penelitian dari Purwaningsih (1999), dalam Nurdiana, dkk., (2000), menyebutkan bahwa ekstrak alkaloid daun wungu mempunyai efek analgetik pada tikus. Laporan penelitian dari Hesti, dkk., (2003), yang menyatakan bahwa kandungan senyawa kimia minyak atsiri dari ekstrak umbi teki diduga mempunyai efek analgetik pada mencit jantan. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan efek analgetik dari ekstrak ranting patah tulang ini karena adanya interaksi efek dari kandungan kimia yang lain seperti flavonoidnya dan hal ini telah dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Nurdiana, dkk., (2000), menggunakan ekstrak flavonoid daun wungu pada tikus yang menyatakan bahwa salah satu kandungan daun wungu yang diduga mempunyai efek analgetik adalah flavonoidnya. Penelitian yang dilakukan oleh Pudjiastuti, dkk., (1996), tentang efek analgetik daun sembung didapatkan hasil bahwa kandungan senyawa terpennya bersifat analgetik. Jadi, khasiat ranting patah tulang sebagai analgetik karena kandungan senyawa-senyawa kimia yang ada di dalamnya yaitu alkaloid, flavonoid dan triterpen.

(55)

aktivitas puncak respon analgetik yang berbeda dan puncak respon aktivitas lebih tinggi EERPT dosis 80 mg/kg BB. Ketiga kelompok dosis memiliki aktivitas analgetik untuk meringankan rasa nyeri, tetapi yang memberikan aktivitas analgetik yang cukup kuat adalah EERPT dosis 80 mg/kg BB.

(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan:

a. karakteristik simplisia ranting patah tulang yang diperoleh yaitu: kadar air 7,99%, kadar abu total 8,74%, kadar abu tidak larut dalam asam 0,98%, kadar sari larut dalam etanol 7,56% dan kadar sari larut dalam air 17, 65%.

b. kandungan senyawa fitokimia ekstrak ranting patah tulang diperoleh golongan senyawa alkaloid, flavonoid, tannin, glikosida, dan steroid/triterpenoid.

c. ekstrak etanol ranting patah tulang dosis 20, 40 dan 80 mg/kg BB memliki aktivitas analgetik yang diinduksi panas infra red dan berbeda bermakna terhadap kontrol (p < 0,05).

d. ekstrak etanol ranting patah tulang dosis 20 dan 40 mg/kg BB memberikan aktivitas analgetik equivalen dengan pembanding antalgin dosis 300 mg/kg BB yang bekerja menghilangkan rasa nyeri secara perifer, dengan menghambat pembentukan prostaglandin, sehingga sensitas reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik berkurang.

(57)

5.2. Saran

(58)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman Patah Tulang

2.1.1 Morfologi Tanaman Patah Tulang

Tanaman Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) berasal dari Afrika tropis, tamanan ini menyukai tempat terbuka yang terkena cahaya matahari langsung. Di Indonesia, ditanam sebagai tanaman pagar, tanaman hias di pot, tanaman obat, atau tumbuh liar. Dapat ditemukan dari dataran rendah sampai ketinggian 600 m. Perdu yang tumbuh tegak ini mempunyai tinggi 2-6 m dengan pangkal berkayu, bercabang banyak, dan bergetah seperti susu yang beracun (Nuryati, 2011).

(59)

Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) juga dikenal dengan nama susuru (Sunda), kayu urip, pacing tawa, tikel balung (Jawa), kayu jaliso, kayu leso, kayu langtolangan, kayu tabar (Madura), patah tulang (Sumatera) (Nuryati, 2011).

2.1.2. Sistematik Tanaman Patah Tulang

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Asterales Suku : Euphorbiaceae Warga : Euphorbia

Jenis : Euphorbia tirucalli (Setiawati,dkk, 2008).

2.1.3 Sifat dan Kandungan Kimia

Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) mempunyai bau lemah, rasa mula-mula tawar, lama kelamaan timbul rasa kebas di lidah. Mengandung senyawa

(60)

2.1.4 Manfaat Tanaman Patah Tulang

Bagian tanaman yang paling sering dimanfaatkan untuk obat adalah kulit batang dan ranting dan akarnya dengan beberapa cara manfaat penggunaannya, yaitu:

- Mencegah tahi lalat membesar

Gosok tahi lalat dengan air jeruk nipis, lalu olesi dengan getah patah tulang. Lakukan beberapa kali sehari dan jangan sampai terkena mata.

- Kapalan (clavus) dan kutil

Cuci bersih ½ kg dahan dan ranting patah tulang, lalu rebus dengan 4 liter air sampai tersisa 2 liter. Gunakan air rebusan hangat untuk merendam bagian tubuh yang kulitnya menebal atau terdapat kutilnya selama ½ jam. Setelah kulit kering, olesi kutil dengan lendir daun lidah buaya sampai merata. Dengan pengobatan ini, kapalan atau kutil dapat terlepas dengan sendirinya.

- Kulit tertusuk duri atau terkena pecahan kaca

Olesi kulit atau tubuh yang tertusuk duri dengan getah patah tulang. Getah patah tulang dapat mengeluarkan duri-duri dari kulit.

- Sakit gigi

Teteskan getah patah tulang pada gigi yang sakit dan berlubang. Lakukan satu sampai dua kali sehari. Hati-hati jangan sampai mengenai gigi yang sehat. - Patah tulang

(61)

- Herpes zoster

Tumbuk halus 1 genggam herba patah tulang dan 1 buah bawang putih, lalu tambahkan air dingin. Balurkan hasil tumbukan pada bagian tubuh yang sakit. Lakukan pengobatan tiga kali sehari (Arief, 2007).

2.2 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif darisimplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM, 1995). Ragam ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne,1984).

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian kosentrasi pada kesimbangan. Maserasi dilakukan dengan cara pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen, 2000).

(62)

dalam bahan-bahan tumbuhan tersebut cukup tinggi dan telah diketahui jenis pelarut yang dapat melarutkan dengan baik senyawa-senyawa yang akan diekstraksi atau diisolasi. Kelemahan teknik ini yakni adanya kejenuhan konsentrasi larutan penyari (Ditjen, 2000).

2.3 Tinjauan Umum Tentang Nyeri

2.3.1 Definisi Nyeri

Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh, sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa, sentuhan,dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik. Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan reaksi ketidaknyamanan, distress, atau menderita (Raylene, 2008).

2.3.2 Mekanisme Nyeri

Gambar 2.1 Perjalanan Nyeri (Anonim, 2011).

(63)

Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensoris ke sistem saraf pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Otak besar dan otak kecil bersama-sama melakukan reaksi pertahanan dan perlindungan. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamin, serotonin, dan prostagladin, serta ion-ion kalium (Mustchler, 1991; Ganiswara, 1995; Tan dan Rahardja, 2002).

Banyak faktor yang mempengaruhi nyeri (Gambar 2.1), antara lain:

lingkungan, umur, kelelahan, riwayat nyeri sebelumnya, mekanisme pemecahan masalah pribadi. Sebagian besar rasa nyeri hebat oleh karena: trauma, iskemia

atau inflamasi disertai kerusakan jaringan. Hal ini mengakibatkan terlepasnya zat kimia tertentu yang berperan dalam merangsang ujung-ujung saraf perifer. Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang berlebihan, misalnya: kebisingan, cahaya yang sangat terang dan kesendirian. Kelelahan juga meningkatkan nyeri sehingga banyak orang merasa lebih nyaman setelah tidur (Willkinson, 2007).

2.3.3 Mediator Nyeri

(64)

sensitivitas berlebihan terhadap nyeri), pada kadar tinggi, bradikin dapat secara langsung menstimulasi nosiseptor untuk aktif. Prostaglandin dan leukotrien merupakan senyawa yang disintesis di daerah kerusakan jaringan dan dapat mengakibatkan hiperalgesis melalui kerja langsungnya pada nosiseptor atau dengan mensensitisasi nosiseptor terhadap senyawa lain. Senyawa P, suatu neurotransmitter yang dilepaskan dari serabut saraf aferen, juga mengakibatkan pelepasan histamin dan bekerja sebagai vasodilator kuat (Raylene, 2008).

Tabel 2.1 Senyawa Aktif Mediator-mediator Nyeri

Senyawa Sumber

Histamin Dilepaskan oleh sel mast

Kalium Dilepaskan oleh sel-sel yang rusak

Bradikinin Protein plasma

Prostaglandin Asam arakidonat yang dilepaskan oleh sel-sel yang rusak

Leukotrien Asam arakidonat yang dilepaskan oleh sel-sel yang rusak

Senyawa P Neuron aferen primer

Sumber: Field, (1987). 2.3.4 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis yaitu:

1. Nyeri fisiologis, terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat yang tidak merusak jaringan, misalnya pukulan ringan akan menimbulkan nyeri yang ringan. Ciri khas nyeri sederhana adalah terdapatnya korelasi positif antara kuatnya stimuli dan persepsi nyeri, seperti semakin kuat stimuli maka semakin berat nyeri yang dialami.

(65)

fungsi berbagai komponen nosiseptif berubah. Jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin, prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung. Aktivasi nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi nosiseptor menyebabkan hiperalgesia. 3. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan disebabkan adanya disfungsi primer ataupun lesi pada sistem saraf yang diakibatkan: trauma, kompresi, keracunan toksin atau gangguan metabolik. Akibat lesi, maka terjadi perubahan khususnya pada serabut saraf aferen (SSA) atau fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan tersebut dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivasi SSA (mekanisme perifer) menjadi abnormal yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral) (Turk dan Flor, 1999; Raylene, 2008).

(66)

Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara, yaitu:

a. merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika perifer atau anestetika lokal.

b. merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetika lokal

c. blokade dari pusat nyeri dalam sistem saraf pusat dengan analgetika sentral (narkotika) atau anestetika umum (Tan dan Rahardja, 2002).

2.4 Analgetik

2.4.1 Definisi Analgetik

Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik digunakan untuk meringankan atau mengurangi rasa nyeri tanpa mempengaruhi kesadaran (Mustchler, 1991; Tan dan Rahardja, 2002; Siswandono dan Soekardjo, 2008 ).

(67)

2.5 Obat-obat Analgetik

2.5.1 Analgetik Narkotik

Analgetik narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif dan dapat mengurangi rasa sakit yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi dan kolik usus dan ginjal. Aktivitas analgetik narkotik jauh lebih besar dibanding golongan analgetik non narkotik, sehingga disebut pula analgetik kuat (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

2.5.1.1 Morfin

Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L. yang telah dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dua golongan: (1) golongan fenantren misalnya morfin dan kodein dan (2) golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin (Ganiswara, 1995).

Rumus Bangun:

Gambar 2.2 Struktur Molekul Morfin (Ditjen POM, 1995).

(68)

(euforia), dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam Undang-Undang Narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh Dirjen POM (Ganiswara, 1995).

2.5.1.2 Mekanisme Kerja Morfin

Efek analgetik dari morfin dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Morfin di Reseptor Opioid (Mycek, 2001).

(69)

medula spinalis menyebabkan analgesia (menghilangkan nyeri tanpa hilangnya kesadaran) (Mycek, 2001).

Antagonis-antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek samping dari analgetik narkotik tanpa mengurangi kerja analgetiknya dan terutama digunakan pada overdosis atau intoksiaksi dengan obat-obat ini. Zat-zat ini sendiri juga berkhasiat sebagai analgetik, tetapi tidak dapat digunakan dalam terapi, karena dia sendiri menimbulkan efek-efek samping yang mirip dengan morfin, antara lain depresi pernafasan dan reaksi-reaksi psikotis. Yang sering digunakan adalah nalorfin dan nalokson (Mustchler, 1991; Mycek, 2001).

(70)

sebelum pemberian morfin, efek analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek analgetik mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan untuk meniadakan nyeri itu jauh lebih kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan morfin dengan dosis besar untuk menghilangkan rasa nyerinya, dapat tahan terhadap depresi nafas morfin. Tetapi bila nyeri itu tiba-tiba hilang, maka kemungkinan besar timbul gejala depresi nafas oleh morfin (Ganiswara, 1995; Tan dan Rahardja, 2002).

2.5.2 Analgetik Non- narkotik

Analgetik non narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan sampai moderat, sehingga sering disebut analgetik ringan. Analgetik non narkotik bekerja pada perifer dan sentral sistem saraf pusat, obat golongan ini

mengadakan potensiasi dengan obat-obat penekan sistem saraf pusat (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Adapun obat-obat analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang bekerja disaraf perifer seperti: derivat salisilat, derivat p-aminofenol, derivat pirozolon dan derivat oksikam. Salah satu perlakuan dalam penelitian menggunakan obat analgetik dari metampiron (antalgin).

2.5.2.1 Antalgin (Metampiron)

(71)

Rumus Bangun:

. H2O

Gambar 2.4 Struktur Molekul Metampiron (DitjenPOM, 1995).

Obat-obat ini dinamakan juga analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetik perifer juga memiliki kerja antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat (Ganiswara, 1995).

Penggolongan analgetik non-narkotik (perifer) secara kimiawi adalah sebagai berikut: (1) salisilat-salisilat, Na-salisilat, asetosal, salisilamida, (2) Derivat-derivat p-aminofenol: fenasetin dan parasetamol, (3) Derivat-derivat pirozolon: antipirin, aminofenazon, dipiron, fenilbutazon dan turunan-turunannya (4) Derivat-derivat antranilat: glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat (Tan dan Rahardja, 2002).

2.5.2.2 Mekanisme Kerja Antalgin (Metampiron)

(72)

siklooksigenase, sehingga mencegah sensitasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa sakit, seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion-ion hidrogen dan kalium yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Gambar 2.5 Diagram Perombakan Asam Arachidonat (Tan dan Rahardja, 2002).

Efek-efek samping yang biasanya muncul adalah menyebabkan

agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. Pemakaian metampiron jangka panjang harus diperhatikan kemungkinan diskrasia darah dapat menimbulkan hemolisis, udem, tremor, mual, muntah, pendarahan lambung dan ketidakmampuan untuk buang air kecil (anuria) (Ganiswara, 1995).

2.5.2.3 Analgetik-Antipiretik

(73)

2.6 Metode Pengukuran Nyeri

2.6.1 Uji Plantar Tes Infra Red (Metode Hargreaves)

Menurut Hargreaves (1988), plantar tes berfungsi untuk melihat respon analgetik terhadap stimuli thermal yang disebabkan oleh obat-obatan yang diberikan kepada hewan dengan sistem terkendali terdiri dari:

- Sebuah sumber infra red bergerak - Sebuah panel kaca

- Sebuah kontroller

Seekor mencit/tikus ditempatkan dalam salah satu dari tiga kamar, setelah diberi obat sumber infra red ditempatkan di bawah lantai kaca dan diposisikan oleh operator langsung di bawah kaki belakang. Uji ini dimulai dengan menekan tombol untuk menyalakan sumber infra red dan memulai digital waktu. Ketika mencit/tikus merasa sakit akan menarik kakinya. Penarikan kaki menyebabkan penurunan mendadak dalam radiasi yang dipantulkan yang mematikan sumber

infra red dan menghentikan pencatat waktu reaksi. Penarikan akhir dihitung dengan ketelitian 0,1 detik.

2.6.2 Uji Hot Plate

(74)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman herbal yang biasanya dijadikan sebagai menjadi tanaman hias. Tanaman patah tulang selain tanaman hias dapat juga dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Bagian yang diambil adalah akar, batang kayu, ranting, dan getahnya. Khasiat tanaman patah tulang secara empiris banyak digunakan untuk menyembuhkan sakit tulang, dan nyeri saraf dengan cara pemakaian sebagai obat tradisional. Getah tanaman ini bersifat asam, mengandung senyawα-laktoserol, eufol, senyaw (Anonim, 2013).

Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan yang berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal merupakan suatu gejala penyakit (Tan dan Rahardja, 2002).

(75)

Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetik dibedakan dalam dua kelompok yakni analgetik non-narkotik (integumental analgesic) dan analgetik narkotika atau visceral analgesic (Mustchler, 1991).

Analgetik non-narkotik disebut juga analgetik ringan yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit ringan sampai sedang, bekerja pada saraf perifer dan sentral sistem saraf pusat dengan cara penghambatan pembetukan prostaglandin sehingga sensitas reseptor rasa sakit berkurang. Efek samping dari analgetik non-narkotik yang paling umum terjadi yaitu: gangguan lambung-usus (salisilat, penghambat prostaglandin (NSAID’s), dan derivat-derivat pirazolon), kerusakan darah (parasetamol, salisilat, derivat-derivat antranilat, dan derivat-derivat pirazolon), kerusakan hati dan ginjal (parasetamol, dan derivat-derivat antranilat), alergi pada kulit. Efek samping ini terutama terjadi penggunaan lama atau dalam dosis tinggi (Tan dan Rahardja, 2002).

Analgetik narkotik disebut juga analgetik kuat yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit sedang sampai berat, bekerja dengan cara menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif pada hipotalamus direseptor opioid. Efek samping dari analgetik narkotik yang tidak diinginkan yaitu: supresi SSP (sedasi, menekan pernapasan dan batuk, miosis, hipotermia, perubahan suasana jiwa, gangguan saluran cerna, bronchkontriksi, hipertensi dan bradycardia, pelepasan histamin (urticaria, dan gatal-gatal). Kebiasaan dengan resiko adiksi pada

(76)

Berdasarkan hal di atas maka perlu dicari obat-obat baru dari tumbuhan dengan harapan memiliki efikasi yang lebih baik dengan resiko efek samping yang lebih rendah. Salah satu tumbuhan yang dikenal berkhasiat untuk mengatasi nyeri adalah tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.).

(77)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka perumusan masalah ini adalah apakah ekstrak etanol ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) mempunyai efek analgetik pada mencit jantan yang diinduksi plantar tes infra red.

1.3 Hipotesis

Hipotesis yang diperoleh dari perumusan masalah ini adalah ekstrak etanol ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) mempunyai efek analgetik pada mencit jantan yang diinduksi plantar tes infra red.

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efek analgetik dari ekstrak etanol ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli

L.).

1.5 Manfaat

(78)

1.6. Kerangka Pikir Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

Karakteristik

1. Mikroskopik 2. Kadar air

3. Kadar sari larut dalam etanol 4. Kadar sari larut

dalam air

Euphorbia tirucalli L.

EkstrakEuphorbia sulfat tablet dosis 10

(79)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RANTING (ramulus) PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli L.) SEBAGAI ANALGETIK PADA

MENCIT JANTAN.

ABSTRAK

Nyeri merupakan simtom yang sering menyertai penyakit rematik, saraf, gigi, patah tulang dan penyakit lainnya. Pemberian analgetik dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri. Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) secara empiris telah digunakan sebagai obat untuk sakit tulang dan nyeri saraf. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik simplisia dan efek analgetik dari Euphorbia tirucalli L.

Penelitian diawali dengan pembuatan ekstrak etanol ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.). Diuji menggunakan metode plantar tes infra red (IR) dengan panjang gelombang 96 nm, menggunakan 36 ekor mencit jantan, yang terbagi 6 kelompok. Tiga kelompok diberi ekstrak etanol ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) dengan dosis 20, 40 dan 80 mg/kg BB per oral, sedangkan 3 kelompok lainnya diberi Na-CMC 1 % (kontrol), morfin sulfat 10 mg/kg BB dan antalgin 300 mg/kg BB sebagai pembanding. Diamati waktu menahan induksi nyeri dari infra red setiap 10 menit sampai 90 menit. Data yang didapat diolah menggunakan analisis variasi satu arah (ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95 %.

Hasil skirining fitokimia terhadap simplisia ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) diperoleh senyawa kimia golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, dan steroid/triterpenoid. Hasil pemeriksaan karakteristik diperoleh kadar air 7,99%, kadar abu total 8,79%, kadar abu tidak larut asam 0,98%, kadar sari larut dalam etanol 7,56% dan kadar sari larut dalam air 17,56%. Hasil rendemen diperoleh sebesar 23,6% dengan berat ekstrak 115,1 gram dari berat simplisia 486 gram. Pemberian ekstrak etanol ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) dosis 20 mg/kg BB mampu menahan induksi nyeri selama 14,2; 14,2; 15,1; 18,9; 17,3; 14,9; 13,8; 12,2; 10,8 detik, dosis 40 mg/kg BB 13,1; 16,4; 19,7; 17,8; 16,4; 16,3; 13,9; 12,3; 11,0 detik, dan dosis 80 mg/kg BB 17,5; 20,3; 20,0; 22,1; 18,2; 17,4; 14,2; 12,6; 11,7 detik. Dosis 20 dan 40 mg/kg BB memberikan equivalen efek analgetik antalgin 300 mg/kg BB p > 0,05, sedangkan dosis 80 mg/kg BB memberikan equivalen efek analgetik morfin sulfat 10 mg/kg BB p > 0,05.

(80)

THE EFFECT OF GIVING ETHANOL EXTRACT OF Euphorbia tirucalli L. BRANCHES AS A ANALGETIC

IN MALE MICE.

ABSTRACT

Pain is a symptom that often accompanies rheumatic, nerve pain, toothache, bone fractures and other diseases. Provision of therapeutic doses of analgesics relieve pain or suppress. Plants Euphorbia tirucalli L. empirically used as drugs to bone pain and neurophatic pain. The purpose of this study to investigate the characteristics of the simplicia and analgesic effect of Euphorbia tirucalli L.

This study was done by infra red (IR) plantar test method with a wavelength of 96 nm. Thirty six male mice were divided into 6 groups. Three groups were given ethanol extract of Euphorbia tirucalli L. branches at a doses of 20, 40 and 80 mg/kg orally, and while the orther three groups were given 1% CMC Na (control), morphine sulfate 10 mg/kg and 300 antalgin mg/kg BW as a comparison group. After that, the time (second) hold infra red induction of pain every 10 minutes to 90 minutes. The data obtained were processed using one-way analysis of variation (ANOVA) and followed test the level of 95%.

The results of phytochemical screening Euphorbia tirucalli L. branches is alkaloid, flavonoid, glycosid, and steroid/triterpenoid. The results obtained characteristic water content 7.99%, 8.79% total ash content, acid insoluble ash content of 0,98%, the levels of soluble extract ethanol levels of 7.56% and a water-soluble extract 17.56%. The result obtained yield of 23,6% whith a weight of 115.1 gram of ektract simplicia and 486 gram by weight. Ethanol extract

Euphorbia tirucalli L. branches Dose of 20 mg/kg BW induction able to withstand pain of 14.2; 14.2; 15.1; 18.9; 17.3; 14.9; 13, 8; 12.2; 10.8 second, the dose of 40 mg/kg BW 13.1; 16.4; 19.7; 17.8; 16.4; 16.3; 13.9; 12.3; 11.0 second, and a dose of 80 mg/kg BW 17.5; 20.3; 20.0; 22.1; 18.2; 17.4; 14.2; 12.6; 11.7 secons. Doses of 20 and 40 mg / kg BW Antalgin analgesic effect equivalent to 300 mg / kg p> 0.05, whereas a dose of 80 mg / kg BW provide equivalent analgesic effect of morphine sulfate 10 mg / kg BW p> 0.05.

(81)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RANTING

(ramulus) PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli L.) SEBAGAI

ANALGETIK PADA MENCIT JANTAN

SKRIPSI

OLEH:

AHMAD ANGGARA NIM 101524024

PROGRAM SARJANA EKSTENSI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(82)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RANTING

(ramulus) PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli L.) SEBAGAI

ANALGETIK PADA MENCIT JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

AHMAD ANGGARA 101524024

PROGRAM SARJANA EKSTENSI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(83)

PENGESAHAN SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RANTING

(ramulus) PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli L.) SEBAGAI

ANALGETIK PADA MENCIT JANTAN

OLEH:

AHMAD ANGGARA NIM 101524024

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal:

Dosen Pembimbing I, Panitia Penguji,

Drs. Nahitma Ginting, M.Si., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 195406281983031002 NIP 195103261978022001

Dosen Pembimbing II, Drs. Nahitma Ginting, M.Si., Apt. NIP 195406281983031002

Marianne, S.Si., M.Si., Apt.

NIP 198005202005012006 Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. NIP 195208241983031001

Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt.

NIP 194909061980032001

Medan, Januari 2014 Fakultas Farmasi

Dekan,

(84)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RANTING (ramulus) PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli L.) SEBAGAI ANALGETIK PADA

MENCIT JANTAN.

ABSTRAK

Nyeri merupakan simtom yang sering menyertai penyakit rematik, saraf, gigi, patah tulang dan penyakit lainnya. Pemberian analgetik dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri. Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) secara empiris telah digunakan sebagai obat untuk sakit tulang dan nyeri saraf. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik simplisia dan efek analgetik dari Euphorbia tirucalli L.

Penelitian diawali dengan pembuatan ekstrak etanol ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.). Diuji menggunakan metode plantar tes infra red (IR) dengan panjang gelombang 96 nm, menggunakan 36 ekor mencit jantan, yang terbagi 6 kelompok. Tiga kelompok diberi ekstrak etanol ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) dengan dosis 20, 40 dan 80 mg/kg BB per oral, sedangkan 3 kelompok lainnya diberi Na-CMC 1 % (kontrol), morfin sulfat 10 mg/kg BB dan antalgin 300 mg/kg BB sebagai pembanding. Diamati waktu menahan induksi nyeri dari infra red setiap 10 menit sampai 90 menit. Data yang didapat diolah menggunakan analisis variasi satu arah (ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95 %.

Hasil skirining fitokimia terhadap simplisia ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) diperoleh senyawa kimia golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, dan steroid/triterpenoid. Hasil pemeriksaan karakteristik diperoleh kadar air 7,99%, kadar abu total 8,79%, kadar abu tidak larut asam 0,98%, kadar sari larut dalam etanol 7,56% dan kadar sari larut dalam air 17,56%. Hasil rendemen diperoleh sebesar 23,6% dengan berat ekstrak 115,1 gram dari berat simplisia 486 gram. Pemberian ekstrak etanol ranting (ramulus) patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) dosis 20 mg/kg BB mampu menahan induksi nyeri selama 14,2; 14,2; 15,1; 18,9; 17,3; 14,9; 13,8; 12,2; 10,8 detik, dosis 40 mg/kg BB 13,1; 16,4; 19,7; 17,8; 16,4; 16,3; 13,9; 12,3; 11,0 detik, dan dosis 80 mg/kg BB 17,5; 20,3; 20,0; 22,1; 18,2; 17,4; 14,2; 12,6; 11,7 detik. Dosis 20 dan 40 mg/kg BB memberikan equivalen efek analgetik antalgin 300 mg/kg BB p > 0,05, sedangkan dosis 80 mg/kg BB memberikan equivalen efek analgetik morfin sulfat 10 mg/kg BB p > 0,05.

Gambar

Tabel 4.1 Karakteristik simplisia ranting patah tulang
Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia ekstrak ranting patah tulang
Gambar 4.2 Induksi nyeri infra red ekstrak etanol ranting patah tulang (EERPT)dibandingkan dengan morfin sulfat dan antalgin
Tabel. 4.4 Hasil uji taraf kepercayaan 95 % respon mencit menahan induksi nyeri infra red (IR) selama 90 menit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan aktivitas antibakteri dari ranting patah tulang yang dipanaskan dapat dilihat pada diameter zona hambat dari setiap bakteri yan g digunakan. Pada Gambar 3 terlihat

Simpulan, Ekstrak Etanol Daun Gandarusa (Justicia gendarussa) memiliki efek analgetik terhadap mencit Swiss Webster jantan yang diinduksi rangsang termis.. Kata

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek analgetik ekstrak etanol daun encok hasil soxhletasi pada mencit jantan. Pengujian efek analgetik dilakukan dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak ranting patah tulang terhadap mikrobia Propionibacterium acnes dan Candida albicans dan mengetahui konsentrasi

Oleh karena efek samping dari penggunaan obat tersebut maka perlu dilakukan penelitian pada fraksi etil asetat ranting patah tulang sebagai anti- inflamasi, guna

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun patikan kebo ( Euphorbia hirta L.) terhadap kadar LDL darah mencit putih jantan.. Ekstrak

Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) berasal dari Afrika, namun secara luas ditanam dan mengalami penyebaran di seluruh daerah tropis dan subtropis.Tanaman ini di

25 UJI EFEK ANALGETIK EKSTRAK ETANOL BUNGA KECOMBRANG Etlingera elatior .jack TERHADAP MENCIT PUTIH JANTAN Mus musculus ANALGESIC EFFECT TEST OF KECOMBRANG FLOWER ETHANOL