• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi Budaya Karo Terhadap Tipologi Gereja Katolik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adaptasi Budaya Karo Terhadap Tipologi Gereja Katolik"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

102 DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Penerbit PT

Rineka Cipta, Jakarta.

Caniggia, Gianfranco & Maffei, Gian Luigi. 2001. Architectural Composition and

Building Typology. Alinea Editrice

Erdansyah. Fuad. 2011. Simbol dan Pemaknaan Gerga Pada Rumah Adat Batak

Karo di Sumatera Utara. 7 (1) :115-139

Frick, Heinz. 1996. Arsitektur dan Lingkungan. Yogyakarta : Kanisius, 1996

Habraken, N. John. 1988. Type as Social Agreement. Asian Congress of Architect.

Korea: Seoul

Hendraningsih, dkk .1985. Peran, Kesan dan Pesan Bentuk-Bentuk Arsitektur,

Penerbit Djambatan, Jakarta.

Koentjaraningrat. 1987. Pengantar Ilmu Antropologi. Balai Pustaka, Jakarta.

Laurens, Joyce. M. 2013. Relasi Bentuk-Makna Perseptual Pada Arsitektur gereja

katolik di Indonesia.

Moleong, Lexy J., 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

(2)

103

Nurfansyah, 2012. Tipologi Kawasan Jalan Pageran Antasari Banjarmasin. Info

Teknik, 13 (1): 50-56

Pangarsa, dkk. 2012. TIPOLOGI NUSANTARA GREEN ARCHITECTURE

Dalam Rangka Konservasi Dan Pengembangan Arsitektur Nusantara Bagi

Perbaikan Kualitas Lingkungan Binaan. Jurnal RUAS, 10 (2) : 78-94

Prijotomo, Josep. Santosa. 1997. Bunga Rampai Arsitektur ITS Surabaya.

Surabaya: Bunga Rampai Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan

Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.

Purba, Tiffany, 2011, Karo Cultural Tourism Park (Taman Wisata Budaya Karo):

Arsitektur Neo-Vernakular. Laporan Akhir Perancangan, Program Sarjana

Universitas Sumatera Utara, Program Studi Teknik Arsitektur, Medan.

Rapoport, A., 1980, Human Aspect of Urban Form. Towards a Man-Environment

Approach to Urban Form and Design. Oxford: Pergamon Press.

Rapoport, A. 1982, The Meaning of the Built Environment, Sage Publications,

Beverly Hills.

Santoso I, Wulandanu B.G, 2011, Studi Pengamatan Tipologi Bangunan pada

Kawasan Kauman Kota Malang, Local Wisdom – Jurnal Ilmiah Online,

III (2) : 10 – 26.

Sembiring, P.Prusihean. 2015. Transformasi Bentuk Arsitektural pada Rumah

Tinggal Suku Karo. Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas

(3)

104

Soeroto, Myrtha. 2007. Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia,

Yayasan Enam Enam

Utomo, Tri Prasetyo. 2005. Tipologi dan Pelestarian Bangunan Bersejarah;

Sebuah Pemahaman Melalui Proses Komunikasi. Jurnal Seni Rupa STSI

Surakarta. 2 (1): 71-79

Wahid, Julaihi. & Alamsyah, Bhakti. 2013. Arsitektur dan Sosial Budaya

Sumatera Utara, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Vidler, Anthony .1977. The Third Typology Princeton Architectural Press 37 East

(4)

58 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan

menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2000), penelitian

kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang

apa yang dialami oleh subjek peneliti misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan

tindakan. Moleong (2000) dalam bukunya mengutip arti dari penelitian kualitatif

yaitu, prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Penelitian kualitatif yang digunakan akan menghasilkan data-data

arsitektur karo dan konservasi langsung kelapangan meneliti gereja masyarakat

karo yang ada di Kabupaten Karo yang dominan orang karo berada. Data-data

tersebut didapat dari literature yang berhubungan langsung maupun tidak

langsung dengan pengaruh budaya terhadap tipologi Gereja masyarakat karo.

3.2. Variabel Penelitian

Variabel dapat diartikan sebagai suatu konsep yang mempunyai variasi atau

keragaman. Sedangkan konsep sendiri adalah pengambaran atau abstraksi dari

suatu fenomena atau gejala tertentu. Konsep tentang apapun jika memiliki ciri-ciri

yang bervariasi atau beragam dapat disebut sebagai variabel (Arikunto, 2006)

Menurut Habraken (1988:5) ada 3 cara mengelompokkan wujud arsitektur,

(5)

59

yang meliputi bentuk denah, organisasi ruang, orientasi dan hirarki ruang.

Kemudian yang kedua sistem fisik (physical sistem), yaitu yang kaitannya dengan

penggunaan material-material elemen-elemen konstruksi penyususn bangunan

seperti atap, dinding, lantai termasuk kolom yang digunakan dalam mewujudkan

suatu fisik bangunan. Lalu yang ketiga adalah sistem model /tampilan (stylic

sistem), yaitu suatu yang berkaitan dengan tampak depan/fasad yang meliputi

pintu dan jendela termsuk ventilasi serta ragam hias.

Berdasarkan teori Habraken maka variabel penelitian ini berpedoman pada teori

(6)

60 3.3. Metoda Penggumpulan data

 Mengelompokan tipe bangunan Gereja sebagai objek penelitian. Bangunan

dikelompokan bardasarkan variable penelitian, yaitu:

1. Sistem spasial (spasial sistem)

2. Sistem fisik (physical sistem)

3. Sistem model /tampilan (stylic sistem)

 Menganalisa konsep tradisi yang mempengaruhi tipe bentuk gereja

masyarakat karo.

 Observasi lapangan atau survey visual

Observasi lapangan atau survey visual adalah dilakukan dengan

melakukan pemotretan terhadap bangunan rumah tinggal. Hal ini bertujuan

untuk mendapatkan deskripsi tampilan bangunan meliputi, atap, dinding,

lantai, kolom, pintu, jendela, ventilasi. Foto-foto hasil pemotretan sebagai

acuan dalam menganalisa pengaruh budaya terhadap tipologi rumah

tinggal masyarakat karo.

 Pengumpulan data sekunder

Pengumpulan data sekunder dengan penggumpulan data tidak langsung

dengan menggambil data-data studi literature dan mencari data-data

mengenai teori yang berkaitan langsung dengan objek penelitian sehingga

(7)

61 3.4. Kawasan Penelitian

Kawasan penelitian terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara di tiga

Kecamatan. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Berastagi, Kecamatan

Barusjahe dan Kecamatan Kabanjahe.

Gambar 3.1 Kawasan Penelitian Sumber: Google Map

3.4.1. Objek Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga objek yaitu, Gereja Katolik Inkulturatif St.

Fransiskus Assisi, Berastagi, Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe,

dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe.

3.4.1.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi

Objek penelitian yang pertama adalah gereja Katolik Inkulturatif St.

(8)

62 Gambar 3.2 Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Berastagi

Sumber: Dokumentasi Pribadi

3.4.1.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe

Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe merupakan objek

penelitian yang kedua.

(9)

63 3.4.1.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa,

Barusjahe

Objek penelitian yang ketiga adalah Gereja Katolik St. Yohannes Don

Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe

Gambar 3.4 Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Sumber: Dokumentasi Pribadi

3.5 Metode Analisa Data

Metode yang digunakan merupakan analisa data yang berupa deskriptif

mengenai data yang didapat. Adapun analisa untuk menemukan elemen-elemen

penerapan budaya karo pada Gereja, yaitu :

1. Pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari studi kepustakaan dan

studi lapangan.

2. Tahap analisis data dilakukan setelah data kepustakaan dan data lapangan

(10)

64

3. Data yang didapat dianalisis menggunakan metode deskriptif. Data fisik

objek penelitian digambarkan kembali sesuai dengan hasil observasi

kemudian dijelaskan bagian-bagian gereja yang telah beradaptasi dengan

budaya karo.

4. Kesimpulan dilakukan setelah pengolahan data yang berdasarkan kepada

(11)

65 BAB IV

ADAPTASI BUDAYA KARO TERHADAP TIPOLOGI GEREJA KATOLIK

4.1. Deskripsi Kawasan Penelitian

Kawasan penelitian ini berada di Kabupaten Karo, Sumatera Utara

tepatnya berada di tiga Kecamatan yaitu, Kecamatan Berastagi, Kecamatan

Barusjahe dan Kecamatan Kabanjahe. Objek penelitian ini adalah tiga gereja yang

berada di Kabupaten Karo yaitu, Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi

Berastagi, Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe, dan Gereja Katolik

St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe.

Gambar 4.1 Kawasan Penelitian

(12)

66 4.1.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi

Objek penelitian yang pertama adalah Gereja Katolik Inkulturatif St.

Fransiskus Assisi, Berastagi yang terletak di desa Sempa Jaya. Berikut ini

merupakan sejarah singkat mengenai gereja inkulturatif karo st. Fransiskus asisi

berastagi oleh: Betlehem Ketaren, SH.

Gereja paroki Berastagi ini didirikan dengan arsitektur Karo mengingat

rumah Karo yang unik, kokoh, artistik, bersifat religius dan komunal, dan

mengingat kenyataan bahwa sekarang rumah Karo sudah mulai hilang dalam

kenyataan kehidupan sebagai rumah hunian. Gereja merasa perlu melestarikan

nilai-nilainya yang agung mengingat tugas Gereja yang luhur dalam menjunjung

tinggi nilai-nilai budaya semua bangsa dan suku di dunia ini, sebagaimana

dirumuskan oleh Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium nomor 37

dan Konsili Gaudium et Spes nomor 53-62. Gereja Inkulturatif Karo ini berada di

Jl. Let. Jend. Jamin Ginting Berastagi, berdiri megah dengan ketinggian 35m

dengan panjang bangunan 32m dan lebarnya 24m dapat menampung 1000 dalam

mengikuti Perayaan Ekaristi.

Gereja ini juga mempunyai pendopo dengan model “geriten” (rumah kecil

tanpa dinding untuk berbagai keperluan religi dan sebagai ruang untuk aneka

keperluan kaum muda) dengan panjang 10,40m , lebar 10m dengan ketinggian

15m. St. Fransiskus dari Asisi dipilih sebagai pelindung gereja ini mengingat

peranan mulia St. Fransiskus Asisi dalam menghormati alam ciptaan dan menjadi

saudara bagi semua. St. Fransiskus Asisi telah dinobatkan Vatikan sebagai santo

pelindung lingkungan hidup dan karena itu diharapkan menjadi teladan bagi

(13)

67

ciptaan. Diharapkan setiap orang yang masuk gereja ini, akan kembali bersemi

didalam hatinya rasa bersyukur kepada Si Pencipta, dan rasa cinta kepada sesama

yang menumbuhkembangkan semangat untuk mencintai lingkungan hidup, sebab

karena itu kita akan dapat merasakan kedamaian dan ketenteraman nan sejati

(Dame ras Mejuah-juah).

Gambar 4.2 Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Berastagi Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.3 Peta Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Sumber: Google Map

4.1.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria

Objek penelitian yang kedua adalah Gereja Katolik Santa Perawan Maria,

(14)

68

renovasi, di karenakan bangunan yang sudah tua dan bertambahnya jemaat di

gereja ini.

Gambar 4.4. Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.5 Peta Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber : Google map

4.1.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe

Objek penelitian yang ketiga yaitu, Gereja Katolik St. Yohannes Don

(15)

69 Gambar 4.6 Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco

Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.2. Sistem Spasial

Sistem spasial ini meliputi bentuk denah, organisasi ruang dan orientasi.

4.2.1. Bentuk Denah

Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi memiliki bentuk denah

yang menyerupai rumah adat Si Waluh Jabu. Hal ini menunjukkan bahwa gereja

(16)

70 Gambar 4.7 Bentuk denah Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi (kiri) dan skema

denah rumah adat karo

Sumber: Analisa Penulis

Gereja Katolik Santa Perawan Maria memiliki bentuk denah gereja pada

umumnya yang berbentuk salib. Jika melihat denah yang berbentuk salib, maka

denah gereja ini tidak mengadaptasi budaya Karo.

Gambar 4.8 Bentuk denah Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber: Analisa Penulis

4.2.2. Organisasi Ruang

Organisasi ruang pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi,

(17)

71

Bosco yaitu ruang yang berda pada masing-masing gereja adalah ruang yang pada

umumnya terdapat pada gereja.

Gambar 4.9 Organisasi Ruang Pada Masing-Masing Gereja Sumber: Analisa Penulis

4.2.3. Adaptasi Tipologi Gereja Berdasarkan Tatanan Massa

Gambar di bawah ini menunjukkan tatanan massa pada masing-masing

denah gereja.

Gambar 4.10 Tatanan massa bangunan Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi (kiri), Gereja Katolik Santa Perawan Maria (tengah), dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco

(kanan)

(18)

72

Gambar 4.39 menunjukkan tipologi gereja yang beradaptasi adalah Gereja

Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco. Hal

tersebut diperlihatkan pada massa bangunan yang terlihat seperti rumah Siwaluh Jabu. Sedangkan

pada Gereja Katolik Santa Perawan Maria tatanan bentukan massanya sama dengan gereja pada

umumnya yang berbentuk salib.

Pada tabel berikut ini dapat dilihat sistem spasial yang menyangkut bentuk

denah dan organisasi ruang pada masing-masing gereja.

Tabel 4.1 Sistem Spasial Gereja

Sistem Fisik

Elemen

spasial Gambar Keterangan

(19)
(20)

74

Pada sistem fisik terdapat beberapa wujud arsitektur, diantaranya : Atap,

dinding, lantai/elevasi, kolom.

4.3.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi

Sistem fisik pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus adalah atap,

dinding, lantai/elevasi dan kolom.

(21)

75 4.3.1.1. Atap

Atap Gereja katolik ini mengadaptasi atap rumah adat dengan atap

bertingkat dua dilengkapi dengan menara (anjung-anjung), rumah adat bermuka 4

atau lebih. Ujung atap pada rumah adat adalah tanduk kerbau dimana pada jaman

dahulu masyarakat karo belum mempunyai keyakinan maka dari itu masyarakat

karo masih menyembah berhala dan menyebah roh nenek moyang mereka.

Dengan berkembangnya jaman dan penyebaran agama di Kabupaten Karo salah

satu agama masyarakat karo adalah Kristen Protestan dan Katolik. Maka dari itu

atap pada gereja katolik ini di ujung atap berikan Salib dimana di dunia paing atas

ada Tuhan. Material atap pada gereja katolik ini menggunakan atap genteng,

sedangkan pada rumah adat material yang digunakan adalah ijuk.

Penggunaan genteng sebagai bahan penutup atap akan sangat efisien

karena genteng memiliki kadar penyerapan tinggi sekitar 60-70%. Sehingga

disekeliling bangunan sedikit terjadi pemantulan panas Pada jaman sekarang

penggunaan atap ijuk mahal dan pengerjaan nya lama.

Gambar 4.11 Penggunaan atap Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas satu atau dua tersek dan diberi tanduk

(22)

76 4.3.1.2. Dinding

Pada gereja ini dinding yang digunakan mengadaptasi dari rumah siwaluh

jabu yang memiliki kemiringan. Material yang digunakan adalah batu bata

berbeda dengan rumah adat karo yang biasanya menggunakan kayu/papan.

Gambar 4.12 Dinding Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi yang beradaptasi dengan Budaya Karo

Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.3.1.3. Lantai

Lantai yang digunakan adalah lantai keramik, yang dimulai dari entrance

yang menggunakan tangga sebagai elevasi. Tangga merupakan adaptasi dari

(23)

77 Gambar 4.13 Elevasi Lantai Dari Muka Tanah Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus

Assisi

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.14 Lantai bagian dalam Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi menggunakan lantai keramik

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pada gambar 4.13 terlihat bahwa lantai yang digunakan adalah material

keramik dan pada bagian altar juga menggunakan tangga sebagai elevasi. Untuk

bahan penutup lantai biasanya menggunakan lantai kayu pada rumah adat karo,

sedangkan pada gereja ini menggunakan penutup lantai yang umum.

4.3.1.4. Kolom

Gereja ini juga mengadaptasi kolom yang berada pada rumah adat karo.

Kolom yang seolah-olah menyatu tanpa paku hanya memanfaatkan kayu tersebut

(24)

78 Gambar 4.15 Kolom Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi

Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.3.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria

Pada gereja Katolik Santa Perawan Maria, sistem fisik yang akan di teliti

juga sama seperti gereja sebelumnya.

4.3.2.1. Atap

Atap Gereja Santa Perawan Maria mengadaptasi atap rumah adat karo

tetapi yang berbeda atap ini tidak bertingkat dan dilengkapi dengan menara

(anjung-anjung). Material yang digunakan pada atap ini adalah genteng.

Penggunaan genteng sebagai bahan penutup atap akan sangat efisien karena

genteng memiliki kadar penyerapan tinggi sekitar 60-70%. Sehingga disekeliling

bangunan sedikit terjadi pemantulan panas.

(25)

79 4.3.2.2. Dinding

Pengunaan dinding batu bata dan tidak adanya ornamen pada gereja ini

menunjukkan bahwa adaptasi tidak terjadi pada dinding tersebut.

Gambar 4.17 Dinding Gereja Tidak Beradaptasi Dengan Budaya Karo Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.3.2.3. Lantai

Lantai yang di gunakan pada gereja ini dapat di lihat pada gambar di

bawah ini.

Gambar 4.18 Tangga Pada Entrance Gereja Santa Perawan Maria Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.18 memperlihatkan bahwa pada entrance gereja menggunakan

tangga sebagai elevasi lantai dari muka tanah. Hal ini menunjukan bahwa tangga

tersebut diadaptasi dari rumah Siwaluh Jabu yang menggunakan tangga pada

(26)

80 Gambar 4.19 Lantai Bagian Dalam Gereja Santa Perawan Maria yang Menuju Ke Altar

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Bahan penutup lantai yang digunakan adalah keramik yang ditunjukan

pada gambar 4.18. Pada gambar tersebut juga terlihat elevasi dari lantai menuju ke

altar. Elevasi ini memang sering digunakan pada gereja.

4.3.2.4. Kolom

Kolom pada gereja ini tidak mengikuti konsep dari rumah adat karo.

Kolom yang digunakan pada gereja ini adalah kolom yang biasa dipakai pada

gereja pada umumnya yang tidak berkonsep budaya.

(27)

81 4.3.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco

Pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco juga memiliki sistem fisik

yaitu, atap, dinding, lantai/elevasi, dan kolom.

4.3.3.1. Atap

Gereja ini menggunakan atap yang beradaptasi dari rumah sianjung

anjung. Jika pada rumah adat biasanya menggunakan material ijuk namun pada

gereja ini menggunakan material genteng sebagai penutup atap. Jika pada Gereja

Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi bagian ujung atap telah diganti dengan

patung malaikat namun pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco tetap

menggunakan kepala kerbau sebagai ornamen.

Gambar 4.21 Penggunaan atap rumah sianjung-anjung pada gereja Katolik St. Yohannes Don

Bosco

Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.3.3.2. Dinding

Gereja ini juga menggunakan material batu bata pada dindingnya. Dapat

dilihat bahwa konsep adaptasi dinding tersebut ditandai dengan adanya bagian

(28)

82 Gambar 4.22 Dinding gereja yang miring sama dengan rumah adat karo

Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.3.3.3. Lantai

Lantai termasuk kedalam sistem fisik dalam wujud arsitektur, berikut ini

adalah gambar tangga dan lantai diGereja Katolik st. Yohannes Don Bosco

Gambar 4.23 Tangga Pada Entrance Gereja Katolik st. Yohannes Don Bosco Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.23 menunjukkan pemakain tangga pada entrance gereja yang

juga merupakan adaptasi dari rumah Siwaluh Jabu. Dengan adanya tangga

tersebut dapat membuat perbedaan antara tanah dan lantai. Bahan penutup lantai

(29)

83 Gambar 4.24 Lantai keramik pada gereja

Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.3.3.4. Kolom

Sama halnya dengan gereja Katolik Santa Perawan Maria, gereja ini juga

menggunakan kolom konvensional yang sering digunakan gereja pada umumnya.

Gereja ini tidak mengadaptasi pada bagian kolom rumah adat Karo.

(30)

84

Penjelasan sistem fisik pada tiga gereja tersebut dirangkum dalam tabel berikut ini:

Tabel 4.2 Pengelompokan Sistem Fisik

Sistem Fisik

Elemen

fisik Gambar Keterangan

(31)
(32)

86

Kolom Kolom yang digunakan gereja

(33)

87

Kolom

Penggunaan kolom juga merupakan kolom pada gereja umumnya

Sumber: Analisa Penulis

4.4. Sistem Model /Tampilan

Dalam sistem ini mencakup beberapa elemen fasad yaitu, pintu, jendela

dan ventilasi, serta ornamen.

4.4.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi 4.4.1.1. Pintu

Pintu pada gereja ini tidak beradaptasi yang dapat dilihat pada gambar

4.25. jika pada rumah Siwaluh Jabu pintu dibuat pendek agar orang yang akan

masuk menghormati yang berada di dalam dengan cara menunduk. Namun dari

material, pintu pada gereja ini sama dengan rumah Siwaluh Jabu yaitu kayu.

Gambar 4.26 Pintu Kayu Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Sumber: Dokumentasi Pribadi

(34)

88 4.4.2. Jendela dan Ventilasi

Jendela dan ventilasi pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus

Assisi, Berastagi dapat dilihat pada gambar dibawah berikut ini.

Gambar 4.27 Jendela Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Sumber: Dokumentasi Pribadi

Jendela yang digunakan telah beradaptasi dengan budaya yaitu,

penggunaan jendelah kecil pada dinding gereja yang ditunjukan oleh gambar 4.27.

Gambar 4.28 Ventilasi Pada Bagian Dinding yang Miring Sumber: Dokumentasi Pribadi

(35)

89

Gambar 4.28 dan 4.29 menunjukkan ventilasi telah beradaptasi pada

gereja. Biasanya ventilasi seperti ini digunakan pada rumah Siwaluh Jabu.

Penambahan ornamen salib pada ventilasi menggambarkan kekristenan pada

bangunan.

4.4.3. Ornamen

Ornamen yang terdapat pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus

Assisi, Berastagi merupakan ornamen yang ada pada rumah adat Siwaluh Jabu.

Berikut ini adalah ornamen yang terdapat pada gereja ini.

Gambar 4.30 Ornamen Tapak Sulaiman Pada Dinding Gereja Sumber: Dokumentasi Pribadi

(36)

90 Gambar 4.32 Ornamen Malaikat Pada Gereja

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pada gamabar 4.30-4.32 dapat dilihat banyaknya oramen yang diadaptasi

dari rumah Siwaluh Jabu. Ornamen-ornamen tersebut pada beberapa bagian gereja

tetap dipertahankan sama dengan aslinya, namun pada bagian kepala kerbau

sengaja diganti dengan patung malaikat karena untuk lebih religius. Pada bagian

dinding biasanya terdapat ornamen pengretret yang berfungsi untuk mengikat

dinding, namun pad gereja ornamen tersebut ditambahkan beberapa ornamen

malaikat.

4.4.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria 4.4.2.1. Pintu

Gereja ini memiliki pintu pada umumnya dengan bentuk hampir bulat di

bagian atas dan menggunakan material kayu dan kaca patri yang ditunjukan pada

(37)

91 Gambar 4.33 Pintu Utama Gereja (Kiri) Dan Pintu Samping Gereja (Kanan)

Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.4.2.2. Jendela dan Ventilasi

Jendela dan ventilasi yang digunakan pada gereja ini tidak beradaptasi dari

budaya karo karena penggunaan jendela yang besar dan ventilasi yang digunakan

adalah ventilasi untuk bangunan modern yang dapat dilihat pada gambar 4.34

Gambar 4.34 Jendela Dan Ventilasi Bagian Depan (Atas) Dan Jendela Dan Ventilasi Bagian Samping (Bawaah)

Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.4.2.3. Ornamen

Gereja ini hanya mengadaptasi bagian atap yang menggunakan ornamen

(38)

92 Gambar 4.35 Ornamen Gereja Katolik Santa Perawan Maria

Sumber: Dokumentasi Pribadi

4.4.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco 4.4.3.1. Pintu

Pintu Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco dapat dilihat pada gambar

berikut ini yang menunjukkan penggunaan material pintu dan ukuran pintu gereja.

Gambar 4.36 Entrance Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.36 menunjukkan bahwa pintu yang digunakan pada gereja ini

(39)

93 4.4.3.2. Jendela dan Ventilasi

Pada gamabar di bawah ini dapat menunjukkan penggunaan jendela dan

ventilasi pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco

Gambar 4.37 Jendela Dan Ventilasi Gereja Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.37 menunjukkan penggunaan jendela dan ventilasi yang tidak

beradaptasi dikarenakan jendela dan ventilasi tersebut adalah yang sering

digunakan gerja pada umumnya.

4.4.3.3. Ornamen

Ornamen yang terdapat pada gereja ini menunjukkan ornamen pada rumah

adat karo pada umumnya.

(40)

94 Gambar 4.39 Ornamen Pengretret Di Gereja

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.38 dan 4.39 menunjukkan ornamen yang diadaptasi dari rumah

Siwaluh Jabu. Jika pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi

mengadaptasi semua bagian ornamen dan ditambah dengan oramen khas gereja

maka lain halnya dengan gereja ini. Gereja ini tidak menambahkan ornamen yang

terkesan religi seperti malaikat tetapi hanya menambahkan salib pada bagian atas

atap.

4.4.5. Adaptasi Tipologi Gereja Berdasarkan Proporsi Fasad

Proporsi fasad pada ketiga gereja ini sama yaitu simetris. Pada rumah

Siwaluh Jabu fasad bangunan tersebut juga simetris.

(41)

95 Gambar 4.41 Fasad Gereja Katolik Santa Perawan Maria

Sumber: Analisa Penulis

Gereja Katolik Santa Perawan Maria memiliki proporsi fasad yang

simetris dan pada bagian kanan fasad terlihat menara sebagai tempat lonceng.

(42)

96

Pada gambar 3.42 terlihat bahwa fasad yang dimiliki gereja ini juga

simetris sama halnya dengan fasad pada rumah Siwaluh Jabu. Kesamaan fasad

yang simetris dikarenakan adanya adaptasi pada gereja ini.

Pada tabel di bawah ini di jelaskan sistem model/tampilan pada

masing-masing gereja.

Tabel 4.3 Sistem Model/Tampilan Pada Gereja

Sistem Model/Tampilan

Elemen Model/Tampilan

Gambar Keterangan

Gereja Katolik Inkulturatif St.

Fransiskus

Assisi Pintu Tidak

beradaptasi

Jendela dan

Ventilasi Beradaptasi

(43)

97

Proporsi Fasad Fasad

simetris

Gereja Katolik Santa Perawan

Maria

Pintu Tidak

beradaptasi

Jendela dan Ventilasi

Tidak beradaptasi

Ornamen Beradaptasi

(44)

98

Proporsi Fasad

Fasad simetris dan pada bagian kanan di tambah menara

Gereja Katolik St. Yohannes

Don Bosco

Pintu Tidak

beradaptasi

Jendela dan Ventilasi

Tidak beradaptasi

Ornamen Beradaptasi

(45)

99

Proporsi Fasad Simetris

(46)

100 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa penerapan arsitektur karo pada

tipologi gereja yang paling utama adalah bentukan atap yang mengikuti bentuk

atap rumah adat karo kemudian ornamen yang terdapat pada masing-masing

gereja juga merupakan adaptasi dari budaya karo. Berikut ini merupakan

penjabaran bagian dari masing-masing yang telah beradaptasi

 Bentuk denah yang mengadaptasi budaya karo adalah Gereja

Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi. Sedangkan

pada kedua gereja yang lain menerapkan bentukan denah gereja

pada umumnya

 Pada bagian atap semua gereja mengadaptasi dari bentukan rumah

Siwaluh Jabu yaitu dengan menggunakan atap sianjung-anjung

 Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi

dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco dinding bangunan

mengadaptasi dari rumah siwaluh jabu. Sedangkan Gereja Katolik

Santa Perawan Maria tidak mengadaptasi bentuk dinding tersebut

melainkan menggunakan dinding gereja pada umumnya.

 Untuk lantai pada ketiga gereja megadaptasi bagian entrance yang

(47)

101  Kolom yang digunakan pada Gereja Katolik Inkulturatif St.

Fransiskus Assisi, Berastagi merupakan kolom yang telah

beradaptasi yaitu kolom yang mengikat satu sama lain dan kolom

yang digunakan pada ke dua gereja lainnya adalah kolom yang

biasa digunakan pada gereja.

 Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi

mengadaptasi pintu, jendela dan ventilasi dari rumah Siwaluh Jabu.

Sedangkan pada gereja yang lainnya penggunaan pintu, jendela dan

ventilasi seperti gereja pada umumnya.

 Ornamen yang paling banyak beradaptasi adalah pada Gereja

Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi dan Gereja

Katolik St. Yohannes Don Bosco. Sedangkan pada Gereja Katolik

Santa Perawan Maria hanya pada atap.

 Tipologi gereja telah beradaptasi pada dua gereja yaitu pada Gereja

Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi dan Gereja Katolik St.

Yohannes Don Bosco dikarenakan tatanan massa dan fasad yang

sama dengan rumah Siwaluh Jabu.

5.2. Saran

Untuk menjaga dan melestarikan budaya karo pada bangunan maka

masyarakat juga memiliki peranan penting dalam melakukannya. Sebaiknya

sebagai masyrakat karo harus mempertahankan budaya yang sudah ada. Salah satu

(48)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya Masyarakat Karo

2.1.1. Sosial budaya masyarakat Batak Karo

Ada dua hal yang menjadi keunikan dalam kebudayaan suku Batak Karo,

yaitu sistem kepercayaan (religi) dan sistem kekerabatan. Untuk menjalankan

kepercayaannya, orang Batak Karo terlebih dahulu melakukan ritual. Semua jenis

ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap penghormatan kepada roh-roh

nenek moyangnya untuk menjamin keselamatan bagi keluarga yang masih hidup.

Gambar 2.1 Tari-tarian masyarakat Karo sering Digunakan dalam upacara ritual ± tahun 1900 (Sumber : K.I. Museum Amsterdam, Capture)

Pemujaan ini dilakukan karena dalam keluarga ada yang mati dalam satu

hari (mate sadawari), baik karena sakit ataupun kecelakaan. Arwah dari orang

yang mati diyakini dapat mengganggu keluarga. Oleh karena itu pada ritual, satu

di antaranya adalah ritual mangmang, yaitu dengan cara memberi sesaji berupa

sebatang rokok yang sudah dinyalakan serta dijepit pada sebatang ranting kecil di

(49)

9

yang makan sirih. Lalu bersama seluruh keluarga mereka duduk menghadap

pohon sambil meratap, menangis, dan menyatakan seluruh perasaannya tentang

arwah orang yang meninggal dunia tersebut.

Orang Batak Karo memiliki kepercayaan bahwa rumah adat merupakan

tempat bersemayamnya roh para leluhur maupun dewa-dewa. Oleh karena itu,

membangun rumah adat adalah sama seperti membuat “rumah tinggal” para

makhluk gaib. Di rumah ini roh-roh leluhur akan bersemayam selamanya. Mereka

secara sungguh-sungguh membuat seperangkat ritual dalam proses pendirian

rumah adat tersebut, dan prosesnya dilakukan secara bersamaan dan gotong

royong baik bersama keluarga inti maupun masyarakat kampung setempat.

Masri Singarimbun (1975) dalam Erdansyah (2011) menjelaskan :

“A number of complex ritual and ceremony are performed at successive stages

during the building of a housingthe side, selecting and felling the strees erecting the piles

and establishing the hearths in certain circumstances, the occupants of the house

constitute a ritual group”.

Sejumlah ritual dan upacara yang kompleks diselenggarakan secara

bertahap dan berurutan selama membangun sebuah rumah mulai dari memilih

lokasi, menyeleksi dan menebang kayu-kayu pohonya, menegakkan rumah

tangga. Pada kondisi tertentu, pendiri rumah tersebut melakukan sebuah rangkaian

dari kumpulan ritual.

Pandangan di atas menjelaskan bahwa proses ritual mendirikan rumah

adalah berkaitan dengan karakter alam maupun ekologinya. Ritual merupakan

implementasi sakral yang berhubungan dengan makrokosmos, sebab dalam

(50)

10

kalender Batak (katika), bahwa ada delapan penjuru mata angin sebagai pedoman

orang Karo, termasuk dalam kaitanya dengan pendiri rumah. Sikap kehati-hati ini

juga salah satu yang mendorong perilaku orang Karo melakukan ritual. Dalam

kaitanya dengan penebangan kayu sebagai tiang rumah, peranan seorang dukun

atau guru dibutuhkan sebagai penghubung ke dunia magis, cara yang dilakukan

adalah dengan meletakkan sesajian berupa belo selambar atau daun sirih lengkap

dengan kapur dan tembakaunya di bawah kayu nderasi dan kayu serbenaik yang

akan ditebang. Aturan lainnya juga yang terkait dengan penempatan letak rumah

tdak boleh di atas batu besar, dan harus mengharap arah aliran sungai di satu

kampung yaitu menghadap kenjulu (hulu) dan kenjahe (hilir) sampai proses

mendirikan rumah. Setelah itu memasuki rumah baru, maka mereka melakukan

ritual pemujaan kepada kekuatan gaib, roh, atau makhluk halus lainnya diberikan

keselamatan, kedamaian, kesejahteraan bagi penghuninya.

Hubungan makrokosmos mengambarkan adanya kekuatan di belakang

proses mendirikan rumah, yaitu: (a) Kekuatan gaib yang berada di bumi, (b)

Kekuatan gaib yang berada di rumah, (c) Kekuatan gaib yan berada pada makhluk

halus atau gaib. Kekuatan gaib ini kemudian direpresentasikan pada diri

penghuninya. Orang batak Karo mempercayai bahwa terdapat makhluk-makhluk

legenda yang mempunyai kekuatan gaib yang tidak terlihat ataupun yang terlihat.

Makhluk yang tidak terlihat disebut sebagai makhluk halus yang menyerupai

manusia dan binatang dan ada juga yang berasal dari arwah maupun dewa alam

(semula jadi). Makhluk-makhluk gaib yang menguasai dunia bawah, yaitu dunia

(51)

11

makhluk yang menyerupai binatang cecak yang memiliki dua kepala disebut oleh

orang Batak Karo pengretret. Hewan-hewan legenda tersebut bagi orang Batak

Karo kuno merupakan penjelmaan roh-roh yang menguasai dunia bawah, yang

akan melindungi manusia dari kekuatan-kekuatan jahat maupun yang bersifat

magis.

Tranformasi bentuk-bentuk makhluk tersebut dalam temuan para arkeolog

adalah perwujudan estetika manusia purba berdasar kepercayaan sinkret yang

berkembang antara agama asli dengan pengaruh Hindu. Konsep estetika manusia

prasejarah dalam dunia arkeologi terbagi ke dalam tiga sifat-sifat dalam

kosmologi manusia pada masa itu, yaitu sifat sakral menempati posisi tertinggi

yang menggambarkan kekuatan yang tak terindra, kemudian semisakral yaitu

yang menghubungkan dunia bawah dengan dunia atas, dan yang terakhir adalah

profane. (Sukendar, 2004 dalam Erdansyah, 2011).

Simbol-simbol tersebut terdapat dalam berbagai peninggalan

artefak-artefak kuno. Konsep primitive ini merupakan kebudayaan manusia yang

berkembang dan secara bersama-sama bersentuhan dengan sistem-sistem

kepercayaan baru, seperti Hindu-Budha dan Islam.

2.1.2. Sistem Organisasi Kemasyarakatan dan Kekerabatan Masyarakat Batak Karo

Batak Karo memiliki sistem organisasi sosial berdasarkan sistem

kekerabatan yang disebut rakut sitelu. Secara harfiah arti rakut sitelu adalah

ikatan yang menjadi satu (rakut = ikat, sitelu = yang tiga). Dalam praktik

(52)

12

membentuk pranata sosial dengan menempatkan tiga unsur keluarga yaitu pihak

pemberi dara disebut kalimbubu dan pihak penerima dara disebut anak beru dan

pihak saudara dari kedua belah pihak masing-masing disebut senina. Ketiga unsur

keluarga ini membentuk sistem kekerabatan yang menjadi tradisi masyarakat

Batak Karo. Masing-masing unsur keluarga dalam sistem rakut sitelu memiliki

perannya masing-masing. Kalimbubu adalah pihak yang paling dihormati dan

memegang peranan sebagai penasihat atau konsultan yang berkaitan dengan

peristiwa adat seperti perkawinan, pendirian rumah, atau juga pada peristiwa

kematian.

Sistem kekerabatan lain yang turut mempererat hubungan kekerabatan adalah “marga”. Bagi masyarakat Batak pada umumnya, marga menjadi panggilan

yang terhormat bagi seseorang. Penempatan marga diletakkan di belakang nama

pertama, misalkan Gunawan Tarigan, Gunawan (nama pertama), Tarigan (marga).

Bahkan dalam pergaulan sehari-hari, panggilan marga pada seorang suku Batak

merupakan hal yang lazim.

(53)

13

Jumlah marga dan sub marga pada orang Batak Karo cukup banyak,

sehingga pada 3 Desember 1995 atas Keputusan Kongres Kebudayaan Karo

ditetapkan pemakaian marga hanya berdasarkan “marga silima” yaitu Ginting,

Karo-Karo, Peranginangin, Sembiring, dan Tarigan. (Prinst, 2004 dalam

Erdansyah, 2011).

Di atas telah dijelaskan, bahwa sistem kekerabatan masyarakat Karo dapat

dilihat dari penggunaan marga, termasuk kedudukan dan fungsinya dalam adat

istiadat telah diatur secara turun-temurun. Demikian juga status keluarga

(Kinship) juga di atur oleh adat istiadat berdasarkan ruang ketika berada di dalam

rumah adat (jabu). Berdasarkan posisi ruang yang mereka tempati, maka seorang

kepala keluarga akan menjalankan segala fungsi kewajiban dan haknya

berdasarkan adat istiadat. Sistem kekerabatan Batak Karo merupakan

implementasi dari sifat gotong royong dan kebersamaan dalam praktik kehidupan

sosial dan spiritual.

2.2. Arsitektur Karo

Rumah adat Batak Karo yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan di

Kabupaten Karo sudah berdiri sejak beberapa abad silam. Kehadirannya

merupakan simbol ekspresi kebudayaan masyarakat Batak Karo atas dorongan

kebutuhan masyarakat tradisional Batak Karo menjalankan fungsi-fungsi

kebudayaannya.

Kata “rumah” dalam pengertian orang Batak Karo sering menunjukkan

(54)

14

keluarga. Hakikat rumah dalam pengertian orang Karo adalah tempat

berlangsungnya kehidupan keluarga. Dalam rumah adat orang Karo terdapat

aturan-aturan dan adat istiadat yang mengatur kehidupan dalam hubungannya

dengan kosmologi. Rumah adat Batak Karo adalah satu di antara

bangunan-bangunan tradisional lainnya, dalam kaitan ini. Abdul Azis (2004) dalam

Erdansyah (2011) menjelaskan:

“Pengertian rumah tradisional, yaitu suatu bangunan dimana struktur, cara pembuatan, bentuk, fungsi, dan ragam hiasnya mempunyai ciri khas tersendiri yang diwariskan secara turun-temurun, serta dipakai oleh penduduk daerah setempat untuk melakukan aktivitas kehidupan sebaik-baiknya”.

Arsitektur rumah adat Batak Karo berdasarkan anatomi konstruksinya

dapat dibagi kedalam tiga susunan, Achim Sibeth (1991) dalam Erdansyah (2011)

menjelaskan:

“The space for animals below the living level symbolizes the underworld. The

living level, raised on pillars above the underworld, Is where humans dwell. Above this is the high roof, which corresponds to the abode of the gods and also sometimes of the ancestors”.

Ruang untuk binatang di bawah lantai ruang keluarga melambangkan

dunia bawah. Lantai keluarga, yang berdiri di atas pilar-pilar di atas dunia bawah,

adalah tempat tinggal manusia. Di atasnya ada atap tinggi, yang sesuai dengan

tempat kediaman dewa (Tuhan) dan juga kadang-kadang nenek moyang.

Berdasarkan bidang kosmo rumah adat Batak Karo dapat dibagi ke dalam tiga

(55)

15

rumah), umpak (fondasi rumah),sendi-sendi (sambungan tiang), kemudian tangga

dan ture-ture (teras rumah).

Kolong rumah merupakan tempat yang kotor, sebab digunakan sebagai

tempat menyimpan kayu perapian, membuang sampah, membuang kotoran

manusia, kandang ternak, seperti kerbau, anjing, babi dan sampah organik lainnya,

jelasnya segala yang bersifat kotor akan diletakkan atau dibuang ke bawah.

Unsur-unsur tersebut merupakan komponen rumah yang menempati kosmo dunia

bawah.

Kedua, bagian tengah pada rumah adat terdiri dari dinding (derpih), pintu,

jendela, dan lubang angin (derpih angin) adalah tempat atau ruang bagi manusia

yang menghuni rumah tersebut. Bagi masyarakat tradisional pengaturan ruang

maupun bahan yang digunakan cenderung mengandung unsur-unsur simbolik.

Pada rumah adat Batak Karo setiap ruang tinggal memiliki nama tertentu berasal

dari pengaturan balok kayu rumah tersebut, dan sistem penamaan dihubungkan

dengan organisasi sosial di rumah tersebut. Termasuk penempatan balok kayu

horizontal diatur sedemikian rupa, ujungnya yang runcing menandai dasar dari

setiap balok kayu. Dasar kayu tersebut ada pada bagian bawah dari cabang pohon

yang kayunya diambil. Dasar balok kayu menempati sepanjang sisi timur dan

barat yang diarahkan ke utara, dan fondasi kayu menempati sepanjang sisi utara

ke selatan. Dengan demikian, semua balok kayu diarahkan ke arah sudut tenggara

rumah. Fondasi horizontal balok kayu mengarah pada sudut A dan ujung balok

kayu bagian atas nya mengarah ke sudut B. Berdasarkan pengaturan ini, kamar

(56)

16

1. Benakayu, pokok dari pohon

2. Ujungkayu, puncak pohon

3. Lepar benakayu, berlawanan dengan pangkal pohon

4. Lepar ujungkayu, lawan dengan ujung pohon

5. Sedapuren benakayu, membagi dapur dengan batang pohon

6. Sedapuren ujungkayu, membagi dapur dengan ujung pohon

7. Sedapuren leparbenakayu, membagi dapur berlawanan arah

dengan batang pohon

8. Sedapuren lepar ujungkayu, membagi dapur berlawanan arah

dengan ujung pohon.

Gambar 2.3 Denah Kamar pada rumah adat Batak Karo Sumber : Fuad Erdansyah 2011

Ketiga, bagian atas yang terdiri dari atap dan anak atap (tersek), ayo

(wajah rumah) dan anjungan. Bagian atas rumah adat Batak Karo, berdasarkan

komponen konstruksinya terdiri dari atap utama, atap bertingkat (tersek). ayo

(57)

17 Gambar 2.4 Rumah adat Batak Karo, model atap sada tersek (satu tingkat).

Sumber : Erdansyah 2011

Atap kedua disebut tersek. Secara estetik bentuk tersek ini menambah nilai

seni pada bagian atap bangunan rumah adat Batak Karo. Ukurannya lebih kecil

dan menggunakan ijuk seperti pada atap utama. Tersek ini berfungsi menambah

keindahan anatomi atap, juga sebagai tempat meletakan ayo rumah dan derpih

angin. Ayo atau wajah rumah terletak pada dua sisi tersek menghadap muka dan

belakang. Jumlah ayo rumah kadangkala bervariasi, ada yang terdiri dari dua ayo,

ada juga yang terdiri dari empat ayo. Jumlah ayo ini tergantung pada besar

kecilnya bangunan rumah adat. Pada bagian bawah ayo terdapat dinding kecil

terbuat dari papan yang disebut derpih angin. Derpih angin berfungsi sebagai

pengaturan sirkulasi udara agar asap dapur yang memerihkan mata dapat keluar

membumbung tinggi melewati derpih angin tersebut. Derpih angin ini terbuat

dari papan yang disusun sedemikian rupa dengan pola vertical serta memiliki

(58)

18 Ayo (wajah rumah) satu-satunya bidang rumah yang paling banyak

menggunakan unsur ragam hias (gerga). Pola geometris, dan motif flora dan fauna

dan motif kosmos sebagai motif utama. Konon dahulu itu terbuat dari kayu dan

hiasan diukir pada kayu tersebut. Pola segitiga dan peletakannya miring sama

seperti posisi kemiringan derpih rumah. Namun dalam perkembangannya, bagian

ayo rumah tersebut menggunakan anyaman bambu, dan motif-motif gerga

dilukiskan mengikuti tekstur anyaman bambu tersebut, sehingga pola geometris

semakin terlihat jelas. Untuk memperkuat letak ayo yang miring maka di setiap

sisinya dijepit dengan sebilah papan, dan pada tepian papan diukirkan motif

ipen-ipen (gerigi) sekaligus memperindah papan tersebut. Pada bagian atas rumah

terdiri dari tiang atau balok-balok kayu yang disusun secara vertikal, diagonal dan

horizontal. Susunan balok kayu demikian merupakan rangka atau penyangga

bidang atap rumah dan bertumpu pada tiang utama yang disebut binangun. Pada

bagian berikutnya terdapat delapan batang balok besar disebut tekang berdiameter

30 cm. Pemasangan tekang sering dilakukan dengan upacara tertentu. Dalam gaya

rumah modern tekang ini sama artinya dengan kuda-kuda berupa kayu yang cukup

kuat.

2.2.1. Bentuk, Simbol Gerga dan Pemaknaannya

Gerga sebagai ragam hias Batak Karo lahir atas dorongan kebutuhan

estetik yang telah berakar sejak berabad-abad silam, bahkan dorongan ini muncul

bersama pengetahuan tradisi lainnya. Sistem kekerabatan dan sistem

(59)

19

rumah adatnya, Kedua sistem ini berkembang dan kemudian membentuk pranata

sosial menjadi dasar kebudayaan masyarakat Batak Karo,

Fungsi ragam hias tersebut kadangkala mengandung makna-makna

tertentu yang bersifat simbolik. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek

kebudayaan, simbol-simbol tersebut merupakan representasi perasaan, pikiran

atau juga pandangan hidup masyarakatnya. Setiap simbol harus ditempatkan

terlebih dahulu dalam kebudayaan suku berdasarkan habitat budayanya.

Simbol-simbol seni pra-modern adalah Simbol-simbol-Simbol-simbol kolektif kepercayaan suku. Hal ini

sama seperti simbol-simbol dalam agama Kristen atau Islam (Sumardjo, 2006:46

dalam Erdansyah 2011).

Berdasarkan keberadaanya, gerga menempati bidang-bidang yang

terstruktur pada rumah adat Batak Karo mulai dari bagian bawah, bagian tengah,

hingga bagian atas. Tetapi secara terpisah, bahwa gerga mengandung unsur-unsur

rupa dan berdasarkan prinsip-prinsip kesenirupaan menghadirkan makna

artifisialnya sendiri (denotatif). Pola estetika lainnya terbentuk dari interaksi sosial

berdasarkan rakut sitelu dan sistem kepercayaannya. Peran tokoh Rakut Sitelu

adalah Kalimbubu. Kalimbubu dalam kehidupan sehari-hari bahkan sering disebut

sebagai di bata ni idah (Tuhan yang kelihatan) (Prinst, 2004:51 dalam Erdansyah

2011)

Kalimbubu juga memegang peranan penting dalam kaitannya dengan

rumah adat. Dalam ritual pendirian rumah misalnya, tidak hanya dukun yang

(60)

20

“The site of the house is chosen by divination. This rite is carried out not by a

priest or older but by a female Kalimbubu of the head of the house (pengulu

rumah) who will later occupy the “base” apartmen” (Singarimbun, 1975:67

dalam Erdansyah 2011)

Letak rumah dipilih dengan ramalan. Ramalan ini tidak berasal dari dukun

atau tetua namun dari kalimbubu wanita dari kepala rumah tersebut (pengulu

rumah) yang nantinya menempati ruang tinggal dasar.) Pola tiga rakut sitelu dapat

dikatakan sebagai jantung kebudayaan Batak Karo; ketiganya menggerakkan

sistem sosial dan membentuk pranata sosial yang kemudian membentuk sistem

kebudayaannya, termasuk unsur-unsurnya. Unsur-unsur yang dimaksud adalah

kesenian, gerga, dan rumah adat, yang semuanya dilandasi konsep pola tiga.

Dengan demikian pola tiga ikut mendasari dalam konsep estetikanya.

Dalam dunia antropologi, kepercayaan masyarakat kuno ini berkembang

namun tidak hilang bahkan berjalan bersama dengan sistem kepercayaan lainnya.

Wilken menyebutkan keberadaan Tuhan dan makhluk-makhluk halus termasuk

roh lainnya, sama-sama menempati

seluruh alam, dan menjadi dasar kepercayaan dari semua umat manusia

(Sumardjo, 2006:170 dalam Erdansyah 2011).

Keberadaan gerga dan rumah adat, tidak terlepas dari konsep simbolik

kepercayaan kosmologi Batak Karo. Oleh karena itu konsep estetika masyarakat

Batak Karo juga menempati ruang metakosmos yaitu semula jadi nabolon (Batak

(61)

21

Dalam metakosmos Tuhan menguasai tiga ruang jagad raya, yaitu debata

datas, debata tengah dan debata teruh. Keberadaan gerga pada rumah adat, dapat

diklasifikasikan menurut motifnya dan menurut penempatannya pada rumah adat.

Kedua aspek tinjauan ini merupakan aspek semiologis yang menguraikan makna

denotasi dan makna konotasi berdasarkan pola estetika Batak Karo.

Unsur-unsur rupa pada gerga terdiri dari garis, bidang, ruang dan tekstur.

Unsur-unsur ini membentuk kesatuan artfisial denotatif. Unsur garis dan

bentuknya menunjukan benang merah yang menghubungkan kebudayaan Batak

Karo dengan kebudayaan megalitikum. Oleh karena itu unsur garis pada gerga

akan dilihat berdasar ciri dan kesamaannya dengan bentuk ragam hias pada masa

kebudayaan megalitikum. Motif garis yang membentuk pola gemoetris, seperti pilin “S” lingkaran memusat, garis lurus bersambung, garis lurus terputus, garis

lengkung, garis patah, dan garis segitiga runcing (tumpal), juga terdapat pada

gerga. Berdasarkan wujudnya seperti pola geometrik, pola stilasi tumbuhan dan

hewan yang muncul secara berulang (repetition), maka gerga mengandung makna

denotatif yang memberikan kepuasan estetik atau kepuasaan keindahan. Demikian

juga sebaliknya, estetika rumah adat tidak hanya dilihat berdasarkan seni

bangunannya semata (arsitektur), melainkan juga memperhatikan unsur gerga

pada rumah adat tersebut.

Dengan demikian makna simbolik gerga dapat dilihat melalui analisis

interpretif dan pendekatan kebudayaannya. Untuk itu gerga diklasifikasikan ke

(62)

22

keadaannya, tingkat pembagian gerga dimulai dari bagian melmelen (tingkat yang

bawah), derpih (tingkat tengah), dan ayo dan anjungan ( tingkat atas).

1. Gerga pada melmelen

Posisi melmelen (palang dapur) tepat sejajar dengan lantai. Secara estetis

melmelen dikategorikan sebagai wilayah bawah. Motif-motif yang terdapat

pada melmelen ini adalah motif-motif Tapak Raja Sulaiman, Bindu Natogog,

Embun Sikawiten, Bunga Gundur dan Pantil Manggis, Teger Tudung, dan Takal Dapur.

i) Motif Tapak Raja Sulaiman

Motif gerga tapak Raja Sulaiman adalah motif yang sangat dikenal oleh

masyarakat Batak Karo juga Simalungun. Kata Sulaiman adalah nama

seorang dukun sakti yang melegenda. Konon dukun tersebut mampu

mengobati putri raja yang sakit tak kunjung sembuh. Sang dukun melakukan

pengobatan dengan cara menyembelih ayam. Darah ayam tersebut

digunakan untuk membuat garis di tanah seperti melukis. Dengan cara itu

kemudian putri raja tersebut sembuh, raja kemudian memerintahkan

pengawalnya untuk membuat lukisan dari darah ayam itu pada sebidang

papan. Dalam perkembangannya motif (lukisan darah) itu dilukiskan pada

(63)

23 Gambar 2.5 Motif Tapak Raja Sulaiman

Sumber : http://3.bp.blogspot.com/tapak+raja+sulaiman.jpg

Motif tersebut diyakini sebagai ingan kundul (tempat duduk) dukun Raja

Sulaiman. Raja Sulaiman menjadi personifikasi dukun. Kekuatannya ada

yang terindra dan ada yang tak terindra. Dari sumber lain, Sulaiman adalah

seorang nabi yang dikenal dalam Kristen maupun Islam. Dalam agama

tersebut, Nabi Sulaiman adalah orang yang diberi kelebihan oleh Tuhan

(Allah) yang jauh melebihi kemampuan manusia biasa. Bahkan diceritakan

bahwa Nabi Sulaiman adalah manusia yang diutus Tuhan untuk kebaikan

umat manusia. Ia dianugrahi kemampuan sama dengan semua makhluk di

dunia, termasuk dengan semua jenis hewan. Sehubungan cerita tentang Nabi

Sulaiman ini besar kemungkinan gerga Tapak Sulaiman bukanlah gerga

yang lahir pada zaman prasejarah. Sebab makna yang terkandung dalam

gerga tersebut merupakan makna konotasi yang menyiratkan objek nyata,

yaitu Nabi Sulaiman. Motif gerga ini dipercaya dapat menyembuhkan

berbagai penyakit, penolak racun, penyembuh gatal-gatal; bahkan alat-alat

(64)

24 i) Motif Bindu Natogog

Bindu dalam kamus Batak Karo adalah suatu ukiran dari papan yang

dipasang pada pintu masuk rumah adat sebagai pegangan masuk ke rumah,

dalam pustaka Batak kata tersebut merupakan panggilan pada ibu dan ayah

yaitu suami-istri yang kawin sumbang (kawin tidak direstui secara adat)

sehingga menimbulkan kemarau yang berkepanjangan (Prinst, 2004:89

dalam Erdansyah 2011), sedangkan natogog berasal dari kata matagah

nama suatu ukiran kayu. Ada kemungkinan kata matagah ini berasal dari

kata meteguh yang berarti kuat. Bindu Natogog merupakan pasangan dari

Tapak Raja Sulaiman. Menurut legenda bahwa Bindu Natogog merupakan

istri dari Raja Sulaiman, sehingga penempatan gerga ini diletakkan secara

berdampingan. Gerga Bindu natogog merupakan deformasi bentuk dari

Raja Sulaiman. Motifnya berupa garis bersilang dan saling mengkait,

melambangkan kekuatan kesatuan dan keutuhan. Sebagai alat pegangan

pada pintu rumah adat justru adalah cikepen pengalo-alo. Sebagai pegangan

bagi tamu yang berkunjung. Dengan demikian bindu natogog adalah sebuah

pesan mengingatkan tentang mitos atau legenda tentang adat perkawinan

yang sumbang dapat menyebabkan bencana seperti kemarau panjang.

Gambar 2.6 Motif Bindu Natogog

(65)

25 ii) Motif Embun Sikawiten

Embun sikawiten mengandung arti kemakmuran dengan adanya pengertian

embun beriring. Fungsinya tidak mengandung unsur mistis, tetapi hanya

sebagai hiasan. Ornamen ini dibuat secara berulang-ulang untuk menghiasi

bidang melenmelen. Pada ujung ikal terdapat hiasan cekili kambing dan

tulak paku sebagai unsur hiasan. Perpaduan sulur dengan cekili kambing ini

disebut embun sikawiten. Kedua ornamen ini dibuat mendampingi motif

Tapak Raja Sulaiman sebagai penambah keindahan. Sering dipergunakan

seniman sebagai hiasan pembagi bidang simetris. Ornamen ini dianggap

sebagai simbol keindahan, kemakmuran dan tidak mengandung unsur

mistik, tetapi hanya berfungsi sebagai hiasan.

Gambar 2.7 Motif Embun Sikawiten Sumber : https://s-media-cache-ak0.pinimg.com

iii) Motif Bunga Gundur dan Pantil Manggis

Orang Batak Karo tidak asing mendengar kata motif bunga gundur dan

pantil manggis (bunga gundur dan buah manggis), sebab nama tersebut

adalah nama buah-buahan yang sering dimakan oleh masyarakat. Bunga

(66)

26

dikenal oleh masyarakat Karo. Bahkan buah manggis memiliki arti yang

sangat simbolik pada sifat manusia yang berbuat baik, seperti pepatahnya

“hitam-hitam si buah manggis, meki hitam tetapi manis.”Motif gerga

merupakan sulur-sulur tumbuhan yang merupakan garis lengkung dan

diulang secara teratur. Selanjutnya pada ujung daun terdapat putik bunga

gundur. Sulur-sulur ini adalah deformasi yang sederhana dari daun gundur

yang sesungguhnya. Pola hiasan yang disebut gerga ini disusun dan

ditempatkan secara horizontal sesuai gelombang daun bunga gundur.

Bentuk yang sederhana ini merupakan tindakan kreatif untuk mengatasi

kerumitan teknis dalam mencapai keserasian bentuk harmoni dan

estetikanya, untuk memperteguh kesatuan komposisi hiasan ini diapit oleh

pola geometrik yaitu motif tutup dadu yang melintang horizontal di atas dan

bawah. Kemudian pada bagian atas terdapat empat buah motif tulak paku

secara berpasangan. Gerga ini tidak mengandung unsur mistik, tetapi hanya

sebagai simbol keindahan dan hiasan berdampingan dengan tapak Raja

Sulaiman.

Gambar 2.8 Motif Pantil Manggis

(67)

27 iv) Teger Tudung

Teger Tudung dalam kamus Karo adalah tutup kepala wanita yang kedua

ujungnya tegak ke atas. (Darwan, 2002 dalam Erdansyah 2011). Polanya

seperti ujung daun tumbuhan yang berdaun lebar dan juga seperti bentuk

motif kubah yang diapit kubah kecil di kanan dan kirinya. Motif teger

tudung tidak banyak terdapat stilasi tumbuhan. Di tengahnya terdapat tiga

kelopak bunga seperti cekili kambing. Meskipun dalam kamus diartikan

sebagai pencitraan wanita, tetapi bagi masyarakat Karo justru

melambangkan ketampanan dan kewibawaan (laki-laki). Gerga ini dibuat

untuk hiasan tengah melmelen pada pangkal dan ujungnya. Menurut

keterangan lain ornamen ini juga melambangkan keagungan, dan letaknya

berdekatan dengan tapak Raja Sulaiman, (Erdansyah, 2011).

v) Motif Tutup Dadu dan Cimba Lau

Tutup Dadu secara harfiah berarti tutup yang digunakan pada alat

permainan judi dadu. Tutup dadu umumnya terbuat dari tempurung kelapa,

dan biji dadu terbuat dari tulang. Cimba Lau adalah alat untuk menciduk

air yang terbuat dari bambu; tingginya 35 cm dengan diameter 8 cm.

Cimba lau ini dipergunakan untuk tempat air langir (air keramas) bagi

anak perana/singuda-nguda (perjaka/ gadis). Benda tersebut diyakini

membawa kebaikan dan keselamatan bagi putra-putri mereka dalam

pergaulannya. Cimba Lau juga digunakan sebagai tempat air minum dan

(68)

28

Pola Tutup Dadu adalah setengah lingkaran secara berjejer dan tidak

terpisah dengan bidang di sampingnya. Pola setengah lingkaran saling

mengisi dengan latarnya. Pola yang sama secara berulang melahirkan citra

oposisi dari latarnya sendiri. Teknik perupaannya cukup sederhana.

Pembuatnya adalah orang yang sering diminta untuk mengerjakan

benda-benda seni kerajinan, bahkan pande ini juga mengerjakan ukir-ukiran

gerga pada bidang melmelen rumah adat. Hal yang lazim bagi orang Karo

mempunyai kenangan yang kuat dari barang atau benda-benda lain,

sehingga senang memberi nama sesuatu termasuk nama putra-putrinya

berdasarkan benda-benda yang dilihat, atau yang digunakan sehari-hari.

Nama motif gerga kebanyakan diambil dari nama suatu benda yang

menjadi kebutuhan sehari-hari. Kemudian benda tersebut diberi makna

sesuatu, baik karena fungsinya maupun karena dorongan nalurinya

(sugesti), sehingga benda tersebut membawa manfaat yang baik jika

digunakan.

vi) Motif Takal Dapur

Takal Dapur berarti kepala dapur. Gerga ini pada umumnya berbentuk

seperti tulak paku. Teknik pembuatannya seperti mendekati patung dengan

bentuk seperti manusia raksasa menyerupai kuda. Takal dapur di

Kabupaten Karo ada dua jenis, yaitu berbentuk kuda dan berbentuk tulak

paku. Takal dapur yang berbentuk kuda kini sudah jarang ditemukan,

tetapi masih ada di kampung Bintang Meriah. Bentuk Takal dapur masih

(69)

29 tulak paku ini masih terlihat pada rumah adat di desa Dokan. Gerga Takal Dapur yang terdapat di Desa Lingga, bentuknya lebih sederhana dengan

pola setengah lingkaran atau lonjong (oval). Gerga ini mengandung arti

tuah manusia sebagai kemuliaan. Sebagian orang mengatakan sebagai

lambang kebesaran dan keagungan manusia. Fungsinya selain untuk

memperkuat sudut rumah, juga diyakini dapat menambah umur panjang.

Oleh karena itu digambarkan punggungnya bungkuk seperti gunduk pakis

(bunga pakis).

2. Gerga Pada Derpih (Dinding) Rumah Adat Batak Karo

Gerga yang terletak di bagian tengah rumah adat Batak Karo jumlahnya lebih

sedikit daripada gerga yang di bawah. Penempatan gerga di sini terletak pada

bagian derpih, pintu rumah, dan sudut rumah. Motif gerga-gerga tersebut

adalah Cikepen Pengaloalo, Pengretret, dan Cuping-cuping. Gerga Cikepen

Pengalo-ngalo terdapat pada bagian tengah dan terletak di sisi pintu berfungsi

sebagai pegangan ketika hendak memasuki rumah, Pengretret berfungsi

sebagai pengikat dinding, dan Cuping-cuping yang terletak pada sudut rumah

tidak memiliki fungsi konstruksi, melainkan berfungsi simbolik.

i) Motif Cikepen Pengalo-ngalo

Kata “Cikepen” dalam bahasa Batak Karo berarti pegangan, dan “pengalo

-ngalo” berarti menyambut. Secara harfiah, Cikepen Pengalo-ngalo berarti

pegangan bagi para tamu, agar dapat dengan mudah dan aman memasuki

(70)

30 Cikepen Pengalo-ngalo merupakan simbol bagi tamu, karena setiap tamu

yang datang selalu memegang ukiran tersebut. Ukuran pintu yang rendah

dengan lebar 60 cm dan tinggi 100 cm letaknya miring mengikuti dinding.

Membungkukkan badan adalah perilaku sekaligus lambang penghormatan

kepada pemilik rumah. Gerga ini merupakan hiasan pada dua sepasang kayu

yang terletak di sisi kanan dan kiri pintu. Bentuknya berupa ukiran dengan

kombinasi bergerigi dan bergelombang seperempat lingkaran secara

berulang (repetition) menyerupai bentuk ipen-ipen (gigi-gigi). Fungsi lain

Cikepen Pengalo-ngalo adalah untuk pegangan bagi ibu yang melahirkan

bayi. Ia memegang Cikepen Pengalo-ngalo sambil duduk di atas danggulen.

ii) Motif Pengretret

Derpih atau dinding rumah adalah bidang yang penting pada rumah adat

sebagai penyekat udara dingin. Masyarakat tradisional Batak Karo meyakini

bahwa kekuatan magis dapat dihembuskan dari luar, masuk ke dalam rumah

melalui celah-celah derpih dan masuk menyerang penghuni rumah.

Pengretret adalah nama binatang mitos bagi orang Batak Karo; binatang ini

sejenis cecak, tetapi memiliki dua kepala. Dalam mitos masyarakat Batak

Karo, hewan ini terdapat di hutan yang dipercaya dapat membantu

menunjukkan jalan pulang bagi orang yang tersesat di hutan. Oleh karena

itu motif hewan ini disebut sebagai makhluk legenda. Masyarakat Batak

Toba menyebut pengretret ini dengan “brihaspati” (Sanskerta) yang

menunjukkan sifat kedewataan. Di India nama brihaspati dipakai untuk

(71)

31

2011). Motif Pengretret ini terbuat dari tali ijuk berwarna hitam, tali

tersebut dirajutkan dengan cara melubangi derpih rumah membentuk

segitiga wajid dan sekaligus sebagai pengikat derpih. Pola yang terbentuk

dari tali itu adalah pola geometris yang berulang dan sama pada semua

sisinya. Pada setiap kepala pengretret terdapat sepasang organ tubuh seperti

kaki, dan masing-masing ujung kaki terdapat tiga buah jari. Pengretret

diletakkan secara horizontal pada derpih rumah di samping kedua sisi pintu.

Ukuran panjang motif gerga pengretret seluruhnya sekitar ± 400 cm dan

lebar ± 15–20 cm. Motif ini sangat khas bagi masyarakat Batak pada

umumnya, sebab setiap puak Batak memperlakukan motif ini sebagai

simbol magis.

Gambar 2.9 Gerga motif Pengretret pada dinding rumah, sekaligus sebagai pengikat dinding papan.

Sumber : Erdansyah 2011

Fungsi magis pengretret adalah untuk menangkal setan dan roh jahat. Dua

kepalanya yang memiliki bentuk dan ukuran yang sama merupakan simbol

kejujuran masyarakat Karo, yaitu satu kata dengan perbuatan. Dua sisi

Gambar

Tabel 4.2 Pengelompokan Sistem Fisik
Tabel 4.2, sambungan
Tabel 4.2, sambungan
Gambar 4.26 Pintu Kayu Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui misi Gereja Batak Karo Protestan yang berkaitan dengan pelestarian budaya, suku Karo yang menjadi jemaat Gereja Batak

Oleh karena itu, luas tapak yang akan digunakan untuk perancangan Gereja Katolik Santo Agustinus Surabaya harus memenuhi luas minimal lahan tersebut, yaitu 4345,125 m²..

Lantai Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Lantai gereja memiliki tiga level yang berbeda yaitu level pertama untuk memasuki area gereja, level kedua area

Dari penelitian ini diketahui bahwa tidak keseluruhan unsur fisik pada gereja Redemptor Mundi mengalami inkulturasi, elemen yang tidak memiliki kesamaaan makna tersebut

Salah satu cara Gereja menarik perhatian dan mengambil hati orang Manggarai adalah dengan mengkontekstualisasikan Gereja ke dalam budaya orang Manggarai melalui usaha yang disebut

Rumah Adat Karo disebut juga Rumah Siwaluh Jabu karena pada umumnya dihuni oleh Waluh Jabu (delapan keluarga), selain rumah si waluh jabu ada juga rumah adat yang lebih besar

GBKP merupakan gereja dari Etnis Karo, dimana Etnis Karo memiliki ciri khas ragam hias pada bangunan rumah adat yang disebut “ Siwaluh Jabu” ragam hias ini menjadi indentitas yang

Dalam hal ini, bangunan gereja Katolik sebagai rumah Tuhan merupakan bangunan sakral yang memuat pengalaman estetik nilai-nilai simbolik, memuat tanda dan lambang alam surgawi