102 DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Penerbit PT
Rineka Cipta, Jakarta.
Caniggia, Gianfranco & Maffei, Gian Luigi. 2001. Architectural Composition and
Building Typology. Alinea Editrice
Erdansyah. Fuad. 2011. Simbol dan Pemaknaan Gerga Pada Rumah Adat Batak
Karo di Sumatera Utara. 7 (1) :115-139
Frick, Heinz. 1996. Arsitektur dan Lingkungan. Yogyakarta : Kanisius, 1996
Habraken, N. John. 1988. Type as Social Agreement. Asian Congress of Architect.
Korea: Seoul
Hendraningsih, dkk .1985. Peran, Kesan dan Pesan Bentuk-Bentuk Arsitektur,
Penerbit Djambatan, Jakarta.
Koentjaraningrat. 1987. Pengantar Ilmu Antropologi. Balai Pustaka, Jakarta.
Laurens, Joyce. M. 2013. Relasi Bentuk-Makna Perseptual Pada Arsitektur gereja
katolik di Indonesia.
Moleong, Lexy J., 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
103
Nurfansyah, 2012. Tipologi Kawasan Jalan Pageran Antasari Banjarmasin. Info
Teknik, 13 (1): 50-56
Pangarsa, dkk. 2012. TIPOLOGI NUSANTARA GREEN ARCHITECTURE
Dalam Rangka Konservasi Dan Pengembangan Arsitektur Nusantara Bagi
Perbaikan Kualitas Lingkungan Binaan. Jurnal RUAS, 10 (2) : 78-94
Prijotomo, Josep. Santosa. 1997. Bunga Rampai Arsitektur ITS Surabaya.
Surabaya: Bunga Rampai Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.
Purba, Tiffany, 2011, Karo Cultural Tourism Park (Taman Wisata Budaya Karo):
Arsitektur Neo-Vernakular. Laporan Akhir Perancangan, Program Sarjana
Universitas Sumatera Utara, Program Studi Teknik Arsitektur, Medan.
Rapoport, A., 1980, Human Aspect of Urban Form. Towards a Man-Environment
Approach to Urban Form and Design. Oxford: Pergamon Press.
Rapoport, A. 1982, The Meaning of the Built Environment, Sage Publications,
Beverly Hills.
Santoso I, Wulandanu B.G, 2011, Studi Pengamatan Tipologi Bangunan pada
Kawasan Kauman Kota Malang, Local Wisdom – Jurnal Ilmiah Online,
III (2) : 10 – 26.
Sembiring, P.Prusihean. 2015. Transformasi Bentuk Arsitektural pada Rumah
Tinggal Suku Karo. Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
104
Soeroto, Myrtha. 2007. Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia,
Yayasan Enam Enam
Utomo, Tri Prasetyo. 2005. Tipologi dan Pelestarian Bangunan Bersejarah;
Sebuah Pemahaman Melalui Proses Komunikasi. Jurnal Seni Rupa STSI
Surakarta. 2 (1): 71-79
Wahid, Julaihi. & Alamsyah, Bhakti. 2013. Arsitektur dan Sosial Budaya
Sumatera Utara, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Vidler, Anthony .1977. The Third Typology Princeton Architectural Press 37 East
58 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2000), penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek peneliti misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan
tindakan. Moleong (2000) dalam bukunya mengutip arti dari penelitian kualitatif
yaitu, prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Penelitian kualitatif yang digunakan akan menghasilkan data-data
arsitektur karo dan konservasi langsung kelapangan meneliti gereja masyarakat
karo yang ada di Kabupaten Karo yang dominan orang karo berada. Data-data
tersebut didapat dari literature yang berhubungan langsung maupun tidak
langsung dengan pengaruh budaya terhadap tipologi Gereja masyarakat karo.
3.2. Variabel Penelitian
Variabel dapat diartikan sebagai suatu konsep yang mempunyai variasi atau
keragaman. Sedangkan konsep sendiri adalah pengambaran atau abstraksi dari
suatu fenomena atau gejala tertentu. Konsep tentang apapun jika memiliki ciri-ciri
yang bervariasi atau beragam dapat disebut sebagai variabel (Arikunto, 2006)
Menurut Habraken (1988:5) ada 3 cara mengelompokkan wujud arsitektur,
59
yang meliputi bentuk denah, organisasi ruang, orientasi dan hirarki ruang.
Kemudian yang kedua sistem fisik (physical sistem), yaitu yang kaitannya dengan
penggunaan material-material elemen-elemen konstruksi penyususn bangunan
seperti atap, dinding, lantai termasuk kolom yang digunakan dalam mewujudkan
suatu fisik bangunan. Lalu yang ketiga adalah sistem model /tampilan (stylic
sistem), yaitu suatu yang berkaitan dengan tampak depan/fasad yang meliputi
pintu dan jendela termsuk ventilasi serta ragam hias.
Berdasarkan teori Habraken maka variabel penelitian ini berpedoman pada teori
60 3.3. Metoda Penggumpulan data
Mengelompokan tipe bangunan Gereja sebagai objek penelitian. Bangunan
dikelompokan bardasarkan variable penelitian, yaitu:
1. Sistem spasial (spasial sistem)
2. Sistem fisik (physical sistem)
3. Sistem model /tampilan (stylic sistem)
Menganalisa konsep tradisi yang mempengaruhi tipe bentuk gereja
masyarakat karo.
Observasi lapangan atau survey visual
Observasi lapangan atau survey visual adalah dilakukan dengan
melakukan pemotretan terhadap bangunan rumah tinggal. Hal ini bertujuan
untuk mendapatkan deskripsi tampilan bangunan meliputi, atap, dinding,
lantai, kolom, pintu, jendela, ventilasi. Foto-foto hasil pemotretan sebagai
acuan dalam menganalisa pengaruh budaya terhadap tipologi rumah
tinggal masyarakat karo.
Pengumpulan data sekunder
Pengumpulan data sekunder dengan penggumpulan data tidak langsung
dengan menggambil data-data studi literature dan mencari data-data
mengenai teori yang berkaitan langsung dengan objek penelitian sehingga
61 3.4. Kawasan Penelitian
Kawasan penelitian terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara di tiga
Kecamatan. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Berastagi, Kecamatan
Barusjahe dan Kecamatan Kabanjahe.
Gambar 3.1 Kawasan Penelitian Sumber: Google Map
3.4.1. Objek Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga objek yaitu, Gereja Katolik Inkulturatif St.
Fransiskus Assisi, Berastagi, Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe,
dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe.
3.4.1.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi
Objek penelitian yang pertama adalah gereja Katolik Inkulturatif St.
62 Gambar 3.2 Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Berastagi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
3.4.1.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe
Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe merupakan objek
penelitian yang kedua.
63 3.4.1.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa,
Barusjahe
Objek penelitian yang ketiga adalah Gereja Katolik St. Yohannes Don
Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe
Gambar 3.4 Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Sumber: Dokumentasi Pribadi
3.5 Metode Analisa Data
Metode yang digunakan merupakan analisa data yang berupa deskriptif
mengenai data yang didapat. Adapun analisa untuk menemukan elemen-elemen
penerapan budaya karo pada Gereja, yaitu :
1. Pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari studi kepustakaan dan
studi lapangan.
2. Tahap analisis data dilakukan setelah data kepustakaan dan data lapangan
64
3. Data yang didapat dianalisis menggunakan metode deskriptif. Data fisik
objek penelitian digambarkan kembali sesuai dengan hasil observasi
kemudian dijelaskan bagian-bagian gereja yang telah beradaptasi dengan
budaya karo.
4. Kesimpulan dilakukan setelah pengolahan data yang berdasarkan kepada
65 BAB IV
ADAPTASI BUDAYA KARO TERHADAP TIPOLOGI GEREJA KATOLIK
4.1. Deskripsi Kawasan Penelitian
Kawasan penelitian ini berada di Kabupaten Karo, Sumatera Utara
tepatnya berada di tiga Kecamatan yaitu, Kecamatan Berastagi, Kecamatan
Barusjahe dan Kecamatan Kabanjahe. Objek penelitian ini adalah tiga gereja yang
berada di Kabupaten Karo yaitu, Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi
Berastagi, Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe, dan Gereja Katolik
St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe.
Gambar 4.1 Kawasan Penelitian
66 4.1.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi
Objek penelitian yang pertama adalah Gereja Katolik Inkulturatif St.
Fransiskus Assisi, Berastagi yang terletak di desa Sempa Jaya. Berikut ini
merupakan sejarah singkat mengenai gereja inkulturatif karo st. Fransiskus asisi
berastagi oleh: Betlehem Ketaren, SH.
Gereja paroki Berastagi ini didirikan dengan arsitektur Karo mengingat
rumah Karo yang unik, kokoh, artistik, bersifat religius dan komunal, dan
mengingat kenyataan bahwa sekarang rumah Karo sudah mulai hilang dalam
kenyataan kehidupan sebagai rumah hunian. Gereja merasa perlu melestarikan
nilai-nilainya yang agung mengingat tugas Gereja yang luhur dalam menjunjung
tinggi nilai-nilai budaya semua bangsa dan suku di dunia ini, sebagaimana
dirumuskan oleh Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium nomor 37
dan Konsili Gaudium et Spes nomor 53-62. Gereja Inkulturatif Karo ini berada di
Jl. Let. Jend. Jamin Ginting Berastagi, berdiri megah dengan ketinggian 35m
dengan panjang bangunan 32m dan lebarnya 24m dapat menampung 1000 dalam
mengikuti Perayaan Ekaristi.
Gereja ini juga mempunyai pendopo dengan model “geriten” (rumah kecil
tanpa dinding untuk berbagai keperluan religi dan sebagai ruang untuk aneka
keperluan kaum muda) dengan panjang 10,40m , lebar 10m dengan ketinggian
15m. St. Fransiskus dari Asisi dipilih sebagai pelindung gereja ini mengingat
peranan mulia St. Fransiskus Asisi dalam menghormati alam ciptaan dan menjadi
saudara bagi semua. St. Fransiskus Asisi telah dinobatkan Vatikan sebagai santo
pelindung lingkungan hidup dan karena itu diharapkan menjadi teladan bagi
67
ciptaan. Diharapkan setiap orang yang masuk gereja ini, akan kembali bersemi
didalam hatinya rasa bersyukur kepada Si Pencipta, dan rasa cinta kepada sesama
yang menumbuhkembangkan semangat untuk mencintai lingkungan hidup, sebab
karena itu kita akan dapat merasakan kedamaian dan ketenteraman nan sejati
(Dame ras Mejuah-juah).
Gambar 4.2 Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Berastagi Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.3 Peta Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Sumber: Google Map
4.1.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria
Objek penelitian yang kedua adalah Gereja Katolik Santa Perawan Maria,
68
renovasi, di karenakan bangunan yang sudah tua dan bertambahnya jemaat di
gereja ini.
Gambar 4.4. Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.5 Peta Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber : Google map
4.1.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe
Objek penelitian yang ketiga yaitu, Gereja Katolik St. Yohannes Don
69 Gambar 4.6 Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.2. Sistem Spasial
Sistem spasial ini meliputi bentuk denah, organisasi ruang dan orientasi.
4.2.1. Bentuk Denah
Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi memiliki bentuk denah
yang menyerupai rumah adat Si Waluh Jabu. Hal ini menunjukkan bahwa gereja
70 Gambar 4.7 Bentuk denah Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi (kiri) dan skema
denah rumah adat karo
Sumber: Analisa Penulis
Gereja Katolik Santa Perawan Maria memiliki bentuk denah gereja pada
umumnya yang berbentuk salib. Jika melihat denah yang berbentuk salib, maka
denah gereja ini tidak mengadaptasi budaya Karo.
Gambar 4.8 Bentuk denah Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber: Analisa Penulis
4.2.2. Organisasi Ruang
Organisasi ruang pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi,
71
Bosco yaitu ruang yang berda pada masing-masing gereja adalah ruang yang pada
umumnya terdapat pada gereja.
Gambar 4.9 Organisasi Ruang Pada Masing-Masing Gereja Sumber: Analisa Penulis
4.2.3. Adaptasi Tipologi Gereja Berdasarkan Tatanan Massa
Gambar di bawah ini menunjukkan tatanan massa pada masing-masing
denah gereja.
Gambar 4.10 Tatanan massa bangunan Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi (kiri), Gereja Katolik Santa Perawan Maria (tengah), dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco
(kanan)
72
Gambar 4.39 menunjukkan tipologi gereja yang beradaptasi adalah Gereja
Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco. Hal
tersebut diperlihatkan pada massa bangunan yang terlihat seperti rumah Siwaluh Jabu. Sedangkan
pada Gereja Katolik Santa Perawan Maria tatanan bentukan massanya sama dengan gereja pada
umumnya yang berbentuk salib.
Pada tabel berikut ini dapat dilihat sistem spasial yang menyangkut bentuk
denah dan organisasi ruang pada masing-masing gereja.
Tabel 4.1 Sistem Spasial Gereja
Sistem Fisik
Elemen
spasial Gambar Keterangan
74
Pada sistem fisik terdapat beberapa wujud arsitektur, diantaranya : Atap,
dinding, lantai/elevasi, kolom.
4.3.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi
Sistem fisik pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus adalah atap,
dinding, lantai/elevasi dan kolom.
75 4.3.1.1. Atap
Atap Gereja katolik ini mengadaptasi atap rumah adat dengan atap
bertingkat dua dilengkapi dengan menara (anjung-anjung), rumah adat bermuka 4
atau lebih. Ujung atap pada rumah adat adalah tanduk kerbau dimana pada jaman
dahulu masyarakat karo belum mempunyai keyakinan maka dari itu masyarakat
karo masih menyembah berhala dan menyebah roh nenek moyang mereka.
Dengan berkembangnya jaman dan penyebaran agama di Kabupaten Karo salah
satu agama masyarakat karo adalah Kristen Protestan dan Katolik. Maka dari itu
atap pada gereja katolik ini di ujung atap berikan Salib dimana di dunia paing atas
ada Tuhan. Material atap pada gereja katolik ini menggunakan atap genteng,
sedangkan pada rumah adat material yang digunakan adalah ijuk.
Penggunaan genteng sebagai bahan penutup atap akan sangat efisien
karena genteng memiliki kadar penyerapan tinggi sekitar 60-70%. Sehingga
disekeliling bangunan sedikit terjadi pemantulan panas Pada jaman sekarang
penggunaan atap ijuk mahal dan pengerjaan nya lama.
Gambar 4.11 Penggunaan atap Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas satu atau dua tersek dan diberi tanduk
76 4.3.1.2. Dinding
Pada gereja ini dinding yang digunakan mengadaptasi dari rumah siwaluh
jabu yang memiliki kemiringan. Material yang digunakan adalah batu bata
berbeda dengan rumah adat karo yang biasanya menggunakan kayu/papan.
Gambar 4.12 Dinding Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi yang beradaptasi dengan Budaya Karo
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.1.3. Lantai
Lantai yang digunakan adalah lantai keramik, yang dimulai dari entrance
yang menggunakan tangga sebagai elevasi. Tangga merupakan adaptasi dari
77 Gambar 4.13 Elevasi Lantai Dari Muka Tanah Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus
Assisi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.14 Lantai bagian dalam Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi menggunakan lantai keramik
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pada gambar 4.13 terlihat bahwa lantai yang digunakan adalah material
keramik dan pada bagian altar juga menggunakan tangga sebagai elevasi. Untuk
bahan penutup lantai biasanya menggunakan lantai kayu pada rumah adat karo,
sedangkan pada gereja ini menggunakan penutup lantai yang umum.
4.3.1.4. Kolom
Gereja ini juga mengadaptasi kolom yang berada pada rumah adat karo.
Kolom yang seolah-olah menyatu tanpa paku hanya memanfaatkan kayu tersebut
78 Gambar 4.15 Kolom Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria
Pada gereja Katolik Santa Perawan Maria, sistem fisik yang akan di teliti
juga sama seperti gereja sebelumnya.
4.3.2.1. Atap
Atap Gereja Santa Perawan Maria mengadaptasi atap rumah adat karo
tetapi yang berbeda atap ini tidak bertingkat dan dilengkapi dengan menara
(anjung-anjung). Material yang digunakan pada atap ini adalah genteng.
Penggunaan genteng sebagai bahan penutup atap akan sangat efisien karena
genteng memiliki kadar penyerapan tinggi sekitar 60-70%. Sehingga disekeliling
bangunan sedikit terjadi pemantulan panas.
79 4.3.2.2. Dinding
Pengunaan dinding batu bata dan tidak adanya ornamen pada gereja ini
menunjukkan bahwa adaptasi tidak terjadi pada dinding tersebut.
Gambar 4.17 Dinding Gereja Tidak Beradaptasi Dengan Budaya Karo Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.2.3. Lantai
Lantai yang di gunakan pada gereja ini dapat di lihat pada gambar di
bawah ini.
Gambar 4.18 Tangga Pada Entrance Gereja Santa Perawan Maria Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.18 memperlihatkan bahwa pada entrance gereja menggunakan
tangga sebagai elevasi lantai dari muka tanah. Hal ini menunjukan bahwa tangga
tersebut diadaptasi dari rumah Siwaluh Jabu yang menggunakan tangga pada
80 Gambar 4.19 Lantai Bagian Dalam Gereja Santa Perawan Maria yang Menuju Ke Altar
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Bahan penutup lantai yang digunakan adalah keramik yang ditunjukan
pada gambar 4.18. Pada gambar tersebut juga terlihat elevasi dari lantai menuju ke
altar. Elevasi ini memang sering digunakan pada gereja.
4.3.2.4. Kolom
Kolom pada gereja ini tidak mengikuti konsep dari rumah adat karo.
Kolom yang digunakan pada gereja ini adalah kolom yang biasa dipakai pada
gereja pada umumnya yang tidak berkonsep budaya.
81 4.3.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco
Pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco juga memiliki sistem fisik
yaitu, atap, dinding, lantai/elevasi, dan kolom.
4.3.3.1. Atap
Gereja ini menggunakan atap yang beradaptasi dari rumah sianjung
anjung. Jika pada rumah adat biasanya menggunakan material ijuk namun pada
gereja ini menggunakan material genteng sebagai penutup atap. Jika pada Gereja
Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi bagian ujung atap telah diganti dengan
patung malaikat namun pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco tetap
menggunakan kepala kerbau sebagai ornamen.
Gambar 4.21 Penggunaan atap rumah sianjung-anjung pada gereja Katolik St. Yohannes Don
Bosco
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.3.2. Dinding
Gereja ini juga menggunakan material batu bata pada dindingnya. Dapat
dilihat bahwa konsep adaptasi dinding tersebut ditandai dengan adanya bagian
82 Gambar 4.22 Dinding gereja yang miring sama dengan rumah adat karo
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.3.3. Lantai
Lantai termasuk kedalam sistem fisik dalam wujud arsitektur, berikut ini
adalah gambar tangga dan lantai diGereja Katolik st. Yohannes Don Bosco
Gambar 4.23 Tangga Pada Entrance Gereja Katolik st. Yohannes Don Bosco Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.23 menunjukkan pemakain tangga pada entrance gereja yang
juga merupakan adaptasi dari rumah Siwaluh Jabu. Dengan adanya tangga
tersebut dapat membuat perbedaan antara tanah dan lantai. Bahan penutup lantai
83 Gambar 4.24 Lantai keramik pada gereja
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.3.4. Kolom
Sama halnya dengan gereja Katolik Santa Perawan Maria, gereja ini juga
menggunakan kolom konvensional yang sering digunakan gereja pada umumnya.
Gereja ini tidak mengadaptasi pada bagian kolom rumah adat Karo.
84
Penjelasan sistem fisik pada tiga gereja tersebut dirangkum dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.2 Pengelompokan Sistem Fisik
Sistem Fisik
Elemen
fisik Gambar Keterangan
86
Kolom Kolom yang digunakan gereja
87
Kolom
Penggunaan kolom juga merupakan kolom pada gereja umumnya
Sumber: Analisa Penulis
4.4. Sistem Model /Tampilan
Dalam sistem ini mencakup beberapa elemen fasad yaitu, pintu, jendela
dan ventilasi, serta ornamen.
4.4.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi 4.4.1.1. Pintu
Pintu pada gereja ini tidak beradaptasi yang dapat dilihat pada gambar
4.25. jika pada rumah Siwaluh Jabu pintu dibuat pendek agar orang yang akan
masuk menghormati yang berada di dalam dengan cara menunduk. Namun dari
material, pintu pada gereja ini sama dengan rumah Siwaluh Jabu yaitu kayu.
Gambar 4.26 Pintu Kayu Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Sumber: Dokumentasi Pribadi
88 4.4.2. Jendela dan Ventilasi
Jendela dan ventilasi pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus
Assisi, Berastagi dapat dilihat pada gambar dibawah berikut ini.
Gambar 4.27 Jendela Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Sumber: Dokumentasi Pribadi
Jendela yang digunakan telah beradaptasi dengan budaya yaitu,
penggunaan jendelah kecil pada dinding gereja yang ditunjukan oleh gambar 4.27.
Gambar 4.28 Ventilasi Pada Bagian Dinding yang Miring Sumber: Dokumentasi Pribadi
89
Gambar 4.28 dan 4.29 menunjukkan ventilasi telah beradaptasi pada
gereja. Biasanya ventilasi seperti ini digunakan pada rumah Siwaluh Jabu.
Penambahan ornamen salib pada ventilasi menggambarkan kekristenan pada
bangunan.
4.4.3. Ornamen
Ornamen yang terdapat pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus
Assisi, Berastagi merupakan ornamen yang ada pada rumah adat Siwaluh Jabu.
Berikut ini adalah ornamen yang terdapat pada gereja ini.
Gambar 4.30 Ornamen Tapak Sulaiman Pada Dinding Gereja Sumber: Dokumentasi Pribadi
90 Gambar 4.32 Ornamen Malaikat Pada Gereja
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pada gamabar 4.30-4.32 dapat dilihat banyaknya oramen yang diadaptasi
dari rumah Siwaluh Jabu. Ornamen-ornamen tersebut pada beberapa bagian gereja
tetap dipertahankan sama dengan aslinya, namun pada bagian kepala kerbau
sengaja diganti dengan patung malaikat karena untuk lebih religius. Pada bagian
dinding biasanya terdapat ornamen pengretret yang berfungsi untuk mengikat
dinding, namun pad gereja ornamen tersebut ditambahkan beberapa ornamen
malaikat.
4.4.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria 4.4.2.1. Pintu
Gereja ini memiliki pintu pada umumnya dengan bentuk hampir bulat di
bagian atas dan menggunakan material kayu dan kaca patri yang ditunjukan pada
91 Gambar 4.33 Pintu Utama Gereja (Kiri) Dan Pintu Samping Gereja (Kanan)
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.4.2.2. Jendela dan Ventilasi
Jendela dan ventilasi yang digunakan pada gereja ini tidak beradaptasi dari
budaya karo karena penggunaan jendela yang besar dan ventilasi yang digunakan
adalah ventilasi untuk bangunan modern yang dapat dilihat pada gambar 4.34
Gambar 4.34 Jendela Dan Ventilasi Bagian Depan (Atas) Dan Jendela Dan Ventilasi Bagian Samping (Bawaah)
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.4.2.3. Ornamen
Gereja ini hanya mengadaptasi bagian atap yang menggunakan ornamen
92 Gambar 4.35 Ornamen Gereja Katolik Santa Perawan Maria
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.4.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco 4.4.3.1. Pintu
Pintu Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco dapat dilihat pada gambar
berikut ini yang menunjukkan penggunaan material pintu dan ukuran pintu gereja.
Gambar 4.36 Entrance Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.36 menunjukkan bahwa pintu yang digunakan pada gereja ini
93 4.4.3.2. Jendela dan Ventilasi
Pada gamabar di bawah ini dapat menunjukkan penggunaan jendela dan
ventilasi pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco
Gambar 4.37 Jendela Dan Ventilasi Gereja Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.37 menunjukkan penggunaan jendela dan ventilasi yang tidak
beradaptasi dikarenakan jendela dan ventilasi tersebut adalah yang sering
digunakan gerja pada umumnya.
4.4.3.3. Ornamen
Ornamen yang terdapat pada gereja ini menunjukkan ornamen pada rumah
adat karo pada umumnya.
94 Gambar 4.39 Ornamen Pengretret Di Gereja
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.38 dan 4.39 menunjukkan ornamen yang diadaptasi dari rumah
Siwaluh Jabu. Jika pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi
mengadaptasi semua bagian ornamen dan ditambah dengan oramen khas gereja
maka lain halnya dengan gereja ini. Gereja ini tidak menambahkan ornamen yang
terkesan religi seperti malaikat tetapi hanya menambahkan salib pada bagian atas
atap.
4.4.5. Adaptasi Tipologi Gereja Berdasarkan Proporsi Fasad
Proporsi fasad pada ketiga gereja ini sama yaitu simetris. Pada rumah
Siwaluh Jabu fasad bangunan tersebut juga simetris.
95 Gambar 4.41 Fasad Gereja Katolik Santa Perawan Maria
Sumber: Analisa Penulis
Gereja Katolik Santa Perawan Maria memiliki proporsi fasad yang
simetris dan pada bagian kanan fasad terlihat menara sebagai tempat lonceng.
96
Pada gambar 3.42 terlihat bahwa fasad yang dimiliki gereja ini juga
simetris sama halnya dengan fasad pada rumah Siwaluh Jabu. Kesamaan fasad
yang simetris dikarenakan adanya adaptasi pada gereja ini.
Pada tabel di bawah ini di jelaskan sistem model/tampilan pada
masing-masing gereja.
Tabel 4.3 Sistem Model/Tampilan Pada Gereja
Sistem Model/Tampilan
Elemen Model/Tampilan
Gambar Keterangan
Gereja Katolik Inkulturatif St.
Fransiskus
Assisi Pintu Tidak
beradaptasi
Jendela dan
Ventilasi Beradaptasi
97
Proporsi Fasad Fasad
simetris
Gereja Katolik Santa Perawan
Maria
Pintu Tidak
beradaptasi
Jendela dan Ventilasi
Tidak beradaptasi
Ornamen Beradaptasi
98
Proporsi Fasad
Fasad simetris dan pada bagian kanan di tambah menara
Gereja Katolik St. Yohannes
Don Bosco
Pintu Tidak
beradaptasi
Jendela dan Ventilasi
Tidak beradaptasi
Ornamen Beradaptasi
99
Proporsi Fasad Simetris
100 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa penerapan arsitektur karo pada
tipologi gereja yang paling utama adalah bentukan atap yang mengikuti bentuk
atap rumah adat karo kemudian ornamen yang terdapat pada masing-masing
gereja juga merupakan adaptasi dari budaya karo. Berikut ini merupakan
penjabaran bagian dari masing-masing yang telah beradaptasi
Bentuk denah yang mengadaptasi budaya karo adalah Gereja
Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi. Sedangkan
pada kedua gereja yang lain menerapkan bentukan denah gereja
pada umumnya
Pada bagian atap semua gereja mengadaptasi dari bentukan rumah
Siwaluh Jabu yaitu dengan menggunakan atap sianjung-anjung
Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi
dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco dinding bangunan
mengadaptasi dari rumah siwaluh jabu. Sedangkan Gereja Katolik
Santa Perawan Maria tidak mengadaptasi bentuk dinding tersebut
melainkan menggunakan dinding gereja pada umumnya.
Untuk lantai pada ketiga gereja megadaptasi bagian entrance yang
101 Kolom yang digunakan pada Gereja Katolik Inkulturatif St.
Fransiskus Assisi, Berastagi merupakan kolom yang telah
beradaptasi yaitu kolom yang mengikat satu sama lain dan kolom
yang digunakan pada ke dua gereja lainnya adalah kolom yang
biasa digunakan pada gereja.
Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi
mengadaptasi pintu, jendela dan ventilasi dari rumah Siwaluh Jabu.
Sedangkan pada gereja yang lainnya penggunaan pintu, jendela dan
ventilasi seperti gereja pada umumnya.
Ornamen yang paling banyak beradaptasi adalah pada Gereja
Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi dan Gereja
Katolik St. Yohannes Don Bosco. Sedangkan pada Gereja Katolik
Santa Perawan Maria hanya pada atap.
Tipologi gereja telah beradaptasi pada dua gereja yaitu pada Gereja
Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi dan Gereja Katolik St.
Yohannes Don Bosco dikarenakan tatanan massa dan fasad yang
sama dengan rumah Siwaluh Jabu.
5.2. Saran
Untuk menjaga dan melestarikan budaya karo pada bangunan maka
masyarakat juga memiliki peranan penting dalam melakukannya. Sebaiknya
sebagai masyrakat karo harus mempertahankan budaya yang sudah ada. Salah satu
8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budaya Masyarakat Karo
2.1.1. Sosial budaya masyarakat Batak Karo
Ada dua hal yang menjadi keunikan dalam kebudayaan suku Batak Karo,
yaitu sistem kepercayaan (religi) dan sistem kekerabatan. Untuk menjalankan
kepercayaannya, orang Batak Karo terlebih dahulu melakukan ritual. Semua jenis
ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap penghormatan kepada roh-roh
nenek moyangnya untuk menjamin keselamatan bagi keluarga yang masih hidup.
Gambar 2.1 Tari-tarian masyarakat Karo sering Digunakan dalam upacara ritual ± tahun 1900 (Sumber : K.I. Museum Amsterdam, Capture)
Pemujaan ini dilakukan karena dalam keluarga ada yang mati dalam satu
hari (mate sadawari), baik karena sakit ataupun kecelakaan. Arwah dari orang
yang mati diyakini dapat mengganggu keluarga. Oleh karena itu pada ritual, satu
di antaranya adalah ritual mangmang, yaitu dengan cara memberi sesaji berupa
sebatang rokok yang sudah dinyalakan serta dijepit pada sebatang ranting kecil di
9
yang makan sirih. Lalu bersama seluruh keluarga mereka duduk menghadap
pohon sambil meratap, menangis, dan menyatakan seluruh perasaannya tentang
arwah orang yang meninggal dunia tersebut.
Orang Batak Karo memiliki kepercayaan bahwa rumah adat merupakan
tempat bersemayamnya roh para leluhur maupun dewa-dewa. Oleh karena itu,
membangun rumah adat adalah sama seperti membuat “rumah tinggal” para
makhluk gaib. Di rumah ini roh-roh leluhur akan bersemayam selamanya. Mereka
secara sungguh-sungguh membuat seperangkat ritual dalam proses pendirian
rumah adat tersebut, dan prosesnya dilakukan secara bersamaan dan gotong
royong baik bersama keluarga inti maupun masyarakat kampung setempat.
Masri Singarimbun (1975) dalam Erdansyah (2011) menjelaskan :
“A number of complex ritual and ceremony are performed at successive stages
during the building of a housingthe side, selecting and felling the strees erecting the piles
and establishing the hearths in certain circumstances, the occupants of the house
constitute a ritual group”.
Sejumlah ritual dan upacara yang kompleks diselenggarakan secara
bertahap dan berurutan selama membangun sebuah rumah mulai dari memilih
lokasi, menyeleksi dan menebang kayu-kayu pohonya, menegakkan rumah
tangga. Pada kondisi tertentu, pendiri rumah tersebut melakukan sebuah rangkaian
dari kumpulan ritual.
Pandangan di atas menjelaskan bahwa proses ritual mendirikan rumah
adalah berkaitan dengan karakter alam maupun ekologinya. Ritual merupakan
implementasi sakral yang berhubungan dengan makrokosmos, sebab dalam
10
kalender Batak (katika), bahwa ada delapan penjuru mata angin sebagai pedoman
orang Karo, termasuk dalam kaitanya dengan pendiri rumah. Sikap kehati-hati ini
juga salah satu yang mendorong perilaku orang Karo melakukan ritual. Dalam
kaitanya dengan penebangan kayu sebagai tiang rumah, peranan seorang dukun
atau guru dibutuhkan sebagai penghubung ke dunia magis, cara yang dilakukan
adalah dengan meletakkan sesajian berupa belo selambar atau daun sirih lengkap
dengan kapur dan tembakaunya di bawah kayu nderasi dan kayu serbenaik yang
akan ditebang. Aturan lainnya juga yang terkait dengan penempatan letak rumah
tdak boleh di atas batu besar, dan harus mengharap arah aliran sungai di satu
kampung yaitu menghadap kenjulu (hulu) dan kenjahe (hilir) sampai proses
mendirikan rumah. Setelah itu memasuki rumah baru, maka mereka melakukan
ritual pemujaan kepada kekuatan gaib, roh, atau makhluk halus lainnya diberikan
keselamatan, kedamaian, kesejahteraan bagi penghuninya.
Hubungan makrokosmos mengambarkan adanya kekuatan di belakang
proses mendirikan rumah, yaitu: (a) Kekuatan gaib yang berada di bumi, (b)
Kekuatan gaib yang berada di rumah, (c) Kekuatan gaib yan berada pada makhluk
halus atau gaib. Kekuatan gaib ini kemudian direpresentasikan pada diri
penghuninya. Orang batak Karo mempercayai bahwa terdapat makhluk-makhluk
legenda yang mempunyai kekuatan gaib yang tidak terlihat ataupun yang terlihat.
Makhluk yang tidak terlihat disebut sebagai makhluk halus yang menyerupai
manusia dan binatang dan ada juga yang berasal dari arwah maupun dewa alam
(semula jadi). Makhluk-makhluk gaib yang menguasai dunia bawah, yaitu dunia
11
makhluk yang menyerupai binatang cecak yang memiliki dua kepala disebut oleh
orang Batak Karo pengretret. Hewan-hewan legenda tersebut bagi orang Batak
Karo kuno merupakan penjelmaan roh-roh yang menguasai dunia bawah, yang
akan melindungi manusia dari kekuatan-kekuatan jahat maupun yang bersifat
magis.
Tranformasi bentuk-bentuk makhluk tersebut dalam temuan para arkeolog
adalah perwujudan estetika manusia purba berdasar kepercayaan sinkret yang
berkembang antara agama asli dengan pengaruh Hindu. Konsep estetika manusia
prasejarah dalam dunia arkeologi terbagi ke dalam tiga sifat-sifat dalam
kosmologi manusia pada masa itu, yaitu sifat sakral menempati posisi tertinggi
yang menggambarkan kekuatan yang tak terindra, kemudian semisakral yaitu
yang menghubungkan dunia bawah dengan dunia atas, dan yang terakhir adalah
profane. (Sukendar, 2004 dalam Erdansyah, 2011).
Simbol-simbol tersebut terdapat dalam berbagai peninggalan
artefak-artefak kuno. Konsep primitive ini merupakan kebudayaan manusia yang
berkembang dan secara bersama-sama bersentuhan dengan sistem-sistem
kepercayaan baru, seperti Hindu-Budha dan Islam.
2.1.2. Sistem Organisasi Kemasyarakatan dan Kekerabatan Masyarakat Batak Karo
Batak Karo memiliki sistem organisasi sosial berdasarkan sistem
kekerabatan yang disebut rakut sitelu. Secara harfiah arti rakut sitelu adalah
ikatan yang menjadi satu (rakut = ikat, sitelu = yang tiga). Dalam praktik
12
membentuk pranata sosial dengan menempatkan tiga unsur keluarga yaitu pihak
pemberi dara disebut kalimbubu dan pihak penerima dara disebut anak beru dan
pihak saudara dari kedua belah pihak masing-masing disebut senina. Ketiga unsur
keluarga ini membentuk sistem kekerabatan yang menjadi tradisi masyarakat
Batak Karo. Masing-masing unsur keluarga dalam sistem rakut sitelu memiliki
perannya masing-masing. Kalimbubu adalah pihak yang paling dihormati dan
memegang peranan sebagai penasihat atau konsultan yang berkaitan dengan
peristiwa adat seperti perkawinan, pendirian rumah, atau juga pada peristiwa
kematian.
Sistem kekerabatan lain yang turut mempererat hubungan kekerabatan adalah “marga”. Bagi masyarakat Batak pada umumnya, marga menjadi panggilan
yang terhormat bagi seseorang. Penempatan marga diletakkan di belakang nama
pertama, misalkan Gunawan Tarigan, Gunawan (nama pertama), Tarigan (marga).
Bahkan dalam pergaulan sehari-hari, panggilan marga pada seorang suku Batak
merupakan hal yang lazim.
13
Jumlah marga dan sub marga pada orang Batak Karo cukup banyak,
sehingga pada 3 Desember 1995 atas Keputusan Kongres Kebudayaan Karo
ditetapkan pemakaian marga hanya berdasarkan “marga silima” yaitu Ginting,
Karo-Karo, Peranginangin, Sembiring, dan Tarigan. (Prinst, 2004 dalam
Erdansyah, 2011).
Di atas telah dijelaskan, bahwa sistem kekerabatan masyarakat Karo dapat
dilihat dari penggunaan marga, termasuk kedudukan dan fungsinya dalam adat
istiadat telah diatur secara turun-temurun. Demikian juga status keluarga
(Kinship) juga di atur oleh adat istiadat berdasarkan ruang ketika berada di dalam
rumah adat (jabu). Berdasarkan posisi ruang yang mereka tempati, maka seorang
kepala keluarga akan menjalankan segala fungsi kewajiban dan haknya
berdasarkan adat istiadat. Sistem kekerabatan Batak Karo merupakan
implementasi dari sifat gotong royong dan kebersamaan dalam praktik kehidupan
sosial dan spiritual.
2.2. Arsitektur Karo
Rumah adat Batak Karo yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan di
Kabupaten Karo sudah berdiri sejak beberapa abad silam. Kehadirannya
merupakan simbol ekspresi kebudayaan masyarakat Batak Karo atas dorongan
kebutuhan masyarakat tradisional Batak Karo menjalankan fungsi-fungsi
kebudayaannya.
Kata “rumah” dalam pengertian orang Batak Karo sering menunjukkan
14
keluarga. Hakikat rumah dalam pengertian orang Karo adalah tempat
berlangsungnya kehidupan keluarga. Dalam rumah adat orang Karo terdapat
aturan-aturan dan adat istiadat yang mengatur kehidupan dalam hubungannya
dengan kosmologi. Rumah adat Batak Karo adalah satu di antara
bangunan-bangunan tradisional lainnya, dalam kaitan ini. Abdul Azis (2004) dalam
Erdansyah (2011) menjelaskan:
“Pengertian rumah tradisional, yaitu suatu bangunan dimana struktur, cara pembuatan, bentuk, fungsi, dan ragam hiasnya mempunyai ciri khas tersendiri yang diwariskan secara turun-temurun, serta dipakai oleh penduduk daerah setempat untuk melakukan aktivitas kehidupan sebaik-baiknya”.
Arsitektur rumah adat Batak Karo berdasarkan anatomi konstruksinya
dapat dibagi kedalam tiga susunan, Achim Sibeth (1991) dalam Erdansyah (2011)
menjelaskan:
“The space for animals below the living level symbolizes the underworld. The
living level, raised on pillars above the underworld, Is where humans dwell. Above this is the high roof, which corresponds to the abode of the gods and also sometimes of the ancestors”.
Ruang untuk binatang di bawah lantai ruang keluarga melambangkan
dunia bawah. Lantai keluarga, yang berdiri di atas pilar-pilar di atas dunia bawah,
adalah tempat tinggal manusia. Di atasnya ada atap tinggi, yang sesuai dengan
tempat kediaman dewa (Tuhan) dan juga kadang-kadang nenek moyang.
Berdasarkan bidang kosmo rumah adat Batak Karo dapat dibagi ke dalam tiga
15
rumah), umpak (fondasi rumah),sendi-sendi (sambungan tiang), kemudian tangga
dan ture-ture (teras rumah).
Kolong rumah merupakan tempat yang kotor, sebab digunakan sebagai
tempat menyimpan kayu perapian, membuang sampah, membuang kotoran
manusia, kandang ternak, seperti kerbau, anjing, babi dan sampah organik lainnya,
jelasnya segala yang bersifat kotor akan diletakkan atau dibuang ke bawah.
Unsur-unsur tersebut merupakan komponen rumah yang menempati kosmo dunia
bawah.
Kedua, bagian tengah pada rumah adat terdiri dari dinding (derpih), pintu,
jendela, dan lubang angin (derpih angin) adalah tempat atau ruang bagi manusia
yang menghuni rumah tersebut. Bagi masyarakat tradisional pengaturan ruang
maupun bahan yang digunakan cenderung mengandung unsur-unsur simbolik.
Pada rumah adat Batak Karo setiap ruang tinggal memiliki nama tertentu berasal
dari pengaturan balok kayu rumah tersebut, dan sistem penamaan dihubungkan
dengan organisasi sosial di rumah tersebut. Termasuk penempatan balok kayu
horizontal diatur sedemikian rupa, ujungnya yang runcing menandai dasar dari
setiap balok kayu. Dasar kayu tersebut ada pada bagian bawah dari cabang pohon
yang kayunya diambil. Dasar balok kayu menempati sepanjang sisi timur dan
barat yang diarahkan ke utara, dan fondasi kayu menempati sepanjang sisi utara
ke selatan. Dengan demikian, semua balok kayu diarahkan ke arah sudut tenggara
rumah. Fondasi horizontal balok kayu mengarah pada sudut A dan ujung balok
kayu bagian atas nya mengarah ke sudut B. Berdasarkan pengaturan ini, kamar
16
1. Benakayu, pokok dari pohon
2. Ujungkayu, puncak pohon
3. Lepar benakayu, berlawanan dengan pangkal pohon
4. Lepar ujungkayu, lawan dengan ujung pohon
5. Sedapuren benakayu, membagi dapur dengan batang pohon
6. Sedapuren ujungkayu, membagi dapur dengan ujung pohon
7. Sedapuren leparbenakayu, membagi dapur berlawanan arah
dengan batang pohon
8. Sedapuren lepar ujungkayu, membagi dapur berlawanan arah
dengan ujung pohon.
Gambar 2.3 Denah Kamar pada rumah adat Batak Karo Sumber : Fuad Erdansyah 2011
Ketiga, bagian atas yang terdiri dari atap dan anak atap (tersek), ayo
(wajah rumah) dan anjungan. Bagian atas rumah adat Batak Karo, berdasarkan
komponen konstruksinya terdiri dari atap utama, atap bertingkat (tersek). ayo
17 Gambar 2.4 Rumah adat Batak Karo, model atap sada tersek (satu tingkat).
Sumber : Erdansyah 2011
Atap kedua disebut tersek. Secara estetik bentuk tersek ini menambah nilai
seni pada bagian atap bangunan rumah adat Batak Karo. Ukurannya lebih kecil
dan menggunakan ijuk seperti pada atap utama. Tersek ini berfungsi menambah
keindahan anatomi atap, juga sebagai tempat meletakan ayo rumah dan derpih
angin. Ayo atau wajah rumah terletak pada dua sisi tersek menghadap muka dan
belakang. Jumlah ayo rumah kadangkala bervariasi, ada yang terdiri dari dua ayo,
ada juga yang terdiri dari empat ayo. Jumlah ayo ini tergantung pada besar
kecilnya bangunan rumah adat. Pada bagian bawah ayo terdapat dinding kecil
terbuat dari papan yang disebut derpih angin. Derpih angin berfungsi sebagai
pengaturan sirkulasi udara agar asap dapur yang memerihkan mata dapat keluar
membumbung tinggi melewati derpih angin tersebut. Derpih angin ini terbuat
dari papan yang disusun sedemikian rupa dengan pola vertical serta memiliki
18 Ayo (wajah rumah) satu-satunya bidang rumah yang paling banyak
menggunakan unsur ragam hias (gerga). Pola geometris, dan motif flora dan fauna
dan motif kosmos sebagai motif utama. Konon dahulu itu terbuat dari kayu dan
hiasan diukir pada kayu tersebut. Pola segitiga dan peletakannya miring sama
seperti posisi kemiringan derpih rumah. Namun dalam perkembangannya, bagian
ayo rumah tersebut menggunakan anyaman bambu, dan motif-motif gerga
dilukiskan mengikuti tekstur anyaman bambu tersebut, sehingga pola geometris
semakin terlihat jelas. Untuk memperkuat letak ayo yang miring maka di setiap
sisinya dijepit dengan sebilah papan, dan pada tepian papan diukirkan motif
ipen-ipen (gerigi) sekaligus memperindah papan tersebut. Pada bagian atas rumah
terdiri dari tiang atau balok-balok kayu yang disusun secara vertikal, diagonal dan
horizontal. Susunan balok kayu demikian merupakan rangka atau penyangga
bidang atap rumah dan bertumpu pada tiang utama yang disebut binangun. Pada
bagian berikutnya terdapat delapan batang balok besar disebut tekang berdiameter
30 cm. Pemasangan tekang sering dilakukan dengan upacara tertentu. Dalam gaya
rumah modern tekang ini sama artinya dengan kuda-kuda berupa kayu yang cukup
kuat.
2.2.1. Bentuk, Simbol Gerga dan Pemaknaannya
Gerga sebagai ragam hias Batak Karo lahir atas dorongan kebutuhan
estetik yang telah berakar sejak berabad-abad silam, bahkan dorongan ini muncul
bersama pengetahuan tradisi lainnya. Sistem kekerabatan dan sistem
19
rumah adatnya, Kedua sistem ini berkembang dan kemudian membentuk pranata
sosial menjadi dasar kebudayaan masyarakat Batak Karo,
Fungsi ragam hias tersebut kadangkala mengandung makna-makna
tertentu yang bersifat simbolik. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek
kebudayaan, simbol-simbol tersebut merupakan representasi perasaan, pikiran
atau juga pandangan hidup masyarakatnya. Setiap simbol harus ditempatkan
terlebih dahulu dalam kebudayaan suku berdasarkan habitat budayanya.
Simbol-simbol seni pra-modern adalah Simbol-simbol-Simbol-simbol kolektif kepercayaan suku. Hal ini
sama seperti simbol-simbol dalam agama Kristen atau Islam (Sumardjo, 2006:46
dalam Erdansyah 2011).
Berdasarkan keberadaanya, gerga menempati bidang-bidang yang
terstruktur pada rumah adat Batak Karo mulai dari bagian bawah, bagian tengah,
hingga bagian atas. Tetapi secara terpisah, bahwa gerga mengandung unsur-unsur
rupa dan berdasarkan prinsip-prinsip kesenirupaan menghadirkan makna
artifisialnya sendiri (denotatif). Pola estetika lainnya terbentuk dari interaksi sosial
berdasarkan rakut sitelu dan sistem kepercayaannya. Peran tokoh Rakut Sitelu
adalah Kalimbubu. Kalimbubu dalam kehidupan sehari-hari bahkan sering disebut
sebagai di bata ni idah (Tuhan yang kelihatan) (Prinst, 2004:51 dalam Erdansyah
2011)
Kalimbubu juga memegang peranan penting dalam kaitannya dengan
rumah adat. Dalam ritual pendirian rumah misalnya, tidak hanya dukun yang
20
“The site of the house is chosen by divination. This rite is carried out not by a
priest or older but by a female Kalimbubu of the head of the house (pengulu
rumah) who will later occupy the “base” apartmen” (Singarimbun, 1975:67
dalam Erdansyah 2011)
Letak rumah dipilih dengan ramalan. Ramalan ini tidak berasal dari dukun
atau tetua namun dari kalimbubu wanita dari kepala rumah tersebut (pengulu
rumah) yang nantinya menempati ruang tinggal dasar.) Pola tiga rakut sitelu dapat
dikatakan sebagai jantung kebudayaan Batak Karo; ketiganya menggerakkan
sistem sosial dan membentuk pranata sosial yang kemudian membentuk sistem
kebudayaannya, termasuk unsur-unsurnya. Unsur-unsur yang dimaksud adalah
kesenian, gerga, dan rumah adat, yang semuanya dilandasi konsep pola tiga.
Dengan demikian pola tiga ikut mendasari dalam konsep estetikanya.
Dalam dunia antropologi, kepercayaan masyarakat kuno ini berkembang
namun tidak hilang bahkan berjalan bersama dengan sistem kepercayaan lainnya.
Wilken menyebutkan keberadaan Tuhan dan makhluk-makhluk halus termasuk
roh lainnya, sama-sama menempati
seluruh alam, dan menjadi dasar kepercayaan dari semua umat manusia
(Sumardjo, 2006:170 dalam Erdansyah 2011).
Keberadaan gerga dan rumah adat, tidak terlepas dari konsep simbolik
kepercayaan kosmologi Batak Karo. Oleh karena itu konsep estetika masyarakat
Batak Karo juga menempati ruang metakosmos yaitu semula jadi nabolon (Batak
21
Dalam metakosmos Tuhan menguasai tiga ruang jagad raya, yaitu debata
datas, debata tengah dan debata teruh. Keberadaan gerga pada rumah adat, dapat
diklasifikasikan menurut motifnya dan menurut penempatannya pada rumah adat.
Kedua aspek tinjauan ini merupakan aspek semiologis yang menguraikan makna
denotasi dan makna konotasi berdasarkan pola estetika Batak Karo.
Unsur-unsur rupa pada gerga terdiri dari garis, bidang, ruang dan tekstur.
Unsur-unsur ini membentuk kesatuan artfisial denotatif. Unsur garis dan
bentuknya menunjukan benang merah yang menghubungkan kebudayaan Batak
Karo dengan kebudayaan megalitikum. Oleh karena itu unsur garis pada gerga
akan dilihat berdasar ciri dan kesamaannya dengan bentuk ragam hias pada masa
kebudayaan megalitikum. Motif garis yang membentuk pola gemoetris, seperti pilin “S” lingkaran memusat, garis lurus bersambung, garis lurus terputus, garis
lengkung, garis patah, dan garis segitiga runcing (tumpal), juga terdapat pada
gerga. Berdasarkan wujudnya seperti pola geometrik, pola stilasi tumbuhan dan
hewan yang muncul secara berulang (repetition), maka gerga mengandung makna
denotatif yang memberikan kepuasan estetik atau kepuasaan keindahan. Demikian
juga sebaliknya, estetika rumah adat tidak hanya dilihat berdasarkan seni
bangunannya semata (arsitektur), melainkan juga memperhatikan unsur gerga
pada rumah adat tersebut.
Dengan demikian makna simbolik gerga dapat dilihat melalui analisis
interpretif dan pendekatan kebudayaannya. Untuk itu gerga diklasifikasikan ke
22
keadaannya, tingkat pembagian gerga dimulai dari bagian melmelen (tingkat yang
bawah), derpih (tingkat tengah), dan ayo dan anjungan ( tingkat atas).
1. Gerga pada melmelen
Posisi melmelen (palang dapur) tepat sejajar dengan lantai. Secara estetis
melmelen dikategorikan sebagai wilayah bawah. Motif-motif yang terdapat
pada melmelen ini adalah motif-motif Tapak Raja Sulaiman, Bindu Natogog,
Embun Sikawiten, Bunga Gundur dan Pantil Manggis, Teger Tudung, dan Takal Dapur.
i) Motif Tapak Raja Sulaiman
Motif gerga tapak Raja Sulaiman adalah motif yang sangat dikenal oleh
masyarakat Batak Karo juga Simalungun. Kata Sulaiman adalah nama
seorang dukun sakti yang melegenda. Konon dukun tersebut mampu
mengobati putri raja yang sakit tak kunjung sembuh. Sang dukun melakukan
pengobatan dengan cara menyembelih ayam. Darah ayam tersebut
digunakan untuk membuat garis di tanah seperti melukis. Dengan cara itu
kemudian putri raja tersebut sembuh, raja kemudian memerintahkan
pengawalnya untuk membuat lukisan dari darah ayam itu pada sebidang
papan. Dalam perkembangannya motif (lukisan darah) itu dilukiskan pada
23 Gambar 2.5 Motif Tapak Raja Sulaiman
Sumber : http://3.bp.blogspot.com/tapak+raja+sulaiman.jpg
Motif tersebut diyakini sebagai ingan kundul (tempat duduk) dukun Raja
Sulaiman. Raja Sulaiman menjadi personifikasi dukun. Kekuatannya ada
yang terindra dan ada yang tak terindra. Dari sumber lain, Sulaiman adalah
seorang nabi yang dikenal dalam Kristen maupun Islam. Dalam agama
tersebut, Nabi Sulaiman adalah orang yang diberi kelebihan oleh Tuhan
(Allah) yang jauh melebihi kemampuan manusia biasa. Bahkan diceritakan
bahwa Nabi Sulaiman adalah manusia yang diutus Tuhan untuk kebaikan
umat manusia. Ia dianugrahi kemampuan sama dengan semua makhluk di
dunia, termasuk dengan semua jenis hewan. Sehubungan cerita tentang Nabi
Sulaiman ini besar kemungkinan gerga Tapak Sulaiman bukanlah gerga
yang lahir pada zaman prasejarah. Sebab makna yang terkandung dalam
gerga tersebut merupakan makna konotasi yang menyiratkan objek nyata,
yaitu Nabi Sulaiman. Motif gerga ini dipercaya dapat menyembuhkan
berbagai penyakit, penolak racun, penyembuh gatal-gatal; bahkan alat-alat
24 i) Motif Bindu Natogog
Bindu dalam kamus Batak Karo adalah suatu ukiran dari papan yang
dipasang pada pintu masuk rumah adat sebagai pegangan masuk ke rumah,
dalam pustaka Batak kata tersebut merupakan panggilan pada ibu dan ayah
yaitu suami-istri yang kawin sumbang (kawin tidak direstui secara adat)
sehingga menimbulkan kemarau yang berkepanjangan (Prinst, 2004:89
dalam Erdansyah 2011), sedangkan natogog berasal dari kata matagah
nama suatu ukiran kayu. Ada kemungkinan kata matagah ini berasal dari
kata meteguh yang berarti kuat. Bindu Natogog merupakan pasangan dari
Tapak Raja Sulaiman. Menurut legenda bahwa Bindu Natogog merupakan
istri dari Raja Sulaiman, sehingga penempatan gerga ini diletakkan secara
berdampingan. Gerga Bindu natogog merupakan deformasi bentuk dari
Raja Sulaiman. Motifnya berupa garis bersilang dan saling mengkait,
melambangkan kekuatan kesatuan dan keutuhan. Sebagai alat pegangan
pada pintu rumah adat justru adalah cikepen pengalo-alo. Sebagai pegangan
bagi tamu yang berkunjung. Dengan demikian bindu natogog adalah sebuah
pesan mengingatkan tentang mitos atau legenda tentang adat perkawinan
yang sumbang dapat menyebabkan bencana seperti kemarau panjang.
Gambar 2.6 Motif Bindu Natogog
25 ii) Motif Embun Sikawiten
Embun sikawiten mengandung arti kemakmuran dengan adanya pengertian
embun beriring. Fungsinya tidak mengandung unsur mistis, tetapi hanya
sebagai hiasan. Ornamen ini dibuat secara berulang-ulang untuk menghiasi
bidang melenmelen. Pada ujung ikal terdapat hiasan cekili kambing dan
tulak paku sebagai unsur hiasan. Perpaduan sulur dengan cekili kambing ini
disebut embun sikawiten. Kedua ornamen ini dibuat mendampingi motif
Tapak Raja Sulaiman sebagai penambah keindahan. Sering dipergunakan
seniman sebagai hiasan pembagi bidang simetris. Ornamen ini dianggap
sebagai simbol keindahan, kemakmuran dan tidak mengandung unsur
mistik, tetapi hanya berfungsi sebagai hiasan.
Gambar 2.7 Motif Embun Sikawiten Sumber : https://s-media-cache-ak0.pinimg.com
iii) Motif Bunga Gundur dan Pantil Manggis
Orang Batak Karo tidak asing mendengar kata motif bunga gundur dan
pantil manggis (bunga gundur dan buah manggis), sebab nama tersebut
adalah nama buah-buahan yang sering dimakan oleh masyarakat. Bunga
26
dikenal oleh masyarakat Karo. Bahkan buah manggis memiliki arti yang
sangat simbolik pada sifat manusia yang berbuat baik, seperti pepatahnya
“hitam-hitam si buah manggis, meki hitam tetapi manis.”Motif gerga
merupakan sulur-sulur tumbuhan yang merupakan garis lengkung dan
diulang secara teratur. Selanjutnya pada ujung daun terdapat putik bunga
gundur. Sulur-sulur ini adalah deformasi yang sederhana dari daun gundur
yang sesungguhnya. Pola hiasan yang disebut gerga ini disusun dan
ditempatkan secara horizontal sesuai gelombang daun bunga gundur.
Bentuk yang sederhana ini merupakan tindakan kreatif untuk mengatasi
kerumitan teknis dalam mencapai keserasian bentuk harmoni dan
estetikanya, untuk memperteguh kesatuan komposisi hiasan ini diapit oleh
pola geometrik yaitu motif tutup dadu yang melintang horizontal di atas dan
bawah. Kemudian pada bagian atas terdapat empat buah motif tulak paku
secara berpasangan. Gerga ini tidak mengandung unsur mistik, tetapi hanya
sebagai simbol keindahan dan hiasan berdampingan dengan tapak Raja
Sulaiman.
Gambar 2.8 Motif Pantil Manggis
27 iv) Teger Tudung
Teger Tudung dalam kamus Karo adalah tutup kepala wanita yang kedua
ujungnya tegak ke atas. (Darwan, 2002 dalam Erdansyah 2011). Polanya
seperti ujung daun tumbuhan yang berdaun lebar dan juga seperti bentuk
motif kubah yang diapit kubah kecil di kanan dan kirinya. Motif teger
tudung tidak banyak terdapat stilasi tumbuhan. Di tengahnya terdapat tiga
kelopak bunga seperti cekili kambing. Meskipun dalam kamus diartikan
sebagai pencitraan wanita, tetapi bagi masyarakat Karo justru
melambangkan ketampanan dan kewibawaan (laki-laki). Gerga ini dibuat
untuk hiasan tengah melmelen pada pangkal dan ujungnya. Menurut
keterangan lain ornamen ini juga melambangkan keagungan, dan letaknya
berdekatan dengan tapak Raja Sulaiman, (Erdansyah, 2011).
v) Motif Tutup Dadu dan Cimba Lau
Tutup Dadu secara harfiah berarti tutup yang digunakan pada alat
permainan judi dadu. Tutup dadu umumnya terbuat dari tempurung kelapa,
dan biji dadu terbuat dari tulang. Cimba Lau adalah alat untuk menciduk
air yang terbuat dari bambu; tingginya 35 cm dengan diameter 8 cm.
Cimba lau ini dipergunakan untuk tempat air langir (air keramas) bagi
anak perana/singuda-nguda (perjaka/ gadis). Benda tersebut diyakini
membawa kebaikan dan keselamatan bagi putra-putri mereka dalam
pergaulannya. Cimba Lau juga digunakan sebagai tempat air minum dan
28
Pola Tutup Dadu adalah setengah lingkaran secara berjejer dan tidak
terpisah dengan bidang di sampingnya. Pola setengah lingkaran saling
mengisi dengan latarnya. Pola yang sama secara berulang melahirkan citra
oposisi dari latarnya sendiri. Teknik perupaannya cukup sederhana.
Pembuatnya adalah orang yang sering diminta untuk mengerjakan
benda-benda seni kerajinan, bahkan pande ini juga mengerjakan ukir-ukiran
gerga pada bidang melmelen rumah adat. Hal yang lazim bagi orang Karo
mempunyai kenangan yang kuat dari barang atau benda-benda lain,
sehingga senang memberi nama sesuatu termasuk nama putra-putrinya
berdasarkan benda-benda yang dilihat, atau yang digunakan sehari-hari.
Nama motif gerga kebanyakan diambil dari nama suatu benda yang
menjadi kebutuhan sehari-hari. Kemudian benda tersebut diberi makna
sesuatu, baik karena fungsinya maupun karena dorongan nalurinya
(sugesti), sehingga benda tersebut membawa manfaat yang baik jika
digunakan.
vi) Motif Takal Dapur
Takal Dapur berarti kepala dapur. Gerga ini pada umumnya berbentuk
seperti tulak paku. Teknik pembuatannya seperti mendekati patung dengan
bentuk seperti manusia raksasa menyerupai kuda. Takal dapur di
Kabupaten Karo ada dua jenis, yaitu berbentuk kuda dan berbentuk tulak
paku. Takal dapur yang berbentuk kuda kini sudah jarang ditemukan,
tetapi masih ada di kampung Bintang Meriah. Bentuk Takal dapur masih
29 tulak paku ini masih terlihat pada rumah adat di desa Dokan. Gerga Takal Dapur yang terdapat di Desa Lingga, bentuknya lebih sederhana dengan
pola setengah lingkaran atau lonjong (oval). Gerga ini mengandung arti
tuah manusia sebagai kemuliaan. Sebagian orang mengatakan sebagai
lambang kebesaran dan keagungan manusia. Fungsinya selain untuk
memperkuat sudut rumah, juga diyakini dapat menambah umur panjang.
Oleh karena itu digambarkan punggungnya bungkuk seperti gunduk pakis
(bunga pakis).
2. Gerga Pada Derpih (Dinding) Rumah Adat Batak Karo
Gerga yang terletak di bagian tengah rumah adat Batak Karo jumlahnya lebih
sedikit daripada gerga yang di bawah. Penempatan gerga di sini terletak pada
bagian derpih, pintu rumah, dan sudut rumah. Motif gerga-gerga tersebut
adalah Cikepen Pengaloalo, Pengretret, dan Cuping-cuping. Gerga Cikepen
Pengalo-ngalo terdapat pada bagian tengah dan terletak di sisi pintu berfungsi
sebagai pegangan ketika hendak memasuki rumah, Pengretret berfungsi
sebagai pengikat dinding, dan Cuping-cuping yang terletak pada sudut rumah
tidak memiliki fungsi konstruksi, melainkan berfungsi simbolik.
i) Motif Cikepen Pengalo-ngalo
Kata “Cikepen” dalam bahasa Batak Karo berarti pegangan, dan “pengalo
-ngalo” berarti menyambut. Secara harfiah, Cikepen Pengalo-ngalo berarti
pegangan bagi para tamu, agar dapat dengan mudah dan aman memasuki
30 Cikepen Pengalo-ngalo merupakan simbol bagi tamu, karena setiap tamu
yang datang selalu memegang ukiran tersebut. Ukuran pintu yang rendah
dengan lebar 60 cm dan tinggi 100 cm letaknya miring mengikuti dinding.
Membungkukkan badan adalah perilaku sekaligus lambang penghormatan
kepada pemilik rumah. Gerga ini merupakan hiasan pada dua sepasang kayu
yang terletak di sisi kanan dan kiri pintu. Bentuknya berupa ukiran dengan
kombinasi bergerigi dan bergelombang seperempat lingkaran secara
berulang (repetition) menyerupai bentuk ipen-ipen (gigi-gigi). Fungsi lain
Cikepen Pengalo-ngalo adalah untuk pegangan bagi ibu yang melahirkan
bayi. Ia memegang Cikepen Pengalo-ngalo sambil duduk di atas danggulen.
ii) Motif Pengretret
Derpih atau dinding rumah adalah bidang yang penting pada rumah adat
sebagai penyekat udara dingin. Masyarakat tradisional Batak Karo meyakini
bahwa kekuatan magis dapat dihembuskan dari luar, masuk ke dalam rumah
melalui celah-celah derpih dan masuk menyerang penghuni rumah.
Pengretret adalah nama binatang mitos bagi orang Batak Karo; binatang ini
sejenis cecak, tetapi memiliki dua kepala. Dalam mitos masyarakat Batak
Karo, hewan ini terdapat di hutan yang dipercaya dapat membantu
menunjukkan jalan pulang bagi orang yang tersesat di hutan. Oleh karena
itu motif hewan ini disebut sebagai makhluk legenda. Masyarakat Batak
Toba menyebut pengretret ini dengan “brihaspati” (Sanskerta) yang
menunjukkan sifat kedewataan. Di India nama brihaspati dipakai untuk
31
2011). Motif Pengretret ini terbuat dari tali ijuk berwarna hitam, tali
tersebut dirajutkan dengan cara melubangi derpih rumah membentuk
segitiga wajid dan sekaligus sebagai pengikat derpih. Pola yang terbentuk
dari tali itu adalah pola geometris yang berulang dan sama pada semua
sisinya. Pada setiap kepala pengretret terdapat sepasang organ tubuh seperti
kaki, dan masing-masing ujung kaki terdapat tiga buah jari. Pengretret
diletakkan secara horizontal pada derpih rumah di samping kedua sisi pintu.
Ukuran panjang motif gerga pengretret seluruhnya sekitar ± 400 cm dan
lebar ± 15–20 cm. Motif ini sangat khas bagi masyarakat Batak pada
umumnya, sebab setiap puak Batak memperlakukan motif ini sebagai
simbol magis.
Gambar 2.9 Gerga motif Pengretret pada dinding rumah, sekaligus sebagai pengikat dinding papan.
Sumber : Erdansyah 2011
Fungsi magis pengretret adalah untuk menangkal setan dan roh jahat. Dua
kepalanya yang memiliki bentuk dan ukuran yang sama merupakan simbol
kejujuran masyarakat Karo, yaitu satu kata dengan perbuatan. Dua sisi