• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi Budaya Karo Terhadap Tipologi Gereja Katolik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Adaptasi Budaya Karo Terhadap Tipologi Gereja Katolik"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya Masyarakat Karo

2.1.1. Sosial budaya masyarakat Batak Karo

Ada dua hal yang menjadi keunikan dalam kebudayaan suku Batak Karo, yaitu sistem kepercayaan (religi) dan sistem kekerabatan. Untuk menjalankan kepercayaannya, orang Batak Karo terlebih dahulu melakukan ritual. Semua jenis ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap penghormatan kepada roh-roh nenek moyangnya untuk menjamin keselamatan bagi keluarga yang masih hidup.

Gambar 2.1 Tari-tarian masyarakat Karo sering Digunakan dalam upacara ritual ± tahun 1900 (Sumber : K.I. Museum Amsterdam, Capture)

(2)

9 yang makan sirih. Lalu bersama seluruh keluarga mereka duduk menghadap pohon sambil meratap, menangis, dan menyatakan seluruh perasaannya tentang arwah orang yang meninggal dunia tersebut.

Orang Batak Karo memiliki kepercayaan bahwa rumah adat merupakan tempat bersemayamnya roh para leluhur maupun dewa-dewa. Oleh karena itu, membangun rumah adat adalah sama seperti membuat “rumah tinggal” para makhluk gaib. Di rumah ini roh-roh leluhur akan bersemayam selamanya. Mereka secara sungguh-sungguh membuat seperangkat ritual dalam proses pendirian rumah adat tersebut, dan prosesnya dilakukan secara bersamaan dan gotong royong baik bersama keluarga inti maupun masyarakat kampung setempat.

Masri Singarimbun (1975) dalam Erdansyah (2011) menjelaskan :

A number of complex ritual and ceremony are performed at successive stages

during the building of a housingthe side, selecting and felling the strees erecting the piles

and establishing the hearths in certain circumstances, the occupants of the house

constitute a ritual group”.

Sejumlah ritual dan upacara yang kompleks diselenggarakan secara bertahap dan berurutan selama membangun sebuah rumah mulai dari memilih lokasi, menyeleksi dan menebang kayu-kayu pohonya, menegakkan rumah tangga. Pada kondisi tertentu, pendiri rumah tersebut melakukan sebuah rangkaian dari kumpulan ritual.

(3)

10 kalender Batak (katika), bahwa ada delapan penjuru mata angin sebagai pedoman orang Karo, termasuk dalam kaitanya dengan pendiri rumah. Sikap kehati-hati ini juga salah satu yang mendorong perilaku orang Karo melakukan ritual. Dalam kaitanya dengan penebangan kayu sebagai tiang rumah, peranan seorang dukun atau guru dibutuhkan sebagai penghubung ke dunia magis, cara yang dilakukan adalah dengan meletakkan sesajian berupa belo selambar atau daun sirih lengkap dengan kapur dan tembakaunya di bawah kayu nderasi dan kayu serbenaik yang akan ditebang. Aturan lainnya juga yang terkait dengan penempatan letak rumah tdak boleh di atas batu besar, dan harus mengharap arah aliran sungai di satu kampung yaitu menghadap kenjulu (hulu) dan kenjahe (hilir) sampai proses mendirikan rumah. Setelah itu memasuki rumah baru, maka mereka melakukan ritual pemujaan kepada kekuatan gaib, roh, atau makhluk halus lainnya diberikan keselamatan, kedamaian, kesejahteraan bagi penghuninya.

Hubungan makrokosmos mengambarkan adanya kekuatan di belakang proses mendirikan rumah, yaitu: (a) Kekuatan gaib yang berada di bumi, (b) Kekuatan gaib yang berada di rumah, (c) Kekuatan gaib yan berada pada makhluk halus atau gaib. Kekuatan gaib ini kemudian direpresentasikan pada diri penghuninya. Orang batak Karo mempercayai bahwa terdapat makhluk-makhluk legenda yang mempunyai kekuatan gaib yang tidak terlihat ataupun yang terlihat. Makhluk yang tidak terlihat disebut sebagai makhluk halus yang menyerupai manusia dan binatang dan ada juga yang berasal dari arwah maupun dewa alam (semula jadi). Makhluk-makhluk gaib yang menguasai dunia bawah, yaitu dunia

(4)

11 makhluk yang menyerupai binatang cecak yang memiliki dua kepala disebut oleh orang Batak Karo pengretret. Hewan-hewan legenda tersebut bagi orang Batak Karo kuno merupakan penjelmaan roh-roh yang menguasai dunia bawah, yang akan melindungi manusia dari kekuatan-kekuatan jahat maupun yang bersifat magis.

Tranformasi bentuk-bentuk makhluk tersebut dalam temuan para arkeolog adalah perwujudan estetika manusia purba berdasar kepercayaan sinkret yang berkembang antara agama asli dengan pengaruh Hindu. Konsep estetika manusia prasejarah dalam dunia arkeologi terbagi ke dalam tiga sifat-sifat dalam kosmologi manusia pada masa itu, yaitu sifat sakral menempati posisi tertinggi yang menggambarkan kekuatan yang tak terindra, kemudian semisakral yaitu yang menghubungkan dunia bawah dengan dunia atas, dan yang terakhir adalah profane.(Sukendar, 2004 dalam Erdansyah, 2011).

Simbol-simbol tersebut terdapat dalam berbagai peninggalan artefak-artefak kuno. Konsep primitive ini merupakan kebudayaan manusia yang berkembang dan secara bersama-sama bersentuhan dengan sistem-sistem kepercayaan baru, seperti Hindu-Budha dan Islam.

2.1.2. Sistem Organisasi Kemasyarakatan dan Kekerabatan Masyarakat

Batak Karo

(5)

12 membentuk pranata sosial dengan menempatkan tiga unsur keluarga yaitu pihak pemberi dara disebut kalimbubu dan pihak penerima dara disebut anak beru dan pihak saudara dari kedua belah pihak masing-masing disebut senina. Ketiga unsur keluarga ini membentuk sistem kekerabatan yang menjadi tradisi masyarakat Batak Karo. Masing-masing unsur keluarga dalam sistem rakut sitelu memiliki perannya masing-masing. Kalimbubu adalah pihak yang paling dihormati dan memegang peranan sebagai penasihat atau konsultan yang berkaitan dengan peristiwa adat seperti perkawinan, pendirian rumah, atau juga pada peristiwa kematian.

Sistem kekerabatan lain yang turut mempererat hubungan kekerabatan adalah “marga”. Bagi masyarakat Batak pada umumnya, marga menjadi panggilan

yang terhormat bagi seseorang. Penempatan marga diletakkan di belakang nama pertama, misalkan Gunawan Tarigan, Gunawan (nama pertama), Tarigan (marga). Bahkan dalam pergaulan sehari-hari, panggilan marga pada seorang suku Batak merupakan hal yang lazim.

(6)

13 Jumlah marga dan sub marga pada orang Batak Karo cukup banyak, sehingga pada 3 Desember 1995 atas Keputusan Kongres Kebudayaan Karo ditetapkan pemakaian marga hanya berdasarkan “marga silima” yaitu Ginting, Karo-Karo, Peranginangin, Sembiring, dan Tarigan. (Prinst, 2004 dalam Erdansyah, 2011).

Di atas telah dijelaskan, bahwa sistem kekerabatan masyarakat Karo dapat dilihat dari penggunaan marga, termasuk kedudukan dan fungsinya dalam adat istiadat telah diatur secara turun-temurun. Demikian juga status keluarga (Kinship) juga di atur oleh adat istiadat berdasarkan ruang ketika berada di dalam rumah adat (jabu). Berdasarkan posisi ruang yang mereka tempati, maka seorang kepala keluarga akan menjalankan segala fungsi kewajiban dan haknya berdasarkan adat istiadat. Sistem kekerabatan Batak Karo merupakan implementasi dari sifat gotong royong dan kebersamaan dalam praktik kehidupan sosial dan spiritual.

2.2. Arsitektur Karo

Rumah adat Batak Karo yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan di Kabupaten Karo sudah berdiri sejak beberapa abad silam. Kehadirannya merupakan simbol ekspresi kebudayaan masyarakat Batak Karo atas dorongan kebutuhan masyarakat tradisional Batak Karo menjalankan fungsi-fungsi kebudayaannya.

Kata “rumah” dalam pengertian orang Batak Karo sering menunjukkan

(7)

14 keluarga. Hakikat rumah dalam pengertian orang Karo adalah tempat berlangsungnya kehidupan keluarga. Dalam rumah adat orang Karo terdapat aturan-aturan dan adat istiadat yang mengatur kehidupan dalam hubungannya dengan kosmologi. Rumah adat Batak Karo adalah satu di antara bangunan-bangunan tradisional lainnya, dalam kaitan ini. Abdul Azis (2004) dalam Erdansyah (2011) menjelaskan:

“Pengertian rumah tradisional, yaitu suatu bangunan dimana struktur, cara

pembuatan, bentuk, fungsi, dan ragam hiasnya mempunyai ciri khas tersendiri yang diwariskan secara turun-temurun, serta dipakai oleh penduduk daerah setempat untuk melakukan aktivitas kehidupan sebaik-baiknya”.

Arsitektur rumah adat Batak Karo berdasarkan anatomi konstruksinya dapat dibagi kedalam tiga susunan, Achim Sibeth (1991) dalam Erdansyah (2011) menjelaskan:

The space for animals below the living level symbolizes the underworld. The

living level, raised on pillars above the underworld, Is where humans dwell.

Above this is the high roof, which corresponds to the abode of the gods and also

sometimes of the ancestors.

(8)

15 rumah), umpak (fondasi rumah), sendi-sendi (sambungan tiang), kemudian tangga

dan ture-ture (teras rumah).

Kolong rumah merupakan tempat yang kotor, sebab digunakan sebagai tempat menyimpan kayu perapian, membuang sampah, membuang kotoran manusia, kandang ternak, seperti kerbau, anjing, babi dan sampah organik lainnya, jelasnya segala yang bersifat kotor akan diletakkan atau dibuang ke bawah. Unsur-unsur tersebut merupakan komponen rumah yang menempati kosmo dunia bawah.

(9)

16 1. Benakayu, pokok dari pohon

2. Ujungkayu, puncak pohon

3. Lepar benakayu, berlawanan dengan pangkal pohon 4. Lepar ujungkayu, lawan dengan ujung pohon

5. Sedapuren benakayu, membagi dapur dengan batang pohon 6. Sedapuren ujungkayu, membagi dapur dengan ujung pohon

7. Sedapuren leparbenakayu, membagi dapur berlawanan arah dengan batang pohon

8. Sedapuren lepar ujungkayu, membagi dapur berlawanan arah dengan ujung pohon.

Gambar 2.3 Denah Kamar pada rumah adat Batak Karo Sumber : Fuad Erdansyah 2011

(10)

17

Gambar 2.4 Rumah adat Batak Karo, model atap sada tersek (satu tingkat). Sumber : Erdansyah 2011

(11)

18 Ayo (wajah rumah) satu-satunya bidang rumah yang paling banyak

menggunakan unsur ragam hias (gerga). Pola geometris, dan motif flora dan fauna dan motif kosmos sebagai motif utama. Konon dahulu itu terbuat dari kayu dan hiasan diukir pada kayu tersebut. Pola segitiga dan peletakannya miring sama seperti posisi kemiringan derpih rumah. Namun dalam perkembangannya, bagian ayo rumah tersebut menggunakan anyaman bambu, dan motif-motif gerga

dilukiskan mengikuti tekstur anyaman bambu tersebut, sehingga pola geometris semakin terlihat jelas. Untuk memperkuat letak ayo yang miring maka di setiap sisinya dijepit dengan sebilah papan, dan pada tepian papan diukirkan motif ipen-ipen (gerigi) sekaligus memperindah papan tersebut. Pada bagian atas rumah

terdiri dari tiang atau balok-balok kayu yang disusun secara vertikal, diagonal dan horizontal. Susunan balok kayu demikian merupakan rangka atau penyangga bidang atap rumah dan bertumpu pada tiang utama yang disebut binangun. Pada bagian berikutnya terdapat delapan batang balok besar disebut tekang berdiameter 30 cm. Pemasangan tekang sering dilakukan dengan upacara tertentu. Dalam gaya rumah modern tekang ini sama artinya dengan kuda-kuda berupa kayu yang cukup kuat.

2.2.1. Bentuk, Simbol Gerga dan Pemaknaannya

(12)

19 rumah adatnya, Kedua sistem ini berkembang dan kemudian membentuk pranata sosial menjadi dasar kebudayaan masyarakat Batak Karo,

Fungsi ragam hias tersebut kadangkala mengandung makna-makna tertentu yang bersifat simbolik. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek kebudayaan, simbol-simbol tersebut merupakan representasi perasaan, pikiran atau juga pandangan hidup masyarakatnya. Setiap simbol harus ditempatkan terlebih dahulu dalam kebudayaan suku berdasarkan habitat budayanya. Simbol-simbol seni pra-modern adalah Simbol-simbol-Simbol-simbol kolektif kepercayaan suku. Hal ini sama seperti simbol-simbol dalam agama Kristen atau Islam (Sumardjo, 2006:46 dalam Erdansyah 2011).

Berdasarkan keberadaanya, gerga menempati bidang-bidang yang terstruktur pada rumah adat Batak Karo mulai dari bagian bawah, bagian tengah, hingga bagian atas. Tetapi secara terpisah, bahwa gerga mengandung unsur-unsur rupa dan berdasarkan prinsip-prinsip kesenirupaan menghadirkan makna artifisialnya sendiri (denotatif). Pola estetika lainnya terbentuk dari interaksi sosial berdasarkan rakut sitelu dan sistem kepercayaannya. Peran tokoh Rakut Sitelu adalah Kalimbubu. Kalimbubu dalam kehidupan sehari-hari bahkan sering disebut sebagai di bata ni idah (Tuhan yang kelihatan) (Prinst, 2004:51 dalam Erdansyah 2011)

Kalimbubu juga memegang peranan penting dalam kaitannya dengan

(13)

20

“The site of the house is chosen by divination. This rite is carried out not by a

priest or older but by a female Kalimbubu of the head of the house (pengulu

rumah) who will later occupy the “base” apartmen” (Singarimbun, 1975:67

dalam Erdansyah 2011)

Letak rumah dipilih dengan ramalan. Ramalan ini tidak berasal dari dukun atau tetua namun dari kalimbubu wanita dari kepala rumah tersebut (pengulu rumah) yang nantinya menempati ruang tinggal dasar.) Pola tiga rakut sitelu dapat dikatakan sebagai jantung kebudayaan Batak Karo; ketiganya menggerakkan sistem sosial dan membentuk pranata sosial yang kemudian membentuk sistem kebudayaannya, termasuk unsur-unsurnya. Unsur-unsur yang dimaksud adalah kesenian, gerga, dan rumah adat, yang semuanya dilandasi konsep pola tiga. Dengan demikian pola tiga ikut mendasari dalam konsep estetikanya.

Dalam dunia antropologi, kepercayaan masyarakat kuno ini berkembang namun tidak hilang bahkan berjalan bersama dengan sistem kepercayaan lainnya. Wilken menyebutkan keberadaan Tuhan dan makhluk-makhluk halus termasuk roh lainnya, sama-sama menempati

seluruh alam, dan menjadi dasar kepercayaan dari semua umat manusia (Sumardjo, 2006:170 dalam Erdansyah 2011).

(14)

21 Dalam metakosmos Tuhan menguasai tiga ruang jagad raya, yaitu debata datas, debata tengah dan debata teruh. Keberadaan gerga pada rumah adat, dapat diklasifikasikan menurut motifnya dan menurut penempatannya pada rumah adat. Kedua aspek tinjauan ini merupakan aspek semiologis yang menguraikan makna denotasi dan makna konotasi berdasarkan pola estetika Batak Karo.

Unsur-unsur rupa pada gerga terdiri dari garis, bidang, ruang dan tekstur. Unsur-unsur ini membentuk kesatuan artfisial denotatif. Unsur garis dan bentuknya menunjukan benang merah yang menghubungkan kebudayaan Batak Karo dengan kebudayaan megalitikum. Oleh karena itu unsur garis pada gerga akan dilihat berdasar ciri dan kesamaannya dengan bentuk ragam hias pada masa kebudayaan megalitikum. Motif garis yang membentuk pola gemoetris, seperti pilin “S” lingkaran memusat, garis lurus bersambung, garis lurus terputus, garis

lengkung, garis patah, dan garis segitiga runcing (tumpal), juga terdapat pada gerga. Berdasarkan wujudnya seperti pola geometrik, pola stilasi tumbuhan dan

hewan yang muncul secara berulang (repetition), maka gerga mengandung makna denotatif yang memberikan kepuasan estetik atau kepuasaan keindahan. Demikian juga sebaliknya, estetika rumah adat tidak hanya dilihat berdasarkan seni bangunannya semata (arsitektur), melainkan juga memperhatikan unsur gerga pada rumah adat tersebut.

(15)

22 keadaannya, tingkat pembagian gerga dimulai dari bagian melmelen (tingkat yang bawah), derpih (tingkat tengah), dan ayo dan anjungan ( tingkat atas).

1. Gerga pada melmelen

Posisi melmelen (palang dapur) tepat sejajar dengan lantai. Secara estetis melmelen dikategorikan sebagai wilayah bawah. Motif-motif yang terdapat pada melmelen ini adalah motif-motif Tapak Raja Sulaiman, Bindu Natogog, Embun Sikawiten, Bunga Gundur dan Pantil Manggis, Teger Tudung, dan Takal Dapur.

i) Motif Tapak Raja Sulaiman

(16)

23

Gambar 2.5 Motif Tapak Raja Sulaiman

Sumber : http://3.bp.blogspot.com/tapak+raja+sulaiman.jpg

Motif tersebut diyakini sebagai ingan kundul (tempat duduk) dukun Raja Sulaiman. Raja Sulaiman menjadi personifikasi dukun. Kekuatannya ada yang terindra dan ada yang tak terindra. Dari sumber lain, Sulaiman adalah seorang nabi yang dikenal dalam Kristen maupun Islam. Dalam agama tersebut, Nabi Sulaiman adalah orang yang diberi kelebihan oleh Tuhan (Allah) yang jauh melebihi kemampuan manusia biasa. Bahkan diceritakan bahwa Nabi Sulaiman adalah manusia yang diutus Tuhan untuk kebaikan umat manusia. Ia dianugrahi kemampuan sama dengan semua makhluk di dunia, termasuk dengan semua jenis hewan. Sehubungan cerita tentang Nabi Sulaiman ini besar kemungkinan gerga Tapak Sulaiman bukanlah gerga yang lahir pada zaman prasejarah. Sebab makna yang terkandung dalam gerga tersebut merupakan makna konotasi yang menyiratkan objek nyata,

(17)

24

i) Motif Bindu Natogog

Bindu dalam kamus Batak Karo adalah suatu ukiran dari papan yang

dipasang pada pintu masuk rumah adat sebagai pegangan masuk ke rumah, dalam pustaka Batak kata tersebut merupakan panggilan pada ibu dan ayah yaitu suami-istri yang kawin sumbang (kawin tidak direstui secara adat) sehingga menimbulkan kemarau yang berkepanjangan (Prinst, 2004:89 dalam Erdansyah 2011), sedangkan natogog berasal dari kata matagah nama suatu ukiran kayu. Ada kemungkinan kata matagah ini berasal dari kata meteguh yang berarti kuat. Bindu Natogog merupakan pasangan dari Tapak Raja Sulaiman. Menurut legenda bahwa Bindu Natogog merupakan istri dari Raja Sulaiman, sehingga penempatan gerga ini diletakkan secara berdampingan. Gerga Bindu natogog merupakan deformasi bentuk dari Raja Sulaiman. Motifnya berupa garis bersilang dan saling mengkait, melambangkan kekuatan kesatuan dan keutuhan. Sebagai alat pegangan pada pintu rumah adat justru adalah cikepen pengalo-alo. Sebagai pegangan bagi tamu yang berkunjung. Dengan demikian bindu natogog adalah sebuah pesan mengingatkan tentang mitos atau legenda tentang adat perkawinan yang sumbang dapat menyebabkan bencana seperti kemarau panjang.

Gambar 2.6 Motif Bindu Natogog

(18)

25

ii) Motif Embun Sikawiten

Embun sikawiten mengandung arti kemakmuran dengan adanya pengertian

embun beriring. Fungsinya tidak mengandung unsur mistis, tetapi hanya sebagai hiasan. Ornamen ini dibuat secara berulang-ulang untuk menghiasi bidang melenmelen. Pada ujung ikal terdapat hiasan cekili kambing dan tulak paku sebagai unsur hiasan. Perpaduan sulur dengan cekili kambing ini

disebut embun sikawiten. Kedua ornamen ini dibuat mendampingi motif Tapak Raja Sulaiman sebagai penambah keindahan. Sering dipergunakan seniman sebagai hiasan pembagi bidang simetris. Ornamen ini dianggap sebagai simbol keindahan, kemakmuran dan tidak mengandung unsur mistik, tetapi hanya berfungsi sebagai hiasan.

Gambar 2.7 Motif Embun Sikawiten Sumber : https://s-media-cache-ak0.pinimg.com

iii) Motif Bunga Gundur dan Pantil Manggis

(19)

26 dikenal oleh masyarakat Karo. Bahkan buah manggis memiliki arti yang sangat simbolik pada sifat manusia yang berbuat baik, seperti pepatahnya

“hitam-hitam si buah manggis, meki hitam tetapi manis.”Motif gerga

merupakan sulur-sulur tumbuhan yang merupakan garis lengkung dan diulang secara teratur. Selanjutnya pada ujung daun terdapat putik bunga gundur. Sulur-sulur ini adalah deformasi yang sederhana dari daun gundur yang sesungguhnya. Pola hiasan yang disebut gerga ini disusun dan ditempatkan secara horizontal sesuai gelombang daun bunga gundur.

Bentuk yang sederhana ini merupakan tindakan kreatif untuk mengatasi kerumitan teknis dalam mencapai keserasian bentuk harmoni dan estetikanya, untuk memperteguh kesatuan komposisi hiasan ini diapit oleh pola geometrik yaitu motif tutup dadu yang melintang horizontal di atas dan bawah. Kemudian pada bagian atas terdapat empat buah motif tulak paku secara berpasangan. Gerga ini tidak mengandung unsur mistik, tetapi hanya sebagai simbol keindahan dan hiasan berdampingan dengan tapak Raja Sulaiman.

Gambar 2.8 Motif Pantil Manggis

(20)

27

iv) Teger Tudung

Teger Tudung dalam kamus Karo adalah tutup kepala wanita yang kedua

ujungnya tegak ke atas. (Darwan, 2002 dalam Erdansyah 2011). Polanya seperti ujung daun tumbuhan yang berdaun lebar dan juga seperti bentuk motif kubah yang diapit kubah kecil di kanan dan kirinya. Motif teger tudung tidak banyak terdapat stilasi tumbuhan. Di tengahnya terdapat tiga

kelopak bunga seperti cekili kambing. Meskipun dalam kamus diartikan sebagai pencitraan wanita, tetapi bagi masyarakat Karo justru melambangkan ketampanan dan kewibawaan (laki-laki). Gerga ini dibuat untuk hiasan tengah melmelen pada pangkal dan ujungnya. Menurut keterangan lain ornamen ini juga melambangkan keagungan, dan letaknya berdekatan dengan tapak Raja Sulaiman, (Erdansyah, 2011).

v) Motif Tutup Dadu dan Cimba Lau

Tutup Dadu secara harfiah berarti tutup yang digunakan pada alat

permainan judi dadu. Tutup dadu umumnya terbuat dari tempurung kelapa, dan biji dadu terbuat dari tulang. Cimba Lau adalah alat untuk menciduk air yang terbuat dari bambu; tingginya 35 cm dengan diameter 8 cm. Cimba lau ini dipergunakan untuk tempat air langir (air keramas) bagi

(21)

28 Pola Tutup Dadu adalah setengah lingkaran secara berjejer dan tidak terpisah dengan bidang di sampingnya. Pola setengah lingkaran saling mengisi dengan latarnya. Pola yang sama secara berulang melahirkan citra oposisi dari latarnya sendiri. Teknik perupaannya cukup sederhana. Pembuatnya adalah orang yang sering diminta untuk mengerjakan benda-benda seni kerajinan, bahkan pande ini juga mengerjakan ukir-ukiran gerga pada bidang melmelen rumah adat. Hal yang lazim bagi orang Karo

mempunyai kenangan yang kuat dari barang atau benda-benda lain, sehingga senang memberi nama sesuatu termasuk nama putra-putrinya berdasarkan benda-benda yang dilihat, atau yang digunakan sehari-hari. Nama motif gerga kebanyakan diambil dari nama suatu benda yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Kemudian benda tersebut diberi makna sesuatu, baik karena fungsinya maupun karena dorongan nalurinya (sugesti), sehingga benda tersebut membawa manfaat yang baik jika digunakan.

vi) Motif Takal Dapur

Takal Dapur berarti kepala dapur. Gerga ini pada umumnya berbentuk seperti tulak paku. Teknik pembuatannya seperti mendekati patung dengan bentuk seperti manusia raksasa menyerupai kuda. Takal dapur di Kabupaten Karo ada dua jenis, yaitu berbentuk kuda dan berbentuk tulak paku. Takal dapur yang berbentuk kuda kini sudah jarang ditemukan,

(22)

29 tulak paku ini masih terlihat pada rumah adat di desa Dokan. Gerga Takal

Dapur yang terdapat di Desa Lingga, bentuknya lebih sederhana dengan

pola setengah lingkaran atau lonjong (oval). Gerga ini mengandung arti tuah manusia sebagai kemuliaan. Sebagian orang mengatakan sebagai lambang kebesaran dan keagungan manusia. Fungsinya selain untuk memperkuat sudut rumah, juga diyakini dapat menambah umur panjang. Oleh karena itu digambarkan punggungnya bungkuk seperti gunduk pakis (bunga pakis).

2. Gerga Pada Derpih (Dinding) Rumah Adat Batak Karo

Gerga yang terletak di bagian tengah rumah adat Batak Karo jumlahnya lebih

sedikit daripada gerga yang di bawah. Penempatan gerga di sini terletak pada bagian derpih, pintu rumah, dan sudut rumah. Motif gerga-gerga tersebut adalah Cikepen Pengaloalo, Pengretret, dan Cuping-cuping. Gerga Cikepen Pengalo-ngalo terdapat pada bagian tengah dan terletak di sisi pintu berfungsi

sebagai pegangan ketika hendak memasuki rumah, Pengretret berfungsi sebagai pengikat dinding, dan Cuping-cuping yang terletak pada sudut rumah tidak memiliki fungsi konstruksi, melainkan berfungsi simbolik.

i) Motif Cikepen Pengalo-ngalo

Kata “Cikepen” dalam bahasa Batak Karo berarti pegangan, dan “pengalo

-ngalo” berarti menyambut. Secara harfiah, Cikepen Pengalo-ngalo berarti

(23)

30 Cikepen Pengalo-ngalo merupakan simbol bagi tamu, karena setiap tamu

yang datang selalu memegang ukiran tersebut. Ukuran pintu yang rendah dengan lebar 60 cm dan tinggi 100 cm letaknya miring mengikuti dinding. Membungkukkan badan adalah perilaku sekaligus lambang penghormatan kepada pemilik rumah. Gerga ini merupakan hiasan pada dua sepasang kayu yang terletak di sisi kanan dan kiri pintu. Bentuknya berupa ukiran dengan kombinasi bergerigi dan bergelombang seperempat lingkaran secara berulang (repetition) menyerupai bentuk ipen-ipen (gigi-gigi). Fungsi lain Cikepen Pengalo-ngalo adalah untuk pegangan bagi ibu yang melahirkan

bayi. Ia memegang Cikepen Pengalo-ngalo sambil duduk di atas danggulen.

ii) Motif Pengretret

Derpih atau dinding rumah adalah bidang yang penting pada rumah adat

sebagai penyekat udara dingin. Masyarakat tradisional Batak Karo meyakini bahwa kekuatan magis dapat dihembuskan dari luar, masuk ke dalam rumah melalui celah-celah derpih dan masuk menyerang penghuni rumah. Pengretret adalah nama binatang mitos bagi orang Batak Karo; binatang ini

(24)

31 2011). Motif Pengretret ini terbuat dari tali ijuk berwarna hitam, tali tersebut dirajutkan dengan cara melubangi derpih rumah membentuk segitiga wajid dan sekaligus sebagai pengikat derpih. Pola yang terbentuk dari tali itu adalah pola geometris yang berulang dan sama pada semua sisinya. Pada setiap kepala pengretret terdapat sepasang organ tubuh seperti kaki, dan masing-masing ujung kaki terdapat tiga buah jari. Pengretret diletakkan secara horizontal pada derpih rumah di samping kedua sisi pintu. Ukuran panjang motif gerga pengretret seluruhnya sekitar ± 400 cm dan lebar ± 15–20 cm. Motif ini sangat khas bagi masyarakat Batak pada umumnya, sebab setiap puak Batak memperlakukan motif ini sebagai simbol magis.

Gambar 2.9 Gerga motif Pengretret pada dinding rumah, sekaligus sebagai pengikat dinding papan.

Sumber : Erdansyah 2011

(25)

32 persatuan dan lambang penyelesaian masalah dalam kehidupan sosial. Seiring dengan perjalanan waktu, pengretret tidak hanya dimaknai sebagai benda simbolik yang memiliki kekuatan magis, tetapi juga berkembang menjadi ikon budaya Batak Karo. Saat ini gambar ukiran pengretret terdapat pada setiap bangunan tradisional, rumah-rumah biasa, kantor-kantor resmi, gapura atau pintu gerbang, maupun kuburan leluhur.

iii) Motif Cuping-cuping

Cuping-cuping dalam bahasa Batak Karo berarti kuping atau telinga. Bentuk

(26)

33

Gambar 2.10 Motif Cuping-cuping Sumber : http://4.bp.blogspot.com/_kef7

3. Gerga pada bagian Ayo Rumah Adat Batak Karo

Gerga pada Ayo rumah adat Batak Karo menempati bagian paling atas rumah adat. Motifmotifnya terdiri dari motif ipen-ipen, motif pengretret, motif desa siwaluh, motif geometris, dan motif kepala kerbau, tetapi beberapa di antara motif tersebut juga terdapat di bagiankerbau, tetapi beberapa di antara motif tersebut juga terdapat di bagian melmelen yaitu motif desa siwaluh dan motif geometris lainnya. yaitu motif desa siwaluh dan motif geometris lainnya.

i) Motif Ipen-ipen

(27)

34 dicat dengan warna hitam. Berdasarkan kedua motif tersebut diperkirakan bahwa rumah di Dokan lebih muda keberadaannya. Hal ini ditunjukkan dengan pola dan penggunaan warna yang mencerminkan dedaunan atau tumbuh-tumbuhan. Motif-motif daun dan stilasinya merupakan ciri hiasan yang berkembang pada kebudayaan Hindu-Budha dan Islam. Gerga ipen-ipen yang terdapat di rumah adat Desa Dokan tidak melambangkan makna

simbolik tertentu hanya berfungsi sebagai hiasan. Motif ipen-ipen yang terdapat pada rumah adat di Desa Lingga sangat sederhana. Bentuknya segitiga yang berjajar membentuk susunan seperti mata gergaji. Motif segitiga seperti ini banyak ditemukan pada artefak-artefak kuno. Zaman prasejarah gerga dengan motif segitiga pada rumah adat dilukiskan mengikuti pola-pola anyaman bambu yang merupakan bidang ayo rumah. Kesederhanaan ini juga dapat disebabkan karena faktor teknis. Motif Ipen-ipen melambangkan makna magis sebagai penolak bala. Berdasarkan duamotif ipen yang berbeda di atau dapat disimpulkan, bahwa ipen-ipen yang terdapat pada rumah adat di Desa Lingga membuktikan keberadaan gerga pada rumah adat tersebut lebih tua dari pada yang terdapat di rumah adat di Desa Dokan.

ii) Motif Pengretret

(28)

35

iii) Motif Desa Siwaluh

Desa Siwaluh secara harfiah berarti kata “Delapan Desa,” melambangkan

jumlah penghuni rumah delapan keluarga atau juga disebut “siwaluh jabu,” dengan demikian pengertian desa siwaluh sama artinya dengan siwaluh jabu. Tetapi juga orang Karo menyebutnya sebagai lambang delapan

penjuru mata angin disebut juga bintang delapan, sebagai simbolisasi dari delapan penjuru mata angin. Gerga Desa Siwaluh ini ditempatkan persis di pusat bidang ayo rumah. Motif ini dikelilingi sejumlah gerga geometris lainnya yang tidak lebih menonjol daripada motif Desa Siwaluh itu sendiri. Dalam konsep kebudayaan Karo, Desa Siwaluh salah satu simbol yang sangat penting dari empat hal yang terkait dengan setiap aktivitas kehidupan masyarakat Karo. Keempat hal yang berkaitan dengan aktivitas ini disebut Katika.

(29)

36 Motif Desa Siwaluh bukan merupakan mimesis kosmik, melainkan bagian dari sebuah konsep simbolik tentang sesuatu yang abstrak, yaitu delapan arah mata angin. Oleh karena itu pola yang hadir dengan struktur bidang bersegi delapan lebih bersifat fungsional simbolis. Demikian juga halnya pada pola bintang bersegi lima yang terdapat pada peralatan makan seperti ukat atau sendok nasi maupun perlatan musik, sifatnya juga fungsional simbolis.

Gambar 2.11 Motif Desa Siwaluh

Sumber: http://inspirasigerhana.blogspot.co.id/2014/03/ornamen-tradisional-suku-karo.html

iv)Kajian Gerga Pola Geometris pada Rumah Adat Batak Karo

Awal mula manusia mengenal media rupa adalah dari sebuah unsur yang amat sederhana, yaitu garis. Organisasi garis menghasilkan pola (pattern) yang beragam seperti segitiga, segi empat, kubus, bujur sangkar, trapezium, lingkaran, lonjong (oval), dan sebagainya. Pola-pola ini disebut pola geometris. Pola ini merupakan semiosis dari kehidupan flora, fauna, dan alam.

(30)

37 gaib (totems). Apabila itu diukirkan pada suatu benda, maka benda itu menjadi jimat.

Pengulangan secara teratur menghasil kansensasi keindahan. Bagi masyarakat tradisional Batak Karo motif perulangan lebih sebagai ekspresi transendental atau keteraturan imanensi untuk memasuki ruang kosmos dan memperoleh sugestinya. Gerga pada masyarakat Batak Karo sebagian besar adalah pola geometrik. Ini berbeda dengan gerga pada rumah adat Batak Toba yang umumnya menggunakan stilasi tumbuhan.

Pola geometrik pada rumah adat Batak Karo terpusat pada bidang ayo rumah, yang terdiri dari pako-pako, ipen-ipen, tutup dadu, pancung cekala, tampune-tampune, lumut laut, pesiren kambing, duri mikan, dan pengretret.

Pola geometrisnya sangat bervariasi, seperti kubus, segitiga, setengah lingkaran, garis spiral, garis lengkung, garis diagonal, dan semua dibuat sangat sederhana. Bentuk-bentuk geometris ini ditempatkan secara simetris berhadapan atau bertentangan dengan bentuk perulangan (repetition). Pola-pola itu telah ada sejak zaman primitf. Manusia purba pada masa itu memindahkan fenomena alam dan isinya dalam bahasa rupa pada dinding-dinding gua maupun tempat tinggalnya. Pola-pola geometris tersebut umumnya sangat dekoratif. Garis hitam tersebut sangat jelas tanpa diberi warna lain. Warna hitam dari sabut ijuk aren seperti dalam pengretret tersebut memberikan kesan yang sangat magis.

(31)

motif-38 motif geometris. Kehadiran pola geometris pada masyarakat Batak Karo merupakan penyederhanaan ataupun abstraksi dari bentuk-bentuk alam dengan keterbatasan teknik pembuatannya. Pola-pola geometris itu hasil dari teknik anyaman tenunan, atau pahatan/ukiran pada papan kayu dengan alat gergaji (Said, 2004:90 dalam Erdansyah, 2011).

Gamabar 2.12 Pola geometris pada ayo rumah memiliki nama-nama flora dan fauna. Sumber : Erdansyah 2011

(32)

39 sitelu. Status kalimbubu sering dilukiskan sebagai simbol pada ayo

rumah adat, Tidak heran jika pada bagian ayo rumah paling banyak atau dipadati berbagai bentuk ragam hias. Ini sebagai tanda kehangatan dalam kehidupan keluarga Batak Karo. Jadi gerga dengan pola geometris pada ayo rumah mencerminkan bahwa hubungan kekerabatan itu dijunjung tinggi dan dijaga kewibawaan, martabat dan kehormatannya, serta dikawal oleh kepala kerbau di atasnya. Hal itu karena pola geometrik pada bagian ayo itu adalah personifikasi dewa kalimbubu yang disebut sebagai debata ni idah. Kalimbubu sebagai perantara manusia dengan dunia profan atau dunia bawah, juga dengan dunia atas atau dunia sakral. Kedudukan anak beru menempati strata sosial bagian bawah yaitu dunia profan.

v) Kepala Kerbau

(33)

40 Orang Karo memandang kerbau sebagai lambang kesuburan dan kehormatan. Semua bangunan tradisional Batak Karo menempatkan kepala kerbau sebagai simbol kehormatan dan kewibawaan.

Kepala kerbau berwarna putih, di bawah mulutnya tergantung mangkuk kecil yang berisi air jernih disebut lau maturge, di dalamnya ada beberapa daun atau bulung-bulung simalem. Daun dan air ini gunanya menjaga agar kekuatan mistik kepala kerbau tidak mengganggu tuan rumah dan seisinya. Bentuk hiasan ini melambangkan keperkasaan, fungsi hiasan sebagai penjaga keselamatan rumah dari serangan roh-roh jahat (begu) dari luar kampung. Motif ragam hias kepala kerbau dalam kebudayaan nusantara umumnya dimaknai sebagai lambang kesuburan sekaligus sebagai penolak bala (Sunaryo, 2009:122 dalam Erdansyah, 2011). Pada rumah adat Batak Karo kepala kerbau menempati tempat yang terhormat dan strategis, bahkan ditempat paling tinggi yaitu di anjungan atap (tersek.). Posisi kepala kerbau sedikit menunduk dan bertanduk runcing.

(34)

41 akar dari hidup ini, tidak ada hulu, tidak ada hidup; hilir adalah paradoksnya membuat kehidupan lahir kembali. (Sumardjo, 2006:37 dalam Erdansyah, 2011)

Dikotomi kembar merupakan penyatuan transenden dan merupakan entitas yang selalu menjadi spirit bagi orang Karo. Entitas adalah kehidupan yang harus berlangsung. Dikotomi kembar kemudian menjadi dasar simbolis semua aspek kebudayaan orang Karo. Ciri kebudayaan tersebut juga sama dengan berbagai kebudayaan suku lainnya di Indonesia. Ekspresi maupun artefaknya yang selalu memiliki ciri khusus dan keunikannya tersendiri. Demikian juga seperti yang dijelaskan Masri Singarimbun, mungkin lebih penting lagi dikotomi simbolis bahwa dasar melawan puncak, bawah lebih dominan ketimbang atas. Analoginya adalah batang pohon, bagian bawah lebih besar, lebih kuat dan lebih keras daripada pucuknya (Singarimbun, 1975:256 dalam Erdansyah, 2011). Analogi tersebut juga berlaku dalam sistem kekerabatan maupun pada garis keturunan yang menganut pola garis ayah (patriarchy). Simbolis sepasang kepala kerbau yang diletakkan di atap rumah, merupakan analogi kembar lelaki dan perempuan. Kepala kerbau yang diletakkan terdiri dari kepala kerbau jantan dan betina, yang jantan diletakkan pada atap rumah yang menghadap ke hulu kepala kerbau yang betina menghadap ke hilir. Semesta atau dunia ini terbagi dalam dua kategori yakni “kelaki-lakian” dan “keperempuanan.” Kelangsungan hidup

(35)

42 kemakmuran (Sumardjo, 2002:107 dalam Erdansyah, 2011). Jantan simbolis lelaki atau ayah yang menjaga bagian depan rumah demi keamanan, ancaman maupun kewibawaan keluarga, demikian sebaliknya yang betina simbolis perempuan atau ibu yang menjaga anak-anak dan keluarganya di belakang atau di dalam rumah. Kepala kerbau menjadi simbol kekuasaan maupun keperkasaan bagi masyarakat Batak Karo, meski saat ini kepala kerbau tersebut telah digantikan dengan ukiran kayu bahkan dicat putih memberi kontras pada rumah adat ketika dilihat dari kejauhan.

(36)

43

Gamabar 2.14 Gerga Kepala Kerbau di atas atap rumah adat Batak Karo Sumber : Erdansyah, 2011

Penempatan kepala kerbau paling atas merupakan bentuk sakral atau persembahan. Dalam hierarki kekerabatan kalimbubu sebagai personifikasi debata idah atau “Tuhan yang tampak” ditempatkan pada hierarki tertinggi. Peranan kalimbubu sangat dominan dalam peristiwa-peristiwa adat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan kepala kerbau, tidak hanya sebagai lambang kesuburan semata, tetapi juga merupakan lambang persembahan kepada kalimbubu. (Erdansyah 2011)

Gamabar 2.15 Hierarki simbol gerga berdasarkan struktur rumah adat pada rumah adat Batak

(37)

44 Gambar di atas mengarahkan pemahaman akan makna simbolik gerga pada rumah adat. Berdasarkan motif dan penempatan gerga maka dapat diidentifikasi, bahwa gerga yang berada di bagian melmelen atau di bawah adalah kategori profan, motif yang digunakan sebagian besar stilasi tumbuhan dan berfungsi sebagai hiasan rumah. Motif pengretret berupa pola geometrik menempati ruang tengah, yaitu ruang yang tidak tampak, manusia sulit memasuki tempat ini, karenanya orang Batak Karo menjadikan pengretret sebagai penguasa dunia tengah. Pengretret adalah personifikasi dukun yang mampu melindungi mereka. Kemudian pada jenjang yang lebih tinggi, adalah kepala kerbau sebagai simbol yang sakral dan pemujaan (Erdansyah, 2011).

2.2.2. Aksara Karo

Menurut Purba, (2011), Aksara Karo adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.

Gambar 2.16 Aksara Karo

Sumber : Buku Raibnya Para Dewa-Kajian Arsitektur Karo dalam Purba, 2011.

2.3 Jenis Rumah Adat Karo

(38)

45 Pembagian lain adalah rumah dengan atap (Tersek) tak bertingkat (Rumah Kurung Manik), rumah beratap satu tingkat (Sada Tersek), dan rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (Anjung-anjung). Secara umum Rumah Karo berbentuk empat persegi panjang dengan dua buah teras (ture) sebagai pintu utama, yaitu pintu yang menuju hulu (Ture Julu) dan pintu yang menuju hilir (Ture Jahe) sebagai pintu kedua. Bagian-bagian atapnya berbentuk perpaduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segi tiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe), dan bagian dinding yang juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dinding papan berbentuk lunas perahu (dapur-dapur) yang terletak diatas beberapa tiang.

Rumah adat karo dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dan ditinjau dari dua hal, yaitu

a. Bentuk Atapnya b. Binangunnya (rangka)

Si waluh jabu Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

1) Rumah Sianjung-anjung

(39)

46

Gambar 2.17 Rumah Sianjung-anjung Sumber : karo.or.id

2) Rumah Mecu

Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.

(40)

47 Sementara menurut binangun, rumah adat Karo juga dibagi atas dua yaitu:

1) Rumah Sangka Manuk

Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok

tindih-menindih.

Gambar 2.19 Rumah Sangka Manuk (Sumber : karo.or.id)

2) Rumah Sendi

Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh.

(41)

48

2.4. Arsitektur Gereja

2.4.1. Ruang Sakral dalam Fungsi dan Bentuk Arsitektur Gereja Katolik

Kajian mengenai arsitektur gereja, tidak terlepas dari gagasan teologisnya; karena bukan hanya menjadi landasan teori arsitektur religius, tetapi juga menjadi dasar penerimaan dan penolakan teori atau pemahaman tertentu lainnya. (Thomas, 1994 dalam Laurens, 2013) mendefinisikan teori arsitektur religius, -dalam hal ruang dan tempat-, sebagai pemikiran teologis terstruktur mengenai realitas alam semesta. Teori dasar ini berkaitan dengan konsep mengenai alam dan Tuhan, dogma mengenai hubungannya dengan manusia; yang membawa dampak pada cara orang berpikir tentang ruang dan tempat di dunia ini . Meskipun ruang-sakral ini dialami berbagai agama dan kepercayaan, tetapi setiap agama mempunyai keunikannya sesuai dasar teologisnya.

2.4.1.1. Fungsi Liturgial

Setiap bentukan arsitektur selalu dimulai dengan adanya aktivitas manusia yang menjadi penggerak munculnya wadah aktivitas tersebut. Hubungan antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya, atau antara satu kelompok aktivitas dengan kelompok aktivitas lainnya terstruktur dalam satu organisasi ruang atau tatanan ruang. Pelingkup tatanan ruang ini, secara tiga dimensional merupakan aspek bentuk arsitektur.

(42)

49 publik. Bentuk wujud kesatuan dengan Kristus yang paling nyata di dunia ini adalah melalui perayaan Ekaristi kudus, di mana umat Katolik menyambut Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Ilahian Kristus, sehingga olehNya kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal. Dengan demikian, Liturgi merupakan karya bersama antara Kristus-Sang Kepala, dan Gereja yang adalah TubuhNya, sehingga tidak ada aktivitas Gereja yang lebih tinggi nilainya daripada liturgi.

Gereja Katolik menekankan dasar teologis dalam setiap pendirian bangunan gereja; fungsi liturgial menjadi landasan utama penataan ruang dan bentuk arsitektur gereja Katolik, baik di masa sebelum maupun sesudah Konsili Vatikan II. Sehingga pada gereja Katolik yang inkulturatif pun, fokus ruang selalu pada sanctuary di mana Ekaristi Kudus dipersembahkan; sehingga area ini menjadi area tersakral dalam tatanan ruang gereja. Umat mengikuti perayaan Ekaristi Kudus di bagian tengah gereja (nave), yang membentang dari pintu masuk (narthex) ke bagian mimbar di area altar (sanctuary).

(43)

50

Gambar 2.21 Hirarki Ruang Sakral Arsitektur Gereja Katolik Sumber: Laurens, 2013

2.4.1.2. Simbolisasi Kekristenan

Bangunan gereja juga berperan dalam mengekspresikan misi dan hakekat agama Katolik (McGuire,n.d, 2013 dalam Laurens, 2013), arsitektur gereja harus mampu membawa umat pada keyakinan bahwa mereka memasuki sebuah tempat yang istimewa; yang menyadarkan orang pada kenyataan bahwa mereka memasuki area sakral, di mana Tuhan tinggal (rumah Tuhan), bukan memasuki rumah tinggal biasa, melainkan ruang yang memiliki nilai kosmologis berupa titik pusat orientasi dan berkaitan dengan pengalaman religius, mengandung nilai spiritual, kesucian dan ritual.

(44)

51 dengan perjalanan waktu dan perkembangan budaya, namun tidak lepas dari kaidah-kaidah gerejani. Simbol keagamaan berbeda dari simbol yang lain, kenyataan bahwa simbol keagamaan merupakan representasi dari sesuatu yang sama sekali ada di luar bidang konseptual; menunjuk pada realitas tertinggi yang tersirat dalam tindak keagamaan. Dengan demikian, simbol keagamaan pada arsitektur Gereja Katolik tergantung pada tuntutan liturgi gereja.

2.5. Defenisi Tipologi

Tipologi ilmu yang mempelajari tentang tipe dan juga mempelajari tentang pengelompokan suatu benda, untuk mengungkapkan struktur fisik dan keruangan pada bangunan. Sehingga tipologi juga sering disebut tindakan berpikir dalam rangka pengelompokan bangunan. Menurut Iswati (2003) (dalam Santoso dan Wulandanu, 2011) tipologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang tipe. Secara sederhana tipologi dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memberikan (describe) sebuah kelompok objek atas dasar kesamaan sifat-sifat dasar. Bahkan bisa juga dikatakan bahwa tipologi berarti tindakan berpikir dalam rangka pengelompokan. Tipologi merupakan studi tentang pengelompokkan objek sebagai model, melalui kesamaan Bentuk dan Struktur. Tipologi adalah studi tentang tipe dengan kegiatan kategorisasi dan klasifikasi untuk menghasilkan tipe. Kegiatan kategori dan tipe tersebut sekaligus dapat dilihat keragaman dan keseragamannya.

2.5.1. Tipologi Arsitektur

(45)

52 menurut kategori-kategori tertentu, seperti intensitas pembangunannya (dari alamiah, rural hingga urban yang padat), tingkat formalitas (bentuk), dan karakter pemikiran (tradisional, modern). Tipologi dapat dilakukan apabila obyek yang diteliti memiliki kesamaan sifat atau ciri-ciri (Loekito, 1994 dalam Pangarsa, dkk, 2012).

Habraken (1988) dalam Pangarsa, dkk (2012) menyusun tipologi arsitektur menurut sistem spasial (pola ruang, orientasi, hirarki); sistem fisik dan kualitas figural (wujud fisik, bahan/material, dan pembatas ruang); dan sistem stilistik (atap, kolom, bukaan, dan ornamen).

Caniggia dan Maffei (2001), menyatakan bahwa tipe (arsitektur) muncul karena adanya suatu proses logis yang membentuk kesadaran mengenai suatu tipe tertentu. Awalnya pengelompokannya disusun dan dinamakan menurut kesepakatan bersama (Habraken, 1988), tetapi pada proses selanjutnya, seseorang akan dengan mudah mendeskripsikan dan menjelaskan tipe tersebut, bahkan mengenali dan mengelompokkan obyek lain yang memiliki karakter sama ke dalam tipe-tipe tersebut.

Faqih (1997, dalam Prijotomo dan Santosa, 1997) menjelaskan secara arsitektural bahwa tipologi adalah suatu kegiatan untuk mempelajari tipe dari objek – objek arsitektural, dan mengelompokkannya (menempatkan objek – objek tersebut) dalam suatu klasifikasi tipe berdasarkan kesamaan/keserupaan dalam hal – hal tertentu yang dimiliki objek arsitektural tersebut. Kesamaan tersebut dapat

(46)

53 - Kesamaan bentuk dasar/sifat – sifat dasar sesuai dengan bentuk dasar

objek tersebut.

- Kesamaan fungsi objek – objek tersebut

- Kesamaan asal – usul/perkembangan dan latar belakang sosial masyarakat objek tertsebut berada, termasuk gaya atau langgam

Tipologi terbagi atas beberapa bagian (Nurfansyah, 2012):

1. Tipologi geografis (lokasi), yaitu studi tentang tipe berdasarkan dari keadaan geografis bangunan itu sendiri. Misalnya bangunan tropis, padang pasir, mediterania, tepi pantai, dan lain sebagainya.

2. Tipologi langgam (aliran atau gaya), yaitu tipe yang meminjam suatu bangunan berdasarkan langgam yang dipakai. Misalnya: Kolonial Belanda, dan lain – lain.

3. Tipologi fungsi, yaitu dilihat dari tujuan penggunaan bangunan, misalnya bangunan ibadah, perkantoran, tempat tinggal, pendidikan, industri, dan lain – lain.

4. Tipologi bentuk, merupakan pentipean terhadap status bangunan yang berdasarkan bentuk dari bangunan itu sendiri.

(47)

54

2.5.2. Tipologi Bangunan

Pengertian Tipologi bangunan menurut Vidler (1977) yaitu, tipologi bangunan adalah sebuah studi/penyelidikan tentang penggabungan elemen-elemen yang memungkinkan untuk mencapai/mendapatkan klasifikasi organisme arsitektur melalui tipe-tipe. Klasifikasi mengindikasikan suatu perbuatan meringkas/ mengikhtiarkan, yaitu mengatur penanaman yang berbeda, yang masing-masing dapat diidentifikasikan, dan menyusun dalam kelas-kelas untuk mengidentifikasikan data umumnya dan memungkinkan membuat perbandingan-perbandingan pada kasus-kasus khusus. Klasifikasi tidak memperhatikan suatu tema pada suatu saat tertentu (rumah, kuil, dsb.) melainkan berurusan dengan contoh-contoh konkrit dari suatu tema tunggal dalam suatu periode atau masa yang terikat oleh kepermanenan dari karakteristik yang tetap/ konstan.

(48)

55 untuk analisis dan perbandingan untuk fenomena-fenomena seni. Kedua, Tipologi terapan yang bertujuan klasifikasi dengan tipe-tipe fungsional yang memberikan metode analisis dari fenomena-fenomena yang membentuk suatu keseluruhan.

Dari tipologi arsitektur dan tipologi bangunan juga menjelaskan kegiatan pengelompokan suatu karya arsitektur dan diciptakan oleh masyarakat itu sendiri dan juga penyelidikan tentang elemen-elemen yang memungkinkan untuk mencapai klasifikasi arsitektur melalui tipe-tipe bangunan tersebut.

2.6. Wujud Arsitektur

Pengertian wujud menurut Hendraningsih, dkk (1982:9), wujud merupakan unit yang mempunyai unsur garis, lapisan, volume, tekstur dan warna. Kombinasi keseluruhan unsur tersebut, menghasilkan suatu ekspresi. Wujud dalam arsitektur selalu dirangkai dengan kata bangunan menjadi istilah wujud bangunan.

Menurut Habraken (1988:5) ada 3 cara mengelompokkan wujud arsitektur, antara lain :

a. Sistem spasial (spasial sistem), yaitu berkaitan dengan denah yang meliputi bentuk denah, organisasi ruang, orientasi dan hirarki ruang. b. Sistem fisik (physical sistem), yaitu yang kaitannya dengan

(49)

56 c. Sistem model /tampilan (stylic sistem), yaitu suatu yang berkaitan dengan tampak depan/fasad yang meliputi pintu dan jendela termsuk ventilasi serta ragam hias.

(50)

57

2.7. Kerangka Teori

Berikut ini merupakan kerangka teori dari kajian pustaka yang telah diambil.

Tabel 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Penulis, 2016

Tipologi Nurfansyah, 2012

Budaya Karo Erdansyah, 2011

Arsitektur Gereja Thomas (1994) dalam

Laurens (2013)

Arsitektur Karo Achim Sibeth (1991) dalam

Erdansyah (2011)

Wujud Arsitektur Habraken, 1988

Gambar

Gambar 2.1 Tari-tarian masyarakat Karo sering Digunakan dalam upacara ritual ± tahun 1900 (Sumber : K.I
Gambar 2.2 Skema Rakut Sitelu dalam sistem kekerabatan Batak
Gambar 2.3 Denah Kamar pada rumah adat Batak Karo
Gambar 2.4 Rumah adat Batak Karo, model atap sada tersek (satu tingkat).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tanda, yang ada pada simbol pengretret pada rumah adat batak karo di.

mengetahui potensi yang dimiliki rumah adat Karo sebagai cagar budaya, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya perhatian dalam melestarikan rumah

Menurut pemahaman saudara, apakah makna dari Adat Meja Gandong bagi kehidupan keluarga dan masyarakat

Ragam hias yang ada di rumah gadang memiliki tataletak yang sudah diatur dan berpedoman juga pada ukuran “jangko” dalam adat. “ Patutsenteang” tidak boleh dalam,

Tersisa dua buah Rumah Adat Siwaluh Jabu dari 28 rumah yang pernah ada, yaitu Rumah Gerga dan Rumah Belang Ayo yang masih dapat kita lihat keberadaannya dan

Ragam hias yang ada di rumah gadang memiliki tataletak yang sudah diatur dan berpedoman juga pada ukuran “jangko” dalam adat. “Patutsenteang” tidak boleh

Hubungan Memberi Berkat Dalam Gereja Katolik Dan Pemberian Ulos Dalam Perkawinan Batak Toba: Mangulosi Dalam Adat Perkawinan Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus