• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ulos Sebagai Simbol Berkat dalam Budaya Batak Toba dan Relevansinya bagi Gereja Katolik

N/A
N/A
Santri Simbolon

Academic year: 2024

Membagikan "Ulos Sebagai Simbol Berkat dalam Budaya Batak Toba dan Relevansinya bagi Gereja Katolik"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 7 Issue 1 (2023) Pages 60-71

Purwadita: Jurnal Agama dan Budaya

ISSN: 2621-1017 (Online) 2549-7928 (Print) Journal Homepage: https://jurnal.stahnmpukuturan.ac.id/index.php/Purwadita

Ulos Sebagai Simbol Berkat dalam Budaya Batak Toba dan Relevansinya bagi Gereja Katolik

Albertus B.A.H Situmorang 1, Iman Jaya Manik 2

1 Sekolah Tinggi Filsafat Teologi, Indonesia

2 Sekolah Tinggi Filsafat Teologi, Indonesia

Abstrak

Dalam setiap kehidupan suku bangsa ditemukan beragam cara bagaimana manusia dapat mengungkapkan imannya. Simbol-simbol yang terdapat pada adat istiadat itu membantu manusia untuk mengkonkritkan imannya. Bagi orang Batak ulos adalah simbol yang mengungkapkan siapa yang diimani, sedangkan peristiwa mangulosi adalah tanda pemberian berkat, restu, dan-doa. Tujuan penulisan ini adalah, penulis ingin mendalami makna ulos sebagai simbol berkat dalam perkawinan Batak Toba dan relevansinya dalam iman Katolik. Juga untuk memberi pemahaman penggunaan ulos dalam perkawinan sebagai salah satu warisan leluhur batak yang tetap dipertahankan dan dihidupi oleh masyarakat Batak Toba hingga saat ini Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif. Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode fenomenologis. Hasil yang diperoleh adalah bahwa ulos menjadi sarana berkat yang digunakan Allah utuk memberkati sesamnya. Oleh karena itu, ulos sangat relevan digunakan baik dalam hidup masyrakat dan juga dalam hidup keagaamaan.

Kata Kunci: Ulos; perkawinan; berkat; teologi; memberkati

Abstract

In every ethnic life, there are various ways in which humans can express their faith. The symbols contained in the customs help humans to concrete their faith. For the Batak people, ulos is a symbol that expresses who they believe in, while the mangulosi event is a sign of giving blessings, blessings, and prayers. Therefore, between Catholic culture and faith there are theological similarities and relationships, especially regarding blessings. The purpose of this paper is, that the author wants to explore the meaning of ulos as a symbol of blessing in the Toba Batak marriage and its relevance in the Catholic faith. Also, it provides an understanding of the use of ulos in marriage as one of the Batak ancestral heritages that are maintained and lived by the Toba Batak people until now. The type of research used by the author is qualitative research. While the research method used in this study is the phenomenological method. The result obtained is that ulos become a means of blessing that is used by Allah to bless his fellows. Therefore, ulos is very relevant to be used both in community life and in religious life.

Keywords: Ulos; marriage; blessing; theology; bless

Copyright (c) 2023 This is an open access article under the CC–BY-SA license

Corresponding author: Iman Jaya Manik Email Address : [email protected]

Received 16 February 2023, Accepted 14 March 2023, Published 30 March 2023 DOI: https://doi.org/10.55115/purwadita.v7i1.2664

Publisher: Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

(2)

PENDAHULUAN

Menurut Ernst Cassirer, sebelum menjadi makhluk sosial-politis manusia adalah makhluk yang membudaya. Ciri utama manusia bukanlah kodrat fisik atau metafisiknya, melainkan karyanya (Cassirer, 1987, p. 104). Manusia, melalui rasio, mencoba mengeksplorasi kebudayaan lewat unsur-unsur pembentuknya, seperti mitos, religi, bahasa, seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Hal ini juga berlaku pada masyarakat Batak Toba.

Suku Batak merupakan salah satu suku yang berasal dari Sumatera Utara. Mereka, sebagai makhluk yang berbudaya, mencoba menunjukkan eksistensinya lewat budaya atau benda-benda budayanya sendiri, misalnya rumah adat, tor-tor (tarian), atau tugu. Ulos adalah artifak budaya yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini. Semuanya itu merupakan simbol yang mengandung makna tertentu serta selalu menunjuk pada nilai kehidupan.

Dalam pemaknaannya, ulos oleh masyarakat Batak dimaknai dengan nilai yang sangat tinggi. Setiap upacara adat, terdapat ulos khusus yang harus dipakai dan tidak dapat diganti dengan kain lain. Ulos dengan tiga warna yakni dasarnya menyimbolkan realitas ilahi yaitu pribadi Debata Mulajadi Na Bolon (nama Allah). Dengan demikian ulos dapat dijadikan sebagai simbol berkat.

Namun kemajuan zaman membawa perubahan makna adat istiadat yang telah diwariskan leluhur. Adat istiadat tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang sakral, tetapi sebatas ritus biasa. Kemudahan mengakses informasi memudahkan seseorang untuk mengikuti adat istiadat baru. Ulos bagi orang Batak Toba tidaklah hanya sebatas kain tetapi memiliki makna yang sangat mendalam bagi pihak yang memberi dan menerimanya. Di masa sekarang makna yang tersirat dalam simbol-simbol kurang dipahami, khususnya oleh kaum muda. Tenunan ini digunakan sekedar karena faktor selera (bentuk dan warna). Pengantin yang diulosi (disematkan ulos) bahkan sama sekali tidak mengetahui fungsi dan jenis ulos yang diuloshon (ulos yang disematkan). Ulos dipandang hanya sebatas materi (Manalu, 2014). Selain itu, artifak ini digunakan secara kurang tepat. Para pengenanya kurang mengindahkan kedudukan dalam unsur Dalihan Na Tolu (Joosten, 1992, p. 70). Tata cara adat dijalankan sebatas peraturan yang harus ditaati, pun dalam pesta perkawinan.

Berdasarkan fakta tersbut, permasalahan dalam penelitian ini adalah apa penyebab kaum muda tidak memahami arti dan makan ulos dalam kebudayaan? Mengapa ulos dapat menjadi perantara berkat Allah? Tujuan penulisan ini adalah, penulis ingin mendalami makna ulos sebagai simbol berkat dalam perkawinan Batak Toba dan relevansinya dalam iman Katolik. Juga untuk memberi pemahaman penggunaan ulos dalam perkawinan sebagai salah satu warisan leluhur batak yang tetap dipertahankan dan dihidupi oleh masyarakat Batak Toba hingga saat ini (Lopiana Margaretha Panjaitan, 2016).

Dalam penelitian Johni Hardori dkk yang berjudul studi teologi kontekstual terhadap pemberian ulos dalam pernikahan adat Batak menemukan bahwa penggunaan ulos dalam perkawinan dapat menjadi simbol berkat dan sarana untuk menyampaikan Injil Kristus (Johni Hardori, 2019). Sedangkan dalam penelitian Yondhi Darmawan Penelitian ini menemukan bahwa ulos yang dipakai dalam prosesi adat memiliki makna religius yakni berkat.

Kandungan warna putih yang terdapat dalam ulos menjadi tanda kesucian dan kasih sayang.

(Darmawan, 2015). Posisi peneliti dari kedua penelitian ini adalah belum adanya yang membahas ulos sebagai simbol berkat dalam gereja katolik. Melalui penelitian ini, akan didalami hubungan dan relevansi mangulosi sebagai sarana berkat dalam Gereja Katolik.

Ulos adalah kain buatan tangan penenun perempuan-perempuan suku Batak yang berasal dari Tapanuli - Sumatera Utara. Ulos adalah sejenis pakaian yang berbentuk selembar kain. Kain ini ditenun oleh perempuan Batak dengan berbagai pola-pola (Sri Rahayu Fitriani, 2020). Dalam etika Batak berbunyi ijuk pangingot hodong, ulos pangingot ni holong. Artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos adalah pengikat kasih sayang antara orang tua dan anak-anak atau antara seseorang dengan orang lain (Sihombing, 2000, p. 42). Etika ini menjadi dasar mengapa orang Batak tetap mempertahankan penggunaan ulos dalam kehidupan sehari-hari.

(3)

Ulos menjadi salah satu sarana yang dipakai oleh pihak hula-hula (keluarga dari isteri /pemberi isteri) untuk mengalihkan sahala-nya (jiwa) kepada borun-nya (putrinya). Jika ulos disematkan ke badan pemakainnya, maka ulos memancarkan daya perlindungan bagi badan dan tondi-nya (jiwanya). Ulos menjadi lambang penghangat dan perlindungan bagi tubuh dan jiwa. Bagi masyarakat Toba, jiwa dan badan adalah sinkron atau memiliki paralelisme yang sempurna. Artinya jika sesuatu hal dialami oleh badan maka jiwa juga akan mengalaminya. Prinsip pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Malebranche seorang filsuf manusia. Malebranche mengatakan bahwa antara rangkaian peristiwa yang terjadi dalam jiwa terjadi pula dalam badan dan peristiwa yang terjadi dalam badan terdapat suatu paralelisme sempurna, sehingga setiap kali sesuatu terjadi dalam jiwa, maka sesuatu yang sejajar terjadi juga dalam badan (Leahy, 1992, p. 246). Oleh karena itu, penggunaan ulos bagi masyarakat Batak Toba tidak hanya menyangkut unsur fisik saja tetapi juga unsur kedalaman jiwa manusia (Sofian Naburju, 2021).

Sebagai hasil karya manusia, setiap unsur di dalam ulos mengandung simbol sosial dan ritual. Warna-warna yang terdapat dalam setiap ulos mengandung makna ritual dan pengakuan kepada Debata Mulajadi Na Bolon. Ketiga warna tersebut ialah (Darwin Herlis Manurung, 2020): Warna Hitam menggambarkan bahwa manusia tidak mampu mengetahui, meneliti, menganalisa hahomion (kebijaksanaan) Tuhan. Artinya bahwa nalar manusia sangat terbatas untuk memahami dan mengikuti jalan pikiran Tuhan. Maka jalan menuju kebijaksaanaan Tuhan melalui sikap dan tindakan kepada hula-hula yang dipercayai memiliki hahomion dalam Mulajadi Na Bolon. Warna Putih melambangkan kesucian dan kebenaran Tuhan. Warna putih ini mengandung makna bahwa Tuhan itu tidak dapat dibeda-bedakan dan dipilah-pilah. Warna Merah menyimbolkan pancaran kuasa dan kekuatan Tuhan. Warna merah ini, melambangkan kagairahan, semangat, dan kekuatan dalam bekerja. Dari ketiga warna ini terungkap kuasa Mulajadi Na Bolon yang triniter.

Dalam Perjanjian lama berkat selalu dihubungkan dengan Allah sebagai pemberi hidup artinya Allah dilihat sebagai pusat berkat. Pandangan ini didasarkan pada Kisah penciptaan (bdk. Kej 1). Secara keseluruhan boleh dikatakan bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama (selanjutnya PL) menampilkan berkat dalam arti pemberian hidup, kebaikan, kebahagiaan, kesuburan tanah, dan kekuasaan oleh Allah sebagai sumber hidup (Padersen, 1926, pp.

182‑190). Dalam Kej 1 dapat dilihat bahwa Allah dua kali memberkati hasil ciptaanNya. Pada episode pertama Allah memberkati binatang di air dan burung-burung di udara (Bdk. Kej 1:22). Arti dari "Allah memberkati" pada perikop ini adalah Allah membagikan dan memberikan kehidupan kepada ciptaanNya. Isi berkat pada bagian ini adalah kuasa untuk dapat hidup dan berkembang biak. Kemudian bentuk berkat adalah firman atau kata-kata yang berkuasa untuk menjadikan ciptaan itu mampu berkembang dan bertambah banyak (Bruce, 1982, pp. 81‑82).

Berkat dalam perjanjian Baru adalah disebut dengan eulogia yang artinya kata-kata yang baik (Suharyo, 1989, p. 13). Arti dasar kata eulogia ini merupakan kata-kata baik, ucapan- ucapan baik yang memiliki nilai etis. Artinya kata ini eulogia sama artinya dengan ucapan syukur, pujian, penghormatan, dan permohonan. Dalam Injil Sinoptik gagasan memberkati sebagai suatu tindakan terdapat dalam Injil Markus 10:13-16, dimana Yesus memberkati anak- anak. Juga, dalam Matius 10:1-16, Yesus memberkati para rasul dalam rangka perutusan dan ketiga dalam Lukas 24:50-51 Yesus memberkati para murid ketika Ia akan terangkat ke surga.

Bagi Bapa Gereja Berkat itu memiliki pandangan dan pemahaman masing-masing. St.

Ambrois mengatakan bahwa berkat itu itu adalah kat-kata yang memiliki kekuatan yang terungkap dalam doa. Bagi Ambrosius berkat itu dapat diberikan kepada setiap orang ketika kita berdoa. Sehingga bagi, St. Ambrosius doa dan sakramen tidak bisa dipisahkan. Baginya doa adalah kata-kata yang memiliki kekuatan yang dapat mengubah materi sakramen menjadi memiliki kekuatan dan berdayaguna (Ambrosius, 1971, pp. 355‑356). Tertulianus seorang bapa Gereja memahami berkat dalam kaitannya dengan sakramen. Dalam karyanya yang berjudul The Baptism (De Baptis) ia mengatakan bahwa berkat adalah anugerah dari Allah

(4)

yang hadir dalam air pembatisan. Dengan doa yang diucapkan oleh uskup atau imam saat memberkati air pembaptisan Roh Kudus dihadirkan dengan kata lain air dirasuki oleh Roh Kudus (Tertulianus, 1963, pp. 669‑674). Baginya doa yang ditujukan dan dipusatkan dalam nama Yesus Kristus mampu mendatangkan segala keutamaan yang dimohonkan.

Dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru maupun dalam pandangan para bapa Gereja diungkapkan bahwa sumber dan pusat segala berkat adalah Allah. Dalam PL dapat diketahui bahwa berkat adalah hidup dan hidup hanya berasal dari Allah. PB juga melihat bahwa berkat atau segala pujian yang mendatangkan hidup dan kebahagiaan kepada manusia hanya berasal dari Allah. Demikian juga para Bapa Gereja mengerti berkat sebagai hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan ilahi yang bersumber dari Allah. Dengan sakramen yang diberikan kepada gereja keutamaan-keutamaan ilahi dihadirkan dan diberikan kepada manusia sehingga manusia menjadi par exellence. Akhirnya berkat itu dimengerti sebagai kekuatan Allah yang terus menerus diberikan kepada manusia sepanjang sejarah kehidupan.

Dalam kisah penciptaan dapat diketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna. Dengan kesempurnaan yang dimiliki, manusia akhirnya mampu menjadi sumber berkat bagi sesamanya. Artinya manusia dapat mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan kepada sesamanya. Sebagaimana seorang ibu dapat memberikan kehidupan dan kebahagiaan kepada anak-anaknya, demikian juga manusia dengan sesamanya mampu menjadi sumber kebahagiaan.

Kitab Suci PL memberikan gambaran bagaimana manusia dapat memberkati sesamanya. Misalnya, Melkisedek memberkati Abraham (bdk. Kej 14:19) lalu Ishak memberkati Yakub (bdk. Kej 27:27-29) dan Harun memberkati umat Israel (bdk. Im 2:2). Dari beberapa kutipan tersebut dapat dilihat bahwa manusia bertindak sebagai perantara berkat Allah bagi orang lain.

Demikian juga dalam Kitab Suci PB, Yesus menjadikan para murid-Nya menjadi pembawa berkat bagi bangsa lain. Hal ini tampak ketika Yesus memberikan kuasa mengusir roh jahat dan melenyapkan segala penyakit dan kelemahan dalam kerangka perutusan para rasul (bdk. Mat 10: 1, 5-8). Kemudian rasul Petrus dalam suratnya yang pertama mengatakan bahwa orang Kristen dipanggil untuk memberkati setiap orang (bdk. I Ptr 3:9).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap orang yang percaya kepada Allah, baik itu pria maupun wanita dapat menjadi perantara berkat Allah kepada sesamanya. Dengan doa yang dipanjatkan kepada Allah, manusia mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan bagi sesama. Dalam hal ini, ketika seseorang berdoa bagi kebaikan orang lain berarti ia memberikan berkat. Akan tetapi berkat yang diberikan oleh manusia itu tidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari Allah. Ia hanya bertindak sebagai perantara berkat Allah.

METODE

Penelitian ini, menggunakan metode studi kepustakaan dan wawancara. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian kualitatif. Tujuan menggunakan metode kualitatif adalah untuk mendalami suatu tema dan dilakukan dengan pengumpulan analisis, serta interpretasi data dari penemuan dalam penelitian. Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode fenomenologis. Tujuan menggunakan penelitian fenomenologi ini untuk menginterpretasikan serta menjelaskan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh informan dalam kehidupan budaya mengenai penggunaan ulos khususnya dalam adat perkawianan Gereja Katolik. Pada penelitian fenomenologi lebih mengutamakan pada proses mencari, mempelajari dan menyampaikan arti fenomena, Dalam studi kepustakaan, peneliti berusaha menggali data dari beberapa buku yang membahas mengenai budaya Batak. Selain itu, peneliti juga akan melengkapinya dengan sumber-sumber dari internet. Informan dalam wawancara ini adalah mahasiswa yang berasal dari tanah Batak. Mereka adalah mahasiswa yang memiliki kebudayaan Batak Toba. Dengan kebudayaan yang sama, maka makna ulos dapat dikritisi lebih dalam lagi.

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Paham Mangulosi Sebagai Tanda Memberi Berkat

Pada zaman dulu seorang penenun, saat akan menenun ulos ia selalu berdoa terlebih dahulu, semoga hasil tenunannya dapat memberi hangat dan kesehatan serta kebaikan kepada pembeli, dan apabila diapakai unutk mangulosi menjadi sumber kebikan kepada yang diulosi (H.P. Panggabean, 2011, p. 57).

Ulos sebagai hasil kerja keras penenun menampilkan makna religi. Makna religi itu tertuang dalam tiga warna dasar yang digunakan dalam ulos. Ketiga warna dasar yang dipakai menyimbolkan tiga keutamaan dan pribadi Mula Jadi Na Bolon (Tuhan). Maka dapat dikatakan bahwa ulos adalah simbol berkat dari pemberi ulos dengan harapan ketiga keutamaan Mula Jadi Na Bolon hinggap atas orang yang diulosi. Selain sebagai simbol berkat ulos juga merupakan tanda pengikat batin, yaitu batin antara pemberi dan penerima ulos.

Ikatan batin antara pemberi dan penerima ulos hadir dalam ulos yang diberikan.

Wawancara dilakukan kepada beberapa mahasiswa yang berasal dari tanah Batak.

Wawancara ini dilakukan pada tanggal 27 Mei 2022. Dalam wawancara ini diajukan beberapa pertanyaan mengenai budaya Batak khususnya ulos. Berdasarkan wawancara tersebut, peneliti mendapatkan hasil demikian:

Narasumber pertama berasal dari Sibolga, Sumatera Utara. Dalam perkembangan waktu ia melanjutkan hidupnya dengan merantau di tanah Jakarta. Situasi hidup yang baru dan keadaan social yang baru mengajaknya untuk beradaptasi dengan budaya baru yang ditemuinya. Dalam wawancara, ia menjelaskan demikian:

“Nama saya adalah Julian Sihotang. Saya lahir di tanah Sibolga, Sumatera Utara. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas, saya melanjutkan hidup saya dengan merantau ke tanah Jakarta. Di sana saya bekerja dan menjalani hidup yang baru dengan situasi yang baru. Budaya baru saya temui di Jakarta yang sangat berbeda dengan budaya asli saya di tanah Sibolga.

Mengenai makna ulos, saya tidak terlalu mengerti dan memahaminya. Ulos sering di pakai di tanah kelahiran saya, namun saya sendiri kurang aktif dan mau terlibat di dalamnya. Sehingga banyak makna ulos yang saya tidak tahu. Di tempat kelahiran saya, ulos digunakan saat pesta adat, yaitu saat pernikahan, ke Gereja pada hari minggu terutama bagi kaum ibu, dan juga saat kematian.”

Kehidupan yang dijalaninya membuatnya terpisah dari budaya asalnya. Ia menjalani kehidupan dengan keluar dari tanah kelahirannya dan memilih bekerja di tempat dan budaya yang baru. Dengan demikian, pemaknaan ulos pun mulai terkikis dari dirinya dan kini sudah tidak terlalu mendalam lagi.

Narasumber yang kedua berasal dari Sidikalang, Sumatera Utara. Ia termasuk dalam suku Batak Toba. Di tempatnya berasal, Ulos sangat sering digunakan. Ia sendiri juga termasuk menggunkan ulos pada saat pesta adat. Dalam wawancaranya, ia menuturkan:

“Nama saya ialah Rori Simbolon. Saya berasal dari tanah Sidikalang, Sumatera Utara. Ulos bukanlah benda asing di tanah kelahiran saya. Setiap pesta adat dan acara-acara besar, kami selalu menggunakan ulos. Dalam penggunaannya tidaklah sembarangan. Setiap ulos memiliki makna dan motif yang berbeda-beda. Jika kami pergi menghadiri upacara pernikahan secara adat, maka kami menggunakan motif ulos yang berbeda dengan yang kami gunakan saat menghadiri upacara kematian.

Pernikahan dan kematian memang bagian dari kehidupan manusia, tetapi keduanya memiliki makna sendiri di dalamnya.

Mengenai makna ulos, saya hanya sedikit saja mengetahuinya. Saya mengenal ulos yang bermakna ulos ronjat dan ulos ragihotang. Kedua makna ulos ini cukup saya kenal karena saya pernah diberi pelajaran mengenai makna ulos oleh kakek saya. Dua ulos ini menjadi ulos yang tidak asing bagi saya. Dalam satu kesempatan pernikahan keluarga dekat, keluarga saya juga pernah memeberikan ulos ronjat sebagai hadiah dari pernikahan tersebut kepada kedua mempelai. Selain itu, kakek saya juga pernah mengajarkan bahwa ulos merupakan tanda berkat bagi yang memakainya. Selain sebagai simbol berkat bagi pemakainya, ulos juga dipandang sebagai simbol harapan bagi orang yang memilikinya.

Harapan bahwa keutamaan yang ada pada ulos dimiliki oleh pemakainya.

(6)

Dalam upacara adat, ulos digunakan sebagai hadiah. Dengan demikian, ulos diharapkan mampu menjadi tanda pengikat antara yang memberi dan juga yang menerima. Simbol ini tetap dijaga dan dilestarikan hingga saat ini. Saya memaknai ulos hanya sebagai berkat bagi diri saya dan keluarga saya.

Pendidikan yang didapat dari keluarga menjadi salah satu cara untuk meneruskan kebudayaan. Hal ini terlihat dalam kehidupan narasumber kedua. Ia mendapatkan makna ulos dari keluarganya khususnya kakeknya yang mengajarinya hal tersebut. Keluarga menjadi titik utama dalam pengembangan kebudayaan. Jika keluarga tidak menurunkan nilai-nilai kebudayaannya, maka nilai kebudayaan itu akan mati atu juga dapat berubah tergerus dengan budaya yang baru.

Narasumber yang ketiga berasal dari Pulau Samosir, Toba, Sumatera Utara. Ia masih termasuk dalam suku Batak Toba. Di tempat kelahirannya, ulos sering dipakai dalam berbagai kegiatan. Hal ini menumbuhkan rasa bangga tersendiri terhadap ulos.

Nama saya ialah Artho Sitio. Saya berasal dari Pulau Samosir, Tanah Toba, Sumatera Utara.

Saya mengenal ulos pertama kali ketika berumur 6 tahun. Saat itu orang tua menunjukkan kepada saya ulos yang mereka pakai. Mereka menjelaskan kepada saya akan pemakaian ulos dalam upacara adat, dan saat ke Gereja karena dianggap sebagai hal yang sakral. Selain itu, ulos menjadi kebanggaan bagi keluarga saya karena dipandang sebagai identitas kami.

Makna ulos yang saya ketahui ialah melambangkan kesatuan, kesakralan, kesuburan, keabadian dan kemakmuran. Ulos juga melambangkan gender. Hal ini terlihat dari penggunaan ulos yang dikhususkan bagi kaum laki-laki dan juga kaum perempuan. Namun saat ini pengkhususan ini jarang saya temui. Pemaknaan ini saya dapatkan dari orang tua saya ketika ada upacara adat. Mereka mengajarkan kepada saya makna ulos dan cara pemakaiannya sehingga saya sedikit tahu dan mengerti akan budaya yang saya miliki.

Berkat yang terkandung dalam ulos adalah berkat yang membawa kemakmuran. Melalui berkat ini, ulos dianggap sangat sakral dan berharga. Dulu ketika saya kecil, berkat ini berulang kali ditekankan oleh orang tua saya ketika memberikan pengetahuan mengenai ulos. Mereka sangat bangga akan berkat yang terkandung di dalamnya, hingga kami para anaknya diwajibkan memakai ulos juga agar mendapatkan berkat yang sama.

Pemakaian ulos saat ini menurut saya tidak seperti dulu lagi. Banyak masyarakat di kampung saya sudah tidak memaknai ulos sebagai hal yang sakral. Mereka justru cenderung menggunakan ulos sebagai bentuk hadiah, cinderamata, dan juga hanya digunakan sebagai formalitas pakaian adat saja.

Ulos menurut saya sudah tidak terlalu mendalam lagi maknanya. Selain itu, mereka juga menggunakan ulos sebagai identitas saja tanpa memaknainya.

Perubahan ini menurut saya disebabkan karena orang tidak lagi menghayati nilai atau makna ulos seperti zaman dulu lagi. Mereka mengalami pergeseran makna terhadap ulos. Hal tersebut terjadi karena perkembangan zaman yang terjadi. Banyak kemajuan zaman yang dirasakan membuat orang- orang di tempat saya meninggalkan nilai-nilai yang dulu. Salah satunya ialah nilai kesakralan. Ulos dipandang tidak lagi sakral seperti dulu. Kesakralannya sudah berkurang di dalam kehidupan masyarakat.

Keluarga, sekali lagi, menjadi ujung tombak dalam meneruskan nilai kebudayaan.

Namun pengaruh perkembangan zaman yang terjadi membuat makna itu semakin kabur.

Keluarga mulai tergerus perkembangan zaman. Berbagai bentuk perkembangan ini merenggut nilai yang sudah tertanam dalam diri masyarakat Batak Toba.

Kebudayaan adalah yang menjadikan manusia sebagai manusia: sebuah daya yang hanya dapat didefinisikan selaku dirinya manakala ia menerabas batas, mengambil pendirian, dan tak hanyut tergiring dunia di luar dirinya (Riyanto, 2018, p. 44). Kebudayaan akan membuat manusia kuat dalam dirinya dan tinggal dalam dirinya. Sehingga identitas setiap manusia akan sesuai dengan kebudayaan yang dihidupinya. Apabila kebudayaan keluar dari nilai-nilainya sendiri, maka kebudayaan itu akan mengingkari nilai yang dihidupinya.

Berdasarkan hasil wawancara dari kedua narasumber, kita dapat mengetahui bahwa perubahan nilai dalam budaya diakibatkan oleh banyak sebab, salah satunya ialah faktor manusia dan budaya yang baru. Dalam hasil wawancara dengan narasumber pertama, budaya Batak khususnya ulos yang dimilikinya sudah tidak kental lagi. Semenjak narasumber

(7)

bertemu dengan budaya baru, kebudayaan yang lama menjadi pudar dan hilang dengan perlahan. Berbeda dengan narasumber pertama, narasumber kedua menjelaskan bahwa kebudayaannya tetap tinggal sebagai nilai yang utama. Ia mendapatkan pengajaran kebudayaan dari keluarganya. Dengan cara demikian, nilai kebudayaan tetap diwariskan turun temurun.

Dalam proses pewarisan kebudayaan, terdapat suatu sistem baru yang membuat budaya lama seakan diperbarui dengan konteks yang baru. Pemberian makna baru terhadap kebudayaan, entah itu mengurangi ataupun menambah makna dari kebudayaan lama dapat disebut sebagai reproduksi budaya. Proses ini mengisyaratkan adanya dua kebudayaan yang berbeda. Dari kedua kebudayaan ini ada nilai-nilai yang tetap dihidupi namun ada juga nilai- nilai yang hilang bahkan digantikan dengan nilai yang baru. “Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif proses aktif yang menegaskan kebaradaannya dalam kehidupan sosial” (Abdullah, 2009, p. 41).

Narasumber pertama menjelaskan bahwa dengan budaya baru yang ditemuinya, ia memaksa dirinya untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan budaya tersebut.

“Mobilitas telah menjadi faktor penting dalam pembentukan dan perubahan peradaban umat manusia karena perbedaan tempat dalam kehidupan manusia telah menciptakan definisi- definisi baru, tidak hanya tentang lingkungan kebudayaan mana seseorang tinggal tetapi juga tentang dirinya sendiri (Abdullah, 2009, p. 43) Perpindahan narasumber pertama ke Jakarta menjadi faktor utama dari reproduksi budaya dalam dirinya. Ia meninggalkan sebagian dari nilai budaya yang lama dan menghidupi budaya baru di Jakarta. Reproduksi budaya makna ulos memperoleh makna baru. Dalam diri narasumber pertama, ulos tidak lagi dimaknai sebagai benda yang hadir secara terus-menerus. Ulos dimaknai sebagai asal-usul dan identitas lama.

Hal baru yang dimaknainya dalam ulos adalah simbol berkat yang tidak lagi terikat pada benda. Berkat dijumpainya dalam kehidupan rohani di Gereja, tidak terpaku pada ulos yang dibawanya. Dengan demikian, berkat ini tidak hanya terpaku pada satu hal, melainkan lebih daripada itu terbuka pada banyak hal lain. Berkat baginya dapat diperoleh dari hidup rohani yang baik, bukan pada kepemilikan kain ulos.

Narasumber ketiga menjelaskan bahwa nilai ulos yang dia hidupi berasal dari keluarganya. Ulos menjadi hal yang sakral bagi keluarga dan masyarakatnya. Ia menghidupi ulos dengan berbagai makna dan berkat di dalamnya. Dengan demikian, relasinya dengan ulos masih sangat kental. Berkat kemakmuran dipercaya olehnya sebagai salah satu produk dari kebudayaan. Kepercayaan masyarakat menjadi suatu cara hidup dan pola hidup tertentu dan ini terwujud dalam kebudayaannya. Mangulosi sebagai tanda berkat juga dia alami dalam berbagai upacara adat. Kehadiran unsur mangulosi ini membawa sistem kepercayaan masyarakat yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Namun perkembangan zaman menjadi faktor yang hadir dalam lingkup kebudayaan.

Perkembangan zaman menghapus nilai yang sudah tertanam dalam diri masyarakat.

Masyarakat kehilangan makna karena pengaruh globalisasi.

“Proses globalisasi telah melahirkan diferensiasi yang meluas, yang tampak dari proses pembentukan gaya hidup dan identitas (Abdullah, 2009, p. 174). Diferensiasi ini melahirkan pembedaan dan cara hidup baru yang meninggalkan nilai-nilai lama. Identitas baru ditemukan dalam pengaruh globalisasi. Identitas ulos yang lama digantikan dengan nilai yang baru dan sesuai dengan kemajuan zaman. Gaya hidup baru dengan penggunaan ulos pun muncul. Masyarakat tidak lagi menghidupi nilai yang sakral dari ulos. Nilai ini dianggap tidak sesuai lagi dengan modernitas saat ini. Mereka justru menggunakan ulos sebagai bentuk kenang-kenangan atau cideramata. Penggunaan ini dinilai sesuai dengan perkembangan zaman ini.

(8)

Hubungan Memberi Berkat Dalam Gereja Katolik Dan Pemberian Ulos Dalam Perkawinan Batak Toba: Mangulosi Dalam Adat Perkawinan

Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot ni pansa” yaitu; 1) Ulos marjabu (untuk pengantin); 2) Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki; 3) Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah; 4) Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan). Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan (Agustina, 2016).

Adapun tata cara pemberian ulos ialah: Sebuah ulos (biasanya ragihotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat. Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata yang mengandung berkah (pasu-pasu).

Penggunaan Ulos Dalam Pemberkatan

Doa-doa yang dipanjatkan dalam perkawinan tersirat harapan akan kesetiaan seumur hidup. Agar perkawinan utuh di depan Allah dan manusia, maka dalam pemberkatan meminta restu dan berkat Ilahi untuk mengesahkan dan memberkati agar bertuah bahagia.

Proses pemberkatan perkawinan Batak Toba, tidak pernah lepas dari penggunaan simbol berupa benda-benda. Simbol yang berasal dari sebuah karya seni membukakan roh manusia kepada dimensi estetis dan membukakan kepada dimensi makna intristiknya.

Adanya simbol membantu membuka dimensi roh batiniah manusia untuk memperluas penglihatan tentang yang transenden (Dillistone, 2002, pp. 124‑125).

Dalam perkawinan Batak Toba, banyak benda yang digunakan sebagai simbol. Salah satu simbol yang digunakan adalah ulos. Ulos menjadi sarana masyarakat Batak untuk membuka roh dan merasakan Allah yang hadir secara transenden. Saat mengenakan tanda dalam perkawinan, pertama-tama sang imam menggunakan ulos yang sudah diberkati.

Biasanya ulos yang digunakan adalah ulos lobu-lobu. Ulos lobu-lobu biasa digunakan sebagai kain hophop (penutup tubuh bagian atas) untuk laki-laki dan perempuan. Makna dari penggunaan ulos ini menunjukkan kesatuan fisik kedua pengantin, sebab dua orang dimasukkan dalam satu ulos (Dillistone, 2002, p. 20). Hal ini menunjukkan bahwa kedua mempelai sudah dipersatukan oleh Allah dan diharapkan keduanya saling mencintai dan setia sampai seumur hidup.

Perkawinan tidak lepas dari campur tangan yang Ilahi. Melalui pemberkatan di gereja beserta penggunaan simbol-simbol menunjukkan bahwa Allah hadir di dunia ini (Sigalingging, 2020). Manusia dengan rasio insaninya dan benda-benda material dapat merasakan kekuasaan Allah dalam diri mereka. Thomas Aquinas mengakui kemampuan rasio insani untuk mengenal adanya Allah. Namun adanya Allah tidak dapat dikenal secara langsung, tetapi hanya melalui perantara ciptaan-ciptaan.

Pendapat ini sejalan dengan penggunaan ulos dalam pemberkatan, dimana kedua mempelai dengan rasionya menyadari akan kehadiran Allah. Melalui perantaraan ulos, kedua mempelai berdoa dan memohan kepada Allah akan kelangsungan hidup keluarga mereka ke depannya. Penggunaan ulos dalam pemberkatan menunjukkan bahwa kedua mempelai

(9)

berjanji kepada Allah dan telah disatukan oleh Allah. Dengan demikian, ulos menjadi tanda sarana rohani yang digunakan kedua mempelai untuk menunjukkan bahwa mereka telah dimateraikan atau disatukan oleh Allah dalam perkawinan. Kedua mempelai menggunakan satu ulos yang melambangkan cinta yang mendalam di antara kedua belah pihak.

Penggunaan simbol dalam kehidupan memperluas penglihatan roh manusia agar mampu manangkap dan merasakan realitas transenden. Sehingga hidup rohaninya bertumbuh dan berkembang (Dillistone, 2002, p. 125). Artinya dengan menggunakan ulos, roh manusia dapat merasakan langsung Allah yang hadir dalam diri mereka sehingga dalam perkawinan mereka sungguh merasakan Allah yang transenden. Dengan demikian ulos sebagai tradisi orang Batak Toba masih sangat relevan, relevan karena dengan simbol ini kedua mempelai menyadari atau merasakan kehadiran Allah secara langsung bagi diri mereka.

Peristiwa Mangulosi Sebagai Sarana Memahami Arti Berkat Dalam Batak Toba

Ulos bagi masyarakat batak Toba bukanlah hanya sebatas kain yang digunakan dalam kehidupan masyarakat. Ulos dalam masyarakat Batak Toba memiliki makna religius. Diwal sudah dikatakan bahw ulos adalah simbol berkat. Ulos sebagai simbol berkat pada akhirnya dapat menjadi sarana unutk membantu penghayatan hubungan orang Batak dengan Allah yang disembah. Lalu penghayatan ini juga mengarah kepada pengakuan akan Allh sebagai satu-satunya sumber berkat.

Lalu bagaimana kita dapat memahami peristiwa mangulosi sebagai jalan unutk mengerti arti berkat dalam masyarakat Batak? Untuk menjawab pertanyaan ini harus kembali kepada pemahaman akan Allah dan manusia dalam masyarakakat Batak. Bagi masyarakat Batak memiliki keyakinan akan Allah sebagai pribadi yang mencipta. Pribadi Allah yang mencipta ini diyakini pula sebagai pribadi yang berbelaskasih, mahabaik, dan mahamurah.

Allah yang demikian disebut sebagai Debata Mulajadi Na Bolon (Darwin Herlis Manurung, 2020). Debata Debata Mulajadi Na Bolon ini sangat memberi perhatian kepada ciptaanNya.

Sedangkan pandangan tentang manusia, orang Batak meyakini bahwa manusia adalah keturunan para dewa ciptaan Debata Mulajadi Na Bolon. Orang Batak percaya bahwa mereka adalah ciptaan khusus Debata Mulajadi Na Bolon. Kekhususan ini terdapat pada previlege yang diberikan oleh Debata Mulajadi Na Bolon pada saat penciptaan manusia. Debata telah memberikan previlege ilahi kepada manusia, yaitu dapat berhubungan langsung dengan para dewata, tinggal di negeri para dewa, dan tidak dapat mati. Ketiga previlege yang dimiliki manusia itu ternyata tidak bertahan lama dalam diri manusia. Manusia pun akhirnya kehilangan previlege yang dimiliki karena dosa. Akibatnya manusia semakin sengsara, jauh dari para dewa, dan penuh kesengsaraan dan penderitaan (Sinaga, 1981, pp. 3‑5). Untuk mengembalikan hubungan ini manusia melakukan beberapa upacara keagamaan dan upacara adat. Upacara keagamaan dan upacara adat ini juga diyakini berasal dari Debata yang sedih melihat penderitaan manusia (Sinaga, 1981, pp. 2‑21). Tujuan utama dari upacara-upacara ini adalah memohon belaskasihan dan kekuatan Allah untuk dapat bertahan hidup. Kemudian cara ini diungkapkan dalam berbagai simbol. Salah satunya adalah nya adalah ulos. Ulos dilihat sebagai simbol yang mengandung tiga keutamaan Debata Mulajadi Na Bolon yang harus diberikan kepada manusia yang lemah atau yang membutuhkan.

Dengan melihat latar belakang di atas kita dapat mengerti paham berkat melalui ulos.

Salah satu unsur yang terpenting untuk memahami berkat dalarn masyarakat adalah nila peligius yang terdapat dalam ulos (Siahaan, 1987, pp. 45‑46). Kemudian kekuatan kata-kata yang berisikan kekuatan berkat Dengan melihat hal penting di atas dapat disimpulkan:

Pertama, mangulosi adalah peristiwa pemberian berkat atau keutamaan Debata Mulajadi Na Bolon (Allah) yang tertuang dalam sehelai ulos kepada orang yang diberkati atau didoakan.

Kedua, peristiwa mangulosi sebagai pemberian berkat terungkap jelas dalam hata sigabegabe dan hata sidenggandenggan yang diucapkan. Maka kata-kata tersebut adalah isi dari berkat yang diberikan sedangkan ulos adalah tanda berkat (Siahaan, 1987, p. 355). Dengan demikian

(10)

kita dapat mengerti arti berkat dalam masyarakat Batak yaitu pemberian atau upaya mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan Allah kepada orang orang lain melalui doa-doa atau kata-kata yang indah dan terungkap dalam rupa simbol ulos.

Berkat dan Memberkati dalam Gereja Katolik

Untuk mencari arti berkat dalam gereja Katolik kita harus berangkat dari konteks biblis dan pandangan para Bapa Gereja. Pencarian arti berkat ini juga tidak bisa lepas dari konteks kebudayaan bangsa Yahudi atau bangsa Israel, serta masyarakat pertama di mana gereja berkembang. Secara etimologis berkat berasal dari kata beraka (sebagai kata benda) dari bahasa Ibrani yang berarti hadiah, pemberian, permohonan, dan pujian. Dalam bahasa Yunani eulogia berarti kata-kata yang baik, kata-kata pujian dan kata-kata yang bermakna. Sedangkan sebagai kata kerja memberkati, dalam bahasa Ibrani barak berarti memuji, menyambut, membawa, mendoakan, memohon, dan memberi. Dalam bahasa Yunani eulogeo berarti mengucapkan kata-kata yang baik, memohon memuji dan menguduskan. Maka berkat adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan karunia-karunia ilahi. Sedangkan memberkati berarti menganugerahkan karunia-karunia ilahi atau segala yang baik kepada orang lain. Tindakan ini pertama-tama adalah tindakan Allah melulu. Tetapi manusia dengan iman yang dimilikinya dapat memberkati sesama. Dengan berdoa dan memuji Allah ia dapat mendatangkan karunia-karunia atau rahmat Allah untuk orang lain.

Bila ditinjau dari sudut Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, berkat merupakan anugerah-anugerah ilahi yang diberikan oleh Allah kepada manusia.

Kemudian tindakan memberkati dalam Kitab Suci PL dan PB pertama-tama adalah tindakan atau karya Allah kepada manusia. Maka orang yang memperoleh berkat akan disebut sebagai orang yang terpuji, yang terpilih dan dikhususkan bagi Allah. Namun manusia juga dapat memberkati sesamanya. Dalam PL tindakan ini sangat kelihatan dalam adat istiadat dan kehidupan agama Yahudi. Misalnya seorang ayah memberkati anak sulungnya. Kemudian seorang imam memberkati umatnya, karena ia memiliki kuasa sebagai pemimpin. Dalam PB terlebih dalam surat-surat para rasul tindakan memberkati menjadi panggilan terpenting dari setiap orang Kristen (Rantesalu, 2016). Melalui doa dan pujian kepada Allah orang dapat memberikan berkat kepada sesamanya.

Kemudian dari pandangan para Bapa Gereja, berkat beran segala sesusatu yang berkaitan dengan hal-hal keutamaan atau anugerah-gerah, yeke kadusan dan kebahagiaan.

Berkat dapat dipahami dalam konteks kramen, Dalam liturgi berkat terjadi melalui doa-doa atau puji-pujian. Setenga dalam sakramen berkat terjadi melalui simbol-simbol yang dipakai sebagai sarana tuk menyalurkan anugerah-anugerah ilahi.

Peristiwa Mangulosi sebagai Sarana Berteologi Gereja Katolik di Tanah Batak

Kemiripan yang mendasar antara pemahaman berkat dalam kebudayaan Batak Toba melalui peristiwa mangulosi dengan tradisi Gereja Katolik, secara langsung menyodorkan suatu wacana baru bagi Gereja Katolik untuk berteologi di tanah Batak. Dalam hal ini kita dihadapkan pada tantangan bagaimana Gereja Katolik dapat berteologi di tanah Batak. Gereja melalui Konsili Vatikan II mengatakan:

Gereja-gereja itu meminjam dari adat istiadat dan tradisi-taradisi para bangsanya, dari kebijaksanaan dan ajaran mereka, dari kesenian dan ilmu pengetahuan mereka, segala sesuatu, yang dapat merupakan sumbangan untuk mengakui kemuliaan Sang Pencipta, untuk memperjelas rahmat Sang Penebus, dan untuk mengatur hidup kristiani dengan seksama" (AG 22)

Inilah yang menjadi tugas gereja lokal untuk membentuk paradigma teologis dan liturgis yang baru, sehingga secara otentik berasal dari bumi setempat dan secara kuat dapat menyambut injil Tuhan.

Menanggapi tugas panggilan Gereja ini, dapat dikatakan peristiwa mangulosi adalah salah satu kekayaan yang dimiliki oleh suku Batak. Secara teologis ulos dan peristiwa mangulosi merupakan persiapan injil. Dasar pemikiran ini kami berikan dengan melihat

(11)

adanya beberapa kesamaan nilai dan pandangan tentang berkat, ritus berkat, dan tentang Allah sebagai satu-satunya sumber berkat serta isi dari berkat itu. Jadi kekayaan Suku Batak tersebut, menurut kami adalah sarana yang tepat untuk berteologi dalam menjelaskan kerahiman dan kebaikan Allah yang selalu memberi berkat pada manusia. Selain itu ulos dan mangulosi adalah sarana yang tepat untuk memperjelas rahmat penebusan Allah dan sarana yang tepat untuk mewartakan injil dan cinta kasih Allah.

Ulos dan Peristiwa Mangulosi Sebagai Kekayaan Gereja Katolik Universal

Adalah suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa Gereja senantiasa hidup dan berkembang dalam pelbagai situasi dan kebudayaan bangsa-bangsa. Namun Gereja yang hidup dan berkembang itu tidak terikat pada salah satu bangsa atau kebudayaan tertentu.

Namun Gereja dengan kegiatan misinya diutus kepada semua bangsa dan manusia. Hal ini sudah terjadi ketika Yesus mengutus para rasulNya untuk mewartakan kabar keselamatan dan kerajaan Allah (bdk. Mrk 16:15).

Konsili Vatikan II juga melihat hubungan antara warta gembira Kristus dan kebudayaan manusia. Hubungan ini muncul karena Allah yang mewahyukan Diri kepada umat- Nya hingga penampakan Dirinya sepenuhnya dalam PuteraNya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai jaman. Demikian juga Gereja yang hidup dan berkembang dalam pelbagai situasi, telah memanfaatkan berbagai kebudayaan untuk mewartakan sabda karya Kristus serta mengungkapkannya dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang berandhar (bilk. GS 58)

Dengan melihat pandangan Kon. Vat. II di atas, dapat kami katakan bahwa ulos sebagai kekayaan Gereja Katolik Batak Toba juga merupakan kekayaan Gereja Katolik universal. Kekayaan inilah yang perlu dikembangkan dan dibina dalam liturgi Gereja. Gereja hadir dan menyempurnakan kekayaan itu dalam terang Kristus dan menjadi kekayaan Gereja semesta.

SIMPULAN

Kebudayaan adalah sebuah identitas bagi manusia. Setiap manusia yang menghidupi budayanya berarti pula memiliki identitas diri sebagai bangsa. Dalam paper ini kebudayaan yang dibahas adalah kain ulos dari Batak Toba. Kain ulos yang memiliki beraneka macam makna membentuk identitas dalam masyarakat Batak Toba. Ulos mengandung berkat bagi pemakainya dan juga bagi orang yang dihadiahi ulos. Berkat ini tercermin dalam tiga warna dasar yang dipakai dan menyimbolkan tiga keutamaan dan pribadi Mula Jadi Na Bolon (Tuhan). Diharapkan bahwa siapapun yang memakainya memiliki keutamaan tersebut.

Berkat itu semakin nyata ketika ulos diberikan sebagai hadiah bagi orang lain. konsep pemberian hadiah ini menyiratkan berkat yang dibagikan kepada sesama dan ikatan batin antara yang memberi dan yang menerima. Ikatan batin ini memperkuat sistem kekerabatan dan kekeluargaan dalam masyarakat Batak Toba. Dengan demikian, ulos menjadi sangat penting maknanya bagi masyarakat Batak Toba.

Peristiwa mangulosi dalam perkawinan merupakan simbol memberikan berkat dalam masyarakat Batak Toba dan termasuk dalam perayaan sakramentali. Alasan utamanya adalah, bahwa peristiwa mangulosi terungkap doa permohonan orang beriman kepada Allah supaya memberikan berkat-Nya kepada yang diulosi. Sehingga sebagai satu bentuk perayaan sakramentali, di dalam peristiwa mengulosi berkta yang diberikan tidka berasal dari pemberi ulos tetapi berasal dari Allah sendiri karena doa-doa yang dipanjatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I. (2009). Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Agustina, C. (2016). Makna Dan Fungsi Ulos Dalam Adat Masyarakat Batak Toba Di Desa Talang Mandi Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis. JOM FISIP, 3, No 1. Repéré à https://media.neliti.com/media/publications/32967-ID-makna-dan-fungsi-ulos-

(12)

dalam-adat-masyarakat-batak-toba-di-desa-talang-mandi-keca.pdf

Ambrosius, S. (1971). "The Prayerof Job and David II, 2.5, 3.7, Seven Exegetical Works. Washington:

The Catholic University of America Press.

Bruce, F. F. (1982). Tafsiaran Alkitab Masa Kini I (Kej-Ester),. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Cassirer, E. (1987). Manusia dan Kebudayaan: Esei Tentang Manusia (judul asli: An Essay on Man).

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Darmawan, Y. (2015). Makna Simbolik Ulos Dalam Pernikahan Adat Istiadat Batak Toba Di Bakara Kecamatan Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara.

Jom FISIP, 2 No. 2. Repéré à https://media.neliti.com/media/publications/32518-ID- makna-simbolik-ulos-dalam-pernikahan-adat-istiadat-batak-toba-di-bakara-

kecamata.pdf

Darwin Herlis Manurung, I. M. L. & R. T. (2020). Struktur Cosmos Masyarakat Batak dalam Simbol Ulos. Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya, 6. No 1. Repéré à file:///C:/Users/Deora/Downloads/16603-40322-2-PB.pdf

Dillistone, W. (2002). Daya Kekuatan Simbol (Judul Asli: The Power Of Symbols). Yogyakarta:

Kanisius.

H.P. Panggabean, D. (2011). Kekristenan dan Adat Budaya Batak dalam Perbincangan. Jakarta:

Dian Utama.

Johni Hardori, J. R. dkk. (2019). Studi Teologi Kontekstual terhadap pemberian Ulos dalam pernikahan adat Batak. Matheo, Vol 19 No. Repéré à http://sttbi.ac.id/journal/index.php/matheo/article/view/178/93

Joosten, L. (1992). Samosir Selayang Pandang. Pematang Siantar: Ordo Kapusin Regio Medan.

Leahy, L. (1992). Manusia Sebagai Misteri: Sintesa Filosofis tentang Mahluk Paradoksal. Jakarta:

Gramedia.

Lopiana Margaretha Panjaitan, D. S. (2016). Pelestarian Nilai-Nilai Civic Culture dalam Memperkuat Identitas Budaya Masyarakat: Makna Simbolik Ulos dalam Pelaksanaan Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Sitorang. Of Urban Society’s Arts, 3, No 2. Repéré à https://journal.isi.ac.id/index.php/JOUSA/article/view/1481/326

Manalu, M. D. (2014). “Makna Simbolik Upacara Adat Mangulosi pada Siklus Kehidupan Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Universitas Negeri Medan.

Padersen, J. (1926). Israel: Its Life and Culture. London: Burns & Oates.

Rantesalu, M. B. (2016). Berkat Dalam Kitab Kejadian. Tumou Tou, 3 No, 2. Repéré à https://ejournal-iakn-manado.ac.id/index.php/tumoutou/article/view/33/134

Riyanto, G. (2018). Asal Usul Kebudayaan. Malang: Beranda.

Siahaan, B. H. H. dan H. M. (1987). OrientasiNilai-nilai Budaya Batu Pendekatan terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing. Jakarta: Sangga Iskander.

Sigalingging, J. (2020). Membangun Dialog dalam Keberagaman Memahami Ritual Martutu Aek Batak Toba dan Sakramen Baptis. Perspektif, 15 No. 2. Repéré à https://adityawacana.id/ojs/index.php/jpf/article/view/138/134

Sihombing, T. . (2000). Filsafat Batak. Jakarta: Balai Pustaka.

Sinaga, A. B. (1981). The Toba Batak High God Transcendence and Immanence. West Germany:

Anthropos Institute St. Augustin.

Sofian Naburju, P. M. (2021). Tinjauan Dogmatis Terhadap Ulos Tondi Kepada Ibu Yang Mengandung Anak Pertama Di GKPA Hutatonga. Sabda Akademika, 1, No 1. Repéré à https://ejurnal.sttabdisabda.ac.id/index.php/JSAK/article/view/11/13

Sri Rahayu Fitriani, W. T. A. (2020). Desain Kerajinan Tas Ulos Batak Karya Sabina Collection.

Gorga:Jurnal Seni Rupa, 9, No 2. Repéré à

https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/gorga/article/view/22120/14841 Suharyo, I. (1989). Pengantar Injil Sinoptik. Yogyakarta: Kanisius.

Tertulianus. (1963). « The Baptism » (III, 4.4),. Edinburgh: T&T. Clark.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kertas karya ini, penulis mencoba mengemukakan beberapa bagian dari adat yaitu pakaian adat dan rumah adat Batak Toba yang menjadi ciri khas suku Batak Toba yaitu Ulos

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul MAKNA SIMBOLIK DALAM PEMBERIAN ULOS PADA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK.. Penulis

Debora (2014) dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbolik Upacara Adat Mangulosi (Pemberian Ulos) pada Siklus Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Pemberian ulos ragi hotang kepada pengantin dalam perkawinan adat Batak Toba Jakarta (Jakarta, 15 Desember 2014).. kasih atas bantuan dan dukungan moril pada pesta

APLIKASI AUGMENTED REALITY UNTUK MEMPERKENALKAN ULOS BATAK

Marhata dalam upacara adat Batak Toba adalah membicarakan serta mewujudkan tujuan suatu upacara adat perkawinan Batak Toba dengan menggunakan bahasa tutur

Pada penelitian ini sistem klasifikasi Ulos Batak Toba menggunakan Naive Bayes Classifier dan haralick yang telah dibangun dapat melakukan proses klasifikasi Ulos Batak Toba sebanyak

Ulos merupakan tenun tradisional yang menjadi salah satu syarat utama dalam berbagai upacara adat pada masyarakat Batak Toba.. Keberadaan tenun tradisional ulos dalam berbagai upacara