• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN MODUS PEMALSUAN DOKUMEN TENAGA KERJA (Studi Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN MODUS PEMALSUAN DOKUMEN TENAGA KERJA (Studi Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK)"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Tindak pidana perdagangan orang adalah perbuatan melawan hukum oleh setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut. Perdagangan orang ini dilakukan dengan berbagai modus, diantaranya adalah dengan memalsukan dokumen tenaga kerja. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu anggota Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

(2)

Dahliana

hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam Perkara Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK adalah kententuan Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 KUHP menyebutkan alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d). Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar non yuridis pertimbangan hakim lainnya adalah hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa melanggar hak asasi, merugikan orang lain, mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari kejahatan yang dilakukannya serta merugikan korban, keluarga korban dan menimbulkan keresahan pada masyarakat sebagai akibat dari perbuatannya. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum. Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang pada masa yang akan datang disarankan mengedepankan keadilan bagi korban dan keluarganya, dengan cara menjatuhkan pidana terhadap pelaku secara optimal, sehingga dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana perdagangan orang. (2) Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku perdagangan orang hendaknya tidak mendasarkan pada perilaku terdakwa yang sopan atau mengakui kesalahannya di persidangan, sebagai dasar yang meringankan pidana, tetapi hendaknya mempertimbangkan kerugian yang diderita korban baik secara fisik maupun nonfisik, sehingga pidana yang dijatuhkan menjadi lebih optimal sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN MODUS PEMALSUAN

DOKUMEN TENAGA KERJA

(Studi Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK)

Oleh

DAHLIANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN MODUS PEMALSUAN

DOKUMEN TENAGA KERJA

(Studi Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK)

(Skripsi)

Oleh

DAHLIANA

1012011016

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Pertanggungjawaban Pidana ... 16

B. Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 22

C. Dasar Pertimbangan Hakim ... 26

D. Pemalsuan Dokumen ... 29

III METODE PENELITIAN ... 31

A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 31

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34

(8)

A. Karakteristik Responden ... 35

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Modus Pemalsuan Dokumen Tenaga Kerja (Studi Perkara Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK) ... 36

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Modus Pemalsuan Dokumen Tenaga Kerja (Studi Perkara Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK) ... 54

V PENUTUP ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat yang mulia sekaligus melanggara hak asasi manusia, sehingga harus dicegah.

Traficking terhadap perempuan telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan telah mengancam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta norma-norma yang telah dilandasi dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini bermakna bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang bersifat transnasional atau lintas negara 1

Kemiskinan pada umumnya dianggap sebagai faktor utama penyebab perdagangan orang, meskikpun demikian kemiskinan bukanlah satu-satunya indikator untuk terjadinya perdagangan orang. Kemiskinan akan menempatkan orang pada posisi putus asa yang membuat mereka rentan

1

(10)

untuk mengalami eksploitasi. Meski demikian, kemiskinan dan keinginan seseorang untuk meningkatkan kondisi ekonominya tetap merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam program dan kebijakan pembangunan untuk menghapuskan praktik perdagangan orang agar tidak berkembang dan mengancam generasi muda bangsa.2

Berdasarkan bukti empiris, perempuan adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang, melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. 3

Perdagangan orang merupakan jenis tindak pidana yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, oleh karena itu aparat penegak hukum melaksanakan peran dan fungsinya masing-masing dalam sistem peradilan pidana untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan

2

Ibid. hlm. 13

3

(11)

hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.

Penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Setiap instansi tersebut menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana di Indonesia merupakan alur yang tidak terputus, yaitu dilaksanakan oleh polisi dengan penyidikan dan meneruskan perkaranya ke kejaksaan dan kejaksaan melakukan penuntutan di muka pengadilan. Hal di atas adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut

crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia pada tahun 2011 tercatat data tindak pidana perdagangan orang berjumlah sebanyak 2.683 perkara, pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 2.992 perkara dan pada tahun 2012 kembali meningkat menjadi 3.021 perkara. 4 Sesuai dengan data tersebut maka diketahui bahwa terjadi peningkatan perkara tindak pidana perdagangan orang.

Contoh kasus tindak pidana perdagangan orang adalah Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 470/Pid/Sus/2011/PNTK, yang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa seorang

4

(12)

mucikari bernama Andre Bin Herman selama empat bulan lima belas hari penjara karena terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang dilakukan dengan berbagai modus, salah satunya adalah dengan pemalsuan dokumen tenaga kerja sebagaimana terdapat dalam Perkara Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK. Pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam hal ini memalsukan dokumen yang berupa identitas dan usia korban yang akan menjadi seorang tenaga kerja, pemalsuan dokumen tersebut merupakan cara yang ditempuh pelaku untuk memudahkan tindak pidana yang dilakukannya.5

Setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum yang berlaku. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya merupakan ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggungjawab moralnya masing-masing. Selain itu pertanggungjawaban pidana dapat bermanfaat dalam untuk mencapai situasi atau keadaan yang ingindihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pertanggungjawaban pidana itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.

Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa tujuan pertanggungjawaban pidana mengandung unsur perlindungan masyarakat, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Pertanggungjawaban pidana tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. Pandangan ini mengerucut pada dua kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku. Pertanggungjawaban pidana mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan pertanggungjawaban pidana, mendasarkan pada keadaan obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Dengan kata lain tujuan pertanggungjawaban pidana adalah untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat.

5

(13)

Tujuan pertanggungjawaban pidana bukan merupakan pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.

Salah satu perkara tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja adalah Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK. Terdakwa bernama Kesih Binti Mali (40 tahun) terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana membantu memberikan keterangan palsu pada dokumen negara untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp 50.000.000 (limapuluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka harus diganti dengan penjara selama 3 (tiga) bulan. 6

Sesuai dengan perkara di atas maka terdapat kesenjangan antara vonis yang dijatuhkan majelis hakim dengan ketentuan Pasal 19 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang mengatur bahwa setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

6

(14)

lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh lebih dari satu orang maka termasuk sebagai penyertaan dalam tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: (a) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; (b) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Kententuan Pasal 56 KUHP mengatur bahwa dipidana sebagai pembantu kejahatan mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Hal ini sesuai dengan fungsi hakim sebagai pemberi putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang menentukan bahwa hak, peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka penulis akan melakukan penelitian dan

menuangkannya ke dalam Skripsi berjudul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Modus Pemalsuan Dokumen Tenaga Kerja (Studi Perkara Nomor: 697/PID/B/2012/PNTK).

(15)

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini pada kajian ilmu hukum pidana dengan substansi yaitu pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam Perkara Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK. Ruang lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan penelitian dilaksanakan pada Tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

(16)

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam Perkara Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan orang dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No: 697/Pid/B/2012/ PNTK.

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang pada masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(17)

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzet)

Sebian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai tiga macam jenis:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmer)

Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (opzet zekeheids bewustzint)

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (opzet bit mogelijkkheid bewustzint) Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai dengan bayangan suatu kepastian akan terjadinya akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan kemungkinan akan hal itu

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa

dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa

itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.7

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat. b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang

berhubungan dengan kelakuannya yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf dapat yang menghapuskan

pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat8

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

7

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1993. hlm. 46

8

(18)

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.9

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. 10

9

Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika,2010. hlm.103

10

(19)

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 11

b. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum12

c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan

11

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1993. hlm. 49

12

(20)

tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku13

d. Tindak pidana perdagangan orang adalah perbuatan melawan hukum oleh setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). (Pasal 2 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang).

e. Modus tindak pidana adalah serangkaian cara yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dalam rangka memudahkannya untuk melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum tersebut14

f. Tindak pidana pemalsuan adalah perbuatan menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan

13

Ibid. hlm. 53

14

(21)

kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun (Pasal 266 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

g. Tenaga kerja adalah sebutan bagi seseorang yang berada pada usia produktif atau mampu untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan mendatangkan pengasilan dari pekerjaan yang dilakukannya tersebut15

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman terhadap isinya. Adapun ssecara terperinci sistematika penulisan proposal ini adalah sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri dari pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian dan jenis tindak pidana, tindak pidana perdagangan orang.

III METODE PENELITIAN

15

(22)

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam Perkara Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK.

V PENUTUP

(23)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut1

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti

1

(24)

(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya.2

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya3

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan dalam arti sempit terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut: 1. Kesengajaan (opzet)

2

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001. hlm. 23

3

(25)

Sebian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai tiga macam jenis:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmer)

Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (opzet zekeheids bewustzint)

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (opzet bit mogelijkkheid bewustzint) Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai dengan bayangan suatu kepastian akan terjadinya akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan kemungkinan belaka akan hal itu 4

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 5

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya,

4 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1993. hlm. 46

(26)

padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 6

Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga

6

(27)

kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 7

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang

mengatur: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak

dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain,

misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu syarat psikiatris dan syarat psikologis. Penjelasan mengenai kedua syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman8

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor)

yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu

7

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1993. hlm. 49

8

(28)

menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Hal yang mendasari pertangung jawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

B. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

(29)

Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan “ strafbaar feit “ untuk menyebutkan “

tindak pidana “ di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan “feit” dalam Bahasa

Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan”, sedangkan “straftbaar” berarti “dapat

dihukum”, sehingga secara harfiah, perkataan “staftbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “

sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, sifat penting dari tindak pidana “strafbaar

feit” ialah onrechtmatigheid atau sifat melanggar hukum dari perbuatan9

Perkataan “ straftbaar feit “ itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “ suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.10

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut. 11

9

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001. hlm. 23

10

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung, PT. Citra Adityta Bakti, 1996 hlm. 16.

11

(30)

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat ( perbuatan )

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif. 12

Berdasarkan pengertian di atas, diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Pengertian tindak pidana perdagangan orang adalah setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).13

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan

12

Ibid. hlm. 21

13

(31)

negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kemiskinan pada umumnya dianggap sebagai faktor utama penyebab perdagangan orang, meskikpun demikian kemiskinan bukanlah satu-satunya indikator untuk terjadinya perdagangan orang. Kemiskinan akan menempatkan orang pada posisi putus asa yang membuat mereka rentan untuk mengalami eksploitasi. Meski demikian, kemiskinan dan keinginan seseorang untuk meningkatkan kondisi ekonominya tetap merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam program dan kebijakan pembangunan untuk menghapuskan praktik perdagangan orang agar tidak berkembang dan mengancam generasi muda bangsa.

Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang, melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

(32)

Manusia, mengatur bahwa setiap manusia di anugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya.Disamping untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang melekat pada manusia, hak ini tidak dapat diingkari, pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

C. Dasar Pertimbangan Hakim

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)

(33)

sedangkan dalam Pasal 185Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185Ayat (3) KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana. 14

Selain itu Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

(3) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(4) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(5) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.

14

(34)

(6) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pengaruh pidana terhadap korban dan keluarga korban

Adanya pengaruh yang buruk akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, bagi korban dan keluarganya. Baik pengaruh yang bersifat fisik maupun pengaruh yang bersifat nonfisik.

(9) Permaafan dari korban dan keluarga korban

Adanya permaafan yang diberikan korban dan keluarganya kepada pelaku menjadi dasar pertimbangan hakim untuk memperingan hukuman terhadap terdakwa

(10)Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. 15

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya16

15

Ahmad Rifai.. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta, Sinar Grafika. hlm. 2010. hlm. 103

16

(35)

D. Pemalsuan Dokumen

Dasar hukum tindak pidana pemalsuan surat atau dokumen terdapat dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 266 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(36)

Dokumen merupakan keseluruhan catatan tertulis, dan barang-barang cetakan yang secara resmi diterima atau dihasilkan oleh suatu badan atau organisasi atau salah seorang dari pejabat-pejabatnya sepanjang dokumen-dokumen itu dimaksudkan untuk berada di bawah pemeliharaan dari badan atau pejabat tersebut. Fungsi dokumen adalah sebagai alat bantu memori kegiatan organisasi, barang bukti atau alat pembuktian, bahan pengambilan keputusan dan alat ukur kegiatan suatu organisasi. Sebagai pusat ingatan tentang kegiatan yang telah berlangsung dan tempat untuk mencari berbagai keterangan yang diperlukan bagi tindakan atau putusan yang akan datang dalam sesuatu instansi maka dokumen harus diatur dan dipelihara dengan baik.17

Dokumen tenaga kerja merupakan persyaratan dalam kegiatan pra penempatan TKI, yang meliputi pengurusan Surat Izin Pengerahan (SIP), perekrutan dan seleksi, pendidikan dan pelatihan kerja, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pengurusan dokumen, uji kompetensi. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses perekrutan TKI, khususnya dalam dokumen calon TKI yang akan dipekerjakan pada pihak perseorangan adalah umur minimal harus mencapai 21 tahun, sebagaimana diatur Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

17

(37)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

a. Pendekatan secara yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Dalam penelitian ini pendekatan yuridis normatif digunakan untuk mengkaji pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor: 697/Pid/B/2012/PNTK berdasarkan peraturan perundang-undangan.

b. Pendekatan secara yuridis empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus. Dalam penelitian ini pendekatan yuridis empiris digunakan dengan cara melakukan wawancara kepada narasumber untuk memperoleh penjelasan mengenai untuk mengkaji pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja

(38)

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Data terdiri dari data langsung yang diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi pustaka. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder.

1. Data Primer data yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan melakukan wawancara kepada para responden atau narasumber yang terkait dengan permasalahan penelitian.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, bersumber dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(39)

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum dari sumber pendukung untuk membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan, seperti literatur hukum, kamus hukum dan sumber lain yang sesuai.

C. Penentuan Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. 1 Berdasarkan pengertian di atas maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian2. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah:

1). Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang 2). Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1

Ibid. hlm.82

2

(40)

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka (library research). Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dan dilakukan pula studi dokumentasi untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

2. Pengolahan Data

Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data dan dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Penyusunan Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

(41)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dengan modus pemalsuan dokumen tenaga kerja dalam Perkara Nomor 697/Pid/B/2012/PNTK, dilaksanakan dengan pemidanaan terhadap Terdakwa Kesih Binti Mali yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang. Pertanggungjawaban pidananya adalah terdakwa dipidana penjara selama satu tahun enam bulan penjara. Pertanggungjawaban pidana tersebut didasarkan pada adanya unsur kesengajaan oleh pelaku (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya melakukan perdagangan orang dilarang oleh undang-undang, tetapi ia tetap melakukan perbuatan tersebut, sehingga tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf baginya untuk terhindar dari pemidanaan. Dalam hal ini Terdakwa Kesih Binti Mali memiliki kemampuan untuk mempetanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum atas kesalahan atau tindak pidana yang dilakukan, serta tidak ada alasan pemaaf atau pembenar baginya dalam melakukan tindak pidana perdagangan orang.

(42)

adalah kententuan Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 KUHP menyebutkan alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d). Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar non yuridis pertimbangan hakim lainnya adalah hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa melanggar hak asasi, merugikan orang lain, mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari kejahatan yang dilakukannya serta merugikan korban, keluarga korban dan menimbulkan keresahan pada masyarakat sebagai akibat dari perbuatannya. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum. Berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut maka majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama satu tahun enam bulan penjara terhadap terdakwa.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(43)

pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana perdagangan orang.

(44)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001.

____________. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001.

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. __________________. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti.

Bandung. 2001

__________________. Sistem Peradilan Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001

Boediono. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta. 1990.

Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 1992.

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1994.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 1993.

__________ Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996.

Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat

(45)

____________. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan

Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1996

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 1983.

Sulistyo Basuki. Pengantar Kearsipan. Universitas Terbuka. Jakarta. 1999.

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan beberapa penelitian dan literatur tentang teh putih menunjukkan bahwa, kandungan aktif yang terdapat dalam teh berupa EGCG yang merupakan derivat dari

dalam alkali asam dan dapat dioksidasi. *leh karena itu" dan dapat dioksidasi. Bar Barbit bital d al deng engan an bas basa me a menja njadi g di garam aram.. Barbital adalah

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan,

Pemberian terapi farmakologik dapat dipertimbangkan apabila (1) konsentrasi kolesterol LDL darah tetap > 190 mg/dL setelah dilakukan terapi diet pada subjek yang tidak mempunyai

MEMENUHI Auditee melakukan pembelian bahan baku dari pengepul berupak kayu rakyat dengan disertai Kwitansi pembelian bahan baku, dokumen angkutan hasil hutan yang

Peserta diberikan edukasi tentang gejala pasca vaksin yang mungkin terjadi dan Peserta diberikan Obat Paracetamol untuk treatment post vaksin dan pulang kembali ke Kapal tanpa

TONGAT (belum tertangkap) dan dirumah tersebut Terdakwa bersama dengan teman-temannya tersebut sudah mempersiapkan rencana untuk menjambret dengan membawa pisau dan

Berdasarkan hasil penelitian pembuatan minuman serbuk instan terong belanda dengan variasi kadar maltodekstrin dapat diiperoleh simpulan sebagai berikut :.. Terdapat