THE DETERMINANTS OF CAPITAL EXPENDITURES
ALLOCATION IN THE PROVINCE OF EAST JAVA
Oleh
BAYU SAMODRA
20120430183
FAKULTAS EKONOMI
IN THE PROVINCE OF EAST JAVA
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Oleh
BAYU SAMODRA 20120430183
FAKULTAS EKONOMI
Nomor mahasiswa : 20120430183
Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA MODAL KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR” tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka. Apabila ternyata dalam skripsi ini diketahui terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain maka saya bersedia karya tersebut dibatalkan.
Yogyakarta, 4 Mei 2016
suatu kaum itu sebelum seseorang atau kaum itu bertindak atau berusaha merubah
nasibnya sendiri”.
(QS. Ar-Ra’du: 11)
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai penolongmu, sesungguhnya allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al- Baqarah: 153)
“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat
mereka menyerah”
(Thomas Alva Edison)
Ingat mati
Tidak rakus (mencukupi diri) terhadap apa yang orang lain miliki
Jangan tamak terhadap dunia
Laksanakan Sholat
Tinggalkan sesuatu yang dilarang
Bapakku Bakuh Sugito dan Ibukku Sri Wahyuni yang selalu memberikan doa, dukungan serta nasehat untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak bermalas-malasalan selama kuliah ini.
Kakakku Kresno Wahyu Gitoyo yang selalu memberikan arahan dan saran untuk lebih baik lagi.
Dan Adikku Satrio Wisnu Groho untuk selalu belajar yang rajin, tidak nakal dan jangan sampai mengecewakan kedua orang tua.
Almamaterku tercinta...
panel data which is a combinacy 29 regency/city over periode 2010-2014, with variable local revenue (PAD), the general allocation fund (DAU), profit sharing fund (DBH), budget financing surplus (SiLPA), and capital expenditures. The analytical method used in this research is regression panel data that is processed by the fixed effect model .
The results of this study indicate that the variable revenue (PAD) positive and significant impact on capital expenditures , general allocation fund (DAU) positive and significant impact on capital spending , financing surplus budget (SILPA) positive and significant impact on capital spending , while profit sharing fund (DBH) positive dan significant effect on capital spending.
1
A. Latar Belakang
Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan
undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas untuk
mengurus rumah tangganya sendiri dengan sesedikit mungkin campur
tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan
kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan
yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang
berkembang di daerah.
Pemberian otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu daerah karena memberikan kebebasan kepada pemerintah
daerah untuk membuat rencana keuangannya sendiri dan membuat
kebijakan-kebijakan yang dapat berpengaruh pada kemajuan daerahnya.
Pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah daerah untuk melakukan
pembangunan ekonomi dengan mengelola sumber daya yang ada dan
lapangan pekerjaan baru yang akan mempengaruhi perkembangan
kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004).
Undang-undang tersebut memberikan penegasan bahwa daerah
memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya ke dalam
belanja dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan dan kemampuan
daerah. Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan Kebijakan
Umum anggaran pendapatan belanja daerah dan Prioritas dan Plafon
Anggaran Sementara (PPAS) sebagai pedoman dalam pengalokasian
sumber daya dalam APBD.
Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan
pedoman Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan kepada publik.
Di Indonesia, anggaran daerah biasa disebut dengan Anggaran pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD). Menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 dalam
Kawedar, dkk., (2008), APBD merupakan rencana keuangan tahunan
Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
Pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja modal
merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan
politis. Anggaran ini sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
publik akan sarana dan prasarana umum yang disediakan oleh pemerintah
terlibat dalam penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi belanja
modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di
masyarakat (Keefer dan Khemani, 2003).
Untuk Provinsi Jawa Timur sendiri, Realisasi anggaran belanja
pada tahun 2014 sebesar Rp20.027.64 miliar rupiah rupiah atau menurun
4,36 persen dari yang ditargetkan. Bila dibandingkan dengan realisasi
tahun sebelumnya mengalami peningkatan sebesar 19,64 persen sebesar
Rp17.372,65 miliar rupiah. Sedangkan untuk belanja modal di Provinsi
Jawa Timur pada tahun 2014 sebesar Rp1.207.456,621 miliar rupiah.
Tabel 1.1
Data Realisasi Belanja Modal di Masing-masing Provinsi (Rupiah)
Daerah 2012 2013 2014
DKI Jakarta 8.784.365,760 10.696.012,194 10.411.118,390 Jawa Tengah 611.274,310 994.740,520 1.570.679,411 Jawa Barat 1.135.251,237 1.272.779,829 1.359.802,615 DI Yogyakarta 216.419,982 369.395,794 442.446,474 Jawa Timur 1.057.365,184 1.175.751,046 1.207.456,621
Sumber : Badan Pusat Statistik, bbrp terbitan
Dari Tabel 1.1, bahwa Belanja Modal pada Provinsi DKI Jakarta
yang paling tinggi sebesar Rp10.411.118,390 miliar rupiah dibandingkan
dengan Provinsi lainnya. Ini dikarenakan kebutuhan untuk daerah tersebut
tinggi. Dengan besarnya pengeluaran biaya modal setiap Provinsi yang
tinggi diharapkan bisa menyelesaikan masalah yang ada di masing-masing
Peningkatan alokasi belanja modal dalam bentuk aset tetap seperti
infrastruktur, peralatan dan infrastruktur sangat penting untuk
meningkatkan produktivitas perekonomian karena semakin tinggi belanja
modal semakin tinggi pula produktivitas perekonomian. Saragih, (2003)
menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk
hal-hal yang produktif seperti untuk melakukan aktivitas pembangunan.
Melihat fenomena yang terjadi, sepertinya alokasi belnja modal belum
sepenuhnya dapat terlaksana bagi pertumbuhan kesejahteraan publik,
sebab pengelolaan belanja daerah terutama belanja modal masih belum
berorientasi pada publik. Salah satunya disebabkan oleh pengelolaan
belanja yang terbentur dengan kepentingan golongan semata.
Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang besar kepada
daerah untuk menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan
daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam rangka pelayanan
publik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, salah satu
sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
Keseluruhan realisasi anggaran pendapatan Provinsi Jawa Timur
pada tahun 2014 adalah sebesar Rp20.793.02 miliar rupiah, meningkat
sebesar 6.17 persen dari yang ditargetkan. Bila dibandingkan dengan
realisasi tahun sebelumnya, mengalami penurunan sebesar 16.69 persen
pendapatan asli daerah Jawa Timur pada tahun 2014 sebesar Rp14.462,75
miliar rupiah, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp11.596,37
miliar rupiah. sementara penerimaan dari sektor hasil pajak daerah sebesar
Rp11.517.68 miliar rupiah, sektor restribusi daerah Rp148.638,04 miiyar
rupiah, sektor pengelolahan kekayaan daerah Rp342.920,27 miliar rupiah
dan sektor penerimaan lainnya Rp2.453,50 miliar rupiah.
Tabel 1.2
Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di masing-masing Provinsi(Rupiah)
Daerah 2012 2013 2014
DKI Jakarta 22.040.801,448 26.852.192,453 31.274.215,886 Jawa Tengah 6.629.308,010 8.212.800,641 9.916.358,231 Jawa Barat 9.982.917,415 12.360.109,870 15.851.202,864 DI Yogyakarta 1.004.063,126 1 .16.102,750 1.464.604,954 Jawa Timur 9.725.627,569 11.596.376,615 14.442.216,520 Sumber : Badan Pusat Statistik, bbrp terbitan
Dari Tabel 1.2 diatas, diketahui bahwa Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang paling tinggi pada tahun 2014 yaitu Provinsi DKI Jakarta
sebesar Rp31.274.215,886 miliar rupiah, sementara itu Pendapatan Asli
Daerah Provinsi Jawa Timur pada Tahun 2014 sebesar Rp14.442.216,520
miliar rupiah, PAD ini masih di bawah Provinsi Jawa Barat dengan total
sebesar Rp15.851.202,864 miliar rupiah.
Peningkatan PAD diharapkan meningkatkan investasi belanja
modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik
tetapi yang terjadi adalah peningkatan pendapatan asli daerah tidak diikuti
disebabkan karena pendapatan asli daerah tersebut banyak tersedot untuk
membiayai belanja lainnya.
Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama
dalam mendanai kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan
fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk
mengatasi ketimpangan fiskal ini pemerintah mengalokasikan dana yang
bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah
ini adalah DAU yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan
dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Adanya transfer dana dari pusat ini diharapkan pemerintah daerah bisa
lebih mengalokasikan PAD yang didapatnya untuk membiayai belanja
modal di daerahnya.
Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya didalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan
demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara
leluasa dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi pelayanan
penting. Dana Alokasi Umum (DAU) di Provinsi Jawa Timur pada tahun
2014 sebesar Rp1.866.548,182 triliun rupiah, ini lebih besar dibandingkan
tahun sebelumya yang sebesar Rp1.496.594,268 triliun rupiah (BPS,
2014).
Selain dana transfer yang berupa dana alokasi umum ada juga
dana bagi hasil (DBH) yang ditransfer pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah terdiri dari dua jenis, yaitu Dana Bagi Hasil pajak dan
dana bagi hasil bukan pajak (SDA). Daerah yang memiliki kekayaan alam
dan penghasilan pajak akan memiliki penerimaan daerah yang bersumber
dari hasil pengelolaan sumber-sumber tersebut oleh pemerintah pusat
untuk membiayai belanja daerahnya. Hasil dari pengelolaan sumber daya
tersebut dialokasikan kepada daerah-daerah dalam bentuk dana bagi hasil
(DBH) dengan mengunakan prinsip by origin (daerah penghasil) serta
melihat realisasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Dana Bagi Hasil Atas Pajak di Provinsi Jawa Timur pada tahun
2014 sebesar Rp1.123.170,764 miliar rupiah mengalami penurunan dari
tahun sebelumnya yang sebesar Rp1.134.478,292 miliar rupiah. Sementara
itu untuk Bagi Hasil Bukan Pajak/Sumber Daya Alam di Provinsi Jawa
Timur pada tahun 2014 sebesar Rp393.742,118 juta rupiah (BPS, 2014).
Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal dan adanya
kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar, pemerintah memberikan
dana perimbangan dan salah satu komponen dana ini yang memberikan
beberapa tahun berjalan, proporsi dana alokasi umum (DAU) terhadap
peneriman daerah masih yang tertinggi dibanding dengan penerimaan
daerah yang lain, termasuk Pendapatan Asli Daerah. Hal ini menunjukkan
ketergantungan pemerintah daerah terhadap pasokan dana dari pemerintah
pusat masih tinggi. Namun demikian, dalam jangka panjang
ketergantungan semacam ini harus menjadi semakin kecil. Berbagai
investasi yang dilakukan pemerintah daerah diharapkan memberikan hasil
positif yang tercermin dalam peningkatan PAD.
Dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus
berusaha semaksimal mungkin dalam meningkatkan mutu pelayanan
publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi yang ada di
daerah untuk dikembangkan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal
dari daerah berupa PAD, sangat tergantung pada kemampuan daerah
sendiri dalam menjaga potensi ekonomi potensi ekonomi menjadi
bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan penambahan dalam
pendapatan asli daerah.
Selain dari PAD dan transfer dari pusat untuk membiayai
kegiatannya, Pemda juga dapat memanfaatkan Sisa Lebih Pembiayaan
Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya. SiLPA adalah selisih lebih realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.
Dalam acara penyerahan DIPA 2012 di Istana Negara, Presiden Susilo
di Indonesia yang belum memuaskan dan menghendaki agar sisa anggaran
tidak digunakan untuk keperluan yang tidak jelas namun dapat digunakan
untuk pembangunan infrastruktur. Prasetyantoko (2008) menyatakan
bahwa anggaran negara yang menganggur bisa dialokasikan untuk belanja
yang memberikan nilai tambah dan mampu menstimulasi laju
pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara itu, SiLPA pada tahun 2014 di Provinsi Jawa Timur
sebesar Rp.1.846.787,61 miliar rupiah perolehan ini meningkat dari tahun
sebelumnya yang sebesar Rp.1.153.509,52 miliar rupiah (BPS, 2014).
Dengan adanya SiLPA ini diharapkan mampu meningkatkan anggaran
belanja modal guna pembangunan infrastruktur di suatu daerah, sehingga
bisa meningkatkan perekonomian daerah. Penelitian ini mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) dengan
variabel pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah dan dana alokasi
umum dengan kurun waktu satu tahun 2004-2005 dengan sampel
pemerintah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa dan Bali.
Ada beberapa perbedaan dalam penelitian ini dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis menggunakan
beberapa variabel yang berbeda. Selain itu, penulis juga menggunakan
periode tahun yang berbeda yaitu pada kurun waktu lima tahun 2010-2014
serta objek dan lokasi yang di teliti juga berbeda yaitu Provinsi Jawa
Timur. Daerah penelitian yang diambil merupakan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota di Jawa Timur sangat memadai untuk digali dan lebih
dikembangkan pengelolaanya, apalagi Jawa Timur dikenal sebagai pusat
kawasan timur pulau Jawa yang memiliki signifikansi perekonomian yang
cukup tinggi. Selain itu Jawa Timur sebagai provinsi yang memiliki
jumlah Kabupaten/Kota terbanyak di Indonesia. Dengan penelitian lokasi
yang dipilih ini diharapkan dapat memberikan informasi kondisi belanja
modal saat ini yang ada di Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan latar belakang dan penjelasan di atas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian kembali dengan variabel yang berbeda yang
judul penelitian sebagai berikut : “FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA MODAL KABUPATEN
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini akan
diajukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap alokasi
anggaran belanja modal ?
2. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap alokasi
anggaran belanja modal ?
3. Apakah Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh terhadap alokasi
anggaran belanja modal.
4. Apakah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) berpengaruh
terhadap alokasi anggaran belanja modal ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap
pengalokasian belanja modal di Provinsi Jawa Timur
2. Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap
pengalokasian belanja modal di Provinsi Jawa Timur
3. Untuk mengetahui pengaruh pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH)
4. Untuk mengetahui pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran
(SiLPA) terhadap pengalokasian belanja modal di Provinsi Jawa
Timur.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini sebagai
berikut :
1. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti
sehubungan dengan pengaruh pendapatan asli daerah (PAD), dana
alokasi umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Sisa Lebih
Pembiayaan Anggaran (SiLPA) terhadap pengalokasian anggaran
belanja modal.
2. Bagi pemerintah daerah, memberikan masukan dalam hal penyusunan
kebijakan di masa yang akan datang dalam hal pengalokasian anggaran
belanja modal yang terdapat di APBD.
3. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai
bahan dan masukan dalam melakukan penelitian pada bidang yang
13
A. Landasan Teori
1. Anggaran Daerah
Undang Nomor 12 tahun 2008 (revisi atas
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004) tentang pemerintah daerah menerangkan
yang dimaksud Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah
rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri
dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan. Penyusanan
APBD berpedoman kepada rencana kerja pemerintah daerah dalam rangka
mewujudkan pelayanan kepada masyarakat (Puspitasari dan Idhar, 2009).
Untuk menghasilkan struktur anggaran yang sesuai dengan harapan dan
kondisi normatif maka APBD yang pada hakikatnya merupakan
pen-jabaran kuantitaif dari tujuan dan sasaran pemerintah daerah serta tugas
pokok dan fungsi unit kerja harus disusun dalam struktur yang berorientasi
pada pencapaian tingkat kinerja tertentu. Artinya, APBD harus mampu
memberikan gambaran yang jelas tentang tuntutan besarnya pembiayaan
atas berbagai sasaran yang hendak dicapai, tugas-tugas dan fungsi pokok
sesuai dengan kondisi, potensi, aspirasi, dan kebutuhan riil di masyarakat
untuk suatu tahun tertentu. Dengan demikian alokasi dana yang digunakan
manfaat yang benar-benar dirasakan masyarakat dan pelayanan yang
berorientasi pada kepentingan publik (Munawar, 2006).
Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa anggaran merupakan
pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode
waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan
penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu
anggaran. Anggaran daerah merupakan salah satu alat yang memegang
peranan penting dalam meningkatkan pelayanan publik dan didalamnya
tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan
sumber-sumber kekayaan daerah
Penganggaran mempunyai tiga tahapan, yaitu 1). perumusan
proposal anggaran, 2). pengesahan proposal anggaran, 3).
pengimplementasian anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk
hukum (Samuels, 2000). Von Hagen (2002) dalam Darwanto (2007)
menyatakan bahwa penganggaran dibagi ke dalam empat tahapan, yaitu
executive planning, legislative approval, executive implementation, and ex
post accountability. Pada tahapan executive planning dan legislative
approval terjadi interaksi antara eksekutif dengan legislatif dimana politik
anggaran paling mendominasi, sementara pada tahapan executive
implementation dan ex post accountability hanya melibatkan birokrasi
Menurut Mardiasmo (2004), anggaran sektor publik dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Anggaran operasional
Anggaran operasional merupakan anggaran yang digunakan untuk
merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan
pemerintahan. Pengeluaran yang termasuk anggaran operasional antara
lain belanja umum, belanja operasi dan belanja pemeliharaan.
2. Anggaran modal
Anggaran modal merupakan anggaran yang menunjukkan anggaran
jangka panjang dan pembelajaran atas aktiva tetap seperti gedung,
peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya. Belanja modal adalah
pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun dan akan
menambah aset atau kekayaan pemerintah, selanjutnya akan
menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan biaya
pemeliharaan.
2. Belanja Modal
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, belanja
modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi
satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan
selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya
pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal
peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Cara mendapatkan belanja
modal dengan membeli melalui proses lelang atau tender.
Menurut Kementrian Keuangan Republik Indonesia Direktorat
Jendral Anggaran, Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang
digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dam aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta
melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang
ditetapkan pemerintah.
Menurut Halim (2004), Belanja Modal merupakan belanja
pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan
akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan
menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada
Kelompok Belanja Administrasi Umum.
Belanja Modal dapat diaktegorikan dalam 5 (lima) kategori utama
(Syaiful, 2006) :
1. Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan
untuk pengadaan pembelian dan pembebasaan balik nama dan sewa
tanah, pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah,
pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan
perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi
siap pakai.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran atau biaya
peningkatan kapasitas peralatan mesin serta inventaris kantor yang
memberikan manfaat lebih dari 12 bulan dan sampai peralatan dan
mesin yang dimaksud dalam kondisi siap pakai.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan, penggantian, dan termasuk
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan
pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai
gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran biaya
yang digunakan untuk pengadaan/penambahan,penggantia peningkatan
pembangunan atau pembuatan serta perawatan, dan termasuk
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan
irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan
jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan atau penambahan dan penggantian
pembangunan pembuatan serta perawatan fisik lainnya yang tidak
dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan
mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk
dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian
barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum,
Tabel 2.1
Komponen Biaya yang Termasuk ke dalam Belanja Modal Jenis Belanja
Modal
Komponen Biaya yang Dimungkinkan di dalam
Belanja Modal
Belanja Modal
Tanah
1. Belanja modal pembebasan tanah
2. Belanja modal pembayaran honor tim tanah
3. Belanja modal pembuatan sertifikat tanah
4. Belanja modal pengurungan dan pematangan tanah
5. Belanja modal biaya pengukuran tanah
6. Belanja modal perjalanan pengadaan tanah
Belanja Modal
Gedung dan
Bangunan
1. Belanja modal bahan baku gedung dan bangunan
2. Belanja modal upah tenaga kerja dan honor
pengelola teknis gedung dan bangunan
3. Belanja modal sewa peralatan gedung dan bangunan
4. Belanja modal perencanaan gedung dan bangunan
5. Belanja modal perizinan gedung dan bangunan
6. Belanja modal pengosongan dan pembongkaran
bangunan lama gedung dan bangunan
7. Belanja modal honor perjalanan gedung dan
Tabel 2.1
Komponen Biaya yang Termasuk ke dalam Belanja Modal Jenis Belanja
Modal
Komponen Biaya yang Dimungkinkan di dalam
Belanja Modal
Belanja Modal
Peralatan dan
Mesin
1. Belanja Modal Bahan Baku Peralatan dan Mesin. 2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor
Pengelola Teknis Peralatan dan Mesin.
3. Belanja Modal Sewa Peralatan, Peralatan dan
Mesin.
4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan
Peralatan dan Mesin.
5. Belanja Modal Perizinan Peralatan dan Mesin. 6. Belanja Modal Pemasangan Peralatan dan Mesin.
Belanja Modal Perjalanan Peralatan dan Mesin.
Belanja Modal,
Jalan, Irigasi,
dan Jaringan
1. Belanja Modal Bahan Baku Jalan dan Jembatan.
2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor
Pengelola Teknis Jalan dan Jembatan.
3. Belanja Modal Sewa Peralatan Jalan dan Jembatan.
4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Jalan
dan Jembatan.
5. Belanja Modal Perizinan Jalan dan Jembatan.
6. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran
Jenis Belanja
Modal
Komponen Biaya yang Dimungkinkan di dalam
Belanja Modal
Belanja Modal,
Jalan, Irigasi,
dan Jaringan
7. Belanja Modal Perjalanan Jalan dan Jembatan.
8. Belanja Modal Bahan Baku Irigasi dan Jaringan.
9. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor.
10.Belanja Modal Sewa Peralatan Irigasi dan
Jaringan.
11.Belanja Modal Perencaan dan Pengawasan
Irigasi dan Jaringan.
12.Belanja Modal Perizinan Irigasi dan Jaringan.
13.Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran
Bangunan Lama, Irigasi dan Jaringan.
Belanja Modal
Bahan Fisik
Lainnya
1. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Pengelola
Teknis Fisik lainnya.
2. Belanja Modal Sewa Peralatan Fisik lainnya.
3. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan
Fisik lainnya.
4. Belanja Modal Perizinan Fisik lainnya.
Belanja Modal Jasa Konsultan Fisik lainnya
Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, menurut
kelompok belanja terdiri dari :
1. Belanja tidak langsung
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang
terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsudi, hibah, bantuan sosial,
belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.
2. Belanja langsung
Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok
belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja
pegawai yang dimaksudkan untuk pengeluaran honorarium/ upah
dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah; belanja
barang dan jasa; dan belanja modal.
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, “Belanja modal
digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/
pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai
manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung
Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang
dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan
kepercayaan publik. Pergeseran ini ditujukan untuk peningkatan investasi
modal dalam bentuk aset tetap. Semakin tinggi investasi modal diharapkan
mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik, karena aset tetap yang
dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasayarat utama
dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
Proses pembuatan keputusan pengalokasian belanja modal menjadi
sangat dinamis karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki serta
terdapat banyak pihak dengan kepentingan dan preferensi yang berbeda
(Rubin, 1993). Pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja
modal merupakan sebuah proses yang sarat dengan
kepentingan-kepentingan politis. Anggaran ini sebenarnya dimasudkan untuk
memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum yang
diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah daerah. Namun, adanya
kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses
penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan
sering tidak efektif dalam memecahkan permasalahan di masyarakat
(Keefer dan Khemani, 2003).
Menurut Darwanto dan Yustikasari (2007), faktor-faktor
fundamental yang mempengaruhi keputusan dalam pengalokasian belanja
daerah, termasuk pengalokasian belanja modal dibagi menjadi 2 variabel,
keuangan meliputi: kebijakan pemerintahan dan kondisi makroekonomi;
sedangkan variabel keuangan meliputi : ukuran-ukuran atau jenis-jenis
penerimaan pemerintah daerah lainnya.
3. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah adalah salah satu sumber penerimaan yang
harus selalu terus menerus di pacu pertumbuhannya. Dalam otonomi
daerah ini kemandirian pemerintah daerah sangat dituntut dalam
pembiayaan pembangunan daerah dan pelayaan kepada masyarakat. Oleh
sebab itu pertumbuhan investasi di pemerintah Kabupaten dan Kota di
Provinsi Jawa Timur perlu diprioritaskan karena diharapkan memberikan
dampak positif terhadap peningkatan perekonomian regional.
Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber
Pendapatan Asli Daerah terdiri :
1. Pajak Daerah 2. Retribusi Daerah
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 1,
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari
sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar pemerintah
daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk
memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.
Menurut Halim (2007) kelompok Pendapatan Asli Daerah
dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan :
1. Pajak Daerah
Sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 jenis pendapatan pajak
untuk kabupaten/ kota terdiri dari :
a. Pajak hotel
b. Pajak restoran
c. Pajak hiburan
d. Pajak reklame
e. Pajak penerangan jalan
f. Pajak pengambilan bahan galian golongan C
g. Pajak Parkir.
2. Retribusi Daerah
Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari
retribusi. Terkait dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 jenis
pendapatan retribusi untuk kabupaten/kota meliputi objek pendapatan
yang terdiri dari 29 objek.
3. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan
Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan
yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek
pendapatan yang mencakup :
a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
daerah/BUMD.
b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
negara/BUMD.
c. Bagian laba penyertaan modal pada perusahaan milik swasta
swasta atau kelompok usaha masyarakat.
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari
lain-lain milik Pemda. Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan
penerimaan daerah selain yang disebut di atas. Jenis pendapatan ini
meliputi objek pendapatan berikut :
a. Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan.
b. Jasa giro.
c. Pendapatan bunga.
d. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah.
e. Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat
dari penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah.
f. Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing.
g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.
i. Pendapatan denda retribusi.
j. Pendapatan eksekusi atas jaminan.
k. Pendapatan dari pengembalian.
l. Fasilitas sosial dan umum.
m. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
n. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
Abdullah dan Halim (2004) menemukan bahwa sumber
pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh
terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD
maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya
terhadap pengalokasian anggaran cukup besar, terutama bila dikaitkan
dengan kepentingan politis (Abdullah, 2004).
Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakannya
sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah
tersebut dalam menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar
pendapatan asli daerah yang diterima, maka akan semakin besar pula
kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan
kebijakannya. Upaya meningkatkan kemampuan penerimaan daerah,
khususnya penerimaan dari pendapatan asli daerah harus diarahkan pada
usaha yang terus menerus dan berlanjut agar pendapatan asli daerah
tersebut terus meningkat, sehingga pada akhirnya diharapkan akan dapat
memperkecil ketergantungan terhadap sumber penerimaan dari pemerintah
Pembangunan dalam sektor pelayanan kepada publik akan
merangsang masyarakat untuk lebih aktif dan bergairah dalam bekerja
karena ditunjang oleh fasilitas yang memadai. Selain itu, investor juga
akan tertarik kepada daerah karena fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah daerah setempat. Dengan bertambahnya produktivitas
masyarakat dan investor yang berada di daerah akan berdampak pada
peningkatan pendapatan asli daerah.
4. Hubungan pendapatan asli daerah dengan belanja modal
Infrastruktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana
memadai maka masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari – harinya
secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh pada tingkat
produktivitasnya yang semakin meningkat, dan dengan adanya
infrastruktur yang memadai akan menarik investor untuk membuka usaha
di daerah tersebut. Dengan bertambahnya belanja modal maka akan
berdampak pada periode yang akan datang yaitu produktivitas masyarakat
meningkat dan bertambahnya investor akan meningkatkan pendapatan asli
daerah. (Abimanyu, 2005). Peningkatan Pemerintah Daerah dalam
investasi modal (belanja modal) diharapkan mampu meningkatkan kualitas
layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat
partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari
5. Dana Alokasi Umum
Menurut Permendagri 13 Tahun 2006, “Kelompok pendapatan
dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: dana
bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus”.
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah untuk membiayai kebutuhan pembelanjaan. Adapun cara
menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut :
a. Dana alokasi umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari
penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.
b. Dana alokasi umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk daerah
Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari dana
alokasi umum sebagaimana ditetapkan diatas.
c. Dana alokasi umum (DAU) untuk suatu daerah Kabupaten/Kota
tertentuditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana alokasi umum
untukdaerah/kabupaten yang ditetapkan APBN dengan porsi daerah
kabupaten/Kota yang bersangkutan.
d. Porsi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas
merupakanproporsi bobot daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia
(Prakosa, 2004).
Menurut Halim (2004), “Dana Alokasi Umum adalah dana yang
berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Bagi daerah
yang relatif minim Sumber Daya Alam (SDA), DAU merupakan sumber
pendapatan penting guna mendukung operasional pemerintah sehari-hari
serta sebagai sumber pembiayaan pembangunan. (Saragih, 2003).
Dana alokasi umum (DAU) dialokasikan dengan tujuan
pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan
geografi, jumlah penduduk, tingkat pendapatan masyarakat di daerah,
sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan daerah yang belum
berkembang dapat diperkecil. Pada dasarnya, dengan diberlakukannya
otonomi daerah diharapkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat tentang keuangan daerah diharapkan semakin kecil.
Sejak diterapkannya desentralisasi fiskal, pemerintah pusat
mengharapkan daerah dapat mengelola sumber daya yang dimiliki
sehingga tidak hanya mengandalkan dana alokasi umum. Di beberapa
daerah peran DAU sangat signifikan karena karena kebijakan belanja
daerah lebih didominasi oleh jumlah DAU daripada PAD (Sidik et al,
2002). Setiap transfer DAU yang diterima daerah akan ditunjukkan untuk
belanja pemerintah daerah, maka tidak jarang apabila pemerintah daerah
menetapkan rencana daerah secara pesimis dan rencana belanja cenderung
optimis supaya transfer DAU yang diterima daerah lebih besar.
6. Hubungan dana alokasi umum dengan belanja modal
Hotzl-Eakin et.al (1985) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan
sangat erat dari transfer pemerintah pusat dengan belanja pemerintah
daerah. Hal ini menunjukkan bahwa makin besar dana tranfer dari
pemerintah pusat maka akan meningkatkan belanja modal daerah dalam
satu tahun anggaran. DAU adalah transfer yang bersifat umum (block
garant) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatasi
masalah ketimpangan horisontal (antar daerah) dengan tujuan utama
pemerataan kemampuan keuangan daerah. Transfer dana tersebut dengan
leluasa dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai
kebuuhan publik atau bahkan digunakan untuk keperluan lain yang
bersifat self interest.
7. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka
persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah).
Dana bagi hasil yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah terdiri dari 2 jenis, yaitu DBH atas pajak dan DBH Bukan
Pajak/Sumber Daya Alam (Wahyuni dan Adi, 2009).
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang baru
daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi
(personal income tax). Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi
hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah
yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi
penerimaan negara.
Volume perolehan pajak di daerah berasosiasi kuat dengan
besarnya tingkat pendapatan sebagai basis pajak. Dengan demikian, daerah
dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi cenderung akan memperoleh
DBH pajak yang lebih tinggi pula (Wahyuni dan Adi 2009). Dana Bagi
Hasi (DBH) merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial
dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam
mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang
bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Pola bagi hasil penerimaan
tersebut dilakukan dengan presentase tertentu yang didasarkan atas daerah
penghasil. Penerimaan DBH pajak bersumber dari : Pajak Penghasilan
Pasal 21 (PPh 21), Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25), Pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN). Sedangkan
penerimaan DBH SDA bersumber dari: Kehutanan, Pertambangan Umum,
Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi,
Pertambangan Panas Bumi (Wahyuni dan Adi, 2009).
1. Dana Bagi Hasil Atas Pajak
Dana ini merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN
daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dasar hukum dana bagi hasil pajak adalah:
a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah.
d. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
(Harahap, 2010).
DBH yang berasal dari pajak adalah bagian daerah yang berasal
dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Biaya Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan, pajak penghasilan pasal 25 dan pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan pajak penghasilan pasal 21.
Penetapan alokasi DBH atas Pajak ditetapkan oleh menteri keuangan.
DBH pajak sendiri disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari
rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah (Harahap,
2010).
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh pasal 25 dan pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh pasal 21
dibagi dengan imbangan 60% untuk Kabupaten/Kota dan 40% untuk
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan, ”penerimaan negara dari PPh WPOPDN (Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri) dan PPh pasal 21 dibagikan kepada
daerah sebesar 20% dengan rincian 8% untuk provinsi yang
bersangkutan dan 12% untuk Kabupaten/Kota dalam provinsi yang
bersangkutan”. Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
dilaksanakan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh
WPOPDN dan PPh Pasal 21 tahun anggaran berjalan serta
dilaksanakan secara triwulan (Sianipar, 2011).
2. Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA)
DBH Sumber Daya Alam adalah bagian daerah yang berasal dari
penerimaan sumber daya alam kehutanan, pertambangan umum,
perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi (Harahap, 2010).
Pembagian penerimaan negara yang berasal dari sumber daya
kehutanan ditetapkan sebagai berikut: 20% untuk pemerintah dan 80%
untuk daerah, yang diperoleh dari penerimaan iuran hak penguasaan
hutan dan provisi sumber daya hutan. Bagian negara dari penerimaan
negara iuran penguasaan hutan dibagi dengan perincian 16% untuk
daerah yang bersangkutan dan 64% untuk daerah Kabupaten/Kota
penghasil. Bagian daerah dari penerimaan negara provisi sumber daya
hutan dibagi dengan perincian 16% untuk daerah yang bersangkutan,
yang bersangkutan. Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana
reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60% untuk pemerintah dan
40% untuk daerah. Penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan
dari wilayah daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20%
untuk pemerintah dan 80% untuk daerah, yang diperoleh dari
penerimaan iuran tetap (Land-rent) dan penerimaan iuran eksplorasi
(royalti). Bagian daerah dari penerimaan negara iuran tetap, dibagi
dengan perincian 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan
64% untuk daerah Kabupaten/Kota penghasil. Bagian daerah dari
penerimaan negara iuran eksplorasi, dibagi dengan perincian 16%
untuk daerah provinsi yang bersangkutan, 32% untuk daerah
kabupaten/kota penghasil lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Bagian kabupaten dalam provinsi yang bersangkutan, dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk semua Kabupaten/Kota dalam
provinsi yang bersangkutan (Harahap, 2010).
Penerimaan iuran tetap (land-rent) adalah seluruh penerimaan
iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas kesempatan
penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu wilayah
kuasa pertambangan. Penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi
(royalti) adalah iuran produksi yang diterima negara dalam hal
pemegang kuasa pertambangan eksplorasi mendapat hasil berupa
kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan
eksploitasi (royalti) satu atau lebih bahan galian (Harahap, 2010).
Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor perikanan terdiri
dari: Penerimaan pungutan pengusahaan perikanan, Penerimaan
pungutan hasil perikanan. Dana bagi hasil perikanan untuk daerah
sebesar 80% dibagi dengan porsi yang sama besar untuk seluruh
kabupaten/kota. Bagian daerah dari penerimaan negara sektor
perikanan dibagikan dengan sama besar kepada Kabupaten/Kota di
seluruh Indonesia.
Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan
minyak dan gas yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara
dari sumber daya alam sektor pertambangan dan gas alam dari wilayah
daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan
pungutan lainnya (Harahap, 2010).
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan
Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan
Minyak Bumi dan Gas Bumi (Migas), DBH Sumber Daya Alam
pertambangan minyak bumi dibagi dengan yang bersangkutan
(Harahap, 2010).
Sementara itu, DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Gas Bumi
dibagi dengan imbangan 69,5% untuk pemerintah dan 30,5% untuk
daerah. DBH Pertambangan Gas bumi sebesar 30% dibagi dengan
kabupaten/kota penghasil, dan 12% untuk seluruh Kabupaten/Kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. DBH Pertambangan Gas
bumi sebesar 0,5% dibagi dengan rincian 0,1% untuk provinsi yang
bersangkutan, 0,2% untuk Kabupaten/Kota penghasil, serta 0,2%
untuk seluruh Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan (Harahap, 2010).
DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi sebear 80%
dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32%
untuk kabupaten/kota penghasil, dan 32% untuk seluruh
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Penyaluran
DBH Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi ke daerah dilakukan
dengan menggunakan asumsi dasar harga minyak bumi tidak melebihi
130% (seratus tiga puluh persen) dari penetapan dalam APBN tahun
berjalan. Dalam hal asumsi dasar harga minyak bumi yang ditetapkan
dalam APBN Perubahan melebihi 130% (seratus tiga puluh persen),
selisih penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi sebagai
dampak dari kelebihan dimaksud dialokasikan dengan menggunakan
formula DAU (Harahap, 2010).
Ketentuan mengenai tata cara penghitungan selisih penerimaan
negara dari minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Penerimaan negara
dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam
hasil (Production Sharing Contract) dan kontrak kerjasama selain
kontrak bagi hasil. Komponen pajak adalah pajak-pajak dalam
kegiatan pertambangan minyak dan gas alam dan pungutan-pungutan
lain sesuai dengan ketentuan peraturan Undang-Undangan yang
berlaku (Sianipar, 2011).
8. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan daerah adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah
daerah, baik penerimaan maupun pengeluaran yang perlu dibayar atau
akan diterima kembali yang dalam penganggaran pemerintah daerah
terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan memanfaatkan surplus
anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman
dan hasil divestasi. Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain
digunakan untuk pembayaran kembali poko pinjaman, pemberian
pinjaman kepada entitas lain dan penyertaan modal oleh pemerintah
daerah.
Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan rekening kas
umum daerah antara lain berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan
obligasi pemerintah, hasil privatisasi perusahaan daerah, penerimaan
kembali pinjaman yang diberikan pihak ketiga, penjualan investasi
permanen lainnya dan pencairan dana cadangan. Penerimaan pembiayaan
diakui pada saat diterima pada rekening kas umum daerah. Akuntansi
penerimaan pembiayaan dilaksanakan berdasarkan azaz bruto, yaitu
nettonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran). Penerimaan
pembiayaan mencangkup diantaranya :
1. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA)
2. Pencairan dana cadangan
3. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
4. Penerimaan pinjaman daerah
5. Penerimaan kembali pemberian pinjaman
6. Penerimaan piutang daerah
Sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) menurut Permendagri
Nomor 13 tahun 2006 adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan
pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA tahun
anggaran sebelumnya mencangkup pelampauan penerimaan PAD,
pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan
lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan,
penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir
tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.
SiLPA adalah suatu indikator yang menggambarkan efisiensi
pengeluaran pemerintah. SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi,
karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi Surplus pada APBD dan
sekaligus terjadi Pembiayaan Neto yang positif, dimana komponen
penerimaan lebih besar dibandingakn komponen pengeluaran pembiayaan
9. Hubungan sisa lebih pembiayaan anggaran dengan belanja modal
SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan
pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi
pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan
kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa,
belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya
yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Penelitian
yang dilakukan Ardhini (2011) menguatkan hal tersebut dimana SiLPA
berpengaruh positif terhadap Belanja Modal.
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu memuat berbagai penelitian yang sudah dilakukan
oleh peneliti sebelumnya baik dalam penelitian berupa skripsi, tesis
maupun jurnal yang masih memiliki hubungan dengan penelitian yang
dilakukan.
1. Monika Siagian (2008) berjudul Pengaruh Dana Alokasi
Umum(DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan
Lain-lain yang Sah terhadap Belanja Pemerintah Daerah Studi Kasus
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan variabel dependen
belanja pemerintah daerah dan variabel independen Dana Alokasi
Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan
Lain-lain yang sah secara parsial maupun simultan DAU, PAD dan
Pendapatan Lain-lain yang sah berpengaruh signifikan positif terhadap
2. Miftachul Chusna Santosa (2012) berjudul Pengaruh Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Pada Pemerintahan
Kabupaten/Kota se Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2008-2010)
denga variabel independen Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana
Alokasi Umum (DAU) sementara variabel dependen belanja modal.
Kesimpulan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif
signifikan terhadap alokasi belanja modal dan Dana Alokasi Umum
(DAU) berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal.
3. Mochamad Fajar Hidayat (2013) dengan judul Analisis Pengaruh
Kinerja Keuangan Daerah terjadap Alokasi Belanja Modal studi pada
Kabupaten/Kota di Jawa Timur dengan variabel dependen belanja
modal sementara variabel independen kinerja keuangan daerah
diproksikan oleh tingkat ketergantungan tahun lalu, efektifitas PAD
tahun lalu, tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu, dan rasio ruang
fiskal tahun lalu Hasil empiris penelitian ini menunjukkan bahwa
kinerja keuangan daerah tahun lalu berpengaruh signifikan terhadap
alokasi belanja modal tahun berikutnya. Tingkat ketergantungan tahun
lalu berpengaruh signifikan dengan arah negatif terhadap alokasi
belanja modal tahun berikutnya. Sementara itu, efektifitas PAD tahun
lalu, tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu, dan rasio ruang fiskal
tahun lalu, masing-masing berpengaruh signifikan dalam arah positif
4. Vidi Yudha Prawira (2009) yang meneliti tentang pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi
Umum terhadap pengelolaan anggaran belanja modal. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk meneliti faktor fundamental yaitu
pertumbuhan ekonomi, PAD dan DAU terhadap anggaran belanja
modal dalam APBD Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa secara simultan
variabel pertumbuhan ekonomi, PAD dan DAU berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel belanja modal. Selain itu, PAD dan DAU
berpengaruh positif terhadap belanja modal dalam APBD. Sedangkan
variabel pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap belanja modal.
5. Agave Sianturi (2010) meneliti pengaruh pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap pengalokasian belanja modal. Metode penelitian yang
digunakan adalah regresi linier berganda. Data yang digunakan adalah
LRA tahun 2005 sampai 2008 dengan sampel Kab/Kota di Sumatera
Utara. Hasil yang diperoleh adalah pajak daerah berpengaruh
signifikan terhadap pengalokasian belanja modal, sedangkan retribusi
daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian belanja
C. Kerangka Teoritis
Penelitian ini merupakan suatu kajian yang berangkat dari berbagai
konsep teori dan kajian penelitian yang mendahuluinya, sehingga untuk
menyederhanakan alur pemikiran. Pada penelitian ini faktor-faktor yang
mempengaruhi alokasi belanja modal Kabupaten dan Kota di Provinsi
Jawa Timur sebagai variabel independen yaitu Pendapatan Asli Daerah,
Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan Sisa Lebih Pembiayaan
Anggaran diduga berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu Alokasi
Belanja Modal, maka kerangka pemikiran digambarkan sebagai berikut :
D. Hipotesis Penelitian
1. Diduga pendapatan asli daerah berpengaruh positif signifikan terhadap
alokasi belanja modal.
2. Diduga dana alokasi umum berpengaruh positif signifikan terhadap
alokasi belanja modal.
3. Diduga dana bagi hasil berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi
belanja modal.
4. Diduga sisa lebih pembiayaan anggaran berpengaruh positif signifikan
44
A. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 9 Kota yaitu,
Kabupaten Bangkalan, Banyuwangi, Blitar, Bojonegoro, Bondowoso,
Gresik, Jember, Jombang, Kediri, Lamongan, Lumajang, Madiun,
Magetan, Malang, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pacitan, Pamekasan,
Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Situbondo,
Sumenep, Trenggalek, Tuban, Tulungagung, dan Kota Batu, Blitar, Kediri,
Madiun, Malang, Mojokerto, Pasuruan, Probolinggo dan Surabaya.
B. Jenis dan Sumber Penelitian
Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunder
yaitu data yang diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak lain. Dalam
penelitian ini menggunakan data panel yaitu kombinasi antara data time
series dan data cross section selama periode tahun 2010 sampai 2014.
Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :
1. Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2010-2014.
2. Data Realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) masing-masing
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2010-2014.
3. Data Realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) masing-masing
4. Data Realisasi Belanja Modal masing-masing Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Timur dari tahun 2010-2014
5. Data Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Masing-masing
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2010-2014
Sumber yang diperoleh dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur
2. www.djpk.depkeu.go.id
3. Literatur-literatur serta informasi-informasi tertulis baik yang berasal
dari instansi terkait maupun internet, yang berhubungan dengan topik
penelitian untuk memperoleh data sekunder.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini adalah metode dokumentasi, yaitu dengan cara
mengumpulkan, mencatat, dan mengkaji data sekunder yang berupa
Laporan Realisasi APBD yang diperoleh Badan Pusat Statistik dan dari
situs Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah melalui internet.
Dari laporan Realisasi APBD ini diperoleh data mengenai jumlah
Realisasi Anggaran Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Sisa Lebih
D. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel dependen
a. Belanja Modal
Belanja Modal adalah belanja langsung yang digunakan
untuk membiayai kegiatan investasi (menambah aset). Pengukuran
atas belanja modal untuk menambah aset atau kekayaan daerah
serta yang akan menimbulkan konsentrasi belanja yang bersifat
rutin diukur dalam satuan jutaan rupiah.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010,
belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan
aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu
periode akuntansi. Belanja modal meliputi belanja modal untuk
perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak
berwujud. Indikator variabel belanja modal diukur dengan rumus.
Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin +
Belanja Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan, Irigrasi, dan
Jaringan + Belanja Aset Tetap Lainnya.
2. Variabel independen
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004,
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah
dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut
perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan
sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk
digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam
membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk
memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan daerah yang sah. Variabel Pendapatan Asli daerah
diukur dengan rumus.
PAD = Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah yang Dipisahkan + Lain-lain PAD yang Sah
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”. (Purnomo,
2009). Variabel Dana Alokasi Umum diukur dengan rumus.
DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar
dimana :
c. Dana Bagi Hasil (DBH)
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada pemerintah Provinsi se-Indonesia
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Wahyuni dan Adi 2009).
Indikator DBH adalah sebagai berikut :
1. Dana Bagi Hasil Pajak
2. Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA)
Variabel DBH ini diukur dengan menggunakan skala rasio. DBH
dapat diukur dengan Perhitungan :
DBH = Bagi Hasil Pajak + Bukan Pajak
d. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA)
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih
lebih antara realisasi pendapatan-LRA dan belanja, serta
penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBD/APBN
selama satu periode pelaporan (PP 71 Tahun 2010). Variabel ini
diukur dari jumlah SiLPA yang ada di Laporan Realisasi APBD
per Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Timur.
E. Metode Analisis
Untuk menjawab permasalahan yang telah ditetapkan, maka dalam
data panel. Analisis dengan menggunakan data panel adalah kombinasi
dari data time series dan cross section.
Persamaan regresi sebagai berikut :
Yit = β0+ β1PADit+ β2DAUit+ β3DBHit + β4SILPAit + eit
Keterangan :
Y = Belanja Modal (BM)
β0 = Konstanta
β = Slope atau koefisien regresi atau intersep
PAD = Pendapatan Asli Daerah (PAD)
DAU = Dana Alokasi Umum (DAU)
DBH = Dana Bagi Hasil (DBH)
SILPA = Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA)
i = Kabupaten/Kota
t = Waktu
eit = error term
F. Uji Asumsi Klasik
Pengujian model dimaksut untuk memperoleh kepastian tentang
konsistensi model estimasi yang dibentuk berdasarkan teori ekonomi yang
melandasinya. Pengujian model dalam penelitian ini menggunakan
Eviews7. Pengujian penyimpangan asumsi klasik dimaksud untuk