• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ethnic identity formation in local arena of political economy in the era of decentralization

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ethnic identity formation in local arena of political economy in the era of decentralization"

Copied!
350
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBENTUKAN IDENTITAS ETNIK DALAM ARENA

EKONOMI POLITIK LOKAL DI

ERA DESENTRALISASI

(Pergulatan Politik Identitas Etnik di Kendari, Sulawesi Tenggara)

SOFYAN SJAF

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

  iii

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pembentukan Identitas Etnik dalam Arena Ekonomi Politik Lokal di Era Desentralisasi (Pergulatan Politik Identitas Etnik di Kendari, Sulawesi Tenggara) adalah merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

(4)
(5)

SOFYAN SJAF. Ethnic Identity Formation in Local Arena of Political Economy in the Era of Decentralization (Political Struggle of Ethnic Identity in Kendari, Southeast Sulawesi). Under the supervision of LALA M. KOLOPAKING, NURMALA K. PANDJAITAN, and DIDIN S. DAMANHURI.

Despite of various previous researches on local political economy have been done in Indonesia, however, there still few studies which analyze the relation between local political economy as an arena and political realities of ethnic identity. Therefore, this study is aimed to analyze the formation of ethnic identity, ethnic domination practices, forms of strategy, struggle and ethnic identity formation in the arena of local political economy. By applying qualitative research which was supported by quantitative data, research which was conducted in Kendari, Southeast Sulawesi showed that the formation of ethnic identity in the arena of local political economy is individual or ethnic groups habitus, on the line of objectivication and subjectivication continuum of actors who’re interacted each other. Afterwards, liberative democration as choice of democatic system in desentralization era, open opportunity for ethnic mobilization (identity) of actors (elite) on local political economy arena. Therefore, it’s not an astonishment when practises on local political economy arena are always ethnic bias, as shown in practises of symbolic power domination, political power domination practises, and economical power domination practises. In order to sustain the power domination, actors perform a series of strategies, such as: symbolic reproduction, symbolic investment, economical invansion, discourse support, power invansion, symbolic support, symbolic penetration, resistance, discourse reproduction, strategic alliances. Thereafter perpetuating the formation formed on local political economy arena, consisting of domination formation and dominated formation. []

(6)
(7)

SOFYAN SJAF. Pembentukan Identitas Etnik dalam Arena Ekonomi Politik Lokal di Era Desentralisasi (Pergulatan Politik Identitas Etnik di Kendari, Sulawesi Tenggara). Di bawah bimbingan LALA M. KOLOPAKING, NURMALA K. PANDJAITAN, dan DIDIN S. DAMANHURI.

Lebih satu dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di negeri ini. Dibalik pencapaian positif yang telah diberikan (seperti: kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreativitas pemerintah daerah dalam melakukan tata kelola pemerintahan, akses terhadap sumber-sumber ekonomi, dan lain sebagainya), tidak sedikit desentralisasi memberikan pencapaian negatif, seperti: langgengnya politik uang dalam praktik pemilihan kepala daerah (pilkada), tumbuh suburnya praktik shadow state dan rent seeking, “meratanya” praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dan kanalisasi politik identitas [etnik]. Tentang pencapaian negatif tersebut, berbagai studi mempertegas bahwa kebijakan disentralisasi telah menjadi “pintu masuk” kebangkitan politik identitas [etnik] yang menempatkan dominasi etnisitas tertentu terhadap etnisitas lainnya di berbagai arena.

Pada penghujung tahun 90-an, pengalaman pahit menimpa negeri ini di arena sosial. Dimana etnik Madura menjadi korban kekerasan komunal dan secara terpaksa harus meninggalkan Sambas, Kalimantan Barat dengan berat hati yang dilanda perang etno-relegius. Begitupun di arena politik, identitas etnik di(re)produksi sebagai doxa isu “putra daerah” yang kebanyakan dilakukan elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politiknya. Momentum reformasi telah menghantarkan para elit lokal mengkonsoludasikan kekuatan [identitas] etnik untuk menolak kepala daerah yang berasal dari non-etniknya. Demikian halnya fenomena pembentukan kabupaten baru, dimana para pemimpin etnik berupaya memisahkan atau melepaskan diri dari kabupaten induknya dengan alasan distingsi sejarah kebudayaan, agama, dan etnisitas.

Sejauh ini, memperlakukan kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang majemuk (terdiri dari 761 etnik) dalam arena ekonomi politik lokal masih terasa minim. Sehingga diperlukan pendekatan baru yang mampu menganalisa arena ekonomi politik lokal dengan mempertimbangkan bahwa aktor atau elit lokal dalam bertindak, tidak selamanya dideterminasi oleh orientasi ekonomi saja. Melainkan aktor juga dipengaruhi struktur yang selama ini membentuknya. Disinilah pentingnya perspektif agen-struktur untuk menganalisa tindakan aktor di arena ekonomi politik lokal yang tidak hanya bermotif tindakan ekonomi, akan tetapi juga bermotif [identitas] etnik yang membentuknya. Kemudian dari analisis [pendekatan] tersebut, diharapkan mampu memberikan gambaran berlangsungnya formasi identitas etnik sebagai bentuk pergulatan politik identitas etnik. Hal tersebut disadari karena formasi identitas etnik di arena ekonomi politik lokal terkait dengan kekuatan [identitas] etnik, relasi antar etnik, dan startegi aktor untuk merebut dan mempertahankan legitimasinya di arena ekonomi politik lokal.

(8)

  viii

politik lokal? Lalu, bagaimana praktik dominasi etnik dalam arena ekonomi politik lokal dan dampak yang dihadirkan sebagai bentuk artikulasi dari kekuatan [identitas] etnik dan relasi [antar] etnik yang terbangun di lokasi studi? Selanjutnya siapa dan darimana [identitas] etnik aktor? dan bagaimana kondisi struktur ekonomi dalam relasinya dengan aktor berkuasa, serta bagaimana ketimpangan distribusi pendapatan pada kelompok etnik sebagai dampak dari obyektivisme dominasi etnik di arena ekonomi politik lokal? Tidak itu saja, pertanyaan tentang apa saja bentuk pertarungan dan strategi yang dilakukan aktor untuk merebut atau melanggengkan kekuasaannya dalam arena ekonomi politik lokal juga menjadi penting diajukan dalam studi ini? Akhirnya, bagaimana formasi identitas etnik di arena ekonomi politik lokal? dan bagaimana dampak dari formasi identitas etnik di arena ekonomi politik lokal terhadap masyarakat di pedesaan kita? Dengan demikian, jawaban-jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan akan memudahkan peneliti memberikan kontribusi memperlakukan politik identitas etnik seabagai sebuah keniscayaan di di era desentralisasi.

Agar sesuai dengan perspektif dan teori yang digunakan, peneliti menggunakan metodologi kualitatif dan kuantitatif dengan sifat penelitian: subyektivisme, obyektivisme, dan historis. Agar terhindar dari “jebakan” subyektivisme versus obyektivisme, peneliti menggunakan perspektif aktor-struktur. Pengumpulan data menggunakan penelusuran dokumen, studi sejarah, studi kasus, dan riwayat hidup. Pendekatan tersebut, diperuntukkan bagi aktor dari berbagai latar belakang identitas etnik (Tolaki, Muna, Bugis, dan Buton) dan profesi (politisi, akademisi, swasta, dan NGO/LSM) yang berbeda. Studi ini melibatkan 33 informan. Informan ditempatkan sebagai aktor yang dianalisis. Adapun lokasi penelitian dipilih Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan pertimbangan: (1) terdapat kurang lebih 28 etnik; (2) lokasi penelitian memiliki historis masyarakat majemuk berbasis kerajaan tradisional; (3) lokasi penelitian mencerminkan konteks ekologi Indonesia, yakni “daratan” dan “kepulauan”; dan (4) lokasi penelitian menggambarkan terjadinya pergulatan politik identitas etnik.

Sebagai kota dagang, Kendari tidak lepas dari “bayang-bayang” identitas etnik. Kondisi ini ditunjukkan dari “tonggak’tonggak” dominasi etnik di Kendari yang melekat pada peristiwa-peristiwa penting dalam konteks kesejarahan. Peristiwa tersebut adalah: (a) keberadaan kerajaan tradisional merefleksikan periodesasi pra kolonialisme; (b) masyarakat yang tersegregasi merefleksikan periodesasi kolonialisme; (c) pembentukan daerah administratif yang sarat dengan identitas etnik merefleksikan periodesasi kemerdekaan; (d) kontrol atas kekuatan [identitas] etnik yang merefleksikan periodesasi Ode Baru; dan (e) pergulatan politik identias etnik merefleksikan periodesasi pasca Orde Baru (reformasi).

(9)

  ix

aktor). Kedua hal tersebut, kemudian membentuk habitus (identitas) aktor yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) pembentukan identitas etnik skala besar; dan (2) pembentukan identitas etnik terbatas. Adapun pembentukan identitas etnik tersebut, menentukan posisi dan peran aktor pada praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal, meliputi: praktik dominasi kekuasaan simbolis, kekuasaan politik, dan kekuasaan ekonomi. Meski secara keseluruhan, praktik-praktik dominasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal di era desentralisasi berkontribusi terhadap meningkatnya ketimpangan pendapatan, tetapi dijumpai fenomena menarik pada kelompok etnik tertentu (Bugis dan Buton) yang mengalami penurunan ketimpangan pendapatan selama 5 tahun terakhir. Secara sosiologis, fenomena tersebut terkait dengan posisi dan peran aktor berkuasa, serta dominasi sektor ekonomi dari kelompok etnik tersebut.

Selanjutnya dikarenakan arena ekonomi politik lokal merupakan medan pertarungan antar aktor bias etnik, maka aktor berupaya me(re)produksi strategi berdasarkan relasi yang dibangunnya. Adapun bentuk-bentuk strategi yang di(re)produksi dari relasi tersebut adalah reproduksi simbolik, investasi simbolik, invasi ekonomi, dukungan wacana, invasi kekuasaan, dukungan simbolik, penyusupan simbolik, perlawanan, reproduksi wacana, aliansi strategis, dan edukatif.

Atas uraian di atas, maka secara keseluruhan terbentuk dua formasi dalam arena ekonomi politik lokal, yaitu formasi dominasi dan formasi terdominasi. Apabila formasi dominasi tampil dominan, maka akan berimplikasi terhadap ancaman kegagalan transformasi, agenda ke-bheneka-an, dan masa depan desa-desa yang memiliki basis etnisitas homogen. Sebaliknya, apabila formasi terdominasi menyadari akan bahaya memperlakukan distingsi [identitas] etnik sebagai instrumen dalam arena ekonomi politik dan mampu mengkonsoludasikan kekuatan-kekuatan yang dimilikinya dan, maka ancaman tersebut hanyalah utopisme semata. []

(10)
(11)

  xi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(12)
(13)

EKONOMI POLITIK LOKAL DI

ERA DESENTRALISASI

(Pergulatan Politik Identitas Etnik di Kendari, Sulawesi Tenggara)

SOFYAN SJAF

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

  xiv

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.

(Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB) 2. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc F. Trop.

(Dosen Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Direktur Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni IPB)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

1. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA.

(Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional)

2. Prof. Dr. Sri-Edi Swasono.

(15)

  xv

DESENTRALISASI (Pergulatan Politik Identitas Etnik di Kendari, Sulawesi Tenggara)

Nama : Sofyan Sjaf NRP : I 363070031 Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Ketua

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA Anggota

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD)

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(16)
(17)

Alhamdulillahirobbil’aalamiin, tibalah peneliti untuk menuliskan prakata yang merupakan akhir dari bagian tulisan desertasi ini. Walau penulisan prakata dipaling akhir, tetapi letaknya pada bagian awal dalam susunan bab disertasi (karya ilmiah sejenis) menunjukkan segala isi yang terdapat di dalam karya ini tidak akan mungkin ada dan dituliskan dengan baik tanpa kontribusi dan masukan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, pertama-tama peneliti ucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan hormat saya kepada ketiga komisi pembimbing penelitian ini. Pertama, bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dengan sifat ke-bapak-annya dan jiwa seorang guru yang beliau miliki, senantiasa mendorong dan membukakan jalan bagi peneliti untuk berkarya dengan penuh amanah, tanggung jawab, dan berpihak, termasuk dalam menguraikan substansi dalam disertasi ini. Oleh karena itu, sebagai seorang murid, maka ketauladanan yang beliau berikan wajib peneliti (re)produksi untuk kepentingan kemajuan dan masa depan dunia akademik umumnya dan kemajuan ilmu-ilmu sosiologi pedesaan khususnya.

Kedua, terima kasih sebesar-besarnya dan hormat saya kepada ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberi spirit dan menenangkan pikiran dan hati peneliti disaat-saat menghadapi enjury time penelitian lapangan, penulisan disertasi, menghadapi ujian tertutup, dan ujian terbuka sebagai bagian dari proses penyelesaian studi ini. Tidak itu saja, beliau dengan caranya sendiri senantiasa konsisten mengingatkan peneliti agar fokus menguraikan habitus sebagai “inti” dari teori yang peneliti gunakan sehingga mampu menemukenali pola identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Kekonsistenan adalah bekal yang diajarkan beliau, agar peneliti selalu pegang sebagai prinsip seorang akademisi dan ilmuwan.

(18)

xviii

berpihak dapat terpatahkan dengan cara memahami dan memasuki logika pengetahuan yang mendominasi tersebut, kemudian mengkawinkannya dengan pendekatan yang kita yakini kebenarannya. Tentunya, kesan tersebut adalah bekal peneliti mengembangkan fokus pilihan peneliti tentang politik identitas etnik dan ekonomi politik lokal. Masukan-masukan kritis dan konstruktif yang beliau berikan selama proses pembimbingan akan peneliti tempatkan sebagai tema-tema riset baru yang nantinya akan dilanjutkan melalui riset mandiri maupun kerjasama dengan pihak lain. Sebagai seorang murid, maka seyogyanya peneliti selalu me(re)produksi sikap dan contoh yang diberikan seorang guru untuk selalu kritis dan konstruktif atas segala fenomena dan realitas yang nampak di depan kita.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc selaku penguji luar komisi saat ujian tertutup yang banyak memberikan pemahaman akan kerangka teoritis yang peneliti gunakan untuk menganalisis pembentukan identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Begitupun kepada bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc F. Trop selaku penguji luar komisi saat ujian tertutup yang begitu banyak memberikan masukan kepada peneliti memahami relasi indeks gini dengan topik penelitian yang menjadi ketertarikan peneliti. Bahkan di tengah-tengah kesibukan beliau, masih memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan “bimbingan khusus” terkait dengan perhitungan dan pembacaan indeks gini yang baru bagi peneliti. Peneliti juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku wakil dari Program Studi Sosiologi Pedesaan yang banyak memberikan masukan kepada peneliti, khususnya mengingatkan peneliti tentang “batas-batas” teoritik yang peneliti gunakan dan memberikan bobot judul dalam disertasi ini.

(19)

xix

lupa dengan demokrasi pancasila sebagai solusi atas “kecemasan” peneliti terhadap praktik politik etnik yang marak di Indonesia akhir-akhir ini. Anjuran Prof. Dr. Sri-Edi Swasono untuk menjadikan disertasi ini sebagai buku agar dibaca khalayak umum menjadi cambuk bagi peneliti untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalam disertasi ini. Tentunya kritikan, masukan, dan saran dari kedua penguji luar komisi saata ujian terbuka tersebut sangat berharga bagi peneliti untuk menambah bobot disertasi ini agar bermanfaat bagi perbaikan peradaban berbangsa dan bernegara umumnya dan wacana akademiki dan (re)produksi pengetahuan khususnya.

Kemudian peneliti sadari bahwa disertasi ini tidak akan selesai tanpa adanya pengertian dan dukungan penuh dari unit kerja peneliti di Departemen Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat (SKPM), FEMA IPB. Untuk itu, peneliti ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas pengertian bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo dan bapak Ir. Fredian Tonny, MS masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Departemen SKPM FEMA IPB selama peneliti melakukan penelitian dan menyelesaikan tulisan disertasi ini. Begitupun kepada ibu Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS selaku koordinator Mayor SKPM, peneliti ucapkan terima kasih banyak atas pengertiannya kepada peneliti yang “menghilang” dari kampus kurang lebih 4 bulan lamanya. Kepada bapak Nurul Huda, Anggra Irena B., ibu Susiyanti, R. Khairunnisa, Maria Ulfah, dan Dhiny selaku partner kerja di Mayor SKPM, peneliti mengucapkan terima kasih atas dukungannya agar peneliti sesegera mungkin penyelesaian studi. Tentunya, kepada seluruh warga civitas akademika Departemen SKPM FEMA IPB yang tak dapat peneliti sebutkan satu per satu, terima kasih atas pengertian, dukungan, dan kerjasamanya selama ini.

(20)

xx

selama ini, tidak mungkin peneliti balas sebagaimana yang telah diberikan kepada peneliti. Untuk itu, peneliti hanya dapat berdoa semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang bapak-bapak berikan kepada peneliti.

Selama peneliti melakukan penelitian lapangan dan menuliskan laporan hasil lapangan dalam bentuk disertasi, telah banyak pihak yang membantu dengan cara dan kontribusinya masing-masing. Untuk itu, peneliti menghanturkan banyak terima kasih kepada para sahabat-sahabatku yang telah membantu peneliti sewaktu di lapangan dalam mengumpulkan data dan merapikan informasi yang peneliti butuhkan, antara lain: Farid Sabara, Amd. Kom., SE, Kamal, S.Sos, La Ode Muh. Ali Sahri, SP, dan Mukhammad Nur, S.Tpi. Kemudian kepada Slamet Aku, S.Pt., M.Si, Syamsul Anam Ilahi, SE, M.Ec.Dev., Ir. Muhammad Karim, M.Si, Denny, SE, M.Si, Ir. Thomas Nugroho, M.Si., dan Ir. Tejo Pramono, peneliti ucapkan terima kasih atas sharing, disksusi, dan masukannya selama peneliti di lapangan maupun saat peneliti menuliskan disertasi dan mengalami stagnasi. Demikian halnya dengan teman-teman di Devisi Pemuda dan Transformasi Pertanian, PSP3 IPB (Muh. Syafar Supardjan, SE, M.Kesos, Hari Purnomo, S.Sos, Riza, S.Sos) dan asisten praktikum sosiologi pedesaan (Lukmanul Hakim, S.Kpm, Ragib Gandhi, S.Kpm, Isma Rosyida, S.Kpm, Zessy Barlan, S.Kpm, dan Risma, S.Kpm), peneliti ucapkan terima kasih atas dukungannya selama ini. Begitupun kepada teman seangkatan kuliah, antara lain: Muhammad Zid, Djaja Hendra, dan Imam Mujahidin Fahmid, terima kasih atas kebersamaannya (baik susah maupun senang) selama menempuh perkuliahan di Sosiologi Pedesaan (SPD) IPB. Semoga kebersamaan yang kita bangun terus berlanjut dikemudian hari.

(21)

xxi

menggapai impian. Mereka adalah (Alm.) ayahanda Drs. H. Sjafiuddin Daud yang mendidik peneliti dan sewaktu hidup senantiasa memberikan motivasi agar menuntut ilmu setinggi mungkin sebagai bekal untuk membantu orang kecil, keluarga, dan berkontribusi terhadap bangsa dan negara. Meski ayahanda telah tiada, namun nilai-nilai yang ditanamkan dalam diri peneliti selalu hidup, seperti: ikhtiar, ikhlas, kejujuran, tanggungjawab, dan tawakkal. Demikian halnya dengan ibunda Hj. Nurpati (mama aji), sebagai sosok orang tua yang berhasil mendidik anak-anaknya, meski pendidikan beliau tidak setinggi kami. Doa yang selalu mama aji panjatkan kehadirat Allah SWT telah menghantarkan peneliti untuk menggapai impian menyelesaikan studi pada jenjang tertinggi yang diharapkan banyak orang.

Peneliti pun menyadari bahwa studi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dan kontribusi seorang perempuan prinsipil yang mendampingi peneliti selama ini, yakni isteri tercinta Novi Fajar Utami, S.Farm. Apt. Tidak semua perempuan akan sesabar dan sekuat isteri peneliti ketika mendampingi suami yang memiliki rutinitas non-rumahan. Apalagi ketika peneliti menghadapi masa-masa penulisan disertasi sebagai tugas akhir studi doktoral peneliti. Interaksi dan perhatian yang kurang, bahkan emosional peneliti yang tak terkontrol tidak membuat isteri peneliti “bertingkah”, malah sebaliknya sebagai perempuan prinsipil, interaksi dan perhatian dalam bentuk spirit dan doa yang diberikannya bagaikan energi yang memiliki kekuatan tak terduga. Atas semua ini, peneliti ucapakan terima kasih sebesar-besanya kepada isteri tercinta Novi Fajar Utami atas pengertian dan dedikasimu kepada sang suami.

Oleh karena itu, disertasi ini kuperuntukkan kepada ayahanda, mama aji, dan isteriku tercinta Novi Fajar Utami atas perhatian dan pengorbanan yang diberikan selama ini dengan caranya masing-masing.[]

(22)
(23)

SOFYAN SJAF lahir di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) pada tanggal

3 Oktober 1978 dari pasangan Bapak Drs. H. Sjafiuddin Daud (alm.) dengan Ibu

Hj. Nurpati. Peneliti adalah anak ke-3 dari tiga bersaudara dan menikah dengan

Novi Fajar Utami, S. Farm. Apt. Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah

Atas (SMA), peneliti tamatkan di Kendari. Pada tahun 1996, peneliti hijrah ke

Bogor untuk memenuhi Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas

Peternakan. Selama menempuh pendidikan Sarjana (S1), peneliti menyempatkan

aktif di organisasi internal kampus (HIMAPROTER, ISMAPETI, dan BEM IPB)

dan eksternal kampus (HMI Cabang Bogor, Komunitas Mahasiswa Bogor, dan

Komunitas Cipayung). Akhir September 2000, peneliti merampungkan

pendidikan Sarjana di bawah bimbingan Dr. Ir. Salundik, MS dan Prof. Dr. Ir. Sri

Supratini Mansyur.

Awal tahun 2001, atas kebaikan Bapak Wahyudi Mohtar (alm.) sebagai

Pimpinan Umum Majalah TROBOS, peneliti diajak bergabung sebagai wartawan

selama 2 tahun. Kemudian tahun 2003, peneliti sempat bekerja di perusahaan

swasta di sektor peternakan. Karena tidak bersesuaian dengan habitus, peneliti

menetapkan kembali ke kampus untuk melanjutkan studi Magister Sains (S2) di

Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB. Saat menempuh pendidikan S2, peneliti

menjadi asisten dosen di Jurusan Sosial-Ekonomi Peternakan dan aktif sebagai

Wasekjend PB Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia periode 2003–2008. Juga atas

ajakan kolega Budi Baik Siregar, SP, M.Si ikut menginisiasi berdirinya Yayasan

Sajogyo Inti Utama. Awal tahun 2006, peneliti merampungkan pendidikan

Magister Sains di bawah bimbingan Ir. Fredian Tonny, MS dan Dr. Ivannovic

Agusta.

Setelah menempuh pendidikan S2, peneliti aktif di Yayasan Sajogyo Inti

Utama sebagai Dewan Pengurus dan Sajogyo Institute (SAINS) sebagai Direktur

Eksekutif, serta asisten dosen (koordinator praktikum mata kuliah Sosiologi

Pedesaan dan Perubahan Sosial) pada Departemen Sains Komunikasi dan

(24)

xxiv

peneliti. Beberapa dari hasil penelitian tersebut diterbitkan sebagai buku, antara

lain: Potret Kedaulatan Pangan di Mamasa (Sjaf et. al. 2007), Struktur Usaha

Broiler di Indonesia (Muladno, Sjaf et. al. 2008), dan Jejak Pangan Beras Mamasa

(Sjaf et. al. 2009).

Kemudian pada tahun 2007, atas izin dan bantuan Ketua Departemen

SKPM FEMA IPB (Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS), serta rekomendasi Prof. Dr.

Sajogyo (alm.), Dr. Soeryo Adiwibowo, dan Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA, peneliti

memperoleh kesempatan melanjutkan studi Doktoral (S3) pada program studi

Sosiologi Pedesaan IPB dengan pembiayaan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana

(BPPS) Dirjen DIKTI Kemendiknas. Dua tahun perjalanan studi peneliti (tepatnya

akhir tahun 2009), pimpinan Departemen SKPM FEMA IPB memberikan

kesempatan dan kepercayaan (amanah) kepada peneliti untuk mengabdi sebagai

staf pengajar (dosen) tetap pada departemen tersebut.

Sembari studi dan menjalankan amanah yang diberikan tersebut, peneliti

aktif di Komisi Pendidikan Departemen SKPM FEMA IPB, Devisi Pemuda dan

Transformasi Pertanian PSP3 IPB, menulis artikel opini di koran nasional dan

jurnal, serta nara sumber pada kegiatan kemahasiswaan dan non-kemahasiswaan

di dalam maupun di luar IPB. Di luar kegiatan kampus, peneliti belajar dan

melibatkan diri sebagai pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Bogor,

(25)

Halaman

ABSTRAC...

v

RINGKASAN...

vii

LEMBAR PENGESAHAN...

xv

PRAKATA...

xvii

RIWAYAT HIDUP...

xxiii

DAFTAR ISI...

xxv

DAFTAR TABEL...

xxix

DAFTAR GAMBAR...

xxxi

DAFTAR BOKS...

xxxiii

DAFTAR LAMPIRAN...

xxxv

BAB I PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Permusan Masalah... 6 Tujuan Penelitian... 7 Kegunaan Penelitian... 8

BAB II PENDEKATAN TEORITIS... 9 Etnik, Relasi Antar Etnik, dan Kekuatan [Identitas] Etnik... 10 Etnik dan Relasi Antar Etnik... 11 (a) Teori Klasik... 12 (b) Teori Neo-Klasik... 17 (c) Teori Post-Struktural... 19 Kekuatan [Indetitas] Etnik... 23 Politik Identitas dan Arena Ekonomi Politik Lokal... 28 Politik Identitas: Dari Perspektif Hingga Pelaku... 32 Arena Ekonomi Politik Lokal... 42 Formasi Identitas Etnik dan Konstruksi Teori Politik Identitas. 48 Teori Praktik: Habitus, Arena, dan Modal... 48 (a) Habitus... 49 (b) Arena... 51 (c) Modal... 53 (d) Strategi... 57 Konstruksi Teori Formasi Identitas Etnik: Dari Hasil

Studi ke Kerangka Pemikiran Penelitian Pemikiran...

(26)

  xxvi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 65 Metode... 65 Pendekatan dan Teknik Penelitian... 69 Lokasi, Aras, dan Waktu Penelitian... 74

BAB IV KENDARI DALAM “BAYANG-BAYANG”

IDENTITAS ETNIK...

79 Kerajaan-kerajaan Tradisional di Sultra... 84 Masyarakat yang Tersegregasi... 89 Pembentukan Daerah Administratif yang Sarat

Identitas Etnik...

93 Kontrol Atas Kekuatan [Identitas] Etnik... 97 Kebangkitan [Identitas] Etnik... 104

BAB V PEMBENTUKAN IDENTITAS ETNIK DAN AKTOR

YANG TERLIBAT DALAM ARENA EKONOMI

POLITIK LOKAL...

109 Prinsip-prinsip Pembentukan Identitas Etnik... 111 Pembentukan Identitas Etnik... 114

Kondisi dan Kedudukan Kelompok Etnik di Kendari: Obyektivikasi Pembentuk Identitas Etnik di Kendari...

115 (a) Kondisi kelompok Etnik dan Sebarannya... 116 (b) Kedudukan Kelompok Etnik di Kendari... 124

b.1. Simbol Kekuasaan Kerajaan Tradisional Masa Lalu...

125 b.2. Legenda “Tokoh Pemersatu” Sultra... 134 b.3. Stigmanisasi Etnis dan Pelapisan Sosial

Tradisional...

140 Pengalaman Aktor: Subyektivikasi Pembentuk Identitas Etnik 142 Kontribusi Etnisitas dalam Struktur Pembentuk Identitas... 150 Aktor yang Terlibat... 156 Posisi Subyektif Aktor dan Mobilisasi [Identitas] Etnik.... 158 Peta Kekuatan Aktor dalam Arena Ekonomi Politik

Lokal...

160

BAB VI PRAKTIK DOMINASI [IDENTITAS] ETNIK DALAM

ARENA EKONOMI POLITIK LOKAL...

165 Praktik Dominasi Kekuasaan Simbolis... 166 Praktik Dominasi Kekuasaan Politik... 170

(27)

  xxvii

(a) Posisi Aktor Bias Etnik dan Pengeluaran APBD.... 189 (b) Kemiskinan dan Relasi Aktor Bias Etnik... 194 (c) Pelaku Usaha Berbasis Etnik... 199 Artikulasi Dominasi Kekuasaan Ekonomi... 201 Ketimpangan Etnisitas: Dampak Praktik Dominasi [Identitas]

Etnik dalam Arena Ekonomi Politik Lokal...

205

BAB VII RUANG PERTARUNGAN DAN STRATEGI AKTOR

DI ARENA EKONOMI POLITIK LOKAL...

213

Ruang Pertarungan Aktor...

214

Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi...

216

Ruang Pertarungan Kekuasaan Politik...

221

Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi-Politik...

225

Strategi-strategi Aktor...

228

Aktor Kampus – NGO/LSM...

229

Aktor Kampus – Politisi/Birokrat – Pengusaha...

230

Aktor NGO/LSM – Politisi/Birokrat – Pengusaha...

231

Aktor Politisi/Birokrat – Pengusaha...

233

BAB VIII FORMASI IDENTITAS ETNIK DALAM ARENA EKONOMI POLITIK LOKAL...

235

Pola Formasi Kekuasaan pada Masyarakat Majemuk...

238

Desentralisasi dan Kegagalan Transformasi...

242

Golongan Muda yang Terbelah dan Masa Depan

Pedesaan...

244

Mandulnya (Re)produksi Kepemimpinan Nasional....

248

Kembali ke Demokrasi Pancasila...

252

BAB VIII SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN...

259

Simpulan...

259

Implikasi Kebijakan...

266

DAFTAR PUSTAKA...

267

(28)
(29)

Tabel Halaman

2.1 Bangunan Asumsi Teori Etnik Klasik... 16 2.2 Bangunan Asumsi Teori Etnik Neo-Klasik... 19 2.3 Bangunan Asumsi Teori Etnik Post-Stuktural... 22 2.4 Peta Konsep Teori Etnik Berdasarkan Aliran Pemikiran, Tokoh,

Perspektif Pemikiran, dan Kelemahannya...

24 2.5 Identifikasi Pola Kekuatan [Identitas] Etnik Berdasarkan

Sembilan Referensi Case Study...

30 2.6 Ragam Pemahaman Tentang Politik Identitas... 34 2.7 Tipologi Perspektif dan Pelaku Politik Identitas... 37 2.8 Pendekatan Analisis Perspektif EP Neo-Klasik... 45 2.9 Hubungan Antar Konsep Habitus, Arena, dan Modal... 55 3.1 Sifat Penelitian yang Tercermin Melalui Eksterior dan

Interior...

68 3.2 Pendekatan Penelitian dan Tujuan Penggunaannya... 72 3.3 Deskripsi Tahapan Penelitian... 76 4.1 Jumlah Penduduk dan Persentase Kepala Keluarga Berdasarkan

Kota/Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara...

80 4.2 Peristiwa Penting sebagai “Tonggak-tonggak” Dominasi

Etnik di Kendari...

84 4.3 Segregasi Pemukiman dan Mata Pencaharian Kelompok

Etnik di Kendari...

92 4.4 Gubernur Sulawesi Tenggara Berdasarkan Periodesasi dan Asal

Etnik...

100 4.5 Komposisi Perolehan Kursi DPRD Tingkat I Sulawesi Tenggara,

1971-1997...

103 4.6 Pasangan Kandidat Walikota Kendari dan Provinsi Sulawesi

Tenggara, serta Asal Kelompok Etnik Kandidat, Tahun 2007...

106 4.7 Pencirian Realitas “Bayang-bayang” Identitas Etnik Berdasarkan

Periodesasi Waktu (Peristiwa) dan Fokus Pengamatan...

108 5.1 Sebaran Etnik Mayoritas Berdasarkan Pulau di Indonesia... 116 5.2 Jumlah Desa/Kelurahan, Etnik, dan Ratio Etnik Terhadap

Desa/Kelurahan di Pulau Sulawesi...

118 5.3 Kelompok Etnik Berdasarkan Ekologi (Daratan-Kepulauan)

di Provinsi Sulawesi Tenggata...

121 5.4 Estimasi Etno-Demografi di Provinsi Sulawesi Tenggara... 119 5.5 Estimasi Etno-Demografi di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara... 123 5.6 Jumlah Kecamatan, Desa, dan Etnik Dominan di Desa/

Kelurahan Berdasarkan Perbedaan Ekologi Kabupaten di

Sulawesi Tenggara...

125 5.7 Manifestasi To Manurung dengan Asal-Usul Etnik di Sulawesi

Tenggara...

(30)

  xxx

5.8 Konstruksi Etnik Tentang “Tokoh Pemersatu” Menurut Masing-masing Entitas Sosial...

136 5.9 Peta Kekuatan Aktor dalam Arena Ekonomi Politik Lokal... 162 5.10 Relasi Profesi-Etnisitas Aktor dalam Arena Ekonomi Politik

Lokal...

163 6.1 Kedudukan Kelompok Etnik dan Wacana Aktor sebagai

Representatif Praktik Kekuasaan Simbolis dalam Arena Ekonomi Politik Lokal...

169 6.2 Realisasi Anggaran Belanja Pemerintahan Kota Kendari,

Tahun 2010...

185 6.3 Proyek Pembangunan di Dinas Pendidikan dan Dinas Pekerjaan

Umum, Tahun 2010...

186 6.4 Jumlah KK Miskin di Kendari... 182 6.5 Posisi Aktor Berbasis Etnik dalam Kekuasaan Pemkot Kendari... 190 6.6 Alokasi Realisasi Pengeluaran APBD Pemkot Kendari

Berdasarkan Peruntukkannya, Tahun 2010...

187 6.7 Kekuasaan Ekonomi dan Wacana Aktor sebagai Representasi

Praktik Kekuasaan Ekonomi...

205 6.8 Perbandingan Indeks Gini Kota Kendari Tahun 2005 dan 2010... 220 7.1 Afiliasi Aktor di Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi ... 215 7.2 Afiliasi Aktor di Ruang Pertarungan Kekuasaan Politik... 223 7.3 Afiliasi Aktor di Ruang Pertarungan Kekuasaan Ekonomi-Politik.. 222 7.4 Strategi yang Diproduksi dari Relasi Antar Aktor Kampus –

NGO/LSM...

229 7.5 Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor Kampus –

Politisi/Birokrat – Pengusaha...

231 7.6 Strategi yang Diproduksi dari Relasi Aktor NGO/LSM –

Politisi/Birokrat – Pengusaha...

232 7.7 Strategi yang Diproduksi dari Relasi Politisi/Birokrat –

Pengusaha...

233 8.1 Identifikasi Praktik dalam Arena Ekonomi Politik Lokal... 237 8.2 Perbedaan Pola Formasi Kekuasaan Pada Masyarakat Majemuk.... 241

(31)
[image:31.595.102.524.124.778.2]

Gambar Halaman

1.1 Peta Sebaran Etnik di Indonesia... 5 2.1 Proses Pembentukan dan Perubahan Identitas... 35 2.2 Tipologi Pelaku Politik Identitas... 40 2.3 Doxa, Heterodoxy, dan Orthodoxy... 56 2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian Formasi Identitas Etnik dalam

Arena Ekonomi Politik Lokal...

62 3.1 Sebaran Kelompok Etnik di Kota Kendari Berdasarkan

Kecamatan...

75 3.2 Pendekatan Penelitian yang Digunakan Selama di Lapangan... 75 4.1 Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara... 81 4.2 Salah Satu Aktivitas “Kota Dagang” di Teluk Kendari... 82 4.3 Kampung Butung: Salah Satu Pemukiman Asli Etnik Buton

di Kendari...

90 5.1 Posisi Subyektif Aktor dalam Arena Ekonomi Politik Lokal... 112 5.2 Peta Sebaran Etnik di Sulawesi Tenggara... 117 5.3 Sebaran Kelompok Etnik di Provinsi Sulawesi Tenggara... 119 5.4 Persentasi Sebaran Kelompok Etnik per Desa di Provinsi

Sulawesi Tenggara...

120 5.5 Persentasi Sebaran Kelompok Etnik per Kecamatan di

Kota Kendari...

122 5.6 Patung “Tokoh Pemersatu” di Depan Korem 143 Haluoleo

yang Dijadikan sebagai Legitimasi Kedudukan Kelompok Etnik di Sulawesi Tenggara...

134 5.7 Tugu Persatuan yang Mencerminkan Harapan Bersatunya

Etnik Lokal di Sulawesi Tenggara...

139 5.8 Beberapa Bentuk (Re)produksi Kultur Kekuasaan Etnik di

Arena Ekonomi Politik Lokal...

143 5.9 Struktur Pembentukan Identitas Etnik dalam Arena Ekonomi

Politik Lokal...

151 5.10 Afiliasi Kelompok Etnik pada Praktik Politik Lokal... 153 5.11 Prinsip Hierarki dan Mobilisasi [Identitas] Etnik di Lokasi Studi.. 159

6.1 Distribusi Jumlah Penduduk dan Suara Pemilih Pilwali Kendari Tahun 2007...

173 6.2 Distribusi Suara Kandidat Pilwali Kendari Berdasarkan

Kecamatan Tahun 2007...

173 6.3 Sebaran Anggota DPRD Kota Kendari Berdasarkan Asal

Etnik dan Parpol...

175 6.4 Posisi Aktor Politik (Politisi) dan Jumlah Suara Pemilih

Berdasarkan Etnik...

176 6.5 Sebaran Suara Pemilih di Kecamatan-kecamatan

Berdasarkan Etnik...

(32)

  xxxii

6.6 Sebaran Perolehan Suara Politisi Berdasarkan Etnik Menurut Dapil...

178 6.7 Posisi atau Kedudukan Pejabat Berdasarkan Etnik di

Pemerintahan Kota Kendari...

181 6.8 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kendari,

Tahun 2007-2010...

183 6.9 Anggaran Belanja Daerah Kendari, Tahun 2007-2010... 183 6.10 PDRB Kota Kendari, Tahun 2006-2009... 187 6.11 Penghasilan Utama Warga Kendari... 188 6.12 Alokasi Realisasi Pengeluaran APBD Berdasarkan Dominasi

Aktor Eksekutif (SKPD) Berbasis Etnik...

192 6.13 Alokasi Realisasi Pengeluaran APBD Berdasarkan Dominasi

Aktor Camat Berbasis Etnik...

192 6.14 Alokasi Realisasi Pengeluaran APBD Berdasarkan Dominasi

Aktor Lurah Berbasis Etnik...

193 6.15 Sebaran KK dan KK Miskin Berdasarkan Etnik (Kiri) dan

Sebaran Etno-Demografi dan KK Miskin Berdasarkan

Kecamatan (Kanan)...

195 6.16 Sebaran KK Miskin dan Suara Pemilih (Kiri) dan Sebaran KK

Miskin dan Suara Pemilih Pilkada Berdasarkan Etnik (Kanan)...

196 6.17 Sebaran Aktor (Elit) Pemerintah dalam Kuasa Pengaturan APBD

Kendari Berdasarkan Etnik (Kiri) dan Aktor (Elit) Pemerintah dalam Pengentasan KK Miskin Berdasarkan Etnik (Kanan)...

197 6.18 Pelaku Usaha Berdasarkan Basis Etnik... 199 6.19 Pelaku Usaha Berdasarkan Etnik Menurut Relasi KK Tani

dengan Luas Lahan (Kiri) dan Relasi KK Tani dengan Buruh Tani (Kanan)...

200 6.20 Indeks Gini Kelompok Etnik di Kendari Sepanjang 5 Tahun

Terakhir...

206 6.21 Kurva Distribusi Pendapatan (Kurva Lorenz) Kota Kendari,

Tahun 2005 dan 2010...

207 6.22 Kurva Distribusi Pendapatan (Kurva Lorenz) Kelompok Etnik

Bugis Tahun 2005 dan 2010...

208

6.23 Kurva Distribusi Pendapatan (Kurva Lorenz) Kelompok Etnik TolakiTahun 2010...

209 6.24 Kurva Distribusi Pendapatan (Kurva Lorenz) Kelompok Etnik

Muna Tahun 2005 dan 2010...

210 6.25 Kurva Distribusi Pendapatan (Kurva Lorenz) Kelompok Etnik

Buton Tahun 2005 (dan 2010...

210 7.1 Ruang Pertarungan Aktor di Arena Ekonomi Politik Lokal... 215 7.2 Strategi Aktor (In-Actors dan Out-Actors) Berdasarkan Modus

Pertarungan Aktor...

229 8.1 Pola Formasi Kekuasaan Politik Identitas... 240 8.2 Bentuk (Re)produksi Simbolik yang Menonjolkan Distingsi

Identitas Etnik...

251 8.3 Bangunan Teori Formasi Identitas Etnik... 256

(33)

 

DAFTAR BOKS

Boks Halaman

4.1 Kekerasan Simbolik: Tekanan dan Ancaman... 105 5.1 Heterodoxy (Wacana Tandingan) Atas Kata “Bharata”... 147 5.2 “Sejarah yang Terkalahkan”: Upaya Melakukan Heterodoxy... 152 5.3 Kekecewaan Terhadap Aktor dari Etnik yang Sama... 155 6.1 Afiliasi dan Deafiliasi Kelompok Etnik di Universitas Haluoleo.... 168 7.1 Kelompok Aktor dalam Ruang Pertarungan Kekuasaan

Ekonomi Simbolis...

218 7.2 Dari Aktivis LSM Lokal Menjadi Anggota KPU... 224  

(34)
(35)

Lampiran Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian... 277 2. Informasi Informan dan Responden Penelitian... 278 3. Waktu Pelaksanaan Penelitian... 279 4. Susunan Kepala Daerah Kota Kendari, Tahun 1960-2012... 280 5. Sebaran Kelompok Etnik di Indonesia... 282 6. Ratio Etnik dan Klasifikasi Konflik Komunal Berdasarkan

Pulau di Indonesia...

288 7. Rekap Data Ketua Umum Partai Politik Tingkat DPW

Provinsi Sultra dan DPD Kota Kendari...

289 8. Jumlah Partai Politik Berdasarkan Basis Etnik di Kendari,

Sulawesi Tenggara...

290 9. Rekap Data Lurah se-Kota Kendari, Sulawesi Tenggara... 291 10. Jumlah Lurah Berdasarkan Basis Etniknya di Kendari,

Sulawesi Tenggara...

293 11. Daftar Nama Kepala Dinas/Sederajat Berdasarkan Etnik... 294 12. Daftar Nama Camat se-Kota Kendari Berdasarkan Etnik... 295 13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kendari

(2007-2010), serta Riet 3 Tahun Terakhir...

296 14. Anggaran Belanja Daerah Kendari (2007-2010), serta Riet 3

Tahun Terakhir...

297 15. PDRB Kota Kendari, 2006 – 2009... 298 16. Rincian Kepala Dinas atau Sederajat Berdasarkan Etnik dan

Alokasi Pengeluaran (Belanja) APBD, Tahun 2010...

299 17. Rincian Camat Berdasarkan Etnik dan Alokasi Pengeluaran

(Belanja) APBD, Tahun 2010...

300 18. Jumlah KK dan KK Miskin Berdasarkan Etnik... 301 19. Perhitungan Indek Gini Kota Kendari Tahun 2005... 302 20. Perhitungan Indek Gini Kota Kendari Tahun 2010... 303 21. Perhitungan Indek Gini Kelompok Etnik Tolaki di Kendari

Tahun 2005...

304 22. Perhitungan Indek Gini Kelompok Etnik Tolaki di Kendari

Tahun 2010. ...

305 23. Perhitungan Indek Gini Kelompok Etnik Muna di Kendari

Tahun 2005. ...

306 24. Perhitungan Indek Gini Kelompok Etnik Muna di Kendari

Tahun 2010. ...

307 25. Perhitungan Indek Gini Kelompok Etnik Bugis di Kendari

Tahun 2005. ...

308 26. Perhitungan Indek Gini Kelompok Etnik Bugis di Kendari

Tahun 2005. ...

309 27. Perhitungan Indek Gini Kelompok Etnik Buton di Kendari

Tahun 2005. ...

(36)

xxxvi

28. Perhitungan Indek Gini Kelompok Etnik Buton di Kendari Tahun 2010 ...

311 29. Perhitungan Indek Gini Kelompok Etnik Lainnya di Kendari

Tahun 2005. ...

312 30. Perhitungan Indek Gini Kelompok Etnik Lainnya di Kendari

Tahun 2010 ...

313

(37)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lebih satu dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di

negeri ini.1 Dibalik pencapaian positif yang telah diberikan (seperti: kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreativitas

pemerintah daerah dalam melakukan tata kelola pemerintahan, akses terhadap

sumber-sumber ekonomi, dan lain sebagainya), tidak sedikit desentralisasi

memberikan pencapaian negatif, seperti: langgengnya politik uang (money politic)

dalam praktik pemilihan kepala daerah (pilkada), tumbuh suburnya praktik

shadow state dan rent seeking, “meratanya” praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dan kanalisasi politik identitas [etnik]. Tentang pencapaian negatif

tersebut, berbagai studi mempertegas bahwa kebijakan disentralisasi dengan

pilihan demokrasi liberatif telah menjadi “pintu masuk” kebangkitan politik

identitas [etnik]2 yang menempatkan dominasi etnisitas tertentu terhadap etnisitas lainnya di berbagai arena.

Pada penghujung tahun 90-an, pengalaman pahit menimpa negeri ini di

arena sosial. Etnik Madura menjadi korban kekerasan komunal dan secara paksa

harus meninggalkan Sambas, Kalimantan Barat (Klinken 2007:89-91; Maunati

2004). Pada waktu yang bersamaan, etnik BBM (Buton, Bugis, Makassar)

dengan berat hati dan keterpaksaan harus meninggalkan Ambon yang dilanda

perang etno-relegius (Klinken 2007:147-152). Atas kenyataan ini, Kolopaking

(2011) mengingatkan bahwa pengorganisasian yang tidak tepat atas realitas

keberadaan sukubangsa yang beragam di era desentralisasi menyebabkan potensi

konflik yang akan terjadi di negara ini baik di pedesaan dan perkotaan.

      

1 Otonomi Daerah ditandai semenjak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004.

2 Menurut peneliti bahwa salah satu faktor pendorong bangkitnya politik identitas etnik

(38)

 

Begitupun di arena politik, identitas etnik di(re)produksi sebagai doxa isu “putra daerah” yang kebanyakan dilakukan elit lokal untuk merebut dan

melanggengkan kekuasaan politiknya. Tentang hal ini, Eindhoven (2007:100-104)

tegas menyatakan bahwa momentum reformasi telah menghantarkan para elit

lokal mengkonsoludasikan kekuatan [identitas] etnik untuk menolak kepala

daerah yang berasal dari non- etniknya. Demikian halnya fenomena pembentukan

kabupaten baru, dimana para pemimpin (elit) etnik berupaya memisahkan atau

melepaskan diri dari kabupaten induknya dengan alasan distingsi sejarah kebudayaan, agama, dan etnisitas (Vel 2007:129-135).

Hal yang tak kalah peliknya terjadi di arena ekonomi politik lokal.3 Studi Tim PEP-LIPI mengindikasikan bahwa ketimpangan pembangunan yang paling

berbahaya pasca reformasi, yakni ketimpangan antar kelompok masyarakat dalam

provinsi. Studi ini menemukan bahwa fenomena disintegrasi yang merebak lebih

berkaitan dengan ketimpangan antar kelompok dalam provinsi, ketimbang

ketimpangan yang terjadi antar daerah, antar Jawa dan luar Jawa atau antar

provinsi (Masyhuri dan Hidayat et. al. 2001:187). Menyikapi hal tersebut, Damanhuri (2009:92-95) mengingatkan bahwa kemunculan kelompok gerakan

kedaerahan di era otonomi daerah yang dapat menjadi persoalan serius bagi

Indonesia sebagai nation-state akan teratasi apabila ditegakkannya keadilan daerah secara sosial, ekonomi, dan budaya, serta kepastian dan rasa keadilan

hukum serta pemerintahan.

Atas peringatan Damanhuri tersebut, studi pembentukan (formasi) identitas

etnik dalam arena ekonomi politik lokal merupakan bentuk upaya dari peneliti

untuk “memotret” lebih dekat (mikro) kondisi obyektif [heterogenitas] identitas

etnik ketika berlangsungnya kebijakan desentralisasi. Sejauh ini, peneliti menduga

secara tematik bahwa kebijakan desentralisasi telah memberikan peluang

tampilnya politik identitas etnik yang terus di(re)produksi aktor atau elit lokal,

sehingga mengakibatkan terjadinya oportunity loss. Oportunity loss dimaksudkan sebagai dampak dari tindakan aktor atau elit yang secara sadar dikonstruksi untuk

      

3 Disini, arena ekonomi politik lokal yang dimaksud adalah kondisi obyektif dimana

(39)

 

membuka kesempatan mendominasinya etnik tertentu dan sebaliknya,

terdominasinya etnik lain.

Jika dugaan di atas benar adanya, maka ramalan Furnivall tiga abad yang

lalu merupakan persoalan sekaligus ancaman serius bagi Indonesia sebagai

nation-state.4 Walaupun funding futher negara ini melalui pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah menegaskan pembentukan Negara Indonesia

bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia. Rupanya kemajemukan (baca: pluralisme) sebagai kondisi obyektif

yang harus diperlakukan sama adalah keniscayaan yang membutuhkan waktu dan

pendekatan yang tepat.

Berangkat dari konteks tersebut, peneliti menganggap bahwa kondisi

obyektif kemajemukan (lihat Gambar 1.1) 5 di Indonesia dengan ragam persoalan yang menghimpitnya, seyogyanya diperlakukan dengan suatu pendekatan yang

mampu menemukenali akar persoalan yang ada, sekaligus cara memperlakukan

kondisi obyektif tersebut dalam arena ekonomi politik. Perihal yang terakhir,

sejauh penelusuran referensi yang dilakukan menunjukkan bahwa studi ekonomi

politik di Indonesia masih menempatkan teori ekonomi politik neo-klasik sebagai

pendekatan yang mendominasi.6 Sebagai misal, teori rent-seeking society model yang dikenal dengan pendekatan society centred approach dan teori power seeking politicians, rent-seeking bureaucrats, dan predatory state yang dikenal dengan pendekatan state centred approach.

      

4 Furnivall adalah seorang pengamat ekonomi neo-klasik yang cermat.

Penelitian-penelitiannya mengenai ekonomi Burma dan Indonesia sampai sekarang termasuk yang terbaik yang pernah ditulis di masa akhir penjajahan (Hefner 2011). Dalam bukunya yang berjudul “Ekonomi Majemuk”, Furnivall mengemukakan bahwa bahwa “...nasionalisme akan berakhir dengan mempertentangkan satu komunitas etnis melawan komunitas etnis lainnya, dan demikian semakin memperparah, bukannya meredakan, keterpecah-belahan masyarakat. Kecuali suatu formula bagi federasi pluralis bisa diciptakan, pluralis Asia Tenggara rupanya ditakdirkan akan menghadapi “anarki” yang mengerikan...” (Furnivall 2009: 488-489).

5 Data Potensi Desa (2011) menginformasikan bahwa jumlah etnik di Indonesia sebanyak

761 etnik. Dari tiga puluh tiga provinsi di Indonesia, Kalimantan Barat merupakan provinsi yang memiliki sebaran etnik terbanyak, yakni 176 etnik dan disusul Provinsi Papua dengan sebaran etnik sebanyak 136 etnik.

6 Sejauh ini, pendekatan penelitian ekonomi politik lokal di Indonesia menggunakan Society Centred Approaches (selanjutnya disingkat SCA) dan State Centered Approaches

(40)

 

Kedua pendekatan ekonomi politik di atas, lebih menitikberatkan pada

individu sebagai makhluk rasional yang ketika bertindak cenderung memiliki

motif ekonomi (keuntungan). Sehingga relasi antar individu dengan individu

lainnya (termasuk dengan pemerintah) senantiasa dimaknai sebagai tindakan

individu yang memiliki interes untuk mengakumulasi kesejahteraan (Mansyuri

dan Hidayat 2001:30-35). Namun realitas tersebut tidaklah sepenuhnya benar.

Tampilnya fenomena politik identitas etnis di era desentralisasi melalui pilihan

sistem demokrasi liberal menunjukkan bahwa tindakan aktor atau individu tidak

sepenuhnya berorientasi ekonomi (keuntungan), sehingga relasi yang terbangun

lebih bersifat ekonomis. Juga aktor atau individu bukanlah “makhluk bebas”

yang tidak dipengaruhi (lepas) dari struktur yang membentuknya. Melainkan

tindakan aktor atau individu senantiasa embedded dengan struktur obyektifnya (identitas etnik) sebagai sesuatu yang ada dan nyata (Pamuji et. al. 2008; LSI 2008; Sakai 2002). Dengan kata lain, setiap tindakan aktor senantiasa dipengaruhi

pengalaman maupun struktur yang membentuk aktor atau dikenal dengan istilah

habitus.

Dengan demikian, diperlukan pendekatan baru yang mampu menganalisa

arena ekonomi politik lokal dengan mempertimbangkan bahwa aktor atau elit

lokal dalam bertindak, tidak selamanya dideterminasi orientasi ekonomi saja.

Melainkan aktor juga dipengaruhi struktur yang selama ini membentuknya.

Disinilah pentingnya perspektif agen-struktur untuk menganalisa tindakan aktor di

arena ekonomi politik lokal yang tidak hanya bermotif tindakan ekonomi, akan

tetapi juga bermotif [identitas] etnik yang membentuknya. Kemudian dari analisis

[pendekatan] tersebut, diharapkan mampu memberikan gambaran berlangsungnya

formasi identitas etnik sebagai bentuk pergulatan politik identitas etnik. Hal

tersebut disadari karena formasi identitas etnik terkait dengan kekuatan [identitas]

etnik, relasi antar etnik, dan startegi aktor untuk merebut dan mempertahankan

(41)
[image:41.842.111.743.108.475.2]

 

(42)

 

Perumusan Masalah

Agar amanat pembukaan UUD 1945 untuk “melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” diberbagai arena kehidupan dapat

diwujudkan, maka dibutuhkan pemahaman utuh tentang kondisi obyektif dan

subyektif struktur masyarakat majemuk7 di Indonesia. Pemahaman tentang hal

tersebut, sejauh ini peneliti sadari belum sepenuhnya inklud dalam

analisis-analisis ekonomi politik lokal sehingga fenomena “kebangkitan” politik identitas

etnik di era desentralisasi belum terbingkai dengan baik. Atas dasar tersebut,

maka peneliti terdorong mengajukan pertanyaan penelitian tentang bagaimana

memperlakukan fenomena politik identitas etnik di era disentralisasi? Adapun

pertanyaan ini lebih diorientasikan untuk mengenali dan memahami dampak dari

politik identitas dan bentuk-bentuk formasi identitas etnik di arena ekonomi

politik lokal yang berlangsung di lokasi studi.

Namun sebelum mengenali dan memahami dampak politik identitas etnik

dan formasi identitas etnik yang dimaksud, maka penting mengetahui terlebih

dahulu bagaimana pembentukan identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal

di lokasi studi? Kemudian, siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana aktor

memobilisasi [identitas] etnik dalam arena ekonomi politik lokal? Setidaknya,

kedua pertanyaan tersebut ditujukan memahami struktur obyektif (kondisi

kelompok etnik dan kedudukannya) dan subyektif (aktor) yang terjadi dalam

arena ekonomi politik lokal di lokasi studi.

Setelah memahami dua pertanyaan sebelumnya, pertanyaannya kemudian

adalah bagaimana praktik dominasi etnik dalam arena ekonomi politik lokal dan

dampak yang dihadirkan sebagai bentuk artikulasi dari kekuatan [identitas] etnik

dan relasi [antar] etnik yang terbangun di lokasi studi? Pertanyaan ini diharapkan

dapat mengenali praktik-praktik dominasi aktor berbasis etnik dalam arena

ekonomi politik lokal di lokasi studi. Namun demikian, penting terlebih dahulu

      

(43)

 

mengetahui siapa dan darimana [identitas] etnik aktor? dan bagaimana kondisi

struktur ekonomi dalam relasinya dengan aktor berkuasa, serta bagaimana

ketimpangan distribusi pendapatan pada kelompok etnik sebagai dampak dari

obyektivisme dominasi etnik di arena ekonomi politik lokal?

Keseluruhan pertanyaan di atas, merupakan kunci untuk mengenali formasi

identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal. Namun demikian, pemahaman

akan formasi identitas etnik tidak akan utuh dipahami manakala tidak mengenali

bentuk pertarungan dan strategi yang dilakukan aktor dalam arena ekonomi politik

lokal. Dengan demikian, pertanyaannya adalah apa saja bentuk pertarungan dan

strategi yang dilakukan aktor untuk merebut atau melanggengkan kekuasaannya

dalam arena ekonomi politik lokal? Disini, doxa (wacana dominan), orthodoxy

(wacana yang mendukung doxa), dan heterodoxy (wacana yang menolak doxa)

memainkan peran yang sangat penting. Sehingga apa saja bentuk-bentuk doxa,

orthodoxy, dan heterodoxy yang di(re)produksi aktor? Lalu, apa saja tindakan

aktor untuk mempertahankan doxa, memperkuat orthodoxy, dan melakukan

heterodoxy sebagai upaya mengukuhkan legitimasi aktor dalam arena ekonomi

politik lokal? Pertanyaan-pertanyaan ini lebih diorientasikan untuk memahami

tindakan aktor mempertahankan kekuasaannya dalam arena ekonomi politik lokal.

Akhirnya, bagaimana formasi identitas etnik di arena ekonomi politik lokal?

dan bagaimana dampak dari formasi identitas etnik di arena ekonomi politik lokal

terhadap masyarakat di pedesaan kita? Dengan demikian, jawaban-jawaban atas

pertanyaan yang dikemukakan akan memudahkan peneliti memberikan kontribusi

memperlakukan politik identitas etnik seabagai sebuah keniscayaan di di era

desentralisasi.

Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah di atas, maka penelitian tentang

pembentukan (formasi) identitas etnik di arena ekonomi politik lokal ini bertujuan

untuk: pertama, menganalisis pembentukan identitas etnik dalam arena ekonomi

(44)

 

kelompok etnik) dan struktur subyektif (meliputi: aktor yang terlibat dan

mobilisasi [identitas] etnik); kedua, menganalisis praktik dominasi etnik terkait

dengan dominasi struktur ekonomi dan relasinya dengan aktor yang berkuasa,

serta ketimpangan distribusi pendapatan antar etnik; ketiga, menganalisis bentuk

pertarungan dan strategi aktor di arena ekonomi politik lokal; keempat,

mengidentifikasi pembentukan (formasi) identitas etnik dalam arena ekonomi

politik lokal; dan kelima, merekomendasikan perlakuan (tindakan-tindakan yang

dapat dilakukan) atas politik identitas etnik melalui pemahaman tentang formasi

identitas etnik yang terjadi dalam arena ekonomi politik lokal.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini disesuaikan dengan kepentingan aktor yang

mempunyai minat terhadap politik identitas etnik khususnya, dan agenda

multikulturalisme pada umumnya. Pertama, bagi aktor yang berkepentingan

terhadap kemajuan ilmu pengetahuan (peneliti maupun akademisi), studi ini

memberikan kontribusi terhadap konsepsi teoritik politik identitas etnik dalam

kaitannya dengan ekonomi politik; kedua, bagi aktor yang berkepentingan

mewujudkan agenda civil society berbasis masyarakat majemuk (aktivis

LSM/NGO dan politisi), penelitian ini memberikan kontribusi tentang batasan

memperlakukan identitas etnik di arena ekonomi politik lokal. Tidak itu saja,

penelitian ini berguna untuk menyusun agenda-agenda multikulturalisme yang

praksis diberbagai arena; dan ketiga, bagi aktor yang berkepentingan “melindungi

segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia” (pemerintah pusat dan pemerintah

daerah), studi ini berguna sebagai basis penyusunan kebijakan memperlakukan

(45)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

Untuk menjelaskan secara utuh tentang tematik dan permasalahan penelitian ini, maka diperlukan pendekatan teoritis yang tepat agar peneliti mampu menguraikan dan memahami realitas atau temuan penelitian ke dalam konsepsi baru –sintesis baru– sesuai dengan tujuan penelitian. Konsepsi baru yang dihasilkan nantinya, diharapkan mampu memberikan kontribusi atau sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Oleh karena itu, secara garis besar pendekatan teori disertasi ini menggunakan teori-teori yang peneliti anggap sesuai dengan tematik penelitian.

Adapun konsepsi teori yang dimaksud, dikelompokkan ke dalam empat bagian, meliputi: (1) teori seputar etnik, meliputi: etnik, relasi [antar] etnisitas, dan kekuatan [identitas] etnik. Penggunaan teori ini dimaksudkan untuk menguraikan basis struktur etnik, pola relasi [antar] etnisitas, dan kekuatan [identitas] etnik; (2) teori tentang politik identitas dan ekonomi politik. Teori politik identitas, digunakan untuk menganalisis perspektif dan pelaku (aktor) politik identitas. Sementara itu, teori ekonomi-politik untuk menganalisa pendekatan ekonomi politik yang digunakan selama ini dan mengaitkannya dengan pertarungan antar aktor berbasis etnik dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi melalui kekuasaan politik yang dimiliki aktor dan sebaliknya; serta (3) beranjak dari teori-teori sebelumnya, kemudian “diramu” menggunakan teori praktik Bourdieu8 untuk mencari sintesis “teori baru” yang dapat

      

(46)

menjelaskan formasi identitas etnik di arena ekonomi politik lokal sebagai kebaruan (novelti) dari penelitian ini.

Etnik, Relasi Antar Etnik, dan Kekuatan [Identitas] Etnik

Pembicaraan tematik etnik dalam dunia sosiologi sudah berlangsung sejak lama.9 Bahkan bagi masyarakat majemuk (polietnik), etnisitas –termasuk relasi antar etnik– merupakan diskursus yang tidak pernah tuntas. Sebagai negara yang dilahirkan dari latar belakang masyarakat majemuk, Indonesia seakan “dipaksa” berfikir keras mencari formulasi sosiologis yang tepat dalam merespon dinamika perubahan sosial pada masyarakatnya. Persoalan konflik dan kekerasan bernuansa etnik yang pernah dan masih terjadi di negeri ini, adalah salah satu contoh masih eksisnya masalah identitas etnik. Padahal, dibalik kemajemukan masyarakat di negeri ini terdapat kekuatan modal (sosial, ekonomi, simbolik, dan budaya) yang tidak dimikili oleh umumnya bangsa lain di dunia ini.

Untuk itu, peneliti merasa penting menampilkan satu sub bab dalam pendekatan teoritis ini tentang etnik, relasi antar etnik, dan kekuatan [identitas] etnik. Selanjutnya dari ketiga hal tersebut, sistematika penguraiannya akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, peneliti akan menguraikan seputar teori etnik dan relasi antar etnik. Dimana untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif, peneliti menyajikan konsepsi teoritik etnik mulai dari teori klasik, neoklasik, hingga post-struktural.10 Penyajian ketiga aliran pemikiran tersebut, dimaksudkan

       analisis bidang selain ekonomi dan ruang sosial spesifik diambil dari Weber. Sedangkan dari Durkheim, Bourdieu menaruh perhatian pada klasifikasi sosial (Ernste 2006).

9 Catatan Fredrickson (2005) dalam bukunya yang berjudul “Rasisme: Sejarah Singkat” bahwa istilah “rasisme” pertama kali digunakan secara umum pada tahun 1930-an. Bagi peneliti, acuan ini dapat digunakan karena istilah ras dapat disamakan dengan istilah etnik. Sebagaimana argumentasi kaum Weberian bahwa kelompok-kelompok yang ditunjuk sebagai ras juga dapat dipandang sebagai “etnis” karena kolektivitas-kolektivitas historis yang mengklaim keturunan dari suatu kelompok nenek moyang yang sama (Fredrickson 2005: 208). Fredrickson menyebutkan bahwa rasisme sebagai paham pertama kali diterapkan kepada ideologi-ideologi yang menyakitkan antara devisi-devisi ras “kulit putih” atau Kaukasia, dan secara khusus untuk menunjukkan bahwa orang-orang Arya atau Nordik lebih unggul daripada orang lain yang lazimnya dianggap “kulit putih” atau “Kaukasia”.

10

(47)

untuk mengetahui basis konsepsi teoritik etnik, relasi antar etnik, dan pandangan dari para tokoh yang mewakili aliran pemikiran masing-masing dalam melihat realitas etnik, serta kelemahan-kelemahan dari aliran-aliran pemikiran tersebut. Tidak itu saja, penyajian ketiga aliran pemikiran tersebut bagi kepentingan peneliti adalah untuk meletakkan posisi teoritik disertasi ini dalam memahami dan menganalisis topik penelitian dengan terlebih dahulu mempertimbangkan diskursus etnik yang terjadi selama ini.

Sedangkan bagian kedua, akan disajikan kekuatan identitas etnis, yang peneliti telusuri dari berbagai case study hasil penelitian dengan tujuan memberikan gambaran tentang relevansi kekuatan [identitas] etnik di berbagai arena kehidupan (seperti: sosial, ekonomi, dan politik). Keseluruhan penyajian pada sub bab ini, agar peneliti memiliki “bekal” dan “amunisi” pengetahuan untuk membangun kerangka teoritik guna menjawab tujuan penelitian ini.

Etnik dan Relasi Antar Etnik

Masih terekam dalam benak anak bangsa, bahwa dipenghujung tahun 1990-an d1990-an di awal 2000-1990-an kejadi1990-an konflik d1990-an kekeras1990-an bernu1990-ansa etnik11 melanda diberbagai daerah di Indonesia. Tidak itu saja, desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah mendorong terjadinya mobilisasi kekuatan etnik dalam pesta demokrasi lokal. Bahkan dipenghujung tahun 2011, masyarakat dunia dipertontongkan bagaimana negara-negara maju, seperti Inggris mengalami suatu kerusuhan bernuasa etnik. Rupanya, realitas multikulturalisme masih menjadi isu aktual yang dihadapi tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Fakta dan realitas inilah yang kemudian dapat dijadikan sebagai salah satu dasar untuk membantah tesis Marx yang mengatakan bahwa keberadaan identitas etnik masih di bawah kesadaran kelas (Sinisa 2004).

      

(48)

Uraian di atas ingin menegaskan bahwa isu etnisitas (etnik dan relasi antar etnik) masih penting dieksplorasi lebih jauh untuk membangun suatu tatanan atau sistem sosial masyarakat yang lebih baik. Hasil pelacakan referensi yang peneliti lakukan, memberikan informasi bahwa kecenderungan teori etnik dari klasik hingga neo-klasik masih didominasi perspektif strukturalis, fungsionalis, dan struktur-fungsionalis. Sementara itu, perspektif konstruktivisme merupakan perspektif minoritas di aliran pemikiran tersebut. Berbeda halnya dengan teori kritis yang melihat bahwa etnik dan relasi antar etnik melampaui perspektif-perspektif yang ada sebelumnya.

Sehingga penganut teori kritis menganggap bahwa etnik dan relasi antar etnik seyogyanya dibaca dengan menggunakan perspektif post-strukturalis maupun strukturalis-konstruktivis. Alasannya bahwa teori kritis dengan perspektifnya, selalu menghindari adanya pendikotomian (strukturalis versus konstruktivis) yang ada sebelumnya, tetapi berupaya melacak lebih detail tentang makna tindakan, orientasi kepentingan, dan kekuasaan yang embedded di dalam diri individu atau kelompok identitas etnik. Oleh karena itu, disertasi ini akan menyajikan dan membandingkan pemikiran para tokoh aliran teori klasik (Karl Marx, Emile Durkheim, George Simmel, dan Weber), teori neo-klasik (Oliver Cox, Michel Hecher, Talcot Parson, dan Alexander); dan teori post-struktural (Michael Foucault dan Pierre Bourdieu).

(a) Teori Klasik

(49)

Menelusuri tulisan-tulisan Marx yang menyinggung tentang etnik, tersirat tiga konsepsi tematik yang terkait dengan etnik dan berhubungan dengan teori Marx. Adapun ketiga konsepsi yang dimaksud, yaitu: (1) keunggulan berbasis ekonomi berdasarkan budaya dan juga suprastruktur etnik;12 (2) kekhasan suatu etnik sebagai hambatan bagi kemajuan secara universal dari unsur kemanusiaan secara keseluruhan;13 dan (3) naiknya sejarah kelas atas identitas etnik14 (Sinisa 2004; Ritzer et. al. 2008).

Berdasarkan tiga konsepsi teoritik di atas, maka dapat dirumuskan beberapa asumsi teoritik etnik versi Marx, yaitu: (1) realitas sosial merupakan realitas yang dibangun dari basis ekonomi, ketimbang basis etnisitas; (2) realitas etnik dapat sebagai penghalang kemajuan sosial, apabila etnisitas tidak berhasil membangun       

12 Pada konsepsi pertama, Marx masih melihat bahwa perubahan sosial dan struktur sosial masyarakat ditentukan oleh basis ekonominya (infrastruktur) dan bukan pada budaya dan ide-ide yang dimiliki masyarakat (suprastruktur). Dengan kata lain, sebagai seorang strukturalis memandang bahwa etnisitas termasuk dalam lingkup suprastruktur dan bukan faktor penentu terjadinya perubahan sosial. Selanjutnya Marx mengatakan bahwa dampak dari perbedaan kelompok budaya memiliki akar dalam sistem ekonomi dan ditentukan oleh sifat produksi kapitalis. Untuk hal tersebut, Marx membuat perbedaan antara politik dan perjuangan manusia. Bagi Marx, perjuangan politik berupa kesetaraan politik formal hanya dapat dicapai, apabila adanya emansipasi manusia dan terlampauinya keterasingan kelas sosial tertentu. Upaya ini bisa terwujud manakala adanya penghancuran masyarakat borjuis sebagai lingkup kepentingan pria egois yang kontras dengan atribut manusia yang universal. Oleh karena itu, tulisannya tentang “pertanyaan Yahudi” memberikan penegasan bahwa agama atau etnis bukanlah bingkai yang tepat untuk mengkonstruksi terjadinya perubahan sosial. Melainkan pengunaan agama atau etnik disinyalir sebagai upaya untuk melanggengkan kaum bourjuis dan menciptakan kondisi dimana manusia menjadi terasing dari satu sama lain. Dengan demikian, hubungan etnis dalam contoh terakhir ini ditentukan oleh hubungan manusia dengan alat-alat produksi dan tidak dapat berubah secara signifikan sampai dasar ekonomi dari perubahan tatanan kapitalis. Intinya basis ekonomi memiliki keutamaan lebih dari suprastruktur etnis.

13 Untuk konsepsi kedua, Marx berpandangan bahwa etnisitas sebagai bentuk kekhususan yang dapat menjelaskan suatu sejarah yang bersifat universal untuk dapat menuju kebebasan tanpa batas. Meski Marx lebih percaya pada “pasar” sebagai pusat kapitalisme yang memerlukan keseragaman budaya, akan tetapi Marx tidak menafikkan bahwa hanya etnis kuno yang mampu membangun dengan sistem berkelanjutan dan negara kapitalis yang kuat, sedangkan sisanya harus berasimilasi ke dalam negara bangsa yang besar. Ketika perbedaan etnis dapat mengakomodasi proyek universal, maka akan terjadi emansipasi kelas yang dapat membantu untuk menghancurkan sisa-

Gambar

Gambar Halaman
Gambar 1.1.  Peta Sebaran Etnik di Indonesia (Sumber: Diolah dari Data Podes 2011).
Tabel 2.4.  Peta Konsepsi Teoritik Etnik Berdasarkan Aliran Pemikiran, Tokoh, Perspektif Pemikiran, dan Kelemahannya
Tabel 2.5.  Identifikasi Pola Kekuatan [Identitas] Etnik Berdasarkan Sembilan Referensi Case Study
+7

Referensi

Dokumen terkait

trimethoprim r sulfadiazine to bacteria associated with scallop Pecten maximus larvae. To evaluate possible effects of components in seawater to the antimicrobial activity of

Berdasarkan tahapa seleksi paket Pengawasaan Penyusunan Data Base Jalan dan Jembatan Di Kabupaten Indragiri Hilir (Ulang) , Pada Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Indragiri

Hasil penelitian diperoleh adalahBaku Makulolong basah (hasil glatinasi) memiliki kadar fenolat 2,381 % dan Baku Pukus basah (hasil glatinasi) memiliki kadar

Larutan stok dari amlodipine besylate dan atorvastatin kalsium disiapkan setiap hari dengan melarutkan jumlah yang sesuai standar obat pada fase gerak.. untuk menghasilkan

Monumen perjuangan kemerdekaan atau monumen tugu adalah monumen yang dibangun atas rencana pemerintah yang ingin membangun sebuah tugu kemerdekaan di kota

Merumuskan Program dasar Perencanaan dan Perancangan yang berhubungan dengan aspek-aspek perancangan dan perencanaan Masjid Agung DIY sebagai tempat ibadah,

Untuk memperoleh karyawan-karyawan yang berkualitas dan memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan, perusahaan mengadakan proses seleksi dalam perekrutan calon karyawan baru

lebih kecil dari nilai mizan, maka suatu bintang masif akan menjadi sebuah lubang. hitam dengan medan gravitasi yang luar biasa