• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harga Diri Bapak Batak Toba Yang Napunu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Harga Diri Bapak Batak Toba Yang Napunu"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

HARGA DIRI

BAPAK BATAK TOBA YANG NAPUNU

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

ELFRIDA INDRAYANI SIAHAAN

051301138

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Oktober, 2009

Elfrida Indrayani Siahaan : 051301138 Harga Diri Bapak Batak Toba Yang Napunu

Batak Toba yang berupa sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dan nilai-nilai 3H (yang menjadi tujuan hidup bangsa Batak) akan mempengaruhi harga diri individu Batak Toba. Harga diri ini kemudian akan berbeda pada seorang bapak Batak Toba yang napunu (tidak memiliki keturunan laki-laki) karena ketiga nilai-nilai 3H tidak mampu dicapainya. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat bagaimana harga diri bapak Batak Toba yang napunu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan subyek snowball chain. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah dua orang. Hasilnya kedua subyek ini memiliki harga diri yang berbeda dilihat dari sumber dan aspek harga dirinya.

(3)

KATA PENGANTAR

Terima kasih Tuhan Yesus Kristus untuk kasih karunia-Mu yang penulis rasakan hingga saat ini. Segala sesuatu Tuhan izinkan terjadi bukan tanpa rencana, tapi untuk membuat penulis menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Bahkan dalam pengerjaan seminar ini pun, banyak suka dan duka yang penulis alami dan itu mengingatkan penulis bahwa Tuhan baik dan sangat baik. God is good all the

time.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan ujian sarjana Psikologi. Skripsi ini berjudul ”Harga Diri Bapak Batak Toba yang Napunu”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M. Si, selaku dosen pembimbing, yang dengan sabar telah banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan petunjuk, saran, dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini dengan baik. Semoga Tuhan selalu melindungi ibu dan keluarga.

2. Ibu Dra. Rika Eliana, M. Si, yang telah memberikan briefing dan bimbingannya selama ini. Sukses selalu buat ibu dan keluarga.

(4)

4. Orang tuaku : S. Siahaan dan N. Simarmata. Terima kasih untuk kasih dan sayang yang kalian berikan selama ini, terlebih untuk dukungan doa dan dana selama pengerjaan proposal penelitian ini. Love u, mom n dad!! God Bless..

5. K’ July, adik-adikku (Pur, Aldi, Angel), senyum dan tawa kalian adalah sebuah kebahagiaan bagiku.

6. Seluruh keluargaku di Jambi, terkhusus bou Dame dna bou Maya, makasih

ya bou buat laptopnya..

7. Tulang A. Pakpahan, selaku Raja Adat yang telah memberikan waktunya untuk diwawancarai mengenai adat budaya Batak Toba.

8. Tulang Manguji Nababan, yang telah memberikan banyak informasi dan literatur budaya Batak Toba di Pusat Kajian dan Dokumentasi Budaya Batak Toba Nomensen.

9. Para seniorku tercinta: k’ Fenny, tulang Saut, b’ Sam, makasih ya buat

perhatiannya...

10. Teman-temanku semua: PCI (Maria, Ezra, Pure, Mbak Angie, Nova, Mbak Yu, Elsa), Paskah, Icha, Jenny, Nita, Yoland, Dewi, Ika, Vera, Ratna. Do ur

best...

11. The Chapel’ers, Ganti, Alfred, Juli, b’ Des, k’ Astri, b’ Chandra, tulang Giat dan teman-teman yang lain serta Op. Regar, tante Rita, dan bu Glo.

Semangat ya dalam pelayanan-Nya...

(5)

13. Teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya, yang telah membantu penulis dalam mengerjakan proposal seminar ini. Ingatlah Tuhan pasti membalas kebaikan kalian semua, GBU always...

Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dan kesalahan penulis dalam menyajikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan koreksi yang bersifat membangun kepada seluruh pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2008

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat teoritis... 13

2. Manfaat praktis ... 13

E. Sistematika Penulisan... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 15

A. Harga Diri... 15

1. Definisi harga diri ... 15

2. Sumber-sumber harga diri ... 16

3. Aspek harga diri... 17

B. Suku Bangsa Batak Toba ... 19

1. Suku bangsa batak toba... 19

2. Prinsip keturunan batak toba ... 20

(7)

4. Konsep 3H ... 26

C. Harga Diri Bapak Batak Toba yang Napunu... 28

D. Paradigma Penelitian ... 30

BAB III METODE PENELITIAN... 31

A. Pendekatan Kualitatif... 31

B. Responden Penelitian ... 32

1. Karakteristik responden ... 32

2. Jumlah responden ... 32

3. Prosedur pengambilan responden ... 33

4. Lokasi penelitian... 33

C. Metode Pengambilan Data ... 33

1. Wawancara ... 33

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 34

1. Tape recorder, kaset, dan baterai ... 34

2. Pedoman umum wawancara ... 35

E. Kredibilitas dan Validitas Penelitian... 35

1. Kredibilitas penelitian ... 35

2. Validitas (dependability) penelitian... 36

F. Prosedur Penelitian... 37

1. Tahap persiapan penelitian... 37

2. Tahap pelaksanaan penelitian... 38

3. Tahap pencatatan data... 40

(8)

BAB IV HASIL ANALISA DATA ... 43

A. Subyek 1... 43

B. Subyek 2 ... 60

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN... 78

A. Kesimpulan... 78

B. Diskusi... 85

C. Saran... 85

1. Saran praktis ... 85

2. Saran penelitian selanjutnya ... 86 DAFTAR PUSTAKA

(9)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Oktober, 2009

Elfrida Indrayani Siahaan : 051301138 Harga Diri Bapak Batak Toba Yang Napunu

Batak Toba yang berupa sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dan nilai-nilai 3H (yang menjadi tujuan hidup bangsa Batak) akan mempengaruhi harga diri individu Batak Toba. Harga diri ini kemudian akan berbeda pada seorang bapak Batak Toba yang napunu (tidak memiliki keturunan laki-laki) karena ketiga nilai-nilai 3H tidak mampu dicapainya. Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat bagaimana harga diri bapak Batak Toba yang napunu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan subyek snowball chain. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah dua orang. Hasilnya kedua subyek ini memiliki harga diri yang berbeda dilihat dari sumber dan aspek harga dirinya.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Tidak ada orang yang tidak mengenal atau bahkan tidak tahu suku bangsa Batak Toba karena hampir setiap hari suku bangsa ini dapat dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Suku bangsa yang memiliki gaya hidup perantau ini tersebar di seluruh kota Indonesia bahkan ada juga yang di luar negeri. Suku bangsa Batak Toba merupakan salah satu dari enam sub suku bangsa Batak yang mendiami Pulau Sumatera. Suku bangsa ini tinggal asli di daerah pedalaman Sumatera Utara yang merupakan dataran tinggi yang banyak jurangnya (Gultom, 1992).

(11)

marhula-hula, elek marboru, dan manat mardogan tubu. Seperti yang dinyatakan

oleh Simarmata, seorang Raja Adat Batak Toba berikut:

”orang dikatakan kental adatnya kalau dia memegang Dalihan Na Tolu, manat marhahanggi, somba marhula-hula, elek marboru...”

(Komunikasi personal, 4 Maret 2009)

Dalihan Na Tolu adalah ide vital, suatu kompleks gagasan yang merupakan

pandangan hidup dan sumber perilaku masyarakat Batak Toba dan menumbuhkan kompleks aktivitas masyarakat dalam wujud karya budaya baik budaya spiritual maupun budaya material. Dalihan Na Tolu terdiri dari unsur-unsur hula-hula (pemberi gadis), boru (penerima gadis), dan dongan sabutuha (kerabat semarga) (Gultom, 1992).

Selain Dalihan Na Tolu, masyarakat Batak Toba juga memiliki tujuan hidup yang lebih dikenal dengan istilah 3H, yaitu hagabeon, hamoraon, dan

hasangapon. Tujuan hidup 3H ini terbentuk dalam lingkungan suku Batak Toba

(12)

“Hanya...kalau hanya perempuan aja ada, laki-laki gak ada, itu belum disebut hagabeon. Baliknya juga semua, kalau hanya laki-laki ada, perempuannya gak ada, itu belum hagabeon lagi itu, belum...Harus lengkap laki-laki dan perempuan baru bisa dibilang gabe…”

(Komunikasi personal, 3 Maret 2009)

Berkaitan dengan nilai hagabeon ini, ada satu ungkapan tradisional Batak Toba yang terkenal disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra 17 dan putri 16 (Harahap & Siahaan dalam Irmawati, 2007). Ungkapan ini memperlihatkan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan dalam pandangan orang tua, karena dalam perbandingan jumlah kelihatan harus lebih banyak. Bagi seorang “bapak” maka anak laki-laki adalah penerus keturunannya, sehingga anak laki-laki sering disebut sebagai sinuan tunas, artinya tunas yang baru.

Nilai yang kedua yaitu hamoraon. Hamoraon (kekayaan) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang (Lubis, 1997). Kekayaan selalu identik dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun banyak harta, seperti diungkapkan bahwa : Anakkonhido hamoraon diahu (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya).

(13)

mampu dan layak memberi restu kepada orang lain. Orang yang banyak keturunan tapi miskin juga dikategorikan sebagai tidak terhormat karena seseorang dihormati apabila memiliki keturunan juga kekayaan.

Senada dengan hal itu, Sibarani (2007) menambahkan bahwa hasangapon merupakan status tertinggi dalam kehidupan orang Batak Toba karena di dalam

hasangapon sudah terdapat hamoraon dan hagabeon. Suku bangsa Batak Toba

sangat ingin mencapai hasangapon ini bahkan sampai akhir hidupnya pun tetap dikejar. Simak saja hasil wawancara peneliti terhadap Nababan, orang yang mempelajari tentang budaya Batak Toba pada Pusat Penelitian Budaya Batak Toba Universitas HKBP Nomensen:

”Hasangapon dikejar sampai mati oleh seseorang. Ada 3 stratifikasi

meninggal pada masyarakat Batak Toba yaitu sarimatua, saurmatua, dan maulibulung. Sarimatua didapat oleh seseorang apabila sudah beranak dan bercucu tetapi masih ada anaknya yang belum menikah. Apabila seseorang tersebut telah beranak, bercucu dan semua anaknya telah menikah, maka orang itu akan mendapat gelar saurmatua. Sedangkan gelar maulibulung akan diperoleh seseorang apabila seluruh anak dan cucunya memiliki ekonomi menengah ke atas dan tidak ada keturunannya yang meninggal lebih dahulu darinya.”

(Komunikasi personal, 6 Oktober 2008)

Keturunan, kekayaan, dan kehormatan (hagabeon, hamoraon, dan

hasangapon) atau 3H yang merupakan tujuan hidup ini menjadi misi budaya yang

penting bagi orang Batak (Harahap & Siahaan, dalam Irmawati, 2007). Nilai

hagabeon merupakan nilai yang paling penting karena dalam nilai hagabeon

(14)

1992). Rentetan vertikal turunan marga itu sejak nenek moyang sampai saat sekarang menumbuhkan silsilah Siraja Batak.

Sebuah kalimat Batak Toba yang menyatakan keinginan memiliki anak laki-laki berikut: Matemate tu anak do roha ni jolma Batak. Artinya: kerinduan orang Batak berpulang kepada putra jua. Selain kalimat kiasan di atas, ada pula ungkapan yang mengatakan bahwa lebih baik satu anak daripada sembilan anak perempuan, karena orang Batak Toba menganggap walaupun hanya memiliki satu anak tetapi anak itu membawa nama keluarga. Berbeda halnya dengan anak perempuan yang jika ia menikah maka ia pergi dari rumah dan mengikuti keluarga suaminya. Nama keluarganya pun akan ditinggalkan dan dia memakai nama dari keluarga suaminya (Irianto dalam Irmawati, 2002).

Secara lengkap Pardosi (1989) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Batak Toba menginginkan anak laki-laki yaitu: (a) anak laki-laki dianggap penerus keturunan (marga ayah), (b) anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat, dan (c) anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba.

(15)

bahkan namanya tidak akan pernah diingat atau disebut orang lagi (Gultom, 1992).

Siahaan (1982) menyatakan bahwa “bapak” Batak Toba yang napunu akan merasa tidak berarti dalam hidupnya karena tidak ada lagi yang meneruskan marganya. Selain itu, bagi seorang “bapak” Batak Toba yang napunu akan terdapat perasaan tidak lengkap dalam dirinya sebagai orang Batak karena suku Batak memegang prinsip keturunan patrinial, yaitu menarik garis keturunan dari anak laki-laki (Gultom, 1992). Hal ini terungkap dalam wawancara personal peneliti dengan Manihuruk (29 tahun), seorang “bapak” Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki dan hanya memiliki 2 anak perempuan:

“ya...kalau enggak punya anak laki-laki ngerasa enggak lengkap aja

sebagai orang Batak karena tidak ada lagi yang meneruskan marga saya”

(Komunikasi personal, 1 November 2008)

Dapat dilihat dari wawancara di atas bahwa ketidakhadiran anak laki-laki menyebabkan dirinya merasa tidak lengkap sebagai orang Batak karena tidak ada lagi yang meneruskan marganya. Bagi orang Batak Toba marga diteruskan oleh anak laki-laki, dan bukan anak perempuan (Gultom, 1992).

Napunu ini sangat tidak diinginkan oleh setiap keluarga karena itu berarti

kesedihan bagi keluarga tersebut (Gultom, 1992). Seperti ungkapan Batak Toba berikut :

Molo matipul holemi solu maup tudia nama ho solu

Molo mate amantai boru tulombang dia nama ho boru, boru naso mariboto

(16)

gerangan akan terdampar wahai putri, putri yang tidak mempunyai saudara laki-laki.

Perasaan lain yang dialami oleh “bapak” Batak Toba yang napunu adalah perasaan kurang puas. Hal ini dinyatakan oleh Simbolon, seorang Raja Adat Batak Toba dalam wawancara personal dengan peneliti berikut:

”...makanya pada orang Batak kalau tidak lahir anak laki-lakinya itu tidak berapa puas...”

(Komunikasi personal, 3 Maret 2009)

Seorang “bapak” Batak Toba yang napunu akan memiliki perasaan tidak berarti, tidak lengkap sebagai orang Batak, sedih, dan perasaan kurang puas dalam dirinya dan hal ini akan membentuk penilaian terhadap dirinya sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri disebut dengan harga diri (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006).

Coopersmith (1967, h.4) menyatakan:

“self esteem refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself: it express an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to capable, significant, successful, and worthy.”

(17)

Dapat ditarik kesimpulan dari penelitian awal ini bahwa ”bapak” Batak Toba yang napunu pada umumnya akan memiliki harga diri yang rendah. Meskipun demikian, peneliti akan melihat harga diri “bapak” Batak Toba yang

napunu dari sudut pandang Psikologi dengan menggunakan teori harga diri

Coopersmith (1967) terkait dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat Batak, yaitu nilai-nilai 3H (hagabeon, hamoraon, hasangapon). Coopersmith (1967) menjelaskan bahwa ada empat sumber yang membentuk harga diri seseorang yaitu significance, power, competence, dan virtue. Masing-masing sumber ini akan berbeda pada setiap individu tergantung sumber mana yang menjadi sumber paling penting bagi dirinya sehingga sumber itu apabila terpenuhi akan menyebabkan harga dirinya menjadi cenderung tinggi.

Significance adalah penerimaan, perhatian, dan kasih sayang dari

orang-orang yang penting dalam hidupnya (Coopersmith, 1967). Ketika seseorang-orang merasa diterima dan dihargai maka harga dirinya cenderung lebih tinggi. Dalam masyarakat Batak Toba yang termasuk orang terpenting itu adalah mereka yang menjadi bagian sistem kekerabatan yang disebut dengan Dalihan Na Tolu, yaitu

hula-hula, boru, dan dongan sabutuha (Gultom, 1992). Bagi seorang “bapak”

(18)

”...kalau orang Batak ga’ punya anak laki-laki, ya ga’ punya hula-hula nantinya dia...”

(Komunikasi personal, 18 Oktober, 2008)

Jadi, dalam hidupnya seorang ”bapak” Batak Toba yang napunu tidak menerima perhatian dari salah satu unsur Dalihan Na Tolu yaitu hula-hula. Mengacu pada teori Coopersmith (1967) di atas, jika significance merupakan sumber paling penting dalam membentuk harga diri “bapak” Batak Toba yang

napunu maka berkemungkinan harga dirinya menjadi cenderung rendah.

Power merupakan kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan

orang lain (Coopersmith, 1967). Power diperoleh melalui pengakuan dan penghargaan yang diberikan orang lain terhadap pendapat dan hak seseorang. Bagi orang Batak Toba pengakuan dan penghargaan ini dimiliki oleh seseorang yang memiliki kedudukan atau status dalam masyarakat (Lubis, 1997). Orang Batak yang memiliki kedudukan adalah orang Batak yang kaya dan memiliki keturunan (Simanjuntak dalam Irmawati, 2007). Dengan kata lain, bahwa “bapak” Batak Toba yang napunu kurang memiliki power dalam Dalihan Na Tolu karena tidak mempunyai keturunan laki-laki dan apabila mengacu pada teori Coopersmith (1967) di atas, maka berkemungkinan “bapak” Batak Toba napunu yang menempatkan power sebagai sumber harga diri paling penting baginya akan menyebabkan harga diri yang dimilikinya menjadi rendah.

Competence merupakan keberhasilan dalam memenuhi tuntutan untuk

(19)

Hal ini berdasarkan hasil wawancara personal peneliti dengan Pakpahan, seorang Raja Adat Batak Toba berikut:

“bagi orang tua Batak Toba sebuah prestasi kalau dia bisa menyekolahkan anaknya satu jenjang lebih tinggi darinya…”

(Komunikasi Personal, 18 Oktober, 2008)

Harahap dan Siahaan (dalam Irmawati, 2007) menyatakan bahwa akhir-akhir ini mulai ada perubahan pandangan orangtua mengenai pendidikan untuk anak perempuan yang sudah disamakan dengan anak laki-laki. Apabila anak perempuannya memiliki pendidikan yang tinggi maka orangtuanya juga dikatakan memiliki prestasi. Seperti yang dinyatakan oleh Simbolon, “bapak” Batak Toba

napunu yang memiliki anak perempuan yang berhasil meraih gelar sarjana

berikut:

“…anak perempuan saya semua saya sekolahkan, eee..dapat gelar semua dan saya merasa bangga, itu bisa dibilang sebuah prestasi bagi saya sebagai orangtua…“

(Komunikasi personal, 28 Januari 2009)

Bagi “bapak” Batak Toba yang napunu apabila anak perempuannya disekolahkan sampai ke jenjang yang lebih tinggi maka dapat dikatakan bahwa “bapak” Batak Toba tersebut memiliki competence karena bagi orang tua Batak Toba yang menjadi tolak ukur kesuksesan adalah pendidikan anak yang tinggi (Purnama, dalam Irmawati, 2002). Mengacu pada teori Coopersmith (1967) di atas, maka berkemungkinan “bapak” Batak Toba napunu yang merasa memiliki

competence dan menjadikan competence sebagai sumber paling penting bagi

(20)

Virtue merupakan kepatuhan pada standar etika, moral, dan prinsip agama

(Coopersmith, 1967). Situmorang (2009) menyatakan bahwa seorang “bapak” Batak Toba yang napunu akan mendapat desakan untuk memiliki istri lagi agar bisa mengabadikan marganya. Hal ini juga dipertegas oleh Simbolon, seorang Raja Adat Batak Toba dalam wawancara personal dengan peneliti berikut:

“…Biasanya mereka yang ga’ punya anak laki-laki akan didesak keluarganya untuk menikah lagi…”

(Komunikasi personal, 3 Maret 2009)

Berpoligami sebenarnya sangat tidak diinginkan masyarakat suku Batak Toba namun niat untuk berpoligami timbul karena adanya harapan bahwa pada perkawinan kedua akan dilahirkan anak laki-laki (Gultom, 1992). Sangat tidak diinginkan melakukan poligami dalam suku Batak Toba terlebih setelah masuknya agama Kristen ke Tanah Batak yang ajarannya tidak membolehkan adanya poligami. Larangan poligami ini tertulis jelas dalam Alkitab, yang merupakan kitab suci bagi umat Kristen. Salah satu ayat dalam Alkitab menyatakan bahwa:

“…apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.”

(Matius 19 : 6)

(21)

dirinya dengan alasan bahwa agama merupakan hal yang lebih penting, meskipun dia tidak memiliki anak laki-laki sehingga harga dirinya tetap tinggi.

Beranjak dari fenomena di atas yaitu bahwa sumber-sumber harga diri (significance, power, competence, virtue) yang terkait dengan nilai-nilai 3H (hagabeon, hamoraon, hasangapon) dapat berbeda pada “bapak” Batak Toba yang napunu sehingga berbeda pula pengaruhnya terhadap harga diri, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran harga diri “bapak” Batak Toba yang napunu.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti mengidentifikasi pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini yaitu bagaimana gambaran harga diri “bapak” Batak Toba yang napunu?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan, menggambarkan atau mendeskripsikan bagaimana gambaran harga diri “bapak” Batak Toba yang

napunu.

D. MANFAAT PENELITAN

(22)

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah kajian psikologi khususnya di bidang psikologi sosial mengenai gambaran harga diri “bapak” Batak Toba yang napunu.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi para peneliti lain yang berminat untuk meneliti lebih jauh mengenai harga diri “bapak” Batak Toba yang napunu.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran harga diri “bapak” Batak Toba yang napunu sehingga “bapak” Batak Toba dapat mengenal diri mereka dengan lebih baik. Selain itu, melalui hasil penelitian ini diharapkan bagi lingkungan terkhusus keluarga agar dapat memberikan interaksi yang positif pada “bapak” Batak Toba yang napunu karena lingkungan juga turut mempengaruhi harga dirinya.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I: Pendahuluan

(23)

BAB II: Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian ini, yaitu teori tentang harga diri, suku bangsa Batak Toba, dan paradigma penelitian.

BAB III: Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang metode penelitian kualitatif yang digunakan termasuk responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, prosedur penelitian, serta teknik dan prosedur analisa data.

BAB IV: Analisa Data dan Interpretasi Data

Bab ini menguraikan data pribadi subyek, data observasi, data wawancara yang berupa analisa dan interpretasi data persubyek yang meliputi sumber harga diri, aspek harga diri.

BAB V: Kesimpulan, Diskusi dan Saran

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. HARGA DIRI 1. Definisi Harga Diri

Coopersmith (1967, h.4) menyatakan bahwa

“self esteem refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself: it express an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to capable, significant, successful, and worthy.”

Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju atau tidak setuju, dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting, dan berharga. Harga diri seseorang menentukan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berpikirnya, emosi, nilai, cita-cita, serta tujuan yang hendak dicapai seseorang. Bila seseorang mempunyai harga diri yang tinggi, maka perilakunya akan positif, sedangkan bila harga dirinya rendah, akan tercermin pada perilakunya yang negatif pula.

(25)

Selanjutnya Stuart & Sundeen (dalam Salbiah, 2003) bahwa harga diri merupakan penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi tujuan yang ditetapkan individu. Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka harga diri cenderung rendah. Hal ini senada dengan pernyataan Baron, Byrne, & Branscombe (2006) bahwa harga diri merupakan penilaian terhadap diri sendiri.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan penilaian tinggi atau rendah terhadap diri sendiri yang dibuat oleh individu mengenai nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana individu merasa mampu, penting, dan berharga.

2. Sumber-sumber Harga Diri

Terdapat empat sumber harga diri dan juga sebagai kriteria untuk menilai keberhasilan seseorang (Coopersmith, 1967), yaitu:

a. Significance

(26)

b. Power

Power adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang

lain. Power diperoleh melalui pengakuan dan penghargaan yang diberikan orang lain terhadap pendapat dan hak seseorang. Seseorang yang memiliki

power cenderung lebih mandiri dan mampu untuk mengendalikan diri sendiri

dan orang lain. Seseorang yang memiliki power juga mampu mengungkapkan pendapat dan mampu bertahan dalam menghadapi tekanan untuk konformitas.

c. Competence

Merupakan keberhasilan dalam memenuhi tuntutan untuk berprestasi. Apabila seseorang mampu menguasai lingkungannya maka ada kepuasan tersendiri yang dirasakan oleh orang tersebut. Individu akan terdorong untuk lebih aktif dan kompetitif dalam lingkungannya.

d. Virtue

Yaitu kepatuhan pada standar etika, moral, dan prinsip agama. Seseorang yang memenuhi standar etika dan moral tertentu cenderung menampilkan sikap diri yang positif karena telah berhasil memenuhi standar-standar tertentu. Sikap positif ini biasanya disertai dengan kebijakan, kejujuran dan spiritual.

3. Aspek-aspek Harga Diri

(27)

a. Perasaan berharga

Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia di luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik pula.

b. Perasaan mampu

Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu pada saat dia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkannya. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu ini menyukai tugas baru yang menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuatu berjalan di luar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna tetapi sadar akan keterbatasan diri dan berusaha agar ada perubahan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu akan menilai dirinya secara positif.

c. Perasaan diterima

(28)

bagian dari suatu kelompok yang menerimanya. Sebaliknya, individu akan memiliki penilaian negatif tentang dirinya ketika ia mengalami perasaan tidak diterima oleh seseorang atau pun oleh suatu kelompok. Perasaan diterima atau diperlakukan sebagai bagian dari kelompok akan menyebabkan individu tersebut lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan.

B. SUKU BANGSA BATAK TOBA 1. Suku bangsa Batak Toba

Menurut Koenjaraningrat (dalam Irmawati 2002) suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ”kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Berangkat dari pengertian di atas maka Irmawati (2002) mengemukakan bahwa suku bangsa Batak Toba merupakan suatu kesatuan yang memiliki kebudayaan dan bahasa tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya.

Gultom (dalam Irmawati 2002) menjelaskan bahwa suku bangsa Batak Toba tinggal di daerah pedalaman Sumatera Utara yang merupakan dataran tinggi dengan banyak jurang. Daerah yang didiami oleh orang Batak Toba (Kabupaten Tapanuli Utara) meliputi pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba, secara geografis merupakan pusat Tanah Batak, dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen.

(29)

tiga kabupaten yang didiami oleh suku asli bangsa Batak Toba (Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Toba dalam Irmawati, 2007). Pangururan merupakan ibukota Kabupaten Samosir. Daerah Samosir masih memiliki budaya Batak Toba yang kental. Hal ini dapat dilihat dari pola pemikiran dan sikap bertingkah laku masyarakatnya yang masih memegang tiga (3) prinsip penting Dalihan Na Tolu yaitu somba marhula-hula, elek marboru, dan manat mardogan tubu.

2. Prinsip Keturunan Batak Toba

Prinsip keturunan Batak Toba adalah patrinial, maksudnya bahwa garis turunan etnis adalah dari anak laki-laki (Gultom, 1992). Anak laki-laki memegang peranan penting dalam kelanjutan generasi. Artinya apabila seseorang tidak mempunyai anak laki-laki hal itu dapat dianggap napunu karena tidak dapat melanjutkan silsilah ayahnya dan tidak akan pernah lagi diingat atau diperhitungkan dalam silsilah. Napunu artinya bahwa generasi seseorang sudah punah, tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Batak Toba apabila seseorang itu tidak mempunyai anak laki-laki.

Sebagai pertanda dari prinsip keturunan Batak Toba adalah marga. Marga adalah asal-mula nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama. Rentetan vertikal turunan marga itu sejak nenek moyang sampai saat sekarang menumbuhkan silsilah Siraja Batak.

(30)

Jika anak lelaki yang sudah menikah mendapatkan anak laki-laki sebagai anak sulungnya, maka biasanya kelahiran anak itu akan dirayakan (dipestakan) oleh seluruh keluarga, terutama keluarga dari pihak laki-laki. Anak laki-laki yang baru lahir ini akan membawa nama keluarganya, dan mereka menganggap bahwa dengan lahirnya anak lelaki maka mereka mendapatkan nama baik dari masyarakat.

Pardosi (1989) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Batak Toba menginginkan anak laki-laki, antara lain:

a) Anak laki-laki dianggap penerus keturunan (marga ayah)

Karena itu anak laki-laki dianggap sebagai kemudi keluarga yang diharapkan membawa dan mengangkat nama baik keluarga. Jika seorang ayah telah mempunyai anak laki-laki, dia sudah dapat dikatakan martunas (bertunas) yang berarti sudah ada penggantinya bila dia nanti meninggal. Anaknya inilah yang dapat melanjutkan cita-cita sang ayah selama masih hidup di dunia, maka sang ayah hanyalah badannya yang meninggal tetapi namanya tetap hidup seperti umpama Batak Toba yang mengatakan:

“Martunas, pago tu tano do natorasna, jongjong di langit peak di tano”

Artinya: si ayah hanya badannya yang meninggal karena dia telah diganti anaknya. Namanya telah dijunjung setinggi langit dan selalu ada di atas dunia. b) Anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan dalam acara adat dan tanggung

jawab adat.

(31)

Demikian juga dalam hal tanggung jawab, jika sang ayah dalam satu keluarga telah meninggal, maka anak laki-laki ang paling tualah yang bertanggung jawab atas keluarga itu. Seperti ungkapan yang menyatakan : Siangkangan do

na matean ama. Artinya: anak laki-laki paling tualah yang kematian ayah.

c) Anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba.

Nama kekerabatan seorang ayah pada masyarakat Batak Toba hanya dapat dijadikan dari keturunannya laki-laki. Seorang ayah tidak dapat menjadikan nama kekerabatannya dari anaknya perempuan karena anak dari anaknya perempuan itu tidak lagi semarga dengan sang ayah.

Misalnya:

A (adalah seorang marga) E (adalah seorang ayah) B (anak laki-laki A) F (anak perempuan E) C (anak B) G (anak F)

maka si A dapat menjadikan anak B sebagai nama kekerabatan, sedangkan si E tidak dapat memakai anak F sebagai nama kekerabatannya.

3. Dalihan Na Tolu

(32)

dan diameternya  12 cm. Besar dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam dengan simetris di dapur di tempat yang telah disediakan.

Dalihan ini bukan sekedar berfungsi sebagai tungku untuk prasarana

memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur. Pada saat masyarakat Batak Toba melihat tiang tungku yang tiga atau Dalihan Na Tolu sebagai tungku, mereka melihat bahwa: apabila makanan yang dimasak (baik untuk dimakan perseorangan atau bersama) di atas tungku itu baik, maka baik atau sempurnalah dalihan tersebut. Melihat contoh yang sederhana dari Dalihan

Na Tolu ini nenek moyang suku Batak melihat kehidupan manusia baik sebagai

individu maupun sebagai keluarga tidak ada ubahnya seperti keadaan Dalihan Na

Tolu. Bahwa segala sesuatu yang perlu demi kepentingan manusia dan keluarga,

serta yang menjadi sumber sikap perilaku seseorang dalam kehidupan sosial budaya haruslah bersumber dari tiga unsur kekerabatan. Ibaratnya tiga tiang tungku yang berdiri sendiri tetapi saling berkait dalam bentuk kerja sama atau sama-sama dimanfaatkan.

Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak akan ada arti, tetapi harus bekerja sama satu sama lain baru bermanfaat. Bagi masyarakat suku bangsa Batak Toba,

Dalihan Na Tolu adalah ide vital, suatu kompleks gagasan yang merupakan

(33)

Unsur-unsur yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu terdiri dari hula-hula,

boru, dan dongan tubu (dongan sabutuha) (Lubis, 1997).

a. Hula-hula

Kedudukan pemberi gadis (hula-hula) dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penyalur berkat, karena itu harus dihormati. Hula-hula disebut juga

parrajoan, artinya dirajakan, mereka sangat dihormati borunya. Rasa hormat

terhadap hula-hula tercermin dalam falsafah Dalihan Na Tolu bahwa somba

marhula-hula, yang artinya: seseorang yang mempunyai hula-hula harus

hormat dan patuh kepada hula-hulanya walaupun kedudukannya lebih tinggi tetapi harus tetap selalu menghormati hula-hulanya. Hula-hula dianggap sebagai Tuhan yang terlihat (Tuhan natarida), tempat boru meminta berkat (pasu-pasu) seperti banyak anak, tambah rejeki dan tambah umur. Tidak jarang tampak boru pergi mengunjungi hula-hula yang tujuannya untuk menerima berkat dari Tuhan melalui doa dari pihak hula-hula. Keadaan itu seolah-oleh memberi gambaran bahwa berkat atau pasu-pasu itu akan tercapai apabila hula-hula mendoakan borunya.

Fungsi hula-hula dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, yaitu dalam: 1) Musyawarah dan mufakat untuk membuat rencana, maka fungsi hula-hula

sebagai tempat meminta nasehat dan bantuan moral agar terlaksananya suatu upacara adat;

(34)

3) Mendamaikan perselisihan seperti pembagian harta warisan, fungsi

hula-hula sangat menentukan dalam mendamaikan tanpa memihak, sehingga

perselisihan itu dapat diselesaikan.

b. Boru

Penerima gadis (boru) berada pada posisi yang lebih rendah dari hula-hula, dalam posisi ini kelompok hula-hula harus mengasihi dan bersikap membujuk

boru yang tercermin dari filsafat elek marboru. Pada upacara adat, pihak boru

bertindak sebagai parhobas (orang yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran jalannya pesta). Fungsi boru adalah memberi sumbangan tenaga dan materi pada setiap upacara adat, boru juga memegang peranan penting dalam mendamaikan hula-hulanya apabila terjadinya perselisihan antara hula-hula.

c. Dongan tubu (dongan sabutuha)

Kerabat semarga (dongan sabutuha) adalah marga yang erat sekali hubungannya satu dengan yang lain, walaupun kedudukan dalam marga oleh penarikan garis keturunan ayah. Dari kata dongan, yang artinya teman sudah dapat diartikan bahwa kedudukan mereka adalah sama. Sabutuha berarti satu perut atau satu ayah dan satu ibu. Itu berarti harus seia sekata, ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul sebagai keluarga kandung (seibu sebapak).

(35)

teman semarga), yang maksudnya ialah harus hati-hati dalam bertindak melaksanakan sesuatu dan juga dalam berbicara. Artinya dalam merencanakan upacara adat, tidaklah dapat bertindak menurut kehendak sendiri tetapi harus melalui musyawarah dengan dongan sabutuha.

4. Konsep 3H (Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon)

Keturunan, kekayaan, dan kehormatan (hagabeon, hamoraon, hasangapon) adalah tujuan hidup masyarakat Batak Toba (Lubis, 1997). Konsep 3H ini merupakan wujud dari kebudayaan sebagai ide dan gagasan yang terus terwarisi dan mendarah daging bagi masyarakat.

a. Hagabeon

Hagabeon serupa artinya dengan bahagia dan sejahtera. Hagabeon adalah

kebahagiaan dalam keturunan, artinya: keturunan memberi harapan hidup, karena keturunan itu ialah suatu kebahagiaan yang tak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat.

Harapan keluarga adalah kelahiran anak laki-laki, yang sesuai dengan peran garis keturunan laki-laki pada sistem kemasyarakatan Batak Toba, karena anak laki-laki adalah raja atau panglima yang tidak ada taranya. Keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki menganggap hidupnya ini hampa, namanya akan punah dari silsilah Siraja Batak dan tidak akan pernah disebut orang lagi (napunu). Seperti ungkapan kesedihan: molo matipul holemi solu

maup tudia nama ho solu, molo mate amantai boru tulombang dia nama ho

boru, boru naso mariboto. (Artinya: jika kayuhmu itu patah wahai sampan,

(36)

wahai putri kejurang manakah kau gerangan akan terdampar wahai putri, putri yang tidak mempunyai saudara laki-laki).

Begitu pentingnya hagabeon bagi orang suku Batak Toba sehingga memperbolehkan suami menikah lagi (poligami) apabila tak memiliki anak laki-laki. Berpoligami sebenarnya sangat tidak diinginkan masyarakat suku Batak Toba namun niat untuk berpoligami timbul karena adanya harapan bahwa pada perkawinan kedua akan dilahirkan anak laki-laki (Gultom, 1992).

b. Hamoraon

Kekayaan (hamoraon) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Kekayaan selalu identik dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun banyak harta, seperti diungkapkan bahwa :

Anakkonhido hamoraon diahu (anakku adalah harta yang paling berharga bagi

saya).

c. Hasangapon

(37)

kekayaan. Senada dengan hal itu, Sibarani (2007) menambahkan bahwa

hasangapon merupakan status tertinggi dalam kehidupan orang Batak Toba

karena di dalam hasangapon sudah terdapat hamoraon dan hagabeon.

Pada masyarakat Batak Toba, ketiga konsep ini merupakan kepemilikan adat dalam kehidupan masyarakat yang harus menjadi milik para individu. Perilaku para individu harus mencerminkan ketiga konsep hidup tersebut.

C. HARGA DIRI PADA “BAPAK” BATAK TOBA YANG NAPUNU

Coopersmith (1967, h.4) menyatakan:

“self esteem refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself: it express an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to capable, significant, successful, and worthy.”

Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju atau tidak setuju, dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, diterima, dan berharga.

(38)

karena anak laki-laki adalah penerus marga (Gultom, 1992). Dalam masyarakat Batak, jika seseorang tidak memiliki anak laki-laki maka akan dianggap sebagai

napunu yang artinya generasinya sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi.

Coopersmith (1967) menyatakan ada empat sumber harga diri yaitu

significance, power, competence, virtue. Keempat sumber ini bagi seorang

(39)

D. PARADIGMA PENELITIAN

Keterangan:

: Mempengaruhi

Sumber-sumber Harga Diri (Coopersmith, 1967):

 Significance

 Power

 Competence

 Virtue

Nilai-nilai suku Batak Toba 3H (hagabeon,

hamoraon, hasangapon)

Harga diri

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Banyaknya perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, yang penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi, menyebabkan mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik, oleh karena itu penelitian mengenai perilaku manusia biasanya menggunakan penelitian kualitatif. Seperti yang dinyatakan oleh Poerwandari (2007) bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologi manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih “etis” dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalalm konteksnya.

(41)

B. SUBYEK PENELITIAN

1. Karakteristik Subyek Penelitian

Pemilihan subyek dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa karakteristik tertentu, antara lain:

a. ”Bapak” Batak Toba

Artinya: seorang lelaki yang dilahirkan dari keluarga Batak Toba atau memiliki marga sejak lahir, yang telah berumah tangga.

b. Tidak memiliki anak laki-laki

Tidak memiliki anak laki-laki tetapi memiliki satu atau lebih anak perempuan. c. Beragama Kristen

d. Tinggal di daerah asal suku bangsa Batak Toba yaitu daerah Samosir.

2. Jumlah Subyek Penelitian

(42)

3. Prosedur Pengambilan Subyek Penelitian

Penelitian ini menggunakan prosedur pengambilan subyek penelitian dengan teknik bola salju/ berantai (snowball/chain sampling). Menurut Patton (dalam Poerwandari 2007) snowball sampling adalah pengambilan subyek penelitian yang dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Kabupaten Samosir yang merupakan salah satu kabupaten daerah Batak Toba (Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, dalam Irmawati, 2007). Lokasi penelitian tersebut dipilih dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan dan menemui subyek penelitian.

C. METODE PENGAMBILAN DATA

Dalam penelitian ini metode utama yang digunakan adalah wawancara.

1. Wawancara

Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2007), wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan wawancara mendalam

(43)

menjelaskan bahwa wawancara mendalam dengan pedoman umum adalah wawancara dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam. Pedoman wawancara berisi

“open-ended question” yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan

tujuan penelitian.

Selama wawancara, peneliti juga akan melakukan observasi dan mencatat hal-hal yang terjadi atau hal-hal yang dilakukan oleh responden selama proses wawancara.

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Alat bantu pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan pada saat melakukan wawancara dengan responden penelitian yaitu menggunakan alat bantu sebagai berikut:

1. Alat perekam (Tape recorder, kaset dan baterai, serta MP4)

(44)

merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme tajam (Padgett dalam Nofratilova, 2007).

2. Pedoman Umum Wawancara

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. Hal ini dimaksudkan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Selain itu pedoman wawancara berfungsi sebagai alat bantu untuk mengkategorikan jawaban sehingga memudahkan peneliti pada tahap analisis data (Poerwandari, 2007). Pedoman umum wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan aspek-aspek yang ingin diungkap melalui wawancara yaitu aspek-aspek perasaan berharga, aspek perasaan mampu, dan aspek perasaan diterima dari harga diri.

E. KREDIBILITAS DAN VALIDITAS PENELITIAN 1. Kredibilitas Penelitian

(45)

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:

a. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik responden penelitian berdasarkan informasi dari informan yang ada di Pangururan.

b. Membuat pedoman umum wawancara berdasarkan aspek-aspek harga diri menurut teori Coopersmith (1967) untuk menggambarkan bagaimana harga diri “bapak” Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki.

c. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.

d. Melakukan analisis data penelitian berdasarkan “validitas argumentatif” yang dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

2. Validitas (Dependability) Penelitian

Lincoln & Guba (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa

dependability merupakan satu istilah yang menggantikan istilah reliabilitas dalam

pendekatan kualitatif. Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa peneliti kualitatif tidak sepakat dengan upaya pengendalian atau manipulasi penelitian eksperimental untuk meningkatkan reliabilitas dan mengusulkan hal-hal yang dianggap lebih penting yang dapat meningkatkan reliabilitas yaitu: (a)

koherensi, yakni bahwa metode yang dipilih memang mencapai tujuan yang

diinginkan, (b) keterbukaan, yaitu sejauh mana peneliti membuka diri dengan memanfaatkan metode-metode yang berbeda untuk mencapai tujuan, dan (c)

diskursus, yaitu sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan penemuan

(46)

memperhitungkan perubahan yang terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang

setting yang diteliti (Poerwandari, 2007).

Dalam penelitian ini untuk meningkatkan reliabilitas penelitian, peneliti mendiskusikan penemuan dan analisisnya dengan orang lain (diskursus) seperti tokoh adat, dosen, dan teman-teman peneliti.

F. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, penulis melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu:

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan harga diri dan suku bangsa Batak Toba, kemudian menguraikan faktor-faktor yang berhubungan dengan harga diri berdasarkan teori yang relevan.

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori aspek harga diri untuk menjadi pedoman dalam wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

(47)

responden dan mengumpulkan informasi tentang calon responden tersebut melalui informan yang ada di Pangururan.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan beberapa hari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

(48)

digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

(49)

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

G. TEKNIK DAN PROSEDUR PENGOLAHAN DATA

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu perlu melakukan analisis data. Analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide itu (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2007).

Proses analisa data yang peneliti gunakan berdasarkan proses analisa data yang diajukan Poerwandari (2007), sebagai berikut:

1. Organisasi Data

(50)

rekaman), data yang telah dibubuhi kode spesifik dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

2. Coding

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Langkah awal coding dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangan sedemikian rupa, sehingga ada kolom yang lebih besar di sebelah kanan transkrip. Kolom ini akan memudahkan pembubuhan kode atau catatan tertentu di atas transkrip tersebut. Kemudian, memberi penomoran secara berurutan dan kontinu pada baris-baris transkrip tersebut. Selanjutnya peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu.

3. Pengujian terhadap dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut.

4. Strategi analisis

(51)

menganalisa tiap subyek terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan analisa keseluruhan subyek.

5. Interpretasi

(52)

BAB IV

HASIL ANALISA DATA

Pada bab ini akan diuraikan data pribadi, observasi, wawancara dan analisa data per subyek penelitian. Data pribadi meliputi nama, usia, status pendidikan, pekerjaan, jumlah anak dan alamat. Data observasi pada saat wawancara dengan subyek. Data wawancara meliputi internalisasi nilai-nilai 3H pada subyek sebagai seorang “bapak” Batak Toba yang napunu, keterkaitan 3H dengan sumber harga diri subyek penelitian, gambaran harga diri subyek.

A. SUBYEK 1 (Manihuruk) 1. Data Pribadi

Nama Manihuruk Usia 73 Tahun Status Pendidikan SD Pekerjaan Petani Jumlah Anak Perempuan 3 orang

Alamat Buhit, Samosir

2. Data Observasi

Penelitian ini menggunakan metode observasi non partisipan. Observasi pada penelitian dilakukan pada saat wawancara peneliti dengan subyek penelitian.

(53)

tinggi daripada atap bagian depan. Lantai dan dinding rumah terbuat dari kayu. Rumah dibangun lebih tinggi di atas tanah, yang ditopang oleh beberapa tiang kayu, sehingga di bagian bawah rumah terdapat ruang kosong yang digunakan sebagai tempat menyimpan barang (hasil ladang). Bagian dalam rumah terdiri dari ruang tamu, satu kamar tidur, dan dapur. Rumah ini hanya memiliki tiga buah jendela kecil, sehingga sedikit cahaya matahari yang masuk ke rumah, ditambah lagi dengan jarak rumah tetangga kiri-kanan yang cukup dekat satu sama lain. Khusus di ruang tamu, terbentang tikar berukuran 1,5 x 1,5 meter persegi dan di dindingnya tergantung satu bingkai foto keluarga dan foto pernikahan anak. Di sebelah kanan ruang tamu ini terdapat sebuah lemari baju dan di sampingnya terdapat sebuah TV berukuran 14 inchi yang berada di atas rak TV. Tidak terlihat kursi di dalam rumah.

Wawancara dilakukan di ruang tamu, di atas tikar berwarna merah. Peneliti dan Manihuruk duduk berhadapan. Manihuruk menggunakan kemeja berwarna abu-abu, celana kain berwarna gelap, dan juga topi berwarna abu-abu. Selama wawancara berlangsung, Manihuruk sesekali terlihat merokok, makan sirih, dan sesekali menggerakkan tangan untuk mempertegas pernyataan yang diberikan. Secara keseluruhan, wawancara berlangsung dengan lancar sekitar 75 menit.

(54)

meter persegi. Pada wawancara kedua ini posisi duduk Manihuruk terlihat lebih dekat, sedikit menyamping ke sebelah kanan menghadap peneliti. Terlihat Manihuruk menggunakan kaos singlet berwarna putih dan celana kain berwarna abu-abu. Selama wawancara, sesekali terlihat Manihuruk mengeryitkan keningnya seraya mengingat-ingat, dan terasa suasana menjadi hening beberapa saat. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan mengenai anak laki-lakinya yang telah meninggal dunia pada usia enam bulan, mata Manihuruk terlihat berkaca-kaca, dan intonasi suaranya terdengar berubah menjadi rendah. Secara keseluruhan, wawancara kedua berlangsung selama 45 menit.

3. Data Wawancara

a. Internalisasi nilai-nilai 3H dalam diri Manihuruk sebagai seorang “bapak” Batak Toba yang napunu

Sepanjang hidupnya, Manihuruk tinggal di daerah Samosir, yang merupakan daerah asal Batak Toba. Manihuruk juga memahami, dan hidup dalam adat istiadat Batak Toba. Hal ini terlihat dari internalisasi sistem kekerabatan dan nilai-nilai 3H (hagabeon, hamoraon, hasangapon) yang terbentuk dalam budaya masyarakat Batak Toba.

Sistem kekerabatan Batak Toba dikenal dengan istilah Dalihan Na Tolu, yang terdiri dari 3 unsur yaitu hula-hula, boru, dongan sabutuha (Gultom, 1992). Manihuruk memahami pentingnya kehadiran hula-hula (keluarga dari pihak istri),

boru (saudara perempuan), dan dongan sabutuha (teman/kerabat satu marga).

(55)

(S1.W1.b.116-119.h.4)

Di dalam sistem kekerabatan adat Batak (Dalihan Na Tolu) terbentuklah nilai-nilai 3H (hagabeon, hamoraon, hasangapon) (Gultom, 1992). Nilai pertama dari 3H, yaitu hagabeon. Menurut Manihuruk, hagabeon (nilai pertama dari nilai 3H) hanya dapat dicapai apabila memiliki anak laki-laki dan perempuan.

Kalau hagabeon itu sudah punya anak laki-laki dan perempuan yang gabe... (S1.W2.b.357-359.h.13)

Kalau cuma punya anak perempuan saja belum dibilang hagabeon,... (S1.W1.b.011-013.h.1)

Selanjutnya dalam pemahaman nilai hagabeon ini, Manihuruk menegaskan bahwa apabila hanya memiliki anak perempuan seseorang bisa memiliki

hagabeon namun tetap ada yang kurang karena tidak ada anak laki-lakinya.

Kalau cuma anak perempuan bisa tetap dia dibilang gabe, tapi... tetap ada yang kurang... karena, ga’ ada anak laki-lakinya.

(S1.W2.b.390-393.h.14)

Harahap & Siahaan (dalam Irmawati, 2007) menyatakan bahwa nilai

hagabeon merupakan nilai yang paling penting karena dalam nilai hagabeon

terungkap bahwa orang Batak Toba sangat mendambakan anak, terlebih lagi kehadiran anak laki-laki karena anak laki-laki adalah penerus marga. Manihuruk pun juga membutuhkan anak laki-laki dalam hidupnya sebagai orang Batak karena anak laki-laki adalah sebagai siboan goar (pembawa nama) dan ahli waris hartanya.

Anak (laki-laki) itu sebagai siboan goar (pembawa nama) bapaknya. (S1.W1.b.044-045.h.2)

(56)

(S1.W2.b.484-485.h.17)

Hal inilah yang membuat Manihuruk terus mencoba mendapatkan anak laki-laki hingga anak keempatnya adalah anak laki-laki-laki-laki, namun nasib berkata lain karena anak laki-lakinya meninggal ketika berusia sekitar enam bulan. Manihuruk masih terus berusaha untuk mendapatkan anak laki-laki sampai anak ketujuhnya pun masih tetap anak perempuan dan Manihuruk pun disebut sebagai “bapak” Batak Toba yang napunu karena tidak ada lagi yang meneruskan marganya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Gultom, 1992) bahwa dalam masyarakat Batak, jika seseorang tidak memiliki anak laki-laki maka akan dianggap sebagai napunu, yang artinya generasinya sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi.

Nilai kedua dari nilai 3 H, yaitu hamoraon. Manihuruk juga memahami nilai

hamoraon. Menurut Manihuruk seseorang dikatakan memiliki hamoraon apabila

sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki dan juga cucu dari anak perempuan.

Hamoraon maksudnya...kalau punya cucu dari anak laki-laki dan cucu dari

anak perempuan juga. Itulah hamoraon itu. (S1.W2.b.408-419.h.15)

(57)

Toba berikut : anakkonhido hamoraon diahu (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya).

...anakku...perempuan adalah kekayaanku dan mesti ku sekolahkan. (R1.W1.b.317-320.h.11)

Selanjutnya Manihuruk menambahkan bahwa hamoraon berhubungan dengan hagabeon karena apabila seseorang memiliki anak laki-laki dan perempuan disebut dengan hamoraon-hagabeon.

…kalau ada anak laki-laki dan perempuan di situlah dibilang hamoraon dan

hagabeon.

(S1.W1.b.013-015.h.1)

…biar ketemu kata hagabeon dengan hamoraon itu kalau ada keturunannya, lengkap anak laki-laki dan perempuannya…

(S1.W1.b.022-025.h.1)

Menurut Manihuruk karena hagabeon berhubungan dengan hamoraon akibatnya apabila tidak memiliki anak laki-laki (tidak gabe) maka harta kekayaannya akan ditean oleh saudara laki-lakinya. Siteanon artinya semua hartanya tidak bisa diwariskan pada anak perempuan namun akan diambil alih oleh saudara laki-laki ayah. Hal ini sesuai dengan pendapat Pardosi (1989) bahwa dulunya orang Batak yang tidak memiliki anak laki-laki semua hartanya tidak akan jatuh pada anak perempuannya tetapi akan diambil oleh saudara laki-lakinya. Dulu...ee itulah yang dinamakan siteanon. Kalau cuma anak perempuan yang ada siteanonlah itu oleh saudara ayahnya.

(S1.W1.b.056-059.h.2)

Siteanon itu artinya kalau ada hartaku orang lainlah yang mengambil

(58)

Nilai yang terakhir yaitu hasangapon. Bagi Manihuruk hasangapon berhubungan dengan hagabeon karena hanya orang yang gabe yang mampu mencapai nilai hasangapon.

Hasangapon artinya punya anak laki-laki dan perempuan.

(S1.W2.b.351-352.h.13)

Ooo...hagabeon dengan hasangapon katanya...kalau sudah ada anak laki-laki dan perempuan itulah hagabeon dengan hasangapon…

(S1.W2.b.377-381.h.13)

Hasangapon juga dipahami Manihuruk memiliki hubungan dengan

hamoraon karena meskipun tidak memiliki harta dunia namun apabila memiliki

anak laki-laki dan perempuan maka tetap disebut sebagai orang yang sangap. …kalau sudah ada anak laki-laki dan perempuan, contoh kata walaupun kita kurang dalam hal kekayaan tetap kita sangap…

(S1.W1.b.103-104.h.4)

Menurut Manihuruk orang yang tidak memiliki hasangapon tidak akan mendapat gelar saurmatua ketika dia meninggal nanti karena seseorang dikatakan

saurmatua apabila memiliki cucu dari anak laki-laki dan cucu dari anak

perempuan, serta anak-anaknya telah menikah semua. Hal ini sesuai dengan pendapat seorang Raja Adat Batak Toba yang menyatakan bahwa suku bangsa Batak Toba sangat ingin mencapai hasangapon ini bahkan sampai akhir hidupnya pun tetap dikejar, sehingga salah satu dari tiga stratifikasi meninggal pada masyarakat Batak Toba adalah saurmatua.

Itulah kalau dibilang orang saurmatua ada cucu dari anak laki-laki dan cucu dari anak perempuan, sudah menikah semua anak-anaknya.

(59)

Manihuruk menyatakan bahwa saurmatua disimbolkan dengan pesta gondang dan memakai tali-tali.

Yang tadilah kalau ga’ ada anak laki-lakinya, contoh...mati orangtua ini, eee..tak bisa dipestakan kalau ga’ ada anak laki-lakinya, pesta gondang tak bisa. Gitulah..

(S1.W1.b.068-073.h.3)

Ikat kepala ini...kalau kata Toba pake tali-tali sebagai simbol orang yang

saurmatua.

(S1.W2.b.456-458.h.16)

Menurut Manihuruk, dalam masyarakat Batak yang memakai tali-tali simbol

saurmatua itu adalah anak laki-laki dan bukan anak perempuan.

Ya ga lah, kan anak laki-laki yang make ikat kepalanya itu. (S1.W1.b.082-083.h.3)

Jadi dapat disimpulkan bahwa Manihuruk menginternalisasikan nilai-nilai 3H dalam hidupnya. Hal ini terlihat ketika nilai-nilai 3H tidak tercapai maka tidak akan ada lagi yang meneruskan marganya, hartanya akan ditean dan tidak akan memiliki gelar saurmatua ketika dia meninggal nanti.

b. Keterkaitan 3H dengan sumber harga diri Coopersmith (1967) pada Manihuruk

(60)

masyarakat Batak itu sendiri. Manihuruk telah menginternalisasi nilai-nilai 3H dalam dirinya sebagai tujuan hidupnya sehingga nilai-nilai 3H inilah yang akan membentuk harga dirinya. Apabila dihubungkan dengan teori harga diri Coopersmith (1967) ada empat sumber yang membentuk harga diri individu pada umumnya, yaitu significance, power, competence, dan virtue. Jadi, nilai-nilai 3H ini akan mempengaruhi sumber harga diri yang dikemukakan oleh Coopersmith (1967) pada Manihuruk.

Nilai hagabeon menurut Manihuruk mengandung arti pentingnya anak laki-laki dan perempuan. Kemudian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Manihuruk juga memahami nilai hagabeon ini sebagai nilai yang berhubungan dengan nilai hamoraon karena baginya anak adalah kekayaannya dan harus disekolahkan. Sebagai seorang “bapak” Batak Toba yang napunu, Manihuruk berhasil menyekolahkan semua anak perempuannya sampai SMA. Apabila dibandingkan dengan dirinya yang hanya tamatan SD terlihat bahwa Manihuruk telah berprestasi dalam pendidikan anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan pendapat seorang Raja Adat Batak Toba yang menyatakan bahwa bagi suku bangsa Batak Toba sebuah prestasi orang tua apabila pendidikan anaknya satu jenjang lebih tinggi dari orang tuanya. Dalam teori harga diri Coopersmith (1967), keberhasilan dalam memenuhi tuntutan untuk berprestasi disebut dengan istilah competence. Apabila dilihat dari teori ini maka Manihuruk memiliki competence yang bersumber dari anak perempuannya.

Hasangapon adalah kedudukan atau status yang diakui dan dihargai dalam

Referensi

Dokumen terkait

Keberadaan anak yang sangat didambakan oleh keluarga suku Batak Toba adalah untuk, pencapaian tujuan hidup yang ideal, pelengkap adat Dalihan Na Tolu, penambah wibawa

Dalihan Na Tolu (tiga tungku) merupakan sistem hubungan masyarakat Batak Toba yang terdiri dari tiga unsur kekerabatan yaitu pihak hula- hula (kelompok orang

Kehidupan adat masyarakat Batak Toba diatur dalam sistem hubungan sosial Dalihan Na Tolu, yang dibuat dalam bentuk norma-norma sehingga terdapat hubungan sosial yang harmonis

Dalam kehidupan masyarakat suku Batak Toba dikota Tegal dalihan na tolu berperan.. sebagai bentuk penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan

Dalihan na tolu merupakan bentuk kontrol sosial masyarakat suku Batak Toba dikota Tegal dalam menyikapi dan memahami permasalahan yang terjadi dalam

Dalihan Na Tolu dipergunakan dalam setiap upacara adat masyarakat Batak Toba, tanpa Dalihan Na Tolu suatu upacara tidak bisa dikatakan upacara adat. Dalihan Na

Hasil penenlitian menunjukkan bahwa sebanyak 101 mahasiswa Batak Toba memiliki sikap yang positif terhadap Dalihan na tolu, dan 99 berada dalam kategori yang netral..

Penulisan skripsi tentang “ Dalihan Na Tolu sebagai katup pengaman bagi potensi konflik dalam masyarakat Batak Toba yang berbeda agama” yang berada di wilayah Sidabariba Parapat,