KARAKTERISASI SIMPLISIA, SKRINING FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL TUMBUHAN “ROSELA” (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP Staphylococcus aureus
DAN Esherichia coli
SKRIPSI
OLEH:
ROHANA OKTOFARIDAY SIMBOLON NIM 071524061
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KARAKTERISASI SIMPLISIA, SKRINING FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL TUMBUHAN “ROSELA” (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP Staphylococcus aureus
DAN Escherichia coli
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk mencapai Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
ROHANA OKTOFARIDAY SIMBOLON NIM 071524061
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
KARAKTERISASI SIMPLISIA, SKRINING FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL TUMBUHAN “ROSELA” (Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP Staphylococcus aureus
DAN Escherichia coli OLEH :
ROHANA OKTOFARIDAY SIMBOLON NIM 071524061
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pada tanggal: Juli 2011
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Drs. Suryadi Achmad, M.Sc., Apt. Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. NIP 195109081985031002 NIP 195709091985112001
Pembimbing II, Drs. Suryadi Achmad, M.Sc., Apt. NIP 1951090819850310021
Dra. Nazliniwaty, M.Si., Apt. Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt. NIP 196005111989022001 NIP 195006121980032001
Dra. Aswita Lubis, M.Si., Apt. NIP 195306251986012001
Medan, Juli 2011
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai
sumber kekuatan dan pengharapan. Karena Dia telah memberikan anugerah
sehingga penulis diizinkan untuk menyelesaikan penelitian yang berjudul
“Karakterisasi Simplisia, Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Etanol Buah Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi di Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Terima kasih dan rasa hormat yang besar kepada Ayahanda D. Simbolon dan
Ibunda T. Sinaga tercinta, kepada kakak dan adik-adik ku yang selalu memberikan
dukungan dan doa, kepada suami serta anak-anak ku Lidya dan Samuel yang
membuatku semangat untuk menyelesaikan penelitian ini.
Penulis menyadari dalam penulisan ini banyak mendapatkan bimbingan,
bantuan, dan fasilitas yang sangat berharga dari berbagai pihak. Pada kesempatan
ini dengan segala kerendahan hati penulis juga ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Drs. Suryadi Achmad, M.S., Apt sebagai pembimbing I dan Ibu
Dra. Nazliniwaty, MSi., Apt sebagai pembimbing II yang telah
membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab selama
penelitian.
2. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt sebagai Dekan Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas
3. Bapak Dr. Martua Pandapotan Nasution, MPS., Apt selaku dosen
pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa
pendidikan.
4. Bapak dan Ibu pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
yang telah mendidik penulis hingga menyelesaikan pendidikan.
5. Bapak kepala Laboratorium Obat Tradisional beserta staf yang telah
banyak memberikan fasilitas dan bantuan selama penelitian
6. Ibu kepala Laboratorium Mikrobiologi Farmasi beserta staf yang telah
memberikan fasilitas dan bimbingan selama penelitian.
7. Teman-teman mahasiswa/i fakultas farmasi Universitas Sumatera Utara
khususnya ekstensi 2007 yang telah memberikan bantuan dan dukungan
selama perkuliahan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi dan melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua. Penulis berharap semoga skripsi ini menjadi
sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya dibidang Farmasi.
Medan, Juli 2011
Penulis
Karakterisasi Simplisia, Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Tumbuhan “Rosela” (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Abstrak
Rosela merupakan tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat diantaranya sebagai antioksidan, meredakan kejang, mengobati cacingan, mengatasi batuk dan sebagai antibakteri. Rosela mengandung senyawa kimia saponin, flavonoid dan polifenol. Penelitian ini bertujuan untuk melihat aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol rosela terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli secara invitro dengan metode difusi agar menggunakan pencadang logam di mana sebelumnya dilakukan karakterisasi dan skrining fitokimia terhadap simplisia rosela.
Hasil karakterisasi simplisia rosela meliputi pemeriksaan makroskopik yaitu rosela berwarna merah, berbentuk kerucut dan terdapat rambut yang menempel pada permukaan, rasa asam (pH±3) dan berbau khas. Mikroskopik serbuk simplisia memperlihatkan adanya kristal kalsium oksalat bentuk druse, rambut penutup monoseluler dan bentuk bintang, papilla serta jaringan epidermis. Penetapan kadar air 6,98%, kadar abu total 8,395%, kadar abu tidak larut asam 0,1373%, kadar sari larut dalam air 29,275% dan kadar sari larut dalam etanol 27,596%. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada serbuk simplisia rosela adalah flavonoida, glikosida, steroid dan tanin.
Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etanol rosela dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada konsentrasi efektif 50 mg/ml dengan diameter daerah hambat sebesar 14,3 mm dan bakteri Escherichia coli pada konsentrasi efektif 60 mg/ml dengan diameter daerah hambat sebesar 14,8 mm.
Characterization of Symplicia, Phytochemical Screening and Activity Test Antibacterial Extract Etanol “Rosela” (Hibiscus Sabdariffa L.)
to Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Abstract
Rosela represent plant which used many to cure assortedly of disease one of them as antybacterium. at this research to test activity antybacterium of rosela. Job step cover gathering of sampel, processing of sampel, characterization symplicia, screening phytochemical and making of extract etanol of rosela by perkolasi later then extract etanol of rosela in activity test of antybacterium to some bacterium with diffusion method to be using of metal.
Activitys test of antybacterium this is conducted by in vitro with diffusion method so that to be using of metal. Result of activity test of antybacterium indicate that extract of etanol can pursue growth of bacterium of Staphylococcus aureus at concentration 50 mg/ml with area diameter pursue equal to 14,3 mm and bacterium of Escherichia coli at concentration 60 mg/ml with area diameter pursue equal to 14,8 mm.
Result characterization symplicia of rosela that is result of macroscopic inspection rosela rose colored with tip of bud and there are smooth plume which patch at surface, feel acid and smell typically, Result of microscopic inspection of showing symplicia serbuk is existence of calcium crystal of oksalat form druse, hair of form ribbon, epidermis network and papilla. Stipulating of rate irrigate 7,98%, dusty rate totalize 8,395%, insoluble dusty rate of acid 0,1373%, dissolve gist rate in water 29,275% dissolve gist rate conclusion in etanol 27,596%. result symplicia screening phytochemical of rosela show the existence of compound of flovonaida, glikosida, and steroid of tanin.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL….. ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR………..iii
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 2
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 3
1.5 Manfaat Penelitian. ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………....4
2.2 Kandungan Senyawa Tumbuhan……….6
2.4.3 Media Pertumbuhan Bakteri……….15
2.4.4 Sistematika Bakteri………..16
2.4.4.1 Staphylococcus aureus………..16
2.4.4.2 Escherichia coli……….17
2.5 Uji Aktivitas Antibakteri……….17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….19
3.1 Alat dan Bahan ... 19
3.1.1 Alat-alat………...19
3.1.2 Bahan ... 19
3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 20
3.2.1 Larutan Pereaksi Mayer ... 20
3.2.2 Larutan Pereaksi Dragendorff ... 20
3.2.3 Larutan Pereaksi Timbal (II) asetat 0,4 M ... 20
3.2.4 Larutan Pereaksi Bouchardat....………..20
3.2.6 Larutan Pereaksi Lieberman-Bouchard ... 21
3.2.7 Larutan Pereaksi Molish ... 21
3.2.8 Larutan Pereaksi Kloralhidrat... 21
3.2.9 Larutan Pereaksi Besi (III) klorida 1% b/v ... 21
3.2.10 Larutan Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N ... 21
3.3 Pengambilan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan ... 21
3.3.1 Pengambilan Bahan Tumbuhan ... 21
3.3.2 Identifikasi Tumbuhan ... 22
3.3.3 Pengolahan Bahan Tumbuhan ... 22
3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia... 22
3.4.1 Pemeriksaan Makroskopik ... 22
3.5 Skrining Fitokimia ... 25
3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Rosela ... 28
3.7 Pembuatan Media ... 28
3.7.1 Pembuatan Media Nutrient Agar (NA) ... 28
3.7.2 Pembuatan Larutan Natrium Klorida 0,9% (b/v) ... 29
3.7.3 Pembuatan Agar Miring ... 29
3.8 Sterilisasi Alat ... 29
3.9. Pembuatan Stok Kultur ... 29
3.9.1 Bakteri Staphylococcus aureus ... 29
3.9.2 Bakteri Escherichia coli ... 30
3.10 Penyiapan Inokulum Bakteri ... 30
3.10.1 Bakteri Staphylococcus aureus ... 30
3.10.2 Bakteri Escherichia coli ... 30
3.11 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Etanol Dengan Berbagai Konsentrasi... 31
3.12 Pengujian Efek Antibakteri secara in vitro ... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 38
5.1 Kesimpulan ... 38
5.2 Saran ... 38
DAFTAR PUSTAKA ... 39
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1 Karakteristik Simplisia Rosela………..………. 33
Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia Rosela………... 34
Tabel 4.3 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol terhadap Escherichia coli
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Grafik Pertumbuhan Bakteri……….. 15
Gambar 4.1 Diagram Batang Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Pertumbuhan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dari
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tumbuhan…..……….…... 41
Lampiran 2. Tumbuhan Rosela (Hibiscus sabdariffa. L)………. 42
Lampiran 3. “Rosela” dan Serbuk Simplisia Rosela………..…… 43
Lampiran 4. Mikroskopik Serbuk Simplisia Rosela ……….. 44
Lampiran 5. Bagan Pembuatan Ekstrak Etanol Rosela………... 45
Lampiran 6. Bagan Pengujian Aktivitas Anti Bakteri……….... 46
Lampiran 7. Perhitungan Kadar Air Simplisia Rosela………..……… 47
Lampiran 8. Perhitungan Kadar Sari Larut Dalam Air SimplisiaRosela……… 48
Lampiran 9. Perhitungan Kadar Sari Larut Dalam Etanol Simplisia Rosela…. 49 Lampiran 10. Perhitungan Kadar Abu Total ……….. 50
Lampiran 11. Perhitungan Kadar Abu Tidak Larut Dalam Asam ………. 52
Lampiran 12. Hasil Pengukuran Diameter Hambatan Pertumbuhan Escherichia Coli dan Staphylococcus aureus……… 53
Lampiran 13. Gambar Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Rosela Terhadap Escherichia Coli….………... 54
Lampiran 15. Gambar Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Rosela Terhadap Staphylococcus aureus……….… 58
Karakterisasi Simplisia, Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Tumbuhan “Rosela” (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Abstrak
Rosela merupakan tumbuhan yang banyak digunakan sebagai obat diantaranya sebagai antioksidan, meredakan kejang, mengobati cacingan, mengatasi batuk dan sebagai antibakteri. Rosela mengandung senyawa kimia saponin, flavonoid dan polifenol. Penelitian ini bertujuan untuk melihat aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol rosela terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli secara invitro dengan metode difusi agar menggunakan pencadang logam di mana sebelumnya dilakukan karakterisasi dan skrining fitokimia terhadap simplisia rosela.
Hasil karakterisasi simplisia rosela meliputi pemeriksaan makroskopik yaitu rosela berwarna merah, berbentuk kerucut dan terdapat rambut yang menempel pada permukaan, rasa asam (pH±3) dan berbau khas. Mikroskopik serbuk simplisia memperlihatkan adanya kristal kalsium oksalat bentuk druse, rambut penutup monoseluler dan bentuk bintang, papilla serta jaringan epidermis. Penetapan kadar air 6,98%, kadar abu total 8,395%, kadar abu tidak larut asam 0,1373%, kadar sari larut dalam air 29,275% dan kadar sari larut dalam etanol 27,596%. Golongan senyawa kimia yang terdapat pada serbuk simplisia rosela adalah flavonoida, glikosida, steroid dan tanin.
Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etanol rosela dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada konsentrasi efektif 50 mg/ml dengan diameter daerah hambat sebesar 14,3 mm dan bakteri Escherichia coli pada konsentrasi efektif 60 mg/ml dengan diameter daerah hambat sebesar 14,8 mm.
Characterization of Symplicia, Phytochemical Screening and Activity Test Antibacterial Extract Etanol “Rosela” (Hibiscus Sabdariffa L.)
to Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Abstract
Rosela represent plant which used many to cure assortedly of disease one of them as antybacterium. at this research to test activity antybacterium of rosela. Job step cover gathering of sampel, processing of sampel, characterization symplicia, screening phytochemical and making of extract etanol of rosela by perkolasi later then extract etanol of rosela in activity test of antybacterium to some bacterium with diffusion method to be using of metal.
Activitys test of antybacterium this is conducted by in vitro with diffusion method so that to be using of metal. Result of activity test of antybacterium indicate that extract of etanol can pursue growth of bacterium of Staphylococcus aureus at concentration 50 mg/ml with area diameter pursue equal to 14,3 mm and bacterium of Escherichia coli at concentration 60 mg/ml with area diameter pursue equal to 14,8 mm.
Result characterization symplicia of rosela that is result of macroscopic inspection rosela rose colored with tip of bud and there are smooth plume which patch at surface, feel acid and smell typically, Result of microscopic inspection of showing symplicia serbuk is existence of calcium crystal of oksalat form druse, hair of form ribbon, epidermis network and papilla. Stipulating of rate irrigate 7,98%, dusty rate totalize 8,395%, insoluble dusty rate of acid 0,1373%, dissolve gist rate in water 29,275% dissolve gist rate conclusion in etanol 27,596%. result symplicia screening phytochemical of rosela show the existence of compound of flovonaida, glikosida, and steroid of tanin.
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Masyarakat Indonesia mengenal dan menggunakan tumbuhan berkhasiat
obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi berbagai masalah kesehatan,
jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dan obat-obatan modern menyentuh
lapisan masyarakat. Pemanfaatan tumbuhan obat di Indonesia secara tradisional
semakin disukai karena efek samping lebih kecil dari obat yang dibuat secara
sintesis. Penggunaan tumbuhan obat di masyarakat terutama untuk mencegah
penyakit, menjaga kesegaran tubuh maupun mengobati penyakit (Mursito, 2001).
Banyak jenis tumbuhan yang digunakan sebagai tumbuhan obat, salah
satunya adalah tumbuhan rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dari familia Malvaceae.
Rosela mengandung senyawa flavonoid, kalsium, magnesium, beta-karoten,
fosfor, zat besi, asam amino essensial, polisakarida, omega-3 dan berbagai
vitamin (Widyanto, 2009), juga mengandung saponin dan polifenol (Depkes,
2001).
Banyak khasiat yang terkandung dalam tumbuhan rosela, daun dapat
mengobati luka dan kaki yang pecah-pecah, mempercepat pematangan bisul,
melembutkan kulit dan peluruh air seni (diuretik). Biji untuk menyembuhkan
gangguan pencernaan dan meningkatkan stamina. Akar dapat digunakan untuk
meningkatkan stamina. “Rosela” berkhasiat sebagai obat mual, menurunkan
kolesterol, menurunkan tekanan darah, antiplasmodik (antikejang), antibacterial,
antihelminthis (anticacing) yang memiliki kemampuan dalam menperlambat
meletalkan bakteri Mycobacterium tuberculosis (bakteri penyebab penyakit TBC)
(Mardiah, 2009). Dapat juga sebagai antioksidan, meredakan kejang, mengobati
cacingan (antelmintik), mengatasi batuk dan sebagai antibakteri (Widyanto,
2009).
Dalam pengobatan tradisional, rosela sering dipakai untuk mengatasi
radang, kanker, jantung, hipertensi, gangguan pencernaan. Beberapa khasiat
tersebut telah didukung oleh penelitian ilmiah, sebagai antihipertensi: dosis
pemakaian 10 g rosela kering dicampur 0,5 liter air (atau berisi 9,6 mg antosianin)
diminum sehari sekali sebelum sarapan. Penurun kolesterol: 1 g ekstrak rosela di
minum setiap hari selama sebulan. Mengatasi batuk: 3 g rosela kering dalam 200
ml air panas, air seduhan diminum setiap hari selama 3 hari (Widyanto, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan karakterisasi simplisia
rosela, pemeriksaan skrining fitokimia terhadap simplisia rosela dan menguji
aktivitas antibakteri ekstrak etanol rosela terhadap Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli. Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang
terdapat pada kulit, luka, mulut, selaput lendir dan saluran cerna dan Escherichia
coli merupakan bakteri gram negatif sebagai indikator pencemaran air, dapat
menyebabkan diare (Lay, 1994).
1.2Perumusan Masalah
a. Apakah karakteristik serbuk simplisia rosela dapat diketahui ?
b. Apakah golongan senyawa kimia yang terdapat dalam serbuk simplisia
c. Apakah ekstrak etanol rosela mempunyai aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli ?
1.3Hipotesis
a. Diduga karakteristik serbuk simplisia rosela dapat diketahui.
b. Diduga bahwa golongan senyawa kimia yang terdapat dalam serbuk
simplisia rosela adalah flavonoid, saponin dan tanin.
c. Diduga bahwa ekstrak etanol rosela mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
1.4Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui karakteristik simplisia rosela.
b. Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat dalam serbuk
simplisia rosela.
c. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol rosela terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
1.5Manfaat Penelitian
a. Mengetahui karakteristik simplisia rosela.
b. Mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat dalam serbuk
simplisia rosela.
c. Mengetahui adanya aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol rosela terhadap
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan rosela meliputi morfologi tumbuhan, sistematika
tumbuhan, nama daerah, kandungan kimia dan khasiat tumbuhan.
2.1.1 Morfologi Tumbuhan
Tumbuhan rosela berupa semak yang berdiri tegak dengan tinggi 0,5-3
m. Ketika masih muda, batang dan daunnya berwarna hijau, ketika beranjak
dewasa dan sudah berbunga, batangnya berwarna merah. Batang berbentuk bulat,
tegak dan berkayu, serta memiliki banyak percabangan. Pada batang melekat
daun-daun yang tersusun berseling, berwarna hijau, berbentuk bulat telur dengan
pertulangan menjari dan tepi beringgit. Ujung daun ada yang runcing atau
bercangap, pangkal berlekuk, panjang 5-15 cm, lebar 5-8 cm. Tulang daunnya
berwarna merah. Akar yang menopang batangnya berupa akar tunggang, putih.
Bunga tunggal muncul pada ketiak daun. Mahkota bunganya berbentuk
corong yang tersusun dari 5 helai daun mahkota, panjang 3-5 cm. Kelopak bunga
sangat menarik dengan bentuk yang menguncup indah dan dibentuk dari 5 helai
daun kelopak. Selain mahkota dan kelopak, bunga juga dilengkapi 8-12 kelopak
tambahan (epikaliks).
Bunga muncul saat tumbuhan berumur 2,5-3 bulan setelah ditanam.
Awalnya bunga berwarna merah muda dan belum menyerupai bunga yang sudah
matang. Dua minggu kemudian bunga rosela muda berbentuk bulat kecil berwarna
kelopak ini akan semakin besar, kaku dan menebal serta berubah warna menjadi
merah cerah. Pada bunga terdapat putik dan benang sari sekaligus (berumah satu).
Bunga yang dibuahi akan menjadi buah. Buah rosela berbentuk kerucut,
berambut yang menempel di permukaan kulit buah, terbagi menjadi lima ruang
dan berwana merah. Disetiap ruang terdapat 3-4 biji yang juga berbulu,
menyerupai bentuk ginjal, panjang ± 5 mm dan lebar ± 4 mm. Biji yang masih
muda berwarna putih, sedangkan jika sudah tua berwarna coklat ( Depkes, 2001).
2.1.2 Sistematika Tumbuhan
Tumbuhan rosela mempunyai sistematika (Depkes, 2001) sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Malvales
Suku : Malvaceae
Marga : Hibiscus
Jenis : Hibiscus sabdariffa L.
2.1.3 Nama Daerah
Nama daerah dari tumbuhan rosela adalah mrambos (Jawa Tengah),
gamet balonda (Sunda), kasturi roriha (Ternate) (Depkes, 2001). Asam kesur
(Meranjat), kesew jawe (Pagar Alam, Sumatera Selatan), asam jarot (Padang),
asam rejang (Muara Enim) (Widyanto, 2009).
2.1.4 Kandungan Kimia
Biji mengandung protein yang tinggi, “Rosela” mengandung flavonoid, polifenol,
saponin, kalsium, fosfor, Daun mengandung saponin, flavonoida dan polifenol
(Depkes, 2001)
2.1.5 Khasiat Tumbuhan
”Rosela” dapat menghambat terakumulasinya radikal bebas penyebab
penyakit kronis, seperti kerusakan ginjal, diabetes, jantung koroner dan kanker
darah. Antioksidan yang terkandung dalam rosela juga dapat mencegah penuaan
dini. Antosianin merupakan pigmen tumbuhan yang memberikan warna merah
pada bunga rosela dan berperan mencegah kerusakan sel akibat paparan sinar UV
berlebih. Salah satu khasiatnya adalah dapat menghambat pertumbuhan sel
kanker, bahkan mematikan sel kanker tersebut.
Zat aktif yang paling berperan dalam rosela meliputi gossypetin,
antosianin dan glukosida hibicin. Zat-zat itu terpercaya sebagai diuretik,
menurunkan kekentalan darah, menurunkan tekanan darah dan menstimulasi
gerakan usus.
Rosela memiliki kemampuan dalam memperlambat pertumbuhan jamur,
bakteri atau parasit penyebab demam tinggi dan dapat meletalkan bakteri
Mycobakterium tubercolosis (bakteri penyebabTBC) (Mardiah, 2009).
2.2Kandungan Senyawa Kimia
Senyawa kimia yang terkandung pada tumbuhan rosella (Hibiscus
2.2.1 Saponin
Senyawa golongan ini banyak terdapat pada tumbuhan tinggi. Keberadaan
saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air
yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Sapponin merupakan
senyawa berasa pahit menusuk, menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan
iritasi terhadap selaput lender (Gunawan & Mulyani, 1995)
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan, bersifat seperti sabun dan
dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis,
sel darah. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau
pada waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan
adanya saponin (Harbone, 1987).
2.2.2 Flavonoida
Flavonoida merupakan salah satu golongan fenol alam yang tersebar luas
pada tumbuhan hijau dan mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang
tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6 Yaitu dua cincin aromatik yang
dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk
cincin ketiga (Markham, 1988).
Gambar 1. Struktur Flavonoida
Umumnya senyawa flavonoida dalam tumbuhan terikat dengan gula
terdapat pada satu tumbuhan dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida. Oleh
karena itu dalam menganalisis flavonoida biasanya lebih baik memeriksa aglikon
yang telah dihidrolisis dibandingkan dalam bentuk glukosida dengan kerumitan
strukturnya. Flavonoida berkhasiat sebagai antioksidan, antibakteri dan inflamasi
(Harbone, 1987).
2.2.3 Steroida
Steroid adalah triterpenoid yang kerangka dasarnya system cincin
siklopentana perhidrofenantren. Uji yang biasa digunakan adalah reaksi
Lieberman Bourchard yang dengan kebanyakan triterpen dan steroid memberikan
warna hijau biru (Harbone, 1987).
Gambar 2. Sruktur Steroida
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa
alcohol, aldehid atau asam karboksilat. Berupa senyawa warna. Berbentuk Kristal.
Sering kali bertitik leleh tinggi dan aktif optic (Harbone, 1987).
2.2.4 Glikosida
Glikosida adalah suatu senyawa yang jika dihidrolisis akan menghasilkan
bagian gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula disebut aglikon. Gula
bagian gulanya adalah glukosa maka disebut glukosida, sedangkan jika bagian
gulanya selain glukosa disebut glikosida.
Menurut fransworth (1996), Pembagian glikosida berdasarkan atom yang
menghubungkan bagian gula dan bagian bukan gula adalah sebagai berikut :
1. O-glikosida : Jika bagian gula dan bukan gula dihubungkan oleh atom O
2. S-glikosida : Jika bagian gula dan bukan gula dihubungkan oleh atom S
3. N-glikosida : Jika bagian gula dan bukan gula dihubungkan oleh atom N
4. C-glikosida : Jika bagian gula dan bukan gula dihubungkan oleh atom C
2.3 Ekstraksi
Estraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Ada beberapa metode ekstraksi, yaitu:
1. Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes, 2000).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara dan tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan).
2. Cara Panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik (Depkes, 2000).
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan menggunakan alat khusus sehingga terjadi
ekstraksi kontiniu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik (Depkes, 2000).
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontiniu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50 (Depkes, 2000).
d. Infus
Infus adalah proses penyaringan yang umumnya digunakan untuk
menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Infus
adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia menggunakan air pada
temperatur 96-98 selama 15-20 menit (Depkes, 2000).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 dan temperatur
2.4 Uraian Bakteri
Bakteri berasal dari kata ”bakterion” (Bahasa Yunani) yang berarti
tongkat atau batang, atau disebut juga mikroorganisme yang bersel satu, tidak
berklorofil, berkembangbiak dengan pembelahan diri, berukuran kecil sehingga
hanya dapat dilihat dengan mikroskop.
Berdasarkan bentuknya, bakteri dapat dibagi atas tiga golongan yaitu
golongan kokus (berbentuk bola), basil (berbentuk tongkat pendek) dan golongan
spiral (berbentuk bengkok).
Berdasarkan perbedaannya dalam menyerap warna, bakteri dibagi atas
dua golongan yaitu bakteri gram positif dan gram negatif. Bakteri gram positif
menyerap zat warna pertama yaitu kristal violet yang menyebabkannya berwarna
ungu, sedangkan bakteri gram negatif menyerap zat warna kedua yaitu safranin
dan menyebabkan warna merah (Dwidjoseputro, 1988).
Bakteri gram positif memiliki kandungan peptidoglikan yang tinggi
(dapat mencapai 50%) dibandingkan bakteri gram negatif (sekitar 10%).
Sebaliknya kandungan lipida dinding sel bakteri gram positf lebih rendah
sedangkan pada dinding sel bakteri gram negatif tinggi yaitu sekitar 11-22% (Lay,
1992).
2.4.1 Pertumbuhan Bakteri
Pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dipengaruhi oleh:
1. Zat Makanan (Nutrisi)
Semua bentuk kehidupan termasuk mikroorganisme mempunyai
persamaan dalam hal persyaratan nutrisi tertentu dalam bentuk zat-zat kimiawi
bagi bakteri diperoleh dari senyawa karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, unsur logam
(natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, seng, tembaga dan kobalt), vitamin
dan air untuk fungsi metabolik dan pertumbuhannya.
2. Keasaman atau kebasaan (pH)
Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum pertumbuhan antara
6,5-7,5 namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam atau sangat
basa.
a. Acidofil, bakteri yang hidup pada suasana asam.
b. Basofil, bakteri yang hidup dalam suasana basa.
3. Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor yang penting di dalam
kehidupan. Beberapa jenis mikroba dapat hidup pada daerah temperatur yang luas
sedangkan jenis lainnya pada daerah yang terbatas. Pada umumnya batas daerah
temperatur bagi kehidupan mikroba terletak diantara 0 dan 90 , sehingga untuk
masing-masing mikroba dikenal nilai temperatur minimum, optimum dan
maksimum.
a. Suhu minimum, di bawah suhu ini pertumbuhan mikroorganisme tidak
dapat terjadi lagi.
b. Suhu optimum, adalah suhu di mana pertumbuhan paling cepat.
c. Suhu maksimum, di atas suhu ini pertumbuhan mikroorganisme tidak
mungkin terjadi lagi.
Berdasarkan daerah aktivitas temperatur, mikroba dibagi menjadi tiga
a. Mikroba psikrofilik, adalah golongan mikroba yang dapat tumbuh pada
daerah temperatur antara 0-30 , dengan temperatur optimum 15 .
b. Mikroba mesofilik, adalah golongan mikroba yang mempunyai temperatur
optimum antara 25-37 , minimun 15 dan maksimum 55 .
c. Mikroba termofilik, adalah golongan mikroba yang dapat tumbuh pada
daerah temperatur tinggi, optimum di antara 55 -60 , minimum 40 ,
sedangkan maksimum 75 .
4. Oksigen
Beberapa spesies bakteri dapat hidup dengan adanya oksigen dan
sebaliknya spesies lain akan mati. Bakteri dibagi menjadi empat kelompok
berdasarkan kebutuhan akan oksigen yaitu:
a. Bakteri aerobik, yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen di dalam
pertumbuhannya (Pelczar, 1986).
b. Bakteri anaerob, yaitu bakteri yang tidak membutuhkan oksigen di
dalam pertumbuhannya, bahkan oksigen ini dapat menjadi racun bagi
mikroba tersebut.
c. Bakteri anaerob fakultatif, yaitu bakteri yang dapat hidup tumbuh
dengan/ tanpa adanya oksigen.
d. Bakteri mikro-aerofilik, yaitu bakteri yang membutuhkan hanya
sedikit oksigen dalam pertumbuhannya (Pelczer, 1986).
5. Kelembaban
Secara umum bakteri tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada
yang berkapsul atau bentuk spora yang masih tahan dalam kekeringan, misalnya
Mycobacterium tuberculosa dan Clostridium tetani (Dwidjoseputro, 1988).
2.4.2 Fase Pertumbuhan Bakteri
1. Fase Lag
Selama fase ini perubahan bentuk dan pertumbuhan jumlah individu
tidak secara nyata terlihat. Karena fase ini dapat juga dinamakan sebagai fase
adaptasi. Waktu dibutuhkan untuk kegiatan metabolisme dalam rangka persiapan
dan penyesuaian diri dengan kondisi pertumbuhan dalam lingkungan yang baru.
2. Fase Logaritmik
Setelah beradaptasi terhadap kondisi baru, se-sel ini akan tumbuh dan
membelah diri secara eksponensial sampai jumlah maksimum yang dapat dibantu
oleh kondisi lingkungan yang dicapai.
3. Fase Tetap
Pertumbuhan populasi mikroorganisme biasanya dibatasi oleh habisnya
bahan gizi yang tersedia atau penimbunan zat racun sebagai hasil akhir
metabolisme. Akibatnya kecepatan pertumbuhan menurun dan pertumbuhan
akhirnya berhenti.
4. Fase menurun
Se-sel yang berada dalam fase tetap, akhirnya akan mati bila tidak
dipindahkan ke media segar lainnya. Kecepatan kematian berbeda-beda
Gambar 2.1 Grafik pertumbuhan bakteri
2.4.3 Media Pertumbuhan Bakteri
Pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan media yang berisi zat hara
serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi mikroorganisme.
Pembagian Media
1. Menurut konsistensinya, media dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
a. Media padat
b. Media cair
c. Media semi padat
2. Berdasarkan sumber bahan baku yang digunakan, media dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu :
a. Media sintetik. Bahan baku yang digunakan merupakan bahan kimia
atau bahan yang bukan berasal dari alam. Pada media sintetik,
kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci,
contohnya: glukosa dan kalium phosfat.
b. Media non sintetik. Menggunakan bahan yang terdapat di alam,
biasanya tidak diketahui kandungan kimiawinya secara terperinci,
contohnya: ekstrak daging, pepton.
a. Media selektif, bila media tersebut mampu menghambat satu jenis
bakteri tetapi tidak menghambat yang lain.
b. Media differensial, yaitu media untuk membedakan antara beberapa
jenis bakteri yang tumbuh pada media biakan. Bila berbagai kelompok
mikroorganisme tumbuh pada media differensial, maka dapat
dibedakan kelompok mikroorganisme berdasarkan perubahan pada
media biakan atau penampilan koloninya.
c. Media diperkaya yaitu media dengan menambahkan bahan-bahan
khusus pada media untuk menumbuhkan mikroba yang khusus (Lay,
1994).
2.4.4 Sistematika Bakteri 2.4.4.1 Staphylococcus aureus
Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut (Tjitrosoepomo, 1994) adalah:
Divisi : Schizophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Enterobacteriales
Suku : Micrococcaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif aerob atau
anaerob fakultatif berbentuk bola atau kokus yang bergerombol membentuk buah
anggur, diameter 0,8-1,0 mikrometer tidak membentuk spora dan tidak bergerak,
koloni berwarna kuning, bakteri ini tumbuh suhu optimal sekitar 350C dan pH
FK Unibaw, 2003). Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka.
Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan
menyebar luas dalam jaringan (Jawetz, 2001).
2.4.4.2 Escherichia coli
Klasifikasi Escherichia coli menurut (Tjitrosoepomo, 1994) adalah:
Divisi : Schizophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Enterobacteriales
Suku : Enterobacteriaceae
Marga : Escherichia
Jenis : Escherichia coli
Morfologi Escheichia coli disebut juga Bacterium coli, merupakan
bakteri gram negatif, aerob atau anaerob fakultatif, panjang 1-4 mikrometer, lebar
0,4-1,7 mikrometer, berbentuk batang, tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh baik
pada suhu 37 C tapi dapat tumbuh pada suhu 8-40 C, membentuk koloni yang
bundar, cembung, halus dan dengan tepi rata. Escherichia coli biasanya terdapat
dalam saluran cerna sebagai floral normal (Jawetz, 2001).
2.5 Uji Aktivitas Antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri terdiri dari tiga metode yaitu metode
difusi agar, metode dilusi dan turbidimetri.
1. Metode Difusi Agar
Pengujian ini menggunakan pencadang logam sebagai pencadang
dalam cawan petri dan dibiarkan sampai padat. Pencadang logam diletakkan di
atas agar, zat antibakteri diteteskan, kemudian diinkubasi pada suhu yang cocok
untuk bakteri pada suhu 36-37 C selama 18-24 jam. Daerah bening yang terdapat
disekeliling pencadang logam menunjukkan hambatan pertumbuhan mikroba,
diamati dan diukur menggunakan jangka sorong.
2. Metode Dilusi
Prinsip metode ini adalah sejumlah ekstrak diencerkan hingga diperoleh
beberapa macam konsentrasi, lalu masing-masing konsentrasi diberikan pada
suspensi bakteri dalam media. Setelah diinkubasi, diamati ada atau tidaknya
pertumbuhan bakteri yang ditandai dengan terjadinya kekkeruhan. Konsentrasi
terendah yang menghambat pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dengan tidak
adanya kekeruhan disebut Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) atau Inhibitor
Minimum Concentration (MIC).
3. Metode Turbidimetri
Metode ini menggunakan media cair dengan cara mengukur kekeruhan
yang disebabkan pertumbuhan mikroba memakai alat yang cocok seperti
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental yang
meliputi pengumpulan bahan tumbuhan dan pembuatan simplisia, pemeriksaan
karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol rosela
dengan cara perkolasi serta pengujian aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan metode difusi agar
menggunakan pencadang logam.
3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan terdiri dari: Alat-alat gelas laboratorium,
blender, oven listrik, seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, alat Stahl,
freeze dryer, inkubator (Fiber Scientific), autoklaf, pencadang logam, jarum ose,
lampu Bunsen, pinset, Laminar Air Flow Cabinet (Astec HLF 1200L), lemari
pendingin (Toshiba), hot plate, spatula, mikro pipet (Eppendorf), jangka sorong,
kain kasa, kapas, kertas saring, aluminium foil, mikroskop, vacum rotary
evaporator (Buchi), neraca kasar, neraca analitis (Vibra), waterbath (Yenaco) dan
sarung tangan, spektrofotometer visibel (Dynamic) dan tanur.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah rosela yang siap panen
berumur 4-5 bulan. Bahan-bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisis
kloralhidrat, asam klorida encer, kloroform, besi (III) klorida, natrium hidroksida,
timbal (II) asetat, asam asetat anhidrat, asam asetat pekat, natrium klorida, kalium
iodida, iodium, α-naftol, asam nitrat, bismuth nitrat, etil asetat, isopropanol,
natrium sulfat anhidrat, serbuk seng, serbuk magnesium, etanol, eter,
Staphylococcus aureus (ATCC 25923) dan Escherichia coli (ATCC 25922), NA
(Nutrient Agar), Aquabidest, NaCl 0,9%.
3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi 3.2.1 Larutan Pereaksi Meyer
Sebanyak 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling kemudian
ditambahkan larutan 1,36 g merkuri (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan
dikocok dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).
3.2.2 Larutan Pereaksi Dragendorff
Sebanyak 8 g bismuth (III) nitrat dilarutkan dalam asam nitrat 20 ml
kemudian dicampur dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml
air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih
diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).
3.2.3 Larutan Pereaksi Timbal (II) asetat 0,4 M
Sebanyak 15,17 g Timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan
dalam air suling bebas CO2 hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).
3.2.4 Larutan Pereaksi Bouchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling kemudian
ditambahkan 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu ditambah air suling
3.2.5 Larutan Pereaksi Asam Klorida 2N
Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga
100 ml (Depkes RI, 1995).
3.2.6 Larutan Pereaksi Lieberman-Bouchard
Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrida dicampurkan dengan 5 ml asam
sulfat pekat kemudian ditambahkan etanol hingga 50 ml (Depkes RI, 1995).
3.2.7 Larutan Pereaksi Molish
Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya
kemudian ditambahkan 2 g iodida dan air suling hingga 100 ml (Depkes RI,
1995).
3.2.8 Larutan Pereaksi Kloralhidrat
Sebanyak 70 g kloralhidrat dilarutkan dalam 100 ml air (Depkes RI,
1995).
3.2.9 Larutan Pereaksi Besi (III) klorida 1 % (b/v)
Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air
suling hingga volume 100 ml (Depkes RI, 1995).
3.2.10 Larutan Pereaksi Natrium hidroksida 2 N
Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling
hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).
3.3 Pengambilan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan 3.3.1 Pengambilan Bahan Tumbuhan
Pengambilan rosela dilakukan secara purposif yaitu tanpa
ini adalah rosela yang berwarna merah berumur 4-5 bulan, pengambilan bahan
tumbuhan dilakukan pada pagi hari yang diperoleh dari Jln. Prona 3 Kelurahan
Petapahan, Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang.
3.3.2 Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi tumbuhan rosela dilakukan di “Herbarium Bogorriense”
Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi- LIPI Bogor, Jl. Raya Jakarta-Bogor Km.
46 Cibinong 16911, Indonesia P.O Box 25 Cibinong.
3.3.3 Pengolahan Bahan Tumbuhan
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah rosela yang siap panen
berwarna merah dan masih segar, dicuci bersih dan ditiriskan. Rosela yang sudah
bersih disortir basah lalu dilap satu persatu dengan tissue serta ditimbang.
Selanjutnya buah tersebut dikeringkan selama 2 minggu dengan cara
dikering-anginkan (terlindung dari sinar matahari). Simplisia yang telah kering diblender
menjadi serbuk lalu disimpan di dalam wadah plastik tertutup.
3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia
Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik
dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut dalam air,
penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total,
penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam (Ditjen POM, 1995; WHO,
1992).
3.4.1 Pemeriksaan Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik terhadap rosela segar meliputi pemeriksaan
visual dengan cara memperhatikan bentuk dan warna. Pengukuran pH dilakukan
terhadap serbuk simplisia rosela menggunakan pH indikator universal.
3.4.2 Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia rosela
dengan cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek yang telah diteteskan
dengan larutan kloralhidrat dan tutup dengan kaca penutup, kemudian diamati di
bawah mikroskop.
3.4.3 Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (Destilasi
Toluen). Alat ini meliputi labu alas bulat 500 ml, alat penampung, tabung
penerima 5 ml berskala 0,05 ml pendingin, tabung penyambung, pemanas.
Cara Penjenuhan Toluen:
Dimasukkan 200 ml toluen dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat,
didestilasi selama 2 jam. Setelah itu didinginkan dan volume air pada tabung
penerima dibaca (WHO, 1992).
Cara Penetapan Kadar Air Simplisia
Dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama ke dalam labu
alas bulat yang berisi dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mulai
mendidih, kecepatan tetesan diatur kurang lebih 2 tetes tiap detik hingga sebagian
besar air terdestilasi. Kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap
detik. Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen
yang telah dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung
penerima dibiarkan mendingin hingga suhu kamar. Setelah air dan toluen
volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan
yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (v/b) (WHO, 1992).
Kadar air = x 100%
3.4.4 Penetapan Kadar Sari Yang Larut Dalam Air
Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama
24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1
liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama,
kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring, ditambahkan air-kloroform
hingga 100 ml. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam
cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa
dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen
sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara
(Depkes RI, 1989).
3.4.5 Penetapan Kadar Sari Yang Larut Dalam Etanol
Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama
24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali
selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat
untuk menghindari penguapan etanol, dan ditambahkan etanol hingga 100 ml.
Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap
yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisanya dipanaskan dalam
oven pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot tetap. Kadarnya dalam persen sari
yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di
3.4.6 Penetapan Kadar Abu Total
Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama
dimasukkan dalam krus porselen yang telah dipijar dan ditara, kemudian
diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada
suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh
bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara
(WHO, 1992).
3.4.7 Penetapan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam
Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam
25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dipijarkan pada suhu 600oC sampai
diperoleh bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak
larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (WHO,
1992).
3.5 Skrining Fitokimia
3.5.1 Pemeriksaan Steroid/ Triterpenoida
Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2
jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap, pada sisa ditambahkan
2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi
Lieberman-Bouchard). Terbentuk warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau
3.5.2 Pemeriksaan Alkaloida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml
asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2
menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk uji alkaloida
yaitu :
a. Filtrat 3 tetes ditambah 2 tetes pereaksi Mayer, akan terbentuk endapan
menggumpal berwarna putih atau kuning.
b. Filtrat 3 tetes ditambah 2 tetes pereaksi Bouchardat, akan terbentuk ndapan
berwarna coklat sampai kehitaman.
c. Filtrat 3 tetes ditambah 2 tetes pereaksi Dragendroff, akan terbentuk
endapan merah atau jingga.
Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada paling sedikit dua hari
tiga percobaan diatas (Depkes RI, 1989).
3.5.3 Pemeriksaan Flavonoida
Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambahkan 100 ml air panas,
dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Filtrat yang
diperoleh kemudian diambil 5 ml lalu ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1
ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah.
Flavonoida positif jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan
amil alkohol (Fransworth, 1966).
3.5.4 Pemeriksaan Glikosida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml
campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling (7:3) dan
disaring. Diambil 20 ml filrat lalu ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal
(II) asetat 0,4 M, dikocok,didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari
sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform P
dan 2 bagian volume isopropanolol P (3:2). Sari air dikumpulkan dan diuapkan
pada temperatur tidak lebih dari 50 C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol,
kemudian diambil 0,1 ml larutan percobaan, dimasukkan dalam tabung reaksi dan
diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi
Molish, kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat
melalui dinding tabung, terbentuknya cincin berwarna ungu pada batas kedua
cairan menunjukkan adanya gula (glikon) (Depkes RI, 1989).
3.5.5 Pemeriksaan Saponin
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukan ke dalam
tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air suling panas, dinginkan kemudian
dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang
stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes
asam klorida2 N menunjukan adanya saponin (Depkes RI, 1989).
3.5.6 Pemeriksaan Tanin
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g disari dengan 10 ml air
suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna.
Diambil 2 ml larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida
1%. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukan adanya tanin
3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Rosela
Pembuatan ekstrak dilakukan secara perkolasi dengan menggunakan
pelarut etanol 96 %. Sebanyak 200 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam
wadah kaca dan dibasahi dengan etanol 96 % dan dilakukan maserasi selama 3
jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali
ditekan dengan hati- hati, kemudian cairan penyari dituangkan secukupnya sampai
cairan mulai menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari,
perkolator ditutup dan dibiarkan 24 jam. Cairan dibiarkan menetes dengan
kecepatan 1 ml tiap menit, cairan penyari ditambahkan berulang- ulang
secukupnya dengan memasang botol cairan penyari diatas perkolator dan diatur
kecepatan penetesan cairan penyari sama dengan kecepatan tetes perkolat,
sehingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. Perkolasi
dihentikan jika 500 mg perkolat yang keluar terakhir diuapkan, tidak
meninggalkan sisa (Ditjen POM, 1979).
Ekstrak yang diperoleh digabung dan disaring, lalu pelarut diuapkan pada
tekanan rendah dengan suhu tidak lebih dari 40 C menggunakan Rotary
evaporator, sehingga didapat ekstrak kental. Ekstrak kental yang diperoleh
dikeringbekukan dengan freeze dryer.
3.7 Pembuatan Media
3.7.1 Pembuatan Media Nutrient Agar (NA)
Komposisi : Beef extract 3 g
Peptone 5 g
Agar 15 g
Sebanyak 23 g nutrient agar (NA) dimasukkan kedalam erlenmeyer
tambahkan air suling hingga 1000 ml, lalu dipanaskan sampai larut. Kemudian
disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 115°C selama 30 menit (Difco, 1977).
3.7.2 Larutan Natrium Klorida 0,9 % (b/v)
Komposisi : Natrium klorida 9 g
Air suling hingga 1000 ml
Cara pembuatan:
Sebanyak 9 g natrium klorida dilarutkan dengan air suling 1000 ml
sampai larut sempurna dalam labu ukur lalu disterilkan di autoklaf pada suhu
1150C selama 30 menit (Sonnenwirth,1980).
3.7.3 Pembuatan Agar Miring
Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 3 ml media nutrient agar, didiamkan
pada suhu kamar sampai sediaan membeku pada posisi miring. Hasil disimpan
pada lemari pendingin.
3.8 Sterilisasi Alat
Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri ini, disterilkan
terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan didalam oven pada
suhu 170°C selama 1 jam. Media disterilkan di autoklaf pada suhu 115°C selama
30 menit. Jarum ose dan pinset dengan lampu bunsen (Lay,1994).
3.9 Pembuatan Stok Kultur
3.9.1 Bakteri Staphylococcus aureus
Diambil satu koloni bakteri Staphylococcus aureus dengan menggunakan
cara menggores. Kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 36 ±1°C
selama 18-24 jam (Ditjen POM, 1995).
3.9.2 Bakteri Escherichia coli
Diambil satu koloni bakteri Escherichia coli dengan menggunakan jarum
ose steril lalu ditanamkan pada media nutrient agar (NA) miring dengan cara
menggores. Kemudian itu diinkubasi dalam inkubator pada suhu 36 ±1°C selama
18-24 jam (Ditjen POM, 1995).
3.10 Penyiapan Inokulum Bakteri 3.10.1 Bakteri Staphylococcus aureus
Stok kultur bakteri Staphylococcus aureus yang telah tumbuh diambil
dengan jarum ose steril lalu disuspensikan ke dalam tabung yang berisi 10 ml
larutan NaCl 0,9% steril diinkubasi selama 3 jam, kemudian diukur kekeruhan
larutan pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh transmitan 25% (Ditjen
POM, 1995).
3.10.2 Bakteri Escherichia coli
Stok kultur bakteri Escherichia coli yang telah tumbuh diambil dengan
jarum ose steril lalu disuspensikan ke dalam tabung yang berisi 10 ml larutan
NaCl 0,9% steril diinkubasi selama 3 jam, kemudian diukur kekeruhan larutan
pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh konsentrasi 25% (Ditjen POM,
3.11 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Etanol Rosela dengan berbagai
Konsentrasi.
Sebanyak 5 g ekstrak etanol rosela ditimbang kemudian dimasukkan ke
dalam labu ukur 10 ml, dilarutkan dengan etanol hingga 10 ml. Konsentrasi
ekstrak adalah 500 mg/ml. Kemudian dibuat pengenceran selanjutnya sampai
diperoleh ekstrak dengan konsentrasi 400 mg/ml, 300 mg/ml, 200 mg/ml,
100mg/ml, 90 mg/ml, 80 mg/ml, 70 mg/ml, 60 mg/ml, 50 mg/ml, 40 mg/ ml, 30
mg/ml, 20 mg/ml dan 10 mg/ml.
3.12 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Rosela secara Invitro
Sebanyak 0,1 ml suspensi bakteri dimasukkan ke dalam cawan petri
steril, kemudian ditambahkan 20 ml media nutrient agar steril suhu 45-50oC,
dihomogenkan dan dibiarkan sampai media memadat. Setelah itu ditanamkan
pencadang logam. Selanjutnya ke dalam masing-masing pencadang logam
dimasukkan ekstrak etanol rosela sebanyak 0,1 ml dengan berbagai konsentrasi.
Kemudian diinkubasi pada suhu 36-37oC selama 18-24 jam. Selanjutnya diameter
daerah hambat di sekitar pencadang logam diukur dengan menggunakan jangka
sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali terhadap masing-masing bakteri
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Bogor
“Herbarium Bogorriense”, menunjukkan bahwa tumbuhan rosela yang digunakan
adalah jenis Hibiscus sabdariffa L., suku Malvaceae.
Hasil pemeriksaan makroskopik rosela menunjukkan bahwa rosela
berwarna merah dengan ujung menguncup, terdiri dari lima helai kelopak dan
terdapat rambut yang menempel pada permukaan, rasanya asam (pH±3) dan
berbau khas dan pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia rosela diperoleh
adanya kristal kalsium oksalat bentuk druse, rambut penutup, papilla dan jaringan
epidermis.
Karakteristik simplisia rosela diperoleh kadar air 6,98%, kadar abu total
8,395%, kadar abu tidak larut asam 0,1373%, kadar sari larut dalam air 29,275%,
kadar sari larut dalam etanol 27,596%.
Kadar air dalam simplisia menunjukkan jumlah air yang terkandung
dalam simplisia yang digunakan. Kadar air simplisia berhubungan dengan proses
pengeringan, kadar air ditentukan untuk mengetahui bahwa simplisia yang
digunakan tidak ditumbuhi jamur dan aman digunakan. Hasil penetapan kadar air
dari simplisia rosela memenuhi persyaratan pada Materia Medika Indonesia yaitu
tidak lebih dari 10%. Dengan kadar air yang cukup aman maka simplisia tidak
simplisia yang dihasilkan tidak cukup kering maka akan terjadi pertumbuhan
jamur dan jasad renik lainnya.
Tabel 4.1 Karakteristik Simplisia Rosela
No Parameter Hasil (%)
1 Kadar air 6,98
2 Kadar sari larut dalam air 29,275
3 Kadar sari larut dalam etanol 27,596
4 Kadar abu total 8,395
5 Kadar abu tidak larut dalam asam 0,1373
Penetapan kadar sari simplisia mengetahui jumlah senyawa polar yang
larut dalam air sedangkan penetapan kadar sari yang larut dalam etanol untuk
mengetahui senyawa yang terlarut dalam etanol, baik polar maupun non polar.
Dalam simplisia rosela menunjukkan bahwa kadar sari yang larut dalam air lebih
tinggi daripada sari yang larut dalam etanol, berarti senyawa kimia yang tersari
dalam air lebih besar daripada yang tersari dalam etanol.
Penetapan kadar abu dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa
anorganik dalam simplisia seperti logam K, Ca, Na, Pb, Hg, silika. Abu total
terbagi dua, yang pertama abu fisioligis adalah abu yang berasal dari jaringan
tumbuhan itu sendiri dan abu non fisiologis adalah sisa pembakaran yang berasal
dari bahan-bahan dari luar. Penetapan kadar abu tidak larut asam untuk
mengetahui kadar senyawa yang tidak larut dalam asam, seperti silika,
logam-logam berat seperti Pb, Hg (WHO, 1992).
Skrining fitokimia serbuk simplisia rosela menunjukkan adanya
(1995), senyawa fenol seperti flavonoid dan tanin memiliki aktivitas sebagai
antibakteri. Hasil skrining dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut :
Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia Rosela.
No Senyawa Hasil Skrining
Serbuk Simplisia
1 Alkaloid -
2 Flavonoid +
3 Glikosida +
4 Saponin -
5 Steroid/Triterpenoid +
6 Tanin +
Keterangan: (+) mengandung senyawa yang diperiksa (-) tidak mengandung senyawa yang diperiksa.
Pada serbuk simplisia rosela, penambahan serbuk Mg dan asam
klorida pekat memberikan warna merah menunjukkan adanya senyawa flavonoid.
Pada skrining glikosida terbentuknya cincin ungu menunjukkan adanya senyawa
glikosida. Penambahan FeCl3 1% memberikan warna hijau yang menunjukkan
adanya senyawa tanin.
Aktivitas antibakteri dapat disebabkan adanya kandungan senyawa kimia
yaitu tanin dan flavonoida. Tanin dan flavonoid merupakan golongan senyawa
fenol. Golongan fenol diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang bersifat
bakterisidal namun tidak bersifat sporisidal (Pratiwi, 2008). Senyawa fenol
bekerja dengan cara mendenaturasi protein sel dan merusak dinding sel bakteri
sehingga bakteri mati, juga dapat merusak lipid pada membran sel melalui
mekanisme penurunan tegangan permukaan membran sel (Pelczar dan Chan,
1986).
Hasil perkolasi 200 g serbuk simplisia rosela diperoleh 55,9974 g ekstrak
mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus
aureus. Data hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol rosela dapat dilihat
pada tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3 Hasil Uji Aktivitas Antibkteri Ekstrak Etanol Rosela Terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
Konsentrasi Ekstrak Etanol
(mg/ml)
Diameter Daerah Hambat Pertumbuhan Escherichia coli
Gambar 4.1 Diagram Batang Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Pertumbuhan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dari Ekstrak Etanol Rosela.
Pada grafik di atas terlihat bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak yang
diberikan akan menghasilkan daerah hambat yang semakin besar karena semakin
banyak zat aktif yang terkandung dalam ekstrak. Menurut Ditjen POM (1995),
suatu zat dikatakan memiliki daya hambat yang efektif dengan diameter daerah
hambatan lebih kurang 14 sampai 16 mm. Pada Escherichia coli daya hambat
yang efektif mulai konsentrasi 60 mg/ml, sedangkan pada Staphylococcus aureus
daya hambat yang efektif mulai konsentrasi 50 mg/ml. Rosela memiliki khasiat
sebagai antiplasmodik (anti kejang), antibakterial, antihelminthis (anti cacing),
juga memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan jamur, bakteri atau parasit
penyebab demam tinggi. Bahkan ekstrak cairan bunga dan pewarnanya ditemukan
dapat meletalkan bakteri Mycobacterium tuberculosis (bakteri penyebab TBC)
Ekstrak etanol rosela memberi daya hambat yang lebih besar terhadap
bakteri Staphylococcus aureus dibandingkan dengan bakteri Escherichia coli, hal
ini disebabkan bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif
memiliki kandungan peptidoglikan yang tinggi (dapat mencapai 50%)
dibandingkan bakteri Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif (sekitar
10%). Sebaliknya kandungan lipida dinding sel bakteri gram positf lebih rendah
sedangkan pada dinding sel bakteri gram negatif tinggi yaitu sekitar 11-22% (Lay,
1994).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
a. Karakteristik secara makroskopik menunjukkan rosela terdiri dari lima
kelopak dengan ujung menguncup dan terdapat rambut yang menempel
pada permukaan, rasanya asam (pH±3) serta berbau khas. Secara
mikroskopik serbuk simplisia rosela diperoleh adanya kristal kalsium
oksalat bentuk druse, rambut penutup monoseluler dan bentuk bintang,
papilla dan jaringan epidermis. Kadar air 6,98%, kadar sari larut dalam air
29,275%, kadar sari larut dalam etanol 27,596%, kadar abu total 8,395%,
kadar abu tidak larut dalam asam 0,1373%.
b. Skrining fitokimia serbuk simplisia rosela menunjukkan adanya senyawa
flavonoid, glikosida, steroid/triterpenoid dan tanin. Adanya kandungan
senyawa kimia tersebut menunjukkan bahwa rosela bersifat antibakteri.
c. Ekstrak etanol rosela mempunyai aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Pada Staphylococcus aureus
dengan konsentrasi efektif mulai 50 mg/ml dengan diameter 14,3 mm dan
pada Escherichia coli mulai 60 mg/ml dengan diameter 14,8 mm.
5.2 Saran
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengidentifikasi/mengisolasi zat
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan. Halaman 194-197, 513-520, 536, 539-540,549-552.
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Cetakan Keenam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan. Halaman 92-94, 195-199.
Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta : Depkes RI. Hal. 10-11
Depkes RI. (2001). Inventaris Tumbuhan Obat Indonesia I. Jilid 2. Jakarta: Depkes RI. Hal.164.
Difco Laboratories. (1977). Difco manual of Dehydrated culture Media and Reagent for Microbiology and clinical Laboratory Procedures. 9th edition. Michigan. Detroit. P. 32,93
Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 9.
Dwidjoseputro, D. (1988). Dasar – Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan. Hal. 22 – 47.
Fransworth, N.R., (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants, Journal of Pharmaceutical Sciences. Volume 55. No.3. Chicago: Reheis Chemical Company. Pages 247-268.
Harbone, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan, terjemahan K.Padmawinata. Edisi II. Bandung : ITB Press. Hal. 102-103, 147-148.
Jawetz, E. Menick, J,L., dan Adelberg, E. A. (2001). Mikrobiologi Kedokteran. Ahli bahasa: Eddy Mudihardi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Hal 350.
Lay, B.W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 57-58, 109.
Lee, J. (1983). Microbiology. First Edition. USA: The Barnes and Nobel Outline Series. Pages 57-58.
Mardiah. (2009). Rosela. Jakarta: Penerbit: Agro Media Pustaka. Hal 13-14, 21,
Markham, K.R. (1988). Cara Mengidentifikasi Flavonoida. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 23-47.
Mursito. (2001). Ramuan Tradisional Untuk Kesehatan Anak. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal.2.
Pelczar, M. J., dan E.C.S.Chan. (1986). Dasar-Dasar Mikrobiologi I. Jakarta: Penerbit UI-Press. Hal. 101.
Pratiwi, S. T. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 105-117
Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: ITB. Hal 71 – 72
Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya. (2003). Bakteriologi Medik. Cetakan Pertama. Malang: Bayu Media Publishing.
Tjitrosoepomo, G. (1994). Taksonomi Tumbuhan (Schizophyta, Thallophyta, bryophyte, Pteridophyta). Yogyakara: Gadjah Mada University Press. Halaman 4-20.
Widyanto, P.S. (2009). Rosella. Jakarta: Penerbit: Penebar Swadaya. Hal. 4, 6-7, 9, 11-12, 14.
Lampiran 3. Gambar Rosela dan dan Serbuk Simplisia Rosela
Rosela
1
2
4 4
5
Lampiran 4. Mikroskopik Serbuk Simplisia Rosela
Keterangan:
1. Papilla
2. Rambut Penutup monoseluler 3. Kalsium oksalat bentuk druse 4. Lapisan Epidermis
5. Rambut Penutup Bentuk Bintang
2