• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Bagi Hasil Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Perbankan Indonesia (Studi Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Bagi Hasil Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Perbankan Indonesia (Studi Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulrahman, A., Ensiklopedia Ekonomi keuangan Perdagangan, Jakarta: Pradya Paramita, 1993.

Antonio, M. Syafi’I., Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2000.

Ascarya., Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Azis, Amin., Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku Kesatu, Cetakan Pertama Penerbit Bangkit, 1992.

Antonio, Muhammad Syafi’i., Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999.

El-Ashker, Ahmad Abdel Fattah., The Islamic Business Enterprise, Kent: Croom Helm, 1987..

El-Diawany, Tarek., Bunga Bank & Masalahnya; The Problem With Intesrst; Tinjauan Syar’i dan Ekonomi, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003. Djumhara, Muhammad., Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1996.

Fuady, Munir., Hukum Perbankan Modren, Citra Aditya Bakti, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002. Mannan, M. Abdul., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1972.

Qudama, Ibnu., Al-Mughini, Riyad: Maktabat Al-Riyad Al-Haditha, 1981. Saeed, Abdullah., Bank Islam dan Bunga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Solohin, Ahmad Ifham., Ini Lho Bank Syariah!, Cet 1, Jakarta: PT. Grafindo

Media Pratama, 2008.

Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

______Soerjono., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

Sjahdeini, Sutan Remy., Perbankan Islam, Putaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

(2)

Sumitro, Warkum., Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1996.

Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Webster, Noah., Webster ‘s New Universal Unabriged Dictionary, New York-USA: Simon & Schuster, 1979.

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan imdonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.

Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media bekerjasama Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

B. Perundang-Undangan

Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Surat Keputusan Dewan Komisaris PT. Bank Sumut No. 42/DK-BPDSU/SK/2001 tanggal 21 Nopember 2001 tentang Visi, Misi, Goal, Objective, Kebijakan, Strategi dan Corporate Culture PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara.

Surat Keputusan Direksi PT. Bank Sumut Nomor 120/DIR/DUSY-PDJS/SK/2009 tentang Pembiayaan Modal Kerja.

Surat Keputusan Direksi PT. Bank Sumut Nomor 087/DIR/DPP-PP/SK/2005 tanggal 5 Juli 2005.

Surat Keputusan Dewan Komisaris PT. Bank Sumut Nomor 42/DK-BPDSU/SK/2001 tanggal 21 Nopember 2001.

C. Makalah, Wawancara, dan Internet

Nasution, Faisal Akbar., “Indentifikasi Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Sistem Pemerintahan dan Sistem Ketatanegaraan”, Disampaikan dalam diskusi, “Menjaring Aspirasi Masyarakat Dalam Upaya Amandemen dan Menyusun Konstitusi”, yang diadakan pada hari Senin tanggal 13 Desember 2004 oleh FITRA SUMUT bekerjasana dengan PSPK Jakarta di Medan.

Mochtar, Dira K., “Kisah Mata Air di Tanah Air”, sumber Perbanas Islamic Economic Forum (PIEF), artikel, Investor, Edisi 156, diterbitkan tanggal 4-16 Oktober 2006.

(3)

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:pxVFmdPlgCgJ:katalog.pdii.lipi.go. id/in, diakses terakhir tanggal 12 Maret 2010.

D. Surat Kabar

Hilman, Eko., Investamia, “Investor”, Edisi 156, tanggal 4-16 Oktober 2006. Tempo Edisi Nomor 38 Tahun XXII tanggal 21 November 1992.

(4)

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. Prinsip Perbankan Secara Syariah Tercantum Dalam Pancasila dan UUD 1945

Corak perbankan suatu negara sangat banyak dipengaruhi kondisi

lingkungan, baik dari segi sosial budaya maupun segi alam dan sejarah

perkembangannya. Demikian pula corak perbankan Indonesia mempunyai

kekhasan yang membedakannya dengan perbankan di negara lain. Kekhasan ini

banyak dipengaruhi oleh ideologi Pancasila, dan tujuan negara yang tercantum

dalam UUD 1945 dan kemudian dijabarkan lagi dalam Garis-garis Besar Haluan

Negara.

Kekhasan yang terlihat jelas dalam kehidupan perbankan Indonesia

diantaranya:41

1. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utamanya adalah sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat, dan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak;

2. Perbankan Indonesia sebagai sarana untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, juga guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pelaksanaan perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan, dan kesinambungan unsur-unsur Trilogi Pembangunan;

3. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergerak cepat guna menghadapi tantangan-tantangan yang semakin luas dalam perkembangan perekonomian nasional maupun internasional.

41

(5)

Membicarakan masalah perbankan tidak mungkin terlepas dari

pembicaraan tentang uang. Dalam Islam, uang dipandang semata-mata sebagai

alat tukar, bukan suatu komoditi. Oleh karena itu, uang dalam konsepsi Islam

tidak dapat mengahsilkan suatu apapun. Dengan demikian bunga atau riba pada

uang yang dipinjam atau dipinjamkan adalah dilarang.42

Prinsip perbankan secara syariah Islam bersumber pada prinsip Islam

tentang uang. Karena uang tidak dibenarkan menghasilkan pertambahan (riba),

maka bank Islam (bank syariah) dalam kegiatannya tidak bertumpu pada bunga.

Penghasilan bank didapat melalui investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan

perdagangan.

Kedudukan bank dalam hubungan dengan para nasabahnya adalah sebagai

mitra kerja investor dengan pengusaha, sedangkan dalam bank konvensinal

hubungan bank dengan nasabahnya sebagai kreditur (pihak yang berpiutang)

dengan debitur (pihak yang berutang).43

Oleh sebab itu, secara terperinci, prinsip syariah mengandung hal-hal

berikut ini:44

1. Dihadapi bersama antara bank dengan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran;

2. Tindak mengenai kemungkinan terjadinya selisih negatif (negative spread) karena sistem yang digunakan;

3. Tindak bebas nilai;

4. Uang sebagai alat tukar bukan komoditi; 5. Bunga dalam berbagai bentuk dilarang; dan

6. Menggunakan prinsip bagi hasil dan keuntungan atas transaksi riil.

42

M. Abdul Mannan., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1972), hal. 162.

43

Ibid, hal. 164. 44

(6)

Berdasarkan prinsip di atas, maka terlihat prinsip perbankan yang dikelola

syariah sangat berbeda dengan perbankan yang pengelolaannya secara

konvensional.

B. Mudharabah dan Musharakah Dalam Wacana Fiqh Islam

1. Mudharabah Dalam Wacana Fiqh

Mudharabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) mempercayakan modalnya kepada pengelola

(mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan. Mudharib dalam hal ini memberikan kontribusi pekerjaan, waktu dan mengelolah usahanya sesuai

dengan ketentuan yang dicapai delam kontrak, salah satunya adalah untuk

mencapai keuntungan (profit) yang dibagi antara pihak investor dan mudharib

berdasarkan proporsi yang telah disetujui bersama. Namun apabila terjadi

kerugian yang menanggung adalah pihak investor saja.45

Al-Qur’an tidak secara langsung menunjuk istilah mudharabah, melainkan melalui akar kata d-r-b yang diungkapkan sebayak lima puluh delapan kali. Dari

beberapa kata inilah yang kamudian mengilhami konsep mudharabah, meskipun tidak dapat disangkal bahwa mudharabah merupakan sebuah perjanan jauh yang bertujuan bisnis. Nabi Muhammad dan para sahabat juga pernah menjalankan

usaha kerjasama berdasarkan bisnis ini.46

45

Murasa Sarkaniputra., “Ruang Lingkup Ekonomi Syari’ah Tinjauan Teori dan Praktik di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syari’ah dan Legislasi Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, di emarang, 6-8 Juni 2006, hal. 2.

46

(7)

Menurut Ibn Taiminyah, landasan legal yang membicarakan tentang

mudharabah berdasarkan bebeapa laporan dari sahabat Nabi Muhammad, akan tetapi hadits tersebut sanadnya tidak otentik sampai kepada Nabi. Sedangkan ibn

Hazm mengatakan, “Bahwa tiap-tiap bagian piqh berdasarkan pada al-Qur’an dan sunnah kecuali mudharabah, dimana kita tidak menemukan dasar apapun tentangya.47

Sarakshi yang merupakan ulama mazhab Hanafi mengatakan, mudharabah

diperbolehkan karena orang-orang membutuhkan kontrak ini. Adapun Ibn Rushd

yang merupakan ulama mazhab memiliki, menghormatinya sebagai sebuah

kesepakatan pribadi. Mudharabah tidak merujuk langsung pada al-Qur’an dan Sunnah, tetapi berdasarkan kebiasaan (tradisi) yang dipraktekkan oleh kaum

mislimin, dan bentuk kerjasama perdagangan modal ini tampak langsung terus di

sepanjang awal Islam sebagai instrumen utama yang mendukung para kafilah

untuk mengembangkan jaringan perdagangannya secara luas.48

Mudharabah umumnya digunakan sebagai pendukung dalam memperluas jaringan perdagangan. Karena dengan menerangkan prinsip mudharabah, dapat dilakukan transaksi jual beli dalam ruang lingkup yang luas (perdagangan antar

daerah) maupun antara pedagang di daerah tertentu. Para pengikut mazhab Maliki

dan Syafi’i menegaskan bahwa mudharabah aslinya merupakan pendukung utama dalam memperluas jaringan perdagangan. Mereka menolak mudharabah yang

47

Ibid., hal. 92. 48

(8)

diambil alih pengelolaannya, misalnya, aktifitas perusahaan yang pengelolaannya

diserahkan kapada bagian agen.49

Dengan susunan organisasi demikian, pihak agen mempunyai tugas

menangani segala mecam yang berhubungan dengan kontrak ini. Agen

bertanggung jawab mengelolah usaha ini, menyangkut semua kerugian dan

keuntungan yang diperoleh untuk diberikan kepada investor dan mudharib yang juga berhak terhadap pembagian keuntungan yang adil sesuai sengan

pekerjaannya. Meskipun demikian para pengikut mazhab Hanafi memandang

mudharabah sebagai bentuk koordinasi sebagai perdagangan, mereka

membolehkan untuk mencampur modal investasi, berdasarkan ini para investor

dapat mempercayakan sejumlah uangnya kepada agen untuk di kelolah dalam

sistem investasi mudharabah dengan melalui perhitungan dalam bentuk pinjaman

(loan), simpanan (deposit), dan ibda. Tujuan dari kordinasi demikian dimungkinkan untuk memperluas variasi dalam menentukan keuntungan dan

resiko kerugian.

2. Musharakah Dalam Wacana Fiqh

Musharakah atau kerjasama adalah bentuk kedua dari prinsi penerapan prinsip bagi hasil (PLS) yang dipraktekkan dalam sistem perbankan Islam.

Musharakah berasal dari akar kata sh-r-k yang digunakan dalam Al-Qur’an sebanyak 170 (seratus tujuh puluh) kali, meski tidak satu pun dari bentuk tersebut

yang secara jelas menunjukkaan pengertian kerjasama dalam dunia bisnis. Meski

demikian terdapat beberapa versi dalam Al-Qur’an dan juga beberapa keterangan

49

(9)

dari Nabi Muhammad serta para sahabat dan ulama yang menyatakan keabsahan

musharakah untuk dilaksanakan dalam dunia bisnis.

Jadi, dalam fiqh, konsep musharakah digunakan dalam pengertian yang lebih luas daripada yang digunakan dalam konsep perbankan Islam.

C. Mudharabah Dalam Sistem Perbankan Islam

Konsep mudharabah umumnya telah dioperasionalkan dalam sistem perbankan Islam di Timur Tengah dewasa ini. Kontrak semacam ini dalam bank

Islam kebanyakan digunakan bertujuan untuk perdagangan jangka pendek dan

jenis usaha tertentu. Kontrak tersebut memberikan wewenang terhadap segala

macam yang menyangkut pembelian dan penjualan barang yang indikasinya untuk

merealisasikan tujuan utama dari perdagangan yang berdasarkan pada kontrak.

Dalam hal ini, posisi mudharib bertindak sebagai nasabah bank Islam untuk meminta pembiayaan usaha berdasarkan kontrak mudharabah. Mudharib

menerima dukungan dana dari bank yang dengan dana tersebut, mudharib dapat mulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang untuk

dijual kepada pembeli, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.50

Sebelum pembiayaan tersebut disetujui, mudharib memberikan penjelasan terlebih dahulu kepada bank mengenai seluk-beluk usaha yang berkaitan dengan

barang, sumber pembelanjaan, maupun seluruh biaya yang dikeluarkan untuk

memperoleh barang tersebut. Mudharib mengajukan sejumlah persyaratan

finansial yang memuat beberapa hal menyangkut ketentuan harga penjualan, arus

50

(10)

pembayaran, dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Persyaratan tersebut

akan dipelajari oleh pihak bank sebelum memutuskan menyetujui pembiayaan

usaha tersebut. Bank umumnya akan menyetujui membiayai usaha tersebut jika

tingkat keuntungan yang diharapkan cukup menjanjikan.51

1. Modal Mudharabah

Bank Islam dalam melakukan kontrak mudharabah menetukan sejumlah modal yang dipinjamkan ke dalam usaha yang akan dijalankan. Umumnya dana

yang diberikan dalam pembiayaan kontrak mudharabah tidak diberikan kontan, hal ini memungkinkan pihak bank senantiasa mengawasi dan mengelolah usaha

tersebut. Karena dalam kontrak ini pembelanjaan barang dagangan telah

ditemukan dan pihak bank secara langsung akan dapat menyusun pembiayaan

kepada penjual (mudharib).

Dana yang dipinjamkan oleh pihak bank yang dijadikan sebagai modal

usaha tidak boleh diselewengkan mudharib dan tidak boleh digunakan untuk

tujuan lain. Meskipun bank Islam mengluarkan pernyataan bahwa dana yang

dipinjamkan melalui kontrak mudharabah tidak boleh digunakan untuk tujuan lain

dari yang telah ditentukan dalam kontrak, namun tampaknya dalam praktek

tidaklah banyak berarti.

2. Manajemen Mudharabah

Tugas mudharib dalam menjalankan pembiayaan kontrak mudharabah

meliputi mengelolah dan mengatur pembelanjaan, penyimpanan, pemasaran,

maupun penjualan barang dagangan. Mudharib menjamin dalam mengelolah

51

(11)

barang tersebut sesuai denagan ketentuan yang telah disepakati dalam pembiayaan

mudharabah. Mudharib bertangggung jawab untuk menanggung segala kerugian yang disebabakan oleh kesalahannya sendiri yang menyimpang dari prosedur

ketentuan kontrak. Pihak bank tidak menanggu kerugian yang disebabkan oleh

kesalahan dari pihak mudharib tersebut. Mudharib harus menjaga barang tersebut dengen segala resikonya dan juga harus menyimpannya secara tepat. Singkatnaya,

mudharib harus tunduk terhadap segala persyaratan yang telah ditentukan dalam

kontrak yang berkaitan dengan pengelolaan usaha. Pelaksanaan tersebut umumnya

diawasi oleh pihak bank.

3. Masa Berlakunya Kontrak Mudharabah

Kontrak mudharabah umumnya digunakan untuk tujuan perdagangan jangka pendek yang dapat dengan mudah menentukan masa berlakunya dan

ketentuan tersebut umumnya berlaku pada bank-bank Islam. Dengan mengetahui

batas berakhirnya kontrak, tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari

pindajamn bank akan dapat dihitung dan diketahui hasilnya, di samping itu juga

penting bagi pihak bank untuk mengakhiri pembiayaan mudharabah dan modal bank akan dikembalikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam

kontrak.

Apabila terjadi perpanjangan masa berlakunya kontrak yang berjalan di

luar kesepakatan di awal kontrak, maka segala resiko yang terjadi dalam kontrak

menjadi tanggung jawab pihak bank, oleh karenanya pihak bank tidak

diperbolehkan merubah tingkat rasio keuntungan yang disepakati sesuai dengan

(12)

kontrak mudharabah, sedangkan perpanjangan terhadap masa berlakunya berarti akan mengikis pengembalia modal yang dipinjamkan.52

4. Jaminan Mudharabah

Bank Islam mengambil inisiatif meminta jaminan untuk keyakinan bahwa

modal yang dipinjamkan kepada nasabah (mudharib) diharapkan kembali kepada semula sesuai dengan ketentuan awal ketika berlangsungnya kontrak. Meskipun

dalam hukum Islam dijelaskan bahwa investor tidak diperkenankan meminta jaminan (garansi) dari mudharib.53 Namun dalam bank Islam tetap meminta berbagai macama bentuk jaminan.

Dalam perspektif perbankan Islam ini, jaminan (garansi) tersebut ditekankan kepada nasabah, adalah untuk menghindari hal mana jika terbuki suatu

waktu mudharib atau nasabah tidak mempergunakan atau memanfaatkan dana atau tidak menjaga barang dagangan sebagaimana mestinya berdasarkan

ketentuan persyaratan dari nvestor, dimana mudharib mengalami kerugian, maka jaminan yang diberikan tadi dijadikan sebagai ganti atas kerugian yang

dialaminya. Dalam kasus tersebut mudharib bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi oleh karenanya, jaminan jaminan yang disyaratkan dalam kontrak

menjadi kompensasi pihak dari bank. Jika jaminan tersebut tidak cukup, maka

mudharib harus memberikan tambahan jaminan dalam jangka waktu yang ditentukan.

52

Abdullah Saeed., Op. cit, hal. 102. 53

(13)

5. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Mudharabah

Bank Islam dalam melaksanakan kontrak mudharabah membuat kesepakatan dengan nasabah (mudharib) mengenai tingkat perbandingan keuntungan (profit ratio) yang ditentukan dalam kontrak. Perbaningan keuntungan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, kesepakatan dari nasabah,

prediksi keuntungan yang akan diperoleh, respon pasar, kemampuan memasarkan

barang, dan juga masa berlakunya kontrak.

Jika kontrak mudharabah ternyata tidak menghasilkan keuntungan, maka

mudharib selaku pengelola usaha tersebut tidak mendapatkan gaji dari pekerjaannya. Apabila terjadi kerugian, bank menanggung kerugian tersebut

sepanjang tidak terbukti bahwa mudharib tidak menyelewengkan dana

mudharabah berdasarkan atas persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan

investor. Namun jika terbukti akibat kecerobohan dari pihak mudharib, maka

mudharib yang berhak menanggung kerugian itu.

Jelas kelihatan bahwa bahwa bank dapat turut menanggung setiap

terjadinya kerugian, meskipun demikian tidak harus diterima begitu saja. Melalui

segala macam pertimbangan, bank Islam hampir menghilangkan karakter

ketidaktentuan hasil usaha yang melalui kontrak mudharabah. Pertimbangan

resiko dalam bidang usaha ini sebagaimana yang diambil oleh bank Islam dapat

diperkirakan dan diperhitungkan sebelumnya. Berdasarkan alasan, terkesan bhwa

kontrak mudharabah yang dipraktekkan dalam bank Islam memiliki sedikit

perbedaan dengan operasional bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak

(14)

Membicarakan kontrak mudharabah sebagaimana yang dipraktekkan oleh

bank Islam mengindikasikan bahwa kontrak tersebut digunakan untuk tujuan jenis

perdagangan jangka waktu pendek (short term commercial) di mana hasil yang akan diperoleh dapat diprediksi kepastiannya. Di sini sebenarnya tidak terdapat

keseimbangan perpindahan modal kepada mudharib untuk menjalankan bisnis

secara bebas. Pihak bank memintak keterangan seara detail mengenai seluk-beluk

yang berkaitan dengan penjualan barang. Setiap terjadi kekeliruan dari

persyaratan kontrak akan membuat mudharib bertanggung jawab untuk menanggu

kerugian yang dialaminya. Pihak bank menentukan masa berlakunya kontrak, juga

memintak jaminan untuk memastikan pengembalian modal sesuai dengan waktu

yang telah ditentukan, walaupun pihak bank tidak mengungkapkannya secara

ekspisit.

Jadi, dalam melaksanakan sistem bagi hasil, pihak bank bertanggung

jawab menanggung seluruh kerugian, tetapi tidak demikian dalam prakteknya,

karena seringkali pihak bank tidak mudah percaya atas kerugian yang dialami

pihak mudharib. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kontrak mudharabah yang dipraktekkan oleh bank Islam secara siknifikan berbeda dari kontrak mudharabah

sebagaimana uumnya yang digambarkan dalam hukum Islam, atau yang

digambarkan oleh para teoritikus perbankan Islam yang didambakan sebagai

(15)

D. Musharakah Dalam SistemPerbankan Islam

International Islamic Bank for Invertsment and Development (IIBID) menjelaskan bahwa musharakah merupakan salah satu cara pembiayaan yang terbaik yang memiliki bank-bank Islam. Prinsip ini dijalankan berdasarkan

partisipasi antara pihak bank dengan pencari biaya (partner potensial) untuk diberikan dalam bentuk proyek usaha, dan partisipasi ini dijalankan berdasarkan

sistem bagi hasil, baik dalam keuntungan (profit) maupun dalam kerugian (loss). Syarat-syarat yang berkenaan dengan kontrak musharakah didasarkan kesepakatan

yang dibicarakan natara kedua belah pihak (bank dan partner). Umumnya, pihak bank menyerahkan modal usaha dan menyerahkan manajemen usaha tersebut

kepada partner. Musharakah yang dipahami dalam bank Islam merupakan sebuah mekanisme kerja (akumulasi antara pekerja dan modal) yang memberikan manfaat

kepada masyarakat luas dalam produksi barang maupun pelanyanan terhadap

kebutuhan masyarakat. Kontrak musharakah dapat digunakan berbagai macam lapangan uasaha yang indikasinya bermuara untuk menghasilkan keuntungan

(profit).54

Walaupun demikian beberapa konseptor perbankan Islam tanpaknya

mengunakan pengertian musharakah sebagai partisipasi dalam investasi terhadap

suatu usaha tertentu, yang dalam bank-bank Islam digunakan dalam pengertian

yang lebih luas. Berdasarkan ini, musharakah dapat digunkan untuk tujuan

investasi dalam jangka waktu pendek atau juga untuk partisipasi dalam waktu

panjang. Adapun bentuk pembiayaan musharakah yang digunakan bank Islam

54

(16)

meliputi; musharakah untuk perdagangan (commercial musharakah), keikutsertaan untuk sementara (decreasing partisipation), keikutsertaan untuk selamanya (permanent partisipation).

1. Modal Musharakah

Bank Islam umumnya memberikan bagian modal dari usaha musharakah

dan nasabah (partner) memberikan lain-lainnya. Ketentuan perbandingan bagi (profit and loss sharing) dari hasil usaha tidak ditetapkan secara khusus. Tingkat perbandingan bagian bank dengan nasabah ditentukan menurut kesepakatan dan

melalui pertimbangan besarnya pembiayaan modal yang diberikan oleh partner

dalam usaha musharakah. Padahal pihak bank lebih mempu untuk membiayai

usaha dengan persentasi modal yang lebih tinggi, tidak sama halnya dengan

partner yang lebih sedikit dalam membiayai modal usaha. Meskipun bengitu,

penentuan persentase berdasarkan pada keadaan (besarnya modal yang disertakan)

yang sebenarnya.

Kontrak musharakah berdasarkan pada syarat dan ketentuan yang jelas.

Diantaranya adalah menyangkut bagian modal bank beserta hasil usaha yang

diharapkan dalam kontrak diberikan oleh partner kepada bank sesuai dengan masa yang ditentukan. Atau sejumlah persyaratan tersebut dalam mengelolah

usaha musharakah.

Pihak partner menyediakan barang-barang musharakah di bawah pengawasan bersama (bank dan partner) dan tidak ada barang yang boleh dijual sampai harga jual dicantumkan dalam ketentuan musharakah. Pihak partner

(17)

pertimbangan yang terbaik. Barang-barang yang dijual berdasarkan persetujuan

harga dari bank dan partner yang ditentukan bagian kontrak. Partner tidakdapat menjual barang-barang padda tingkat harga yang lebih rendah dari pada

persetujuan yang telah ditetapkan dalam kontrak, kecuali kalau disertai

persetujuan dari bank. Jika partner menjual barang usaha musharakah lebih rendah

tanpa disertai perseujuan dari bank, maka dia harus mengganti kepada bank

dengan selisihnya. Partner harus menjaga dan menyiapkan catatan-catatan akuntan dari usaha musharakah dengan disertai bukti yang relevan dan sah yang

dapat diterima

2. Jaminan Musharakah

Meskipun seluruh mazhab hukum tidak membolehkan meminta jaminan

dari pihak patner sebagai kepercayaan, bank-bank Islam tetap mengharuskan

partner mereka untuk memberikan jaminan melindungi kepentingan bank dalam kontrak musharakah.

Pihak pertama (bank) mempunyai hak untuk meminta kepada pihak kedua

apabila jaminan yang diberikan kepada pihak pertma atidak cukup. Ini dapat

dilakukan seminggu setelah peringatan kepada pihak kedua tanpa keberatan atau

penundaan.

Berbagai bentuk jaminan yang diminta oleh bank-bank Islam dari partner

mereka, jenis-jenisnya sebagai berikut:55

1. Berupa cek yang diserahkan partenr kepada bank. Jumlah cek nilainya sama dengan investasi bank dalam kontrak musharakah. Bank tidak menggunakan cek tersebut kecuali kalau partner melakukan pelanggaran dari persyaratan dalam kontrak;

55

(18)

2. Rekening dan tanda pembayaran dari penjualan barang-barang

musharakah kepada pihak ketiga yang dilakukan berdasarkan pembayaran yang ditangguhkan, catatan tersebut harus disetorkan kepada bank;

3. Bank memiliki hak untuk meminta catatan saldo keuangan, dokumen atau surat-surat perdagangan milik partenr untuk disimpan oleh bank, jika

partenr tidak dapat membayar bagian bank dari hasil usaha musharakah, bank dapat mengambilnya dari surat perdagangan yang disimpan di bank; 4. Bank menganggap dirinya sebagai pemilik barang-barang musaharakah

mulai dari pembelian hingga penjualan barang-barang tersebut; dan

5. Dalam kasus apabila barang-barang musharakah dijual kepada pihak ketiga dengan berdasarkan pada pembayaran yang ditangguhkan, pihak bank mempunyai hak untuk memintan partenr sebagai jaminan dan memberikan jaminan secara mutlak (kafala mutlaka) kepada partenr atas hutang yang diberikan kepada pihak ketiga.

Kalau diteliti lebih lanjut, saat ini tampaknya bank-bank Islam menghindar

dari berbagai problem yang akan menyebabkan kerugian. Hal ini cukup

mengherankan, jika dalam merealisasikan kerjasama, sebagaimana dijelaskan

dalam fiqh, bank mempunyai kebenaran moral untuk melepas semua tanggung jawab tersebut kepada partner.

3. Masa Berlakunya Kontrak Musharakah

Kontrak musharakah dalam perdagangan kebanyakan dilakukan untuk jangka waktu pendek dan untuk tujuan khusus. Jika masa berlakunya kontrak

ternyata kurang, maka dapat diperpanjang masa kontrak tersebut melalui

persetujuan dari kedua belah pihak. Kontrak musharakah dapat diakhiri melalui persetujuan kedua belah pihak dengan catatan, bahwa pihak partner membayar kepada pihak bank semua tanggung jawab yang timbul dari pemberhentian

kontrak.

Bank dapat memintak mengakhiri kontrak musharakah jika bank

memandang apabila kontrak tersebut tetap dilangsungkan akan sia-sia tanpa hasil

(19)

Bank dapat melakukan ini dengan jalan tanpa melalui peringatan terlebih dahulu

atau bersumber dari seperangkat aturan hukum yang mengatur pemberhentian

kontrak tersebut.56

Jadi, bank Islam perlu merealisasikan pentingnya pertimbangan

menghargai waktu dan mendesak dalam melaksanakan musharakah, dimana

partner diwajibkan untuk membayar bagian keuntungan bank beserta modal usaha berdasarkan pada data yang ditentukan dalam kontrak. Apabila terjadi

keterlambatan pembayaran, maka bagian keuntungan partner yang diperbolehkan

sebagai ongkos pengelolaan usaha kemungkinan dapat dipotong atau dikurangi.

Namun jika partner membayar jumlah tanggungannya sebelum masanya, maka bagian keuntungan yang memiliki partner sebagai ongkos dari pengelolaan usaha

musharakah kemungkinan dapat ditambah.

4. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Musharakah

Bank-bank umumnya tidak sama dalam menjalankan bagi hasil (profit and loss sharing) dari proyek usaha mereka yang berdasarkan pada pembiayaan kontrak musharakah. Prinsip bagi hasil secara luas dilaksanakan tergantung pada

peranan partner dalam mengelolah proyek usaha musharakah, konstribusi modal diberikan dari kedua belah pihak yaitu partner dan bank. Apabila dari pembiayaan

musharakah untuk tujuan perdagangan misalnya menawarkan pembagian keuntungan musharakah sebagai berikut: (a) menentukan tingkat persentase

partner berdasarkan usaha-usahanya dalam pembelian, penjualan, penyimpanan,

dan seluruh tangguhan yang berkaitan dengan musharakah, (b) menentukan

56

(20)

tingkat persentase bagi bank berdasarkan pengawasan dan manajemenya terdapat

proyek musharakah, (c) menurut tingkat persentase keuntungan yang akan diterima kedua belah pihak berdasarkan ratio perbandingan konstribusi modal

yang disertakan dalam kontrak musharakah.57

Jordan Islamic Bank (JIB) dalam membagi tingkat persentse keuntungan

tidak mempertimbangkan bagian persentase dari segi manajemen. Hanya

menuntukan dari keuntungan bersih yang akan dibagikan antara bank dan partner

berdasarkan persetujuan bersama yang dilakukan dalam kontrak musharakah.

Bank Mesir menentukan bagian tingkat persentase keuntungan berdasarkan

pertimbangan sebagai berikut: (a) tingkat persentase yang diterima bank

berdasarkan pada pelanyanan perbankannya, (b) tingkat persentase ynag diterima

partner ditentukan berdasarkan berdasarkan barang-barang dan manajemennya.

Persentase saldo usaha akan dialokasikan kepada bank dan partner.

Pelanggaran pihak partner terhadap ketentuan kontrak, maka kerugian tersebut dapat dibagi antara kedua belah pihak menurut tingkat persentse modal

yang disertakan pada kontrak. Sebaliknya apabila kerugian tersebut akibat dari

kelalaian, kesalahan manajemen, atau pelanggaran pihak partner terhadap ketentuan kontrak, maka partner harus bertanggung jawab atas semua kerugian

tersebut.

Pembicaraan di atas menunjukkan bahwa musharakah yang digunakan dalam bank Islam bentuknya bervariasi, bank Islam tampaknya cenderung

dominan menggunakan bentuk musharakah dalam perdagangan untuk jangka

57

(21)

waktu pendek, meskipu bentuk lainnya tetap dipergunakan. Dalam pembiayaan

musharakah, kontribusi modalnya berasal dari bank dan partner. Pihak bank mengawasi bagaimana usaha musharakah dijalankan, hingga bank memastikan

menerima pengembalian investasi awal yang diberikan beserta keuntungan yang

diperoleh. Bank juga memintak berbagai macam garansi yang dijadikan untuk

melindungi kepentinganya dalam usaha tersebut, dan dengan garansi ini

kelihatanya bank berusaha melempar segala resiko usaha musharakah kepada

partner. Bank juga menentukan batas waktu bagi berlakunya kontrak musharakh. Di sini tidak ada keseragaman di antara bank-bank Islam dan menjalankan

metode bagi hasil (profit and loss sharing). Walaupun metode bermacam-macam, namun esensinya sama.

E. Prinsip-Prinsip Bank Islam Dalam Perspektif Syariah

Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi

masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil

sesuai dengan prinsip syariah.

Dengan visi misi tersebut, maka setiap lembaga keuangan yang

berdasarkan syariah akan menerapkan prinsip-prinsip syariah berikut ini:58

1. Menjauhkan diri kemungkinan adanya unsur riba. Dapat dilakukan seperti: a. Penggunaan sistem yang menetapkan di muka suatu hasil usaha, seperti

penetapan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional. Dasarnya karena dalam hukum Islam, ”Hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui apa yang akan terjadi esok”;

b. Menghindari penggunaan sistem persentase biaya terhadap utang atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan

58

(22)

secara otomatis utang atau simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu, karena Allah SWT melarang memakan riba berlipat ganda;

c. Menghindari penggunaan sistem perdagangan atau penyewaan barang

ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya Ibarang yang sama dan sejenis, seperti uang rupiah dengan uang rupiah yang masih berlaku) dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas. Karena dasar hukumnya dalam syariah Islam adalah, ”Memperdagangkan atau menyewakan barang ribawidengan imbalan barang yang sama dan sejenis dalam jumlah atau kualitas yang lebih adalah hukumnya riba”; dan

d. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela, seperti penetapan bunga pada bank konvensional. Karena hal ini telah ditetapkan dalam Al-Hadits Shahih yang intinya adalah, ”Membayar utang dengan lebih baik (yaitu diberi tambahan) seperti yang dicontohkan dalam

Al-Hadits, harus atas dasar sukarela dan prakarsanya harus datang dari yang punya utang pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Menerapkan prinsip bagi hasil dan jual beli. Mengacu kepada petunjuk dalam

Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2): 275 dan Surat An-Nisa’ (4): 29 yang intinya bahwa, “Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi Islam harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang atau jasa. Akibatnya, pada kegiatan muamalah berlaku prinsip, “Adanya barang atau jasa dulu baru ada uang”, sehingg ada mendorong prduksi barang atau jasa, mendorong kelancaran arus barang atau jasa, dapat menghindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.

Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat, lembaga

ekonomi Islam menyediakan sarana investasi bagi penyimpan dana dengan sistem

bagi hasil, dan pada sisi penyaluran dana masyarakat disediakan fasilitas

pembiayaan investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.

Investasi bagi penyimpan dana berarti nasabah yang menyimpan dananya

(23)

penyimpan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya dana tersebut

mengendap dan dikelola oleh bank, bisa satu tahun, satu bulan, satu minggu,

bahkan bisa satu hari.

Jadi dalam hal ini, persentase yang digunakan untuk menentukan nisbah

atau porsi bagi hasil tidak termasuk pengertian dalam angka 1.b di atas, karena

persentase ini dikenakan terhadap sesuatu yang tidak pasti besarnya, yaitu hasil

usaha yang dari waktu ke waktu selalu berubah.

Pembiayaan investasi ialah pembiayaan baik sepenuhnya ( Al-Mudharabah) atau sebagaian (Al-Musharakah) terhadap suatu usaha yang tidak berbentuk saham. Dana yang ditempatkan, yang sepenuhnya maupun yang

sebahagian itu tetap menjadi milik bank sehingga pada waktu berakhirnya

kontrak, bank berhak memperoleh bagi hasil dari usaha itu sesuai dengan

kesepakatan.

Jadi dalam hal ini, karena pembiayaan investasi yang dilakukan bank tidak

berupa saham dan dalam jangka waktu terbatas, maka kegiatan ini tidak termasuk

kategori penyertaan modal pada suatu perusahaan lain yang dilarang

undang-undang di Indonesia dilakukan oleh bank.

Dari semua bentuk pembiayaan itu, yang paling disukai sebenarnya adalah

pembiayaan mudharabah. Konon dari tarikh (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Dicontohkan adanya sistem Al-Mudharabah sebagaimana sistem penitipan modal yang dikelola Nabi Muhammad sewaktu beliau dipercaya bahwa sebahagian

barang dagangan Siti Khadijah dari Mekkah ke Negeri Syam. Barang dagangan

(24)

hasilnya dibelikan barang dagangan lainnya untuk dijual lagi di pasar Busyra di

Negeri Syam. Nabi Muhammad melakukan perjalanan untuk mencari sebahagian

karunia Allaw SWT setelah beberapa lama, Nabi Muhammad kembali ke Mekkah

membawa hasil usahanya dan melaporkan kepada Siti Khadijah harta yang telah

dikembangkan itu tentunya dihitung dan dibandingkan dengan harta semula. Harta

semula dikembalikan kepada yang empunya, sedangkan selisihnya natara yang

empunya harta (rabbul mal) dengan yang mengelola (mudharib) sesuai dengan kesepakatan semula.59

Riwayat kehidupan Nabi Muhammad, sebelum beliau berangkat ke Negeri

Syam, Siti Khadijah menjanjikan bagian keuntungan kepadanya 2 (dua) kali lebih

banyak dari yang biasa diberikan kepada orang Qurays lainnya.

59

(25)

BAB IV

PELAKSANAAN BAGI HASIL PERBANKAN SYARIAH BERDASARKAN HUKUM PERBANKAN PADA BANK

SUMUT SYARIAH CABANG LUBUK PAKAM

A. Perkembangan Bank Sumut Syariah Hingga Terbentuknya Bank Syariah Cabang Lubuk Pakam

1. Asal Mula Pembentukan Bank Syariah di Indonesia

Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam telah

membawa pengaruh kepada dunia perbankan Indonesia. Pada awal tahun 1980-an,

diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para

tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Dawam Rahardjo, Saefuddin,

Amien Azis dan lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah

diwujudkan, seperti Baitut Tamwil-Salman, Bandung yang tumbuh secara

mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi

yakni Koperasi Ridho Gusti.60

Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada tanggal 18-20 Agustus

1990 menyelenggrakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Bogor. Hasil

lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI

yang berlangsung di Hotel Sahid Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan

amanat Munas IV MUI dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di

Indonesia.

Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI berfungsi melakukan

pendekatan dan konsolidasi dengan semua pihak terkait. Mereka juga

60

(26)

menyelenggarakan pelatihan calon staf melalui Management Development Program (MDP) di LPPI yang dibuka pada tanggal 29 Maret 1991 oleh Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura, dan meyakinkan beberapa pengusaha

muslim untuk menjadi pemegang saham pendiri.61

Dengan demikian, memperhatikan kemajuan sistem bagi hasil berdasarkan

syariah ini, maka Bank Sumut Syariah ikut berperan dalam meningkatkan

perekonomian masyarakat melalui pembentukan cabang-cabang syariah di

Propinsi Sumatera Utara khususnya di Lubuk Pakam.

2. Bank Muamalat Indonesia Sebagai Pelopor Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI, berdirilah Bank Muamalat

Indonesia pada tanggal 1 November 1991. Untuk membantu kelancaran tim MUI

ini, terutama untuk masalah-masalah legal, maka dibentuklah Tim Hukum ICMI

yang diketuai oleh Drs. Karnean Purwaatmadja, MPA.

Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, konsep bank syariah

masih belum mendapat perhatian yang layak dalam tatanan industri perbankan

nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan prinsip syariah ini

hanya dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil. Tak ada rincian

landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini

tercermin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 92 yang hanya membahas

sistem bagi hasil secara sepintas lalu dan merupakan sisipan belaka.

Berkat kuatnya sokongan umat untuk mendirikan bank ini, baik dari

pemerintah, ulama, maupun masyarakat umum, serta katangkasan Tim Perbankan

61

(27)

MUI dalam bekerja, hanya dalam waktu satu tahun setelah tercetusnya ide, maka

tanggal 1 November 1991 dilaksanakanlah penandatanganan Akte Pendirian Bank

Muamalat Indonesia (BMI) di Sahid Jaya Hotel dengan Akte Notaris Yudo

Paripurno, SH. Izin Menteri Kehakiman Nomor C 2.2413. HT. 01.01. Pada saat

itu terkumpul dana sebanyak Rp. 84 Milyar dan dua hari berselang, tanggal 3

November 1991 Tim MUI mengadakan silaturrahmi dengan Presiden Soeharto

dan masyarakat Jawa Barat di Istana Bogor sehingga total modal telah menjadi

Rp. 116 Milyar.62

Setelah mendapatkan izin, Surat Menteri Keuangan RI Nomor

1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991, Izin Usaha Keputusan Menkeu RI

Nomor 430/KMK:013/1992 tanggal 24 April 1992, pada tanggal 1 Mei 1992 BMI

memulai operasinya dengan memberikan layanan perbankan Islam kepada para

nasabah.

Adapun tjuan umum berdirinya BMI, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah

Islam dan sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia, adalah:

1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat terbanyak

bangsa Indonesia, sehingga semakin berkurang kesenjangan sosial ekonomi,

dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan nasional, antara lain

melalui:

a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan usaha

b. Meningkatkan kesempatan kerja

c. Meningkatkan penghasilan masyarakat banyak

62

(28)

2. Strategi pengembangan:

a. Bekerja sama dengan Bank-Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) yang telah

ada dengan cara:

a) Mengintrodusir dan membina pengembangan produk-produk dan

sistem perbankan berdasarkan syariah Islam;

b) Mengintrodusir sistem pegembangan usaha berdasarkan

kebersamaan dalam permodalan dan resiko; dan

c) Merintis dan mengembangkan kerjasama dengan Lembaga

Swadaya Masyarakat dalam mendukung peningkatan kemampuan

manajerial dan teknologi, peningkatan nilai dan pengembangan

usaha pengusaha kecil dan menengah.

b. Mendorong pengembangan Bank-Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) baru

di daerah-daerah potensional, pengembangan usaha kecil dan menengah

dengan cara:

a) Penyediaan modal perangsang prakarsa;

b) Penyediaan staf BPR dan pelatihan;

c) Penyediaan manual kerja dan pembinaan teknis;

d) Pembinaan lanjutan; dan

e) Merintis dan mengembangkan kerjasama dengan LSM dalam

mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknologi,

peningkatan nilai tambah dan pengembangan usaha pengusaha kecil

(29)

c. Bekerja sama dengan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqoh (Bazis)

mengintensifkan pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqoh untuk

proyek-proyek pengembangan usaha kecil dan menengah.

d. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga

penyediaan bantuan teknik manajemen untuk pengusaha kecil dan

menengah.

e. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga

penyediaan teknologi peningkatan produktifitas.

f. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga

penyediaan bantuan pembinaan keterampilan akuntansi.

g. Mengembangkan peranan kelembagaan dan melancarkan jaringan

penyediaan bahan baku.

h. Mengembangkan peranan kelembagaan penyediaan teknologi pasca panen.

i. Mengembangkan peranan kelembagaan penyediaan hasil produksi.

Dalam menjalankan usaha komersialnya BMI mempunyai 3 prinsip

operasional yang terdiri dari: sistem bagi hasil, sistem jual beli (margin

keuntungan), dan sistem jasa (fee).

Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian

hasil usaha antar penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini

dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan

nasabah penerima dana. Bentuk usaha yang berdasarkan prinsip ini adalah

(30)

Sistem jual beli dengan margin keuntungan merupakan suatu sistem yang

menerapkan tatacara jual beli, dimana bank mengangkat nasabah sebagai agen

bank, dan nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama

bank, kemudian bank akan bertindak sebagai penjual akan menjual barang

tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan

bagi bank (margin/mark-up).

Sistem fee atau jasa meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang berdasarkan prinsip ini, antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa Transfer. Adapun produk-produk yang disediakan BMI untuk pengerahan dana dari

masyarakat berupa:

a. Giro Wadi’ah yaitu dana nasabah yang dititipkan di bank. Setiap saat nasabah berhak mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari

keuntungan pemanfaatan dana giro oleh bank. Besarnya bonus tidak

ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan kebijaksanaan bank.

Sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa untuk

selalu kompetitif.

b. Tabungan Mudharabah, dana yang disimpan nasabah akan dikelola bank untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan diberikan kepada

nasabah berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam produk ini dapat

dilakukan mutasi, sehingga perhitungan saldo rata-rata.

c. Deposito Investasi Mudharabah, dana yang disimpan nasabah hanya bisa ditarik berdasarkan jangka waktu yang telah ditentukan, dengan bagi hasil

(31)

d. Tabungan Haji Mudharabah, adalah simpanan pihak ketiga yang penarikannya dilakukan pada saat nasabah akan menunaikan ibadah haji,

atau pada kondisi-kondisi tertentu sesuai dengan perjanjian nasabah.

Merupakan simpanan dengan memperoleh imbalan bagi hasil

(mudharabah).

e. Tabungan Qurban, adalah simpanan pihak ketiga yang dihimpunkan untuk

Ibadah Qurban dengan penarikan dilakukan pada saat nasabah akan

melaksanakan Ibadah Qurban, atau atas kesepakatan antara pihak bank dan

nasabah. Juga merupakan simpanan yang akan memperoleh imbalan bagi

hasil (mudharabah).

Sedangkan produk untuk penyaluran dana kepada masyarakat berupa:

a) Pembiayaan Mudharabah, bank dapat menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja sepenuhnya, sedangkan nasabah menyediakan

usaha dan managemennya. Hasil keuntungan akan dibagikan sesuai

dengan kesepakatan bersama, dalam bentuk nisbah tertentu dari

keuntungan pembiayaan.

b) Pembiayaan Mudharabah, adalah pembiayan untuk pembelian barang lokal ataupun internasional. Pembiayaan ini mirip dengan kredit modal

kerja dari bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan bisa

lebih dari satu tahun. Bank mendapat keuntungan dari harga barang yang

dinaikkan (harga jual baru yang terdiri dari harga beli ditambah margin

(32)

c) Pembiayaan Bai Bithaman Ajil, adalah pembiayaan untuk pembelian barang dengan cicilan. Pembiayaan ini dicicil mirip dengan kredit

investasi dari bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan

bisa lebih dari satu tahun. Bank mendapat keuntungan dari harga barang

yang dinaikkan (harga jual baru yang terdiri dari harga jual ditambah

margin keuntungan).

d) Pembiayaan Al-Qardhul Hasan, merupakan pinjaman lunak bagi pengusaha kecil yang benar-benar kekurangan modal. Nasabah tidak perlu

membagi keuntungan kepada bank, tapi hanya membayar biaya

administrasi saja yang merupakan biaya-biaya real yang tidak dapat

dihindari untuk terjadinya suatu kontrak, misalnya biaya penelitian proyek,

notaris, upah karyawan dan sebagainya.

e) Pembiayaan Musyarakah, merupakan pembiayaan sebagian dari modal

uasaha keseluruhan, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses

manejemen. Pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian sesuai

proposalnya.

(33)

Kemungkinan-kemungkinan in flow dana Bank Muamalat Indonesia dapat kita lihat dalam bentuk skema di bawah ini:

1.

(Tab Pemuda, Pelajar, Pramuka) 4.

4.1.Deposito Perorangan

4.2. Deposito Lembaga Usaha 4.3. Deposito Lembaga Pendidikan 4.4. Deposito Lembaga Dakwah 4.5. Deposito BPR/Bank/LKBB

(34)

Berikut ini skema kemungkinan-kemungkinan out of flow Dana Bank

Sumber: PT. Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang

A. 1. Mudharabah (Deposito Mudharabah) 2. Makalah (Handing Agent)

3. Musyawarakah (Project Co-Financiang) B. 1. Murabahah (Modal Kerja)

2. Bai Bitsaman Ajil (Modal Investasi) 3. Mudharabah (Trust Financiang)

4. Musyarakah (Project Financiang Participation) 5. Bai Al Dayn (Dept Financing)

6. Qardhul Hasan (Benevolent Loan) C. 1. Murabahah

2. Bai Bitsaman Ajil

3. Musyarakah

4. Mudharabah

5. Qardhul Hasan

Dalam struktur organisasi BMI, pemegang saham bertindak sebagai

pemilik modal dan terdiri atas Umat Islam yang telah berpartisipasi membeli

saham BMI, dari nominal ribuan sampai dengan milyaran.

Untuk tenaga pelaksana, sejak Maret 1991 BMI telah mempersiapkan

calon karyawan melalui Management Development Program, suatu training

(35)

bank-bank umum swasta, Di samping itu menjelang opersional, BMI telah

merekrut beberapa tenaga profesional siap pakai.

Pada tanggal 17 April 2000, BMI kembali melebarkan usahanya dengan

membuka Bank Muamalat Cabang Medan yang berlokasi di Jalan Gadjah Mada

Medan. Direktur BMI, Suhaji Lestiadi, dalam sambutannya menyatakan bahwa

BMI saat ini memiliki kelebihan likuiditas sebesar 200 milyar rupiah, oleh karena

itu 50 milyar rupiah akan dipakai untuk mengembangkan ekonomi ummat di

Medan. Dana tersebut akan disalrkan untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

yang merupakan sektor usaha yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat.

Lebih lanjut Suhaji mengemukakan bahwa hingga per-Maret 2000, BMI

mempunyai total aset 894 milyar rupiah, terdiri atas aset 694 milyar rupiah dan off

balance sheet 200 milyar rupiah. Dana pihak ketiga untuk periode yang sama

sebesar 541 miyar rupiah yang berasal dari 256 ribu nasabah di seluruh Indonesia,

sedangkan dana yang disalurkan mencapai 456 milyar rupiah. BMI memiliki 12

kantor cabang, termasuk di Medan, dan 28 kantor layanan di bawah kantor

cabang, 11 mesin ATM, dan 576 mesin ATM bersama. Adapun keuntungan yang

telah diperoleh BMI adalah sebesar 19 milyar rupiah. Dia menambahkan bahwa

BMI saat ini berada dalam kondisi paling aman karena memiliki capytal adequacy

ratio (CAR) 14%, padahal Bank Indonesia hanya mematok CAR 8% kepada bank

konvensional mulai tahun 2000 ini.63

Iklim segar yang ditunjukkan oleh bank muamalat Indonesia memberikan

kentribusi bagi perbankan syariah di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya

63

(36)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana beberapa pasal-pasal di

dalamnya telah diatur mengenai sistem bagi hasil yang berdasarkan syariah islam.

Dalam undang-undang tersebut sudah jelas landasan hukm serta jenis-jenis usaha

yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.

Undang-uandang tersebut meberikan arahan bagi bank Sumut Syariah Cabang Lubuk

Pakam.

Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat Lubuk

Pakam. Sejumlah bank mulai mencari pelatihan dalam bidang perbankan syariah

bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi

atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana

mengkonvensi diri sepenuhnya menjadi bank syariah.64

Hal demikian merujuk kepada peraturan melalui antisipasi oleh Bank

Indonesia dengan mengadakan pelatihan Perbankan Syariah bagi para pejabat

Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung

seperti DPPB (Direktorat Pengaturan & Pengembangan Bank) kredit,

pengawasan, akuntansi riset dan moneter.

Bank syariah Lubuk Pakam tergolong baru tersebut akan menjadikan

posisi Bank Muamalat Indonesia sangat sentral dalam kencah perbankan syariah

di Indonesia. Selain menjadi prototype atau model bank dengan sistem syariah,

64

(37)

BMI juga memiliki kewajiban moral untuk membantu bank-banak syariah yang

baru berdiri, setidaknya untuk berbagi pengalaman dengan mereka.65.

Bank Muamalat Indonesia pun telah mengambil posisi demikian. Sejumlah

staf ahli BMI ikut terlibat langsung dalam berbagai pelatihan perbankan syariah.

Langkah demikian memang mengandung resiko bagi BMI, terutama menyangkut

transaksi antar bank. Kendala sebagai single fighter ini insya Allah akan dapat

teratasi dengan semakin ramainya pemain di industri bank syariah. Minimal, ada

mitra untuk meminjam di kala kekurangan dana dan di kala kelebihan komoditas.

B. Dasar Hukum Pelaksanaan Bagi Hasil Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah memberi indikasi

penegasan eksistensi prinsip usaha bank berlandaskan syariah dalam Pasal 1

angka 3, yang isinya bahwa, “Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan

kegiatan usaha secara konvensioanl dan atau berdasrakan prinsip syariah yang

dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”

Dari ketentuan di atas, secara eksplisit di Indonesia terdapat 2 (dua)

prinsip dalam perbankan yaitu prinsip perbankan syariah dan prinsip perbankan

konvensional. Namum pada hakikatnya kedua jenis prinsip perbankan ini

65

(38)

mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana

masyarakat dalam bentuk pembiayaan.

Perbedaan paling mendasar antara bank syariah dan bank konvensional

adalah bahwa bank syariah melakukan kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga

(interest free), tetapi berdasarkan prinsip syariah yaitu prinsip pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing pronciple).

Dalam bank syariah, praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung

unsur-unsur riba sejauh mungkin ditinggalkan dan diganti dengan

kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan, karena riba

merupakan suatu dosa besar dalam Islam. Kekhawatiran akan riba inilah yang

merupakan faktor utama berdirinya bank Islam (bank syariah).

Hingga awal abad XX, bank syariah hanya merupakan diskusi teoritis.

Belum ada langkah nyata yang memungkinkan perwujudan ide tersebut. Padahal

telah muncul kesadaran bahwa bank syariah merupakan solusi masalah ekonomi

untuk menghasilakan kesejateraaan sosial yang merata di negara-negara Islam

atau negara-negara berpenduduk Islam.66

Upaya untuk memperkenalkan bank syariah pada saat itu baru berupa

diskusi terbatas atas inisiatif individu. Namun upaya tersebut seolah tenggelam di

tengah kuatnya arus sistem operasional bank-bank non Islam (bank konvensional.

Seolah-olah tidak ada celah yang untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip

syariah. Walaupn belum mempuanyai bentuk konkrit, gagasan tersebut terutama

berkembang, meskipun dengan perlahan. Beberapa uji coba mulai dilakukan,

66

(39)

mulai dari bentuk yang sederhana hingga terbentuknya infra struktur perbankan

yang bebas bunga.

Rintisan bank syariah mulai mewujud di Mesir pada tahun 1960-an yang

beroperasi sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di

Indonesia) di samping delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamar Bank

binaan Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala

kecil. Namun intitusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi

perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam.

Pada sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi Konferensi

Islam (OKI)di Karachi Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah

proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut studi tentang

pendirian Bank Islam International untuk Perdagangan dan Pembangunan

(International Islamic Bank For Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) dikaji para ahli dari 18 negara Islam.

Proposal tersebut pada intinya mengusulkan agar sistem keuangan

berdasakan bunga diganti dengan suatu kerjasama dengan skema bagi hasil

keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima dan sidang menyetujui

rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Proposal

tersebut antara lain mengusulkan untuk: 67

1. Mengatur transaksi komersial antar negara Islam. 2. Mengatur institusi pembangunan dan investasi.

67

(40)

3. Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antar bank sentral di negara Islam sebagai langkah awal untuk terbentuknya sistem perekonomian Islam yang terpadu.

4. Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentral syariah di negara Islam.

5. Mendukung upaya-upaya bank sentra di negara Islam dalam hal pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam.

6. Mengatur administrasi dan mendayagunakan dana zakat. 7. Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral Islam.

Selain hal tersebut di atas, diuraikan pula pembentukan badan-badan

khusus yng disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam

(Investment and Development Body of Islamic Countries). Badan tersebut berfungsi sebagai berikut:68

1. Mengatur investasi modal Islam.

2. Menyeimbangkan investasi dengan pembangunan di negara Islam.

3. Memiliki lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya.

4. Memberi saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk, investasi regional di negara-negara Islam.

Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Bengazhi, Libya, Maret 1973,

usulan tersebut kembali diagendakan. Sidang kemudian juga memutuskan agar

OKI mempunyai bidang yang khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan.

Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil

minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian bank Islam. Rancangan

pendirian bank tersebut berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga,

dibahas pada pertemuan kedua, pada bulan Mei 1974.

Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975, menyetujui

pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB)

68

(41)

dengan modal awal 2 milyar dinar Islam atau ekuivalen dengan 2 milyar SDR

(Special Drawing Right). Semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB. Pada tahun-tahun awal beroperasinya, IDB mengalami banyak hambatan

karena masalah politik. Meskipun demikian, jumlah anggotanya makin meningkat

dari 22 menjadi 43 nehagar. IDB juga terbukti mampu memainkan peran yang

sangat penting dalam memenuhi kebutuhan negara-negara Islam untuk

pembangunan. Bank ini memberikan pinjamanm bebas bunga untuk proyek

infrastruktur dan pembiayaan kepada negara anggota berdasarkan partisipasi

modal negara tersebut.

IDB juga membantu mendirikan bank-bank Islam di bebagai negara.

Untuk pengembangan sistem ekonomi syariah, institusi ini membangun sebuah

institusi riset dan peralihan untuk pengembangan penelitian dan pelatihan

ekonomi Islam, baik perbankan maupun keuangan secara umum lembaga ini

disebut IRTI (International Reseaerch and Training Institute).

Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan

lembaga keuangan syariah. Untuk itu komite ahli IDB pun bekerja keras

menyiapkan paduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank syariah.

Kerja keras mereka membuahkan hasil. Pada akhir periode 1970-an dan awal

dekade 1980-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-negara

Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki.

Secara garis besar lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukkan ke dalam

dua kategori. Pertama, bank Islam komersial (Islamic coomercial bank), dan

(42)

2. Dasar Hukum Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits

Pelaksanaan operasional bank syariah didasarkan atas prinsip-prinsip

berikut:69

1) Larangan riba. Riba dalam Islam hukumnya haram. Hal ini diatur dalam Al Qur’an dan Al-Hadits sebagai dasar hukum , yaitu:

a. Q.S. AlBaqarah (2) : 275-179 b. Q.S. Ali Imran (3) : 130 c. Q.S. Ar-Rum (30) : 39

d. Hadits Rasulullah SAW.

Riwayat Al-Hakim: “Dan sabda Nabi SAW : dosa riba adalah lebih besar di

sisi Allah Ta’ala daripada tiga puluh tiga kali perzinaan yang dilakukan

seorang lelaki dalam Islam”

2) Mengutamakan dan mempromosikan perdagangan dan jual beli. Dasar

hukumnya adalah:

a. Q.S. An-Nisa (4) : 29;

b. Q.S. Faathir (35) : 29-30, Ash-Shaff (61) : 10-11, dan At-Taubah (9) : 111; dan

c. Hadits Rasulullah SAW.

Hadits Riwayat Al-Bazaar, bahwa Nabi SAW pernah ditanya: “Mata

pencaharian apa yang paling baik? Nabi menjawab: “Seorang pekerja dengan

tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mulus dan bersih”.

69

(43)

3) Keadilan. Dasar hukumnya antara lain Q.S.Al-Israa (17): 16-35, An-Nisaa (4): 160-161, Q.S. Al-An’am (6) : 162

4) Kebersamaan dan Tolong Menolong. Dasar hukumnya antar lain Q.S. Al-Asr

(103) : 1-3, Al-A’raf (7) : 10, (4) : 32, Al-Baqarah (2) : 212. Hadits Nabi SAW sebagai berikut:

“Hadits Riwayat Thabrani yang artinya: “Bila kalian telah selesai shalat

shubuh janganlah kalian tidur, lalu mencari rizki kalian”.

Adapun bentuk-bentuk nyata prinsip-prinsip perbankan syariah tersebut di

atas diwujudkan dalam benutuk-bentuk usaha berikut ini:70

a. Al-Wadi’ah. Yaitu perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang) dengan penyimpanan (termasuk bank) dimana pihak penyimpanan

bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang dan atau

uang yang dititipkan kepadanya. Jadi al-wadi’ah ini merupakan titipan

murni yang dipercayakan oleh pemiliknya. Semua manfaat dan

keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tesebut menjadi hak

penyimpan. Dasar hukum Al Wadi’ah ialah: Q.S. Al-Baqarah : 238 dan

Q.S. An-Nisa : 58.

b. Al-Mudharabah. Yaitu perjanjian antar pemilik modal (uang atau barang) dengan pengusaha (enterpreneur). Dalam perjanjian ini pemilik modal membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha dan pengusaha, setuju untuk

mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan

perjanjian. Pemilik modal tidak diperkenankan ikut dalam pengelolaan

70

(44)

usaha, tetapi diperbolehkan membuat usulan dan melakukan pengawasan.

Apabila usaha yang dibiayai mengalami kerugian, maka kerugian tersebut

sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali apabila kerugian

tersebut terjadi karena penyelewengan atau penyalahgunaan oleh

pengusaha. Dasar hukum Al-Mudharabah ialah: Q.S. Al-Muzammil : 20,

Q.S. Al Jumm’ah : 10 dan Q.S. Al-Baqarah : 198.

c. Al-Musyarakah. Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih pemilik modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha.

Keuntungan dari usaha tersebut dibagi sesuai dengan persetujuan antara

pihak-pihak tersebut, yang tidak harus sama dengan pangsa pasar modal

masing-masing pihak. Dalam hal terjadi kerugian, maka pembagian

kerugian dilakukan sesuai pangsa modal masing-masing. Dasar hukum

Al-Musyarakah adalah: Q.S. An-Nisa: 12 dan Q.S Shad : 24, dan Hadits Qudsi

yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW telah

bersabda: “Allah SWT telah berkata, “ Aku menyertai dua pihak yang

sedang berkongsi selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati

yang lain, seandainya berkhianat maka Aku keluar dari peyertaan tersebut”

(HR. Abu Daud).

d. Al-Murabahah dan Al- Bai’u Bithaman Ajil. Al-Murabahah adalah persetujuan jual beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok

ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama dengan

pembayaran ditangguhkan 1bulan sampai 1 tahun. Persetujuan tersebut

(45)

Ajil adalah persetujuan jual beli dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Persetujuan ini

termasuk pula jangka waktu pembayaran dan jumlah angsuran. Dasar

hukum dari kedua jenis persetujuan ini di dalam Al Qur’an adalah : Q.S. An-Nisa : 29 dan Q.S. Al Baqarah : 275 dan Hadits Nabi SAW yang berbunyi:

(1) Dari sabda ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga perkara di

dalamnya terdapat keberkatan, yaitu (1) menjual dengan pembayaran

secara kredit, (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah), (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan

untuk dijual. (HR. Ibnu Majah, Subli Assalam)

(2) Dari Abu Said Al-Hudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan secara suka sama suka”.

(HR. Al Baihaqi, Ibnu Majah dan Sahih menurut Ibnu Hibban).

e. Al-Ijarah dan Al-Ta’jiri. Al-Ijarah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa memanfaatkan barang

tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah

pihak. Setelah masa sewa berakhir, maka barang akan dikembalikan

kepada pemilik. Sedangkan Al-Ta’jiri adalah perjanjian antara barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa untuk memanfaatkan

barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua

belah pihak. Setelah berakhir masa sewa, maka pemilik barang menjual

(46)

pihak. Dasar hukum Al-Ijarah dan Al-Ta’jiri adalah Q. S. Al-Qashas : 26 dan Q. S. At-Thalaq : 6.

f. Al-Qardhul Hasa. Yaitu suatu pinjaman yang diberikan atas kewajiban sosial semata, dimana peminjam tidak berkewajiban untuk mengembalikan

apapun kecuali modal pinjaman dan biaya administrasi. Dasar hukumnya

adalah : Q. S. Al Baqarah : 245 dan Q. S. Al-Muazammil : 20. Dasar hukum berupa Hadits adalah Ibnu Mas’ud ra yang diriwayatkan oleh

Riwayat Muslim, bahwa Rasulullah SAW telah berasbda,

“Barangsiapa yang telah melepaskan saudaranya yang miskin dari satu kesusahan-kesusahan dunia maka Allah akan lepaskan satu kesusahan padanya di hari akhir. Barangsiapa telah membantu saudaranya yang kesulitan di dunia, maka Allah akan membantunya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah selalu membantu seorang hamba, selama hamba tersebut membantu saudaranya”.

Selain fasilitas-fasilitas di atas, bank syariah juga memberikan fasilitas

berupa produk-produk di bawah ini:

1. Al-Kafalah. Yaitu pemberian garansi kepada nasabah untuk menjamin pelaksanaan proyek dan pemenuhan kewajiban tertentu oleh pihak yang

dijamin dengan cara bank meminta pihak yang dijamin dengan cara

meminta pihak yang dijamin untuk menyetorkan sejumlah dana sebagai

setoran jaminan dengan prinsip Al-Wadi’ah. Hasilnya, bank akan memperoleh fee.

2. Al-Hiwalah. Yaitu jasa bank untuk melakukan kegiatan transfer (kiriman uang) atau pengalihan tagihan. Dari kegiatan ini bank akan memperoleh

(47)

3. Al-Wakalah. Yaitu jasa penitipan uang atau surat berharga, untuk itu bank mendapat kuasa dari yang menitipkan untuk mengelola uang atau surat

berharga tersebut. Dalam hal ini bank akan memperoleh fee sebagai jasanya.

4. Al-Sharf. Yaitu kegiatan jual beli suatu mata uang dengan mata uang lainnya. Jika yang diperjualbelikan adalah mata uang yang sama maka

nilai mata uang tersebut haruslah sama dan penyerahannya juga dilakukan

pada waktu yang sama.

1. Pengawasan Pada Bank Syariah

Sebagai lembaga yang mengelola dana masyarakat, bank syariah mesti

diawasi dengan ketat seperti pengawasan yang dijalankan terhadap bank-bank

lainnya. Namun khusus untuk bank syariah diadakan suatu sistem pengawasan

yang lebih cermat, yaitu sistem pengawasan rangkap (two tier), yaitu:71 a. Pengawasan Umum

Pengawasan umum adalah suatu pengawasan yang sama dengan yang

berlaku pada bank umum konvensional. Untuk pengawasan yang sama dengan

yang berlaku pada bank umum konvensional. Untuk pengawasan ini Bank

Indonesia bertindak sebagai pengawas utama, di samping

pengawasan-pengawasan lain seperti pengawasan-pengawasan internal oleh dewan komisaris bank, dan

lain-lain.

b. Pengawasan Syariah

71

Gambar

Tabel 2
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

e) Pembukuan atas pembayaran muqosah (potongan) akibat dipercepatnya pelunasan angsuran oleh nasabah. Pengakuan pendapatan atas pembiayaan murabahah di PT. bank SUMUT Syariah

kompensasi dengan prestasi kerja pada PT Bank Sumut Syariah Cabang Pembantu. Jamin

yang dilakukan pada Bank Sumut Syariah Cabang Pembantu Medan yaitu :.

a. Proses penyelesaian klaim asuransi nasabah pembiayaan murabahah yang meninggal dunia pada PT. Bank Sumut Kantor Cabang Pembantu Syariah Multatuli, dimulai dengan

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan menganalisis pembiayaan mudharabah dalam meningkatkan laba bersih di bank sumut syariah cabang marelan raya medan,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ke-3 bank syariah yang ada di Lubuk Pakam ini pada awalnya sudah pernah melakukan program-program pemberdayaan di

Adapun judul skripsi yang saya susun ini berjudul “Penerapan Akad Murabahah Pada Pembiayaan KPR Syariah di Bank Sumut Syariah Cabang Ringroad Medan Selayang”.. Skripsi

Bank Sumut Cabang Syariah Medan sesuai prinsip dalam akuntansi dikarenakan alasan kehati-hatian, pengakuan pendapatan diterapkan pencatatan secara cash basis sedang