DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdulrahman, A., Ensiklopedia Ekonomi keuangan Perdagangan, Jakarta: Pradya Paramita, 1993.
Antonio, M. Syafi’I., Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Ascarya., Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Azis, Amin., Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku Kesatu, Cetakan Pertama Penerbit Bangkit, 1992.
Antonio, Muhammad Syafi’i., Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999.
El-Ashker, Ahmad Abdel Fattah., The Islamic Business Enterprise, Kent: Croom Helm, 1987..
El-Diawany, Tarek., Bunga Bank & Masalahnya; The Problem With Intesrst; Tinjauan Syar’i dan Ekonomi, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003. Djumhara, Muhammad., Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996.
Fuady, Munir., Hukum Perbankan Modren, Citra Aditya Bakti, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002. Mannan, M. Abdul., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1972.
Qudama, Ibnu., Al-Mughini, Riyad: Maktabat Al-Riyad Al-Haditha, 1981. Saeed, Abdullah., Bank Islam dan Bunga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Solohin, Ahmad Ifham., Ini Lho Bank Syariah!, Cet 1, Jakarta: PT. Grafindo
Media Pratama, 2008.
Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.
______Soerjono., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.
Sjahdeini, Sutan Remy., Perbankan Islam, Putaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Sumitro, Warkum., Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1996.
Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Webster, Noah., Webster ‘s New Universal Unabriged Dictionary, New York-USA: Simon & Schuster, 1979.
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan imdonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.
Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media bekerjasama Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
B. Perundang-Undangan
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Surat Keputusan Dewan Komisaris PT. Bank Sumut No. 42/DK-BPDSU/SK/2001 tanggal 21 Nopember 2001 tentang Visi, Misi, Goal, Objective, Kebijakan, Strategi dan Corporate Culture PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara.
Surat Keputusan Direksi PT. Bank Sumut Nomor 120/DIR/DUSY-PDJS/SK/2009 tentang Pembiayaan Modal Kerja.
Surat Keputusan Direksi PT. Bank Sumut Nomor 087/DIR/DPP-PP/SK/2005 tanggal 5 Juli 2005.
Surat Keputusan Dewan Komisaris PT. Bank Sumut Nomor 42/DK-BPDSU/SK/2001 tanggal 21 Nopember 2001.
C. Makalah, Wawancara, dan Internet
Nasution, Faisal Akbar., “Indentifikasi Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Sistem Pemerintahan dan Sistem Ketatanegaraan”, Disampaikan dalam diskusi, “Menjaring Aspirasi Masyarakat Dalam Upaya Amandemen dan Menyusun Konstitusi”, yang diadakan pada hari Senin tanggal 13 Desember 2004 oleh FITRA SUMUT bekerjasana dengan PSPK Jakarta di Medan.
Mochtar, Dira K., “Kisah Mata Air di Tanah Air”, sumber Perbanas Islamic Economic Forum (PIEF), artikel, Investor, Edisi 156, diterbitkan tanggal 4-16 Oktober 2006.
http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:pxVFmdPlgCgJ:katalog.pdii.lipi.go. id/in, diakses terakhir tanggal 12 Maret 2010.
D. Surat Kabar
Hilman, Eko., Investamia, “Investor”, Edisi 156, tanggal 4-16 Oktober 2006. Tempo Edisi Nomor 38 Tahun XXII tanggal 21 November 1992.
BAB III
TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
A. Prinsip Perbankan Secara Syariah Tercantum Dalam Pancasila dan UUD 1945
Corak perbankan suatu negara sangat banyak dipengaruhi kondisi
lingkungan, baik dari segi sosial budaya maupun segi alam dan sejarah
perkembangannya. Demikian pula corak perbankan Indonesia mempunyai
kekhasan yang membedakannya dengan perbankan di negara lain. Kekhasan ini
banyak dipengaruhi oleh ideologi Pancasila, dan tujuan negara yang tercantum
dalam UUD 1945 dan kemudian dijabarkan lagi dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara.
Kekhasan yang terlihat jelas dalam kehidupan perbankan Indonesia
diantaranya:41
1. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utamanya adalah sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat, dan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak;
2. Perbankan Indonesia sebagai sarana untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, juga guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pelaksanaan perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan, dan kesinambungan unsur-unsur Trilogi Pembangunan;
3. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergerak cepat guna menghadapi tantangan-tantangan yang semakin luas dalam perkembangan perekonomian nasional maupun internasional.
41
Membicarakan masalah perbankan tidak mungkin terlepas dari
pembicaraan tentang uang. Dalam Islam, uang dipandang semata-mata sebagai
alat tukar, bukan suatu komoditi. Oleh karena itu, uang dalam konsepsi Islam
tidak dapat mengahsilkan suatu apapun. Dengan demikian bunga atau riba pada
uang yang dipinjam atau dipinjamkan adalah dilarang.42
Prinsip perbankan secara syariah Islam bersumber pada prinsip Islam
tentang uang. Karena uang tidak dibenarkan menghasilkan pertambahan (riba),
maka bank Islam (bank syariah) dalam kegiatannya tidak bertumpu pada bunga.
Penghasilan bank didapat melalui investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan
perdagangan.
Kedudukan bank dalam hubungan dengan para nasabahnya adalah sebagai
mitra kerja investor dengan pengusaha, sedangkan dalam bank konvensinal
hubungan bank dengan nasabahnya sebagai kreditur (pihak yang berpiutang)
dengan debitur (pihak yang berutang).43
Oleh sebab itu, secara terperinci, prinsip syariah mengandung hal-hal
berikut ini:44
1. Dihadapi bersama antara bank dengan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran;
2. Tindak mengenai kemungkinan terjadinya selisih negatif (negative spread) karena sistem yang digunakan;
3. Tindak bebas nilai;
4. Uang sebagai alat tukar bukan komoditi; 5. Bunga dalam berbagai bentuk dilarang; dan
6. Menggunakan prinsip bagi hasil dan keuntungan atas transaksi riil.
42
M. Abdul Mannan., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1972), hal. 162.
43
Ibid, hal. 164. 44
Berdasarkan prinsip di atas, maka terlihat prinsip perbankan yang dikelola
syariah sangat berbeda dengan perbankan yang pengelolaannya secara
konvensional.
B. Mudharabah dan Musharakah Dalam Wacana Fiqh Islam
1. Mudharabah Dalam Wacana Fiqh
Mudharabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) mempercayakan modalnya kepada pengelola
(mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan. Mudharib dalam hal ini memberikan kontribusi pekerjaan, waktu dan mengelolah usahanya sesuai
dengan ketentuan yang dicapai delam kontrak, salah satunya adalah untuk
mencapai keuntungan (profit) yang dibagi antara pihak investor dan mudharib
berdasarkan proporsi yang telah disetujui bersama. Namun apabila terjadi
kerugian yang menanggung adalah pihak investor saja.45
Al-Qur’an tidak secara langsung menunjuk istilah mudharabah, melainkan melalui akar kata d-r-b yang diungkapkan sebayak lima puluh delapan kali. Dari
beberapa kata inilah yang kamudian mengilhami konsep mudharabah, meskipun tidak dapat disangkal bahwa mudharabah merupakan sebuah perjanan jauh yang bertujuan bisnis. Nabi Muhammad dan para sahabat juga pernah menjalankan
usaha kerjasama berdasarkan bisnis ini.46
45
Murasa Sarkaniputra., “Ruang Lingkup Ekonomi Syari’ah Tinjauan Teori dan Praktik di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syari’ah dan Legislasi Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, di emarang, 6-8 Juni 2006, hal. 2.
46
Menurut Ibn Taiminyah, landasan legal yang membicarakan tentang
mudharabah berdasarkan bebeapa laporan dari sahabat Nabi Muhammad, akan tetapi hadits tersebut sanadnya tidak otentik sampai kepada Nabi. Sedangkan ibn
Hazm mengatakan, “Bahwa tiap-tiap bagian piqh berdasarkan pada al-Qur’an dan sunnah kecuali mudharabah, dimana kita tidak menemukan dasar apapun tentangya.47
Sarakshi yang merupakan ulama mazhab Hanafi mengatakan, mudharabah
diperbolehkan karena orang-orang membutuhkan kontrak ini. Adapun Ibn Rushd
yang merupakan ulama mazhab memiliki, menghormatinya sebagai sebuah
kesepakatan pribadi. Mudharabah tidak merujuk langsung pada al-Qur’an dan Sunnah, tetapi berdasarkan kebiasaan (tradisi) yang dipraktekkan oleh kaum
mislimin, dan bentuk kerjasama perdagangan modal ini tampak langsung terus di
sepanjang awal Islam sebagai instrumen utama yang mendukung para kafilah
untuk mengembangkan jaringan perdagangannya secara luas.48
Mudharabah umumnya digunakan sebagai pendukung dalam memperluas jaringan perdagangan. Karena dengan menerangkan prinsip mudharabah, dapat dilakukan transaksi jual beli dalam ruang lingkup yang luas (perdagangan antar
daerah) maupun antara pedagang di daerah tertentu. Para pengikut mazhab Maliki
dan Syafi’i menegaskan bahwa mudharabah aslinya merupakan pendukung utama dalam memperluas jaringan perdagangan. Mereka menolak mudharabah yang
47
Ibid., hal. 92. 48
diambil alih pengelolaannya, misalnya, aktifitas perusahaan yang pengelolaannya
diserahkan kapada bagian agen.49
Dengan susunan organisasi demikian, pihak agen mempunyai tugas
menangani segala mecam yang berhubungan dengan kontrak ini. Agen
bertanggung jawab mengelolah usaha ini, menyangkut semua kerugian dan
keuntungan yang diperoleh untuk diberikan kepada investor dan mudharib yang juga berhak terhadap pembagian keuntungan yang adil sesuai sengan
pekerjaannya. Meskipun demikian para pengikut mazhab Hanafi memandang
mudharabah sebagai bentuk koordinasi sebagai perdagangan, mereka
membolehkan untuk mencampur modal investasi, berdasarkan ini para investor
dapat mempercayakan sejumlah uangnya kepada agen untuk di kelolah dalam
sistem investasi mudharabah dengan melalui perhitungan dalam bentuk pinjaman
(loan), simpanan (deposit), dan ibda. Tujuan dari kordinasi demikian dimungkinkan untuk memperluas variasi dalam menentukan keuntungan dan
resiko kerugian.
2. Musharakah Dalam Wacana Fiqh
Musharakah atau kerjasama adalah bentuk kedua dari prinsi penerapan prinsip bagi hasil (PLS) yang dipraktekkan dalam sistem perbankan Islam.
Musharakah berasal dari akar kata sh-r-k yang digunakan dalam Al-Qur’an sebanyak 170 (seratus tujuh puluh) kali, meski tidak satu pun dari bentuk tersebut
yang secara jelas menunjukkaan pengertian kerjasama dalam dunia bisnis. Meski
demikian terdapat beberapa versi dalam Al-Qur’an dan juga beberapa keterangan
49
dari Nabi Muhammad serta para sahabat dan ulama yang menyatakan keabsahan
musharakah untuk dilaksanakan dalam dunia bisnis.
Jadi, dalam fiqh, konsep musharakah digunakan dalam pengertian yang lebih luas daripada yang digunakan dalam konsep perbankan Islam.
C. Mudharabah Dalam Sistem Perbankan Islam
Konsep mudharabah umumnya telah dioperasionalkan dalam sistem perbankan Islam di Timur Tengah dewasa ini. Kontrak semacam ini dalam bank
Islam kebanyakan digunakan bertujuan untuk perdagangan jangka pendek dan
jenis usaha tertentu. Kontrak tersebut memberikan wewenang terhadap segala
macam yang menyangkut pembelian dan penjualan barang yang indikasinya untuk
merealisasikan tujuan utama dari perdagangan yang berdasarkan pada kontrak.
Dalam hal ini, posisi mudharib bertindak sebagai nasabah bank Islam untuk meminta pembiayaan usaha berdasarkan kontrak mudharabah. Mudharib
menerima dukungan dana dari bank yang dengan dana tersebut, mudharib dapat mulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang untuk
dijual kepada pembeli, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.50
Sebelum pembiayaan tersebut disetujui, mudharib memberikan penjelasan terlebih dahulu kepada bank mengenai seluk-beluk usaha yang berkaitan dengan
barang, sumber pembelanjaan, maupun seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh barang tersebut. Mudharib mengajukan sejumlah persyaratan
finansial yang memuat beberapa hal menyangkut ketentuan harga penjualan, arus
50
pembayaran, dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Persyaratan tersebut
akan dipelajari oleh pihak bank sebelum memutuskan menyetujui pembiayaan
usaha tersebut. Bank umumnya akan menyetujui membiayai usaha tersebut jika
tingkat keuntungan yang diharapkan cukup menjanjikan.51
1. Modal Mudharabah
Bank Islam dalam melakukan kontrak mudharabah menetukan sejumlah modal yang dipinjamkan ke dalam usaha yang akan dijalankan. Umumnya dana
yang diberikan dalam pembiayaan kontrak mudharabah tidak diberikan kontan, hal ini memungkinkan pihak bank senantiasa mengawasi dan mengelolah usaha
tersebut. Karena dalam kontrak ini pembelanjaan barang dagangan telah
ditemukan dan pihak bank secara langsung akan dapat menyusun pembiayaan
kepada penjual (mudharib).
Dana yang dipinjamkan oleh pihak bank yang dijadikan sebagai modal
usaha tidak boleh diselewengkan mudharib dan tidak boleh digunakan untuk
tujuan lain. Meskipun bank Islam mengluarkan pernyataan bahwa dana yang
dipinjamkan melalui kontrak mudharabah tidak boleh digunakan untuk tujuan lain
dari yang telah ditentukan dalam kontrak, namun tampaknya dalam praktek
tidaklah banyak berarti.
2. Manajemen Mudharabah
Tugas mudharib dalam menjalankan pembiayaan kontrak mudharabah
meliputi mengelolah dan mengatur pembelanjaan, penyimpanan, pemasaran,
maupun penjualan barang dagangan. Mudharib menjamin dalam mengelolah
51
barang tersebut sesuai denagan ketentuan yang telah disepakati dalam pembiayaan
mudharabah. Mudharib bertangggung jawab untuk menanggung segala kerugian yang disebabakan oleh kesalahannya sendiri yang menyimpang dari prosedur
ketentuan kontrak. Pihak bank tidak menanggu kerugian yang disebabkan oleh
kesalahan dari pihak mudharib tersebut. Mudharib harus menjaga barang tersebut dengen segala resikonya dan juga harus menyimpannya secara tepat. Singkatnaya,
mudharib harus tunduk terhadap segala persyaratan yang telah ditentukan dalam
kontrak yang berkaitan dengan pengelolaan usaha. Pelaksanaan tersebut umumnya
diawasi oleh pihak bank.
3. Masa Berlakunya Kontrak Mudharabah
Kontrak mudharabah umumnya digunakan untuk tujuan perdagangan jangka pendek yang dapat dengan mudah menentukan masa berlakunya dan
ketentuan tersebut umumnya berlaku pada bank-bank Islam. Dengan mengetahui
batas berakhirnya kontrak, tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari
pindajamn bank akan dapat dihitung dan diketahui hasilnya, di samping itu juga
penting bagi pihak bank untuk mengakhiri pembiayaan mudharabah dan modal bank akan dikembalikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam
kontrak.
Apabila terjadi perpanjangan masa berlakunya kontrak yang berjalan di
luar kesepakatan di awal kontrak, maka segala resiko yang terjadi dalam kontrak
menjadi tanggung jawab pihak bank, oleh karenanya pihak bank tidak
diperbolehkan merubah tingkat rasio keuntungan yang disepakati sesuai dengan
kontrak mudharabah, sedangkan perpanjangan terhadap masa berlakunya berarti akan mengikis pengembalia modal yang dipinjamkan.52
4. Jaminan Mudharabah
Bank Islam mengambil inisiatif meminta jaminan untuk keyakinan bahwa
modal yang dipinjamkan kepada nasabah (mudharib) diharapkan kembali kepada semula sesuai dengan ketentuan awal ketika berlangsungnya kontrak. Meskipun
dalam hukum Islam dijelaskan bahwa investor tidak diperkenankan meminta jaminan (garansi) dari mudharib.53 Namun dalam bank Islam tetap meminta berbagai macama bentuk jaminan.
Dalam perspektif perbankan Islam ini, jaminan (garansi) tersebut ditekankan kepada nasabah, adalah untuk menghindari hal mana jika terbuki suatu
waktu mudharib atau nasabah tidak mempergunakan atau memanfaatkan dana atau tidak menjaga barang dagangan sebagaimana mestinya berdasarkan
ketentuan persyaratan dari nvestor, dimana mudharib mengalami kerugian, maka jaminan yang diberikan tadi dijadikan sebagai ganti atas kerugian yang
dialaminya. Dalam kasus tersebut mudharib bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi oleh karenanya, jaminan jaminan yang disyaratkan dalam kontrak
menjadi kompensasi pihak dari bank. Jika jaminan tersebut tidak cukup, maka
mudharib harus memberikan tambahan jaminan dalam jangka waktu yang ditentukan.
52
Abdullah Saeed., Op. cit, hal. 102. 53
5. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Mudharabah
Bank Islam dalam melaksanakan kontrak mudharabah membuat kesepakatan dengan nasabah (mudharib) mengenai tingkat perbandingan keuntungan (profit ratio) yang ditentukan dalam kontrak. Perbaningan keuntungan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, kesepakatan dari nasabah,
prediksi keuntungan yang akan diperoleh, respon pasar, kemampuan memasarkan
barang, dan juga masa berlakunya kontrak.
Jika kontrak mudharabah ternyata tidak menghasilkan keuntungan, maka
mudharib selaku pengelola usaha tersebut tidak mendapatkan gaji dari pekerjaannya. Apabila terjadi kerugian, bank menanggung kerugian tersebut
sepanjang tidak terbukti bahwa mudharib tidak menyelewengkan dana
mudharabah berdasarkan atas persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan
investor. Namun jika terbukti akibat kecerobohan dari pihak mudharib, maka
mudharib yang berhak menanggung kerugian itu.
Jelas kelihatan bahwa bahwa bank dapat turut menanggung setiap
terjadinya kerugian, meskipun demikian tidak harus diterima begitu saja. Melalui
segala macam pertimbangan, bank Islam hampir menghilangkan karakter
ketidaktentuan hasil usaha yang melalui kontrak mudharabah. Pertimbangan
resiko dalam bidang usaha ini sebagaimana yang diambil oleh bank Islam dapat
diperkirakan dan diperhitungkan sebelumnya. Berdasarkan alasan, terkesan bhwa
kontrak mudharabah yang dipraktekkan dalam bank Islam memiliki sedikit
perbedaan dengan operasional bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak
Membicarakan kontrak mudharabah sebagaimana yang dipraktekkan oleh
bank Islam mengindikasikan bahwa kontrak tersebut digunakan untuk tujuan jenis
perdagangan jangka waktu pendek (short term commercial) di mana hasil yang akan diperoleh dapat diprediksi kepastiannya. Di sini sebenarnya tidak terdapat
keseimbangan perpindahan modal kepada mudharib untuk menjalankan bisnis
secara bebas. Pihak bank memintak keterangan seara detail mengenai seluk-beluk
yang berkaitan dengan penjualan barang. Setiap terjadi kekeliruan dari
persyaratan kontrak akan membuat mudharib bertanggung jawab untuk menanggu
kerugian yang dialaminya. Pihak bank menentukan masa berlakunya kontrak, juga
memintak jaminan untuk memastikan pengembalian modal sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan, walaupun pihak bank tidak mengungkapkannya secara
ekspisit.
Jadi, dalam melaksanakan sistem bagi hasil, pihak bank bertanggung
jawab menanggung seluruh kerugian, tetapi tidak demikian dalam prakteknya,
karena seringkali pihak bank tidak mudah percaya atas kerugian yang dialami
pihak mudharib. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kontrak mudharabah yang dipraktekkan oleh bank Islam secara siknifikan berbeda dari kontrak mudharabah
sebagaimana uumnya yang digambarkan dalam hukum Islam, atau yang
digambarkan oleh para teoritikus perbankan Islam yang didambakan sebagai
D. Musharakah Dalam SistemPerbankan Islam
International Islamic Bank for Invertsment and Development (IIBID) menjelaskan bahwa musharakah merupakan salah satu cara pembiayaan yang terbaik yang memiliki bank-bank Islam. Prinsip ini dijalankan berdasarkan
partisipasi antara pihak bank dengan pencari biaya (partner potensial) untuk diberikan dalam bentuk proyek usaha, dan partisipasi ini dijalankan berdasarkan
sistem bagi hasil, baik dalam keuntungan (profit) maupun dalam kerugian (loss). Syarat-syarat yang berkenaan dengan kontrak musharakah didasarkan kesepakatan
yang dibicarakan natara kedua belah pihak (bank dan partner). Umumnya, pihak bank menyerahkan modal usaha dan menyerahkan manajemen usaha tersebut
kepada partner. Musharakah yang dipahami dalam bank Islam merupakan sebuah mekanisme kerja (akumulasi antara pekerja dan modal) yang memberikan manfaat
kepada masyarakat luas dalam produksi barang maupun pelanyanan terhadap
kebutuhan masyarakat. Kontrak musharakah dapat digunakan berbagai macam lapangan uasaha yang indikasinya bermuara untuk menghasilkan keuntungan
(profit).54
Walaupun demikian beberapa konseptor perbankan Islam tanpaknya
mengunakan pengertian musharakah sebagai partisipasi dalam investasi terhadap
suatu usaha tertentu, yang dalam bank-bank Islam digunakan dalam pengertian
yang lebih luas. Berdasarkan ini, musharakah dapat digunkan untuk tujuan
investasi dalam jangka waktu pendek atau juga untuk partisipasi dalam waktu
panjang. Adapun bentuk pembiayaan musharakah yang digunakan bank Islam
54
meliputi; musharakah untuk perdagangan (commercial musharakah), keikutsertaan untuk sementara (decreasing partisipation), keikutsertaan untuk selamanya (permanent partisipation).
1. Modal Musharakah
Bank Islam umumnya memberikan bagian modal dari usaha musharakah
dan nasabah (partner) memberikan lain-lainnya. Ketentuan perbandingan bagi (profit and loss sharing) dari hasil usaha tidak ditetapkan secara khusus. Tingkat perbandingan bagian bank dengan nasabah ditentukan menurut kesepakatan dan
melalui pertimbangan besarnya pembiayaan modal yang diberikan oleh partner
dalam usaha musharakah. Padahal pihak bank lebih mempu untuk membiayai
usaha dengan persentasi modal yang lebih tinggi, tidak sama halnya dengan
partner yang lebih sedikit dalam membiayai modal usaha. Meskipun bengitu,
penentuan persentase berdasarkan pada keadaan (besarnya modal yang disertakan)
yang sebenarnya.
Kontrak musharakah berdasarkan pada syarat dan ketentuan yang jelas.
Diantaranya adalah menyangkut bagian modal bank beserta hasil usaha yang
diharapkan dalam kontrak diberikan oleh partner kepada bank sesuai dengan masa yang ditentukan. Atau sejumlah persyaratan tersebut dalam mengelolah
usaha musharakah.
Pihak partner menyediakan barang-barang musharakah di bawah pengawasan bersama (bank dan partner) dan tidak ada barang yang boleh dijual sampai harga jual dicantumkan dalam ketentuan musharakah. Pihak partner
pertimbangan yang terbaik. Barang-barang yang dijual berdasarkan persetujuan
harga dari bank dan partner yang ditentukan bagian kontrak. Partner tidakdapat menjual barang-barang padda tingkat harga yang lebih rendah dari pada
persetujuan yang telah ditetapkan dalam kontrak, kecuali kalau disertai
persetujuan dari bank. Jika partner menjual barang usaha musharakah lebih rendah
tanpa disertai perseujuan dari bank, maka dia harus mengganti kepada bank
dengan selisihnya. Partner harus menjaga dan menyiapkan catatan-catatan akuntan dari usaha musharakah dengan disertai bukti yang relevan dan sah yang
dapat diterima
2. Jaminan Musharakah
Meskipun seluruh mazhab hukum tidak membolehkan meminta jaminan
dari pihak patner sebagai kepercayaan, bank-bank Islam tetap mengharuskan
partner mereka untuk memberikan jaminan melindungi kepentingan bank dalam kontrak musharakah.
Pihak pertama (bank) mempunyai hak untuk meminta kepada pihak kedua
apabila jaminan yang diberikan kepada pihak pertma atidak cukup. Ini dapat
dilakukan seminggu setelah peringatan kepada pihak kedua tanpa keberatan atau
penundaan.
Berbagai bentuk jaminan yang diminta oleh bank-bank Islam dari partner
mereka, jenis-jenisnya sebagai berikut:55
1. Berupa cek yang diserahkan partenr kepada bank. Jumlah cek nilainya sama dengan investasi bank dalam kontrak musharakah. Bank tidak menggunakan cek tersebut kecuali kalau partner melakukan pelanggaran dari persyaratan dalam kontrak;
55
2. Rekening dan tanda pembayaran dari penjualan barang-barang
musharakah kepada pihak ketiga yang dilakukan berdasarkan pembayaran yang ditangguhkan, catatan tersebut harus disetorkan kepada bank;
3. Bank memiliki hak untuk meminta catatan saldo keuangan, dokumen atau surat-surat perdagangan milik partenr untuk disimpan oleh bank, jika
partenr tidak dapat membayar bagian bank dari hasil usaha musharakah, bank dapat mengambilnya dari surat perdagangan yang disimpan di bank; 4. Bank menganggap dirinya sebagai pemilik barang-barang musaharakah
mulai dari pembelian hingga penjualan barang-barang tersebut; dan
5. Dalam kasus apabila barang-barang musharakah dijual kepada pihak ketiga dengan berdasarkan pada pembayaran yang ditangguhkan, pihak bank mempunyai hak untuk memintan partenr sebagai jaminan dan memberikan jaminan secara mutlak (kafala mutlaka) kepada partenr atas hutang yang diberikan kepada pihak ketiga.
Kalau diteliti lebih lanjut, saat ini tampaknya bank-bank Islam menghindar
dari berbagai problem yang akan menyebabkan kerugian. Hal ini cukup
mengherankan, jika dalam merealisasikan kerjasama, sebagaimana dijelaskan
dalam fiqh, bank mempunyai kebenaran moral untuk melepas semua tanggung jawab tersebut kepada partner.
3. Masa Berlakunya Kontrak Musharakah
Kontrak musharakah dalam perdagangan kebanyakan dilakukan untuk jangka waktu pendek dan untuk tujuan khusus. Jika masa berlakunya kontrak
ternyata kurang, maka dapat diperpanjang masa kontrak tersebut melalui
persetujuan dari kedua belah pihak. Kontrak musharakah dapat diakhiri melalui persetujuan kedua belah pihak dengan catatan, bahwa pihak partner membayar kepada pihak bank semua tanggung jawab yang timbul dari pemberhentian
kontrak.
Bank dapat memintak mengakhiri kontrak musharakah jika bank
memandang apabila kontrak tersebut tetap dilangsungkan akan sia-sia tanpa hasil
Bank dapat melakukan ini dengan jalan tanpa melalui peringatan terlebih dahulu
atau bersumber dari seperangkat aturan hukum yang mengatur pemberhentian
kontrak tersebut.56
Jadi, bank Islam perlu merealisasikan pentingnya pertimbangan
menghargai waktu dan mendesak dalam melaksanakan musharakah, dimana
partner diwajibkan untuk membayar bagian keuntungan bank beserta modal usaha berdasarkan pada data yang ditentukan dalam kontrak. Apabila terjadi
keterlambatan pembayaran, maka bagian keuntungan partner yang diperbolehkan
sebagai ongkos pengelolaan usaha kemungkinan dapat dipotong atau dikurangi.
Namun jika partner membayar jumlah tanggungannya sebelum masanya, maka bagian keuntungan yang memiliki partner sebagai ongkos dari pengelolaan usaha
musharakah kemungkinan dapat ditambah.
4. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Musharakah
Bank-bank umumnya tidak sama dalam menjalankan bagi hasil (profit and loss sharing) dari proyek usaha mereka yang berdasarkan pada pembiayaan kontrak musharakah. Prinsip bagi hasil secara luas dilaksanakan tergantung pada
peranan partner dalam mengelolah proyek usaha musharakah, konstribusi modal diberikan dari kedua belah pihak yaitu partner dan bank. Apabila dari pembiayaan
musharakah untuk tujuan perdagangan misalnya menawarkan pembagian keuntungan musharakah sebagai berikut: (a) menentukan tingkat persentase
partner berdasarkan usaha-usahanya dalam pembelian, penjualan, penyimpanan,
dan seluruh tangguhan yang berkaitan dengan musharakah, (b) menentukan
56
tingkat persentase bagi bank berdasarkan pengawasan dan manajemenya terdapat
proyek musharakah, (c) menurut tingkat persentase keuntungan yang akan diterima kedua belah pihak berdasarkan ratio perbandingan konstribusi modal
yang disertakan dalam kontrak musharakah.57
Jordan Islamic Bank (JIB) dalam membagi tingkat persentse keuntungan
tidak mempertimbangkan bagian persentase dari segi manajemen. Hanya
menuntukan dari keuntungan bersih yang akan dibagikan antara bank dan partner
berdasarkan persetujuan bersama yang dilakukan dalam kontrak musharakah.
Bank Mesir menentukan bagian tingkat persentase keuntungan berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut: (a) tingkat persentase yang diterima bank
berdasarkan pada pelanyanan perbankannya, (b) tingkat persentase ynag diterima
partner ditentukan berdasarkan berdasarkan barang-barang dan manajemennya.
Persentase saldo usaha akan dialokasikan kepada bank dan partner.
Pelanggaran pihak partner terhadap ketentuan kontrak, maka kerugian tersebut dapat dibagi antara kedua belah pihak menurut tingkat persentse modal
yang disertakan pada kontrak. Sebaliknya apabila kerugian tersebut akibat dari
kelalaian, kesalahan manajemen, atau pelanggaran pihak partner terhadap ketentuan kontrak, maka partner harus bertanggung jawab atas semua kerugian
tersebut.
Pembicaraan di atas menunjukkan bahwa musharakah yang digunakan dalam bank Islam bentuknya bervariasi, bank Islam tampaknya cenderung
dominan menggunakan bentuk musharakah dalam perdagangan untuk jangka
57
waktu pendek, meskipu bentuk lainnya tetap dipergunakan. Dalam pembiayaan
musharakah, kontribusi modalnya berasal dari bank dan partner. Pihak bank mengawasi bagaimana usaha musharakah dijalankan, hingga bank memastikan
menerima pengembalian investasi awal yang diberikan beserta keuntungan yang
diperoleh. Bank juga memintak berbagai macam garansi yang dijadikan untuk
melindungi kepentinganya dalam usaha tersebut, dan dengan garansi ini
kelihatanya bank berusaha melempar segala resiko usaha musharakah kepada
partner. Bank juga menentukan batas waktu bagi berlakunya kontrak musharakh. Di sini tidak ada keseragaman di antara bank-bank Islam dan menjalankan
metode bagi hasil (profit and loss sharing). Walaupun metode bermacam-macam, namun esensinya sama.
E. Prinsip-Prinsip Bank Islam Dalam Perspektif Syariah
Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi
masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil
sesuai dengan prinsip syariah.
Dengan visi misi tersebut, maka setiap lembaga keuangan yang
berdasarkan syariah akan menerapkan prinsip-prinsip syariah berikut ini:58
1. Menjauhkan diri kemungkinan adanya unsur riba. Dapat dilakukan seperti: a. Penggunaan sistem yang menetapkan di muka suatu hasil usaha, seperti
penetapan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional. Dasarnya karena dalam hukum Islam, ”Hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui apa yang akan terjadi esok”;
b. Menghindari penggunaan sistem persentase biaya terhadap utang atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan
58
secara otomatis utang atau simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu, karena Allah SWT melarang memakan riba berlipat ganda;
c. Menghindari penggunaan sistem perdagangan atau penyewaan barang
ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya Ibarang yang sama dan sejenis, seperti uang rupiah dengan uang rupiah yang masih berlaku) dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas. Karena dasar hukumnya dalam syariah Islam adalah, ”Memperdagangkan atau menyewakan barang ribawidengan imbalan barang yang sama dan sejenis dalam jumlah atau kualitas yang lebih adalah hukumnya riba”; dan
d. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela, seperti penetapan bunga pada bank konvensional. Karena hal ini telah ditetapkan dalam Al-Hadits Shahih yang intinya adalah, ”Membayar utang dengan lebih baik (yaitu diberi tambahan) seperti yang dicontohkan dalam
Al-Hadits, harus atas dasar sukarela dan prakarsanya harus datang dari yang punya utang pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Menerapkan prinsip bagi hasil dan jual beli. Mengacu kepada petunjuk dalam
Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2): 275 dan Surat An-Nisa’ (4): 29 yang intinya bahwa, “Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi Islam harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang atau jasa. Akibatnya, pada kegiatan muamalah berlaku prinsip, “Adanya barang atau jasa dulu baru ada uang”, sehingg ada mendorong prduksi barang atau jasa, mendorong kelancaran arus barang atau jasa, dapat menghindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.
Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat, lembaga
ekonomi Islam menyediakan sarana investasi bagi penyimpan dana dengan sistem
bagi hasil, dan pada sisi penyaluran dana masyarakat disediakan fasilitas
pembiayaan investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.
Investasi bagi penyimpan dana berarti nasabah yang menyimpan dananya
penyimpan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya dana tersebut
mengendap dan dikelola oleh bank, bisa satu tahun, satu bulan, satu minggu,
bahkan bisa satu hari.
Jadi dalam hal ini, persentase yang digunakan untuk menentukan nisbah
atau porsi bagi hasil tidak termasuk pengertian dalam angka 1.b di atas, karena
persentase ini dikenakan terhadap sesuatu yang tidak pasti besarnya, yaitu hasil
usaha yang dari waktu ke waktu selalu berubah.
Pembiayaan investasi ialah pembiayaan baik sepenuhnya ( Al-Mudharabah) atau sebagaian (Al-Musharakah) terhadap suatu usaha yang tidak berbentuk saham. Dana yang ditempatkan, yang sepenuhnya maupun yang
sebahagian itu tetap menjadi milik bank sehingga pada waktu berakhirnya
kontrak, bank berhak memperoleh bagi hasil dari usaha itu sesuai dengan
kesepakatan.
Jadi dalam hal ini, karena pembiayaan investasi yang dilakukan bank tidak
berupa saham dan dalam jangka waktu terbatas, maka kegiatan ini tidak termasuk
kategori penyertaan modal pada suatu perusahaan lain yang dilarang
undang-undang di Indonesia dilakukan oleh bank.
Dari semua bentuk pembiayaan itu, yang paling disukai sebenarnya adalah
pembiayaan mudharabah. Konon dari tarikh (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Dicontohkan adanya sistem Al-Mudharabah sebagaimana sistem penitipan modal yang dikelola Nabi Muhammad sewaktu beliau dipercaya bahwa sebahagian
barang dagangan Siti Khadijah dari Mekkah ke Negeri Syam. Barang dagangan
hasilnya dibelikan barang dagangan lainnya untuk dijual lagi di pasar Busyra di
Negeri Syam. Nabi Muhammad melakukan perjalanan untuk mencari sebahagian
karunia Allaw SWT setelah beberapa lama, Nabi Muhammad kembali ke Mekkah
membawa hasil usahanya dan melaporkan kepada Siti Khadijah harta yang telah
dikembangkan itu tentunya dihitung dan dibandingkan dengan harta semula. Harta
semula dikembalikan kepada yang empunya, sedangkan selisihnya natara yang
empunya harta (rabbul mal) dengan yang mengelola (mudharib) sesuai dengan kesepakatan semula.59
Riwayat kehidupan Nabi Muhammad, sebelum beliau berangkat ke Negeri
Syam, Siti Khadijah menjanjikan bagian keuntungan kepadanya 2 (dua) kali lebih
banyak dari yang biasa diberikan kepada orang Qurays lainnya.
59
BAB IV
PELAKSANAAN BAGI HASIL PERBANKAN SYARIAH BERDASARKAN HUKUM PERBANKAN PADA BANK
SUMUT SYARIAH CABANG LUBUK PAKAM
A. Perkembangan Bank Sumut Syariah Hingga Terbentuknya Bank Syariah Cabang Lubuk Pakam
1. Asal Mula Pembentukan Bank Syariah di Indonesia
Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam telah
membawa pengaruh kepada dunia perbankan Indonesia. Pada awal tahun 1980-an,
diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para
tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Dawam Rahardjo, Saefuddin,
Amien Azis dan lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah
diwujudkan, seperti Baitut Tamwil-Salman, Bandung yang tumbuh secara
mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi
yakni Koperasi Ridho Gusti.60
Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada tanggal 18-20 Agustus
1990 menyelenggrakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Bogor. Hasil
lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI
yang berlangsung di Hotel Sahid Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan
amanat Munas IV MUI dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di
Indonesia.
Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI berfungsi melakukan
pendekatan dan konsolidasi dengan semua pihak terkait. Mereka juga
60
menyelenggarakan pelatihan calon staf melalui Management Development Program (MDP) di LPPI yang dibuka pada tanggal 29 Maret 1991 oleh Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura, dan meyakinkan beberapa pengusaha
muslim untuk menjadi pemegang saham pendiri.61
Dengan demikian, memperhatikan kemajuan sistem bagi hasil berdasarkan
syariah ini, maka Bank Sumut Syariah ikut berperan dalam meningkatkan
perekonomian masyarakat melalui pembentukan cabang-cabang syariah di
Propinsi Sumatera Utara khususnya di Lubuk Pakam.
2. Bank Muamalat Indonesia Sebagai Pelopor Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI, berdirilah Bank Muamalat
Indonesia pada tanggal 1 November 1991. Untuk membantu kelancaran tim MUI
ini, terutama untuk masalah-masalah legal, maka dibentuklah Tim Hukum ICMI
yang diketuai oleh Drs. Karnean Purwaatmadja, MPA.
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, konsep bank syariah
masih belum mendapat perhatian yang layak dalam tatanan industri perbankan
nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan prinsip syariah ini
hanya dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil. Tak ada rincian
landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini
tercermin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 92 yang hanya membahas
sistem bagi hasil secara sepintas lalu dan merupakan sisipan belaka.
Berkat kuatnya sokongan umat untuk mendirikan bank ini, baik dari
pemerintah, ulama, maupun masyarakat umum, serta katangkasan Tim Perbankan
61
MUI dalam bekerja, hanya dalam waktu satu tahun setelah tercetusnya ide, maka
tanggal 1 November 1991 dilaksanakanlah penandatanganan Akte Pendirian Bank
Muamalat Indonesia (BMI) di Sahid Jaya Hotel dengan Akte Notaris Yudo
Paripurno, SH. Izin Menteri Kehakiman Nomor C 2.2413. HT. 01.01. Pada saat
itu terkumpul dana sebanyak Rp. 84 Milyar dan dua hari berselang, tanggal 3
November 1991 Tim MUI mengadakan silaturrahmi dengan Presiden Soeharto
dan masyarakat Jawa Barat di Istana Bogor sehingga total modal telah menjadi
Rp. 116 Milyar.62
Setelah mendapatkan izin, Surat Menteri Keuangan RI Nomor
1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991, Izin Usaha Keputusan Menkeu RI
Nomor 430/KMK:013/1992 tanggal 24 April 1992, pada tanggal 1 Mei 1992 BMI
memulai operasinya dengan memberikan layanan perbankan Islam kepada para
nasabah.
Adapun tjuan umum berdirinya BMI, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
Islam dan sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia, adalah:
1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat terbanyak
bangsa Indonesia, sehingga semakin berkurang kesenjangan sosial ekonomi,
dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan nasional, antara lain
melalui:
a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan usaha
b. Meningkatkan kesempatan kerja
c. Meningkatkan penghasilan masyarakat banyak
62
2. Strategi pengembangan:
a. Bekerja sama dengan Bank-Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) yang telah
ada dengan cara:
a) Mengintrodusir dan membina pengembangan produk-produk dan
sistem perbankan berdasarkan syariah Islam;
b) Mengintrodusir sistem pegembangan usaha berdasarkan
kebersamaan dalam permodalan dan resiko; dan
c) Merintis dan mengembangkan kerjasama dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat dalam mendukung peningkatan kemampuan
manajerial dan teknologi, peningkatan nilai dan pengembangan
usaha pengusaha kecil dan menengah.
b. Mendorong pengembangan Bank-Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) baru
di daerah-daerah potensional, pengembangan usaha kecil dan menengah
dengan cara:
a) Penyediaan modal perangsang prakarsa;
b) Penyediaan staf BPR dan pelatihan;
c) Penyediaan manual kerja dan pembinaan teknis;
d) Pembinaan lanjutan; dan
e) Merintis dan mengembangkan kerjasama dengan LSM dalam
mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknologi,
peningkatan nilai tambah dan pengembangan usaha pengusaha kecil
c. Bekerja sama dengan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqoh (Bazis)
mengintensifkan pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqoh untuk
proyek-proyek pengembangan usaha kecil dan menengah.
d. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga
penyediaan bantuan teknik manajemen untuk pengusaha kecil dan
menengah.
e. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga
penyediaan teknologi peningkatan produktifitas.
f. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga
penyediaan bantuan pembinaan keterampilan akuntansi.
g. Mengembangkan peranan kelembagaan dan melancarkan jaringan
penyediaan bahan baku.
h. Mengembangkan peranan kelembagaan penyediaan teknologi pasca panen.
i. Mengembangkan peranan kelembagaan penyediaan hasil produksi.
Dalam menjalankan usaha komersialnya BMI mempunyai 3 prinsip
operasional yang terdiri dari: sistem bagi hasil, sistem jual beli (margin
keuntungan), dan sistem jasa (fee).
Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian
hasil usaha antar penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini
dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan
nasabah penerima dana. Bentuk usaha yang berdasarkan prinsip ini adalah
Sistem jual beli dengan margin keuntungan merupakan suatu sistem yang
menerapkan tatacara jual beli, dimana bank mengangkat nasabah sebagai agen
bank, dan nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama
bank, kemudian bank akan bertindak sebagai penjual akan menjual barang
tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan
bagi bank (margin/mark-up).
Sistem fee atau jasa meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang berdasarkan prinsip ini, antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa Transfer. Adapun produk-produk yang disediakan BMI untuk pengerahan dana dari
masyarakat berupa:
a. Giro Wadi’ah yaitu dana nasabah yang dititipkan di bank. Setiap saat nasabah berhak mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari
keuntungan pemanfaatan dana giro oleh bank. Besarnya bonus tidak
ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan kebijaksanaan bank.
Sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa untuk
selalu kompetitif.
b. Tabungan Mudharabah, dana yang disimpan nasabah akan dikelola bank untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan diberikan kepada
nasabah berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam produk ini dapat
dilakukan mutasi, sehingga perhitungan saldo rata-rata.
c. Deposito Investasi Mudharabah, dana yang disimpan nasabah hanya bisa ditarik berdasarkan jangka waktu yang telah ditentukan, dengan bagi hasil
d. Tabungan Haji Mudharabah, adalah simpanan pihak ketiga yang penarikannya dilakukan pada saat nasabah akan menunaikan ibadah haji,
atau pada kondisi-kondisi tertentu sesuai dengan perjanjian nasabah.
Merupakan simpanan dengan memperoleh imbalan bagi hasil
(mudharabah).
e. Tabungan Qurban, adalah simpanan pihak ketiga yang dihimpunkan untuk
Ibadah Qurban dengan penarikan dilakukan pada saat nasabah akan
melaksanakan Ibadah Qurban, atau atas kesepakatan antara pihak bank dan
nasabah. Juga merupakan simpanan yang akan memperoleh imbalan bagi
hasil (mudharabah).
Sedangkan produk untuk penyaluran dana kepada masyarakat berupa:
a) Pembiayaan Mudharabah, bank dapat menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja sepenuhnya, sedangkan nasabah menyediakan
usaha dan managemennya. Hasil keuntungan akan dibagikan sesuai
dengan kesepakatan bersama, dalam bentuk nisbah tertentu dari
keuntungan pembiayaan.
b) Pembiayaan Mudharabah, adalah pembiayan untuk pembelian barang lokal ataupun internasional. Pembiayaan ini mirip dengan kredit modal
kerja dari bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan bisa
lebih dari satu tahun. Bank mendapat keuntungan dari harga barang yang
dinaikkan (harga jual baru yang terdiri dari harga beli ditambah margin
c) Pembiayaan Bai Bithaman Ajil, adalah pembiayaan untuk pembelian barang dengan cicilan. Pembiayaan ini dicicil mirip dengan kredit
investasi dari bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan
bisa lebih dari satu tahun. Bank mendapat keuntungan dari harga barang
yang dinaikkan (harga jual baru yang terdiri dari harga jual ditambah
margin keuntungan).
d) Pembiayaan Al-Qardhul Hasan, merupakan pinjaman lunak bagi pengusaha kecil yang benar-benar kekurangan modal. Nasabah tidak perlu
membagi keuntungan kepada bank, tapi hanya membayar biaya
administrasi saja yang merupakan biaya-biaya real yang tidak dapat
dihindari untuk terjadinya suatu kontrak, misalnya biaya penelitian proyek,
notaris, upah karyawan dan sebagainya.
e) Pembiayaan Musyarakah, merupakan pembiayaan sebagian dari modal
uasaha keseluruhan, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses
manejemen. Pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian sesuai
proposalnya.
Kemungkinan-kemungkinan in flow dana Bank Muamalat Indonesia dapat kita lihat dalam bentuk skema di bawah ini:
1.
(Tab Pemuda, Pelajar, Pramuka) 4.
4.1.Deposito Perorangan
4.2. Deposito Lembaga Usaha 4.3. Deposito Lembaga Pendidikan 4.4. Deposito Lembaga Dakwah 4.5. Deposito BPR/Bank/LKBB
Berikut ini skema kemungkinan-kemungkinan out of flow Dana Bank
Sumber: PT. Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang
A. 1. Mudharabah (Deposito Mudharabah) 2. Makalah (Handing Agent)
3. Musyawarakah (Project Co-Financiang) B. 1. Murabahah (Modal Kerja)
2. Bai Bitsaman Ajil (Modal Investasi) 3. Mudharabah (Trust Financiang)
4. Musyarakah (Project Financiang Participation) 5. Bai Al Dayn (Dept Financing)
6. Qardhul Hasan (Benevolent Loan) C. 1. Murabahah
2. Bai Bitsaman Ajil
3. Musyarakah
4. Mudharabah
5. Qardhul Hasan
Dalam struktur organisasi BMI, pemegang saham bertindak sebagai
pemilik modal dan terdiri atas Umat Islam yang telah berpartisipasi membeli
saham BMI, dari nominal ribuan sampai dengan milyaran.
Untuk tenaga pelaksana, sejak Maret 1991 BMI telah mempersiapkan
calon karyawan melalui Management Development Program, suatu training
bank-bank umum swasta, Di samping itu menjelang opersional, BMI telah
merekrut beberapa tenaga profesional siap pakai.
Pada tanggal 17 April 2000, BMI kembali melebarkan usahanya dengan
membuka Bank Muamalat Cabang Medan yang berlokasi di Jalan Gadjah Mada
Medan. Direktur BMI, Suhaji Lestiadi, dalam sambutannya menyatakan bahwa
BMI saat ini memiliki kelebihan likuiditas sebesar 200 milyar rupiah, oleh karena
itu 50 milyar rupiah akan dipakai untuk mengembangkan ekonomi ummat di
Medan. Dana tersebut akan disalrkan untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
yang merupakan sektor usaha yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat.
Lebih lanjut Suhaji mengemukakan bahwa hingga per-Maret 2000, BMI
mempunyai total aset 894 milyar rupiah, terdiri atas aset 694 milyar rupiah dan off
balance sheet 200 milyar rupiah. Dana pihak ketiga untuk periode yang sama
sebesar 541 miyar rupiah yang berasal dari 256 ribu nasabah di seluruh Indonesia,
sedangkan dana yang disalurkan mencapai 456 milyar rupiah. BMI memiliki 12
kantor cabang, termasuk di Medan, dan 28 kantor layanan di bawah kantor
cabang, 11 mesin ATM, dan 576 mesin ATM bersama. Adapun keuntungan yang
telah diperoleh BMI adalah sebesar 19 milyar rupiah. Dia menambahkan bahwa
BMI saat ini berada dalam kondisi paling aman karena memiliki capytal adequacy
ratio (CAR) 14%, padahal Bank Indonesia hanya mematok CAR 8% kepada bank
konvensional mulai tahun 2000 ini.63
Iklim segar yang ditunjukkan oleh bank muamalat Indonesia memberikan
kentribusi bagi perbankan syariah di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya
63
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana beberapa pasal-pasal di
dalamnya telah diatur mengenai sistem bagi hasil yang berdasarkan syariah islam.
Dalam undang-undang tersebut sudah jelas landasan hukm serta jenis-jenis usaha
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.
Undang-uandang tersebut meberikan arahan bagi bank Sumut Syariah Cabang Lubuk
Pakam.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat Lubuk
Pakam. Sejumlah bank mulai mencari pelatihan dalam bidang perbankan syariah
bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi
atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana
mengkonvensi diri sepenuhnya menjadi bank syariah.64
Hal demikian merujuk kepada peraturan melalui antisipasi oleh Bank
Indonesia dengan mengadakan pelatihan Perbankan Syariah bagi para pejabat
Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung
seperti DPPB (Direktorat Pengaturan & Pengembangan Bank) kredit,
pengawasan, akuntansi riset dan moneter.
Bank syariah Lubuk Pakam tergolong baru tersebut akan menjadikan
posisi Bank Muamalat Indonesia sangat sentral dalam kencah perbankan syariah
di Indonesia. Selain menjadi prototype atau model bank dengan sistem syariah,
64
BMI juga memiliki kewajiban moral untuk membantu bank-banak syariah yang
baru berdiri, setidaknya untuk berbagi pengalaman dengan mereka.65.
Bank Muamalat Indonesia pun telah mengambil posisi demikian. Sejumlah
staf ahli BMI ikut terlibat langsung dalam berbagai pelatihan perbankan syariah.
Langkah demikian memang mengandung resiko bagi BMI, terutama menyangkut
transaksi antar bank. Kendala sebagai single fighter ini insya Allah akan dapat
teratasi dengan semakin ramainya pemain di industri bank syariah. Minimal, ada
mitra untuk meminjam di kala kekurangan dana dan di kala kelebihan komoditas.
B. Dasar Hukum Pelaksanaan Bagi Hasil Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah memberi indikasi
penegasan eksistensi prinsip usaha bank berlandaskan syariah dalam Pasal 1
angka 3, yang isinya bahwa, “Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensioanl dan atau berdasrakan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”
Dari ketentuan di atas, secara eksplisit di Indonesia terdapat 2 (dua)
prinsip dalam perbankan yaitu prinsip perbankan syariah dan prinsip perbankan
konvensional. Namum pada hakikatnya kedua jenis prinsip perbankan ini
65
mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat dalam bentuk pembiayaan.
Perbedaan paling mendasar antara bank syariah dan bank konvensional
adalah bahwa bank syariah melakukan kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga
(interest free), tetapi berdasarkan prinsip syariah yaitu prinsip pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing pronciple).
Dalam bank syariah, praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung
unsur-unsur riba sejauh mungkin ditinggalkan dan diganti dengan
kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan, karena riba
merupakan suatu dosa besar dalam Islam. Kekhawatiran akan riba inilah yang
merupakan faktor utama berdirinya bank Islam (bank syariah).
Hingga awal abad XX, bank syariah hanya merupakan diskusi teoritis.
Belum ada langkah nyata yang memungkinkan perwujudan ide tersebut. Padahal
telah muncul kesadaran bahwa bank syariah merupakan solusi masalah ekonomi
untuk menghasilakan kesejateraaan sosial yang merata di negara-negara Islam
atau negara-negara berpenduduk Islam.66
Upaya untuk memperkenalkan bank syariah pada saat itu baru berupa
diskusi terbatas atas inisiatif individu. Namun upaya tersebut seolah tenggelam di
tengah kuatnya arus sistem operasional bank-bank non Islam (bank konvensional.
Seolah-olah tidak ada celah yang untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip
syariah. Walaupn belum mempuanyai bentuk konkrit, gagasan tersebut terutama
berkembang, meskipun dengan perlahan. Beberapa uji coba mulai dilakukan,
66
mulai dari bentuk yang sederhana hingga terbentuknya infra struktur perbankan
yang bebas bunga.
Rintisan bank syariah mulai mewujud di Mesir pada tahun 1960-an yang
beroperasi sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di
Indonesia) di samping delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamar Bank
binaan Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala
kecil. Namun intitusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi
perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam.
Pada sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi Konferensi
Islam (OKI)di Karachi Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah
proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut studi tentang
pendirian Bank Islam International untuk Perdagangan dan Pembangunan
(International Islamic Bank For Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) dikaji para ahli dari 18 negara Islam.
Proposal tersebut pada intinya mengusulkan agar sistem keuangan
berdasakan bunga diganti dengan suatu kerjasama dengan skema bagi hasil
keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima dan sidang menyetujui
rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Proposal
tersebut antara lain mengusulkan untuk: 67
1. Mengatur transaksi komersial antar negara Islam. 2. Mengatur institusi pembangunan dan investasi.
67
3. Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antar bank sentral di negara Islam sebagai langkah awal untuk terbentuknya sistem perekonomian Islam yang terpadu.
4. Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentral syariah di negara Islam.
5. Mendukung upaya-upaya bank sentra di negara Islam dalam hal pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam.
6. Mengatur administrasi dan mendayagunakan dana zakat. 7. Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral Islam.
Selain hal tersebut di atas, diuraikan pula pembentukan badan-badan
khusus yng disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam
(Investment and Development Body of Islamic Countries). Badan tersebut berfungsi sebagai berikut:68
1. Mengatur investasi modal Islam.
2. Menyeimbangkan investasi dengan pembangunan di negara Islam.
3. Memiliki lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya.
4. Memberi saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk, investasi regional di negara-negara Islam.
Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Bengazhi, Libya, Maret 1973,
usulan tersebut kembali diagendakan. Sidang kemudian juga memutuskan agar
OKI mempunyai bidang yang khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan.
Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil
minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian bank Islam. Rancangan
pendirian bank tersebut berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga,
dibahas pada pertemuan kedua, pada bulan Mei 1974.
Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975, menyetujui
pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB)
68
dengan modal awal 2 milyar dinar Islam atau ekuivalen dengan 2 milyar SDR
(Special Drawing Right). Semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB. Pada tahun-tahun awal beroperasinya, IDB mengalami banyak hambatan
karena masalah politik. Meskipun demikian, jumlah anggotanya makin meningkat
dari 22 menjadi 43 nehagar. IDB juga terbukti mampu memainkan peran yang
sangat penting dalam memenuhi kebutuhan negara-negara Islam untuk
pembangunan. Bank ini memberikan pinjamanm bebas bunga untuk proyek
infrastruktur dan pembiayaan kepada negara anggota berdasarkan partisipasi
modal negara tersebut.
IDB juga membantu mendirikan bank-bank Islam di bebagai negara.
Untuk pengembangan sistem ekonomi syariah, institusi ini membangun sebuah
institusi riset dan peralihan untuk pengembangan penelitian dan pelatihan
ekonomi Islam, baik perbankan maupun keuangan secara umum lembaga ini
disebut IRTI (International Reseaerch and Training Institute).
Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan
lembaga keuangan syariah. Untuk itu komite ahli IDB pun bekerja keras
menyiapkan paduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank syariah.
Kerja keras mereka membuahkan hasil. Pada akhir periode 1970-an dan awal
dekade 1980-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-negara
Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki.
Secara garis besar lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukkan ke dalam
dua kategori. Pertama, bank Islam komersial (Islamic coomercial bank), dan
2. Dasar Hukum Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
Pelaksanaan operasional bank syariah didasarkan atas prinsip-prinsip
berikut:69
1) Larangan riba. Riba dalam Islam hukumnya haram. Hal ini diatur dalam Al Qur’an dan Al-Hadits sebagai dasar hukum , yaitu:
a. Q.S. AlBaqarah (2) : 275-179 b. Q.S. Ali Imran (3) : 130 c. Q.S. Ar-Rum (30) : 39
d. Hadits Rasulullah SAW.
Riwayat Al-Hakim: “Dan sabda Nabi SAW : dosa riba adalah lebih besar di
sisi Allah Ta’ala daripada tiga puluh tiga kali perzinaan yang dilakukan
seorang lelaki dalam Islam”
2) Mengutamakan dan mempromosikan perdagangan dan jual beli. Dasar
hukumnya adalah:
a. Q.S. An-Nisa (4) : 29;
b. Q.S. Faathir (35) : 29-30, Ash-Shaff (61) : 10-11, dan At-Taubah (9) : 111; dan
c. Hadits Rasulullah SAW.
Hadits Riwayat Al-Bazaar, bahwa Nabi SAW pernah ditanya: “Mata
pencaharian apa yang paling baik? Nabi menjawab: “Seorang pekerja dengan
tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mulus dan bersih”.
69
3) Keadilan. Dasar hukumnya antara lain Q.S.Al-Israa (17): 16-35, An-Nisaa (4): 160-161, Q.S. Al-An’am (6) : 162
4) Kebersamaan dan Tolong Menolong. Dasar hukumnya antar lain Q.S. Al-Asr
(103) : 1-3, Al-A’raf (7) : 10, (4) : 32, Al-Baqarah (2) : 212. Hadits Nabi SAW sebagai berikut:
“Hadits Riwayat Thabrani yang artinya: “Bila kalian telah selesai shalat
shubuh janganlah kalian tidur, lalu mencari rizki kalian”.
Adapun bentuk-bentuk nyata prinsip-prinsip perbankan syariah tersebut di
atas diwujudkan dalam benutuk-bentuk usaha berikut ini:70
a. Al-Wadi’ah. Yaitu perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang) dengan penyimpanan (termasuk bank) dimana pihak penyimpanan
bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang dan atau
uang yang dititipkan kepadanya. Jadi al-wadi’ah ini merupakan titipan
murni yang dipercayakan oleh pemiliknya. Semua manfaat dan
keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tesebut menjadi hak
penyimpan. Dasar hukum Al Wadi’ah ialah: Q.S. Al-Baqarah : 238 dan
Q.S. An-Nisa : 58.
b. Al-Mudharabah. Yaitu perjanjian antar pemilik modal (uang atau barang) dengan pengusaha (enterpreneur). Dalam perjanjian ini pemilik modal membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha dan pengusaha, setuju untuk
mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan
perjanjian. Pemilik modal tidak diperkenankan ikut dalam pengelolaan
70
usaha, tetapi diperbolehkan membuat usulan dan melakukan pengawasan.
Apabila usaha yang dibiayai mengalami kerugian, maka kerugian tersebut
sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali apabila kerugian
tersebut terjadi karena penyelewengan atau penyalahgunaan oleh
pengusaha. Dasar hukum Al-Mudharabah ialah: Q.S. Al-Muzammil : 20,
Q.S. Al Jumm’ah : 10 dan Q.S. Al-Baqarah : 198.
c. Al-Musyarakah. Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih pemilik modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha.
Keuntungan dari usaha tersebut dibagi sesuai dengan persetujuan antara
pihak-pihak tersebut, yang tidak harus sama dengan pangsa pasar modal
masing-masing pihak. Dalam hal terjadi kerugian, maka pembagian
kerugian dilakukan sesuai pangsa modal masing-masing. Dasar hukum
Al-Musyarakah adalah: Q.S. An-Nisa: 12 dan Q.S Shad : 24, dan Hadits Qudsi
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda: “Allah SWT telah berkata, “ Aku menyertai dua pihak yang
sedang berkongsi selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati
yang lain, seandainya berkhianat maka Aku keluar dari peyertaan tersebut”
(HR. Abu Daud).
d. Al-Murabahah dan Al- Bai’u Bithaman Ajil. Al-Murabahah adalah persetujuan jual beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok
ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama dengan
pembayaran ditangguhkan 1bulan sampai 1 tahun. Persetujuan tersebut
Ajil adalah persetujuan jual beli dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Persetujuan ini
termasuk pula jangka waktu pembayaran dan jumlah angsuran. Dasar
hukum dari kedua jenis persetujuan ini di dalam Al Qur’an adalah : Q.S. An-Nisa : 29 dan Q.S. Al Baqarah : 275 dan Hadits Nabi SAW yang berbunyi:
(1) Dari sabda ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga perkara di
dalamnya terdapat keberkatan, yaitu (1) menjual dengan pembayaran
secara kredit, (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah), (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan
untuk dijual. (HR. Ibnu Majah, Subli Assalam)
(2) Dari Abu Said Al-Hudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan secara suka sama suka”.
(HR. Al Baihaqi, Ibnu Majah dan Sahih menurut Ibnu Hibban).
e. Al-Ijarah dan Al-Ta’jiri. Al-Ijarah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa memanfaatkan barang
tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah
pihak. Setelah masa sewa berakhir, maka barang akan dikembalikan
kepada pemilik. Sedangkan Al-Ta’jiri adalah perjanjian antara barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa untuk memanfaatkan
barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua
belah pihak. Setelah berakhir masa sewa, maka pemilik barang menjual
pihak. Dasar hukum Al-Ijarah dan Al-Ta’jiri adalah Q. S. Al-Qashas : 26 dan Q. S. At-Thalaq : 6.
f. Al-Qardhul Hasa. Yaitu suatu pinjaman yang diberikan atas kewajiban sosial semata, dimana peminjam tidak berkewajiban untuk mengembalikan
apapun kecuali modal pinjaman dan biaya administrasi. Dasar hukumnya
adalah : Q. S. Al Baqarah : 245 dan Q. S. Al-Muazammil : 20. Dasar hukum berupa Hadits adalah Ibnu Mas’ud ra yang diriwayatkan oleh
Riwayat Muslim, bahwa Rasulullah SAW telah berasbda,
“Barangsiapa yang telah melepaskan saudaranya yang miskin dari satu kesusahan-kesusahan dunia maka Allah akan lepaskan satu kesusahan padanya di hari akhir. Barangsiapa telah membantu saudaranya yang kesulitan di dunia, maka Allah akan membantunya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah selalu membantu seorang hamba, selama hamba tersebut membantu saudaranya”.
Selain fasilitas-fasilitas di atas, bank syariah juga memberikan fasilitas
berupa produk-produk di bawah ini:
1. Al-Kafalah. Yaitu pemberian garansi kepada nasabah untuk menjamin pelaksanaan proyek dan pemenuhan kewajiban tertentu oleh pihak yang
dijamin dengan cara bank meminta pihak yang dijamin dengan cara
meminta pihak yang dijamin untuk menyetorkan sejumlah dana sebagai
setoran jaminan dengan prinsip Al-Wadi’ah. Hasilnya, bank akan memperoleh fee.
2. Al-Hiwalah. Yaitu jasa bank untuk melakukan kegiatan transfer (kiriman uang) atau pengalihan tagihan. Dari kegiatan ini bank akan memperoleh
3. Al-Wakalah. Yaitu jasa penitipan uang atau surat berharga, untuk itu bank mendapat kuasa dari yang menitipkan untuk mengelola uang atau surat
berharga tersebut. Dalam hal ini bank akan memperoleh fee sebagai jasanya.
4. Al-Sharf. Yaitu kegiatan jual beli suatu mata uang dengan mata uang lainnya. Jika yang diperjualbelikan adalah mata uang yang sama maka
nilai mata uang tersebut haruslah sama dan penyerahannya juga dilakukan
pada waktu yang sama.
1. Pengawasan Pada Bank Syariah
Sebagai lembaga yang mengelola dana masyarakat, bank syariah mesti
diawasi dengan ketat seperti pengawasan yang dijalankan terhadap bank-bank
lainnya. Namun khusus untuk bank syariah diadakan suatu sistem pengawasan
yang lebih cermat, yaitu sistem pengawasan rangkap (two tier), yaitu:71 a. Pengawasan Umum
Pengawasan umum adalah suatu pengawasan yang sama dengan yang
berlaku pada bank umum konvensional. Untuk pengawasan yang sama dengan
yang berlaku pada bank umum konvensional. Untuk pengawasan ini Bank
Indonesia bertindak sebagai pengawas utama, di samping
pengawasan-pengawasan lain seperti pengawasan-pengawasan internal oleh dewan komisaris bank, dan
lain-lain.
b. Pengawasan Syariah
71