• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi pemberian mahar pada masyrakat suku bugis dalam perspektif hukum islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi pemberian mahar pada masyrakat suku bugis dalam perspektif hukum islam"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PEMBERIAN MAHAR PADA MASYARAKAT SUKU BUGIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi Kasus di Kelurahan Kalibaru Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara) Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Nurul Hikmah NIM : 107044102094

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 3 Juni 2011

(5)

i

KATA PENGANTAR ميحرلا نمحرلا ها مسب

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan HidayahNya, sehingga akhirnya penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Pemberian Mahar Pada Masyarakat Suku Bugis dalam Persfektif

Hukum Islam (Studi Kasus di Kelurahan Kalibaru Kecamatan Cilincing, Jakarta

Utara)". Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW, yang telah membimbing pada jalan kebenaran.

Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun tidak dapat menafikan motivasi dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Drs. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Basiq Djalil, SH., MH., Ketua Program Studi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakuttas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Alimin Mesra, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam membimbing, serta memberikan motivasi yang tak pernah henti-hentinya.

(6)

ii

Nenekku Hj. Hadirah yang telah merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memotivasi dengan penuh keikhlasan membantu penulis baik moril maupun materi, adik-adik tercinta Ayu Nurdianti, Wildani Fajri, Maghfirah Laila Salsabila, Ahmad Fadlan Al Ghifari.

8. Sahabat-sahabat penulis Andini Hafizotin Nida, Yossi Febrina, Sari Eka Lestari Putri, Ade Uswatul Jamiliyah, juga Juishimatsu dan segenap teman-teman penulis yang selalu membantu dan memberikan motivasi.

9. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2007, BEC (Boarding English Course) (Lani, Lya, Disfa, Galuh, Eny, Ana, Rohy, Aen, dll) dan kelompok KKN 2010.

Akhirnya penulis sangat menyadari bahwa karya ini masih terlamapau jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan besar hati. Penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin Yaa Robbal Alamin

Billahi taufik wal hidayah

Wallahu a’lam bish-shawwaf

Jakarta, 03 Juni 2011

(7)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI……….. iii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah………... 1

B.Batasan dan Rumusan Masalah……….. 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 9

D.Review Studi Terdahulu………. 10

E. Metode Penelitian……… 11

F. Sistematika Penulisan………. 13

BAB II KAJIAN TEORETIS TENTANG MAHAR A.Pengertian Mahar Menurut Hukum Islam……….. 15

B.Dasar Hukum Mahar……….. 17

C.Syarat dan Macam-macam Mahar………. 21

D.Bentuk dan Kadar Mahar……….. 26

(8)

iv

B.Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Kalibaru……… 38

C.Prosesi Perkawinan Masyarakat Adat Bugis……… 41

BAB IV ANALISIS TENTANG IMPLEMENTASI PEMBERIAN MAHAR DALAM PANDANGAN ISLAM A.Konsepsi Masyarakat Bugis Tentang Mahar……… 50

B.Praktik Pemberian Mahar……….... 52

C.Tinjauan Hukum Islam Tentang Implementasi Pemberian Mahar Dalam Masyarakat Suku Bugis ... 56

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan………. 62

B.Saran-saran………. 63

DAFTAR PUSTAKA……….. 64

LAMPIRAN 1. Wawancara………. 67

2. Surat kesediaan menjadi pembimbing skripsi………. 73

3. Surat Observasi………... 74

(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Hukum tradisional dan hukum modern merupakan unsur-unsur yang menyusun tata hukum. Sistem hukum yang pluralistis pada zaman penjajahan dengan juga demikian masih berlaku untuk Negara Indonesia. Komponen yang penting dari pluralisme itu adalah berlakunya hukum Eropa di satu pihak dan di lain pihak hukum yang bersesuaian dengan adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia.1 Hukum dan lembaga-lembaga tradisional Indonesia merupakan bagian kehidupan sosial yang telah melembaga.

Menggolongkan aturan-aturan sebagai adat istiadat sampai menjadi hukum apabila ditegakkan, maka hal itu akan mengaburkan suatu masalah penting dalam proses yudisial. Kiranya perlu dicatat bahwa adat istiadat tidak dibedakan dengan cara demikian dengan hukum yang dianggap sebagai keputusan pengadilan di dalam ilmu hukum yang telah berkembang. Seperti adat istiadat tingginya mas kawin yang ada di dalam suku Bugis, sedangkan yang diketahui bahwa Syariat Islam tidak menetapkan batas minimal dan batas maksimal mahar, namun mendorong agar memperingan mahar, tidak terlalu tinggi demi mempermudah urusan pernikahan. Sehingga generasi

1

(10)

muda tidak merasa enggan melaksanakan pernikahan karena demikian banyak atau besar tanggungannya. Tapi mengapa di suku Bugis itu memiliki nilai mahar yang cukup tinggi.

Menurut syara’ nikah merupakan ungkapan dari sebuah akad yang

mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu untuk menghalalkan hubungan suami istri.2

Fiqh telah menggariskan bahwa nikah mempunyai fungsi untuk mengakibatkan suatu hukum yaitu kehalalan untuk berjima’, maksudnya adalah sebuah jalan alami dan biologis untuk menyalurkan dan memuaskan seksual dan dapat berdampak kesehatan baik jiwa, mata terpelihara ataupun kenikmatan karena kehalalan tersebut.3

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Islam menetapkan adanya mahar apabila terjadi suatu pernikahan, sekalipun tidak ditentukan jumlahnya dan diserahkan sesuai persepakatan mereka, yang penting mahar tersebut bermanfaat.

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh

2

Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al Husainy, Kifayatul al-Akhyar, (Beirut : Dar al Fikr), Jilid 2, h. 36

3

(11)

3

tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Dalam nikah lebih baik ditentukan maskawinnya, meskipun masalah ini (maskawin) dipersilakan. Ada yang berpendapat bahwa maskawin tidak termasuk rukun nikah, berbeda dengan jual beli yang menyebutkan harga merupakan salah satu rukunnya. Sedang yang dimaksud dalam pernikahan adalah bersatunya suami istri, berbeda dengan jual beli, yang dimaksudkan adalah ganti dari barang yang dijual.4

Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk dalam rukun, karena mahar tesebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk ke dalam syarat perkawinan.5

Bagi Ulama Hanafiyah akad nikah membawa konsekuensi bahwa suami istri berhak memiliki kesenangan (mik al mut’ah) dari istrinya, dari ulama Malikiyah akad nikah membawa akibat pemilikan bagi suami untuk mendapatkan kelezatan (talazuz) dari istrinya. Sedangkan bagi ulama

4

Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, 2004), h. 143

5

(12)

Syafi’iyah akad membawa akibat suami memiliki kesempatan untuk melakukan jima’ (bersetubuh) dengan istrinya.6

Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama madzhab, yang pada dasarnya memiliki maksud yang sama. Sebagian ulama madzhab Hanafi mendefinisikan mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri karena akad pernikahan atau disebabkan terjadinya senggama dengan sesungguhnya. Ulama lainnya mendefinisikan sebagai harta yang wajib dibayarkan suami kepada istrinya ketika berlangsung akad nikah sebagai imbalan dari kesediaan penyerahan diri kepada suami (senggama).7

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.8 Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu atau takut, maka tidak halal menerimanya.

Hukum memberikan mahar itu adalah wajib dengan arti laki-laki mengawini seorang perempuan mesti menyerahkan mahar kepada istrinya itu

6

Abdu Ar Rahman Al Jaziri, Kitab al Fiqh ‘Ala Al Ma’zahib Al Arba’ah, (Dar Al Fikr, Beirut, 1969), h. 2-3

7

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), Cet. Ke-1, h. 220-221

8

(13)

5

dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya.9 Mahar terbagi menjadi dua yaitu pertama, mahar musamma adalah bila mahar tidak disebutkan pada waktu akad, maka kewajibannya itu harus ditunaikannya selama masa perkawinan sampai putus perkawinan dalam bentuk kematian atau perceraian. Kedua, mahar mitsil adalah bila mahar tidak disebutkan jenis dan jumlahnya, maka kewajibannya adalah sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.

Dan dibolehkan segera membayar mahar secara tunai, atau seluruhnya dibayar belakangan dan boleh juga sebagiannya dibayar tunai dan sebagiannya lagi dikredit (dibayar kemudian). Apabila maharnya sudah ditetapkan, maka laki-laki tersebut harus membayar mahar yang telah ditetapkan kepada istrinya.

Keharusan membayar mahar itu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Sunat menyebutkan mahar pada waktu akad nikah karena Nabi selalu menyebutkannya. Kalau perempuan yang dinikahkan itu termasuk orang yang tidak boleh mentasarrufkan (membelanjakan) hartanya karena sesuatu ‘aridh (rintangan) seperti dungu, maka menyebut mahar pada waktu akad nikah adalah wajib.10

9

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 85

10

(14)

Perempuan (istri) pun wajib membayar zakat maharnya itu

sebagaimana dia wajib membayar zakat uangnya yang dipiutangnya.11 Di dalam KHI, mahar ini diatur di dalam pasal 30 sampai pasal 38.

Pada pasal 30 menyatakan :12

“Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”.

Garis hukum Pasal 30 KHI di atas, menunjukkan bahwa calon mempelai pihak laki-laki berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan. Namun, jumlah, bentuk dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dengan pihak mempelai wanita.13

Pasal 31 menyatakan :

“Penentuan mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan

kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam”.

Dalam hadis Nabi yang artinya wahai golongan orang-orang muda, barang siapa dari kamu mampu kawin hendaklah ia kawin, karena yang demikian lebih menundukan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan

11

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2004), h. 394

12

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,

(Jakarta : Gema Insani Press, 1994), h. 86-88

13

(15)

7

dan barang siapa tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena itu untuk meredam hawa nafsu.14

Barang siapa yang berpaling dari sunnah Rasul, maka ia tidak termasuk dalam umat yang lurus dan memudahkan dalam ibadah. Yang ditekankan di sini adalah seseorang berbuka agar mampu melaksanakan puasa, seseorang tidur agar dapat bangun malam untuk melaksanakan shalat malam, dan menikah untuk menjaga pandangan dan kemaluannya. Sehingga orang yang tidak mengikuti sunnah Nabi, bukan termasuk golongan agama Nabi karena keyakinan yang berlebihan (melebihi Nabi) dapat menimbulkan kekafiran.15

Orang Bugis di Kelurahan Kalibaru adalah sebagai perantau yang menetap. Masyarakat di Kalibaru ini tidak hanya orang Bugis saja ada juga suku-suku lainnya yang bertempat tinggal di Kalibaru. Karena sudah banyak suku-suku lain maka sudah ada tradsi adat yang berubah. Seperti pada penyebutan mahar pada saat aqad, disini sudah ada perbedaan kalau orang Bugis yang ada di Sulawesi Selatan masih menggunakan adat yang beralaku yaitu dalam menentukan mahar dilihat dari stratifikasi sosialnya apakah perempuan tersebut itu ada keturunan dari bangsawan atau tidak.

14

A. Hasan, terjemah Bulughul al-Maram, Ibnu Hajar al Asqalani, (Bandung : CV. Pustaka Tamam, 1991), h.505

15Muhammad ibn Isma’il as San’any,

(16)

Adapun urutannnya 88 Real untuk Bangsawan Tinggi, 44 Real untuk Bangsawan Menengah, 40 Real untuk Arung Palili, 28 Real untuk Todeceng, 20 Real To Maradeka, dan 10 Real untuk Ata (hamba). Tetapi sompa (mahar) berdasarkan tingkatan-tingkatan tersebut tidak ada wujudnya, hanya sebagai simbol. Sedangkan orang Bugis di Kalibaru sudah jarang ditemukan dalam perkawinan pada saat aqad menyebutkan maharnya sesuai dengan staratifikasi perempuan. Biasanya masyarakat Bugis di Kalibaru langsung menyebutkan mahar apa yang akan diberikan kepada calon istrinya itu. Sesuai dengan yang Penulis amati dari beberapa perkawinan di Kalibaru, dalam menentukan maharnya dilihat dari keluarganya, pendidikannya dan lain sebagainya. Apabila pendidikan si perempuan tersebut tinggi ditambah lagi ia dari keluarga yang terhormat maka perempuan tersebut mempunyai mahar yang tinggi.

B.

Batasan dan Rumusan Masalah

Agar penelitian ini dapat lebih terarah, jelas dan tidak meluas, maka penulis memberikan batasan penyusunan skripsi ini pada hal-hal yang berkaitan dengan implementasi pemberian mahar pada masyarakat suku Bugis dilihat dari hukum Islam.

(17)

9

1. Bagaimana praktek pemberian mahar dalam suku Bugis di Kalibaru? 2. Adakah jumlah mahar yang berlaku saat ini di masyarakat suku Bugis di

Kalibaru?

3. Bagaimana perspektif hukum Islam tentang pemberian mahar pada masyarakat suku Bugis di Kalibaru?

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui praktek pemberian mahar dalam suku Bugis.

2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya jumlah mahar yang berlaku pada masyarakat suku Bugis.

3. Untuk mengetahui pendapat orang Bugis tentang mahar yang ada didaerahnya.

Maka manfaat yang diharapkan oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Untuk menambah ilmu dan wawasan intelektualitas bagi mahasiswa ataupun masyarakat yang membaca hasil penelitian ini khsusnya bagi penulis.

(18)

3. Diharapkan dapat menjadi masukaan dan sumbangan pemikiran kepada orang-orang yang hendak menikah dalam penentuan mahar.

D.

Review Studi Terdahulu

Untuk menemukan pembahasan dan penulisan skripsi ini penulis menelaah literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis kemukakan dalam penulisan skripsi.

1. Ismayudin bin H. Mohamed Shahid Tahun 2009, dengan judul “Kadar Mahar Suami meninggal Sebelum Dukhul (Analisis Terhadap Pemikiran Mazhab Maliki)”. Menjelaskan jumlah mahar suami meninggal sebelum

dukhul menurut Mazhab Maliki. Perbedaan skripsi ini dengan penulis bahwa skripsi ini lebih menekankan pada kadar mahar suami meninggal sebelum dukhul berdasarkan pemikiran Mazhab Maliki. Sedangkan pembahasan penulis adalah pemberian mahar pada masyarakat Bugis dalam perspektif hukum Islam.

2. Eva Fatimah Tahun 2004, dengan judul “Konsep Mahar Menurut Empat

Imam Mazhab”. Membahas tentang mahar menurut Imam Mazhab yaitu

Imam Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin

(19)

11

Empat Mazhab sedangkan pembahasan penulis adalah pemberian mahar pada masyarakat Bugis dalam perspektif hukum Islam.

3. Azwar Anas Tahun 2010. Dengan judul Honsep Mahar dalam “Counter

Legal Draft” Hukum Islam (CLD KHI), membahas tentang konsep mahar

dalam CLD KHI yang berisi tentang syarat mahar, bentu dan kadar mahar. Perbedaan skripsi ini dengan penulis bahwa skripsi ini lebih menekankan perspektif mahar dalam CLD KHI sedangkan pembahasan penulis adalah pemberian mahar pada masyarakat Bugis dalam perspekti hukum Islam.

E.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang penyusun gunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian tentang pemberian mahar pada masyarakat suku bugis ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan ini adalah penelitian yang bersumber datanya terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) secara langsung di daerah penelitian.16

16

(20)

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu, tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.17 Data-data tersebut selanjutnya dianalisis menurut perspektif hukum Islam.

3. Metode Pengumpulan Data

Guna memperoleh data dalam penelitian ini penyusun menggunakan metode sebagai berikut :

a. Observasi, yakni mengamati langsung ke lapangan dalam hubungannya dengan masalah yang akan diteliti untuk dianalisa dan dikumpulkan. b. Interview (wawancara) adalah cara pengumpulan data yang dilakukan

dengan bertanya dan mendengarkan jawaban langsung dari sumber utama data.18 Dalam hal ini penyusun menggunakan wawancara terpimpin, ini akan memberi kemudahan baik dalam mengemukakan pertanyaan maupun dalam menganalisa untuk mengambil keputusan/kesimpulan. Di samping itu juga menggunakan wawancara bebas, karena hal ini akan memudahkan diperolehnya data secara mendalam. Wawancara dilakukan pada informan, tokoh agama, dan tokoh adat masyarakat setempat.

17

Yayan Sopyan, Metode Penelitian, h. 20

18

(21)

13

c. Dokumentasi yaitu yang dimaksud dengan dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara meneliti dokumentasi-dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian.

4. Analisis Data

Setelah data-data terkumpul, penyusun berusaha mengklasifikasikan untuk dianalisis sehingga kesimpulan dapat diperoleh. Analisis data ini menggunakan metode analisis kualitatif sebagai berikut :

a. Metode induktif, yakni analisis yang bertitik tolak dari data yang khusus kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum. Artinya penyusun berusaha memaparkan praktik pemberian mahar pada masyarakat bugis, kemudian melakukan analisis sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesimpulan yang umum.

b. Metode deduktif, yakni analisis yang bertitik tolak dari suatu kaedah yang umum menuju suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Artinya ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam nash dijadikan sebagai pedoman untuk menganalisis status hukum praktik pemberian mahar pada masyarakat suku Bugis di Kel. Kalibaru.

F.

Sistematika Penulisan
(22)

Bab pertama tentang pendahuluan yang meliputi pokok-pokok permasalahan, yaitu Latar Belakang, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

Bab kedua tentang kajian teoretis tentang mahar. Bab ini berisikan Pengertian Mahar Menurut Hukum Islam, Dasar Hukum Mahar, Syarat dan Macam-macam Mahar, Bentuk dan Kadar Mahar, dan Gugurnya Mahar

Bab ketiga tentang potret wilayah Kel. Kalibaru Kec. Cilincing Jakarta Utara. Dalam bab ini dipaparkan mengenai Gambaran Lokasi Penelitian, Masyarakat Suku Bugis di Kel. Kalibaru, Prosesi Perkawinan Masyarakat Suku Bugis.

Bab keempat tentang substansi dari penelitian (skripsi) ini. Dalam bab ini dipaparkan tentang Konsepsi Masyarakat Bugis tentang Mahar, Praktik Pemberian Mahar, Tinjauan Hukum Islam tentang Implementasi Pemberian Mahar dalam Masyarakat Suku Bugis.

(23)

15 BAB II

KAJIAN TEORETIS TENTANG MAHAR

A. Pengertian Mahar Menurut Hukum Islam

Dalam istilah ahli fikih, di samping perkataan “mahar” juga dipakai

perkataan “shadaq”, “nihlah” dan “faridhah” dalam bahasa Indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.1 Makna dasar shadaq yaitu memberikan derma (dengan sesuatu), nihlah artinya pemberian, faridhah artinya memberikan.2

Mahar secara etimologi berasal dari bahasa Arab dan termasuk kata benda bentuk abstrak atau masdar, yakni mahran اًرْهم atau kata kerja, yakni fi‟il dari اًرْهم -رهْمي -رهم, lalu dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni اًرْهم, sedangkan pemakaian katanya ةأْرملا هرهم disebut (memberikan mahar kepada perempuan).اًرْهم اهل لعج artinya (memberinya mahar).3

Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau, suatu pemberian

1

M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, (t.tp, t.th), h. 36

2

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 121

3

(24)

yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dan sebagainya).4

Adapun pengertian mahar dalam KHI adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.5

Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar-nya, sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar mengungkapkan bahwa dalam Al-Qur’an, sebutan mahar dengan lafadz al-Nihlah adalah sebuah pemberian yang ikhlas sebagai bukti ikatan kekerabatan serta kasih sayang.6

Dalam tradisi Arab, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh, mahar itu meskipun wajib, namun tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad nikah, dalam arti boleh diberikan waktu akad nikah dan boleh pula sesudah berlangsungnya akad nikah. Definisi yang diberikan oleh ulama sejalan dengan tradisi yang berlaku waktu itu. Oleh karena itu, defnisi tepat yang dapat mencakup dua kemungkinan itu adalah “ pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai

4

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 84

5

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,

(Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.

6

(25)

17

laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah “.7

Menurut penulis mahar adalah harta atau pekerjaan yang diberikan kepada perempuan oleh seorang laki-laki kepada perempuan sebagai dalam sebuah pernikahan dengan kerelaan dan kesepakatan bersama.

B. Dasar Hukum Mahar

Hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya.8

Ketentuan ini terdapat di beberapa ayat Al-Qur’an adalah firman Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 4 :

                        

Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. An-Nisaa‟ : 4)

7

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 85

8

(26)

Demikian pula firman Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 24 :                                                                      

Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu milik (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisaa‟ : 24)

Berdasarkan kedua ayat diatas selain didalam Al-Qur’an, hal mahar juga disebutkan dalam sabda Nabi SAW, diantaranya yaitu :

1. Hadis yang berasal dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi

Artinya : “Telah berkata Yahya, telah berkata Waqi‟ dari Sufyan dari Abi Hazim bin Dinar dari Sahal bin Said as-Sa‟idi bahwa Nabi

9

Imam Hafids Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari,

(27)

19

berkata:” hendaklah seseorang menikah meskipun (hanya dengan mahar )sebuah cicin yang terbuat dari besi”(HR Bukhari).

2. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, yang berbunyi :

Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a beliau berkata; tatkala mengawini Fatimah r.a, maka Rasul bersabda kepadanya: berilah Fatimah itu sesuatu, Ali menjawab: saya tidak mempunyai sesuatu, beliau bertanya: mana baju besi Hutamiyyahmu?” (HR. abu Daud dan Nasi‟i dan dinilai Shahih oleh Al-Hakim)

3. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, yang berbunyi:

Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a ia berkata telah bersabda Rasulullah SAW, sebaik-baiknya wanita (istri adalah yang tercantik

wajahnya dan termurah maharnya”. (HR. Baihaqi).

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.

10

Muhammad Ibnu Ismail As-San’ani, Subul as-Salam, (Beirut: Dar al-Fikr. t.th), Juz 3, h. 221

11

(28)

Mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.

Tidak ada ketentuan hukum yang disepakati ulama tentang batas maksimal pemberian mahar, demikian juga batas maksimalnya. Yang jelas, meskipun sedikit mahar wajib ditunaikan. Dasarnya adalah hadis Sahl ibn Sa’ad al-Sa’idi.

ًﻼ

:

؟

·

·

؟

ڪ

َ

َذ

·

(

(29)

21

kamu ada sesuatu dari Al-Qur‟an?”. Maka ia menjawab “Ya, surat ini, dan surat ini, menyebut beberapa surat”, maka Rasulullah SAW. bersabda “Sungguh aku akan menikahkan kamu dengannya, dengan (mahar) apa yang kamu miliki dari Al-Qur‟an”. (Riwayat Muslim)

C. Syarat dan Macam-macam Mahar

Mahar yag diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :12

1. Harta berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi bernilai tetap sah disebut mahar.

2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.

3. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.

4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.

12

(30)

Ada perbedaan pendapat tentang syarat-syarat mahar tersebut yaitu : Golongan Malikiyah berpendapat apabila ketika akad disebutkan mahar yang berupa barang ghasab, jika kedua mempelai megetahui kalau mahar tersebut barang ghasab dan keduanya rasyid (pandai) maka akadnya rusak, dan fasakh sebelum dukhul, tetapi akadnya tetap jika telah dukhul serta wajib membayar mahar mitsil apabila keduanya masih kecil (tidak rasyid). Sedangkan kalau yang mengetahui hanya suaminya saja, maka nikahnya sah. Tetapi kalau pemilik benda (yang dibuat mahar) mengambil benda yang dijadikan mahar.

Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, akad dan tasmiyah (penyebutan mahar) sah baik keduanya mengetahui atau tidak, bahwa benda yang dibuat mahar adalah ghasab. Jika pemilik barang membolehkan benda tersebut dijadikan mahar, maka benda tesebut jadi mahar, tapi jika tidak membolehkan maka suami wajib mengganti sesuai dengan harga benda tersebut dan tidak membayar mahar mitsil.

Dari segi dijelasnya, mahar terbagi menjadi dua yaitu : 1. Mahar Musamma

(31)

23

membayar tersebut yang wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad perkawinan itu.13

Ulama fikih sepakat bahwa, dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila terjadi dukhul, hal ini didasarkan pada Surat An- Nisaa’ ayat 20 :

                           

Artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata”. (QS. An -Nisaa‟ : 20)

Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’, Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur

dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT :

13

(32)

                                                             

Artinya : “Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al- Baqarah : 237)

2. Mahar Mitsil

Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.14

Ulama Hanafiyah secara spesifik memberi batasan mahar mitsil itu dengan mahar yang pernah diterima oleh saudaranya, bibinya dan anak saudara pamannya yang sama dan sepadan umurnya, kecantikannya, kekayaannya, tingkat kecerdasannya, tingkat keberagamaannya, negeri tempat tinggalnya dan masanya dengan istri yang akan menerima mahar tersebut.

14

(33)

25

Mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan, yaitu :

a. Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya.

b. Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras.

c. Suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.

Cara menentukan mahar mitsil ialah dengan memperhatikan mahar pihak ashabahnya (pihak bapak permpuan). Apabila wanita itu sama cantiknya, pandainya dan lain-lain dengan saudaranya dari pihak ashabahnya itu, maka maharnya baru disamakan dengan mahar saudara dari pihak ashabah itu. Jika tidak dapat diketahui mahar dari pihak ashabah itu karena belum ada yang kawin, maka beralih kepada pihak ibunya.

Jika dari pihak ibu juga tidak ada, maka menurut al-Mawardi, saudara ibu didahulukan daripada nenek. Kalau semua yang tersebut itu sukar diketahui, maka lalu melihat wanita lain (di luar ikatan keluarga) seperti perempuan Arab sesama Arabnya, perempuan merdeka dengan sesama merdekanya dan seterusnya.15

15

(34)

D. Bentuk dan Kadar Mahar

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberinya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.16

Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam Al-Qur’an dan demikian pula dalam hadis Nabi.

Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam Al-Qur’an ialah mengembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seorang perempuan. Hal ini dikisahkan dalam surat Al-Qashash ayat 27 :

                                                     

Artinya : “Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini,

16

(35)

27

atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".(QS. Al-Qashash : 27)

Maksud dari ayat diatas adalah ada orang tua yang berkata dengan seorang laki-laki jika kamu bekerja dengan saya maka saya akan menikahkan kamu dengan salah satu anakku. Dengan kata lain berarti suatu pekerjaan dapat menjadi sebuah mahar. Misalnya, mengajarkan membaca Al-Qur'an, mengajarkan ilmu agama, bekerja dipabriknya, menggembalkan ternaknya, dan lain sebagainya.

Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridaan si istri. Suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya, karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang kepada orang lain. Kalau tidak dibayar, akan dimintai pertanggungjawabannya. Janganlah terpedaya dengan kebiasaan bermegah-megah dengan banyak mahar sehingga si laki-laki menerima perjanjian itu karena utang, sedangkan dia tidak ingat akibat yang akan menimpa dirinya.17

Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah mahar ini. Sebagian dari mereka berpendapat, bahwa mahar itu diberikan sesuai dengan

17

(36)

kesepakatan di antara calon pengantin. Pendapat ini dikemukakan oleh Sufyan Ats-Tsauri, Syafi’i, Ahmad dan Ishak. Sedangkan Imam Malik berpendapat “Mahar itu tidak boleh kurang dari seperempat dinar”. Berdasarkan hadis sebagai berikut :

Artinya : “Saya tidak pernah melihat seorang wanita dinikahkan dengan

mahar kurang dari seperempat dinar. Dan itu dalah batasan

minimal yang mewajibkan adanya potongan tangan”.

Sebagian dari penduduk Kufah berpendapat : “Bahwa mahar itu tidak

boleh kurang dari sepeluh dirham dan ini (mahar) wajib hukumnya menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah”.18

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Dari apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari Jabir ibn Abdullah, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda :

ْنع

رباج

ْنب

دْبع

ها

يضر

ها

هْنع

اق

اق

ْ سر

ها

ىلص

ها

هيلع

ملس

ا

ح ْني

ءاسنلا

ا

ا فك

ال

ن ج زي

ا

ءايل أا

ا

ر م

ن د

م اْرد رشع

(

يق يبلا ا ر

)

19 18

M. abdul Ghofar, Fiqh Wanita, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1998), Cet. Ke-1, h. 411-412

19

Al-Kamal bin al-Hammam al-Hanafi, Fathur Qadir‟alal Hidayah SyarhBidayatil Mubtadi,

(37)

29

Artinya : Jangan menikahkan wanita kecuali sekufu‟ dan jangan

mengawinkan wanita kecuali oleh para walinya, dan tidak ada

mahar yang kurang dari sepuluh dirham.(HR. Baihaqi)

Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi SAW., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.

Sebaiknya di dalam pemberian mahar, diusahakan sesuai dengan kemampuannya, pemberian mahar tersebut baik yang didahulukan atau yang ditangguhkan pembayarannya, hendaklah tidak melebihi mahar yang diberikan kepada isrti-istri Rasulullah SAW dan putri-putri beliau, yaitu sebesar antara empat ratus sampai lima ratus dirham. Bila diukur dengan dirham yang bersih, maka mencapai kira-kira sembilan belas dinar. Ini adalah Sunnah Rasulullah SAW. Barang siapa yang mengerjakannya, maka ia telah mengikuti sunnah beliau di dalam pemberian mahar

(38)

pernikahan), yaitu rumah untuk sang istri, tempat berkumpul dan pesta yang diiringi oleh musik (yang banyak sekali menuntut harta kekayaan)”.20

Apabila dalam praktik yang berlaku di sebagian masyarakat, bahwa calon mempelai laki-laki pada saat tunangan telah memberikan sejumlah pemberian, adalah semata-mata sebagai kebiasaan yang dianggap baik sebagai tukon trisno atau tanda cinta calon suami kepada calon istrinya.21

E. Gugurnya Mahar

Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan. Mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beli yang mengandung lima persoalan pokok, yaitu :22

1. Barangnya tidak boleh dimiliki 2. Mahar digabungkan dengan jual beli 3. Penggabungan mahar dengan pemberian 4. Cacat pada mahar

5. Persyaratan dalam mahar

20

Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Perkawinan, (Jakarta : Pustaka Azzam, 1999), Cet. Ke-1, h.

21

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo, 2003), Cet. Ke-6, h. 103

22

(39)

31

Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam, atau memfasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebut setelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya. Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.

Menurut ulama Hanafiyah bila mahar rusak atau hilang setelah diterima oleh istri, maka secara hukum suami sudah menyelesaikan kewajibannya secara sempurna dan untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab istri. Bila ternyata istri putus perkawinannya sebelum bergaul, maka kewajiban suami hanya separuh dari mahar yang ditentukan. Jadi separuh mahar yang diterima oleh istri itu menjadi hak suami. Karena mahar itu sudah rusak atau hilang, maka yang demikian menjadi tanggungan istri.

(40)

bila rusak atau hilang karena kelalaian suami ia wajib menggantinya, tetapi bila rusak atau hilang bukan karena kelalaiannya tidak wajib menggantinya.23

Ulama Hanabalah berpendapat bahwa mahar yang dinyatakan dalam bentuk yang tertentu dan rusak sebelum diterima atau sesudahnya sudah menjadi tanggungan istri sedangkan bila mahar itu dalam bentuk yang tidak jelas dan hilang atau rusak sebelum diterimanya, maka menjadi tanggungan suami.

Suatu perceraian datangnya dari pihak suami sebelum persetubuhan dilaksanakan maka maharnya harus dibayar setengah dari jumlah yang sudah diikrarkan, demikianlah menurut ketentuan Al-Qur’an yang disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 237 :

                                                             

Artinya : Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Baqarah: 237)

23

(41)

33

(42)

34 BAB III

POTRET WILAYAH KEL. KALIBARU KEC. CILINCING JAKARTA UTARA

A. Gambar Lokasi Penelitian

Kalibaru adalah salah satu Kelurahan yang ada di Jakarta Utara, yang memilik area seluas 251,20Ha. Kelurahan Kalibaru memiliki jumlah penduduk sebanyak 44.726 jiwa. Jumlah Rukun Warga (RW) di Kelurahan Kalibaru sebanyak 14 RW dan 172 Rukun Tangga (RT) dengan jumlah KK sebanyak 16.101 KK.1

Kelurahan Kalibaru memiliki batas wilayah yaitu Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jl. Raya Cilincing, Kali Banglio (Kel. Lagoa Kec. Koja, Kel. Semper Barat, Kel. Semper Timur dan Kel. Cilincing). Sebelah Timur berbatasan dengan Jl. Baru dan Jl. Rekreasi Kel. Cilincing. Sebelah Barat berbatasan dengan jembatan /kali Kresek, Kel. Koja Kec. Koja.

Adapun kondisi demografis yaitu sebagai berikut :

a. Status/Peruntukan Pertanahan di Kelurahan Kalibaru terdiri dari Tanah yang bersertifikat seluas 13,50 Ha, Tanah Negara seluas 233, 20 Ha, Tanah Kering seluas 246, 20 Ha, dan Tanah Empang seluas 05, 00Ha.

1

[image:42.612.111.540.54.439.2]
(43)

35

b. Jumlah dan Kepadatan Penduduk : 1) Jumlah Penduduk di tiap RW

[image:43.612.147.534.56.617.2]

Jumlah kepadatan penduduk di kelurahan Kalibaru yang dilihat dari jumlah Kepala Keluarga (KK) yaitu KK laki-laki sebanyak 15.408 KK dan KK perempuan sebanyak 693 KK. Jumlah laki-laki di Kelurahan Kalibaru ada 21.759 jiwa dan perempuan 22.967 jiwa. Lebih jelasnya penulis tampilkan berdasarkan tiap RW.

Table 1.12

2

Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru

NO. RW. WNI Jumlah

LK PR

1. 01 1184 2356 3540

2. 02 1167 2230 3397

3. 03 1865 2261 4126

4. 04 1881 1996 3877

5. 05 1962 1377 3339

6. 06 2025 1798 3823

7. 07 2003 2245 4248

8. 08 1099 2208 3307

9. 09 796 906 1702

10. 010 956 1045 2001

11. 011 0 0 0

12. 012 1357 1313 2670

13. 013 2839 1144 3983

14. 014 1480 931 2411

15. 015 1145 1157 2302

(44)
[image:44.612.150.535.52.437.2]

2) Jumlah Penduduk MenurutUmur

Table 1.23

Berdasarkan tabel di atas penduduk di Kelurahan Kalibaru kebanyakan berumur 10 sampai 14 tahun, sekitar masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah pertama.

3) Data Penduduk menurut Pendidikan

Pendidikan di Kelurahan Kalibaru penduduknya kebanyakan berpendidikan tidak tamat sekolah. Walaupun tidak tamat sekolah tetapi mereka tidak buta huruf dengan kata lain masih bisa membaca dan menulis. Lebih jelasnya lihat tabel berikut ini:

3

Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru

NO USIA-TAHUN L P JUMLAH

1. 0 – 4 3245 1824 5069

2. 5 – 9 2306 2764 5070

3. 10 – 14 2530 2763 5293

4. 15 – 19 1334 1851 3185

5. 20 – 24 1079 1513 2592

6. 25 – 29 1205 2373 3578

7. 30 – 34 1197 1592 2789

8. 35 – 39 1975 1417 3392

9. 40 – 44 1249 1586 2835

10. 45 – 49 1874 1227 3101

11. 50 – 54 1152 1173 2325

12. 55 – 59 387 873 1260

13. 60 – 64 562 805 1367

14. 65 – 69 618 942 1560

15. 70 – 74 622 163 785

16. 75 keatas 424 101 525

(45)
[image:45.612.149.532.56.453.2]

37

Table 1.34

4) Mata Pencaharian Penduduk

Penduduk di Kelurahan Kalibaru banyak yang mata pencahariannya itu adalah sebagai nelayan baik laki-laki maupun perempuan, karena Kelurahan Kalibaru ini adalah daerah pesisir. Banyak dari mereka yang memiliki tambak, beternak kerang, dan lain sebagainya. Lebih jelasnya tentang mata pencaharian Kelurahan Kalibaru sebagai berikut :

Table 1.45

4

Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru

5

Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru

NO PENDIDIKAN L P JUMLAH

1. Tidak Sekolah 3754 4014 7768

2. Tidak Tamat SD 6420 6573 12993

3. Tamat SD 5798 6373 12171

4. Tamat SLTP 186 180 366

5. Tamat SLTA 4720 4829 9549

6. Tamat Akademi/PT 889 993 1882

NO. NAMA

PEKERJAAN

JENIS KELAMIN

Jumlah

LK PR

1. Tani - - -

2. Karyawan/PNS/TNI 134 290 424

3. Pedagang 2222 2024 4246

4. Nelayan 8667 8837 17504

5. Buruh 1846 2727 4573

6. Pensiunan 473 470 943

[image:45.612.177.527.491.639.2]
(46)

5) Agama

[image:46.612.145.531.59.577.2]

Walaupun ada penduduk di Kelurahan Kalibaru beragama non Islam tapi mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam. Mereka saling menghormati satu sama lainnya walaupun berbeda agama. Penulis rinci sebagai berikut tentang agama di Kelurahan Kalibaru di tiap RW.

Tabel 2.16 NO

. RW

AGAMA

JUMLAH Islam Protestan Katolik Hindu Budha

1. 01 3249 108 32 4 5 3398

2. 02 2320 47 23 5 8 2403

3. 03 2893 103 35 10 12 3053

4. 04 2263 108 35 7 26 2439

5. 05 3111 11 35 9 28 3298

6. 06 3146 115 35 10 16 3322

7. 07 3120 113 36 7 26 3302

8. 08 3531 79 15 6 5 3636

9. 09 2953 86 30 8 26 303

10. 010 2616 59 20 7 9 2711

11. 011 - - - -

12. 012 3622 61 21 6 7 3717

13. 013 3529 89 30 7 15 3670

14. 014 3153 76 27 6 5 3267

15. 015 3318 60 19 5 5 3407

Jumlah 42824 1219 393 97 193 44726

B. Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Kalibaru

Masyarakat Bugis adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa

6

(47)

39

orang-orang Bugis pada masa lalu sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa yang akan datang masih terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.

Bagi suku-suku lain di sekitarnya, orang Bugis dikenal sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Namun demikian di balik sifat keras tersebut orang bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.

Suku Bugis juga dikenal sebagai perantau sehingga tidak mengherankan jika di beberapa tempat di kepulaan Nusantara ini, bahkan sampai ke negeri lain terdapat perkampungan suku Bugis, contohnya saja di Kelurahan Kalibaru ini terdapat sekumpulan orang-orang Bugis.

(48)

menekuni bidang pendidikan. Orang Bugis perantauan dikenal sebagai suku yang cepat melakukan adaptasi dengan penduduk asli.

Demikian masyarakatnya dengan berbagai latar belakang pengalaman dan pendidikan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan pembangunan Kelurahan Kalibaru itu sendiri. Kelurahan Kalibaru memiliki potensi sumber daya alam serta dukungan SDM untuk perkembangan Kelurahan Kalibaru. Oleh karena itu diperlukan pemikiran, gagasan dan perencanaan yang tepat dalam mengorganisir potensi yang dimiliki ke dalam suatu pengelolaan pemerintahan dan pembangunan.

Masyarakat suku Bugis yang ada di Kelurahan Kalibaru sekitar 65% dari 44.726 jiwa di Kelurahan Kalibaru. Kebanyakan dari mereka memiliki mata pencaharian sebagai nelayan sekitar 57% dari 17.504 jiwa yang bekerja sebagai nelayan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Selain orang Bugis ada juga suku Sunda sebanyak 3%, Betawi sebanyak 5%, Madura sebanyak 8%, Jawa sebanyak 17%, dan suku lainnya sebanyak 2%.7

Pada umumnya orang Bugis mempunyai sistem kekerabatan yang disebut dengan assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral, yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu.8 Sedangkan garis keturunannya berdasarkan ayah.

7

Hasil wawancara dengan wakil ketua Kel. Kalibaru

8

(49)

41

Orang bugis yang tinggal di Kelurahan Kalibaru sudah menyatu dengan adat yang lainnya sehingga melebur mengikuti suku lain yang ada di Kelurahan Kalibaru, karena masyarakat di Kelurahan Kalibaru berbagai macam suku seperti Sunda, Betawi, Madura, Jawa, dan lain sebagainya. Walaupun berbeda suku mereka saling menghormati dan menghargai suku lainnya.

C. Prosesi Perkawinan Masyarakat Adat Bugis di Kalibaru

Perkawinan bagi suku Bugis dipandang sebagai suatu yang sakral, religious dan sangat dihargai. Tata cara perkawinan adat suku Bugis diatur sesuai dengan adat dan agama sehingga merupakan rangkaian upacara yang menarik, penuh tata krama dan sopan santun serta saling menghargai.

Perkawinan ideal pada masyarakat suku Bugis sama dengan masyarakat Makassar. Bahwa seorang laki-laki maupun perempuan diharapkan untuk mendapatkan jodohnya dalam lingkungan keluarganya baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah.

Perkawinan dalam lingkungan keluarga makin mempererat hubungan kekerabatan. Hubungan perkawinan yang paling baik dalam lingkungan keluarga ialah yang berada dalam hubungan horizontal sebagai berikut :9

9

(50)

1) Siala massapposiseng ialah perkawinan yang dilakukan antara sepupu sekali. Hubungan semacam ini yang paling ideal dahulu dikalangan bangsawan tinggi (raja-raja) untuk menjaga kemurnian darah. Perjodohan tersebut disebut juga assialang marola (perjodohan yang sesuai).

2) Siala massappo kadua ialah perkawinan yang dilakukan antara sepupu dua kali biasa pula disebut assialanna memeng maksudnyanya perjodohan yang baik sangat serasi.

3) Siala massappo katellu ialah perkawinan yang dilakukan antara sepupu tiga kali disebut ripasilorongngengi maksudnya mendekatkan kembali kekerabatan yang agak jauh, biasa juga dalam bahasa Bugis disebut ripadeppe mabelae.

Hubungan perkawinan yang ideal selalu dalam lingkungan kerabat ialah hubungan yang berdasarkan karena kedudukan assikapukeng maksudnya mempunyai hubungan sejajar karena kedudukan sosial yang setaraf tujuannya untuk memperkokoh kedudukan dengan mempererat hubungan kekerabatan.

Perkawinan kerabat yang dalam lingkungan kerabat dapat dikatakan sebagai hubungan yang tidak baik atau tidak ideal, yaitu perkawinan antara paman dan kemenakan atau antara bibi dan kemenakan.10

10

(51)

43

Peminangan adalah suatu proses perbuatan, cara meminang atau melamar, atau meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri. Peminangan merupakan suatu proses awal dari suatu rangkaian kegiatan suatu pernikahan yang dilaksanakan secara norma, beradab, beradat dan beragama.11 Adapun tata cara perkawinan masyarakat suku Bugis yaitu sebagai berikut :

a. Mattiro / Paita

Yang dimaksud mattiro ini adalah seorang laki-laki yang mencari perempuan untuk dinikahinya yang belum dikenalnya dan informasi tersebut datangnya dari orang lain, kemudian ia datang tanpa ada yang tahu bahwa ia ingin melihat perempuan dan begaimana keluarganya. b. Mappese-pese

Mappese-pese atau mammanu-manu atau mabbaja laleng adalah suatu

cara untuk mengetahui sudah terikat atau tidaknya si gadis yang telah dipilihnya dan untuk mengetahui kemungkinan diterima atau tidaknya pinangannya nanti.12

11

Andi Nurnaga, Adat istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, (Makassar : CV. Telaga Zamzam, 2001), h. 18

12

(52)

c. Madduta

Madduta adalah pengiriman utusan untuk mengajukan lamaran dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang telah disepakti oleh pihak keluarga laki-laki. Utusan itu harus orang yang dituakan dan tahu seluk-beluk madduta. Ia harus pandai membawa diri agar keluarga si gadis tidak merasa tersinggung. Tahap ini adalah kelanjutan dari tahap petama (Mappese-pese).

d. Mappettu Ada

Mappettu Ada ialah memutuskan dan meresmikan segala hasil

pembicaraan yang telah diambil pada waktu pelamaran dilakukan yang bahasa Bugis dinamakan “Mappasiarekkeng” seperti uang belanja, leko, mas kawin, penentuan hari akad nikah/perkawinan dan lain sebagainya. Di Kabupaten Bone sejak dahulu sampai sekarang Mappetu Ada ini dilaksanakan dalam bentuk dialog antara juru bicara

pihak laki-laki dengan juru bicara pihak perempan.13

Dalam acara Mappetu Ada, dibicarakanlah berbagai hal yang berhubungan dengan pernikahan yang meliputi :

13

Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat,

(53)

45

1) Tanra Esso (Penentuan Hari)

Penentuan acara puncak atau hari pesta pernikahan sangat perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti waktu-waktu yang dianggap luang bagi keluarga pada umumnya. Jika pihak keluarga, baik laki-laki atau perempuan berstatus petani, biasanya mereka memilih waktu sesudah panen. Jika lamaran itu terjadi pada saat musim tanaman padi, biasanya hari yang dipilih ialah hari sesudah tanam padi atau sesudah panen.14

2) Doi Menre (Uang Belanja)

Sesudah menetapkan hari pernikahan (tanra esso), maka hal yang paling penting adalah besarnya uang naik diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.15

Besarnya uang belanja ditetapkan berdasarkan kelaziman atau kesepakatan lebih dahulu antar anggota keluarga yang melaksanakan pernikahan.16

Selain uang belanja ada pula hadiah-hadiah yang biasa disebut Leko atau seserahan. Leko ini diberikan pada waktu mengantar

14

Andi Nurnaga, Adat istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, h. 32-33

15

Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,

(Makassar : Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Bone, 2007), h. 16

16

(54)

pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Biasanya Leko ini berisikan seperti kelengkapan untuk pengantin perempuan yang terdiri dari, make up, handuk, sepatu, dan lain sebagainya Di depan pengantin laki-laki ada beberapa laki-laki-laki-laki tua yang berpakaian adat dan membawa keris. Kemudian diikuti oleh sepasang remaja yang masing-masing berpakaian pengantin. Lalu diikuti sekelompok bissu yang berpakaian adat pula berjalan sambil menari mengikuti irama gendang. Lalu di belakangnya terdiri dari dua orang laki-laki berpakaian tapong yang membawa gendang dan gong. Kemudian pengantin laki-laki pada barisan berikutnya dengan diapit oleh dua orang passeppi dan satu bali botting.17

3) Sompa

Sompa atau mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada

perempuan yang dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan. Jumlah sompa sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai laki-laki pada saat pernikahan (akad nikah), menurut ketentuan adat jumlahnya bervariasi

17

(55)

47

menurut tingkatan strata sosial atau tingkatan sosialnya seseorang.18

Sompa yang berlaku sejak lama di daerah Bugis, dinilai dengan

mata uang lama (orang Bugis menyebutnya Rella). Bagi bangsawan tinggi sompa atau maharnya dinyatakan dengan kati senilai 88 Real, ditambah satu orang hamba (ata) senilai 40 Real dan satu ekor kerbau senilai 25 Real. Sompa bagi perempuan dari kalangan bangsawan tinggi disebut Sompa Bocco ( sompa puncak) yang biasa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan dari kalangan bangsawan menengah kebawah hanya satu kati, bagi orang baik-baik (to deceng) setengah kati, kalangan orang biasa seperempat kati.19

Adapun tingkatan-tingkatan sompa menurut adat Bugis, adalah sebagai berikut :

a) Bangsawan Tinggi = 88 Real b) Bangsawan Menengah = 44 Real c) Arung Palili = 40 Real

d) Todeceng = 28 Real

e) To Maradeka = 20 Real

18

Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone, h. 16

19

(56)

f) Hamba Sahaya (ata) = 10 Real

Orang Bugis di Kelurahan Kalibaru ada juga yang menikah dengan suku lain maka biasanya dalam acara mappettu ada salah satu yang dibicarakannya adalah pakaian yang akan digunakan pada waktu pesta pernikahan. Misalkan jika pihak laki-laki dan perempuan berasal dari suku Bugis maka pakaian yang dipakai adalah pakaian adat Bugis. Sedangkan jika salah satu dari pihak laki-laki dan perempuan berbeda suku maka ditentukanlah pakaian apa yang akan dikenakan pada acara pernikahan. Adanya kompromi antara keluarga perempuan dengan laki-laki untuk menentukan pakaian apa yang akan digunakan.

Pada dasarnya prosesi perkawinan masyarakat Bugis yang ada di Kelurahan Kalibaru dengan masyarakat Bugis yang di Sulawesi tidak berbeda dengan kata lain prosesinya sama, hanya saja masyarakat Bugis yang ada di Kelurahan Kalibaru menyederhanakan tahapan-tahapan tersebut. Maksudnya menyederhanakan disini adalah prosesi perkawinannya tidak semua dilaksanakan seperti mattiro dengan mappese-pese dijadikan dalam satu pelaksanaan. Hasil wawancara dari penulis dengan orang Bugis di kalibaru, pihak laki-laki hanya datang dua kali yaitu pada waktu madduta (melamar) dan saat mappettu ada.

(57)

49

(58)

50

A. Konsepsi Masyarakat Bugis tentang Mahar

Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.1

Berdasarkan hasil wawancara penulis kepada salah satu tokoh masyarakat yang ada di Kelurahan Kalibaru memberikan pengertian mahar yaitu suatu perintah untuk diberikan kepada mempelai perempuan, dan oleh Agama tidak ditentukan jumlahnya.2

Mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya yang diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, saham, kontrakan atau benda berharga lainnya.

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Inonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Edisi 3, Cet. Ke-3, h. 696

2

(59)

51

Adanya kerelaan dan kesederhanaan, dalam arti disesuaikan dengan kemampuan si suami tidak ada paksaan jumlah tertentu. Bahkan Islam lebih mengedepankan kesederhanaan dalam hal mahar.

Pada saat Mappettu ada akan disepakati beberapa perjanjian, diantaranya Sompa. Sompa artinya maskawin atau mahar sebagai syarat sahnya perkawinan. besarnya Sompa telah ditentukan menurut golongan dan tingkatan si perempuan.

Menurut Ibu Ros salah satu warga yang bertempat tinggal di kelurahan Kalibaru mengatakan bahwa orang Bugis sangat menjaga harga diri keluarga mereka, contohnya saja dalam menjodohkan anak perempuannya dengan seorang laki-laki. Beliau mengatakan bahwa mahar itu penting untuk masa depan calon istri, menurutnya mahar itu diberikan sesuai dengan stratifikasi perempuan tersebut, karena mahar perempuan itu mencerminkan bahwa keluarganya itu dari kalangan yang baik.

(60)

B. Praktek Pemberian Mahar

Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan.3 Kroeber dan Klukhon (1950) mengajukan konsep kebudayaan sebagai kupasan kritis dari definisi-definisi kebudayaan (konsesus) yang mendekati. Definsinya adalah kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama ditirukan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterkaitan terhadap nilai-nilai.4

Masyarakat Bugis sebagaimana masyarakat lain di bagian dunia lainnya, laki-laki dan perempuan mempunyai wilayah aktifitas yang berbeda. Hubungan mereka saling melengkapi sebagai manifestasi dari perbedaan yang mereka miliki. Perbedaan ini diharapkan dapat saling melengkapi dan bersatu dalam satu ikatan perkawinan.

Pemberian mahar disebut dan diberikan pada waktu akad nikah yang dibawa ketika mappenre botting5. Tetapi sebelumnya mahar tersebut sudah

3

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), Cet. Ke-23, h. 1

4

M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 1998), Edisi 3, Cet. Ke-6, h. 11

5

(61)

53

dibicarakan pada saat acara mappetu ada, yang telah diputuskan jumlah mahar yang akan diberikan pengantin perempuan. Bahkan sebelum

Gambar

Gambar Lokasi Penelitian
Table 1.12
Table 1.23
Table 1.45
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penggilingan mempunyai pengaruh terhadap komposisi kimia beras seperti lemak, mineral, tiamin, fosfat dan pigmen yang memang terkonsentrasi pada lapisan luar,

Pola-pola ruang komunal yang berhasi dibangun merupakan pola-pola dengan intensitas tinggi yang dipengaruhi oleh parameter kegiatan yang tidak formal dengan frekwensi jam

Kognitif adalah yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya. Di sini pesan yang disampaikan komunikator ditujukan kepada pikiran

Hasil penelitian Latuheru (2005), bahwa komitmen organisasi mempunyai pengaruh negatif terhadap hubungan antara partisipasi anggaran dengan senjangan anggaran dan

Pegadaian cabang pelajar medan merupakan salah satu cabang BUMN yang bergerak dalam bidang pegadaian berupa emas dan barang berharga lainnya yang dapat diukur

1) Merencanakan kegiatan seksi Analisis dan Identifikasi Permasalahan sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas. 2) Membagi tugas kepada staf seksi Analisis dan

Penambahan jenis bahan pakan sumber protein pada ransum tepung daun singkong dan hidrolisat tepung bulu ayam, berbasis limbah dan hijauan kelapa sawit berpengaruh nyata

Kegiatan PKM ini bertujuan untuk membantu guru mengintegrasikan teknologi ke dalam kegiatan pembelajaran dengan cara membuat media pembelajaran yang berbasis