• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pola Asuh pada Baduta Stunting Usia 13-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Pola Asuh pada Baduta Stunting Usia 13-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang Tahun 2015"

Copied!
245
0
0

Teks penuh

(1)

i

TANGERANG TAHUN 2015

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh : AL KAHFI 1111101000112

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Oktober 2015

(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN GIZI

Skripsi, Oktober 2015

Al Kahfi, NIM: 1111101000112

Gambaran Pola Asuh pada Baduta Stunting Usia 13-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang Tahun 2015

xix + 188 halaman, 4 tabel, 2 bagan, 1 diagram, 1 gambar, 5 lampiran

ABSTRAK

Stunting adalah bentuk dari proses pertumbuhan yang terhambat dan merupakan masalah gizi yang perlu mendapat perhatian serta menjadi salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Pola asuh merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan masalah gizi seperti stunting karena balita masih tergantung terhadap pola asuh yang diterapkan keluarga dalam pemenuhan makanan dan perawatan kesehatannya.

Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran pola asuh balita stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2015 dengan melakukan wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Informan dalam penelitian ini adalah pengasuh utama, informan keluarga, kader posyandu, dan TPG puskesmas.

(4)

banyak mengandung karbohidrat dan penyedap rasa. Penyiapan dan penyimpanan makanan secara umum kurang baik mulai dari penyajian makan, kebersihan individu dalam menyiapkan makanan, pemasakan, penyimpanan, dan kebiasaan membeli makanan dari luar untuk anak. Namun terdapat perilaku baik yaitu peralatan masak dan makan selalu dicuci terlebih dahulu kemudian ada yang merebusnya sebelum digunakan. Perilaku pencegahan anak terhadap penyakit kurang baik karena sebagian besar informan membiarkan anaknya main begitu saja tanpa pengawasan. Pemberian imunisasi sudah baik namun ketika anak sakit masih ada informan yang melakukan cara sederhana untuk mengobati anak.

Perilaku pencarian layanan kesehatan sudah baik dimana Sebagian besar informan rutin membawa anaknya ke posyandu. Perilaku higiene dan sanitasi lingkungan terlihat kurang baik dari sisi membersihkan kotoran anak, cuci tangan sebelum makan, keberadaan kakus, hewan peliharaan di sekitar rumah, pengelolaan sampah, upaya ibu menjaga anak tetap bersih, dan lingkungan anak bermain. Namun untuk sumber air bersih, seluruh informan sudah memilikinya walaupun ada yang tidak bisa diminum. Untuk minum, seluruh informan menggunakan air isi ulang. Perawatan ibu ketika hamil secara umum sudah baik dalam hal pemeriksaan kandungan, konsumsi tablet Fe, dan imunisasi TT. Terdapat informan yang memiliki aktivitas berat selama kehamilan, seperti biasa, dan tidak melakuakan aktivitas apapun.

Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada ibu atau pengasuh yang memiliki baduta atau balita untuk rutin datang ke posyandu dan memberikan makanan dengan memperhatikan variasi, porsi dan frekuensi yang sesuai dengan umur anak. Ibu atau pengasuh perlu memperhatikan jadwal makan anak agar tidak berbarengan ketika anak sedang jajan. Untuk mengatasi sulit makan pada anak, ibu atau pengasuh perlu membuat warna dan bentuk yang menarik pada makanan. Selain itu ibu atau pengasuh juga harus memperhatikan cara menyimpan makanan agar tidak tercemar debu atau bakteri serta memperhatikan kebersihan anak baik ketika bermain, makan, tidur, ataupun yang lainnya. Dalam mengatasi masalah sampah yang masih banyak berserkan dan dibuang sembarangan, Pihak puskesmas perlu berkoordinasi dengan kelurahan setempat dan masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut. Disarankan kepada pihak puskesmas untuk memberikan pengetahuan mengenai stunting kepada kader posyandu. Dibutuhkannya peran aktif kader posyandu dalam mensosialisasikan jadwal posyandu kepada masyarakat. Selain itu kader juga perlu memberika pengetahuan kepada masyarakat tentang apa itu ASI eksklusif dan manfaatnya baik bagi anak ataupun ibu sendiri dengan cara penyampaian pesan yang ramah.

(5)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

NUTRITION DEPARTEMENT

Undergraduate Thesis, October 2015

Al Kahfi, NIM : 1111101000112

A Picture Of Parenting Pattern Stunting Toddler Age 13-24 Months in Puskesmas Neglasari Tangerang City in 2015

xix + 188 pages, 4 tables, 2 charts, 1 diagram, 1 picture, 5 attachments

ABSTRACT

Stunting is a form of stunted growth process and a nutritional problems that need attention and become one of the major public health problem in Indonesia. Parenting is one of the factors that can cause nutritional problems such as stunting for children under five that still depend on the upbringing applied to the family in the fulfillment of food and medical care.

This study aims to determine a picture of stunting parenting toddlers aged 13-24 months in Puskesmas Neglasari. This study used a qualitative approach conducted from May to July 2015 with in-depth interviews, observation and document analysis. Informants of this study are primary caregivers, family informants, posyandu cadres, and TPG health centers.

(6)

informants let their children plays it out of from their sight. Immunizations are good, but when the child is sick, informants need to perform a simple way to treat a child.

Healthcare-seeking behavior has been well, whereas the majority of informants routinely bring their children to Posyandu. Environmental hygiene and sanitation behavior looks less, in terms of cleaning up the child, washes the hands before eating, where latrines, pets around the house, waste management, efforts to keep the child's mother kept clean, and the neighborhood where the children plays. But for a clean water source, the entire informant already have it eventhough is not drinkable. To drink, all informants using water refills. Nursing mothers during a pregnancy in general has been well, in terms of prenatal consumption of iron tablet, and TT. There are informants who have heavy activity during pregnancy, as usual, and not doing any activity.

Based on the research results suggested to the health centers and neighborhood health center to provide counseling about the Cleanliness and Healthyness Behavior to the public.

Based on the research, suggested to the mother or caregiver who has baduta or toddler to regularly come to Posyandu and provide food to look at the variation, the portion and frequency appropriate to the child's age. Mothers or caregivers need to pay attention to the meal schedule so as not to coincide child when the child is eating snacks. To overcome the difficulty eating in children, mother or caregiver needs to make colors and interesting shapes on food. Besides the mother or caregiver must also consider how to store food that is not contaminated with dust or bacteria as well as observing good hygiene when children play, eat, sleep, or the other. In addressing the problem of waste is still a lot of scattered and discarded carelessly, Parties health centers need to coordinate with the local village and community to resolve the issue. Suggested to the clinic to provide knowledge about the cadre's stunting. Cadre's need for an active role in disseminating to the public posyandu schedule. In addition cadres also need about providing knowledge to the public about what it is and the benefits of exclusive breastfeeding for a child or a mother herself with a friendly way of delivering messages.

(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi

GAMBARAN POLA ASUH PADABADUTA STUNTING USIA 13-24

BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NEGLASARI KOTA TANGERANG TAHUN 2015

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, September 2015

Oleh

Al Kahfi

NIM : 1111101000112

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ratri Ciptaningtyas, MHS Catur Rosidati, MKM

(8)
(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Al Kahfi

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 04 Oktober 1992

Agama : Islam

Alamat : Jalan Mushollah Al Hidayah Kampung Dongkal RT

007/03 Kelurahan Cipondoh Indah Kecamatan

Cipondoh Kota Tangerang

PENDIDIKAN FORMAL

1. 1999-2005 : MI Jamiatul Gulami Gondrong, Cipondoh

2. 2005-2008 : MTsN 8 Jakarta Barat

3. 2008-2011 : SMAN 94 Jakarta Barat

4. 2011-Sekarang : Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Subhaanahuu Wata‟aalaa yang

senantiasa memberikan limpahan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Gambaran Pola Asuh pada

Baduta stunting usia 13-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang Tahun 2015 ”. Shalawat dan salam penulis mohonkan kepada

Allah Subhaanahuu Wata‟aalaa, semoga selalu diberikan kepada Nabi

Muhammad Shallallaahu „Alaihi Wasallam beserta keluarga dan umatnya.

Aamiin.

Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu tersusunnya laporan ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu mendoakan kebaikan untuk anaknya

2. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Ib Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, P.hD selaku Kepala Program Studi

Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Febrianti, Msi, selaku penanggung jawab peminatan gizi

5. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS, selaku dosen pembimbing I yang sangat

banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Catur Rosidati, MKM, selaku dosen pembimbing II yang telah

(11)

7. Ibu Ratna Juwita, AMG, yang telah memberikan banyak masukan dan

koreksi dalam dalam proses penelitian ini.

8. Semua staff Puskesmas Neglasari yang telah membantu penulis selama

kegiatan magang.

9. Semua baduta dan kelauarganya yang telah bersedia untuk menjadi informan

dalam penelitian ini.

10. Teman-teman yang telah membantu mulai dari pembuatan surat izin sampai

penyusunan skripsi ini.

11. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan

satu-persatu. Terima kasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat kurang dari sempurna, sehingga

penulis mengharapkan kritik dan saran yang diberikan. Semoga laporan ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak. Aamiin.

Jakarta, Oktober 2015

(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vi

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR DIAGRAM ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 11

1.4 Tujuan Penelitian ... 12

1.4.1 Tujuan Umum ... 12

1.4.2 Tujuan Khusus ... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 13

(13)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting ... 15

2.1.1 Pengertian ... 15

2.1.2 Dampak Stunting ... 15

2.1.3 Penyebab ... 15

2.2 Pola Asuh ... 18

2.2.1 Pemberian ASI Eksklusif ... 20

2.2.2 Pemberian MP ASI ... 21

2.2.3 Peyiapan dan Penyajian Makan ... 27

2.2.4 Praktik Kesehatan dasar ... 30

2.2.5 Pencarian Layanan Kesehatan... 33

2.2.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan ... 35

2.2.7 Perawatan Ibu ketika Hamil ... 39

2.2.8 Perawatan Psikososial dan Stimulasi Kognitif ... 44

2.3 Argumentasi Pemilihan Desain dan Analisis Informan ... 45

2.4 Kerangka Teori ... 46

BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH 3.1 Kerangka Pikir ... 48

3.1 Definisi Istilah ... 50

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Metode Penelitian ... 52

(14)

4.3 Informan Penelitian ... 52

4.4 Pengumpulan Data ... 54

4.4.1 Sumber Data ... 54

4.4.2 Instrumen Penelitian ... 55

4.5 Analisis Data ... 55

4.6 Validasi Data ... 56

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 58

5.2 Karakteristik Informan ... 60

5.2.1 Informan Utama ... 60

5.2.2 Informan Pendukung ... 62

5.3 Gambaran Pola Asuh ... 63

5.3.1 Pemberian ASI Eksklusif ... 63

5.3.2 Pemberian MP-ASI ... 67

5.3.3 Penyiapan dan Penyimpanan Makanan ... 75

5.3.4 Praktik Kesehatan Dasar ... 81

5.3.5 Pola Pencarian Layanan Kesehatan ... 87

5.3.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan ... 91

5.3.7 Perawatan Ibu ketika Hamil ... 100

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ... 111

(15)

6.3 Pola Asuh

6.3.1 Pemberian ASI Eksklusif ... 117

6.3.2 Pemberian MP-ASI ... 124

6.3.3 Penyiapan dan Penyimpanan Makanan ... 132

6.3.4 Praktik Kesehatan Dasar ... 141

6.3.5 Pola Pencarian Layanan Kesehatan ... 149

6.3.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan ... 157

6.3.7 Perawatan Ketika Ibu Hamil ... 163

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 172

7.2 Saran ... 175

DAFTAR PUSTAKA ... 180

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Validasi Data 57

Tabel 5.1 Karakteristik Informan Utama 61

Tabel 5.2 Informan Keluarga 62

(17)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori 47

(18)

DAFTAR DIAGRAM

(19)

DAFTAR GAMBAR

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian

2. Pedoman Wawancara Mendalam

3. Pedoman Observasi

4. Matriks Wawancara Mendalam

(21)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting merupakan bentuk dari proses pertumbuhan yang terhambat, dan merupakan salah satu masalah gizi yang perlu mendapat

perhatian (Picauly dan Toy, 2013). Masalah pendek (stunting) pada anak akan menghambat perkembangan, dampak negatif ini akan berlanjut

dalam kehidupan setelahnya. Hal ini karena sekitar 70% pembentukan sel

otak terjadi sejak janin masih dalam kandungan hingga anak berumur 2

tahun. Jika otak mengalami gangguan pertumbuhan maka jumlah sel otak,

serabut sel dan penghubung sel otak akan berkurang. Hal ini menyebabkan

penurunan intelegensia, bila mencari pekerjaan maka peluang gagal tes

wawancara menjadi lebih besar, tidak mendapat pekerjaaan yang baik dan

akan menyebabkan penghasilan yang rendah serta tidak dapat mencukupi

kebutuhan pangan. Selain itu, dari aspek estetika, anak yang tumbuh

proporsional akan kelihatan lebih menarik dari anak yang pendek (Depkes,

2012).

Stunting merupakan indikator keberhasilan, kesejahteraan, pendidikan dan pendapatan masyarakat (Depkes, 2012). Faktor asupan

makanan, pola asuh dan kesehatan yang diperoleh ibu dan anak-anaknya

memiliki dampak besar bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka di masa

(22)

mulai dari sisi ekonomi, kecerdasan, dan kualitas yang berpengaruh

terhadap masa depan anak. Studi yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa anak yang pendek sangat erat hubungannya dengan prestasi di

sekolah yang buruk. Anak – anak yang pendek memiliki risiko yang lebih

besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan,

miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular

(Unicef Indonesia, 2012).

Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Secara nasional prevalensi pendek pada tahun 2013 mencapai

37.2%. Angka ini lebih besar dari tahun 2010 sebesar 35.6% dan tahun

2007 sebesar 36.8%. Di Provinsi Banten, pada tahun 2007, 2010 dan 2013

prevalensi stunting masih berada diatas 30% (Depkes, 2013). Sementara itu berdasarkan Riskesdas Provinsi Banten tahun 2007, di Kota Tangerang

prevalensi stunting sebesar 30.1% (Depkes, 2007). Jika dibandingkan dengan batas non public health problem yang ditetapkan WHO untuk masalah kependekan sebesar 20%, maka Kota Tangerang masih dalam

kondisi bermasalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2010).

Penelitian Hanum dkk (2014), menunjukkan bahwa stunting lebih banyak terjadi pada usia 48-59 bulan dengan proporsi sebesar 29.8%.

Keadaan ini mengindikasikan semakin bertambahnya umur anak, maka

akan semakin jauh dari pertumbuhan linear normal. Keadaan ini diduga

karena semakin tinggi usia anak maka kebutuhan energi dan zat gizi

semakin meningkat. Pertumbuhan anak akan semakin menyimpang dari

(23)

maupun kualitas tidak memadai. Sementara itu penelitian Zottarelli dkk

(2007), menunjukkan bahwa anak-anak yang berusia lebih dari 12 bulan

memiliki peluang lebih besar terkena stunting daripada anak yang berusia dibawah 12 bulan.

Masalah gizi khususnya stunting pada balita disebabkan asupan makan yang kurang memadai dan penyakit yang merupakan penyebab

langsung masalah gizi pada anak. Keadaan tersebut terjadi karena praktik

pemberian makan yang tidak tepat, penyakit infeksi yang berulang,

perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk. Pada intinya, semua ini

disebabkan karena faktor kurangnya pendidikan dan pengetahuan

pengasuhan anak, penggunaan air yang tidak bersih, lingkungan yang

tidak sehat, pendapatan yang rendah dan keterbatasan akses terhadap

pangan (Unicef Indonesia, 2012).

Proporsi balita stunting lebih besar terjadi pada anak yang mengalami diare. Anak yang pernah mengalami diare memiliki hubungan

yang bermakna dengan status gizi berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB.

Pada balita yang mengalami diare akan berpeluang pendek, kurus dan gizi

kurang 1 kali lebih besar pada anak yang normal atau balita dengan status

gizi baik (Hidayat dan Fuada, 2011). Penelitian Adi dan Andrias (2011),

menunjukkan secara umum balita yang berada pada rumah tangga miskin

mempunyai persentase masalah gizi yang lebih besar. Hasil analisis

(24)

penelitian Ulfani dkk (2011) yang mengatakan semakin tinggi tingkat

kemiskinan maka prevalensi stunting semakin meningkat.

Hasil lain menunjukkan bahwa balita yang berada pada wilayah

kerawanan pangan mempunyai persentase lebih besar terhadap gangguan

gizi. Terdapatnya hubungan yang signifikan antara stunting dan

underwight dengan kategori wilayah kerawanan pangan, menunjukkan bahwa semakin meningkatnya status kerawana pangan di suatu wilayah,

maka persentase balita stunting dan underweight semakin meningkat (Adi dan Andrias, 2011).

Penelitian Rosha dkk (2012) menunjukkan, tingkat pendidikan ibu

dapat mempengaruhi kejadian stunting pada anak. Pendidikan ibu akan mempengaruhi pengetahuan mengenai praktik kesehatan dan gizi sehingga

anak berada pada status gizi yang baik. Hasil analisis menunjukkan tingkat

pendidikan ibu memiliki pengaruh terhadap statsu gizi dimana ibu yang

pendidikannya kurang dari SMP berpeluang 1.56 kali memiliki anak

stunting. Angka harapan hidup merupakan dampak dari status kesehatan dan gizi dan dapat digunakam sebagai tolak ukur dalam menentukan

derajat kesehatan anak. Dengan diketahuinya angka harapan hidup, maka

dapat pula diketahui sejauh mana perkembangan status kesehatan anak.

Angka harapan hidup di suatu wilayah dapat menunjukkan baik atau

buruknya status kesehatan yang saling terkait dengan bergagai faktor,

seperti sosial, ekonomi dan budaya (Litbang Kota Tangerang, 2011).

Pola asuh merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan

(25)

dengan pola asuh yang kurang atau rendah memiliki peluang lebih besar

anaknya terkena stunting dibandingkan ibu dengan pola asuh baik.

Berdasarkan penelitian Sab‟atmaja dkk (2010), di Lampung, Aceh,

Yogyakarta, dan Papua, peranan karakteristik ibu dan pola asuh sangat

berpengaruh terhadap status gizi balita. Hal ini karena, ibu yang memiliki

karakteristik baik dan dapat mengelola pendapatan dengan baik,

cenderung mempraktikkan pola asuh yang baik dan akhirnya akan

meningkatkan status gizi balita. Terdapat asumsi bahwa semakin tinggi

pendapatan maka akan meningkatkan pola asuh dan kesehatan masyarakat.

Pola asuh kesehatan berhubungan langsung dengan status gizi dan pola

asuh kesehatan juga berhubungan dengan status kesehatan. Artinya, pola

asuh kesehatan dapat mempengaruhi status kesehatan dan status gizi

(Sab‟atmaja dkk, 2010).

Pola asuh adalah praktik di rumah tangga yang dilihat dengan

tersedianya pangan dan perwatan kesehatan serta sumber lainnya untuk

kepentingan hidup, pertumbuhan dan perkembangan (Zeitlin, 2000).

Menurut Engle dkk (1997) dan Zeitlin (2000), pola asuh terdiri dari

perawatan bagi ibu, pemberian ASI dan MP-ASI, pengasuhan psikososial

dan stimulasi kognitif, penyajian dan penyimpanan makanan, praktik

kesehatan dasar di rumah, pola pencarian layanan kesehatan, praktik

higiene dan sanitasi lingkungan.

Penelitian yang dilakukan Renyoet dkk (2013) tentang hubungan

(26)

lingkungan, serta pemanfaatan layanan kesehatan memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap kejadian stunting pada balita. Sementara itu, penelitian Arifin dkk (2012) tentang analisis sebaran dan penyebab stunting

menunjukkan, pemberian ASI eksklusif mempunyai hubungan yang

signifikan dan merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian

stunting. BBLR merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stunting, karena seringkali terjadi pada masa pertumbuhan janin terutama pada ibu yang belum cukup umur dan kekurangan gizi selama

masa kehamilan (Bappenas, 2013). Penelitian Candra dkk (2011),

menunjukkan bahwa BBLR merupakan salah satu faktor yang paling

berpengaruh terhadap kejadian stunting selain faktor tinggi ayah dan riwayat berat badan rendah.

Keadaan gizi balita dipengaruhi oleh pola asuh keluarga karena

balita masih tergantung dalam memenuhi asupan makan dan perawatan

kesehatannya. Sementara itu, kualitas makanan dan gizi sangat tergantung

pada pola asuh makan anak yang diterapkan oleh keluarga (Martianto dkk,

2011). Peran ibu dalam pengasuhan sangat penting karena merupakan orang terdekat kepada anak. Pemberian makan ibu dapat mempengaruhi

tumbuh kembang anak baik secara positif maupun negatif (Fitriana dkk,

2007).

Penelitian Riyadi dkk (2011) tentang faktor faktor yang

mempengaruhi status gizi balita di Kabupaten Timor Tengah Utara

menunjukkan, pengasuhan ibu kepada anak merupakan kemampuan ibu

(27)

Hasil penelitian ini menunjukkan 27 % ibu memiliki kualitas pengasuhan

dalam kategori kurang. Secara umum terlihat bahwa ibu masih cukup

banyak melakukan kekerasan pada saat marah kepada anak dengan

mencubit, memukul dan berkata negatif.

Peranan karakteristik ibu dan pola asuh sangat menentukan

pengaruhnya terhadap status gizi balita (Sab‟atmaja dkk, 2010). Umumnya

orang tua memberikan makanan yang kurang teratur dan terkadang

memaksakan suatu makanan kepada anak. Selain itu tidak ada usaha dari

keluarga agar anak mau makan dan lebih membiarkan anak jajan

sembarangan (Lubis, 2010). Sebagian besar ibu berperilaku kurang seperti

memberikan bentuk makanan, frekuensi pemberian makanaan yang kurang

dari usia balita dan adanya anak usia 1 bulan yang diberikan nasi. Selain

itu masih ditemukan ibu yang kurang setuju gizi buruk harus segera

ditangani, memperkenalkan makanan semi cair pada bayi dan anak usia

12-24 bulan diberikan makanan lunak (Sofiyana dan Noer, 2013).

Pola asuh pemberian makan yang diterapkan juga kurang baik dan

tidak memenuhi gizi. Biasanya anak hanya diberikan makanan yang

kurang bervariasi dan hampir sama setiap harinya serta porsi yang kurang.

Makanan yang diberikan berupa nasi, tim atau bubur dengan kuah sayur

atau bumbu saja seperti kecap dan garam serta anak jarang diberikan sayur

dan buah (Veriyal, 2010). Padahal, masyarakat telah diberikan informasi

bagaimana pola asuh makan yang baik, baik melalui penyuluhan ataupun

(28)

pengetahuan yang dilatar belakangi pendidikan dan ekonomi yang rendah,

keadaan tetap seperti itu dan sulit untuk merubahnya (Lubis, 2010).

Penelitian observasional yang dilakukan Adriani dan Kartika (2013)

menunjukkan, di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, perilaku ibu dalam

pemberian makan kepada bayi kurang baik. Ibu mempunyai kebiasaan

memberikan air dengan kelapa hijau yang dicampur dengan madu. Selain

itu pada saat bayi berusia 0-6 bulan anak sudah diberikan makanan lain

seperti biskuit dan telur. Konsumsi makanan balitanya pun tidak sesuai

dengan pola makan balita yang baik karena sebelum anak berusia satu

tahun sudah diberikan makanan ringan. Ketika anak tidak mau makan, ibu

hanya menggantinya dengan mie instan karena mengaku lebih disukai

balita dan lebih mengutamakan keinginan anak. Sedangkan di Kota

Semarang, ibu-ibu tidak segera memberikan ASI setelah bayi lahir, tetapi

memberikan madu atau tajin (Adriani dan Kartika, 2013).

Dalam hal pola asuh kesehatan, berdasarkan penelitian kualitatif di

Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang, terlihat ada perbedaan

antara apa yang dikatakan orang tua dengan dengan keadaan sebenarnya.

Dimana beberapa anak masih dibiarkan main ditempat yang kotor atau

bergaul dengan anak lain yang terkena penyakit infeksi, serta adanya orang

tua dan anak balitanya tidak mencuci tangan sebelum makan. Selain itu

sebagian besar orangtua tidak memberikan imunisasi kepada anaknya

karena anak dalam keadaan sakit ketika imunisasi diberikan. Ada pula

orang tua yang membawa anaknya berobat ke Puskesmas namun obat dan

(29)

lain yang terjadi yaitu ibu tidak membasuh anak ketika buang air kecil dan

membiarkan anak buang air besar di halaman rumah (Veriyal, 2010).

Pada tahun 2007, berdasarkan Riskesdas Provinsi Banten, di Kota

Tangerang tercatat 30.1% balita mengalami stunting, yang berarti masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2008). Kecamatan

Neglasari dipilih menjadi tempat penelitian dengan pertimbangan

prevalensi diare pada anak di Kecamatan Neglasari paling tinggi di Kota

Tangerang yaitu 20% (Usfar dkk, 2010) dan kecamatan paling tinggi balita

gizi buruknya (Andriany dkk, 2008). Selain itu, pemilihan Kecamatan

Neglasari karena merupakan kecamatan yang jumlah penduduk miskinnya

paling besar yaitu 20.03%, kecamatan paling besar jumlah perempuan buta

hurufnya yaitu 7.64%, kecamatan dengan angka harapan hidup terendah,

dan merupakan kecamatan paling rawan pangan di Kota Tangerang

(Litbang Kota Tangerang, 2011).

Berdasarkan studi pendahuluan terhadap data sekunder mengenai

pengukuran status gizi yang dilakukan di Puskesmas Neglasari pada tahun

2014, prevalensi balita umur 13-24 bulan yang mengalami stunting sebesar

27.15%. Berdasarkan hasil wawancara kepada TPG Puskesmas Neglasari,

penyebab utama masalah gizi pada balita yaitu asupan makanan dan

penyakit infeksi. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan pemberian

ASI eksklusif, praktik pemberian makan yang kurang teratur, kurangnya

keaktifan kunjungan ke posyandu dimana rata-rata hanya mencapai 50%.

Sementara itu berdasarkan hasil observasi atau kunjungan rumah kepada

(30)

kebersihan masih kurang dan lingkungan rumah yang kurang mendukung

untuk pertumbuhan anak. Dengan demikian, perlu diteliti lebih lanjut

mengenai praktik pola asuh yang dilakukan ibu terhadap balita yang

mengalami stunting.

Mengetahui perilaku atau praktik keluarga dalam pola asuh balita

yang memiliki status gizi stunting merupakan suatu hal yang berguna untuk merencanakan dan melakukan intervensi. Praktik atau perilaku

seseorang merupakan sesuatu yang unik, berbeda, dan tidak dapat diukur

secara kuantitatif. Agar perilaku atau praktik tersebut dapat dipahami,

maka penelitian kualitatif perlu untuk dilakukan untuk mengetahui

informasi mendalam jika dibandingkan dengan penelitian kuantitatif.

Penelitian dengan menggunakan desain kualitatif dapat mengetahui cara

pandang informan penelitian secara lebih mendalam yang mungkin tidak

bisa diwakili dengan angka-angka statistik.

Selain itu dengan metode ini peneliti dapat mengenal subyek

penelitian, bagaimana ia mengembangkan sendiri definisi atau pendapat

mereka tentang suatu masalah. Peneliti juga dapat merasakan apa yang

mereka alami ketika bergaul dengan masyarakat sehari-hari. Peneliti

sebagai instrumen dapat menilai apakah keberadaanya di suatu masyarakat

menjadi pengganggu, sehingga apabila ini tetrjadi peneliti dapat

(31)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan studi pendahuluan, kejadian stunting baduta usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Negalasari masih cukup tinggi dan

merupakan masalah kesehatan masyarakat. Pola asuh merupakan faktor

yang dapat mempengaruhi status gizi balita. Penelitian ini dilakukan untuk

menggali informasi mendalam bagaimana pola asuh yang diterapkan orang

tua balita stunting. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti memfokuskan penelitian untuk mengetahui gambaran pola asuh pada

baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran pemberian ASI eksklusif baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang

tahun 2015 ?

2. Bagaimana gambaran pemberian makanan pendamping ASI baduta

stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?

3. Bagaimana gambaran penyiapan dan peyimpanan makanan bagi

baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?

4. Bagaimana gambaran praktik kesehatan dasar di rumah bagi baduta

(32)

5. Bagaimana gambaran pola pencarian layanan kesehatan bagi baduta

stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?

6. Bagaimana gambaran praktik higiene dan sanitasi lingkungan baduta

stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?

7. Bagaimana gambaran perawatan bagi ibu baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun

2015 ?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran pola asuh baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun

2015.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran pemberian ASI eksklusif baduta stunting

usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota

Tangerang tahun 2015.

2. Mengetahui gambaran pemberian makanan pendamping ASI

(33)

3. Mengetahui gambaran penyiapan dan peyimpanan makanan

bagi baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

4. Mengetahui gambaran praktik kesehatan dasar di rumah bagi

baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

5. Mengetahui gambaran pola pencarian layanan kesehatan bagi

baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

6. Mengetahui gambaran praktik higiene dan sanitasi lingkungan

baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

7. Mengetahui gambaran perawatan bagi ibu baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota

Tangerang tahun 2015.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Puskesmas

Sebagai masukan bagi puskesmas di tempat penelitian,

sehinggga dapat dijadikan pedoman perencanaan dalam

(34)

1.5.2 Bagi Masyarakat

Untuk menambah pengetahuan pada masyarakat bagaimana

pola asuh yang baik dan dapat diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari.

1.5.3 Bagi Peneliti Lain

Dapat dijadikan gambaran bagaimana pola asuh di tempat penelitian dan dapat dijadikan bahan penelitian yang lebih baik.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pola asuh balita

stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan

Mei sampai Juli 2015 dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Subyek

penelitian ini adalah pengasuh utama, keluarga, kader posyandu dan TPG

puskesmas. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, telaah

(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stunting

2.1.1. Pengertian

Menurut WHO (1997), stunting merupakan proses pertumbuhan linear yang terhambat karena status kesehatan yang

kurang optimal dan atau masalah gizi. Menurut UNICEF stunting

adalah keadaan dimana tinggi seorang anak kurang dari -2 standar

deviasi dari ketinggian rata-rata untuk umur berdasarkan standar

yang ditetapkan. Menurut Onis dkk (2012), stunting didefinisikan

sebagai proporsi anak-anak yang memiliki panjang atau tinggi

badan dibawah -2 SD berdasarkan standar WHO.

2.1.2. Dampak Stunting

Masalah kurang gizi termasuk stunting dapat menyebabkan kerusakan permanen. Hal ini terjadi bila seorang anak kehilangan

berbagai zat gizi yang penting untuk tumbuh kembangnya,

kekebalan tubuh, dan perkembangan otak yang optimum. Anak

yang mengalami gizi kurang akan menjadi kurang berprestasi di

sekolah dan kurang produktif pada saat dewasa (Depkes, 2012).

(36)

Stunting terjadi akibat kekurangan gizi berulang dalam waktu lama pada masa janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang

anak. Tingginya prevalensi BBLR akibat tingginya prevalensi KEK

pada ibu hamil. BBLR dapat meningkatkan angka kematian bayi

dan balita, gangguan pertumbuhan fisik dan mental anak, serta

penurunan kecerdasan. Anak yang stunting mempunyai resiko kehilangan IQ 10-15 poin (Bappenas, 2013).

Ancaman rendahnya produktivitas dan kualitas sumber daya

manusia ke depan akibat stunting merupakan hal yang tidak bisa diremehkan. Namun yang disayangkan, masyarakat belum

menyadari masalah ini karena anak yang pendek atau stunting

terlihat sebagai anak dengan aktivitas yang normal, tidak seperti

anak yang kekurangan gizi (Depkes, 2012).

2.1.3. Penyebab

Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini

adalah stunting. Menurut WHO (1997), secara populasi stunting

berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang buruk dan

peningkatan risiko seringnya anak terkena penyakit serta praktik

pemberian makan yang kurang baik. Sedangkan menurut Depkes

(2012), anak yang mengalami stunting lebih banyak disebabkan karena rendahnya asupan gizi dan penyakit yang berulang akibat

lingkungan yang tidak sehat. Masalah gizi kronis pada balita dapat

(37)

yang lama karena orang tua atau keluarga tidak tahu atau belum

memberikan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi anak

(Depkes, 2012).

Masalah gizi disebakan banyak faktor yang saling terkait.

Penyebab yang sering terjadi karena kurangnya makanan, distribusi

pangan yang kurang baik, rendahnya praktik menyusui dan

penyapihan, praktik pengasuhan yang kurang, sanitasi, dan

penyakit (CORE, 2003). Secara garis besar masalah gizi

disebabkan karena kurangnya asupan makanan dan penyakit

infeksi. Asupan makan yang kurang dapat disebabkan karena tidak

tersedianya makanan, anak yang tidak mendapatkan makanan

bergizi seimbang dan pola asuh yang salah (Nency, 2005).

a. Tidak tersedianya makanan

Keadaan sosial ekomoni berkaitan langsung dengan

masalah ini. Data di Indonesia menunjukkan adanya

hubungan yang timbal balik antara kurang gizi dan

kemiskinan.

b. Anak yang tidak mendapat gizi seimbang

ASI adalah makanan yang terbaik bagi bayi usia 0-6

bulan. Setelah itu anak perlu diberikan makanan

pendamping agar kebutuhan gizinya terpenuhi.

c. Pola asuh makan yang salah

Pola pengasuhan berpengaruh terhadap keadaan gizi

(38)

akan pola asuh yang baik maka gizi anak pun akan ikut

menjadi baik.

Kaadan sakit atau penyakit infeksi pada balita menjadi

penyebab lain masalah gizi, keduanya saling terkait dan ada

hubungan timbal balik. Penyakit infeksi akan menyebabkan

masalah gizi dan masalah gizi akan memberikan pengaruh kepada

sistem ketahanan tubuh dan akhirnya memudahkan terjadinya

infeksi (Nency, 2005).

2.2. Pola Asuh

Pola asuh anak ikut berperan terhadap timbulnya masalah gizi,

hanya saja selama ini banyak anggapan di masyarakat bahwa masalah gizi

hanya dialami oleh balita dari keluarga miskin. Anggapan itu tidak

sepenuhnya benar, masalah gizi juga disebabkan karena pola asuh anak

(Nisa, 2013). Balita yang besar dalam keluarga miskin akan tumbuh sehat

apabila diasuh oleh orang tua yang memahami pentingnya kesehatan.

Salah satu contohnya, ada anak gizi buruk berasal dari orang tua yang

bekerja sepagai PNS yang berkecukupan. Hal tersebut ternyata terjadi

karena pengasuhan anak diserahkan pada nenek yang memiliki

keterbatasan pengetahuan akan pentingnya pemberian makanan bergizi

(Nisa, 2013).

(39)

timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh sendiri oleh ibunya dengan kasih

sayang, mengerti tentang pentingnya ASI, posyandu, dan kebersihan,

meski dalam kondisi miskin, namun anak tetap sehat (Indriyan, 2013).

Pola asuh adalah praktik-praktik pengasuhan dan segala interaksi

yang terjadi antara orang tua dengan anak. Interaksi ini meliputi segala hal

yang diajarkan orang tua kepada anaknya dalam proses pengasuhan dan

pendidikan (Ulfah, 2008). Menurut Engle dkk (1997), pola asuh adalah

perawatan dalam rumah tangga yang menyediakan waktu, perhatian, dan

dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan perkembangan

sosial anak. Sedangkan menurut Zeitlin, pola asuh adalah praktik di rumah

tangga yang dilihat dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan

serta sumber lainnya untuk kepentingan hidup, pertumbuhan dan

perkembangan (Zeitlin, 2000).

Upaya pencegahan terhadap masalah gizi sangat penting. Hal yang

dapat dilakukan yaitu meningkatkan kualitas makanan dan perawatan

kesehatan (WHO, 2007). Aspek kunci dalam pola asuh terdiri dari

perawatan dan perlindungan bagi ibu, pemberian ASI dan MP-ASI,

pengasuhan psikososial, penyiapan makanan, praktik higiene dan sanitasi

lingkungan, dan praktik kesehatan di rumah (Zeitlin, 2000). Menurut

Engle dkk (1997), pola asuh terdiri dari perawatan bagi ibu, pemberian

ASI, pemberian makan untuk anak, pengasuhan psikososial, penyajian

makanan, praktik higiene, dan perawatan kesehatan dirumah yang

merupakan upaya preventif berupa pemberian imunisasi dan dan

(40)

2.2.1. Pemberian ASI Eksklusif

Menyusui merupakan tanggung jawab seorang ibu, kebiasaan

menyusui dan cara menyapih yang baik memegang peranan penting

dalam kesejahteraan serta pertumbuhan anak. Banyak ahli sepakat

bahwa air susu ibu lebih baik dari susu formula. Anak yang

diberikan ASI lebih rendah terhadap risiko kesakitan dan kematian

dibandingkan dengan anak yang diberikan susu formula (Mandl,

1981). ASI memiliki banyak sekali keuntungan untuk bayi, yaitu

mendapatkan status gizi optimal, meningkatkan kemampuan

kognitif, mengurangi risiko kegemukan, pencegahan terhadap

infeksi, mengurangi risiko terhadap alergi, dan menurunkan risiko

morbiditas pada anak (Almatsier, 2011).

ASI adalah makanan tebaik bagi bayi, pemberian minuman

dan makanan selainnya sampai usia 6 bulan dapat mengganggu

percernaan pada bayi. Hal ini dapat menyebabkan bayi sakit perut

ataupun diare. Jika bayi sakit, dapat membuat asupan gizi, variasi

dan ragam makanan berkurang yang akhirnya akan mengganggu

pertumbuhan balita (Adriyani dan Kartika, 2013).

Pemberian ASI mempunyai hubungan yang signifikan

dengan status gizi balita usia 6-24 bulan. Ibu yang memberikan

anaknya ASI eksklusif cenderung memiliki balita dengan status

gizi baik. Sedangkan ibu yang tidak memberikan anaknya ASI

eksklusif sebagian besar balitanya mempunyai status gizi dibawah

(41)

menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif merupakan faktor

paling dominan terhadap kejadian stunting pada balita dimana 76% balita yang mengalami stunting tidak diberikan ASI eksklusif. Hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan bahwa balita dengan

ASI tidak eksklusif mempunyai risiko 3.7 kali lebih besar terkena

stunting dibandingkan balita dengan ASI eksklusif (Arifin dkk, 2012)

Penelitian Rahayu (2011) menunjukkan, kurangnya ASI dan

pemberian MP-ASI yang terlalu cepat dapat meningkatkan risiko

stunting pada periode pasca kelahiran awal. Dimana, anak yang awalnya stunting dan tidak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan memiliki risiko 3.7 kali lebih besar untuk tetap stunting. Hal ini diduga karena pengaruh ASI eksklusif terhadap perubahan

stunting kemungkinan disebabkan karena fungsi ASI sebagai anti infeksi (Rahayu, 2011).

Pengambilan data terkait pemberian ASI dilakukan dengan

cara wawancara mendalam menggunakan instrumen pedoman

wawancara mendalam.

2.2.2. Pemberian MP ASI

Setelah berumur 6 bulan keatas, kebutuhan gizi bayi semakin

tinggi dan bervariasi. Pemberian ASI saja hanya dapat memenuhi

60-70% kebutuhan gizinya. Oleh karena itu, selain pemberian ASI

(42)

menunjang asupan gizi bayi. Jika makanan pendamping ASI tidak

cepat diberikan, maka masa kritis untuk mengenalkan makanan

padat yang memerlukan keterampilan mengunyah yang mulai

dilakukan pada usia 6-7 bulan dikhawatirkan akan terlewati. Akibat

yang akan dialami bayi dalam keadaan seperti ini adalah kesulitan

untuk menelan atau menolak saat diberikan makanan padat

(Khomsan dan Ridhayani, 2008).

Secara alamiah, bayi dilahirkan dengan kemampuan refleks

terhadap makanan, seperti menghisap, menelan dan mengunyah.

Pemberian MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan organ

pencernaan bayi. Pertama-tama makanan yang diberikan bertekstur

cair, kental, semi padat dan terakhir makanan padat (Khomsan dan

Ridhayani, 2008). Menurut Khomsan dan Ridhayani (2008),

hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian MP-ASI adalah :

a. Makanan pendamping ASI dibuat dengan makanan yang

berkualitas, sehingga kualitas gizinya terjamin.

b. Pemberian MP-ASI harus diberikan bertahap. Pada

awalnya bayi diberikan makanan cair seperti sari buah

atau bubur susu. Setelah itu, dilanjutkan dengan makanan

kental seperti bubur tepung. Kemudian dilanjutkan

dengan makanan semi padat seperti nasi tim saring dan

akhirnya diberi makanan padat seperti nasi tim.

c. Pada tahap permulaan, bayi hendaknya diperkenalkan

(43)

dengan baik dan setelah itu baru diberikan makanan lain.

Hal ini dimaksudkan agar bayi benar-benar dapat

mengenal dan menerima jenis makanan baru.

d. Orang tua perlu mengetahui ada atau tidaknya alergi

terhadap suatu jenis makanan dengan memperhatikan

respon bayi setelah makan makanan tersebut.

e. Selama masa perkenalan makanan, jangan memaksakan

bayi untuk menghabiskan makanannya, hal ini karena

bayi membutuhkan proses adaptasi. Dengan

meningkatnya usia bayi akan mendapatkan porsi yang

lebih besar.

f. Waktu pemberian makan harus disesuaikan dengan

kondisi bayi. Hal ini karena pada saat lapar saluran

pencernaan bayi lebih siap untuk menerima dan

mencerna makanan.

g. Lakukan jarak pengaturan antara pemberian susu, jangan

memberikan makanan pendamping setelah bayi minum

susu atau sebaliknya. Hal ini karena bayi akan merasa

kenyang dan tidak mau menerima makanan atau susu

yang diberikan.

Banyak penelitian yang mengatakan bahwa pemberian

MP-ASI mempunyai peran penting dalam perbaikan status gizi anak,

(44)

menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan terhadap energi dan

zat gizi balita. Penelitian Krisnatuti dkk (2006) tentang analisis

status gizi anak dibawah dua tahun menunjukkan bahwa pemberian

MP-ASI dapat meningkatkan status gizi baduta. Pada baduta dari

jaring pengaman sosial bidang kesehatan berpeluang 4.461 kali

berstatus gizi normal berdasarkan indikator BB/TB didandingkan

dengan baduta yang tidak mendapatkan MP-ASI (Krisnatuti dkk,

2006).

Orang tua berperan dalam perilaku makan anak, secara sadar

ataupun tidak, orang tua telah membentuk kesukaan dan gaya

makan anak. Interaksi orang tua dengan anak berpengaruh terhadap

pilihan makanan dan pengembangan pola makan anak (Soetardjo,

2011). Pemberian makanan tambahan diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Selain

itu, pemberian makanan diperlukan untuk menumbuhkan sikap

positif terhadap makanan sejak usia dini (Hermina, 1992).

Gizi seimbang adalah susunan makan sehari-hari yang

mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai

dengan kebtuhan tubuh dengan memperhatikan keanekaragaman

atau variasi makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan

ideal. Dalam memberikan makanan kepada anak variasi sangat

diperlukan. Hal ini dilakukan agar anak tidak bosan sehingga dapat

menghindarkan anak dari kesulitan makan pada usia berikutnya.

(45)

dan buah-buahan. Protein yang diberikan kepada anak diusahakan

secara bergantian sehingga semua zat gizi dapat terpenuhi

(Auliana, 2011). Variasi makanan sangat diperlukan dalam

memberikan makan kepada anak karena tidak ada satu jenis

makanan pun yang mengandung semua zat gizi yang diperlukan

tubuh (Muharyani, 2012).

Dalam pemberian makanan, selain memperhatikan variasi

makanan untuk anak, orang tua perlu memperhatikan porsi yang

diberikan kepada anak. Hal ini karena anak-anak seringkali

memerlukan waktu makan yang lebih lama daripada orang dewasa.

Untuk itu anak perlu dibujuk agar dapat mengkonsumsi makanan

dalam jumlah yang cukup, sesendok demi sesendok (CORE, 2003).

Menurut (CORE, 2003), menu yang diberikan harus :

a. Terdiri dari makanan yang bergizi dan tidak langsung

mengenyangkan anak.

b. Ikut sertakan buah, sayur, udang, minyak atau

kacang-kacangan.

c. Penyiapan makanan yang beragam kepada anak.

d. Menggunakan bahan lokal yang tersedia, sesuai musim

dan terjangkau.

e. Menggunakan bahan yang kaya akan vitamin A, besi,

dan mikronutrien lain.

(46)

g. Memastikan bahwa semua kelompok makanan ada

dalam tiap hidangan makanan, sehingga anak

mendapatkan makanan yang seimbang.

Selain itu, orang tua juga perlu memperhatikan frekuensi

pemberian makan yang sedikit tetapi sering. Hal ini karena,

Sebagian besar balita khususnya umur 3-5 tahun makan lebih dari

tiga kali sehari. Memberikan makanan 5-6 kali perhari lebih baik

karena balita memiliki perut yang kecil. Anak yang makan kurang

dari 4 kali sehari, asupan energi dan zat gizi lainnya lebih sedikit

dibandingkan dengan rata-rata anak lain yang makan 4 kali sehari

atau lebih (Soetardjo, 2011).

Jenis suatu makanan sangat menentukan status gizi balita.

Makanan yang berkualitas adalah makanan yang memberikan

komposisi yang beragam, bergizi dan seimbang. Menu yang

memadai baik secara kualitas ataupun kuantitas sangat menunjang

tumbuh kembang anak. Hal ini karena balita merupakan kelompok

rawan gizi sehingga makanan yang diberikan harus sesuai dengan

kebutuhan anak dan kemampuan alat pencernaannya (Welasasih

dan Wirjatmadi, 2012).

Pengambilan data terkait pemberian makan anak dilakukan

dengan cara wawancara mendalam dan observasi menggunakan

(47)

2.2.3. Peyiapan dan Penyajian Makan

Susah makan pada anak merupakan masalah yang dihadapi

oleh hampir semua ibu. Terkadang anak menolak makan yang

diberikan tanpa tahu apa penyebabnya. Susah makan dapat juga

terjadi karena pemberian makan kepada anak yang sudah salah

sejak awal. Contohnya seperti pengenalan MP-ASI yang terlambat,

tidak diberikan ragam makanan, atau karena anak banyak diberikan

jajan. Mengatasai anak susah makan dapat dilakukan dengan

berbagai cara, salah satunya adalah memberikan suasana makan

yang menyenangkan, kemudian biarkan anak makan sendiri dengan

alat makannya (Auliana, 2011).

Proses penyiapan makanan mempunyai peran penting

terhadap gizi anak. Di Mali, ditemukan bahwa anak yang makan

dari piring atau mangkuk sendiri lebih baik daripada anak yang

makan bersama dari piring anggota keluarga yang lainnya (CORE,

2003).

Anak yang sudah belajar makan sendiri perlu mendapat

dukungan dari orang tua. Pada tahap ini biasanya anak akan

menghambur-hamburkan dan memainkan makanan. Bentuk

dukungan orang tua dalam membantu anak melewati tahap

perkembangan perilaku makan adalah dengan menyiapkan alat

makan khusus dengan warna dan bentuk yang menarik. Selain itu

(48)

sendiri dengan pendampingan. Hal ini perlu dilakukan karena hal

tersebut merupakan proses belajar bagi anak (Muharyani, 2012).

Dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengolah makanan

untuk anak adalah keamanan pangan dan keutuhan zat-zat gizi

(Almatsier, 2011). Menurut Almatsier (2011) beberapa hal yang

perlu diperhatikan yaitu :

1. Makanan hendaknya digunakan dari bahan yang bermutu dan

seimbang.

2. Alat pengolahan dan alat-alat lain yang digunakan hendaknya

dalam keadaan bersih.

3. Sayur dan buah dicuci, sesudah itu dimasak dengan air

secukupnya sampai lunak.

4. Bila makanan tidak segera dimakan, makanan dibungkus dan

disimpan dalam lemari pendingin atau lemari pembeku.

5. Makanan yang dibekukan, bila hendak dimakan maka

dicairkan terlebih dahulu ke lemari pendingin.

Salah satu sumber penularan penyakit dan penyebab

terjadinya keracunan adalah makanan atu minuman yang tidak

memenuhi syarat higiene. Higienenya makanan atau minuman

dapat dipenagruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah

higiene alat masak dan makan yang digunakan dalam proses

penyediaan makan atau minuman tersebut. Alat makan menjadi

(49)

karena alat makan yang tidak bersih dan mengandung

mikroorganisme (Cahyaningsih dkk, 2009).

Selain kebersihan peralatan memasak dan makan, kebersihan

individu juga perlu diperhatikan karena merupakan salah satu

faktor penyebab timbulanya penyakit pada anak (Tjukarni dkk,

2011). Kebersihan individu yang dimaksud seperti mencuci tangan

dengan sabun sebelum menyiapkan makanan untuk anak.

Penggunaan sabun saat mencuci tangan sebelum makan akan

membantu mengurangi jumlah kuman penyakit yang masuk ke

dalam tubuh dengan cara melarutkan lemak dan menurunkan

tegangan partikel kotoran yang menempel di kulit (Sandy dkk,

2015).

Penyimpanan makanan salah satu faktor yang perlu

diperhatikan dengan baik. Penyimpanan makanan yang kurang baik

dapat menjadi sumber penyakit dengan berkembang biaknya

bakteri dalam makanan tersebut. Bakteri berkembang biak dengan

membelah diri menjadi 2 bagian. Pada temperatur 30˚ sampai 40˚

Celcius jumlahnya akan bertambah 2 kali lipat setiap 15 menit dan

dalam waktu 5 jam dapat mencapai 1 juta. Bakteri akan berhenti

berkembang biak pada suhu diatas 74˚ dan dibawah 4˚ Celcius.

Bakteri patogen berkembang biak pada suhu 37˚ Celcius sama

dengan suhu tubuh manusia. Bakteri ini dapat ditularkan melalui

makanan yang tersentuh oleh tangan kotor, lap kotor dan berdebu,

(50)

Pengambilan data terkait penyiapan dan penyajian makanan

dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi.

Instrumen yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam

dan pedoman observasi.

2.2.4 Praktik Kesehatan Dasar

Orang tua dapat mencegah anak-anaknya menderita penyakit

dengan cara menjaga kebersihan rumah, memberikan imunisasi

atau vaksinasi, membawa anak yang sakit ke puskesmas,

menimbang anak secara teratur untuk mengetahui kekurangan gizi

sedini mungkin (CORE, 2003). Praktik kesehatan bagi anak dapat

berupa upaya preventif seperti pemberian imunisasi. Imunisasi

adalah cara meningkatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit

dan sehingga apabila seseorang terpapar penyakit tersebut ia tidak

menjadi sakit (Matondang dkk, 2011).

Dalam rangka menurunkan kejadian penyakit pada anak,

Departemen Kesehatan melakukan program pengembangan

imunisasi. Program ini dilakukan dengan memberikan 1 kali

imunisasi BCG, 3 kali DPT, 4 kali imunisasi polio, 1 kali imunisasi

campak dan 3 kali imunisasi hepatitis B (Luciasari dkk 2011).

Imunisasi memiliki pengaruh tidak langsung terhadap status gizi

namun berkaitan penyakit infeksi (Mulyati dkk, 2008). Imunisasi

mempunyai peran meningkatkan daya tahan tubuh anak terhadap

(51)

lenbih mudah terkena penyakit. Anak yang terkena penyakit dapat

mengalami kehilangan nafsu makan sehingga berakibat terhadap

status gizinya (Luciasari dkk, 2011).

Dari hasil analisis data Riskesdas, dapat dilihat bahwa balita

yang diimunisasi lebih banyak yang sehat jika dibandingkan

dengan balita yang tidak pernah diimunisasi (Hidayat dan Jahari,

2012). Imunisasi diberikan oleh orang perorang atau ibu yang

membawa anaknya untuk diberikan imunisasi. Tindakan seorang

ibu dalam memberikan imunisasi merupakan bentuk tanggung

jawab terhadap keluarga untuk melindungi anaknya dari serangan

penyakit menular (Achmadi, 2006).

Bagi seorang ibu, memberikan imunisasi kepada anak

merupakan hal biasa, namun memiliki makna yang mulia. Dengan

membawa anaknya untuk imunisasi seorang ibu telah memberikan

sumbangan bagi kekebalan kelompok. Dengan kata lain, imunisasi

memiliki dimensi tanggung jawab ganda, yaitu memberikan

perlidungan kepada anak agar tidak terkena penyakit menular juga

telah berkontribusi sosial yang tinggi, yaitu anak yang telah

diberikan imunisasi dan mendapat kekebalan maka akan

menghambat perkembangan penyakit di masyarakat (Achmadi,

2006).

Diare dan ISPA merupakan penyakit yang sering diderita

oleh balita dalam waktu yang lama jika tidak segera diobati.

(52)

yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat

makan cukup tetapi sering mengalami diare atau demam, akhirnya

akan menyebabkan kurang gizi. Demikian pula anak yang

makanannya tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya akan

melemah. Dalam keadaan seperti ini akan mudah diserang penyakit

infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan yang akhirnya dapat

menderita kurang gizi (Welasasih dan Wirjatmaja, 2012).

Praktik perawatan kesehatan anak dalam keadaan sakit

merupakan satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status

gizi anak. Praktik perawatan kesehatan meliputi pengobatan

penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan

pencegahan terhadap timbulnya suatu penyakit. Praktik perawatan

kesehatan yang baik dapat dilakukan dengan memantau status gizi

anak, kelengkapan imunisasi, kebersihan diri anak dan lingkungan

dimana anak berada, serta upaya ibu dalam mencari pengobatan

terhadap anak yang sakit seperti ke rumah sakit, klinik, dan

puskesmas (Zeitilin, 1990 dalam Husin, 2008). Selain itu,

pengobtan penyakit pada masa kanak-kanak dan mendapatkan

bantuan profesional pada waktu yang tepat mempunyai peran

penting dalam menjaga kesehatan anak (CORE, 2003).

Menurut CORE (2003), perilaku perawatan anak yang sedang

sakit dapat dilakukan dengan :

a. Pengobatan anak yang sedang sakit dan perawatan

(53)

b. Pemberian makanan dan cairan yang sesuai ketika anak

sedang sakit dan dalam masa penyembuhan.

c. Pengobatan yang tepat di rumah terhadap penyakit

ringan seperti batuk, pilek, dan demam.

d. Melanjutkan pemberian ASI dan makanan yang sesuai

ketika anak mengalami diare.

e. Penggunaan LGG (Larutan Gula Garam) atau cairan lain

di rumah untuk mencegah dehidrasi selama anak

mengalami diare.

f. Mencari bantuan tenaga kesehatan untuk pengobatan

penyakit dan luka.

Pengambilan data terkait praktik kesehatan dasar dilakukan

dengan cara wawancara mendalam dengan instrumen pedoman

wawancara mendalam. Selain itu, pengambilan data juga dengan

cara telaah dokumen dengan istrumen seperti KIA dan pencatatan

di posyandu.

2.2.5. Pola Pencarian Layanan Kesehatan

Aspek terhadap informasi gizi dan kesehatan dapat dilihat

dari keterlibatan ibu terhadap sumber informasi dan sarana

pelayanan kesehatan dan gizi terutama posyandu dan puskesmas.

(54)

pengetahuan ibu terhadap akses terhadap informasi dan layanan

kesehatan dan gizi (Fema IPB dan Plan Indonesia, 2008).

Pelayanan kesehatan adalah akses anak dan keluarga terhadap

upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan. tidak

terjangkaunya pelayanan kesehatan, kurang pendidikan dan

pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga dalam

memanfatkan pelayanan kesehatan yang ada. Hal ini akan

berdampak pada status gizi anak. Makin rendah jangkauan

masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, maka makin tinggi

risiko terjadinya gizi kurang (Amir, 2009).

Upaya pemeliharaan status gizi balita dapat dilakukan dengan

memanfaatkan akses pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan

kasus secara benar dan tepat waktu dengan cara memonitor

pertumbuhan balita setiap bulan secara rutin dan teratur (Hidayat

dan Jahari, 2012). Aktifnya balita ke posyandu mempunyai

pengaruh yang besar terhadap pemantauan kesehatannya. Balita

yang aktif ke posyandu akan mendapatkan penimbangan berat

badan, pemeriksaan kesehatan, pemberian makanan tambahan dan

penyuluhan gizi. Kehadiran ke posyandu merupakan indikator

terjangkaunya pelayanan kesehatan bagi balita. Karena dengan

hadir ke posyandu balita akan mendapatkan imunisasi, dan

pemberian yang lain seperti kapsul vitamin A (Welasasih &

(55)

Penelitian Hidayat dan Jahari (2012) yang menganalisis data

Riskesdas terhadap 70210 rumah tangga, didapatkan informasi

bahwa rumah tangga balita yang memanfaatkan pelayanan

kesehatan di posyandu memiliki lebih banyak balita yang berstatus

gizi baik menurut indikator BB/U. Selain itu, didapatkan pula

informasi bahwa berdasarkan indikator BB/TB, rumah tangga yang

memanfaatkan posyandu memiliki lebih banyak balita yang tidak

kurus dibandingkan dengan balita yang tidak pernah ke posyandu.

Pengambilan data terkait pola pencarian layanan kesehatan

dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan telaah dokumen.

Instrumen yang dugunakan yaitu pedoman wawancara mendalam

tentang pola pencarian layanan kesehatan dan buku KIA serta

pencatatan di posyandu.

2.2.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan

Masalah gizi dapat disebabkan karena perilaku tidak higienis

yang dapat menyebabkan penyakit infeksi (WHO, 2007). Praktik

higiene anak biasanya tergantung pada perilaku yang dicontohkan

oleh ibu maupun lingkungannya. Kebiasaan higiene yang baik

perlu dibiasakan dari kecil yang diharapkan akan terus dilakukan

sampai dewasa (Fema IPB dan Plan Indonesia, 2008). Kebersihan

tubuh, makanan, dan lingkungan berperan penting dalam

pemeliharaan kesehatan anak dan upaya pencegahan terhadap

(56)

setelah buang air besar, menjadi fokus WHO untuk mengurangi

timbulnya penyakit infeksi seperti diare (CORE, 2003).

Faktor perilaku higiene dapat berpengaruh penting terhadap

masalah gizi meskipun faktor ini bukan merupakan faktor

langsung. Perilaku higiene berpengaruh terhadap penyakit infeksi

yang umumnya dialami oleh sebagian besar balita, seperti diare dan

ISPA. Kedua penyakit ini mempunyai pengaruh langsung terhadap

status gizi balita. Jika balita mengalami penyakit ini maka nafsu

makannya akan berkurang yang menyebabkan asupan gizinya ikut

berkurang. Jika keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu yang

lama dengan frekuensi berkali-kali maka akan berdampak pada

masalah gizi kurang (Ulfani dkk, 2011).

Faktor lingkungan sangat mempengaruhi proses tumbuh

kembang balita. Peran orang tua dalam perilaku kebersihan diri dan

sanitasi lingkungan yang sehat sangat diperlukan balita dalam

proses pertumbuhannya (Azis dan Muzakkir, 2014). Pola asuh anak

dalam higiene perorangan, kesehatan lingkungan dan keamanan

anak berkaitan dengan kemampuan ibu menjaga anak agar tetap

bersih, mendapat lingkungan yang sehat, dan terhindar dari cedera

dan kecelakaan. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan orang tua

untuk memandikan anak, kebersihan pakaian dan bagian tubuh

anak, ganti popok ketika akan tidur. Selain itu dibutuhkan pula

kemampuan ibu untuk menjaga kebersihan pada tempat tidur anak,

(57)

Selain dipengaruhi kurangnya asupan gizi, masalah gizi

dipengaruhi oleh buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan diri.

Sanitasi lingkungan yang sehat secara tidak langsung

mempengaruhi kesehatan balita yang pada akhirnya dapat

mempengaruhi status gizinya. Berdasarkan penelitian (Hidayat dan

Fuada, 2011), proporsi balita yang mengalami masalah gizi, lebih

besar tumbuh di lingkungan yang tidak sehat. Penelitian tersebut

menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status gizi

dengan sanitasi lingkungan. Dimana, balita yang tumbuh di

lingkungan yang tidak sehat berpeluang 1 kali lebih besar

mengalami gizi buruk dibandingkan dengan balita yang bergizi

baik. Penelitian Riyadi dkk (2011) menunjukkan, status gizi anak

bedasarkan indikator TB/U memiliki hubungan yang signifikan

dengan lingkungan fisik rumah, pengetahuan dan perilaku gizi ibu.

Jika keadaan lingkungan fisik dan sanitasi keluarga baik,

maka kondisi kesehatan orang yang ada di dalamnya pun akan ikut

baik, demikian juga sebaliknya. Selama kebersihan sumur dan

sumber air terjaga dengan baik maka risiko untuk penyebaran

penyakit menular akan semakin kecil. Keberadaan MCK yang baik

juga berperan penting untuk mencegah penyakit seperti diare dan

cacingan (Riyadi dkk, 2011). Hasil analisis data Riskesdas

menunjukkan bahwa balita yang tinggal di sanitasi lingkungan

Gambar

Gambaran  Umum Lokasi Penelitian .......................................................
Tabel 4.1 Validasi Data
Gambar 5.1 Peta Kerawanan Pangan Kecamatan di Kota Tangerang
gambarannya:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Definisi sistem menurut Mulyadi, (2016:1), Sistem adalah “suatu jaringan prosedur yang dibuat menurut pola yang terpadu untuk melaksanakan kegiatan pokok

Penunjukan Negara-negara Peserta di mana perlindungan atas penemuan diinginkan dengan dasar permintaan paten internasional itu dapat dilaksanakan jika untuk Negara

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka peneliti berpendapat bahwa Penguatan Pendidikan Karakter adalah salah satu cara yang dilakukan sekolah untuk mengintegrasikan,

Variabel terikat dari penelitian ini adalah motivasi belajar dan model Teams Games Tournament (TGT) matematika dengan pokok bahasan keliling dan luas daerah persegi, persegi

Untuk mencari lesi vaskular pada ekstremitas yang dicurigai, dilakukan CT Scan ekstremitas yang dicurigai, dilakukan CT Scan dengan kontras, yang menunjukkan oklusi emboli

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 20 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 37 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Once the Doctor had explained that he was interested in the journal, and that really he just wanted to have a good look at it, Curtis told Holiday to stop being melodramatic and put

Berdasarkan hasil yang didapat dari penelitian analisis teknis dan ekonomis usaha perikanan tangkap Drift Gill Net di Pelabuhan Perikanan Cilacap, dilihat dari