• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN DAN KELIMPAHAN CENDAWAN PADA

RIZOSFER KELAPA SAWIT SEHAT

DAN TERSERANG

Ganoderma boninense

MUHAMMAD JULYANDA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

MUHAMMAD JULYANDA. Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense. Dibimbing

oleh MEITY SURADJI SINAGA.

Indonesia merupakan produsen kelapa sawit nomor satu di dunia dan memberikan devisa yang besar. Kendala utama saat ini dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma boninense. Studi dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis keragaman dan kelimpahan serta mengidentifikasi cendawan pada rizosfer kelapa sawit sehat dan terserang G. boninense. Hipotesis: bahwa keragaman dan kelimpahan cendawan rizosfer kelapa sawit sehat lebih tinggi dibandingkan dengan rizosfer kelapa sawit terinfeksi G. boninense. Studi dilakukan dengan mengambil sampel tanah dari rizosfer tanaman kelapa sawit untuk dianalisis keragaman dan kelimpahan cendawan. Analisis dilakukan dengan

menggunakan metode pengenceran dan pencawanan (dilution and plating

methods). Pengenceran berseri dari sampel rizosfer dibuat hingga tingkat pengenceran 10-5 dan pencawanan dilakukan mulai tingkat pengenceran 10-3

hingga 10-5. Pencawanan dilakukan pada media Agar Kentang Dekstrosa (AKD)

yang telah diberi antibiotik (Chloramphenicol). Pengamatan dilakukan dengan menghitung keragaman dan kelimpahan setelah 3 Hari Setelah Pencawanan (HSP). Keragaman menggunakan rumus Indeks Keragaman Shanon-Wiener dan

kelimpahan menggunakan rumus Standard Plate Count (SPC). Identifikasi

cendawan dilakukan dengan pengamatan morfologi dan kunci identifikasi (Watanabe dan “Doctor Fungus”). Dari hasil isolasi cendawan rizosfer kelapa sawit sehat maupun yang terinfeksi telah diperoleh 29 isolat koloni cendawan dan hasil identifikasi diketahui sebanyak 20 jenis cendawan yang berbeda. Nilai Indeks Keragaman Cendawan (IKC) pada rizosfer tanah tanaman sehat dan muda lebih tinggi dibandingkan dengan IKC pada rizosfer tanah tanaman terinfeksi dan berumur tua. Keragaman dan kelimpahan cendawan terutama cendawan yang bersifat antagonis bagi G. boninense pada tanah rizosfer kelapa sawit berindikasi kuat untuk memprediksi apakah tanaman kelapa sawit sudah terinfeksi dan ketepatan penerapan budidaya tanaman. Namun hal ini perlu diklarifikasi lanjut dengan memperbanyak ulangan.

(3)

KERAGAMAN DAN KELIMPAHAN CENDAWAN PADA

RIZOSFER KELAPA SAWIT SEHAT

DAN TERSERANG

Ganoderma boninense

MUHAMMAD JULYANDA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa

Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense

Nama Mahasiswa : Muhammad Julyanda

NIM : A34070070

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc NIP. 19501125 197603 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc NIP. 19640204 199002 1 002

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lubuk Pakam, Sumatera Utara pada tanggal 1 Juli 1988. Penulis merupakan putra ketiga dari lima bersaudara pasangan Bapak Ir. H. Abdul Aziz dan Ibu Hj. Nirwana Saragih.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Medan pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studinya di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD).

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense”. Skripsi ini disusun sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2011.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat berbuat maksimal dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu dengan rasa tulus pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, masukan, dan arahan kepada penulis;

2. Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr selaku dosen penguji tamu yang telah

memberikan arahan dan saran yang bermanfaat;

3. Kebun kelapa sawit Adolina, PT Perkebunan Nusantara IV, Sumatera Utara atas izin dan kerjasamanya dalam pengambilan contoh tanah;

4. Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara IV atas kesempatan yang diberikan

kepada penulis untuk menempuh pendidikan di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) PTPN IV;

5. Ayahanda dan Ibunda serta kakak dan adik Chandra Dalimunthe, Eka Suci Ramadhani, Muhammad Taufan, Inda Lusiana, Baby Nur Maharani, dan Muhammad Reza yang tak henti-hentinya memberi perhatian dan bantuan moril maupun spiritual, yang mana setiap langkah, gerak, dan ucapnya merupakan do’a bagi penulis;

6. Sahabat seperjuangan Proteksi Tanaman 44, khususnya kepada Alice Mayella

Ayudya, Avanty Widias Mahar, dan Harwan Susetio;

7. Rekan kerja di Laboratorium Mikologi, Bapak Dadang Surachman, mba Dian

Safitri, Alchemi Putri Juliantika Kusdiana, Nur’asiah, Etika Ayu

Kusumadewi, Veronica, dan Bapak Fajar Rianto;

8. Sahabat IMMAM, Anggi Rhaditya Lubis, Fandi W. Iksani, Ginda Pramana

Putra, M. Nanda Rahadiansyah, Yuri Dalian, Indra Yudhika Zulmi, bang Amril, Rizqi Febrina, Rini Utami, dan Dhinda Hidayanthi;

9. Mahasiswa, dosen, staff, beserta laboran Departemen Proteksi Tanaman, serta

semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kedepannya. Akhir kata penulis serahkan skripsi ini dengan penuh rasa bangga.

Bogor, November 2011

(7)

DAFTAR ISI

Sebaran dan Arti Penting Penyakit BPB. ... 6

Gejala Penyakit BPB ... 6

Pengambilan Sampel Tanah ... 11

Analisis Keragaman, Kelimpahan, dan Identifikasi ... 12

Indeks Keragaman Spesies ... 12

Keragaman dan Kelimpahan Cendawan ... 14

Identifikasi Cendawan ... 19

KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

Kesimpulan ... 27

Saran ... 27

(8)

vii

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pengaruh kondisi rizosfer tanaman terhadap rataan indeks

keragaman cendawan ... 16

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah S98 ... 14

2 Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah H98 ... 15

3 Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah H06 ... 15

4 Kelimpahan cendawan ada sampel tanah S98 ... 17

5 Kelimpahan cendawan ada sampel tanah H98 ... 18

6 Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah H06 ... 18

7 Aspergillus fumigatus dan A. niger ... 21

8 Fusarium solani, Gongronella butleri, dan Mortierella uniramosa .. 22

9 Paecilomyces inflatus, P. victoriae, dan Phialophora malorum ... 23

10 Penicillium corylophilum, P. lanosum, dan Rhizoctonia solani ... 23

11 Pythium acanthicum, P. aphanidermatum, dan P. irregulare ... 24

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Isolat hasil isolasi cendawan dari tanah rizosfer kelapa sawit ... 33

2 Keragaman dan kelimpahan isolat pada media AKD ... 35

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan industri

penting penghasil Crude Palm Oil (CPO), minyak goreng, dan sebagai bahan bakar terbarukan (biodiesel). Kebutuhan produksi kelapa sawit meningkat tajam

seiring dengan meningkatnya kebutuhan CPO dunia, seperti yang terjadi beberapa

tahun terakhir ini. Selain itu dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia,

membuat CPO menjadi pilihan untuk bahan baku pembuatan bioenergi sebagai

alternatif bahan bakar. Diperkirakan beberapa tahun ke depan investasi terbesar

sub sektor perkebunan masih didominasi oleh kelapa sawit. Perkebunan kelapa

sawit menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan

lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil

minyak kelapa sawit nomor satu di dunia. Luas area perkebunan kelapa sawit

pada tahun 2009 mencapai 4,5 juta hektar serta mampu memproduksi 12,9 juta

ton minyak sawit dan 2,9 juta ton biji sawit (BPS 2009). Sepanjang tahun 2010,

nilai ekspor CPO dan produk turunan sawit Indonesia mencapai US$ 16,4 miliar,

mengalami kenaikan 50% dibandingkan dengan produksi pada tahun 2009 yang

berjumlah US$ 10 miliar total ekspor 15,6 juta ton. Ekspor CPO berjumlah

8.779.940 ton (56,2%) dan sisanya produk turunan CPO berjumlah 6.876.405 ton

(43,8%) (Gapki 2010).

Saat ini kendala utama yang terjadi dalam pengembangan perkebunan

kelapa sawit ialah serangan patogen G. boninense yang menyebabkan penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB). Kejadian penyakit BPB semakin tinggi pada area

kebun kelapa sawit yang telah mengalami peremajaan. Hal ini dimungkinkan

karena akumulasi inokulum patogen dan berkurangnya keanekaragaman dan

kelimpahan musuh alami pada area pertanaman kelapa sawit (Sinaga et al. 2003).

Biasanya penyakit BPB hanya menyerang tanaman diatas umur 10 tahun, namun

pada tanaman yang mengalami peremajaan apalagi pertanaman dengan

peremajaan berulang dapat ditemukan BPB pada tanaman dibawah umur 5 tahun

(13)

2

Cendawan G. boninense termasuk dalam kelompok cendawan busuk putih

(white rot fungi) yang bersifat lignolitik yang mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dalam mendegradasi lignin (Susanto 2002; Paterson 2007). Kisaran inang

untuk patogen ini sangat luas, dapat menyerang tanaman perkebunan lain seperti

kelapa, karet, teh, dan kakao, serta berbagai jenis tanaman berkayu (Ariffin et al.

2000).

Pengendalian patogen tanaman secara biologi termasuk BPB pada kelapa

sawit menjadi sangat penting, apalagi perkebunan kelapa sawit dituntut

melakukan perlindungan kualitas lingkungan. Penggunaan pestisida untuk

patogen tanah, selain sangat berbahaya bagi manusia dan tanah, juga sasarannya

tidak tercapai karena sebelum pestisida sampai ke target sudah terdegradasi.

Pestisida dilaporkan dapat menurunkan keseimbangan ekosistem tanah, sehingga

mengakibatkan penurunan produksi tanaman.

Potensi G. boninense sebagai patogen tular tanah sangat berkaitan dengan keragaman dan kelimpahan mikroba terutama pada rizosfer. Rizosfer merupakan

daerah yang ideal bagi tumbuh dan berkembangnya mikroba tanah, termasuk di

dalamnya agens pengendalian hayati. Oleh karena itu diperlukan suatu informasi

mengenai keragaman dan kelimpahan mikroorganisme pada rizosfer. Pada

kepadatan volume akar tertentu dan dengan semakin kaya kandungan bahan

organik pada rizosfer, maka akan semakin beragam dan berlimpah mikroba tanah

yang menguntungkan (Soesanto 2008). Informasi keragaman dan kelimpahan

mikroorganisme pada rizosfer kelapa sawit pada tanaman sehat dan terserang

dapat menjadi sebuah indikasi dini untuk menentukan strategi pengendalian BPB.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaman dan kelimpahan

(14)

3

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa keragaman dan kelimpahan

cendawan rizosfer kelapa sawit sehat lebih tinggi dibandingkan dengan rizosfer

kelapa sawit terinfeksi G. boninense.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah diperoleh informasi mengenai keragaman dan

kelimpahan cendawan pada rizosfer kelapa sawit sehat dan terinfeksi

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kelapa Sawit

Deskripsi Tumbuhan

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) tergolong dalam kingdom tumbuhan,

divisi Embryophyta Siphonagama, kelas Angiospermae, ordo Monocotyledonae, famili Arecaceae, subfamili Cocoideae, dan genus Elaeis (Pahan 2006). Kelapa sawit berbentuk pohon dan mampu mencapai ketinggian 24 meter. Kelapa sawit

dapat tumbuh baik di daerah antara 15o LU dan 15o LS. Curah hujan rata-rata

2.000-2.500 mm/tahun. Lama penyinaran matahari optimal 5-7 jam per hari

dengan suhu harian 25-30 oC. Kelembaban udara 80% – 90% pada ketinggian dari

dataran rendah sampai 500 m dpl.

Akar kelapa sawit merupakan akar serabut yang mengarah ke bawah yang

mencapai kedalaman ±1 m, ke arah samping mencapai >6 m, serta beberapa akar

napas yang tumbuh mengarah samping atas untuk mendapatkan aerasi

(Setyamidjadja 2006). Akar utama kelapa sawit membentuk akar sekunder, tertier,

dan kuartener.

Batang kelapa sawit berbentuk selinder dan tidak bercabang dengan

diameter sekitar 20–75 cm. Tinggi batang bertambah sekitar 45 cm per tahun.

Dalam kondisi lingkungan yang sesuai pertambahan tinggi dapat mencapai 100

cm per tahun. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah membentuk spiral hingga

umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas

sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa (Setyamidjadja 2006).

Daun kelapa sawit tersusun majemuk menyirip. Susunan daun kelapa sawit

seperti umumnya jenis palmae. Daunnya berwarna hijau tua dan pelepah berwarna

sedikit lebih muda dari daunnya. Panjang pelepah daun mampu mencapai sekitar

7,5-9 m dengan jumlah anak daun setiap pelepahnya mencapai 250-400 helai.

Selama satu tahun kelapa sawit mampu menghasilkan 20-30 pelepah (Sunarko

2007).

Kelapa sawit merupakan tanaman monoecious diclin yaitu tanaman

(16)

5

pohon. Tanaman kelapa sawit biasanya melakukan penyerbukan silang karena

waktu pematangan bunga jantan dan bunga betina berbeda sehingga sangat jarang

terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan berbentuk lancip dan panjang

sedangkan bunga betina berukuran lebih besar dan mekar (Sastrosaryono 2003).

Saat berumur 12-14 bulan kelapa sawit sudah mulai berbunga.

Kelapa sawit memiliki beberapa jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya

tanaman ini dibagi menjadi Dura, Pisifera, dan Tenera. Tipe dura memiliki

ketebalan cangkang antara 2-8 mm dan tidak terdapat cincin serabut. Persentase

daging buah 35-60 % dengan rendemen minyak 17-18 %. Tipe dura digunakan

sebagai induk betina dalam pemuliaan kelapa sawit. Tipe ini berasal dari Kebun

Raya Bogor yang dimasukan dari Afrika pada tahun 1848 dan kemudian

dikembangkan di Deli, Sumatera Utara. Tipe Pisifera tidak memiliki cangkang

tetapi terdapat cincin serabut yang mengelilingi inti dan daging buahnya tebal.

Intinya sangat kecil jika dibandingkan dengan tipe dura ataupun tenera. Ratio

ketebalan daging buah dengan diameter buahnya dan kandungan minyaknya

relatif tinggi. Tipe pisifera digunakan sebagai induk jantan pada pemuliaan

tanaman. Tipe tenera merupakan hasil silang antara dura dan pesifera sehingga

sifatnya merupakan kombinasi dari kedua induknya. Ketebalan cangkangnya

mencapai 0,5-4 mm dan mempunyai cincin serabut walaupun tidak sebanyak tipe

pesifera. Perbandingan daging buah terhadap buahnya 60-90 % dengan rendemen

minyak 22-24% (Setyamidjadja 2006).

Penyakit BPB pada Kelapa Sawit

Patogen Penyebab BPB

Penyebab penyakit BPB adalah patogen cendawan dari genus Ganoderma

yang pertama kali diungkapkan pada tahun 1915 di Republik Kongo, Afrika

Barat. Penyebab BPB pada kelapa sawit berbeda untuk setiap negara. Di Afrika

Selatan BPB disebabkan oleh G. lucidum Karst. sedangkan di Nigeria disebabkan

oleh G. zonatum, G. encidum, G. colossus, dan G. applanatum. Di Malaysia, 4 spesies teridentifikasi sebagai penyebab busuk pangkal batang yaitu

(17)

6

G. boninense yang paling sering ditemukan sedangkan G. tornatum hanya ditemukan tumbuh di pedalaman dan dataran tinggi dengan curah hujan tinggi. Di

Indonesia, G. boninense teridentifikasi sebagai spesies yang paling umum menyerang kelapa sawit (Abadi 1987).

Sebaran dan Arti Penting Penyakit BPB

Di Indonesia tingkat kejadian penyakit BPB awalnya rendah pada tanaman

kelapa sawit muda hingga berusia 12 tahun, semakin tua kejadian penyakit dapat

meningkat sebesar 40% (Ariffin et al. 2000). Pada lahan dengan peremajaan keempat, penyebab BPB bisa menyerang tanaman kelapa sawit berumur 1 hingga

2 tahun (Sinaga et al. 2003). Susanto (2002) menyatakan bahwa gejala penyakit BPB bisa muncul pada bibit-bibit kelapa sawit sejak di persemaian. Hal ini

dimungkinkan karena akumulasi inokulum patogen dan berkurangnya

keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami pada area pertanaman kelapa

sawit. Sinaga et al. (2003) menyatakan, bahwa penyakit BPB merupakan ancaman

utama bagi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, terutama pada kebun yang telah

mengalami peremajaan berulang tanpa ada rotasi tanaman.

Penyakit BPB dapat menyebabkan kehilangan hasil secara langsung

terhadap minyak sawit dan penurunan bobot tandan buah segar (TBS), sedangkan

kerugian tidak langsung berupa penurunan bobot batang terhadap tandan kelapa

sawit (Susanto et al. 2005). Di beberapa perkebunan di Indonesia, penyakit ini telah menyebabkan kematian tanaman sampai lebih dari 80% dari seluruh

populasi kelapa sawit, dan menyebabkan penurunan produk kelapa sawit per unit

area (Susanto 2002)

Gejala Penyakit BPB

Gejala awal penyakit sulit diidentifikasi dikarenakan perkembangannya

yang lambat. Saat tubuh buah sudah terbentuk, maka penyakit ini sudah menyebar

luas ke tanaman kelapa sawit sehingga sudah sangat sulit untuk dikendalikan.

Gejala utama BPB adalah terhambatnya pertumbuhan, warna daun menjadi hijau

pucat dan busuk pada batang tanaman. Pada tanaman belum menghasilkan

(18)

7

diikuti dengan nekrosis yang menyebar ke seluruh daun. Pada tanaman

menghasilkan (TM), semua pelepah menjadi pucat, semua daun dan pelepah

mengering, daun tombak tidak membuka (terjadinya akumulasi daun tombak) dan

suatu saat tanaman akan mati (Purba 1993). Gejala ditandai dengan mati dan

mengeringnya tanaman dapat terjadi bersamaan dengan adanya serangan rayap.

Dapat diasumsikan jika gejala pada daun terlihat, maka setengah batang kelapa

sawit telah hancur oleh Ganoderma. Pada TBM, saat gejala muncul, tanaman akan mati setelah 7 sampai 12 bulan, sementara tanaman dewasa akan mati setelah

2 tahun. Saat gejala tajuk muncul, biasanya setengah dari jaringan di dalam

pangkal batang sudah mati oleh Ganoderma. Sebagai tambahan, gejala internal yang ditandai dengan busuk pangkal batang muncul. Dalam jaringan yang busuk,

luka terlihat dari area berwarna coklat muda diikuti dengan area gelap seperti

bayangan pita, yang umumnya disebut zona reaksi resin (Semangun 2000).

Secara mikroskopik, gejala internal dari akar yang terserang Ganoderma

sama dengan batang yang terinfeksi. Jaringan korteks dari akar yang terinfeksi

berubah menjadi coklat sampai putih. Pada serangan lanjutan, jaringan korteks

menjadi rapuh dan mudah hancur. Jaringan stele akar terinfeksi menjadi hitam

pada serangan berat (Rahayu 1986). Hifa patogen umumnya berada pada jaringan

korteks, endodermis, perisel, xilem, dan floem. Klamidospora sering dibentuk

untuk bertahan hidup pada kondisi ekstrim. Tanda lain dari penyakit ialah

munculnya tubuh buah atau basidiokarp pada pangkal batang kelapa sawit.

Mikroorganisme Rizosfer

Rizosfer merupakan bagian tanah yang berada di sekitar perakaran tanaman

dan berfungsi sebagai pertahanan luar bagi tanaman terhadap serangan patogen

akar. Keragaman dan kelimpahan mikroorganisme di rizosfer biasanya lebih

banyak dan beragam dibandingkan pada tanah yang bukan rizosfer (Lynch 1983).

Mikroorganisme rizosfer adalah organisme berukuran kecil yang terdapat pada

perakaran tanaman atau hidup dalam tanah disekitar perakaran dan dapat

membantu dalam berbagai proses penguraian tanah, siklus nutrisi, maupun

(19)

8

pertumbuhan tanaman karena dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan

mempertahankan kesuburan tanah akibat dari pengaruh aktivitas mikroorganisme

yang ada didalam tanah. Kehadiran sejumlah populasi mikroorganisme baik yang

bersifat antagonis maupun saprofit dapat menambah keragaman spesies di dalam

komunitas alami tanaman (Jeger 2001).

Tanah memiliki potensi mikroorganisme yang bersifat antagonis yang

mampu menekan perkembangan patogen tular tanah dan sebagian besar

mikroorganisme antagonis tersebut hidup sebagai saprofit. Mikroorganisme yang

hidup pada daerah rizosfer biasanya digunakan sebagai agens pengendalian hayati

dan keberadaanya dapat menghambat penyebaran dan infeksi akar oleh patogen.

Interaksi tanaman dengan mikroorganisme sulit untuk diamati karena

perubahan pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh mikroorganisme

menyerupai perubahan yang dipengaruhi oleh bahan organik tanah. Bahan organik

tanah juga mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang kemudian akan

mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Mikroorganisme merombak bahan organik

yang kemudian melepaskan hara anorganik yang dibutuhkan oleh tanaman. Jika

mikroorganisme tidak ada maka bahan organik akan terakumulasi dan unsur hara

tidak akan tersedia bagi tanaman.

Cendawan yang bersimbiosis mutualisme dengan perakaran tanaman tingkat

tinggi adalah mikroriza. Mikoriza menginfeksi dan mengkoloni akar tanpa

menimbulkan gejala nekrosis yang umumnya terjadi pada cendawan patogen dan

mendapat pasokan nutrisi secara teratur dari tanaman. Mikoriza secara efektif

dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro.

Selain itu akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat

dan yang tidak tersedia bagi tanaman (Anas 1997). Mikoriza juga menghasilkan

metabolit yang berguna untuk pertumbuhan tanaman dan sebagai induksi

pertahanan tanaman terhadap patogen tanah (Rao 1994). Berdasarkan

perkembangan cendawannya mikoriza dibagi menjadi dua golongan, yaitu

ektomikoriza dan endomikoriza (Schneck 1982). Ektomikoriza adalah jamur yang

berkembang di permukaan luar akar dan diantara sel-sel korteks akar. Sedangkan

endomikroza berkembang di dalam akar di antara dan di dalam sel-sel korteks

(20)

9

Hama dan Penyakit pada Tanaman Kelapa Sawit Hama

Hama pada kelapa sawit dapat menyerang tanaman pada pembibitan,

TBM, dan TM. Hama yang umum menyerang pada pembibitan antara lain

Apogonia expeditionis, Adoretus compressus, Aphis sp., Tetranychus piercei,

Spodoptera litura, Setora nitens, Metisa plana, Valanga nigricornis, Cryllus sp.,

keong (snail), dan tikus. Untuk hama yang menyerang pada TBM adalah Oryctes

rhinoceros, tikus, babi hutan, dan Apogonia expeditionis. Sedangkan untuk hama yang menyerang TM adalah ulat api (Thosea asigna, Setora nitens, Darna trima,

Thosea bisura, Ploneta diducta, dan Susica pellide) dan ulat kantong (Mahasena corbetti, Metisa plana, dan Cremastopsyche pendula) (SPO PTPN IV 2007).

Serangan hama ulat api dan ulat kantong telah banyak menimbulkan

masalah yang berkepanjangan dengan terjadinya eksploitasi dari waktu ke waktu.

Hal ini menyebabkan kehilangan daun tanaman yang berdampak langsung

terhadap penurunan produksi. Pada serangan yang berat hama ini dapat

mengakibatkan kehilangan daun mencapai 100% yang bisa menyebabkan

menurunkan produksi hingga 70% (Pahan 2006).

Gejala serangan tikus berupa bekas bekas gerekan pada bagian pangkal

pelepah hingga titik tumbuh tanaman yang menyebabkan kematian pada tanaman.

hama ini juga menyerang buah kelapa sawit yang menyebabkan kehilangan

produksi hingga 5% (Pahan 2006)

Penyakit

Pada kelapa sawit berbagai penyebab penyakit dapat menyerang setiap

fase perrtumbuhan tanaman. Penyakit yang umum terjadi pada tanaman selain

BPB adalah penyakit busuk akar pada persemaian yang disebabkan Rhizoctonia

sp. dan Pythium sp.; antraknosa yang disebabkan patogen Spetriodiplodia sp.,

Glomerella cingulata, dan Melanconium elaedis; bercak daun yang disebabkan oleh Culvularia sp., Helminthosporium sp., dan Drechclera halodes; busuk tandan

yang disebabkan oleh Marasmius palmivorus; layu pucuk yang disebabkan oleh

(21)

10

Penyakit busuk tandan ini sering menyerang tanaman yang baru mulai

berbuah (3-9 tahun) pada daerah dengan kelembaban udara tinggi. Pada serangan

yang berat penyakit ini dapat menurunkan produksi hingga 25%. Serangan

semakin meningkat pada musim hujan dan buruknya kebersihan serta sanitasi

tanaman. (SPO PTPN IV 2007)

Penyakit busuk batang atas biasanya menyerang tanaman yang berumur

lebih dari 10 tahun dan serangan muncul bersamaan dengan serangan BPB. Gejala

serangan menyebabkan jaringan tanaman membusuk dan berwarna coklat tua dan

munculnya tubuh buah pada pangkal batang atas jika serangan sudah sangat parah

(Semangun 2000).

(22)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2011 di

Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel tanah yang

berasal dari rizosfer tanaman kelapa sawit sehat dan terserang G. boninense

penyebab BPB di Perkebunan Kelapa Sawit Adolina PTPN IV Sumatera Utara

dan media Agar Kentang Dekstrosa (AKD).

Metode

Analisis keragaman dan kelimpahan cendawan pada rizosfer kelapa sawit

dilakukan dengan beberapa tahap. Dimulai pengambilan sampel tanah dari

rizosfer tanaman sehat dan terserang G. boninense. Selanjutnya dilakukan analisis keragaman, kelimpahan, dan identifikasi cendawan yang terisolasi dengan metode

pengenceran dan pencawanan (dilution and plating methods).

Pengambilan Sampel Tanah

Sampel tanah diambil dari rizosfer tanaman kelapa sawit sehat dan terserang

G. boninense. Tanah rizosfer diambil sebanyak 100 g pada kedalaman 25 cm sampai dengan 40 cm dengan menggunakan bor tanah. Setiap sampel tanah

diambil dari 10 titik dimana pada satu pohon ada 2 titik sehingga diperlukan 5

pohon untuk setiap sampel. Sampel tanah diambil dari TBM yang sehat dengan

tahun tanam 2006 (H06), TM yang sehat dengan tahun tanam 1998 (H98), dan

TM yang terserang G. boninense dengan tahun tanam 1998 (S98). Untuk sampel

tanah sehat diambil pada tanaman yang sehat diantara tanaman-tanaman yang

(23)

12

Beda tanaman yang terserang G. boninense dengan yang sehat dengan melihat penampakan gejala luar. Tanaman terserang menunjukkan empat-lima

daun tombak yang tidak membuka dan berwarna hijau pucat, lilit batang pada

pangkal daun nampak mengecil, pada batang bawah sudah terdapat bercak coklat,

dan jumlah buah semakin sedikit dengan ukuran buah yang semakin kecil.

Analis Keragaman, Kelimpahan dan Identifikasi

Sebanyak 10 g dari tiap sampel rizosfer diambil untuk analisis keragaman

dan kelimpahan cendawan melalui metode pengenceran dan pencawanan. Tiap 10

g sampel dilarutkan dengan air steril sehingga didapat suspensi tanah sebanyak

100 ml. Suspensi diguncang dengan menggunakan alat orbital shaker selama 20

menit dengan kecepatan 150 rpm. Suspensi kemudian diencerkan segera secara

seri dengan cara mencampurkan 1 ml suspensi tanah dengan 9 ml air steril dalam

tabung reaksi sehingga didapat pengenceran 10-1. Suspensi pengenceran 10-1

diencerkan dengan mencampurkan 1 ml larutan 10-1 dengan 9 ml air steril dalam

tabung reaksi sehingga didapat pengenceran 10-2. Pengenceran terus dilakukan

hingga tingkat pengenceran 10-5. Untuk pengenceran 10-3 sampai 10-5 di ambil

1 ml kemudian dibiakan dalam media AKD. Hasil biakan diamati tiga hari setelah

pencawanan (HSP) dengan asumsi semua mikroba sudah tumbuh.

Indeks Keragaman Spesies

Indeks keragaman dihitung berdasarkan rumus Shannon-Wiener (Maguran

(24)

13

Kelimpahan Spesies

Kelimpahan spesies dihitung dengan menggunakan rumus Standard Plate

Count (Kusumaningrum et al. 2010) sebagai berikut: N = ΣC/[(1 x n1) + (0.1 x n2)]d

dimana;

N = Jumlah kelimpahan spesies (cfu/ml) ΣC = Jumlah koloni spesies yang tumbuh n1 = Jumlah dari cawan pengenceran terendah

n2 = Jumlah dari cawan pengenceran tertinggi

d = Pengenceran terendah

Identifikasi

Koloni cendawan yang tumbuh diisolasi dan dimurnikan, kemudian

diidentifikasi sampai tingkat spesies dengan bantuan kunci identifikasi (Watanabe 2002) dan “Doctor Fungus” (http://nt.ars-grin.gov/). Untuk mempermudah identifikasi dilakukan pemurnian biakan.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan untuk menganalisis indeks keragaman dan

kelimpahan cendawan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor

perlakuan; tanah TBM sehat tahun 2006 (H06), TM sehat tahun 1998 (H98), dan

TM sakit tahun 1998 (S98). Setiap perlakuan dilakukan sebanyak enam ulangan,

sehingga terdapat 18 unit percobaan. Penghitungan jumlah koloni diamati pada

tiga HSP.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan Microscoft Office Excel 2007 dan analisis sidik ragam menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Tukey

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman dan Kelimpahan Cendawan Rizosfer Kelapa Sawit

Analisis keragaman dan kelimpahan rizosfer kelapa sawit yang dilakukan

hanya dari golongan cendawan, sedangkan untuk bakteri tidak dilakukan. Dari

rizosfer kelapa sawit sehat (H98 dan H06) dan terinfeksi G. boninense (S98) dapat diisolasi berbagai jenis cendawan dengan keragaman dan kelimpahan yang

berbeda. Pada tahap awal isolasi cendawan dari sampel tanah rizosfer, diketahui

secara umum kelimpahan cendawan baik pada S98, H98, maupun H06 termasuk

rendah. Hal ini nampak pada saat metode pencawanan dengan tingkat

pengenceran 10-5, 10-6, dan 10-7 tidak terdapat koloni cendawan yang tumbuh,

sehingga pencawanan dilakukan pada tingkat pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5.

Koloni cendawan hanya tumbuh pada pencawanan tingkat pengenceran 10-3 dan

10-4, sedangkan pada pengenceran 10-5 sangat sedikit atau tidak ada koloni

cendawan yang tumbuh. Hal ini terjadi diduga karena sampel tanah yang

digunakan berasal dari tanah dengan ordo Entisol, dimana tanah Entisol

merupakan tanah yang bertekstur pasir dengan kandungan bahan organik yang

sangat rendah (Rosmarkam 2002). Sehingga dapat dipahami bahwa pada tanah

dengan kandungan bahan organik yang rendah dan penggunaan pupuk kimia

sintetis serta pestisida yang intensif akan mengkondisikan penyempitan

keragaman dan kelimpahan mikroorganisme terutama cendawan.

Pertumbuhan koloni cendawan baru tampak pada 3 HSP. Penghitungan

keragaman dan kelimpahan cendawan dilakukan pada 3 HSP karena saat itu

koloni cendawan sudah dapat dibedakan secara morfologi (Gambar 1, 2, dan 3).

(26)

15

Gambar 2. Beragam Koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah rizosfer H98 dengan pengenceran 10-3 (A dan B) dan 10-4 (C)pada 3 HSP

Gambar 3. Beragam Koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah rizosfer H06 dengan pengenceran 10-3 (A dan B) dan 10-4 (C)pada 3 HSP

Saat berumur dibawah 3 HSP koloni cendawan sudah tumbuh tetapi

cendawan masih terlalu muda sehingga sangat sulit untuk dibedakan antar

koloninya. Pada umur lebih dari 3 HSP pertumbuhan koloni cendawan sudah

terjadi penumpukan antar koloni yang menyulitkan dalam penghitungan jumlah

koloni dan pemurniannya.

Berdasarkan analisis keragaman rizosfer tanah yang berbeda dari perlakuan,

diketahui bahwa umur dan kondisi tanaman berpengaruh nyata terhadap Indeks

Keragaman Cendawan (IKC) rizosfer (Lampiran 3). Berdasarkan uji lanjut Tukey

diketahui bahwa IKC pada tanah rizosfer S98, H98, dan H06 berbeda nyata

( = 5%, Tabel 1). Nilai IKC tanah rizosfer sehat lebih tinggi dibandingkan

dengan IKC tanah rizosfer terserang G. boninense. Rendahnya indeks keragaman

pada tanah rizosfer memungkinkan G. boninense untuk tumbuh dan menginfeksi

akar karena tidak adanya pesaing. Menurut Krebs (1978), adanya kompetisi antara

organisme yang berakhir dengan dominasi salah satu organisme dapat

mengakibatkan menurunnya indeks keragaman organisme tersebut dalam suatu

(27)

16

terserang G. boninense lebih rendah dibandingkan IKC pada rizosfer tanaman sehat.

Nilai IKC pada rizosfer tanaman yang lebih muda lebih tinggi

dibandingkan dengan IKC pada rizosfer tanaman tua. Diduga rendahnya IKC

pada rizosfer tanah tanaman tua karena kandungan bahan organik yang lebih

rendah dibandingkan dengan tanah tanaman muda. Kandungan bahan organik

sangat mempengaruhi populasi mikroba tanah karena bahan organik digunakan

sebagai penyusun tubuh dan sumber energi bagi mikroba tanah (Simanungkalit

et al. 2006). Menurut Bergeret (1977), tanah di tanaman tua memiliki kandungan bahan organik yang rendah karena telah dilakukan pengolahan lahan yang intesif.

Bergeret juga menyatakan budidaya monokultur tanpa rotasi menyebabkan

hilangnya bahan organik tanah. Sampel tanah S98 dan H98 berasal dari tanah

sawit peremajaan ke-3, sedangkan H06 berasal dari tanah sawit tanam ke-1 yang

sebelumnya tanah ditanam tanaman kakao dan karet. Hal ini menjelaskan bahwa

S98 dan H98 berasal dari tanah tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan secara

monokultur tanpa dilakukan rotasi tanam. Sehingga dapat dimengerti bahwa

indeks keragaman pada rizosfer tanaman muda lebih tinggi dibandingkan pada

rizosfer tanaman tua.

pestisida. Berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) PTPN IV (2007) ada

delapan jenis pupuk yang diaplikasikan untuk TBM yaitu pupuk majemuk

(28)

17

menggunakan lima jenis pupuk yaitu pupuk N, P, K, Mg, dan pupuk majemuk

hara mikro. Pupuk ini diaplikasikan secara bertahap dan ada juga diaplikasikan

secara bersama. Aplikasi pestisida dilakukan apabila terjadi serangan hama atau

penyakit yang penanganannya harus cepat. Beberapa bahan aktif pestisida yang

digunakan adalah Karbofuran 3G, Karbaril 4%, dan Lindan 4% untuk hama

kumbang, Brodifacaoum dan Walfarin untuk hama tikus, senyawa monokrotofos

dan senyawa metamidofos untuk hama ulat, Propineb 70%, Carbendazim 60%,

Mankozep 80%, dan Klorolatonil 75% untuk penyakit busuk buah yang

disebabkan Marasmius palmivorus, serta herbisida berbahan aktif Glyphosat untuk mengendalikan gulma.

Kelimpahan cendawan tidak diolah secara statistik karena cendawan yang

tumbuh pada setiap perlakuan berbeda jenis genus/spesiesnya dan hanya beberapa

yang sama dan tidak dapat mewakili keseluruhan komunitas cendawan pada tiap

kondisi rizosfer. Pada sampel tanah S98 kelimpahan tertinggi terdapat pada isolat

A. niger dan terjadi dominasi karena nilai kelimpahan isolat A. niger sangat cendawan karena nilai kelimpahannya tidak ada yang terlalu berbeda jauh

(Gambar 6).

(29)

18

Total Kelimpahan Cendawan (TKC) pada sampel S98, H98, dan H06 secara

berturut-turut adalah 4,94x104 cfu/ml, 3,33x104 cfu/ml, dan 2,67x104 cfu/ml. Hal

ini menunjukkan sampel H06 memiliki nilai TKC paling rendah dibandingkan

dengan TKC pada sampel S98 dan H98. Tingginya nilai TKC pada S98 dan H98

didominasi oleh nilai kelimpahan Aspergillus fumigatus. Oleh karena itu

walaupun nilai TKC S98 dan H98 tinggi, hal ini tidak mempengaruhi serangan

G. boninense karena A. fumigatus belum pernah dilaporkan bersifat antagonis terhadap G. boninense.

Kelimpahan suatu spesies sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi kimiawi

dan fisik, serta habitat tumbuh. Faktor-faktor ini harus berada dalam kisaran yang

dapat ditoleransi oleh spesies tersebut. Tanah merupakan habitat bagi berbagai 185

Gambar 5. Kelimpahan cendawan pada sampel tanah H98

62 73

(30)

19

ragam mikroba tanah, sehingga tercipta suatu pola interaksi antar mikroba yang

hidup pada habitat yang sama demi mempertahankan hidupnya. Pola interaksi

yang dibangun dalam kehidupan bersama antar dua atau lebih spesies mikroba

dapat bersifat mutualistik, asosiatik, netral, atau antagonistik. Isolat- isolat yang

memiliki kelimpahan tinggi berarti mampu bertoleransi dengan kondisi

lingkungan pada rizosfer tanah. Sampel tanah S98, H98, dan H06 memiliki isolat

dengan kelimpahan yang berbeda-beda.

Keragaman dan kelimpahan mikroba dipengaruhi oleh perubahan

kandungan bahan organik. Menurut Six et al. (1988), salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dan kesehatan tanah adalah kandungan bahan organik.

Rendahnya keragaman dan kelimpahan untuk setiap sampel menunjukkan

kandungan bahan organik yang rendah juga. Walaupun demikian pada sampel

H06 diketahui memiliki kelimpahan cendawan yang bersifat antagonis yang

mampu menekan perkembangan patogen tular tanah. Sehingga dengan

mengetahui perbedaan antara indeks keragaman dan kelimpahan cendawan

rizosfer terutama cendawan yang bersifat antagonis bagi G. boninense dapat diketahui lebih cepat apakah tanaman beresiko tinggi untuk diserang patogen

tanah atau tidak.

Identifikasi Cendawan

Koloni yang tumbuh dari hasil pencawanan dipisahkan berdasarkan bentuk

dan warna koloni pada media AKD. Dari hasil pemurnian didapat 28 isolat yang

berasal dari tanah rizosfer kelapa sawit. Hasil identifikasi dengan menggunakan

kunci identifikasi masih bersifat sementara karena untuk mendapatkan hasil

identifikasi permanen harus diuji secara molukuler.

Berdasarkan hasil identifikasi terdapat 20 jenis cendawan (Tabel 2).

Cendawan P. lanosum dan T. harzianum ditemukan di ketiga sampel tanah. Cendawan P. lanosum memiliki kelimpahan secara berturut dari yang tertinggi adalah sampel tanah H06, H98, dan S98. Sedangkan T. harzianum memiliki kelimpahan secara berurut dari yang tertinggi adalah sampel S98, H06, dan H98.

(31)

20

parasitisme yaitu dengan melilit hifa patogen kemudian mengeluarkan enzim

kitinase dan glukanase (Susanto 2002).

Tabel 2 Hasil identifikasi (sementara)

Karakter mikroskopis yang penting dalam taksonomi Aspergillus sp. adanya

aspergilum berupa struktur bantalan spora, memiliki miselium yang menghasilkan

konidiofor tunggal tegak lurus dengan panjang sumbu sel yang membesar

dipuncaknya membentuk seperti klub bulat, elips, atau berbentuk vesikel. Pada

vesikel terdapat phialid yang menghasilkan rantai panjang spora atau konidia.

Spora warna hitam mengidentifikasikan spesies Aspergillus dalam kelompok

A. niger dan hijau untuk A. fumigatus (Raper & Fennell 1965). Cendawan A. niger

memiliki panjang konidiofor sampai 740 µm dengan lebar 10-14 µm, vesikelnya

memiliki panjang 55-75 µm, phialid dengan panjang 5-13,8 µm, dan diamter

konidia 3,7-4,5 µm. Cendawan A. niger yang stadia perfectnya adalah jamur Ascomycetes, hidup diberbagai macam lingkungan salah satunya dibagian

tanaman yang membusuk. Cendawan A. niger secara ekonomis berperan penting

sebagai organisme fermentasi yang digunakan untuk produksi asam sitrat (Baker

et al. 2006) tapi juga bersifat patogenik pada benih/biji-bijian. Cendawan

A. fumigatus memiliki panjang konidiofor 55-125 µm, diameter vesikel (12,5-)13,3-14,6(-16,3) µm, phialid dengan panjang 3,6-4,9 µm dan lebar 2,5 µm,

(32)

21

serta diameter konidia 2,4-2,7 µm. Cendawan A. fumigatus menghasilkan

mikotoksin yang kuat yang dapat menyebabkan penyakit (Pasqualotto 2009).

Cendawan A. fumigatus belum pernah dilaporkan bersifat antagonis terhadap

patogen G. boninense. Sehingga tingginya kelimpahan S98 dan H98 yang

didominasi oleh A. fumigatus tidak mempengaruhi serangan patogen

G. boninense.

Gambar 7. A. konidiofor A. fumigatus B. konidiofor dan konidia A. niger

Cendawan F. solani memiliki hifa bersekat dan hialin, konidiofor tidak bercabang atau bercabang dengan panjang 50-165 µm dan lebar 2,4-4,3 µm, serta

memiliki konidia yang melengkung, kekar, dan berdinding tebal, serta bersekat

tiga sampai lima dengan panjang 31,5-59,4 µm dan lebar 4,6-6,2 µm untuk

makrokonidia sedangkan mikrokonidianya memiliki panjang 7,2-15 µm dan lebar

2,4-3,9 µm (Nelson et al. 1983). Fusarium selain berperan penting bagi industri makanan dan obat-obatan juga sebagai penyebab berbagai penyakit tanaman.

Cendawan G. butleri memiliki sporangiofor hialin, tegak, sederhana atau bercabang dengan panjang 54-340,5 µm, bersekat didekat sporangia yang

berbentuk bulat dan berwarna abu-abu dengan diameter 15-20,7 µm (Hesseltine &

Ellis 1964). Cendawan G. butleri merupakan penghasil kitosan yang tinggi (Tan

et al. 1996) yang bermanfaat sebagai anti bakteri dan cendawan, serta membantu pertumbuhan akar tanaman.

Cendawan M. uniramosa memiliki sporangiofor hialin, tegak, sederhana atau bercabang sekali dibagian atas, meruncing kearah puncak dengan panjang

(85-) 100-250 (-275) µm. Sporangia memiliki diameter 14-15 µm yang banyak

(33)

22

Mortierella spp. memiliki sifat antagonis terhadap beberapa jenis patogen tular tanah penyebab penyakit-penyakit pada apel, bit, beri, dan lobak.

Gambar 8. A. Hifa dan konidia F. solani B. Sporangiofor G. butleri

C. Sporangiofor M. uniramosa

Paecilomyces memiliki hifa bersekat hialin, konidiofor bercabang, dan terdapat phialid diujungnya. Phialidnya langsing membesar dipangkalnya dan

memanjang diujungnya dan biasanya berkelompok seperti sikat berupa struktur di

ujung konidiofornya. Konidia berbentuk oval, hialin, dan muncul dalam bentuk

rantai yang panjang (Brown & Smith 1957). Paecilomyces sp. adalah cendawan entomopatogen untuk beberapa serangga dan juga dapat mengendalikan nematoda

(Johnson et al. 2009). Cendawan P. inflatus memiliki konidiofor dengan panjang 6-13,4 µm dan lebar 2,9-3,9 µm, konidia dengan panjang 4,8-5,6 µm dan lebar

2,4-3,7 µm. Cendawan P. victoriae memiliki konodiofor dengan panjang 22,5-64

µm, phialid panjangnya 6,3-22 µm dan lebar 2,7-2,8 µm, serta memiliki konidia

dengan diameter 2,5-3 µm. Untuk beberapa spesies tertentu Paecilomyces

dikombinasikan dengan Trichoderma spp. untuk meningkatkan imunitas akar

terhadap patogen tular tanah seperti G. boninense pada kelapa sawit.

Genus Phialophora memiliki konidiofor coklat, tegak, sederhana atau bercabang. Setiap ujung konidiofor terdapat phialid yang berkelompok dan

diujungnya terdapat konidia hialin, berbentuk silender atau oval, dan bersel satu

(Schol-Schwarz 1970). Cendawan P. cinerescens memiliki konidiofor dengan

panjang 11,5-40 µm dan lebar 2,2-2,5 µm, phialid dengan panjang 5,5-12,5 µm,

dan konidia dengan panjang 3,7-5 µm dan lebar 1,8-2,6 µm Cendawan

P. malorum memiliki phialid dengan panjang 12 µm dan konidia dengan panjang 6,3-12,6 µm dan lebar 2,1-2,2 µm Cendawan ini merupakan patogen tular tanah

(34)

23

Gambar 9. A. Phialid dan konidia P. inflatus B. Konidiofor dan rantai konidia

P. victoriae C. Phialid P. malorum

Penicillium memiliki hifa hialin bersekat, konidiofor sederhana, atau bercabang yang diatasnya terdapat metula berupa cabang sekunder. Setiap metula

terdapat phialid yang diujungnya terdapat konidia yang membentuk seperti rantai

(Samson & Pitt 1990). Cendawan P. corylophilum memiliki konidiofor dengan panjang 120-220 µm, phialid dengan panjang 10,5-12,5 µm dan lebar 2,5 µm,

konidia dengan panjang 2,7-3,5 µm dan lebar 2,2-2,3 µm. Cendawan P. lanosum

memiliki konidiofor dengan panjang 12,5-62,5 µm dan lebar 2,5-2,8 µm, phialid

dengan panjang 10-13,8 µm dan lebar 2,5-3 µm, konidia dengan diameter 2,7-4

µm. Penicillium memiliki kemampuan antagonisme in vitro yang tinggi terhadap patogen R. lignosus (Kusdiana 2011).

Rhizoctonia memiliki hifa coklat atau coklat pucat dengan lebar 5-8 µm, bercabang dengan membentuk hampir siku-siku yang disamping basal menyempit

(Sneh et al. 1991). Rhizoctonia tidak selalu bersifat patogen, tetapi juga beberapa diantaranya bermanfaat bagi tanaman dengan membentuk mikoriza (Rasmussen

1995).

(35)

24

Genus Pythium memiliki hifa yang tidak bersekat, hialin, oogoniumnya berisi oospora tunggal dengan antherium memanjang dan membentuk seperti klub

(Plaats-Niterink 1981). Cendawan P. acanthicum memiliki oogonia dengan

diameter 21,8-30 µm, P. Aphanidermatum 25-32,5 µm, dan P. irregulare 15-25 µm. Cendawan ini menyebabkan kerusakan dan menghambat pertumbuhan akar

tanaman.

Gambar 11. A. Oogonia P. acanthicum B. Oogonia P. aphanidermatum

C. Oogonia P. irregulare

Gliocladium sp. memiliki konidiofor hialin, tegak, dan bercabang sederhana dengan massa spora di phialid dan konidianya hialin dan berlendir. Cendawan

G. roseum memiliki konidiofor dengan panjang 21,8-36,5 µm dan lebar 2,1-2,7 µm, phialid dengan panjang 13,3-24,3 µm dan lebar 2,4-3,2 µm, serta konidia

dengan panjang (4,3-) 5,1-6,1 (-9) µm dan lebar 2,6-3,9 µm. Cendawan G. viridae

memiliki konidiofor dengan panjang 59,5-201,5 µm dan lebar 3,6-3,7 µm, phialid

dengan panjang 14-23,1 µm dan lebar 2,4-2,7 µm, serta konidia dengan panjang

5,1-7,3 µm dan lebar 2,4-4,4 µm. Genus Trichoderma memiliki konidia yang berdinding tipis dan berbentuk semi bulat hingga oval pendek, koloni berwarna

hialin hingga putih kehijauan. Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida

yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang dan semakin keujung

percabangannya menjadi pendek. Phialid langsing dan panjang pada bagian apeks

dari cabang (Domsch et al. 1993). Cendawan T. pseudokoningii memiliki

konidiofor dengan panjang sampai 50 µm, phialid dengan panjang (4.2-)6-10(-14)

µm, dan konidia dengan panjang (2.7-)3.5-5.5(-9.7) µm dan lebar

(1.7-)2.2-3.0(-5.0) µm. Cendawan T. harzianum memiliki konidiofor dengan

panjang sampai 150 µm, phialid dengan panjang 6.5-6.7 µm, dan konidia dengan

(36)

25

berbagai spesies dari kedua genus ini untuk menghasilkan enzim hidrolitik dan

senyawa-senyawa antifungi, antikhamir dan antibakteri, tak lepas dari

kemampuannya untuk melindungi tanaman dari berbagai penyakit. Enzim

hidrolitik yang dihasilkan Trichoderma dan Gliocladium berfungsi untuk

memperoleh makanan atau digunakan untuk melawan cendawan atau mikroba

lainnya (Druzhinina et al. 2006).

Gambar 12. A. Konidiofor G. roseum B. K onidiofor G. viride C. Konidiofor

T. pseudokoningi D. Phialid dan konidia T. harzianum

Hasil identifikasi menunjukkan beberapa cendawan yang telah dilaporkan

bersifat antagonis pada beberapa patogen tular tanah. Cendawan tersebut antara

lain adalah G. butleri, G. roseum, G. viride, M. Uniramosa, P. inflatus, P. victoriae, P. corylophilum, P. lanosum, T. harzianum, dan T. pseudokoningi.

Nilai TKC yang bersifat antagonis pada sampel S98, H98, dan H06 secara

berturut-turut adalah 1,53 x104 cfu/ml, 0,47 x104 cfu/ml, dan 2,42 x104 cfu/ml.

Walaupun nilai TKC yang bersifat antagonis pada sampel S98 lebih tinggi

dibandingkan dengan H98, hal ini tidak mempengaruhi serangan G. boninense

karena cendawan-cendawan yang bersifat antagonis pada sampel S98

dimungkinkan memiliki kemampuan yang rendah dalam menekan populasi dan

(37)

26

menunjukkan cendawan-cendawan yang bersifat antagonis pada sampel H06

memiliki jumlah populasi dan kemampuan yang tinggi dalam menekan

(38)

27

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Nilai Indeks Keragaman Cendawan (IKC) pada pada rizosfer tanah tanaman

sehat dan muda lebih tinggi dibandingkan IKC pada rizosfer tanah tanaman

terinfeksi dan berumur tua. Kelimpahan cendawan yang tinggi pada tanah rizosfer

tanaman sakit dan tanaman tua yang sehat di dominasi oleh A. fumigatus yang tidak dilaporkan sebagai agens antagonis. Diantara 28 isolat cendawan tanah

rizosfer kelapa sawit sakit dan sehat telah teridentifikasi 20 jenis cendawan yang

berbeda. Keragaman dan kelimpahan cendawan terutama cendawan yang bersifat

antagonis bagi G. boninense pada tanah rizosfer kelapa sawit di Perkebunan Kelapa Sawit Adolina PTPN IV Sumatera Utara berindikasi kuat untuk

memprediksi infeksi G. boninense pada kelapa sawit dan ketepatan penerapan budidaya tanaman.

Saran

Perlu dilakukan studi serupa dengan lebih banyak ulangan dan studi lanjut

mengenai kemampuan antagonisme terhadap G. boninense dari isolat-isolat yang

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Abadi AL. 1987. Biologi Ganoderma boninense Pat pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dan pengaruh beberapa mikroba tanah antagonistik terhadap pertumbuhannya [Disertasi]. PPS IPB. Bogor. 147 p.

Anas I. 1997. Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Bogor: Intitut

Pertanian Bogor.

Arbelaez G. 1988. Fungal and bacterial diseases on carnation in Colombia. Acta Horticulturae 216: 151-157.

Ariffin D, Idris AS, Singh G. 2000. Status of Ganoderma in oil palm. Di dalam:

Flood J, Bridge PD, Holderners M. (Editor), Ganoderma Disease of

Perenial Crops. UK: CABI Publishing 49-68.

Barnett HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Virginia: Burgers Publishing Company.

Baker SC. 2006. Aspergillus niger genomics: past,present and into the future.

Med. Mycology Suppl. 44 : 517–521.

Bergeret A. 1977. Ecologycal Viable Systems of Production. Paris:

Ecodevelopment.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Luas tanaman perkebunan besar menurut jenis tanaman. http://bps.go.id diakses tanggal 25 Agustus 2011.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Produksi perkebunan besar menurut jenis tanamanhttp://bps.go.id diakses tanggal 25 Agustus 2011.

Brown AHS and Smith G. 1957. The genus Paecilomyces Bainier and its perfect

stage Byssochlamys Westling. Trans. Br. Mycol. Soc. 40: 17–89.

Doctor Fungus. 2007. Description of fungi. http://nt.ars-grin.gov/. diakses tanggal 25 Agustus 2011.

Domsch KH, Gams W, and Anderson TH. 1980. Compendium of soil fungi.

London: Academic Press.

Druzhinina IR, Kopchinskiy AG, Druzhinina IS. 2006. The first 100 Trichoderma species characterized by molecular data. Mycoscience 47(2): 55-64.

Gams W. 1977. A key to the species of Mortierella. Persoonia 9: 381-391.

[Gapki] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2010. Perkembangan

Volume Ekspor dan Nilai Ekspor CPO dan Jenis CPO Lainnya. http://www.gapki.or.id diakses tanggal 25 Agustus 2011

Hesseltine CW and Ellis JJ. 1964. The genus Absidia: Gongronella and cylindrical-spored species of Absidia. Mycologia 56: 568–601.

(40)

29

Johnson D, Sung GH, Hywel-Jones NL, Luangsa-Ard, JJ, Bischoff JF, Kepler RM, Spatafora JW. 2009. Systematics and evolution of the genus Torrubiella (Hypocreales, Ascomycota). Mycol. Res. 113: 279-289.

Kusdiana APJ. 2011. Eksplorasi danidentifikasi cendawan antagonis terhadap Rigidoporus lignolosus penyebab jamur akar putih pada karet [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kusimaningrum HD, Suliantari, Nurjanah S, Hariyadi RD, Nurwitri CC. 2010.

Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Ed ke-3. Bogor: IPB Press.

Lynch JM. 1983. Soil Biotechnology: Microbiological Factors in Crop

Productivity. London: Blackwell Scientific Publication.

Magurran AE. 1987. Ecologycal Diversity and its Measurement. New Jersey: Princeton University Press

Mattjik AA, Sumertajaya M. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press.

Naibaho PM. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Medan: Pusat

Penelitian Kelapa Sawit.

Nelson PE, Toussoun TA, and Marasas WFO. 1983. Fusarium Species. An

Illustrated Manual For Identification. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press

Pahan I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pasqualotto AC. 2009. Differences in pathogenicity and clinical syndromes due

to Aspergillus fumigatus and Aspergillus flavus. Porto Alegre: UFRGS. Paterson RRM. 2007. Ganoderma disease of oil palm-a white rot perspective

necessary for integrated control. Crop Protection 26: 1369-1376.

Plaats-Niterink AJ. 1981. Monograph of the genus Pythium. Stud. Mycol. 21: 1– 242.

[PTPN IV] Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV. 2007. Standar

Prosedur Operasi: Bidang Tanaman/Pabrik Kelapa Sawit, Tanaman/Pabrik Teh, PPIS dan Pabrik Kompos Organik RKAP 2008. Medan: Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV.

Purba RY. 1993. Busuk Pangkal Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

yang Disebabkan Oleh Ganoderma dan Manajemen Pengendaliannya. Medan: LPP.

Rahayu G. 1986. Telaah histopatologi akar dan batang kelapa sawit (Elaeis guineensis) yang terserang Ganoderma sp. laporan tahunan kerjasama Penelitian P.P. Marihat-Biotrop tahun 1986.

Rao NSS. 1944. Soil Microorganisms and Plant Growth. Oxford and IBM Publishing Co.

(41)

30

Rasmussen HN. 1995. Terrestrial Orchids, From Seed To Mycotrophic Plant. Cambridge: Cambridge University Press.

Rosmarkam dan Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Jakarta: Kanisius.

Samson RA and Pitt JI. 1990. Modern Concepts in Penicillium and Aspergillus

Classification. New York: Plenum Press.

Sastrosaryono S. 2003. Prospek Bertanam Kelapa Sawit. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Schol-Schwarz, MB. 1970. Revision of the genus Phialophora (Moniliales).

Persoonia 6: 59-94

Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Ed

ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Setyamidjaja D. 2006. Kelapa Sawit Tehnik Budi Daya, Panen dan Pengolahan.

Yogyakarta: Kanisius.

Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W.

2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Badan Litbang Pertanian.

Sinaga MS, Bonny PWS, Susanto A. 2003. Keragaman mikroorganisme rhizosfer kelapa sawit dan patogenesitas Ganoderma boninense Pat. sebagai dasar pengendalian penyakit busuk pangkal batang. Laporan Akhir Hibah Bersaing IX. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sinaga MS. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Ed ke-2. Jakarta: Penebar Swadaya.

Six J, Elliott ET, Paustion K, and Doran JW. 1998. Aggregation and soil organic matter accummulation in native grassland soils. Soil Science Society of America Jorunal. 65: 1367 – 1377

Sunarko. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit.

Jakarta : Agromedia Pustaka

Susanto A. 2002. Kajian pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat,

penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit [disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Susanto A, Sudharto PS, Purba RY. 2005. Enhancing biological control of basal stem root disease (Ganoderma boninense) in oil palm plantations.

Mycopathologia 159(1): 153-157

Sneh B, Burpee L, and Ogoshi A. 1991. Identification of Rhizoctonia species. St. Paul: APS Press.

Soesanto L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman:

Suplemen ke Gulma dan Nematoda. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Tan SC, Tan TK, Wong SM, Khor E. 1996. The chitosan yield of zygomycetes

at their optimum harvesting time. Carbohydr. Polym. 30: 239 –242.

(42)

31

(43)

.

(44)

33

(45)

34

Keterangan : Koloni isolat hasil isolasi cendawan sampel S98 (S1-S8), H98

(46)

35

Lampiran 2. Keragaman dan kelimpahan isolat pada media AKD

(47)

36

Lampiran 3. Analisis Ragam RAL respon IKC

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 2 31.25467778 15.62733889 15.75 0.0002

Error 15 14.88475000 0.99231667

(48)

ABSTRAK

MUHAMMAD JULYANDA. Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense. Dibimbing

oleh MEITY SURADJI SINAGA.

Indonesia merupakan produsen kelapa sawit nomor satu di dunia dan memberikan devisa yang besar. Kendala utama saat ini dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma boninense. Studi dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis keragaman dan kelimpahan serta mengidentifikasi cendawan pada rizosfer kelapa sawit sehat dan terserang G. boninense. Hipotesis: bahwa keragaman dan kelimpahan cendawan rizosfer kelapa sawit sehat lebih tinggi dibandingkan dengan rizosfer kelapa sawit terinfeksi G. boninense. Studi dilakukan dengan mengambil sampel tanah dari rizosfer tanaman kelapa sawit untuk dianalisis keragaman dan kelimpahan cendawan. Analisis dilakukan dengan

menggunakan metode pengenceran dan pencawanan (dilution and plating

methods). Pengenceran berseri dari sampel rizosfer dibuat hingga tingkat pengenceran 10-5 dan pencawanan dilakukan mulai tingkat pengenceran 10-3

hingga 10-5. Pencawanan dilakukan pada media Agar Kentang Dekstrosa (AKD)

yang telah diberi antibiotik (Chloramphenicol). Pengamatan dilakukan dengan menghitung keragaman dan kelimpahan setelah 3 Hari Setelah Pencawanan (HSP). Keragaman menggunakan rumus Indeks Keragaman Shanon-Wiener dan

kelimpahan menggunakan rumus Standard Plate Count (SPC). Identifikasi

cendawan dilakukan dengan pengamatan morfologi dan kunci identifikasi (Watanabe dan “Doctor Fungus”). Dari hasil isolasi cendawan rizosfer kelapa sawit sehat maupun yang terinfeksi telah diperoleh 29 isolat koloni cendawan dan hasil identifikasi diketahui sebanyak 20 jenis cendawan yang berbeda. Nilai Indeks Keragaman Cendawan (IKC) pada rizosfer tanah tanaman sehat dan muda lebih tinggi dibandingkan dengan IKC pada rizosfer tanah tanaman terinfeksi dan berumur tua. Keragaman dan kelimpahan cendawan terutama cendawan yang bersifat antagonis bagi G. boninense pada tanah rizosfer kelapa sawit berindikasi kuat untuk memprediksi apakah tanaman kelapa sawit sudah terinfeksi dan ketepatan penerapan budidaya tanaman. Namun hal ini perlu diklarifikasi lanjut dengan memperbanyak ulangan.

(49)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan industri

penting penghasil Crude Palm Oil (CPO), minyak goreng, dan sebagai bahan bakar terbarukan (biodiesel). Kebutuhan produksi kelapa sawit meningkat tajam

seiring dengan meningkatnya kebutuhan CPO dunia, seperti yang terjadi beberapa

tahun terakhir ini. Selain itu dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia,

membuat CPO menjadi pilihan untuk bahan baku pembuatan bioenergi sebagai

alternatif bahan bakar. Diperkirakan beberapa tahun ke depan investasi terbesar

sub sektor perkebunan masih didominasi oleh kelapa sawit. Perkebunan kelapa

sawit menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan

lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil

minyak kelapa sawit nomor satu di dunia. Luas area perkebunan kelapa sawit

pada tahun 2009 mencapai 4,5 juta hektar serta mampu memproduksi 12,9 juta

ton minyak sawit dan 2,9 juta ton biji sawit (BPS 2009). Sepanjang tahun 2010,

nilai ekspor CPO dan produk turunan sawit Indonesia mencapai US$ 16,4 miliar,

mengalami kenaikan 50% dibandingkan dengan produksi pada tahun 2009 yang

berjumlah US$ 10 miliar total ekspor 15,6 juta ton. Ekspor CPO berjumlah

8.779.940 ton (56,2%) dan sisanya produk turunan CPO berjumlah 6.876.405 ton

(43,8%) (Gapki 2010).

Saat ini kendala utama yang terjadi dalam pengembangan perkebunan

kelapa sawit ialah serangan patogen G. boninense yang menyebabkan penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB). Kejadian penyakit BPB semakin tinggi pada area

kebun kelapa sawit yang telah mengalami peremajaan. Hal ini dimungkinkan

karena akumulasi inokulum patogen dan berkurangnya keanekaragaman dan

kelimpahan musuh alami pada area pertanaman kelapa sawit (Sinaga et al. 2003).

Biasanya penyakit BPB hanya menyerang tanaman diatas umur 10 tahun, namun

pada tanaman yang mengalami peremajaan apalagi pertanaman dengan

peremajaan berulang dapat ditemukan BPB pada tanaman dibawah umur 5 tahun

(50)

2

Cendawan G. boninense termasuk dalam kelompok cendawan busuk putih

(white rot fungi) yang bersifat lignolitik yang mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dalam mendegradasi lignin (Susanto 2002; Paterson 2007). Kisaran inang

untuk patogen ini sangat luas, dapat menyerang tanaman perkebunan lain seperti

kelapa, karet, teh, dan kakao, serta berbagai jenis tanaman berkayu (Ariffin et al.

2000).

Pengendalian patogen tanaman secara biologi termasuk BPB pada kelapa

sawit menjadi sangat penting, apalagi perkebunan kelapa sawit dituntut

melakukan perlindungan kualitas lingkungan. Penggunaan pestisida untuk

patogen tanah, selain sangat berbahaya bagi manusia dan tanah, juga sasarannya

tidak tercapai karena sebelum pestisida sampai ke target sudah terdegradasi.

Pestisida dilaporkan dapat menurunkan keseimbangan ekosistem tanah, sehingga

mengakibatkan penurunan produksi tanaman.

Potensi G. boninense sebagai patogen tular tanah sangat berkaitan dengan keragaman dan kelimpahan mikroba terutama pada rizosfer. Rizosfer merupakan

daerah yang ideal bagi tumbuh dan berkembangnya mikroba tanah, termasuk di

dalamnya agens pengendalian hayati. Oleh karena itu diperlukan suatu informasi

mengenai keragaman dan kelimpahan mikroorganisme pada rizosfer. Pada

kepadatan volume akar tertentu dan dengan semakin kaya kandungan bahan

organik pada rizosfer, maka akan semakin beragam dan berlimpah mikroba tanah

yang menguntungkan (Soesanto 2008). Informasi keragaman dan kelimpahan

mikroorganisme pada rizosfer kelapa sawit pada tanaman sehat dan terserang

dapat menjadi sebuah indikasi dini untuk menentukan strategi pengendalian BPB.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaman dan kelimpahan

(51)

3

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa keragaman dan kelimpahan

cendawan rizosfer kelapa sawit sehat lebih tinggi dibandingkan dengan rizosfer

kelapa sawit terinfeksi G. boninense.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah diperoleh informasi mengenai keragaman dan

kelimpahan cendawan pada rizosfer kelapa sawit sehat dan terinfeksi

Gambar

Gambar 2.  Beragam Koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah rizosfer -3 -4
Gambar 4.  Kelimpahan cendawan pada sampel tanah S98
Gambar 5.  Kelimpahan cendawan pada sampel tanah H98
Gambar 7.  A. konidiofor  A. fumigatus B.  konidiofor dan konidia A. niger
+7

Referensi

Dokumen terkait

: Areal tanaman yang terinfeksi penyakit Ganoderma dengan skala 4, 3,2 1 Dari hasil pengamatan di lapangan, gejala serangan pada tanaman dibedakan ke dalam 2 kelompok,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyeleseikan penelitian yang berjudul “Eksplorasi Mikroba

Berdasarkan penelitian di Kebun Sei Silau Afdeling IV ini diketahui bahwa seluruh kebun adalah tanaman kelapa sawit dari umur tanaman yang berumur 9 tahun (tahun tanam 2003) dan 7

Cendawan endofit hidup berasosiasi secara simbiosis mutualisme dengan tumbuhan inangnya dan mampu menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu tanpamenimbulkan tanda

Trichoderma merupakan salah satu agens antagonis yang dapat ditemukan di rizosfer tanaman kelapa sawit, dan termasuk kedalam cendawan kitinolitik sebagai penghasil

Foto badan buah ganoderma pada Foto lokasi pengambilan sampel tanaman yang masih hidup tanah terinfestasi. Foto tanaman sehat Lokasi pengambilan sampel tanah

Tanaman kelapa sawit yang sudah tua lebih rentan karena pada tanaman tua penyebaran penyakit BPB ini melalui kontak akar tanaman yang sakit dengan akar tanaman yang sehat,

Tujuan penelitian ini untuk mengukur dan mempelajari emisi CO 2 autotrof dan heterotrof, yang berasal dari rizosfer dan non rizosfer tanaman kelapa sawit yang ditanam pada