KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENANGGULANGANNYA
DI KAWASAN BARAT DAN TIMUR INDONESIA
SRI WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Sri Wahyuni
ABSTRACT
SRI WAHYUNI: Poverty and Its Reduction Policy in the Western and Eastern Indonesia. Under supervision of M. PARULIAN HUTAGAOL and RATNA WINANDI.
Reducing poverty is one of goals on the national development. In the effort of poverty reduction, government has run several programs. But, poverty is not reduced. It means that these programs have not effectively reduce poverty because it is homogenous for all regions. The purpose of this study: (1). Identify the factors that affect poverty in the Western and Eastern Indonesia, (2) Formulate poverty prevention policies in the Western and Eastern Indonesia. The methods which used are: descriptive and panel data analysis. Result of this study: (1). The are similarities causes of poverty in the Western and Eastern Indonesia, it is unemployment. (2). This study also shows that causes of poverty in the Western and Eastern Indonesia is different. Poverty in the Western Indonesia caused high population density especially in Java and Bali with education remains low and is predominately dependent on primary agricultural sector as the main source of livelihood. Poverty in the Eastern Indonesia caused lack of populations and inadequate availability of infrastructure. The difference may be the cause of poverty as proof that poverty reduction programs that are not effectively tackling poverty homogeneous. (3). Poverty reduction programs in the Western Indonesia can be done with transmigration and agro-industry business development, while in the Eastern Indonesia by increasing the number of population and infrastructure.
RINGKASAN
SRI WAHYUNI: Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia. Dibimbing oleh M. PARULIAN HUTAGAOL dan RATNA WINANDI.
Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan nasional. Kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sebesar 14,15 persen atau sekitar 32 juta penduduk pada tahun 2009. Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan dan dikembangkan oleh pemerintah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan tetap tinggi. Beberapa kelemahan dari program-program tersebut, antara lain: pertama, program yang sifatnya bantuan bukan solusi yang tepat karena hanya menyembuhkan sementara, tidak menghilangkan kemiskinan. Kedua, kebijakan diambil didasarkan pada asumsi bahwa kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah, sehingga kebijakan pemerintah kurang mempertimbangkan keragaman penyebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Akibatnya, program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan kebutuhan masyarakat miskin setempat (TNP2K 2010). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan berdasarkan wilayah yaitu Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, (2) merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menurunkan kemiskinan di kedua kawasan tersebut.
Data yang digunakan meliputi kemiskinan, jumlah penduduk, jumlah pekerja sektor pertanian, pengangguran, UMP, jumlah penduduk menurut jenjang pendidikan, PDRB perkapita dan data lainnya yang relevan. Sebagian besar data bersumber dari BPS. Kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan konsep BPS. Cakupan analisis 26 provinsi yang terbagi dalam Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia dengan periode penelitian 2000-2009. Pengolahan data menggunakan softwareMicrosoft Excel dan Eviews 6.
Kebijakan transmigrasi sebaiknya dilakukan untuk pemerataan penduduk, pengurangan pengangguran, meningkatkan kesempatan kerja dan peningkatan pembangunan baik di daerah asal maupun daerah tujuan. Berkaitan dengan sektor pertanian, pengurangan jumlah pekerja sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia harus dilakukan karena jumlahnya yang melimpah sementara lahan semakin sempit membuat penambahan jumlah pekerja pertanian tidak lagi memberikan nilai tambah tetapi justru akan menurunkan produktivitasnya. Pengembangan usaha agroindustri akan sangat bermanfaat, dimana banyaknya pekerja pertanian dapat dialihkan menjadi pekerja di usaha agroindustri. Berkembangnya usaha tersebut akan menambah lapangan pekerjaan sehingga dapat mempekerjakan banyak tenaga kerja dan pengangguran dapat berkurang. Di sisi yang lain, usaha agroindustri akan menguntungkan banyak pihak, antara lain petani, pengusaha dan pekerjanya.
Terkait dengan kualitas sumberdaya manusia, seyogyanya kebijakan pemerintah tidak hanya mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan sampai pada level pendidikan dasar. Pemberian beasiswa bagi masyarakat miskin perlu ditingkatkan sampai jenjang SMU agar setelah lulus dapat memasuki dunia kerja dengan bekal pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keteampilan dapat meningkatkan produktivitas kerja mereka yang selanjutnya dapat memperbaiki kondisi perekonomiannya, meningkatkan kesejahteraanya dan rantai kemiskinan bisa terputus.
Pada Kawasan Timur Indonesia, prioritas kebijakan seyogyanya lebih difokuskan pada penambahan jumlah penduduk. Penambahan jumlah penduduk diharapkan dapat memberikan tambahan input tenaga kerja bagi aktivitas produksi yang ada, menciptakan lapangan kerja yang baru dan meningkatkan pembangunan. Terkait dengan aktivitas ekonomi di Kawasan Timur Indonesia, kegiatan pertanian masih menjadi prioritas. Menurut hasil pengamatan, penambahan jumlah tenaga kerja pertanian akan meningkatkan marginal product of labor pertanian dan akan meningkatkan outputnya sehingga bisa memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakatnya dan kemiskinan menurun.
Keterbatasan sumberdaya manusia, modal fisik, keterisolasian dan kurangnya akses terhadap pelayanan publik dan infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia menyebabkan peluang-peluang ekonomi menjadi terbatas pula. Intervensi pemerintah sangat diperlukan terutama membangun infrastruktur agar aktivitas ekonomi meningkat dan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses pelayanan publik.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia terbukti berbeda. Maka dari itu dalam upaya menanggulangi kemiskinan dibutuhkan kebijakan yang berbeda pula. Saran yang dapat dipertimbangkan adalah kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia harus lebih ditekankan pada transmigrasi dan pengembangan usaha berbasis agroindustri. Pada Kawasan Timur Indonesia, kebijakan untuk mengatasi masalah kemiskinan lebih difokuskan pada penambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur.
©Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENANGGULANGANNYA
DI KAWASAN BARAT DAN TIMUR INDONESIA
SRI WAHYUNI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Tesis : Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia
Nama : Sri Wahyuni
NRP : H151090254
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.Sc Dr. Ratna Winandi, M.S
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr.
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ijin dan
ridho-Nya penulis mampu menyelesaikan penyusunan tesis ini. Tema yang dipilih
untuk penelitian ini adalah “Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulangannya di Kawasan Barat dan Timur Indonesia”, yang pelaksanaannya dimulai pada
Bulan November 2010.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. M. Parulian
Hutagaol, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ratna Winandi, MS
selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan arahan yang telah
diberikan dalam menyusun tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Dr. Heru Margono, M,Sc atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi
dan Tanti Novianti, M.Si selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada para dosen pengajar dan
pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik dan Direktur
Kependudukan dan Ketenagakerjaan yang telah memberikan kesempatan dan
dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi
Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih yang tak terkira kepada
Tri Purwanto (suami), Ikhlas Hanif Muttaqin (anak pertama), Aisyah Azka
Rosyida (anak kedua), Fathiya Salma Hafizha (anak ketiga) dan seluruh keluarga
yang telah memberikan dukungan yang luar biasa, berupa moril dan materiil dari
awal perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini.
Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat menghasilkan
penelitian yang bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pembangunan di
Indonesia khususnya dalam menanggulangi kemiskinan serta bermanfaat bagi
dunia pendidikan.
Bogor , Juni 2011 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 21 Juni 1977 dari
ayah Matnorejo dan ibu Ruki. Penulis merupakan anak kedua dari lima
bersaudara. Penulis telah menikah dengan Tri Purwanto dan dikaruniai tiga orang
anak: Ikhlas Hanif Muttaqin, Aisyah Azka Rosyida dan Fathiya Salma Hafizha.
Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Jiwo lulus tahun 1990,
kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Wedi lulus pada tahun 1993. Pada tahun yang
sama diterima di SMAN 2 Klaten dan lulus pada tahun 1996, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan berhasil
menamatkan Program Diploma IV pada tahun 2000.
Setelah lulus dari STIS, penulis bekerja sebagai staf bidang sosial Badan
Pusat Statistik Provinsi Riau sampai dengan tahun 2008. Pada tahun 2008 hingga
sekarang penulis bekerja di Badan Pusat Statistik sebagai staf subdit Demografi.
Pada tahun 2009 penulis menyelesaikan program alih jenjang S1 di Departemen
Ilmu Ekonomi FEM dan melanjutkan kuliah S2 Magister Ilmu Ekonomi IPB
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xvi
I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Perumusan Masalah... 4
1.3 Tujuan Penelitian... 8
1.4 Manfaat Penelitian... 8
1.5 Ruang Lingkup... 8
II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 11
2.1 Definisi Kemiskinan... 11
2.2 Indikator Kemiskinan... 13
2.3 Penyebab Kemiskinan... 15
2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemiskinan... 18
2.4.1 Jumlah Penduduk... 18
2.4.2 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian... 19
2.4.3 Tingkat Pendidikan... 20
2.4.4 Upah Minimum Provinsi (UMP)... 21
2.4.5 PDRB perkapita... 22
2.4.6 Pengangguran... 23
2.4.7 Infrastruktur... 23
2.5 Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan... 25
2.6 Kerangka Pemikiran... 28
2.7 Hipotesis Penelitian... 29
III METODE PENELITIAN... 31
3.2 Analisis Deskriptif... 31
3.3 Analisis Regresi Data Panel... 31
3.3.1 Pemilihan Model Terbaik... 36
3.3.2 Uji Asumsi... 36
3.3.3 Evaluasi Model... 38
3.3.4 Spesifikasi Model Penelitian... 39
3.3.5 Definisi Operasional... 40
IV GAMBARAN UMUM... 43
4.1 Penduduk………... 43
4.2 Penduduk Miskin…... 46
4.2.1 Persentase Penduduk Miskin... 46
4.2.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan ………. 49
4.2.3 Indeks Keparahan Kemiskinan ………. 51
4.3 Pendidikan... 53
4.4 Pekerja Sektor Pertanian………... 55
4.5 Pengangguran………... 56
4.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita………. 58
4.7 Infrastruktur…..………... 60
V HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 65
5.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan …... 65
5.2 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan... 88
5.2.1 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia………... 88
5.2.2 Rumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia ……… 94
VI KESIMPULAN DAN SARAN... 105
6.1 Kesimpulan... 105
6.2 Saran... 105
DAFTAR TABEL
1. Kerangka identifikasi autokorelasi... 37
2. Persentase penduduk di Pulau Jawa dan kepadatan penduduk
menurut pulau, Tahun 2000-2009... 45
3. Perkembangan garis kemiskinan provinsi, 2005-2009…… 47
4. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) menurut provinsi, tahun
2005-2009 ... 50
5. Indeks keparahan kemiskinan menurut provinsi,
2005-2009... 52
6. Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan provinsi di
Indonesia tahun 2009... 61
7. Energi listrik PLN yang terjual di Indonesia menurut provinsi tahun
1991, 1999 dan 2007... 63
8. Hasil estimasi persamaan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia periode 2000-2009...
67
9. Perkembangan nilai tukar petani (NTP) di Indonesia tahun
DAFTAR GAMBAR
1. Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia periode
2000-2009... 3
2. Kerangka pemikiran………... 29
3. Perkembangan pertumbuhan penduduk di Kawasan Barat Indonesia
dan Kawasan Timur Indonesia, 2001-2009... 44
4. Perkembangan angka beban tanggungan di Kawasan Barat Indonesia
dan Kawasan Timur Indonesia tahun 2000-2009... 46
5. Perkembangan angka kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan
Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009……... 48
6. Persentase penduduk menurut ijazah tertinggi yang dimiliki di
Kawasan Barat Indonesia, 2000-2009... 55
7. Persentase penduduk menurut ijazah tertinggi yang dimiliki di
Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009……... 55
8. Perkembangan pekerja sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia
dan Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009... 56
9. Perkembangan angka pengangguran terbuka di Indonesia,
2000-2009…... 57
10. Perkembangan PDRB perkapita di Kawasan Barat Indonesia dan
Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009... 59
11. PDRB perkapita menurut provinsi tahun 2009... 60
12. Perkembangan indeks gini di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan
Timur Indonesia, 2000-2009………. 70
13. Perkembangan PDRB perkapita per bulan dan garis kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia,
2005-2009………... 71
14. Perkembangan infrastruktur jalan di Kawasan Barat Indonesia,
2000-2009………... 72
15. PDRB perkapita sektor pertanian di Kawasan Barat Indonesia dan
Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009... 77
16. Perkembangan angka beban tanggungan di Kawasan Barat Indonesia
17. Perkembangan angka pekerja lulusan SMP di Kawasan Barat
Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009... 80
18. Perkembangan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan
PDRB di Kawasan Barat Indonesia, 2000-2009... 82
19. Perkembangan kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan
PDRB di Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009... 83
20. Tingkat pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan di
Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2009... 84
21. Perkembangan upah minimum provinsi dan indeks harga konsumen di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2000-2009...
86
22. Perkembangan rata-rata UMP perkapita per bulan dan garis kemiskinan
di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2005-2009………...
87
23. Angka kepadatan penduduk di Kawasan Barat Indonesia, 2009... 89
24. Angka kepadatan penduduk di Kawasan Timur Indonesia, 2009... 95
25. Uji normalitas error term pada model faktor-faktor yang
memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia…………... 119
26. Uji normalitas error term pada model faktor-faktor yang
memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia…………... 124
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil penguijian antara fixed effect dengan pooled least square (Uji Chow) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di
Kawasan Barat Indonesia... 115
2. Hasil penguijian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi
kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia... 116
3. Hasil estimasi untuk model faktor-faktor yang memengaruhi
kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia……… 117
4. Uji asumsi homoskedastisitas dengan White-test pada model
faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia 118
5. Uji normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi
kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia... 119
6. Hasil penguijian antara fixed effect dengan pooled least square (Uji Chow) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di
Kawasan Timur Indonesia…... 120
7. Hasil penguijian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) untuk model faktor-faktor yang memengaruhi
kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia……... 121
8. Hasil estimasi untuk model faktor-faktor yang memengaruhi
kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia... 122
9. Uji asumsi homoskedastisitas dengan White-test pada model faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia...
123
10. Uji normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan
ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju
maupun negara berkembang. Kemiskinan menjadi isu dunia yang banyak diminati
oleh para peneliti karena jumlahnya yang besar dan dampak yang ditimbulkannya
sangat buruk bagi kehidupan masyarakat. World Bank (2004) melaporkan bahwa
seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin. Kemiskinan di
Indonesia jika dihitung berdasarkan standar hidup minimum dengan pengeluaran
per kapita per hari US$ 2, maka penduduk yang tergolong miskin mencapai 59,99
persen (World Bank 2007). Menurut Yudhoyono dan Harniati (2007), kemiskinan
mempunyai dampak menurunkan kualitas hidup, menimbulkan beban sosial
ekonomi masyarakat, menurunkan kualitas sumberdaya manusia, dan menurunkan
ketertiban umum.
Selain sebagai permasalahan nasional, kemiskinan menjadi permasalahan
dunia yang menarik perhatian bagi banyak negara untuk segera mencari solusi
penanggulangannya. Kepedulian dunia dalam upaya menanggulangi kemiskinan
diwujudkan dengan diselenggarakannya Deklarasi Millenium (Millenium Declaration) pada bulan September 2000 yang diikuti oleh 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia. Deklarasi tersebut menyepakati 8 tujuan pembangunan
millenium atau yang lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). Delapan tujuan tersebut antara lain: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua kalangan; (3) mendorong
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka
kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS,
malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) memastikan keberlanjutan lingkungan
hidup; (8) membangun kemitraan global untuk pembangunan.
Dalam MDGs, penanggulangan kemiskinan dan kelaparan menjadi tujuan
pertama target pembangunan. Target yang ingin dicapai adalah menurunkan
angka kemiskinan hingga 50 persen pada tahun 2015 dengan didasarkan pada
sebesar 15,10 persen, maka pada tahun 2015 diharapkan menjadi 7,50 persen
(sekitar 13,10 juta penduduk). Keseriusan pemerintah dalam upaya mencapai
target penurunan kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2010-2014 yang menunjukkan bahwa salah satu sasaran
pembangunan ekonomi nasional adalah mempercepat penurunan tingkat
kemiskinan hingga 8-10 persen pada akhir 2014, sehingga diharapkan pada tahun
2015 target MDGs bisa tercapai.
Badan Pusat Statistik (2009) menunjukkan bahwa dari tahun 1976-1996
persentase penduduk miskin Indonesia menurun drastis dari 40,10 persen menjadi
17,47 persen. Pada masa ini Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang
telah berhasil menurunkan kemiskinan dengan persentase penurunan yang cukup
tinggi, yaitu 22,63 persen (sekitar 20,19 juta penduduk).
Keberhasilan menurunkan kemiskinan itu ternyata tidak bertahan lama,
ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 hingga
1998 angka kemiskinan meningkat hingga mencapai angka 24,23 persen (49,5
juta penduduk). Saat krisis itu terjadi, kondisi perekonomian sangat buruk, sektor
moneter dan riil mengalami goncangan (shock), pertumbuhan ekonomi turun hingga -13,13 persen, banyak terjadi PHK, dan harga barang kebutuhan pokok
melonjak. Semua ini menyebabkan daya beli penduduk semakin menurun,
penduduk kesulitan memenuhi kebutuhannya sehingga peningkatan jumlah
penduduk miskin tak terelakkan lagi.
Setelah krisis ekonomi berakhir secara perlahan angka kemiskinan mulai
turun meskipun masih berfluktuasi. Pada periode 2000-2005 angka kemiskinan
menurun, namun meningkat lagi pada tahun 2006. Peningkatan angka kemiskinan
ini disebabkan oleh naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok sebagai
dampak dari naiknya harga bahan bakar minyak yang ditetapkan pemerintah pada
tahun 2005. Pada periode 2007-2009 angka kemiskinan kembali menurun hingga
mencapai 14,15 persen pada tahun 2009. Perkembangan persentase penduduk
Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 2000-2009
Gambar 1 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia periode 2000-2009.
Keragaman antar daerah merupakan ciri khas Indonesia. Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan dua kawasan
yang telah ditetapkan pemerintah dengan tujuan untuk mengefektifkan
program-program pembangunan. Pembentukan kedua kawasan tersebut didasari adanya
beberapa perbedaan, antara lain kondisi geografis, kondisi ekonomi, kondisi
sosial, kondisi kemiskinan dan berbagai perbedaan lainnya. Beragamnya
perbedaan tersebut tentunya harus disikapi oleh pemerintah dengan kebijakan
yang berbeda dalam berbagai hal, termasuk dalam menanggulangi kemiskinan.
Berdasarkan Gambar 1, kemiskinan lebih banyak dialami oleh penduduk yang
tinggal di Kawasan Timur Indonesia. Pada tahun 2000 angka kemiskinan di
Kawasan Timur Indonesia sebesar 24,15 persen sedangkan di Kawasan Barat
Indonesia sebesar 18,02 persen. Secara perlahan angka ini cenderung menurun
hingga tahun 2009 mencapai angka 15,90 persen di Kawasan Timur Indonesia dan
13,73 persen di Kawasan Barat Indonesia.
Perbedaan kemiskinan yang terjadi antar kawasan di Indonesia
dimungkinkan karena akar masalah yang menjadi faktor penyebab kemiskinan di
setiap kawasan berbeda. Sebagai ilustrasi, kemiskinan di Jawa yang merupakan
bagian dari Kawasan Barat Indonesia cenderung berasal dari involusi pertanian
dan ledakan penduduk, sehingga banyak keluarga miskin di pulau ini yang tidak
relatif kecil sebagai mata pencaharian utama (Geertz 1963). Sementara itu, Papua
yang merupakan bagian dari Kawasan Timur Indonesia mempunyai aset dalam
bentuk hamparan tanah yang luas dan sumberdaya alam yang melimpah dengan
jumlah penduduk yang relatif kecil. Tingginya penduduk miskin di Papua
menunjukkan bahwa kekayaan alam yang mereka miliki tidak dapat dinikmati
oleh semua rakyat. Kurangnya kemampuan penduduk dalam mengelola aset-aset
tersebut menjadikan sebagian besar aset itu dikuasai oleh pihak asing yang
cenderung sulit untuk diakses oleh masyarakat setempat.
1.2 Perumusan Masalah
Pada masa pemerintahan orde baru, strategi penurunan kemiskinan lebih
ditekankan pada pembangunan ekonomi yang mengutamakan tingginya angka
pertumbuhan ekonomi. Ini dikarenakan keyakinan para pembuat kebijakan dan
perencana pembangunan akan adanya trickle down effect (Tambunan 2003). Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua
kalangan masyarakat, terutama masyarakat miskin melalui penciptaan lapangan
kerja. Lapangan kerja yang lebih banyak dapat memperluas kesempatan kerja bagi
penduduk miskin sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya dan mampu
keluar dari kemiskinan.
Fakta memperlihatkan bahwa trickle down effect yang diinginkan tidak tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti oleh ketersediaan
kesempatan kerja yang memadai sehingga tingkat kemiskinan sulit turun.
Mempertimbangkan keadaan ini maka strategi pembangunan mulai diubah, tidak
hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetapi juga berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Tambunan 2006).
Rakyat yang sejahtera bisa tercapai jika pembangunan ekonomi
memperhatikan semua golongan masyarakat, terutama golongan masyarakat
miskin. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin maka beberapa
program penanggulangan kemiskinan diimplementasikan pemerintah dengan cara
memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak, meningkatkan kesejahteraan
sosial ekonomi masyarakat miskin, penguatan kelembagaan sosial ekonomi
Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K
2010), terdapat empat strategi penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan
pemerintah, antara lain:
(1) Memperbaiki program perlindungan sosial. Program ini dimaksudkan untuk
membantu individu dan masyarakat menghadapi goncangan (shocks) sehingga apabila terjadi musibah tidak sampai jatuh miskin. Program
tersebut berupa bantuan sosial untuk melindungi mereka yang tidak miskin
agar tidak jatuh miskin, dan bagi penduduk miskin tidak semakin miskin.
(2) Meningkatkan akses pelayanan dasar. Pelayanan dasar tersebut meliputi
akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi,
serta pangan dan gizi. Tujuan dari program ini adalah untuk meringankan
biaya yang harus ditanggung masyarakat miskin untuk mendapatkan
pelayanan publik. Harapannya adalah akan terjadi peningkatan kualitas
sumberdaya manusia (human capital) sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja mereka sehingga memungkinkan mereka untuk
menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dan mampu keluar dari
kemiskinan.
(3) Pemberdayaan kelompok masyarakat miskin. Pemberdayaan ini sangat
penting mengingat kemiskinan juga disebabkan oleh ketidakadilan dan
struktur ekonomi yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin.
Hasil-hasil pembangunan tidak terdistribusi secara merata di semua kalangan
masyarakat sehingga mereka tidak ikut menikmati hasil pembangunan
tersebut. Ironisnya, sering proses pembangunan itu justru membuat mereka
semakin tersisihkan dan menjadi semakin miskin baik secara fisik maupun
sosial.
(4) Pembangunan yang inklusif. Maksudnya adalah pembangunan yang dapat
memberikan manfaat kepada seluruh rakyat. Pertumbuhan ekonomi harus
mampu menciptakan lapangan kerja produktif dalam jumlah besar,
selanjutnya diharapkan terdapat multiplier effect pada peningkatan pendapatan mayoritas penduduk, peningkatan taraf hidup, sehingga
Implementasi dari program-program tersebut diwujudkan melalui beberapa
pendekatan antara lain pendekatan sektoral, regional, kelembagaan dan kebijakan
khusus. Beberapa program yang telah dilaksanakan antara lain Inpres Desa
Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT),
Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Beras untuk rakyat miskin (Raskin) dan berbagai
program yang melibatkan unsur kelembagaan.
Program-program tersebut dilakukan oleh pemerintah dengan harapan
persoalan kemiskinan dapat diatasi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tingkat
kemiskinan tetap tinggi. Ini dapat diartikan bahwa kebijakan-kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah belum cukup efektif dalam mengentaskan kemiskinan.
Ada beberapa kelemahan dari program-program tersebut, antara lain: pertama,
program yang berbasis bantuan tidak mendidik dan bukan solusi yang tepat karena
sifatnya hanya menyembuhkan sementara, tidak menghilangkan kemiskinan.
Dampak lainnya adalah timbul kecemburuan sosial dari masyarakat yang tidak
mendapatkannya, sehingga keributan terjadi di berbagai daerah. Lebih lanjut,
kebijakan semacam ini sangat rentan untuk diselewengkan oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggungjawab, sehingga bantuan menjadi salah sasaran.
Contohnya program BLT, Raskin, dan lainnya. Kedua, kebijakan diambil didasarkan pada asumsi bahwa kemiskinan bersifat homogen di setiap daerah,
sehingga kebijakan dan program yang dilakukan kurang mempertimbangkan
keragaman sebab dan karakteristik kemiskinan daerah. Semua inisiatif program
berasal dari pemerintah pusat, begitu juga dengan petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis implementasi program selalu dibuat seragam tanpa
memperhatikan karakteristik masyarakat miskin di setiap daerah. Akibatnya,
program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan prioritas penanganan dan
kebutuhan masyarakat miskin setempat (TNP2K 2010).
Beberapa kelemahan program-program penanggulangan kemiskinan juga
diungkapkan Menko Kesra (2005), yaitu: (1) pembangunan terlalu berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kurang memperhatikan pemerataan,
(2) ada kecenderungan penekanan pada aspek sektoral dan kekuatan sektoral, (3)
(4) cenderung terfokus pada sifat kedermawanan dalam menanggulangi
kemiskinan, (5) pemerintah terlalu memonopoli dalam upaya menanggulangi
kemiskinan dan (6) kurang memahami akar penyebab kemiskinan.
Berbagai kritik terhadap program penanggulangan kemiskinan
menunjukkan bahwa beberapa aspek perlu diperhatikan dalam menanggulangi
kemiskinan di setiap kawasan. Aspek-aspek tersebut mencakup aspek sosial,
ekonomi, budaya, politik serta aspek waktu dan ruang. Faktor-faktor penyebab
kemiskinan perlu terlebih dahulu diperhatikan agar kebijakan penanggulangan
kemiskinan sesuai dengan kondisi wilayah dan masyarakat di setiap wilayah.
Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia merupakan dua
kawasan yang telah dibentuk pemerintah Indonesia sejak tahun 1993. Kawasan
Barat Indonesia meliputi 14 provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur
dan Bali. Kawasan Timur Indonesia meliputi 12 provinsi, yaitu Nusa Tenggara
Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua.
Jika dilihat dari aspek ekonomi, seperti tercermin dalam indikator tingginya
PDRB, ternyata tidak dengan sendirinya berimplikasi pemerataan pertumbuhan
yang seimbang antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia. Perkembangan antar
daerah memperlihatkan kecenderungan bahwa daerah-daerah di Kawasan Barat
Indonesia umumnya mengalami perkembangan ekonomi lebih cepat dibandingkan
dengan daerah di Kawasan Timur Indonesia. Demikian juga dari aspek sosial,
seperti kualitas sumberdaya manusia, ketersediaan fasilitas publik, kuantitas dan
kualitas infrastruktur di Kawasan Barat Indonesia relatif lebih baik dibandingkan
dengan Kawasan Timur Indonesia.
Terkait dengan masalah kemiskinan di kedua kawasan tersebut, rumusan
kebijakan penanggulangan kemiskinan yang didasarkan pada beragamnya akar
permasalahan yang menjadi faktor penyebab kemiskinan di masing-masing
kawasan menjadi menarik untuk diteliti. Harapannya program-program ini dapat
sehingga kemiskinan bisa secara efektif diturunkan. Lebih lanjut, pemerintah bisa
lebih selektif dalam mengalokasikan anggaran penurunan kemiskinan berdasarkan
prioritas kebutuhan di setiap daerah.
Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia
dan Kawasan Timur Indonesia?
2. Kebijakan seperti apa yang dibutuhkan, sehingga bisa lebih efektif
menurunkan kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur
Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan
Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.
2. Merumuskan kebijakan yang diharapkan lebih efektif menurunkan
kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai
faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan
Timur Indonesia dan merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
didasarkan pada faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di setiap kawasan.
Penelitian ini juga diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan.
1.5 Ruang lingkup
Penelitian ini meliputi dua hal, yaitu: pertama, memberikan informasi
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Kedua,
merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang didasarkan pada
faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan
Analisis dilakukan di setiap kawasan dengan periode analisis 2000-2009.
Data yang digunakan berupa data sekunder, yaitu data kemiskinan, jumlah
penduduk, jumlah pekerja pertanian, tingkat pendidikan penduduk, PDRB
perkapita, pengangguran, infrastruktur jalan dan listrik serta data-data pendukung
yang relevan dengan penelitian. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik,
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Definisi Kemiskinan
Definisi kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin
kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang
melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi
melainkan telah meluas hingga dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik.
Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
a) Kemiskinan absolut
Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan
kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar
minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan
demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan
orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh
kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat
menjamin kelangsungan hidupnya.
b) Kemiskinan relatif
Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang
sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh
lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin
besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan
bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat
dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan
masalah distribusi pendapatan.
Sayogyo (1978) menguraikan konsep kemiskinan dengan membedakan
antara daerah perdesaan dan perkotaan. Mereka disebut miskin apabila
mempunyai pendapatan per kapita kurang dari 320 kg beras di desa dan kurang
dari 480 kg beras di kota. Kelemahan dari konsep ini kurang mempertimbangkan
adanya peningkatan kebutuhan pokok yang lain, yang tentunya ikut berubah
dengan meningkatnya pendapatan. Selain itu, uraian konsep kemiskinan di atas
hanya mencakup kebutuhan makan, belum terhitung kebutuhan nonmakanan
Pada tahun 1979, Friedman mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya
kesempatan untuk mengakumulasikan aset-aset produktif, organisasi sosial dan
politik yang mampu mewujudkan kepentingan umum, sosialisasi yang dapat
memberikan kesempatan untuk bekerja, informasi dan pendidikan serta teknologi
yang menjadi tuntutan hidup. Pada waktu yang sama, Scott mengartikan
kemiskinan dari sudut pandang pendapatan, baik dalam bentuk materi maupun
nonmateri. Scott mengemukakan tiga definisi kemiskinan. Pertama, kemiskinan merupakan buruknya kondisi seseorang karena kurangnya pendidikan, kesehatan
dan transportasi. Hal ini mengakibatkan kemampuan dan produktivitas kerja
menurun sehingga pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kedua, definisi miskin yang disebabkan karena kurangnya aset produktif seseorang, seperti uang, tanah, rumah dan fasilitas lainnya. Ketiga, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kehidupan seseorang atau masyarakat
yang tidak dipenuhi kebutuhan nonmaterinya, seperti hak kebebasan, hak untuk
memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk merdeka dan kebutuhan nonmateri
lainnya. Kesimpulannya, kemiskinan bisa dipandang sebagai suatu keadaan yang
kompleks, tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari
aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin yaitu penduduk
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non
makanan. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan
dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan.
Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100
kilo kalori per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan
yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk
papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu
yang mendasar lainnya. Pada penelitian ini, konsep kemiskinan mengacu pada
konsep yang telah dibuat oleh BPS.
Selain BPS, ada beberapa instansi juga menetapkan kriteria kemiskinan,
antara lain: BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), World
keluarga sejahtera I (KS I). World Bank menetapkan kemiskinan berdasarkan
pada pendapatan per orang per hari. Biasanya ukuran yang digunakan US$ 1 atau
US$ 2. Penduduk dengan penghasilan dibawah nilai nominal tersebut
dikategorikan sebagai penduduk miskin.
2.2 Indikator Kemiskinan
Penghitungan kemiskinan yang dilakukan BPS didasarkan pada garis
kemiskinan (GK). GK dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan
non makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population) atau penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada
sedikit di atas perkiraan awal GK. Perkiraan awal GK ini dihitung berdasarkan
GK periode sebelumnya yang diinflate/dideflate dengan inflasi/deflasi. GK dibagi ke dalam dua bagian yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
BPS setiap tahun menetapkan garis kemiskinan berdasarkan susenas
panel/modul konsumsi dengan informasi tambahan hasil Survei Paket Komoditi
Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari
pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan. Pada tahun 1995
BPS telah melaksanakaan SPKKD untuk penghitungan jumlah penduduk miskin
tahun 1995-2004. Karena hasil SPKKD tahun 1995 sudah tidak relevan lagi maka
pada tahun 2004 BPS kembali melaksanakan SPKKD untuk menghitung jumlah
penduduk miskin tahun 2004 sampai sekarang.
Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan
dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola
konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di
perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan. Sementara itu sejak tahun 1996 terdiri
dari 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47
jenis komoditi) di perdesaan. Penghitungan jumlah dan persentase penduduk
miskin provinsi dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan berdasarkan GK
(GKM + GKNM) yang juga dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan.
Penghitungan indikator kemiskinan didasarkan pada formula yang di
q i iz
y
z
n
P
11
keterangan: = 0, 1, 2
z = garis kemiskinan
yi = rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada
dibawah garis kemiskinan ( i=1, 2, 3, …, q), yi < q
q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
n = jumlah penduduk
Jika =0 maka diperoleh Head Count Index (P0); =1 adalah Poverty Gap Index (P1); dan =2 merupakan ukuran Poverty Severity Index (P2).
(1) The incident of poverty atau Head count index (HCI) adalah ukuran kemiskinan jika pada formula Foster-Greer-Thorbecke nilai samadengan
nol, sehingga:
n
q
P
0
Penghitungan ini menunjukkan persentase dari populasi yang hidup dalam
keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita dibawah garis kemiskinan.
(2) The depth of poverty atau poverty gap merupakan kedalaman/jurang kemiskinan jika pada formula Foster-Greer-Thorbecke nilai samadengan
satu, sehingga:
q i iz
y
z
n
P
1 11
Ukuran ini menggambarkan dalamnya kemiskinan, yakni perbedaan jarak
rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan.
Poverty gap index berguna untuk mengetahui seberapa banyak sumberdaya (uang) yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan melalui transfer uang
(cash transfer) yang ditujukan kepada orang miskin dengan sempurna. Misalkan
poverty gap = 0,3 maka cash transfer yang diperlukan untuk menghapus kemiskinan adalah sebesar 30 persen dari garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai
indeks ini semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin
menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk
(3) Squared poverty gap atau poverty severity index adalah ukuran yang menggambarkan keparahan kemiskinan. Jika pada formula
Foster-Greer-Thorbecke nilai samadengan dua, sehingga:
qi
i
z
y
z
n
P
1
2
2
1
Indeks ini menggambarkan ketimpangan diantara orang miskin. Sampai
batas tertentu squared poverty gap dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan
untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
2.3 Penyebab Kemiskinan
Jhingan (2004), mengemukaan tiga ciri utama negara berkembang yang
menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan.
Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki
ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja
produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian. Mawardi (2004) menyebutkan ada enam kategori yang menyebabkan
kemiskinan, antara lain:
1. Ketidakberdayaan
Faktor ketidakberdayaan merupakan faktor di luar kendali masyarakat
miskin, yang mencakup aspek ketersediaan lapangan pekerjaan, tingkat
biaya/harga (baik barang konsumsi, sarana produksi, maupun harga jual
produksi), kebijakan pemerintah, sistem adat, lilitan hutang, keamanan, dan
takdir/kodrat. Aspek takdir ini merupakan bentuk kepasrahan dari
masyarakat miskin karena kondisi kemiskinan yang mereka alami sudah
sedemikian rupa sehingga timbullah sikap apatis dan mereka menganggap
2. Kekurangan materi
Yang termasuk dalam kategori kekurangan materi adalah kepemilikan atau
tidak memiliki berbagai macam aset, seperti rumah, tanah, modal kerja,
warisan, serta rendahnya penghasilan karena upah atau hasil panen yang
rendah. Faktor kekurangan materi merupakan faktor penyebab kemiskinan
yang dominan selain faktor ketidakberdayaan.
3. Keterkucilan
Faktor keterkucilan terkait dengan hambatan fisik dan nonfisik dalam
mengakses kesempatan meningkatkan kesejahteraan, antara lain karena
lokasi yang terpencil, prasarana transportasi yang buruk, tingkat pendidikan
dan keterampilan yang rendah, akses terhadap kredit, pendidikan, kesehatan,
irigasi dan air bersih tidak ada/kurang memadai.
4. Kelemahan fisik
Yang termasuk dalam faktor kelemahan fisik antara lain: kondisi kesehatan,
kemampuan kerja, kurang makan dan gizi, dan masalah sanitasi. Pada
umumnya kondisi kesehatan yang buruk dianggap lebih penting sebagai
penyebab kemiskinan dibandingkan faktor ketidakmampuan bekerja.
5. Kerentanan
Faktor kerentanan mencerminkan kondisi ketidakstabilan atau guncangan
yang dapat menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan. Didalamnya
mencakup aspek pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerjaan tidak tetap,
masalah dalam produksi, bencana alam dan musibah dalam keluarga.
6. Sikap dan perilaku
Kebiasaan buruk atau sikap yang cenderung menghambat kemajuan masuk
dalam kategori ini. Didalamnya mencakup kurangnya upaya untuk bekerja,
tidak bisa mengatur uang atau boros, masalah ketidakharmonisan keluarga,
serta kebiasaan berjudi/mabuk.
Smeru (2001) menyampaikan delapan penyebab dasar kemiskinan, antara
lain: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal, (2) keterbatasan bahan
kebutuhan dasar, sarana dan prasarana, (3) adanya kecenderungan kebijakan yang
diambil pemerintah bias perkotaan dan bias sektor, (4) sistem yang kurang
sumberdaya manusia dan perbedaan sektor ekonomi (tradisional versus modern),
(6) produktivitas dan tingkat pembentukan modal yang rendah, (7) budaya hidup
yang cenderung dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengelola
sumberdaya alam dan lingkungan, dan (8) tata kelola pemerintahan yang belum
baik.
Selanjutnya, Suryawati (2005) menyampaikan beberapa penyebab
kemiskinan perdesaan, antara lain:
(1) Natural assets, mencakup tanah dan air. Sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang relatif kecil sebagai mata pencahariannya.
(2) Human assets, yakni kualitas sumberdaya manusia di perdesaan masih rendah dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.
(3) Physical assets, masih rendahnya akses masyarakat ke infrastruktur dan pelayanan umum antara lain jalan, listrik dan telekomunikasi.
(4) Financial assets, yakni tabungan yang masih kecil dan keterbatasan akses untuk memperoleh modal usaha.
(5) Social assets, lebih kepada pengaruh politik.
Pada tahun 2006, Papilaya dan Sugihen meneliti tentang akar dan strategi
pengentasan kemiskinan di tiga kabupaten/kota yang terletak di Provinsi
Gorontalo. Dari hasil penelitian mereka dinyatakan bahwa akar penyebab
kemiskinan yang paling menentukan yaitu kurang produktifnya perilaku
rumahtangga miskin dan kurang normatifnya perilaku elit. Secara kualitatif,
kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin terlihat dari perilaku seperti
perilaku hedonis, konsumtif, ketergantungan, suka berhutang, apatis dan fatalis.
Sementara itu, kurang normatifnya perilaku elit dapat terlihat pada perilaku
mencari keuntungan (rent seeking behavior) pelaksana program kemiskinan seperti yang diungkapkan oleh rumahtangga miskin pada waktu diskusi kelompok
terfokus (FGD). Disamping itu, perilaku mengutamakan keluarga dekat
2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan
Beberapa variabel yang memengaruhi kemiskinan adalah sebagai berikut:
2.4.1 Jumlah Penduduk
Sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, namun tidak semata-mata tergantung dari jumlah penduduknya saja,
tetapi lebih ditekankan pada efisiensi dan produktivitas dari penduduk tersebut.
Jumlah penduduk yang terlalu banyak atau kepadatan penduduk yang terlalu
tinggi akan menjadi penghambat pembangunan ekonomi di negara berkembang.
Pendapatan per kapita yang rendah dan tingkat pembentukan modal yang rendah
semakin sulit bagi negara berkembang untuk menopang ledakan jumlah
penduduk. Sekalipun output meningkat sebagai hasil teknologi yang lebih baik
dan pembentukan modal, peningkatan ini akan ditelan oleh jumlah penduduk yang
terlalu banyak. Alhasil, tidak ada perbaikan dalam laju pertumbuhan nyata
perekonomian. (Jhingan 2003)
Pada tahun 2008 Jhingan mengemukakan pengaruh buruk pertumbuhan
penduduk yang tinggi terhadap perekonomian yang dalam hal ini pendapatan per
kapita. Pertumbuhan penduduk cenderung memperlambat pendapatan per kapita
melalui tiga cara, yaitu: 1) ia memperberat beban penduduk pada lahan; 2) ia
menaikkan barang konsumsi karena kekurangan faktor pendukung untuk
menaikkan penawaran mereka; 3) memerosotkan akumulasi modal, karena dengan
tambah anggota keluarga, biaya meningkat. Kondisi ini akan semakin parah
apabila persentase anak pada keseluruhan penduduk tinggi, karena
anak-anak hanya menghabiskan dan tidak menambah produk, dan jumlah anak-anak yang
menjadi tanggungan keluarga lebih besar daripada jumlah mereka yang
menghasilkan, sehingga pendpatan per kapita menjadi rendah.
Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya “ Dampak
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin”
menghasilkan temuan bahwa peningkatan jumlah populasi penduduk sebesar 1000
orang akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 249 orang.
Penemuan yang sama diperoleh Suparno (2010) yang menunjukkan bahwa
peningkatan jumlah penduduk terbukti meningkatkan jumlah kemiskinan di
2.4.2 Jumlah Pekerja Sektor Pertanian
Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian
besar penduduk Indonesia yang mayoritas tinggal di perdesaan. Dari tahun 2000
hingga 2008, sekitar 40 persen angkatan kerja nasional melakukan aktivitas
ekonomi di sektor pertanian (BPS 2008). Seiring dengan maraknya isu
indudtrialisasi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan menyebabkan
lahan pertanian mengalami pengurangan, bahkan semakin banyak pula penduduk
yang tidak mempunyai lahan sama sekali. Semakin berkurang lahan pertanian
maka produktivitas pertanian turun sehingga output pertanian juga turun, dan
dampaknya adalah terjadinya penurunan pendapatan petani. Jika pendapatan
petani berkurang maka sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
sehingga kemiskinan bertambah.
Menurut Arsyad (2010), satu faktor penyebab kemiskinan di sektor
pertanian adalah rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan hal ini salah
satunya disebabkan oleh distribusi lahan pertanian yang semakin timpang.
Ketimpangan penguasaan lahan pertanian terjadi di Indonesia sudah sejak lama.
Program land reform dilaksanakan pada pertengahan tahun 1960-an oleh pemerintahan pada masa itu, namun program ini tidak berhasil mengatasi masalah
ketimpangan penguasaan lahan ini seiring dengan perubahan sistem politik dan
ekonomi pada masa rezim orde baru.
Sebuah realita menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh
petani kecil (petani gurem). Petani gurem adalah petani dengan luas lahan garapan
kurag dari 0,5 ha. Pada tahun 1983, jumlah petani gurem sekitar 46,2 persen dari
keseluruhan petani. Duapuluh tahun kemudian, yaitu tahun 2003, jumlah petani
gurem meningkat menjadi 56,4 persen.
Salah satu sebab rendahnya produktivitas pertanian adalah rendahnya
tingkat pendidikan petani dan buruh tani relatif rendah. Menurut teori
pertumbuhan endogen, pendidikan merupakan pendorong meningkatnya output
melalui peningkatan produktivitas pekerja karena sumberdaya manusia yang
berkualitas. Pada tahun 2003, sekitar 31,62 persen petani di Indonesia tidak
Petani yang berpendidikan dasar sekitar 44,98 persen, dan hanya sekitar 1,69
persen petani yang pernah menempuh pendidikan di perguruan tinggi (BPS 2003).
Nurkse (Arsyad 2010) dalam satu konsepnya mengenai lingkaran
kemiskinan, menyebutkan bahwa timbulnya lingkaran setan kemiskinan
disebabkan kurangnya akses dalam pembentukan modal. Lembaga perbankan
yang ada di Indonesia masih kurang menjangkau petani kecil. Petani yang paling
sering mendapatkan kredit adalah petani pemilik lahan, misalnya pemilik lahan
kelapa sawit. Kurangnya modal menyebabkan petani kecil sulit untuk
mengembangkan usahanya, sehingga pendapatan yang diterimanya sulit untuk
meningkat. Akibatnya, kemiskinan di sektor pertanian cenderung persistent dan sulit untuk diturunkan.
2.4.3 Tingkat Pendidikan
Pendidikan berfungsi sebagai driving force atau daya penggebrak transformasi masyarakat untuk memutus rantai kemiskinan. Pendidikan
membantu menurunan kemiskinan melalui efeknya pada produktivitas tenaga
kerja dan melalui jalur manfaat sosial, maka pendidikan merupakan sebuah tujuan
pembangunan yang penting bagi bangsa (World Bank 2005). Pendidikan sebagai
sarana untuk memperoleh wawasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan agar
peluang kerja lebih terbuka dan upah yang didapat juga lebih tinggi. Rahman
(2006) menemukan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan
upah/gaji yang diterima oleh pekerja.
Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Lucas dan Romer
(1996), pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan
ekonomi. Pendidikan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia yang nantinya menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif. Tenaga
kerja yang mempunyai produktivitas tinggi akan menghasilkan output yang lebih
banyak sehingga secara agregat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Andersson et.al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Determinants of Poverty in Lao PDR menyatakan bahwa pendidikan seseorang sebagai salah satu determinan konsumsi per kapita. Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata
menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan
tinggi akan mempunyai keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan
produktivitasnya. Peningkatan produktivitas akan meningkatkan output
perusahaan, peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat
sehingga akan mengurangi kemiskinan.
2.4.4 Upah Minimum Provinsi (UMP)
Kebijakan upah minimum di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun
2003. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor : Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum adalah upah bulanan terendah
yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan
tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara tetap dan
teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian
prestasi tertentu.
Dalam rangka mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja, perlu
ditetapkan upah minimum dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan
pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktivitas dan kemajuan perusahaan serta
perkembangan perekonomian pada umumnya. Upah minimum merupakan upah
terendah yang diterima karyawan/pekerja yang masa kerjanya dibawah satu tahun.
Bagi yang bekerja lebih dari satu tahun, maka upah yang diterima diatur oleh
peraturan perusahaan dengan sistem pengupahan yang telah disepakati antara
pengusaha dan serikat pekerja perusahaan. Penetapan upah minimum kabupaten/kota
harus tetap berdasarkan kesepakatan tripartit antara buruh, pengusaha, dan
pemerintah. Fungsi upah minimum pada dasarnya sebagai jaring pengaman terhadap
pekerja atau buruh agar tidak diekspolitasi dalam bekerja sehingga penentuannya
tetap melibatkan pemerintah.
Tujuan utama ditetapkannya upah minimum adalah memenuhi standar hidup
minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan kesejahteraan pekerja. Upah
minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah,
terutama pekerja miskin. Semakin meningkat tingkat upah minimum akan
meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan juga meningkat dan
pertimbangan termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menafikkan
produktifitas perusahaan dan kemajuannya, termasuk juga pertimbangan mengenai
kondisi ekonomi secara umum.
2.4.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita
Pro poor growth menurut Kakwani, et al. (2004) yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih memberikan keuntungan atau manfaat bagi penduduk miskin
dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Jika ini
terjadi maka akan berdampak semakin banyak penduduk miskin yang mengalami
peningkatan pendapatan dan mampu keluar dari kemiskinan. Pertumbuhan
ekonomi yang pro poor akan terwujud jika pertumbuhan ekonomi lebih banyak dihasilkan dari partisipasi ekonomi penduduk miskin. Hal ini berdampak pada
tingkat kemiskinan yang semakin mengecil.
Beberapa pendapat mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan seperti diuraikan Todaro dan Smith (2006). Pendapat
pertama, pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin. Hal ini terjadi karena kaum miskin akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan
struktural pertumbuhan modern. Pendapat kedua, di kalangan pembuat kebijakan, pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan
mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan.
Pendapat ketiga, kebijakan untuk mengurangi kemiskinan bukan memperlambat laju pertumbuhan, dengan argumen sebagai berikut:
1. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya,
menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan
memperlambat pertumbuhan perkapita.
2. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung
dan berinvestasi di negara mereka sendiri.
3. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan
yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas.
4. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan
produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang
5. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan
memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan.
Berbagai kebijakan pembangunan ekonomi seharusnya diterapkan dengan
mempertimbangkan kepentingan seluruh elemen masyarakat, agar seluruh elemen
masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pertumbuhan ekonomi termasuk
penduduk miskin. Peningkatan peran serta penduduk miskin dapat dilakukan
dengan lebih memberdayakan penduduk miskin melalui perbaikan sumber daya
manusia (pendidikan dan kesehatan) dan peningkatan akses terhadap sumber daya
faktor produksi.
2.4.6 Pengangguran
Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin
mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Menurut The National
Anti-Poverty Strategy (NAPS 1999), berdasarkan penelitian yang telah
dilakukannya di Ireland menyatakan bahwa pengangguran merupakan penyebab
terbesar terjadinya kemiskinan. Keterkaitan antara pengangguran dengan
kemiskinan sangat kuat. Pada tahun 1994, lebih dari setengah dari total keluarga
di Ireland dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan.
Sukirno (2004), menyatakan bahwa efek buruk dari pengangguran adalah
berkurangnya tingkat pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi
tingkat kemakmuran/kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat yang turun karena
menganggur akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan
karena tidak memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat
buruk, maka akan timbul kekacauan politik dan sosial dan ini mempunyai efek
yang buruk pada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi
dalam jangka panjang. Suparno (2010) menemukan bahwa banyaknya
pengangguran akan berdampak pada peningkatan kemiskinan di Indonesia.
2.4.7 Infrastruktur
Pertumbuhan ekonomi yang pro poor haruslah terwujud dalam upaya untuk menurunkan kemiskinan. Dalam teori pertumbuhan endogen, salah satu faktor
beragam, dan penyediaan infrastruktur merupakan bentuk kepedulian pemerintah
dalam berinvestasi untuk meningkatkan pembangunan ekonomi yang diharapkan
dapat menurunkan angka kemiskinan.
Infrastruktur jalan sangat mendukung aktivitas ekonomi. Infrastruktur jalan
yang bagus dapat meningkatkan mobilitas penduduk dan barang yang
menghubungkan satu pusat aktivitas dengan pusat aktivitas lain di area yang
berbeda. Penemuan Dercon dan Krishnan (1998), menyatakan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan perubahan tingkat kemiskinan adalah rumah tangga
dengan modal manusia dan fisik yang lebih besar, serta akses jalan yang lebih
baik memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah.
Menurut Malmberg et. al (1997), infrastruktur jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi baik di sektor pertanian maupun bukan pertanian, dan
menciptakan kesempatan ekonomi bagi penduduk desa secara keseluruhan,
termasuk yang miskin. Penelitian Khandker (1989) menemukan bahwa investasi
pemerintah di jalan memiliki efek positif atas hasil panen, pekerja bukan pertanian
di desa, dan upah petani dan semuanya itu menguntungkan penduduk miskin.
Kwon pada tahun 2001 pernah meneliti mengenai peran infrastruktur jalan
desa dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Penelitiannya didasari fakta
bahwa penduduk miskin pada umumnya terkonsentrasi di pedesaan dan cenderung
terisolasi dengan daerah lainnya. Dengan demikian mobilitas mereka terbatas
sehingga menyebabkan mereka tidak dapat berpartisipasi dari berbagai
kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Kurangnya
infrastruktur jalan akan meningkatkan biaya produksi pertanian dan akibatnya
menurunkan keuntungan mereka. Jika hal ini tidak segera diatasi maka sulit bagi
mereka untuk keluar dari kemiskinan.
Infrastruktur jalan mengurangi kemiskinan melalui dua cara, yaitu dampak
langsung (its own effect) dan dari dampak pada peningkatan kinerja variabel lainnya (the through-effect). Dampak langsung terlihat ketika pembangunan jalan berlangsung yaitu tambahan lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan
pendapatan penduduk, meningkatkan hubungan antara produsen dan konsumen,
pencari kerja dengan yang mempekerjakan. Dampak tak langsung dapat
pasar barang, sehingga hal ini akan mengurangi ongkos produksi. Ongkos
produksi yang murah akan menjadikan harga barang lebih murah, sehingga daya
beli masyarakat meningkat dan kemiskinan akan berkurang.
Selain jalan, ketersediaan infrastruktur listrik akan berpengaruh pada
perekonomian dan pendapatan penduduk. Pengaruh infrastruktur listrik terhadap
pendapatan penduduk miskin pernah di teliti oleh Balisacan, et al (2002) di Philipina dan Songco (2002) di Bangladesh. Hasil penelitian mereka adalah listrik
secara positif memengaruhi pendapatan penduduk miskin melalui transmisi tidak
langsung (pertumbuhan ekonomi) dan transmisi langsung (produktivitas dan
upah).
Fan. et al (2002) menghasilkan temuan bahwa listrik secara signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sektor non pertanian di perdesaan di China yang
mengarah pada penurunan kemiskinan dengan elatisitas sebesar 0,42. Listrik
memiliki peranan yang besar pada upaya pengurangan kemiskinan, setiap 10.000
Yuan yang digunakan untuk pembangunan listrik, maka mampu mengangkat
orang miskin keluar dari kemiskinannya sebesar 2,3 orang.
Menurut Baliscanan, et al. (2002) bahwa listrik merefleksikan akses terhadap teknologi yang berkontribusi secara langsung terhadap kemiskinan
dengan meningkatnya lapangan kerja dan pendapatan dari penduduk miskin di
Indonesia. Namun, dalam laporan evaluasi Bank Dunia, banyak rumah tangga
dengan tingkat kemiskinan ekstrim yang memilih un