PENGARUH UNSUR HARA (N DAN P) TERHADAP
BIOMASSA DAN STRUKTUR KOMUNITAS PERIFITON
STUDI KASUS SUNGAI CILIWUNG
TRI SURYONO
C251090081
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis
Pengaruh Unsur Hara(N Dan P) Terhadap Biomassa Dan Struktur Komunitas Perifiton Studi
Kasus Sungai Ciliwung adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2012
ABSTRACT
TRI SURYONO. Effect of Nutrient (N and P) to The Periphyton Biomass and Community Structure, Case Study Ciliwung River. Under direction of ENAN M. ADIWILAGA and DANIEL DJOKO SETIYANTO.
Research on the effect of nutrient to the structure of periphyton communities in Ciliwung river has been conducted from December 2010 to May 2011 at four stations; Gn. Mas, Kp. Pensiunan, Kp. Jogjogan, and Cibinong which reflected the of input of anthropogenic pollutant. This study aims to determine the relationship between nutrients (N and P) concentration and the structure changes of periphyton community in order to determine the ecological condition of Ciliwung River. The results of this study are expected to be useful to make a policy in the management of ecological disturbance of Ciliwung River based on pollutants loads and environmental changes due antropogenic activity. Water quality Ciliwung River was evaluated from the condition of habitats, pollution levels and the conditions of periphyton integrity to observed the actual condition of the aquatic environment. The results showed optimal habitat conditions was observed in Gn. Mas while other stations condition were marginal (Kp. Pensiunan, Kp. Jogjogan and Cibinong). Based on pollution level category, Gn. Mas and Kp. Pensiunan was unpolluted, while Kp. Jogjogan and Cibinong was slightly polluted and moderately polluted respectively. The results obtained 83 species of periphyton consisted of Bacillariophyceae (44 species), Chlorophyceae (20 species), Cyanophyceae (14 species), Rhodophyceae (1 species), Xantophyceae (2 species) and Dinophyceae (2 species). Based on the abundance of periphyton, PIBI score obtained was almost the same Gn. Mas (95,97), Kp. Pensiunan (84,65), Kp. Jogjogan (93,57) and Cibinong (83,83). CCA ordination of the results obtained a clear grouping among the research station. While the results from a combination of habitat conditions, the level of pollution and its PIBI value confirm that water conditions are still good.
TRI SURYONO. Pengaruh Unsur Hara (N Dan P) Terhadap Biomassa Dan
Struktur Komunitas Perifiton Studi Kasus Sungai Ciliwung. Dibimbing oleh
ENAN M. ADIWILAGA dan DANIEL DJOKO SETIYANTO.
Sungai Ciliwung sebagai salah satu sungai besar di Jawa Barat memiliki arti
penting dalam menunjang segala aktivitas masyarakat disepanjang DASnya.
Seiring dengan meningkatnya kegiatan antropogenik kualitas perairan Sungai
Ciliwung mengalami penurunan dengan masuknya bahan pencemar khususnya
unsur hara N dan P. Salah satu biota yang hidup di perairan Sungai Ciliwung dan
terpengaruh langsung kualitas air adalah perifiton sebagai produsen primer
perairan berarus. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan mulai Desember 2010
hingga Mei 2011 dengan tujuan mengetahui pengaruh masuknya unsur hara N dan
P terhadap biomassa dan struktur komunitas perifiton di Sungai Ciliwung. Hasil
identifikasi perifiton ditemukan total 83 jenis yang terdiri dari Bacillariophyceae
(44 jenis), Chlorophyceae (20 jenis), Cyanophyceae (14 jenis), Rhodophyceae (1
jenis), Xantophyceae (2 jenis) dan Dinophyceae (2 jenis) dengan indeks
keseragaman tinggi (0,6<E<1,0), indeks keanekaragaman sedang
(2,3026<H<6,9078) dan indeks dominansinya rendah (0<C<0,4). Sedangkan hasil
analisis parameter unsur hara dari stasiun Gunung Mas hingga Cibinong
menunjukkan adanya peningkatan. Hasil perhitungan tingkat pencemaran dan
kondisi habitat menunjukkan Gunung Mas (belum tercemar dengan kondisi
optimal), Kp. Pensiunan (belum tercemar tetapi kondisi marginal), Kp. Jogjogan
(tercemar ringan dan kondisi marginal) serta Cibinong (tercemar sedang dengan
kondisi marginal). Sedangkan dari perhitungan metrik PIBI stasiun Gunung Mas
tergolong sangat baik, Kp. Jogjogan dalam kategori baik sedangkan Kp.
Pensiunan dan Cibinong termasuk sedang. Hasil ordinasi CCA adanya perbedaan
yang jelas antar lokasi penelitian berdasarkan kualitas perairan maupun
kelimpahan perifitonnya. Sedangkan berdasarkan hasil uji korelasi spearman
terdapat korelasi positif antara komponen PIBI yaitu kekayaan taksa, biomassa
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.
PENGARUH UNSUR HARA (N DAN P) TERHADAP
BIOMASSA DAN STRUKTUR KOMUNITAS PERIFITON
STUDI KASUS SUNGAI CILIWUNG
TRI SURYONO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian maupun penulisan tesis
dengan judul ”Pengaruh Unsur Hara (N Dan P) Terhadap Biomassa Dan
Struktur Komunitas Perifiton Studi Kasus Sungai Ciliwung.” Sebagai syarat
penyelesaian program sekolah pascasarjana Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
mengarahkan, membantu dan mendukung kegiatan penelitian ini sehingga dapat
terselesaikannya penulisan tesis ini dengan lancar.
1. Rektor Institut Pertanian Bogor, Direktur Program Pascasarjana dan ketua
Departemen Managemen Sumberdaya Perairan, atas kebijakan yang diberikan
selama mengikuti pendidikan pascasarjana IPB.
2. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga, selaku ketua program studi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan dan ketua dosen pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Daniel
Djoko Setiyanto, DEA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
arahan, masukan dan bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian dan
penulisan tesis.
3. Dr. Tri Widiyanto, M.Si selaku Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI dan
Dr. Ir. Gadis Sri Haryani (Kapuslit Limnologi periode 2006 – 2010), serta
Ir. Fachmijany Sulawesty selaku Kepala Bidang Dinamika Perairan Puslit
Limnologi-LIPI, atas dukungan ijin, sarana dan prasarana, serta
kebijaksanaannya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB.
4. Rekan-rekan di Puslit Limnologi-LIPI, atas partisipasinya baik langsung
maupun tidak, terutama rekan-rekan yang tergabung dalam kelompok
penelitian Konsep SLC: Yoyok Sudarso, Gunawan P. Yoga, Ivana Yuniarti,
Rosidah, Supranoto, serta rekan analis laboratorium Pengendalian Pencemaran
Ade Sugiarti, Isnuryati dan Irma, atas bantuan dan dukungannya sejak mulai
penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB.
6. Terakhir penulis sampaikan terimakasih yang tulus kepada Istri dan anakku
Nani Widiawati dan Rifky Ramadhan, atas kesabaran dan pengertiannya
selama ini. Serta kepada M. Gunawan dan keluarga (adik) atas dukungannya
selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini,
karena itu penulis mengharapkan masukan kritik dan saran dari semua pihak guna
perbaikan penulisan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang memerlukan.
Bogor, Mei 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Sleman, Yogyakarta 30 Maret 1970, merupakan anak ke tiga
dari 4 bersaudara dari pasangan ayah (Alm) Soemono dan Ibu (Alm) Siti Suparti.
Pendidikan formal dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi diselesaikan
di Yogyakarta, yaitu di Sekolah Dasar Negeri 1 Condong Catur, Yogyakarta
(1983), Sekolah Menengah Pertama Negeri Condong Catur, Yogyakarta (1986),
Sekolah Menengah Atas PIRI 1 Banciro, Yogyakarta (1989). Tahun 1990 penulis
melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan STTL-YLH,
Yogyakarta dan memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1996 bidang Ilmu
Lingkungan.
Sejak tahun 1997 sampai saat ini penulis menjadi staf peneliti Bidang
Dinamika Perairan Darat, Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia yang terletak di kawasan Cibinong Science Center (CSC).
Halaman
2.4. Perifiton sebagai Bioindikator Pencemaran Perairan ……. 9
2.5. Indeks Integrasi Biotik Perifiton (Periphyton Index Biotik Integrity) ... 12
3.2. Metoda, Variabel dan Desain Penelitian ………... 22
3.3. Metoda Sampling Perifiton ……… 23
3.4. Penilaian Perifiton... 24
3.4.1. Kelimpahan……… 24
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Distribusi alga dalam kaitannya dengan arus (Round 1964in
Whitton 1975) ……….…………..……….. 15
2. Penggolongan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen
terlarut (Sachmitz 1971 inLumbantobing 1996) …………..….. 18
3. Lokasi penelitian berdasarkan kondisi ekosistem Sungai
Ciliwung ……….. 22
4. Parameter dan metode yang digunakan dalam penelitian …... 23
5. Metrik dalam PIBI(Hill et al.2000)... 28
6. Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari
protocol US-EPA (Barbour et al. 1999)………... 29
7. Hasil perhitungan metrik-metrik PIBIdi setiap stasiun selama
penelitian... 54
8. Hubungan korelasi PIBI dan komponen metrik serta variabel
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram alir perumusan masalah penelitian…………...……. 4
2. Materi pembentukan perifiton………...…... 8
3. Publikasi ekologi perifiton dari awal abad 20thhingga tahun 2008 …..………... 11
4. Peta lokasi pengambilan sampel perifiton di Sungai Ciliwung ………...……... 21
5. Kondisi kecepatan arus Sungai Ciliwung hulu yang diukur selama penelitian... 33
6. Kondisi suhu air Sungai Ciliwung selama penelitian... 34
7. Nilai konduktivitas air Sungai Ciliwung selama penelitian... 35
8. Nilai turbiditas air Sungai Ciliwung selama penelitian... 35
9. Hasil pengukuran total padatan terlarut air Sungai Ciliwung selama penelitian... 37
10. Hasil pengukuran kondisi pH air Sungai Ciliwung selama penelitian... 37
11. Nilai alkalinitas air Sungai Ciliwung hasil pengukuran selama penelitian... 38
12. Konsentrasi oksigen terlarut hasil pengukuran selama penelitian... 39
13. Konsentrasi NO2setiap lokasi sampling selama penelitian... 40
14. Konsentrasi NO3setiap lokasi sampling selama penelitian... 41
15. Konsentrasi NH4setiap lokasi sampling air Sungai Ciliwung Hulu... 42
16. Konsentrasi TN air Sungai Ciliwung selama penelitian... 42
17. Konsentrasi o-PO4air Sungai Ciliwung pada setiap lokasi penelitian... 43
18. Konsentrasi TP dalam air Sungai Ciliwung setiap lokasi penelitian... 44
19. Jumlah taksa (jenis) perifiton perairan Sungai Ciliwung... 45
20. Proporsi kelas perifiton yang diperoleh pada setiap pengamatan... 46
21. Kelimpahan perifiton pada perairan Sungai Ciliwung... 47
23. Indeks Keseragaman perifiton perairan Sungai Ciliwung
selama penelitian... 48
24. Indeks dominansi perifiton perairan Sungai Ciliwung selama
penelitian... 50
25. Hasil perhitungan klorofil-a perifiton perairan Sungai Ciliwung
selama penelitian... 51
26. Hasil perhitungan biomassa perifiton perairan Sungai Ciliwung
selama penelitian... 51
27. Hasil ordinasi CCA stasiun penelitian di Sungai
Ciliwung... 52
28. Tingkat pencemaran perairan Sungai Ciliwung selama
penelitian... 55
29. Hasil penilaian kondisi habitat setiap stasiun penelitian... 56
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kondisi morfologi lokasi penelitian...…………...……. 70
2. Hasil analisis parameter kualitas air Sungai Ciliwung selama penelitian... 71
3. Hasil perhitungan indeks pencemaran Kirchoff (1991)... 72
4. Hasil skoring kondisi habitat lokasi penelitian..……...……... 72
5. Hasil pengamatan kelimpahan perifiton selama penelitian... 73
6. Jumlah jenis dan proporsi kelas perifiton yang ditemukan selama penelitian... 76
7. Foto beberapa jenis perifiton hasil identifikasi... 77
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kondisi lingkungan baik tanah, udara dan air saat ini cenderung mengalami
penurunan akibat semakin meningkatnya kegiatan antropogenik. Air sebagai
sumberdaya terbarukan menjadi salah satu lingkungan yang mengalami
penurunan kualitas cukup serius dan perlu mendapatkan perhatian dari segenap
elemen masyarakat, karena air merupakan unsur yang sangat vital dalam
menunjang kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup termasuk didalamnya
manusia.
Penurunan kualitas sumberdaya air dari beberapa penelitian diketahui
cenderung tidak sesuai lagi peruntukkannya akibat masuknya bahan pencemar
yang berasal dari kegiatan antropogenik baik industri maupun domestik yang
semakin meningkat. Bahan pencemar yang masuk ke perairan pada umumnya mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap sifat-sifat fisika, kimia
maupun biologi seperti mengandung zat-zat yang bersifat racun dan menyebabkan
deoksigenasi, naiknya temperatur, serta meningkatnya padatan tersuspensi dan
terlarut serta partikulat bahan organik. Masuknya limbah ke dalam perairan akan
mengubah kondisi ekologi perairan dan komunitas di dalamnya (Stoddard et al.
2003; Bledsoe et al. 2004; Tuvikene et al. 2005). Selain itu bahan polutan
yang masuk ke perairan mengakibatkan berkurangnya jumlah keragaman dan
kepadatan biota serta hilangnya spesies sensitif (Timm et al.2001; Chakrabarty &
Das 2006). Sedangkan secara tidak langsung akan berefek pada perubahan
interaksi spesies dan penurunan kualitas makanan (Courtney & Clements 2002).
Penilaian kualitas perairan yang umum digunakan adalah penilaian
berdasarkan sifat fisika dan kimia perairan, karena mudah dibandingkan dan dapat
ditentukan secara langsung. Akan tetapi penilaian ini memberikan hasil
interpretasi yang cenderung bias dan kurang akurat, karena air memiliki sifat
sebagai pelarut yang umum bagi beberapa konsentrasi bahan pencemar, selain itu
juga akibat pengaruh fluktuasi musiman dan harian serta adanya kemampuan
pulih diri (self purification) perairan. Untuk melengkapi penilaian kualitas
sebenarnya maka dilakukan juga upaya untuk mengetahui perubahan yang terjadi
pada biota akuatik yang berinteraksi langsung dengan faktor fisika dan kimia yang
terdapat pada ekosistem perairan dari waktu ke waktu. Penilaian dengan
menggunakan biota akuatik ini dikenal dengan istilah ”Bioindikator”.
Penggunaan komunitas biologi untuk indikator penilaian kualitas perairan
telah banyak dikembangkan untuk memperbaiki serta memahami hubungan
kualitas air dengan kesatuan komunitas biologi (integrity biological communities)
(Karr et al. 1986; Hughes et al. 1991; Dixit et al. 1992). Menurut Dziock et al.
(2006) biota yang digunakan sebagai indikator biologi (bioindicator) adalah
organisme yang mampu beradaptasi terhadap fluktuasi kondisi lingkungan dalam
periode waktu cukup lama dan meresponnya atau merekam informasi yang
ditimbulkannya. Sedangkan Norris dan Thoms (1999) menyebutkan keterlibatan
penggunaan materi biologi sebagai indikator biologi sangat penting dalam
pengelolaan perairan, karena pengaruh kerusakan lingkungan akibat pencemaran
biasanya berdampak negatif bagi kelangsungan hidup biota akuatik sebagai titik
akhirnya.
1.2. Perumusan Masalah
Sungai Ciliwung sebagai salah satu sungai besar di Jawa Barat memiliki
peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kondisi
lingkungan perairan Sungai Ciliwung saat ini banyak mengalami penurunan
akibat meningkatnya kegiatan antropogenik yang berada di sepanjang DAS nya.
Salah satu permasalahan yang timbul adalah terjadinya pencemaran air Sungai
Ciliwung akibat masuknya bahan organik, sehingga kualitas airnya tidak sesuai
lagi dengan peruntukkannya yang ditandai dengan adanya perubahan terhadap
beberapa paremeter fisika-kimia perairan seperti penurunan konsentrasi oksigen
terlarut, meningkatnya unsur hara N dan P dan naiknya konsentrasi total
suspended solid (TSS). Menurut Kido et al. (2009) aktivitas antropogenik yang
berupa limbah baik rumah tangga, pertanian/sawah, peternakan, dan industri
merupakan sumber pencemar yang berpotensi menurunkan kualitas air Sungai
3
Pemantauan kualitas perairan Sungai Ciliwung yang umum dilakukan
adalah parameter fisika, kimia maupun biologi dan masih bersifat parsial sehingga
hasilnya masih belum mencerminkan kondisi kualitas perairan yang sebenarnya.
Guna memperoleh data informasi kualitas perairan Sungai Ciliwung yang
mendekati kondisi sebenarnya, maka data kualitas air dari parameter fisika, kimia
dan biologi tersebut dianalisis secara terintegrasi yang saat ini banyak
dikembangkan dengan menggunakan konsep multimetrik. Tahapan penelitian
penggunaan konsep multimetrik seperti terlihat pada Gambar 1.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh masuknya unsur hara
N dan P ke perairan Sungai Ciliwung serta kaitannya dengan perubahan biomassa
dan struktur komunitas perifiton serta penilaian kondisi ekologis sungai
berdasarkan konsep multimetrik.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membantu
mengambil kebijakan pengelolaan Sungai Ciliwung akibat gangguan ekologi yang
berasal dari masuknya unsur hara maupun perubahan lingkungan akibat dari
aktivitas antropogenik.
1.5. Hipotesis
Keberadaan bahan pencemar khususnya unsur hara N dan P yang masuk ke
perairan Sungai Ciliwung akan berpengaruh terhadap kondisi kualitas perairan
4
Evaluasi kandidat metrik dalam PIBI:
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Sungai
Sungai merupakan suatu ekosistem perairan tawar yang dikenal secara
umum selain waduk, danau maupun situ. Ekosistem sungai merupakan perairan
mengalir (lotik) yang memiliki karakteristik aliran air yang cukup kuat dan
memiliki pola pencampuran massa air yang lebih bersifat menyeluruh sehingga
perairan sungai biasanya lebih keruh akibatnya proses penetrasi cahaya ke dasar
sungai menjadi terhambat (Goldman & Horne 1983). Kondisi ekosistem perairan
sungai berbeda dengan perairan tergenang (lentik) seperti danau, maupun waduk
yang memiliki stratifikasi kolom air sehingga proses pencampurannya relatif kecil
dan bersifat spasial. Karakteristik arus yang kuat pada ekosistem sungai biasanya
dipengaruhi oleh iklim dan musim, dimana pada musim kemarau arus yang terjadi
lambat sedangkan pada musim hujan arus yang mengalir sangat kuat sehingga
mengakibatkan pengikisan tanah dan batuan (erosi) yang akhirnya menimbulkan
sedimentasi.
Berdasarkan pola arus yang terjadi, ekosistem perairan sungai dapat dibagi
menjadi dua yaitu ekosistem perairan sungai berarus cepat dan lambat. Pada
ekosistem sungai berarus cepat biasanya dicirikan oleh tipe substrat berbatu dan
berkerikil serta segmen sungai berada pada gradien tinggi, sedangkan ekosistem
sungai berarus lambat biasanya tipe substratnya berpasir dan berlumpur, ciri
lainnya biasanya dalam, lebar, dan berlokasi di dataran rendah. Menurut Clapham
(1983) pola arus merupakan faktor utama (pembatas) terhadap keberadaan jumlah
dan tipe organisme autotrop sehingga pola arus ini merupakan faktor pengontrol
produktivitas dari ekosistem perairan sungai.
Menurut Thornton et al. (1990) produsen primer di sungai, danau, dan
waduk terdiri dari fitoplankton, bakteri, alga bentik (perifiton), dan makrofita.
Pada kondisi perairan berarus perifiton lebih berperan sebagai produsen primer,
sedangkan fitoplankton cenderung lebih dominan peranannya pada sungai yang
2.2. Hidromorfometri Sungai Ciliwung
Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai besar yang mengalir
sepanjang kurang lebih 120 km yang melewati beberapa wilayah, yaitu Kota
Bogor, Kab. Bogor, Depok, dan Jakarta dengan luas daerah pengaruhnya (DAS)
sekitar 387 km2. Hulu Sungai Ciliwung berada di Gunung Gede, Gunung Pangrango serta Puncak, dan bermuara di wilayah perairan laut Jawa. Akibat
tekanan berbagai bentuk aktivitas domestik dan industri yang berada di sepanjang
DAS-nya kondisi air sungai Ciliwung mengalami penurunan kualitas dan tidak
sesuai lagi dengan peruntukkannya. Beban bahan pencemar yang paling utama
masuk ke perairan Sungai Ciliwung umumnya adalah bahan organik dan logam
berat. Sumber pencemar yang berpotensi menurunkan kualitas air Sungai
Ciliwung sebagian besar berasal dari aktivitas antropogenik dari limbah rumah
tangga, pertanian/sawah, peternakan, dan industri (Kido et al. 2009). Keberadaan
bahan pencemar, selain mengakibatkan turunnya kualitas perairan juga
berpengaruh terhadap hilangnya keanekaragaman hayati khususnya spesies
asli/endemik (Khosla et al. 1995; Brahmana & Firdaus 1997).
Keberadaan Sungai Ciliwung sangat penting bagi sektor pertanian (irigasi),
industri, maupun bahan baku air minum untuk masyarakat Kota Depok dan
Jakarta. Kegiatan antropogenik yang berada disepanjang DAS Ciliwung bila tidak
dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap sumberdaya airnya seperti
permasalahan pencemaran. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan,
dan bahaya bagi makhluk hidup yang bergantung pada sumberdaya air serta hidup
dan ditemukan pada ekosistem sungai mulai dari tanaman air, plankton, perifiton,
bentos dan ikan. Biota yang terpengaruh langsung terhadap kondisi lingkungan
yang berubah-ubah di perairan sungai adalah biota-biota yang siklus hidupnya
relatif menetap seperti bentos maupun perifiton.
2.3. Perifiton
Perifiton merupakan gabungan beberapa ganggang, cyanobacteria, mikroba
heterotrofik, dan detritus yang melekat pada permukaan batuan, kayu dan tanaman
serta hewan air yang terendam pada ekosistem perairan (Odum 1971). Perifiton di
perairan mengalir pada umumnya terdiri dari diatom (Bacillariophyceae), alga
7
rotifera (tidak banyak pada perairan tidak tercemar), serta beberapa jenis benthos
(Welch 1952). Komunitas pembentukan perifiton yang ada pada substrat
dalam perairan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Perifiton meskipun tidak banyak digunakan, tetapi cocok untuk penilaian
kualitas perairan sungai (Patrick 1973; Stevenson & Lowe 1986; Rott 1991;
Round 1991; Stevenson & Pan 1999). Berdasarkan tipe substrat tempat
menempelnya, perifiton dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Epilithic, perifiton yang menempel pada batu.
b. Epidendritic, perifiton yang menempel pada kayu.
c. Epiphytic, perifiton yang menempel atau hidup pada permukaan daun
maupun batang tumbuhan.
d. Epizoic, perifiton yang menempel pada permukaan tubuh hewan.
e. Epipelic, perifiton yang menempel pada permukaan sedimen.
f. Epipsamic, perifiton yang menempel pada permukaan pasir.
Perifiton dalam ekosistem perairan berfungsi sebagai sumber makanan
penting bagi organisme dengan tingkat trofik yang lebih tinggi, seperti:
avertebrata, larva, dan beberapa ikan. Perifiton juga dapat menyerap bahan
pencemar yang ada di perairan, sehingga dapat membatasi penyebarannya di
lingkungan khususnya perairan. Komunitas perifiton biasa digunakan dalam
sistem produksi akuakultur yaitu sebagai sumber makanan bagi ikan.
Proses perkembangan perifiton merupakan bentuk proses akumulasi yaitu
terjadinya peningkatan biomassa seiring dengan bertambahnya waktu. Akumulasi
tersebut merupakan hasil kolonisasi dan komposisinya, dimana keberadaannya
sangat dipengaruhi oleh kemampuan perifiton dan media penempelnya.
Kemampuan perifiton dalam menempel pada substratnya menentukan
eksistensinya terhadap pencucian arus sehingga keberadaan komunitasnya tetap
mantap. Perifiton yang menempel pada substrat mati seperti batuan
keberadaannya akan lebih mantap, tidak mengalami perubahan, rusak maupun
Keterangan : a. Bakteri
b. Navicula menisculus var.
upsaliensis- prostrate,
mucilage coat.
c. Gomphonema parvulum–
short stalks,
d. Gomphonema olivaceum–
long stalks,
e. Fragilaria vaucheriae –
rosette, mucilage pads,
f. Synedra acus – large
rosette, mucilage pads,
g. Nitzschia sp.- rosette,
mucilage pads,
h. Stigeocionium sp.- upright
filaments
Gambar 2. Materi pembentukan perifiton (Annonim, 2009)
Komposisi alga yang biasa ditemukan pada perairan sungai dan menempel
pada batuan (Epilithic) dan tanaman air (Epiphytic) dari hasil penelitian yang
dilakukan Bishop (1973) terdiri atas Cyanophyta, Rhodophyta, Cryptophyta,
Bacillariophyta, Chrysophyta, Euglenophyta, dan Chlorophyta. Sedangkan
menurut Hynes (1972) bentik alga yang sering ditemukan pada perairan dalam
jumlah besar antara lain: Synedra, Nitzschia, Navicula, Diatoma, dan Surirella.
Diatom dari kelompok pennales merupakan alga bentik yang mendominasi pada
perairan berarus kuat dan seiring dengan menurunnya arus, maka keanekaragaman
alga dalam perairan akan meningkat selain diatom juga tumbuh alga bentik dari
kelompok Chlorophyta dan Myxophyta (Whitton 1975).
Kelompok diatom jenis pennales pada perairan berarus cenderung
mendominasi karena berkaitan dengan bentuk sel (frustul) yang simetris bilateral
dan sistem aliran air yang melewati sitoplasma sehingga mampu bergerak
9
sel (raphe), terdapat sitoplasma yang di dalamnya mengandung
mucopolysaccharidesyang mampu mengeluarkan helaian cairan perekat sehingga
mampu menempel di substrat dan memungkinkan untuk membantu bergerak
(Sze 1993; Basmi 1999). Perkembangan perifiton di perairan sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan antara lain kecerahan, kekeruhan, tipe substrat,
kedalaman, pergerakan air, arus, pH, alkalinitas, kesadahan, dan nutrien. Populasi
perifiton akan menurun pada perairan yang kurang mendapatkan cahaya cukup.
Faktor kekeruhan pada perairan baik yang diakibatkan oleh lumpur maupun
plankton juga mengakibatkan penurunan populasi perifiton khususnya yang hidup
di dasar dan tergantung pada cahaya yang masuk ke perairan untuk
perkembangannya (Wetzel 1979).
2.4. Perifiton sebagai Bioindikator Pencemaran Perairan
Komunitas perifiton memiliki peran dalam ekosistem air tawar dan
merupakan reaktor biogeokimia bertenaga surya, habitat biogenik, gambaran
elemen hidrolik, maupun sistem peringatan dini untuk perubahan lingkungan,
serta keberadaan keanekaragaman hayati (Stevenson 1996; Wehr & Sheath 2003;
Azim et al. 2005).
Kondisi lingkungan dengan habitat yang stabil sangat mendukung
tercapainya suatu komunitas organisme baik flora maupun fauna dalam suatu
ekosistem, sehingga dapat tetap eksis dan berkembang dengan baik. Perubahan
yang terjadi pada variabel lingkungan dapat mempengaruhi komunitas organisme
secara menyeluruh mulai pada komposisi jenis, spesies, bentuk morfologi
individu, anatomis, fisiologis, dan jumlah individu. Organisme yang mampu
maupun yang tidak mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang
mengalami perubahan biasanya dapat dijadikan sebagai biota indikator dari
lingkungan yang bersangkutan. Perubahan yang mendasar pada struktur
komunitas akibat adanya perubahan lingkungan adalah terjadinya perubahan
keanekaragaman jenis dari komunitas yang bersangkutan (Basmi 1999).
Salah satu manfaat penggunaan perifiton sebagai bioindikator adalah
karena secara umum spesies perifiton bersifat menetap dalam waktu yang lama
mampu memberikan informasi tentang kondisi kualitas suatu perairan sesuai
dengan yang sebenarnya (Crossey & La Point 1988; Stewart & Davies 1990).
Masuknya beban polutan ke dalam ekosistem perairan akan mempengaruhi
komponen biota akuatik terutama pada struktur dan fungsinya dalam rantai
makanan yang dapat diketahui dengan adanya perubahan komposisi, jumlah, dan
kelimpahan taksanya.
Penilaian kualitas lingkungan yang dewasa ini banyak dilakukan untuk
melengkapi hasil pendugaan parameter fisika dan kimia adalah dengan
memasukkan parameter biologi. Menurut Soewignyo et al. (1986), penentuan
kualitas perairan secara biologi dapat dianalisis secara kuantitatif yaitu dengan
melihat jumlah kelimpahan jenis organisme yang hidup di lingkungan perairan
tersebut dan dihubungkan dengan keanekaragaman tiap jenisnya dan cara
penentuan yang lain adalah dengan analisis secara kualitatif dengan melihat
jenis-jenis organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan tertentu.
Penggunaan perifiton sebagai indikator penilaian kualitas perairan telah
banyak dilakukan penelitian oleh banyak peneliti maupun ahli. Hasil penelusuran
dari beberapa literatur, abstrak, dan web ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh
Scott (2010) dengan fokus utama berkaitan dengan ekologi perifiton ditemukan
kurang lebih 150 paper yang terbagi menjadi 7 topik bahasan utama yaitu: 1).
Pengaruh perubahan fisik, 2). Pengaruhnya terhadap pemaparan dan respon, 3).
Faktor lingkungan yang membatasi, 4). Hubungan persaingan, 5). Pengaruh akibat
pemangsaan, 6). Perifiton sebagai indikator lingkungan, 7). Kedudukan perifiton
dalam siklus rantai makanan pada lingkungan kolam. Secara garis besar beberapa
hasil publikasi yang berkaitan dengan keberadaan perifiton dapat dilihat pada
11
1900 1905 1910 1915 1920 1925 1930 1935 1940 1945 1950 1955 1960 1965 1970 1975
1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2008
Kolonisasi dan periodisitas
Gambar 3. Publikasi ekologi perifiton dari awal abad 20th hingga tahun 2008 (Scott 2010).
Penggunaan perifiton untuk menilai kualitas air sungai didasarkan pada 3
pendekatan yaitu :
1. Pendekatan yang paling lama (tua) yaitu berdasarkan konsep indikator spesies,
seperti pemakaian jenis alga untuk menilai kualitas air. Pendekatan yang paling
lama digunakan adalah sistem saprobik (Hill et al. 2000), sistem ini masih
digunakan secara luas untuk monitoring penilaian kualitas air dan air buangan
meskipun hingga saat ini banyak mengalami perbaikan (Lange-Bartelot 1979;
Frederich et al. 1992). Sistem saprobik terbukti memiliki kelemahan dalam
pemantauan kerusakan ekosistem sungai, karena tidak memberikan informasi
keterkaitannya antara keberadaan beban unsur hara dengan rendahnya
keragaman hayati yang terbentuk (Patrick 1973; Guzkowska & Gasse 1990).
2. Pendekatan yang didasarkan pada struktur komunitas dimana anggapan bahwa
lingkungan yang masih alami (pristine) akan mendukung tingginya
mengalami gangguan, jadi keberadaan struktur komunitas mencerminkan
kesehatan dari suatu ekosistem. Indeks struktur komunitas (keragaman,
kelimpahan, kekayaan taksa dan keseragaman) biasa digunakan dalam
pemantauan pencemaran sungai dari point source(Freidrich et al.1992).
3. Pendekatan indeks biotik yang digunakan untuk menilai kualitas air dan
ekosistem sungai secara terintegrasi (Fausch et al. 1984; Karr et al. 1986;
Kerans & Karr 1994). Indeks biotik dikembangkan dengan memadukan dua
konsep pendekatan antara indikator spesies dan struktur komunitas dalam
penilaian kualitas air berdasarkan hubungan parameter fisika kimia kondisi saat
ini dan yang sebelumnya. Dalam pendekatan ini memanfaatkan analisis
multivariat untuk mengetahui hubungan antara data kondisi lingkungan dengan
keberadaan organisme dikaitkan dengan pendekatan kondisi karakteristik
ekologi danau maupun sungai (Frits et al.1993; Dixit & Smol 1994; Pan et al.
1996, Reynoldson et al.1997).
2.5. Indeks Integritas Biotik Perifiton (Periphyton Index Biotik Integrity)
Penilaian kualitas perairan dengan menggunakan indeks biotik saat ini
banyak dikembangkan dan digunakan karena dalam informasi yang diberikan
terhadap keberadaan kualitas perairan akan mendekati keadaan yang sebenarnya.
Indeks biotik terintegrasi dapat didesain untuk pengukuran kekayaan spesies,
struktur trofik, dan kelimpahan organisme. Keseluruhan indek yang dihasilkan
dari total jumlah metrik yang ada merupakan respon dari sumber polutan baik
khusus sampai umum ataupun gabungan dari gangguan tersebut (Karr 1993).
Perkembangan indeks multimetrik untuk ekosistem sungai yang terintegrasi
biasanya diperlukan kondisi daerah acuan (reference site).
Konsep penilaian kualitas perairan dengan menggunakan Periphyton Index
Biotic Integrity (PIBI) merupakan penilaian yang menggabungkan beberapa
metrik yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan, antara lain:
1. Metrik Kekayaan Taksa Relatif: Jumlah total dari semua spesies yang ada
dalam komunitas. Kekayaan spesies diatom biasanya menurun dengan
meningkatnya kontaminasi bahan organik (Amblard et al. 1990; Witton et
13
Scanferlato & Cairns 1990; Sudhakar et al. 1991; Witton et al. 1991), dan
pestisida (Kosinski 1984).
2. Metrik Keanekaragaman Shannon (ukuran kekayaan dan kesamaan taksa)
metrik ini biasa digunakan oleh para ahli biologi, karena relatif mudah
diinterpretasikan dan dibandingkan. Bahls (1993) menyatakan bahwa indeks
keanekaragaman shannon relatif sensitif terhadap perubahan kualitas air.
3. Pencemaran Toleransi Index (PTI)
Indeks Pencemaran didasarkan pada rasio diatom terhadap toleransinya:
1) paling toleran, 2) kurang toleran dan 3) tidak toleran (sensitif). Rasio
tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah kelompok masing-masing (1, 2,
atau 3), dan jumlah untuk masing-masing memberikan nilai Indeks
Pencemaran. Bahls (1993) menguraikan kriteria yang digunakan untuk
menetapkan taksa diatom ke grup toleransi polusi dianalisis sebagai variabel
ekologi.
4. Metrik Cyanobacteria
Berbeda dengan % dari diatom, pada peningkatan % Cyanobacteria akan
cenderung menunjukkan adanya peningkatan gangguan pada lingkungan,
terutama sebagai hasil dari pengayaan hara dan organik maupun paparan
zat-zat beracun (Palmer 1969; Patrick 1977; Bott & Rogenmuser 1978;
Steinman et al.1991; Leland 1995).
5. Indeks Pengendapan (siltation index)
Indeks pengendapan adalah kelimpahan relatif dari spesies Navicula dan
Nitzschia dalam populasi diatom yang menunjukkan substrat tidak stabil,
sehingga berkaitan tingkat sedimentasi di dasar sungai (Bahls 1993).
Peningkatan kelimpahan Navicula dan Nitzschia di lingkungan
menunjukkan adanya gangguan di lingkungan perairan tersebut.
6. Metrik Diatom Eutraphentic.
Diatom Eutraphentic telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi dan
menilai perairan yang telah dipengaruhi oleh unsur hara (Palmer 1969;
Lange-Berlatot 1979; Hall & Smol 1992; Christie & Smol 1993; Pan et al.
kecenderungan adanya peningkatan material organik pada perairan tersebut
(Hill et al. 2000).
7. Achnanthes minutissima(%)
Kelimpahan persen dari A. minutissima yang ditemukan berkaitan dengan
terjadinya peristiwa pencemaran atau gangguan lingkungan perairan akibat
pertambangan maupun bahan kimia beracun, dimana terjadinya peningkatan
kelimpahan mengindikasikan besarnya gangguan (misalnya 0-25% = tidak
ada gangguan, 25-50% = gangguan ringan, 50-75% = gangguan sedang,
75-100% = gangguan berat). Spesies ini sering mendominasi di sungai akibat
dari drainase tambang, serta gangguan kimia lainnya (Stevenson & Bahls
1999).
8. Metrik klorofil-a
Konsentrasi klorofil a secara luas telah digunakan untuk penilaian
melimpahnya unsur hara yang ada di perairan sungai, mulai dari skala
penelitian sampai regional (Leland 1995; Pan et al.1999).
9. Matrik Biomassa (AFDM)
Hubungan antara areal pertanian dengan kualitas air tidak mudah untuk
diintepretasikan. Leland (1995) melaporkan bahwa meningkatnya biomassa
perifiton merupakan akibat dari masuknya bahan unsur hara dari lahan
pertanian, sementara yang lain melaporkan bahwa berkurangnya biomassa
perifiton dalam perairan sungai diakibatkan oleh gangguan bahan kimia
(Clark et al. 1979; Boston et al. 1991; Sigmon et al. 1997). Nilai tengah
hasil pengukuran AFDM/m2digunakan sebagai nilai referensi untuk metrik biomassa (Hill et al.2000).
10. Indeks Autotrofik
Rasio AFDM: Chla adalah ukuran dari jumlah bahan organik relatif
terhadap biomassa perifiton. Rasio dari 50 sampai 200 adalah khas untuk
perifiton didominasi kumpulan bentik. Nilai lebih dari 200 dapat
15
2.6. Parameter Fisika-Kimia
2.6.1. Kedalaman Perairan
Jumlah dan jenis hewan bentos termasuk perifiton dipengaruhi oleh kondisi
kedalaman perairan. Welch, (1952) menyatakan bahwa daerah litoral paling
banyak jumlah dan jenis biota air jika dibandingkan dengan daerah sublitoral dan
profundal.
2.6.2. Arus
Kecepatan arus merupakan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh
terhadap keberadaan biota yang ada di perairan mengalir (lotik), kondisi arus
suatu perairan sungai dipengaruhi oleh adanya perbedaan gradien atau ketinggian
lokasi antara bagian hulu dengan hilir, semakin besar perbedaan ketinggiannya,
maka arus air yang mengalir akan semakin deras. Takao et al. (2006)
menyebutkan bahwa kecepatan aliran dan fluktuasi dari debit sungai merupakan
faktor utama dari organisasi biologi yang ada dalam sistem lotik. Sedangkan
Welch (1980) menambahkan, sungai dangkal dengan kecepatan arus cepat,
biasanya didominasi oleh diatom perifitik. Alga bentik yang mendominasi
perairan yang berarus kuat dikarakteristikkan oleh adanya diatom golongan
pennales (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi alga dalam kaitannya dengan arus (Round 1964)
Arus
(m/detik) Tipe komunitas Jenis yang mendominasi
< 0,2 – 1 Alga bentik Alga epipelik dan epifitik: seperti Nitzschia, Navicula, Caloneis, Eunotia, Tabellaria, Synedra, Oscillatoria, Oedogonium, Bulbochaete
> 1 Alga bentik Alga epilitik: seperti Achnantes, Meridion, Diatoma, Ceratoneis.
> 0,5 – 1 Fitoplankton Diatom kecil bersel tunggal, alga biru.
> 1 Fitoplankton Volvocales, Chrysomonads.
Mason (1981) mengklasifikasi sungai berdasarkan kecepatan arusnya ke
dalam lima kategori yaitu arus yang sangat cepat (> 100 cm/detik), cepat (50-100
(< 10 cm/detik). Kecepatan arus akan mempengaruhi jenis dan sifat organisme
yang hidup di perairan tersebut (Klein 1972). Menurut Whitton (1975) kecepatan
arus adalah faktor penting di perairan mengalir. Kecepatan arus yang besar (> 5
m/detik) mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya jenis-jenis
yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami kerusakan fisik.
2.6.3. Suhu
Menurut Perkins (1960), Suhu perairan sangat erat kaitannya dengan
komposisi substrat, kekeruhan, masukan air hujan, luas permukaan perairan yang
langsung terkena sinar matahari, serta masukan air limpasan. Suhu perairan sungai
pada umumnya terdapat perbedaan antara di permukaan yang selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu pada kolom perairan (mendekati dasar perairan)
(Nybakken 1988).
Suhu berperan sebagai pengatur proses metabolisme dan fungsi fisiologis
organism, sehingga suhu sangat berpengaruh terhadap percepatan atau
perlambatan pertumbuhan dan reproduksi alga. Perubahan suhu berpengaruh
terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air, sehingga suhu juga berperan
dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Menurut Welch (1980) kisaran
suhu yang optimum untuk pertumbuhan suatu organisme akuatik seperti alga dari
filum Chlorophyta dan diatom berkisar pada suhu 30 – 35 oC, sedangkan Cyanophyta bisa toleran terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi diatas 30 0C.
2.6.4. Kekeruhan (Turbiditas)
Gambaran sifat optik air dapat dilihat dari nilai kekeruhannya, kondisi ini
sangat tergantung pada banyaknya cahaya yang terserap dan dipancarkan kembali
oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air baik bahan organik maupun anorganik
yang terlarut dan tersuspensi biasanya berupa pasir halus dan lumpur maupun
yang berupa plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA 1995; Davis &
Cornwell 1991).
Peningkatan kekeruhan pada perairan dapat mengurangi produktivitas
primer dari suatu perairan. Menurut Lloyd (1985), pada perairan dangkal dan
jernih peningkatan kekeruhan hingga 25 NTU mengakibatkan produktivitas
17
kekeruhan sebesar 5 NTU mengurangi produktivitas primer berturut-turut 75%
dan antara 3 – 13%. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya
proses osmoregulasi pada suatu organisme, seperti pernafasan dan penglihatan
organisme akuatik (Effendi 2003).
2.6.5. Konduktivitas
Konduktivitas merupakan gambaran kemampuan air dalam menghantarkan
arus listrik secara numerik karena ionisasi garam-garam terlarut dalam air (Cole
1988). Nilai konduktivitas suatu perairan alami berkisar antara 20 – 1500
µmhos/cm (Boyd 1988), sedangkan limbah industri nilai konduktivitasnya
mencapai 10.000 µmhos/cm (APHA 1995). Nilai konduktivitas perairan lebih dari
500 µmhos/cm, maka hidrobiota termasuk perifiton mengalami tekanan secara
fisiologis (Afrizal 1992).
2.6.6. Derajat keasaman (pH)
Perairan alami pada umumnya memiliki kisaran pH antara 6,5 – 8,5
tergantung pada suhu, oksigen terlarut dan kandungan garam-garam ionik yang
ada dalam perairan. Sebagian besar biota akuatik memiliki batas toleransi
terhadap pH. Secara umum kondisi pH antara 7 – 8,5 merupakan kondisi ideal
yang disukai oleh biota perairan (Effendi 2003). Kondisi pH menentukan
dominansi biota akuatik khususnya fitoplankton misalkan alga biru lebih
menyukai pH netral sampai basa dan respon pertumbuhannya negatif terhadap
asam (pH<6), sedangkan Chrysophyta umumnya pada kisaran pH 4,5–8,5; dan
pada umumnya kisaran pH yang netral akan mendukung keanekaragaman jenis
diatom (Wetzel 1979).
2.6.7. Oksigen Terlarut (DO)
Proses metabolisme dan respirasi organisme akuatik memerlukan
ketersediaan oksigen terlarut, sehingga keberadaan oksigen terlarut sangat vital
bagi organisme akuatik, selain itu konsentrasi oksigen terlarut juga dapat
digunakan sebagai indikator kualitas air (Odum 1971). Keberadaan oksigen
terlarut di perairan berasal dari difusi oksigen dari udara ke dalam perairan serta
hasil proses fotosintesis dari fitoplankton, sedangkan berkurangnya konsentrasi
organik yang ada di perairan. Berkurangnya oksigen terlarut berkaitan dengan
banyaknya bahan organik dari limbah industri yang mengandung
bahan-bahan yang tereduksi dan lainnya (Welch 1952). Kandungan oksigen terlarut
pada sistem perairan mengalir seperti sungai pada umumnya tinggi, sedangkan
konsentrasi karbondioksida bebasnya cenderung kecil, hal ini disebabkan adanya
kecepatan arus pada sistem sungai yang memberikan sumbangan terhadap proses
difusi oksigen ke dalam perairan (Hynes 1972). Perairan tawar kandungan
oksigen terlarut berkisar antara 8 mg/liter pada suhu 25 oC. Konsentrasi oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/l (Mc Neelyet al.1979).
Kualitas air di perairan mengalir dapat dikelompokkan menjadi lima
golongan berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut menurut Sachmitz (1971) in
Lumbantobing (1996) Tabel 2.
Tabel 2. Penggolongan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (Sachmitz 1971 inLumbantobing 1996).
Alkalinitas merupakan gambaran kapasitas air dalam menetralkan asam,
sehingga alkalinitas dapat disebut juga sebagai kapasitas penyangga (buffer
capacity) terhadap perubahan pH perairan. Keberadaan alkalinitas perairan
berkaitan dengan kandungan karbonat yang berasal dari pelapukan batuan dan
tanah yang terlarut dalam air. Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas perairan.
Perairan alami biasanya memiliki nilai alkalinitas sekitar 40 mg/l CaCO3 (Boyd
19
2.6.9. Unsur Hara (Nutrien)
Unsur hara yang penting di perairan adalah nitrogen dan fosfor. Nitrogen di
perairan biasanya dalam bentuk nitrogen bebas, nitrat, nitrit, ammonia, dan
amonium. Unsur fosfor dapat ditemukan dalam bentuk senyawa anorganik yang
terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat
(Effendi 2003).
Nitrat dan amonia merupakan sumber utama nitrogen di perairan serta
sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik
maupun alga dan pada umumnya konsentrasi nitrat di perairan tidak tercemar
biasanya lebih tinggi daripada konsentrasi amonia. Nitrat juga merupakan zat
hara penting bagi organisme autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas
pertumbuhan (Eaton et al.1995). Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan
bersifat stabil, sedangkan nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat
sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen.
Kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter.
Kadar nitrat yang lebih dari 5 mg/liter menggambarkan terjadinya pencemaran
antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia. Pada perairan yang menerima
limpasan dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, kadar nitrat
dapat mencapai 1.000 mg/liter (Davis & Cornwell 1991). Kadar nitrit di perairan
relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Senyawa nitrat dapat
dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi
2003).
Sumber amonia di perairan berasal dari proses penguraian nitrogen organik
(protein dan urea) dan nitrogen anorganik (tumbuhan dan biota perairan yang
telah mati) oleh mikroba jamur (proses amonifikasi). Perairan dengan pasokan
oksigen cukup jarang ditemukan Amonia. Kadar amonia di perairan alami
biasanya tidak lebih dari 0,1 mg/liter (McNeely et al. 1979). Amonia banyak
digunakan dalam proses produksi urea, industri bahan kimia, serta industri bubur
kertas. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran
bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpahan pupuk
Unsur fosfor (P) di alam mayoritas berada dalam bentuk fosfat yang
merupakan bentuk hasil oksidasi sempurna. Fosfat yang dijumpai dalam air
merupakan hasil pelapukan dan terlarutnya mineral fosfat karena erosi tanah,
pupuk, proses asimilasi dan disimilasi tumbuhan, deterjen, limbah industri dan
domestik. Fosfat yang terdapat dalam perairan biasanya terdapat dalam bentuk
terlarut dan tak terlarut. Menurut Goldman et al.(1983) unsur P merupakan kunci
dalam produktivitas primer dan kesuburan suatu perairan yang biasanya terdapat
dalam jumlah sedikit, sehingga unsur ini sering dianggap sebagai faktor pembatas
bagi produktivitas perairan.
Kandungan fosfat yang terlarut di perairan alami pada umumnya tidak lebih
dari 0,10 ppm, sedangkan air sungai pada umumnya mempunyai kandungan fosfat
berkisar 0,001 – 0,05 ppm (Jorgensen 1980). Kandungan fosfat dalam perairan
yang tinggi akbat masuknya pencemaran bahan organik dari limbah rumah tangga
(domestik) maupun industri, dan daerah pertanian dengan dipupuk yang
3. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama 6 bulan mulai Desember 2010 sampai Mei
2011. Sampel perifiton dan parameter kualitas air diambil setiap bulan pada
Sungai Ciliwung bagian hulu sampai bagian tengah di 4 lokasi (Gambar 4)
berdasarkan pertimbangan masuknya bahan pencemar organik yang berasal dari
lingkungan sekitar sungai sehingga mewakili kondisi perairan dengan tingkat
gangguan (pencemaran) mulai kategori belum tercemar hingga tercemar sedang
pada ekoregion yang sama.
Gambar 4. Peta lokasi pengambilan sampel perifiton di Sungai Ciliwung.
Kondisi dan letak posisi lokasi penelitian ditentukan berdasarkan
pertimbangan adanya aktivitas antropogenik seperti tercantum dalam Tabel 3.
Tabel 3. Lokasi penelitian berdasarkan kondisi ekositem Sungai Ciliwung.
Penelitian dilakukan dengan metode Post Fakto Deskriptif yaitu
pengambilan sampel secara langsung di lapangan dan dicari pengaruh masuknya
unsur hara (N dan P) terhadap struktur komunitas perifiton pada setiap stasiun
terpilih sepanjang ekosistem perairan Sungai Ciliwung.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi:
1. Variabel tera yaitu penilaian kualitas sampel air berdasarkan pengukuran
parameter fisika, kimia, dan biologi (perifiton) terhadap parameter utama
maupun penunjang baik secara in situ: oksigen terlarut, pH, konduktivitas,
suhu, dan total padatan terlarut (TDS) maupun parameter yang dianalisis
di laboratorium (eksitu) antara lain: TN, NO2, NO3, NH4, TP, o-PO4dan
COD. Sedangkan parameter biologi diambil perifiton yang berupa algae
dan diatom dari 3 buah batu tenggelam yang diambil secara acak
sepanjang lokasi sampling.
2. Variabel kerja yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi penilaian
kondisi habitat berdasarkan protokol USEPA (Barbour et al. 1999),
penilaian kualitas perairan berdasarkan indeks pencemaran Kirchoff
(1991) dan penilaian Indeks Integritas Biotik Perifiton (perifiton index
23
Peralatan maupun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini seperti
tercantum dalam tabel 4 di bawah:
Tabel 4. Parameter dan metode yang digunakan dalam penelitian (APHA 1995).
Parameter Satuan Alat/Metoda Analisis
A. Morfometrik
1. Lebar sungai m Meteran In situ
2. Kedalaman m Meteran In situ
3. Kecepatan arus m/detik Current meter Perhitungan
4. Debit m3/dtk Perhitungan
1. Perifiton sel/cm2 Pengerikan dengan sikat pada substrat
In situdan
laboratorium
2. Klorofil-a mg/l Spektrofotometer Laboratorium
3.3. Metoda Sampling Perifiton
Perifiton dari setiap stasiun terpilih disampling dengan mengambil secara
acak 3 buah batu yang terendam sebagai ulangan, kemudian seluruh permukaan
batu disikat dengan sikat gigi untuk melepaskan perifiton yang menempel, sampel
perifiton kemudian dimasukkan dalam botol dan diawetkan dengan formalin 5%
rafter di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 x 10. Identifikasi perifiton
menggunakan buku acuan identifikasi dari Needham & Needham (1963); Ellen JC
(1996); Biggs BJF & Kilroy C (2000); Lavoie et al. (2008); serta Bellinger &
Sigee (2009). Identifikasi dilakukan di laboratorium Planktonologi Pusat
Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong.
Luas permukaan batu yang dikerik dihitung dengan pendekatan volumetrik
yaitu benda pejal yang diketahui luasan tetapnya seperti kubus, persegi panjang
maupun tabung dengan bermacam ukuran (besar dan kecil) dimasukkan dalam
wadah berisi air sehingga air yang didesak merupakan volume dari benda tersebut.
Data luas dan volume air kemudian dihitung persamaan regresinya dan diperoleh
persamaan garis linear
Y = 0,6926 X + 6,8561 dengan R2= 0,961 Dengan:
Y = Volume hasil pengukuran X = Luas total permukaan batu
3.4. Penilaian Perifiton
Data perifiton yang diperoleh dari setiap lokasi sampling dilakukan
analisis dan dihitung kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman,
maupun indeks dominansinya, selain itu juga dilakukan penilaian berdasarkan
variabel kerja yang telah ditentukan dalam Indeks Integrasi Biotik Perifiton
(perifiton index biotic integrity/ PIBI) guna memudahkan penilaian kondisi
perairan berdasarkan keadaan perifitonnya.
3.4.1. Kelimpahan
Kelimpahan perifiton pada setiap titik lokasi sampling dihitung dengan
menggunakan rumus modifikasi Eaton et al.1995 sebagai berikut:
Dengan:
N : Kelimpahan perifiton (sel/cm2)
n : Jumlah perifiton yang diamati (sel)
As : Luas substrat yang dikerik (cm2) untuk perhitungan perifiton
Acg: Luas penampang permukaan cover glass(mm2)
25
Vt : Volume konsentrasi pada botol contoh untuk perhitungan perifiton (ml)
Vs : Volume konsentrasi dalam cover glass (ml)
3.4.2. Indeks Keanekaragaman
Tingkat stabilitas komunitas atau kondisi struktus komunitas dari
keanekaragaman jumlah jenis organisme yang terdapat dalam suatu area. Nilai
keanekaraman jenis pada perifiton dapat dihitung berdasarkan modifikasi Indeks
Shannon-Wiener (Odum 1971) sebagai berikut:
Dengan:
H’ : Indeks Keanekaragaman pi : ni/N (proporsi jenis ke-i) ni : Jumlah individu jenis ke-i N : jumlah total individu
Menurut Wilhm dan Doris (1968), nilai indeks keanekaragaman populasi
dapat menggambarkan kondisi perairan. Kriteria indeks keanekaragaman tersebut
diklasifikasikan sebagai berikut.
H’ < 2,3026 : Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap genus rendah dan kestabilan komunitas rendah. Komunitas mengalami gangguan faktor lingkungan
2,3026 < H’ < 6,9078 : Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap genus sedang dan kestabilan komunitas sedang. Komunitas mudah berubah
H’ > 6,9078 : Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap genus tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. Faktor lingkungan yang baik untuk semua jenis dalam habitat.
3.4.3. Indeks Keseragaman
Keseragaman merupakan upaya untuk mengetahui komposisi setiap genus
dalam suatu komunitas dengan cara membandingkan nilai indeks keanekaragaman
dengan nilai maksimumnya. Rumus perhitungan indeks keseragaman menurut
Dengan:
E : Indeks keseragaman H’ : Indeks keanekaragaman
H’maks : Nilai keanekaragaman maksimum
S : Jumlah genus
Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0-1 (Odum 1971). Semakin
kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasinya. Artinya penyebaran
individu tiap jenis tidak merata atau ada kecenderungan satu genus mendominasi.
Sebaliknya, apabila nilai E mendekati 1 maka penyebaran individu tiap jenis
cenderung merata atau memiliki tingkat keseragaman yang tinggi.
3.4.4. Indeks Dominansi
Nilai indeks dominansi (Odum 1971) digunakan untuk mengetahui ada
tidaknya jenis tertentu yang mendominasi suatu komunitas. Nilai indeks
dominansi dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Dengan :
C : Indeks Dominansi ni: Jumlah indeks ke-i N : Jumlah total individu
Kisaran nilai indeks dominansi adalah antara 0-1. Nilai yang mendekati nol
menunjukkan bahwa tidak ada genus dominan dalam komunitas. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi struktur komunitas dalam keadaan stabil.
Sebaliknya, nilai yang mendekati 1 menunjukkan adanya dominansi jenis yang
menunjukkan kondisi stuktur komunitas dalam keadaan labil dan terjadi tekanan
ekologis.
3.4.5. Indeks Toleransi Pencemaran
Toleransi polusi indeks (PTI) untuk ganggang menyerupai indeks
27
(1979) membedakan tiga kategori diatom sesuai dengan toleransinya terhadap
peningkatan pencemar, spesies diberi nilai 1 adalah yang paling toleran (misalnya,
Nitzschia palea atau Gomphonema parvulum) dan 3 untuk spesies yang relatif
sensitif. Indeks toleransi pencemaran dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:
Dengan:
n = jumlah sel dihitung untuk spesies i ti = toleransi nilai spesies i
N = total jumlah sel dihitung
3.4.6. Biomassa Perifiton
Pengukuran biomassa perifiton dilakukan dengan melakukan analisis
klorofil-a maupun massa abu berat kering (Ash-free dry mass/AFDM). Klorofil-a
mengindikasikan jumlah total keberadaan organisme autotrofik, sedangkan
AFDM merupakan jumlah total material organik dalam perairan (sampel).
Perhitungan biomassa dari klorofil-a adalah sebagai berikut:
Dengan:
Absorban sebelum 665 dan Absorban sesudah 665 adalah absorban hasil pembacaan pada panjang gelombang 665 sebelum dan sesudah pengasaman.
28,66 adalah koefisien penyerapan klorofil-a menurut Sartory & Grobbelaar (1984)
Sedangkan biomassa dari perhitungan AFDM diperoleh dari rumus:
Dengan:
AFDM : Berat kering bebas abu (mg/m2)
3.4.7. Penilaian Metrik PIBI
Metrik-metrik yang digunakan dalam penilaian PIBIditentukan berdasarkan
kondisi lingkungan perairan Sungai Ciliwung sehingga diharapkan dapat hasil Klor-a=
[(absorban sebelum 665– absorban sesudah 665) x 28,66 x Vol. sampelx Vol. ekstraksi]
Vol. hasil penyaringan sub-sampel x luas subtrat
AFDM=
[{(Berat cawan+filter+sampel kering–berat cawan+filter+sampel setelah diabukan)}xVol. sampel]
penilaian yang sesuai dengan kondisi perairan yang sebenarnya. Adapun metrik
dan perhitungan dalam PIBIseperti disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Metrik dalam PIBI(Hillet al.2000)
No. Metrik Perhitungan*
1 Kekayaan taksa Jumlah jenis target/Jumlah seluruh jenis
yang ditemukan
2 Keanekaragaman (Indeks keanekaragaman)
3 Indeks Toleransi Polusi (Jumlah sel diatom x Nilai toleransi/Jumlah total sel)
4 Indeks Cianobacteria 1-(Jumlah kelimpahan
Cianobacteria/Jumlah kelimpahan total)
5 Indeks Pengendapan 1-(Jumlah diatom penendapan/Jumlah
kelimpahan total diatom)
6 Indeks Eutraphentik 1-(Jumlah diatom eutraphentik/ Jumlah
kelimpahan total diatom)
7 Index achnantes minutissima 1-(Jumlah diatom achnantes/ Jumlah kelimpahan total diatom)
8 Klorofil a Median klorofil-a/(klorofil-a (mg/m2) +
Median klorofil-a)
9 Biomassa Median AFDM/(AFDM (mg/m2) +
Median AFDM)
10 Indeks Autotrophik (IA) Median IA/(IA (mg/m2) + Median IA) *Masing-masing metrik kemudian dikalikan dengan 10.
Total skore PIBI kemudian dievaluasi berdasarkan kriteria menurut
McCormick et al.2001 sebagai berikut:
Nilai skor PIBI> 95 : Kategori perairan sangat baik
Nilai skor 85 <PIBI< 95 : Kategori perairan baik
Nilai skor 65 <PIBI< 85 : Kategori perairan sedang
Nilai skor PIBI< 65 : Kategori perairan buruk
3.5. Kualitas Perairan Sungai Ciliwung
Guna mengetahui kondisi lingkungan perairan Sungai Ciliwung, maka
dilakukan perhitungan indeks pencemaran perairan berdasarkan beberapa
parameter kualitas perairan seperti oksigen terlarut, pH, suhu, nitrat, amonium,
orto phospat dan konduktivitas dengan menggunakan rumus indeks pencemaran
29
Dengan:
CI = Indek Pencemaran Kirchoff
qi = Nilai karakteristik sub indek parameter dari kurva baku. wi = Nilai bobot kepentingan setiap parameter
Hasil perhitungan Indeks Pencemaran Kirchoff (1991) kemudian dievaluasi
sebagai berikut:
0 – 27 = Kondisi perairan tercemar berat
28 – 56 = Kondisi perairan tercemar sedang
57 – 83 = kondisi perairan tercemar ringan
84 – 100 = Kondisi perairan belum tercemar Sumber Kirchoff (1991)
3.6. Kondisi Habitat
Perkiraan terjadinya gangguan pada habitat di sekitar lokasi sampling
dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (scorring) yang diadopsi dari
metode Barbour et al. (1999). Penilaian habitat yang diskoring meliputi: substrat
epifaunal atau ketersediaan vegetasi penutup, banyaknya batuan yang tertanam
pada dasar sungai (embeddedness), banyaknya kombinasi antara kecepatan aliran
dan kedalaman, endapan sedimen, status aliran dari sungai, perubahan saluran,
keberadaan jeram dan kelokan sungai, stabilitas pinggir sungai, perlindungan
pinggir sungai oleh vegetasi, dan lebar zone vegetasi riparian. Kriteria gangguan
pada habitat sungai dapat dilihat dalam Tabel 5. Daerah yang mempunyai nilai
skor habitat tertinggi atau dalam kategori optimal diharapkan dapat dijadikan
sebagai kandidat situs rujukan.
Tabel 6. Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari protocol
US-EPA (Barbour et al. 1999).
Guna mengetahui hubungan antara kelimpahan perifiton dengan variabel
korelasi canonical (Canonical Corespondence Analysis (CCA)), dimana
sebelumnya dilakukan seleksi untuk menghilangkan autokorelasi antar variabel
sehingga dapat dilakukan pengujian secara multikolinearitas (Ter Braak &
Verdonschot 1995). Penghitungan ordinasi CCA dilakukan dengan menggunakan
softwareMVSP versi 3.1.
Guna mengetahui hubungan antar metrik dalam PIBI dengan kualitas
perairannya dalam hal ini unsur hara N dan P dilakukan uji korelasi spearman.
Analsis uji korelasi Spearman menggunakan software STATISTICA versi 6 (Stat
soft Inc.).
Berdasarkan hasil penilaian maupun skoring yang diperoleh dari metrik
utama (kualitas perairan, indeks habitat, dan penilaian PIBI) kemudian dibuat
grafik radar untuk mempermudah interpretasi kondisi sebenarnya dari lokasi
penelitian, dimana pola segitiga yang ditunjukkan dalam grafik radar jika semakin
besar (semakin mendekati ujung/ nilai maksimal) menunjukkan kondisi yang
semakin baik, sebaliknya jika pola segitiga radar yang ditunjukkan semakin kecil
(memusat) maka menunjukkan kondisi lokasi penelitian telah mengalami
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakterisasi Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian Sungai Ciliwung bagian hulu hingga tengah memiliki
ketinggian antara 1,289 sampai 163 m diatas permukaan laut. Kondisi ini
merupakan ciri sungai pegunungan yang memiliki arus deras berkisar antara 0,63
sampai 1,09 m/dt, dengan dasar sungai berbatu, kerikil dan pasir.
Stasiun penelitian I (Gunung Mas) merupakan lokasi yang masih baik
terletak di kawasan hutan lindung, belum ada aktivitas baik perumahan maupun
perkebunan teh. Kondisi air masih jernih dengan kecepatan arus deras dan debit
yang relatif stabil, kedalaman kolom air berkisar antara 0,12 – 0,23 m dengan
rata-rata kedalaman 0,17 m. Substrat dasar sungai didominasi oleh batuan besar
yang tertanam. Bantaran sungai masih cukup baik dengan pepohonan yang masih
lebat.
Stasiun penelitian II (Kp. Pensiunan) berlokasi di perkebunan teh, kondisi
perairan masih jernih dengan kisaran turbiditas 12,72 – 15,60 NTU dan fluktuasi
debit cukup besar yaitu berkisar antara 0,40 – 1,00 m3/dt, sedangkan kecepatan arus 0,8 – 1,52 m/dt dengan rata-rata 1,00 m/dt. Lebar badan sungai sangat
dipengaruhi oleh debit air sungai yaitu berkisar antara 2,1 – 4,13 m dengan
rata-rata 2,78 m, sedangkan kedalaman berkisar 0,20 – 0,34 m dengan rata-rata-rata-rata
kedalaman 0,26 m.
Stasiun penelitian III (Kp. Jogjogan) merupakan lokasi yang sekitarnya
terdapat aktivitas pertanian, perkebunan serta sudah melewati kawasan penduduk
dan tempat peristirahatan. Kondisi airnya sedikit keruh dengan nilai turbiditas
berkisar antara 24,32 – 26,83 NTU dengan rata-rata 25,75 NTU. Substrat dasar
pada lokasi ini didominasi oleh batu besar yang tertanam kuat dan pasir yang
mencapai 92,17 %. Lebar badan air relatif tetap yaitu 18,35 m, kedalaman sungai
berkisar 0,20 – 0,30 m dengan rata-rata 0,26 m. Kecepatan arus pada lokasi ini