• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effect of Nutrient (N and P) to The Periphyton Biomass and Community Structure, Case Study Ciliwung River

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Effect of Nutrient (N and P) to The Periphyton Biomass and Community Structure, Case Study Ciliwung River"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH UNSUR HARA (N DAN P) TERHADAP

BIOMASSA DAN STRUKTUR KOMUNITAS PERIFITON

STUDI KASUS SUNGAI CILIWUNG

TRI SURYONO

C251090081

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis

Pengaruh Unsur Hara

(N Dan P) Terhadap Biomassa Dan Struktur Komunitas Perifiton Studi

Kasus Sungai Ciliwung adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2012

(3)

ABSTRACT

TRI SURYONO. Effect of Nutrient (N and P) to The Periphyton Biomass and Community Structure, Case Study Ciliwung River. Under direction of ENAN M. ADIWILAGA and DANIEL DJOKO SETIYANTO.

Research on the effect of nutrient to the structure of periphyton communities in Ciliwung river has been conducted from December 2010 to May 2011 at four stations; Gn. Mas, Kp. Pensiunan, Kp. Jogjogan, and Cibinong which reflected the of input of anthropogenic pollutant. This study aims to determine the relationship between nutrients (N and P) concentration and the structure changes of periphyton community in order to determine the ecological condition of Ciliwung River. The results of this study are expected to be useful to make a policy in the management of ecological disturbance of Ciliwung River based on pollutants loads and environmental changes due antropogenic activity. Water quality Ciliwung River was evaluated from the condition of habitats, pollution levels and the conditions of periphyton integrity to observed the actual condition of the aquatic environment. The results showed optimal habitat conditions was observed in Gn. Mas while other stations condition were marginal (Kp. Pensiunan, Kp. Jogjogan and Cibinong). Based on pollution level category, Gn. Mas and Kp. Pensiunan was unpolluted, while Kp. Jogjogan and Cibinong was slightly polluted and moderately polluted respectively. The results obtained 83 species of periphyton consisted of Bacillariophyceae (44 species), Chlorophyceae (20 species), Cyanophyceae (14 species), Rhodophyceae (1 species), Xantophyceae (2 species) and Dinophyceae (2 species). Based on the abundance of periphyton, PIBI score obtained was almost the same Gn. Mas (95,97), Kp. Pensiunan (84,65), Kp. Jogjogan (93,57) and Cibinong (83,83). CCA ordination of the results obtained a clear grouping among the research station. While the results from a combination of habitat conditions, the level of pollution and its PIBI value confirm that water conditions are still good.

(4)

TRI SURYONO. Pengaruh Unsur Hara (N Dan P) Terhadap Biomassa Dan

Struktur Komunitas Perifiton Studi Kasus Sungai Ciliwung. Dibimbing oleh

ENAN M. ADIWILAGA dan DANIEL DJOKO SETIYANTO.

Sungai Ciliwung sebagai salah satu sungai besar di Jawa Barat memiliki arti

penting dalam menunjang segala aktivitas masyarakat disepanjang DASnya.

Seiring dengan meningkatnya kegiatan antropogenik kualitas perairan Sungai

Ciliwung mengalami penurunan dengan masuknya bahan pencemar khususnya

unsur hara N dan P. Salah satu biota yang hidup di perairan Sungai Ciliwung dan

terpengaruh langsung kualitas air adalah perifiton sebagai produsen primer

perairan berarus. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan mulai Desember 2010

hingga Mei 2011 dengan tujuan mengetahui pengaruh masuknya unsur hara N dan

P terhadap biomassa dan struktur komunitas perifiton di Sungai Ciliwung. Hasil

identifikasi perifiton ditemukan total 83 jenis yang terdiri dari Bacillariophyceae

(44 jenis), Chlorophyceae (20 jenis), Cyanophyceae (14 jenis), Rhodophyceae (1

jenis), Xantophyceae (2 jenis) dan Dinophyceae (2 jenis) dengan indeks

keseragaman tinggi (0,6<E<1,0), indeks keanekaragaman sedang

(2,3026<H<6,9078) dan indeks dominansinya rendah (0<C<0,4). Sedangkan hasil

analisis parameter unsur hara dari stasiun Gunung Mas hingga Cibinong

menunjukkan adanya peningkatan. Hasil perhitungan tingkat pencemaran dan

kondisi habitat menunjukkan Gunung Mas (belum tercemar dengan kondisi

optimal), Kp. Pensiunan (belum tercemar tetapi kondisi marginal), Kp. Jogjogan

(tercemar ringan dan kondisi marginal) serta Cibinong (tercemar sedang dengan

kondisi marginal). Sedangkan dari perhitungan metrik PIBI stasiun Gunung Mas

tergolong sangat baik, Kp. Jogjogan dalam kategori baik sedangkan Kp.

Pensiunan dan Cibinong termasuk sedang. Hasil ordinasi CCA adanya perbedaan

yang jelas antar lokasi penelitian berdasarkan kualitas perairan maupun

kelimpahan perifitonnya. Sedangkan berdasarkan hasil uji korelasi spearman

terdapat korelasi positif antara komponen PIBI yaitu kekayaan taksa, biomassa

(5)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(6)
(7)

PENGARUH UNSUR HARA (N DAN P) TERHADAP

BIOMASSA DAN STRUKTUR KOMUNITAS PERIFITON

STUDI KASUS SUNGAI CILIWUNG

TRI SURYONO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas berkat rahmat dan

hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian maupun penulisan tesis

dengan judul ”Pengaruh Unsur Hara (N Dan P) Terhadap Biomassa Dan

Struktur Komunitas Perifiton Studi Kasus Sungai Ciliwung.” Sebagai syarat

penyelesaian program sekolah pascasarjana Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah

mengarahkan, membantu dan mendukung kegiatan penelitian ini sehingga dapat

terselesaikannya penulisan tesis ini dengan lancar.

1. Rektor Institut Pertanian Bogor, Direktur Program Pascasarjana dan ketua

Departemen Managemen Sumberdaya Perairan, atas kebijakan yang diberikan

selama mengikuti pendidikan pascasarjana IPB.

2. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga, selaku ketua program studi Pengelolaan

Sumberdaya Perairan dan ketua dosen pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Daniel

Djoko Setiyanto, DEA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

arahan, masukan dan bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian dan

penulisan tesis.

3. Dr. Tri Widiyanto, M.Si selaku Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI dan

Dr. Ir. Gadis Sri Haryani (Kapuslit Limnologi periode 2006 – 2010), serta

Ir. Fachmijany Sulawesty selaku Kepala Bidang Dinamika Perairan Puslit

Limnologi-LIPI, atas dukungan ijin, sarana dan prasarana, serta

kebijaksanaannya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB.

4. Rekan-rekan di Puslit Limnologi-LIPI, atas partisipasinya baik langsung

maupun tidak, terutama rekan-rekan yang tergabung dalam kelompok

penelitian Konsep SLC: Yoyok Sudarso, Gunawan P. Yoga, Ivana Yuniarti,

Rosidah, Supranoto, serta rekan analis laboratorium Pengendalian Pencemaran

Ade Sugiarti, Isnuryati dan Irma, atas bantuan dan dukungannya sejak mulai

(12)

penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB.

6. Terakhir penulis sampaikan terimakasih yang tulus kepada Istri dan anakku

Nani Widiawati dan Rifky Ramadhan, atas kesabaran dan pengertiannya

selama ini. Serta kepada M. Gunawan dan keluarga (adik) atas dukungannya

selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini,

karena itu penulis mengharapkan masukan kritik dan saran dari semua pihak guna

perbaikan penulisan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

yang memerlukan.

Bogor, Mei 2012

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sleman, Yogyakarta 30 Maret 1970, merupakan anak ke tiga

dari 4 bersaudara dari pasangan ayah (Alm) Soemono dan Ibu (Alm) Siti Suparti.

Pendidikan formal dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi diselesaikan

di Yogyakarta, yaitu di Sekolah Dasar Negeri 1 Condong Catur, Yogyakarta

(1983), Sekolah Menengah Pertama Negeri Condong Catur, Yogyakarta (1986),

Sekolah Menengah Atas PIRI 1 Banciro, Yogyakarta (1989). Tahun 1990 penulis

melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan STTL-YLH,

Yogyakarta dan memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1996 bidang Ilmu

Lingkungan.

Sejak tahun 1997 sampai saat ini penulis menjadi staf peneliti Bidang

Dinamika Perairan Darat, Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia yang terletak di kawasan Cibinong Science Center (CSC).

(14)

Halaman

2.4. Perifiton sebagai Bioindikator Pencemaran Perairan ……. 9

2.5. Indeks Integrasi Biotik Perifiton (Periphyton Index Biotik Integrity) ... 12

3.2. Metoda, Variabel dan Desain Penelitian ………... 22

3.3. Metoda Sampling Perifiton ……… 23

3.4. Penilaian Perifiton... 24

3.4.1. Kelimpahan……… 24

(15)
(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Distribusi alga dalam kaitannya dengan arus (Round 1964in

Whitton 1975) ……….…………..……….. 15

2. Penggolongan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen

terlarut (Sachmitz 1971 inLumbantobing 1996) …………..….. 18

3. Lokasi penelitian berdasarkan kondisi ekosistem Sungai

Ciliwung ……….. 22

4. Parameter dan metode yang digunakan dalam penelitian …... 23

5. Metrik dalam PIBI(Hill et al.2000)... 28

6. Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari

protocol US-EPA (Barbour et al. 1999)………... 29

7. Hasil perhitungan metrik-metrik PIBIdi setiap stasiun selama

penelitian... 54

8. Hubungan korelasi PIBI dan komponen metrik serta variabel

(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir perumusan masalah penelitian…………...……. 4

2. Materi pembentukan perifiton………...…... 8

3. Publikasi ekologi perifiton dari awal abad 20thhingga tahun 2008 …..………... 11

4. Peta lokasi pengambilan sampel perifiton di Sungai Ciliwung ………...……... 21

5. Kondisi kecepatan arus Sungai Ciliwung hulu yang diukur selama penelitian... 33

6. Kondisi suhu air Sungai Ciliwung selama penelitian... 34

7. Nilai konduktivitas air Sungai Ciliwung selama penelitian... 35

8. Nilai turbiditas air Sungai Ciliwung selama penelitian... 35

9. Hasil pengukuran total padatan terlarut air Sungai Ciliwung selama penelitian... 37

10. Hasil pengukuran kondisi pH air Sungai Ciliwung selama penelitian... 37

11. Nilai alkalinitas air Sungai Ciliwung hasil pengukuran selama penelitian... 38

12. Konsentrasi oksigen terlarut hasil pengukuran selama penelitian... 39

13. Konsentrasi NO2setiap lokasi sampling selama penelitian... 40

14. Konsentrasi NO3setiap lokasi sampling selama penelitian... 41

15. Konsentrasi NH4setiap lokasi sampling air Sungai Ciliwung Hulu... 42

16. Konsentrasi TN air Sungai Ciliwung selama penelitian... 42

17. Konsentrasi o-PO4air Sungai Ciliwung pada setiap lokasi penelitian... 43

18. Konsentrasi TP dalam air Sungai Ciliwung setiap lokasi penelitian... 44

19. Jumlah taksa (jenis) perifiton perairan Sungai Ciliwung... 45

20. Proporsi kelas perifiton yang diperoleh pada setiap pengamatan... 46

21. Kelimpahan perifiton pada perairan Sungai Ciliwung... 47

(18)

23. Indeks Keseragaman perifiton perairan Sungai Ciliwung

selama penelitian... 48

24. Indeks dominansi perifiton perairan Sungai Ciliwung selama

penelitian... 50

25. Hasil perhitungan klorofil-a perifiton perairan Sungai Ciliwung

selama penelitian... 51

26. Hasil perhitungan biomassa perifiton perairan Sungai Ciliwung

selama penelitian... 51

27. Hasil ordinasi CCA stasiun penelitian di Sungai

Ciliwung... 52

28. Tingkat pencemaran perairan Sungai Ciliwung selama

penelitian... 55

29. Hasil penilaian kondisi habitat setiap stasiun penelitian... 56

(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kondisi morfologi lokasi penelitian...…………...……. 70

2. Hasil analisis parameter kualitas air Sungai Ciliwung selama penelitian... 71

3. Hasil perhitungan indeks pencemaran Kirchoff (1991)... 72

4. Hasil skoring kondisi habitat lokasi penelitian..……...……... 72

5. Hasil pengamatan kelimpahan perifiton selama penelitian... 73

6. Jumlah jenis dan proporsi kelas perifiton yang ditemukan selama penelitian... 76

7. Foto beberapa jenis perifiton hasil identifikasi... 77

(20)
(21)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kondisi lingkungan baik tanah, udara dan air saat ini cenderung mengalami

penurunan akibat semakin meningkatnya kegiatan antropogenik. Air sebagai

sumberdaya terbarukan menjadi salah satu lingkungan yang mengalami

penurunan kualitas cukup serius dan perlu mendapatkan perhatian dari segenap

elemen masyarakat, karena air merupakan unsur yang sangat vital dalam

menunjang kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup termasuk didalamnya

manusia.

Penurunan kualitas sumberdaya air dari beberapa penelitian diketahui

cenderung tidak sesuai lagi peruntukkannya akibat masuknya bahan pencemar

yang berasal dari kegiatan antropogenik baik industri maupun domestik yang

semakin meningkat. Bahan pencemar yang masuk ke perairan pada umumnya mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap sifat-sifat fisika, kimia

maupun biologi seperti mengandung zat-zat yang bersifat racun dan menyebabkan

deoksigenasi, naiknya temperatur, serta meningkatnya padatan tersuspensi dan

terlarut serta partikulat bahan organik. Masuknya limbah ke dalam perairan akan

mengubah kondisi ekologi perairan dan komunitas di dalamnya (Stoddard et al.

2003; Bledsoe et al. 2004; Tuvikene et al. 2005). Selain itu bahan polutan

yang masuk ke perairan mengakibatkan berkurangnya jumlah keragaman dan

kepadatan biota serta hilangnya spesies sensitif (Timm et al.2001; Chakrabarty &

Das 2006). Sedangkan secara tidak langsung akan berefek pada perubahan

interaksi spesies dan penurunan kualitas makanan (Courtney & Clements 2002).

Penilaian kualitas perairan yang umum digunakan adalah penilaian

berdasarkan sifat fisika dan kimia perairan, karena mudah dibandingkan dan dapat

ditentukan secara langsung. Akan tetapi penilaian ini memberikan hasil

interpretasi yang cenderung bias dan kurang akurat, karena air memiliki sifat

sebagai pelarut yang umum bagi beberapa konsentrasi bahan pencemar, selain itu

juga akibat pengaruh fluktuasi musiman dan harian serta adanya kemampuan

pulih diri (self purification) perairan. Untuk melengkapi penilaian kualitas

(22)

sebenarnya maka dilakukan juga upaya untuk mengetahui perubahan yang terjadi

pada biota akuatik yang berinteraksi langsung dengan faktor fisika dan kimia yang

terdapat pada ekosistem perairan dari waktu ke waktu. Penilaian dengan

menggunakan biota akuatik ini dikenal dengan istilah ”Bioindikator”.

Penggunaan komunitas biologi untuk indikator penilaian kualitas perairan

telah banyak dikembangkan untuk memperbaiki serta memahami hubungan

kualitas air dengan kesatuan komunitas biologi (integrity biological communities)

(Karr et al. 1986; Hughes et al. 1991; Dixit et al. 1992). Menurut Dziock et al.

(2006) biota yang digunakan sebagai indikator biologi (bioindicator) adalah

organisme yang mampu beradaptasi terhadap fluktuasi kondisi lingkungan dalam

periode waktu cukup lama dan meresponnya atau merekam informasi yang

ditimbulkannya. Sedangkan Norris dan Thoms (1999) menyebutkan keterlibatan

penggunaan materi biologi sebagai indikator biologi sangat penting dalam

pengelolaan perairan, karena pengaruh kerusakan lingkungan akibat pencemaran

biasanya berdampak negatif bagi kelangsungan hidup biota akuatik sebagai titik

akhirnya.

1.2. Perumusan Masalah

Sungai Ciliwung sebagai salah satu sungai besar di Jawa Barat memiliki

peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kondisi

lingkungan perairan Sungai Ciliwung saat ini banyak mengalami penurunan

akibat meningkatnya kegiatan antropogenik yang berada di sepanjang DAS nya.

Salah satu permasalahan yang timbul adalah terjadinya pencemaran air Sungai

Ciliwung akibat masuknya bahan organik, sehingga kualitas airnya tidak sesuai

lagi dengan peruntukkannya yang ditandai dengan adanya perubahan terhadap

beberapa paremeter fisika-kimia perairan seperti penurunan konsentrasi oksigen

terlarut, meningkatnya unsur hara N dan P dan naiknya konsentrasi total

suspended solid (TSS). Menurut Kido et al. (2009) aktivitas antropogenik yang

berupa limbah baik rumah tangga, pertanian/sawah, peternakan, dan industri

merupakan sumber pencemar yang berpotensi menurunkan kualitas air Sungai

(23)

3

Pemantauan kualitas perairan Sungai Ciliwung yang umum dilakukan

adalah parameter fisika, kimia maupun biologi dan masih bersifat parsial sehingga

hasilnya masih belum mencerminkan kondisi kualitas perairan yang sebenarnya.

Guna memperoleh data informasi kualitas perairan Sungai Ciliwung yang

mendekati kondisi sebenarnya, maka data kualitas air dari parameter fisika, kimia

dan biologi tersebut dianalisis secara terintegrasi yang saat ini banyak

dikembangkan dengan menggunakan konsep multimetrik. Tahapan penelitian

penggunaan konsep multimetrik seperti terlihat pada Gambar 1.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh masuknya unsur hara

N dan P ke perairan Sungai Ciliwung serta kaitannya dengan perubahan biomassa

dan struktur komunitas perifiton serta penilaian kondisi ekologis sungai

berdasarkan konsep multimetrik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membantu

mengambil kebijakan pengelolaan Sungai Ciliwung akibat gangguan ekologi yang

berasal dari masuknya unsur hara maupun perubahan lingkungan akibat dari

aktivitas antropogenik.

1.5. Hipotesis

Keberadaan bahan pencemar khususnya unsur hara N dan P yang masuk ke

perairan Sungai Ciliwung akan berpengaruh terhadap kondisi kualitas perairan

(24)

4

Evaluasi kandidat metrik dalam PIBI:

(25)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Sungai

Sungai merupakan suatu ekosistem perairan tawar yang dikenal secara

umum selain waduk, danau maupun situ. Ekosistem sungai merupakan perairan

mengalir (lotik) yang memiliki karakteristik aliran air yang cukup kuat dan

memiliki pola pencampuran massa air yang lebih bersifat menyeluruh sehingga

perairan sungai biasanya lebih keruh akibatnya proses penetrasi cahaya ke dasar

sungai menjadi terhambat (Goldman & Horne 1983). Kondisi ekosistem perairan

sungai berbeda dengan perairan tergenang (lentik) seperti danau, maupun waduk

yang memiliki stratifikasi kolom air sehingga proses pencampurannya relatif kecil

dan bersifat spasial. Karakteristik arus yang kuat pada ekosistem sungai biasanya

dipengaruhi oleh iklim dan musim, dimana pada musim kemarau arus yang terjadi

lambat sedangkan pada musim hujan arus yang mengalir sangat kuat sehingga

mengakibatkan pengikisan tanah dan batuan (erosi) yang akhirnya menimbulkan

sedimentasi.

Berdasarkan pola arus yang terjadi, ekosistem perairan sungai dapat dibagi

menjadi dua yaitu ekosistem perairan sungai berarus cepat dan lambat. Pada

ekosistem sungai berarus cepat biasanya dicirikan oleh tipe substrat berbatu dan

berkerikil serta segmen sungai berada pada gradien tinggi, sedangkan ekosistem

sungai berarus lambat biasanya tipe substratnya berpasir dan berlumpur, ciri

lainnya biasanya dalam, lebar, dan berlokasi di dataran rendah. Menurut Clapham

(1983) pola arus merupakan faktor utama (pembatas) terhadap keberadaan jumlah

dan tipe organisme autotrop sehingga pola arus ini merupakan faktor pengontrol

produktivitas dari ekosistem perairan sungai.

Menurut Thornton et al. (1990) produsen primer di sungai, danau, dan

waduk terdiri dari fitoplankton, bakteri, alga bentik (perifiton), dan makrofita.

Pada kondisi perairan berarus perifiton lebih berperan sebagai produsen primer,

sedangkan fitoplankton cenderung lebih dominan peranannya pada sungai yang

(26)

2.2. Hidromorfometri Sungai Ciliwung

Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai besar yang mengalir

sepanjang kurang lebih 120 km yang melewati beberapa wilayah, yaitu Kota

Bogor, Kab. Bogor, Depok, dan Jakarta dengan luas daerah pengaruhnya (DAS)

sekitar 387 km2. Hulu Sungai Ciliwung berada di Gunung Gede, Gunung Pangrango serta Puncak, dan bermuara di wilayah perairan laut Jawa. Akibat

tekanan berbagai bentuk aktivitas domestik dan industri yang berada di sepanjang

DAS-nya kondisi air sungai Ciliwung mengalami penurunan kualitas dan tidak

sesuai lagi dengan peruntukkannya. Beban bahan pencemar yang paling utama

masuk ke perairan Sungai Ciliwung umumnya adalah bahan organik dan logam

berat. Sumber pencemar yang berpotensi menurunkan kualitas air Sungai

Ciliwung sebagian besar berasal dari aktivitas antropogenik dari limbah rumah

tangga, pertanian/sawah, peternakan, dan industri (Kido et al. 2009). Keberadaan

bahan pencemar, selain mengakibatkan turunnya kualitas perairan juga

berpengaruh terhadap hilangnya keanekaragaman hayati khususnya spesies

asli/endemik (Khosla et al. 1995; Brahmana & Firdaus 1997).

Keberadaan Sungai Ciliwung sangat penting bagi sektor pertanian (irigasi),

industri, maupun bahan baku air minum untuk masyarakat Kota Depok dan

Jakarta. Kegiatan antropogenik yang berada disepanjang DAS Ciliwung bila tidak

dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap sumberdaya airnya seperti

permasalahan pencemaran. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan,

dan bahaya bagi makhluk hidup yang bergantung pada sumberdaya air serta hidup

dan ditemukan pada ekosistem sungai mulai dari tanaman air, plankton, perifiton,

bentos dan ikan. Biota yang terpengaruh langsung terhadap kondisi lingkungan

yang berubah-ubah di perairan sungai adalah biota-biota yang siklus hidupnya

relatif menetap seperti bentos maupun perifiton.

2.3. Perifiton

Perifiton merupakan gabungan beberapa ganggang, cyanobacteria, mikroba

heterotrofik, dan detritus yang melekat pada permukaan batuan, kayu dan tanaman

serta hewan air yang terendam pada ekosistem perairan (Odum 1971). Perifiton di

perairan mengalir pada umumnya terdiri dari diatom (Bacillariophyceae), alga

(27)

7

rotifera (tidak banyak pada perairan tidak tercemar), serta beberapa jenis benthos

(Welch 1952). Komunitas pembentukan perifiton yang ada pada substrat

dalam perairan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Perifiton meskipun tidak banyak digunakan, tetapi cocok untuk penilaian

kualitas perairan sungai (Patrick 1973; Stevenson & Lowe 1986; Rott 1991;

Round 1991; Stevenson & Pan 1999). Berdasarkan tipe substrat tempat

menempelnya, perifiton dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Epilithic, perifiton yang menempel pada batu.

b. Epidendritic, perifiton yang menempel pada kayu.

c. Epiphytic, perifiton yang menempel atau hidup pada permukaan daun

maupun batang tumbuhan.

d. Epizoic, perifiton yang menempel pada permukaan tubuh hewan.

e. Epipelic, perifiton yang menempel pada permukaan sedimen.

f. Epipsamic, perifiton yang menempel pada permukaan pasir.

Perifiton dalam ekosistem perairan berfungsi sebagai sumber makanan

penting bagi organisme dengan tingkat trofik yang lebih tinggi, seperti:

avertebrata, larva, dan beberapa ikan. Perifiton juga dapat menyerap bahan

pencemar yang ada di perairan, sehingga dapat membatasi penyebarannya di

lingkungan khususnya perairan. Komunitas perifiton biasa digunakan dalam

sistem produksi akuakultur yaitu sebagai sumber makanan bagi ikan.

Proses perkembangan perifiton merupakan bentuk proses akumulasi yaitu

terjadinya peningkatan biomassa seiring dengan bertambahnya waktu. Akumulasi

tersebut merupakan hasil kolonisasi dan komposisinya, dimana keberadaannya

sangat dipengaruhi oleh kemampuan perifiton dan media penempelnya.

Kemampuan perifiton dalam menempel pada substratnya menentukan

eksistensinya terhadap pencucian arus sehingga keberadaan komunitasnya tetap

mantap. Perifiton yang menempel pada substrat mati seperti batuan

keberadaannya akan lebih mantap, tidak mengalami perubahan, rusak maupun

(28)

Keterangan : a. Bakteri

b. Navicula menisculus var.

upsaliensis- prostrate,

mucilage coat.

c. Gomphonema parvulum

short stalks,

d. Gomphonema olivaceum

long stalks,

e. Fragilaria vaucheriae

rosette, mucilage pads,

f. Synedra acus – large

rosette, mucilage pads,

g. Nitzschia sp.- rosette,

mucilage pads,

h. Stigeocionium sp.- upright

filaments

Gambar 2. Materi pembentukan perifiton (Annonim, 2009)

Komposisi alga yang biasa ditemukan pada perairan sungai dan menempel

pada batuan (Epilithic) dan tanaman air (Epiphytic) dari hasil penelitian yang

dilakukan Bishop (1973) terdiri atas Cyanophyta, Rhodophyta, Cryptophyta,

Bacillariophyta, Chrysophyta, Euglenophyta, dan Chlorophyta. Sedangkan

menurut Hynes (1972) bentik alga yang sering ditemukan pada perairan dalam

jumlah besar antara lain: Synedra, Nitzschia, Navicula, Diatoma, dan Surirella.

Diatom dari kelompok pennales merupakan alga bentik yang mendominasi pada

perairan berarus kuat dan seiring dengan menurunnya arus, maka keanekaragaman

alga dalam perairan akan meningkat selain diatom juga tumbuh alga bentik dari

kelompok Chlorophyta dan Myxophyta (Whitton 1975).

Kelompok diatom jenis pennales pada perairan berarus cenderung

mendominasi karena berkaitan dengan bentuk sel (frustul) yang simetris bilateral

dan sistem aliran air yang melewati sitoplasma sehingga mampu bergerak

(29)

9

sel (raphe), terdapat sitoplasma yang di dalamnya mengandung

mucopolysaccharidesyang mampu mengeluarkan helaian cairan perekat sehingga

mampu menempel di substrat dan memungkinkan untuk membantu bergerak

(Sze 1993; Basmi 1999). Perkembangan perifiton di perairan sangat dipengaruhi

oleh faktor lingkungan antara lain kecerahan, kekeruhan, tipe substrat,

kedalaman, pergerakan air, arus, pH, alkalinitas, kesadahan, dan nutrien. Populasi

perifiton akan menurun pada perairan yang kurang mendapatkan cahaya cukup.

Faktor kekeruhan pada perairan baik yang diakibatkan oleh lumpur maupun

plankton juga mengakibatkan penurunan populasi perifiton khususnya yang hidup

di dasar dan tergantung pada cahaya yang masuk ke perairan untuk

perkembangannya (Wetzel 1979).

2.4. Perifiton sebagai Bioindikator Pencemaran Perairan

Komunitas perifiton memiliki peran dalam ekosistem air tawar dan

merupakan reaktor biogeokimia bertenaga surya, habitat biogenik, gambaran

elemen hidrolik, maupun sistem peringatan dini untuk perubahan lingkungan,

serta keberadaan keanekaragaman hayati (Stevenson 1996; Wehr & Sheath 2003;

Azim et al. 2005).

Kondisi lingkungan dengan habitat yang stabil sangat mendukung

tercapainya suatu komunitas organisme baik flora maupun fauna dalam suatu

ekosistem, sehingga dapat tetap eksis dan berkembang dengan baik. Perubahan

yang terjadi pada variabel lingkungan dapat mempengaruhi komunitas organisme

secara menyeluruh mulai pada komposisi jenis, spesies, bentuk morfologi

individu, anatomis, fisiologis, dan jumlah individu. Organisme yang mampu

maupun yang tidak mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang

mengalami perubahan biasanya dapat dijadikan sebagai biota indikator dari

lingkungan yang bersangkutan. Perubahan yang mendasar pada struktur

komunitas akibat adanya perubahan lingkungan adalah terjadinya perubahan

keanekaragaman jenis dari komunitas yang bersangkutan (Basmi 1999).

Salah satu manfaat penggunaan perifiton sebagai bioindikator adalah

karena secara umum spesies perifiton bersifat menetap dalam waktu yang lama

(30)

mampu memberikan informasi tentang kondisi kualitas suatu perairan sesuai

dengan yang sebenarnya (Crossey & La Point 1988; Stewart & Davies 1990).

Masuknya beban polutan ke dalam ekosistem perairan akan mempengaruhi

komponen biota akuatik terutama pada struktur dan fungsinya dalam rantai

makanan yang dapat diketahui dengan adanya perubahan komposisi, jumlah, dan

kelimpahan taksanya.

Penilaian kualitas lingkungan yang dewasa ini banyak dilakukan untuk

melengkapi hasil pendugaan parameter fisika dan kimia adalah dengan

memasukkan parameter biologi. Menurut Soewignyo et al. (1986), penentuan

kualitas perairan secara biologi dapat dianalisis secara kuantitatif yaitu dengan

melihat jumlah kelimpahan jenis organisme yang hidup di lingkungan perairan

tersebut dan dihubungkan dengan keanekaragaman tiap jenisnya dan cara

penentuan yang lain adalah dengan analisis secara kualitatif dengan melihat

jenis-jenis organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan tertentu.

Penggunaan perifiton sebagai indikator penilaian kualitas perairan telah

banyak dilakukan penelitian oleh banyak peneliti maupun ahli. Hasil penelusuran

dari beberapa literatur, abstrak, dan web ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh

Scott (2010) dengan fokus utama berkaitan dengan ekologi perifiton ditemukan

kurang lebih 150 paper yang terbagi menjadi 7 topik bahasan utama yaitu: 1).

Pengaruh perubahan fisik, 2). Pengaruhnya terhadap pemaparan dan respon, 3).

Faktor lingkungan yang membatasi, 4). Hubungan persaingan, 5). Pengaruh akibat

pemangsaan, 6). Perifiton sebagai indikator lingkungan, 7). Kedudukan perifiton

dalam siklus rantai makanan pada lingkungan kolam. Secara garis besar beberapa

hasil publikasi yang berkaitan dengan keberadaan perifiton dapat dilihat pada

(31)

11

1900 1905 1910 1915 1920 1925 1930 1935 1940 1945 1950 1955 1960 1965 1970 1975

1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2008

Kolonisasi dan periodisitas

Gambar 3. Publikasi ekologi perifiton dari awal abad 20th hingga tahun 2008 (Scott 2010).

Penggunaan perifiton untuk menilai kualitas air sungai didasarkan pada 3

pendekatan yaitu :

1. Pendekatan yang paling lama (tua) yaitu berdasarkan konsep indikator spesies,

seperti pemakaian jenis alga untuk menilai kualitas air. Pendekatan yang paling

lama digunakan adalah sistem saprobik (Hill et al. 2000), sistem ini masih

digunakan secara luas untuk monitoring penilaian kualitas air dan air buangan

meskipun hingga saat ini banyak mengalami perbaikan (Lange-Bartelot 1979;

Frederich et al. 1992). Sistem saprobik terbukti memiliki kelemahan dalam

pemantauan kerusakan ekosistem sungai, karena tidak memberikan informasi

keterkaitannya antara keberadaan beban unsur hara dengan rendahnya

keragaman hayati yang terbentuk (Patrick 1973; Guzkowska & Gasse 1990).

2. Pendekatan yang didasarkan pada struktur komunitas dimana anggapan bahwa

lingkungan yang masih alami (pristine) akan mendukung tingginya

(32)

mengalami gangguan, jadi keberadaan struktur komunitas mencerminkan

kesehatan dari suatu ekosistem. Indeks struktur komunitas (keragaman,

kelimpahan, kekayaan taksa dan keseragaman) biasa digunakan dalam

pemantauan pencemaran sungai dari point source(Freidrich et al.1992).

3. Pendekatan indeks biotik yang digunakan untuk menilai kualitas air dan

ekosistem sungai secara terintegrasi (Fausch et al. 1984; Karr et al. 1986;

Kerans & Karr 1994). Indeks biotik dikembangkan dengan memadukan dua

konsep pendekatan antara indikator spesies dan struktur komunitas dalam

penilaian kualitas air berdasarkan hubungan parameter fisika kimia kondisi saat

ini dan yang sebelumnya. Dalam pendekatan ini memanfaatkan analisis

multivariat untuk mengetahui hubungan antara data kondisi lingkungan dengan

keberadaan organisme dikaitkan dengan pendekatan kondisi karakteristik

ekologi danau maupun sungai (Frits et al.1993; Dixit & Smol 1994; Pan et al.

1996, Reynoldson et al.1997).

2.5. Indeks Integritas Biotik Perifiton (Periphyton Index Biotik Integrity)

Penilaian kualitas perairan dengan menggunakan indeks biotik saat ini

banyak dikembangkan dan digunakan karena dalam informasi yang diberikan

terhadap keberadaan kualitas perairan akan mendekati keadaan yang sebenarnya.

Indeks biotik terintegrasi dapat didesain untuk pengukuran kekayaan spesies,

struktur trofik, dan kelimpahan organisme. Keseluruhan indek yang dihasilkan

dari total jumlah metrik yang ada merupakan respon dari sumber polutan baik

khusus sampai umum ataupun gabungan dari gangguan tersebut (Karr 1993).

Perkembangan indeks multimetrik untuk ekosistem sungai yang terintegrasi

biasanya diperlukan kondisi daerah acuan (reference site).

Konsep penilaian kualitas perairan dengan menggunakan Periphyton Index

Biotic Integrity (PIBI) merupakan penilaian yang menggabungkan beberapa

metrik yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan, antara lain:

1. Metrik Kekayaan Taksa Relatif: Jumlah total dari semua spesies yang ada

dalam komunitas. Kekayaan spesies diatom biasanya menurun dengan

meningkatnya kontaminasi bahan organik (Amblard et al. 1990; Witton et

(33)

13

Scanferlato & Cairns 1990; Sudhakar et al. 1991; Witton et al. 1991), dan

pestisida (Kosinski 1984).

2. Metrik Keanekaragaman Shannon (ukuran kekayaan dan kesamaan taksa)

metrik ini biasa digunakan oleh para ahli biologi, karena relatif mudah

diinterpretasikan dan dibandingkan. Bahls (1993) menyatakan bahwa indeks

keanekaragaman shannon relatif sensitif terhadap perubahan kualitas air.

3. Pencemaran Toleransi Index (PTI)

Indeks Pencemaran didasarkan pada rasio diatom terhadap toleransinya:

1) paling toleran, 2) kurang toleran dan 3) tidak toleran (sensitif). Rasio

tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah kelompok masing-masing (1, 2,

atau 3), dan jumlah untuk masing-masing memberikan nilai Indeks

Pencemaran. Bahls (1993) menguraikan kriteria yang digunakan untuk

menetapkan taksa diatom ke grup toleransi polusi dianalisis sebagai variabel

ekologi.

4. Metrik Cyanobacteria

Berbeda dengan % dari diatom, pada peningkatan % Cyanobacteria akan

cenderung menunjukkan adanya peningkatan gangguan pada lingkungan,

terutama sebagai hasil dari pengayaan hara dan organik maupun paparan

zat-zat beracun (Palmer 1969; Patrick 1977; Bott & Rogenmuser 1978;

Steinman et al.1991; Leland 1995).

5. Indeks Pengendapan (siltation index)

Indeks pengendapan adalah kelimpahan relatif dari spesies Navicula dan

Nitzschia dalam populasi diatom yang menunjukkan substrat tidak stabil,

sehingga berkaitan tingkat sedimentasi di dasar sungai (Bahls 1993).

Peningkatan kelimpahan Navicula dan Nitzschia di lingkungan

menunjukkan adanya gangguan di lingkungan perairan tersebut.

6. Metrik Diatom Eutraphentic.

Diatom Eutraphentic telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi dan

menilai perairan yang telah dipengaruhi oleh unsur hara (Palmer 1969;

Lange-Berlatot 1979; Hall & Smol 1992; Christie & Smol 1993; Pan et al.

(34)

kecenderungan adanya peningkatan material organik pada perairan tersebut

(Hill et al. 2000).

7. Achnanthes minutissima(%)

Kelimpahan persen dari A. minutissima yang ditemukan berkaitan dengan

terjadinya peristiwa pencemaran atau gangguan lingkungan perairan akibat

pertambangan maupun bahan kimia beracun, dimana terjadinya peningkatan

kelimpahan mengindikasikan besarnya gangguan (misalnya 0-25% = tidak

ada gangguan, 25-50% = gangguan ringan, 50-75% = gangguan sedang,

75-100% = gangguan berat). Spesies ini sering mendominasi di sungai akibat

dari drainase tambang, serta gangguan kimia lainnya (Stevenson & Bahls

1999).

8. Metrik klorofil-a

Konsentrasi klorofil a secara luas telah digunakan untuk penilaian

melimpahnya unsur hara yang ada di perairan sungai, mulai dari skala

penelitian sampai regional (Leland 1995; Pan et al.1999).

9. Matrik Biomassa (AFDM)

Hubungan antara areal pertanian dengan kualitas air tidak mudah untuk

diintepretasikan. Leland (1995) melaporkan bahwa meningkatnya biomassa

perifiton merupakan akibat dari masuknya bahan unsur hara dari lahan

pertanian, sementara yang lain melaporkan bahwa berkurangnya biomassa

perifiton dalam perairan sungai diakibatkan oleh gangguan bahan kimia

(Clark et al. 1979; Boston et al. 1991; Sigmon et al. 1997). Nilai tengah

hasil pengukuran AFDM/m2digunakan sebagai nilai referensi untuk metrik biomassa (Hill et al.2000).

10. Indeks Autotrofik

Rasio AFDM: Chla adalah ukuran dari jumlah bahan organik relatif

terhadap biomassa perifiton. Rasio dari 50 sampai 200 adalah khas untuk

perifiton didominasi kumpulan bentik. Nilai lebih dari 200 dapat

(35)

15

2.6. Parameter Fisika-Kimia

2.6.1. Kedalaman Perairan

Jumlah dan jenis hewan bentos termasuk perifiton dipengaruhi oleh kondisi

kedalaman perairan. Welch, (1952) menyatakan bahwa daerah litoral paling

banyak jumlah dan jenis biota air jika dibandingkan dengan daerah sublitoral dan

profundal.

2.6.2. Arus

Kecepatan arus merupakan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh

terhadap keberadaan biota yang ada di perairan mengalir (lotik), kondisi arus

suatu perairan sungai dipengaruhi oleh adanya perbedaan gradien atau ketinggian

lokasi antara bagian hulu dengan hilir, semakin besar perbedaan ketinggiannya,

maka arus air yang mengalir akan semakin deras. Takao et al. (2006)

menyebutkan bahwa kecepatan aliran dan fluktuasi dari debit sungai merupakan

faktor utama dari organisasi biologi yang ada dalam sistem lotik. Sedangkan

Welch (1980) menambahkan, sungai dangkal dengan kecepatan arus cepat,

biasanya didominasi oleh diatom perifitik. Alga bentik yang mendominasi

perairan yang berarus kuat dikarakteristikkan oleh adanya diatom golongan

pennales (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi alga dalam kaitannya dengan arus (Round 1964)

Arus

(m/detik) Tipe komunitas Jenis yang mendominasi

< 0,2 – 1 Alga bentik Alga epipelik dan epifitik: seperti Nitzschia, Navicula, Caloneis, Eunotia, Tabellaria, Synedra, Oscillatoria, Oedogonium, Bulbochaete

> 1 Alga bentik Alga epilitik: seperti Achnantes, Meridion, Diatoma, Ceratoneis.

> 0,5 – 1 Fitoplankton Diatom kecil bersel tunggal, alga biru.

> 1 Fitoplankton Volvocales, Chrysomonads.

Mason (1981) mengklasifikasi sungai berdasarkan kecepatan arusnya ke

dalam lima kategori yaitu arus yang sangat cepat (> 100 cm/detik), cepat (50-100

(36)

(< 10 cm/detik). Kecepatan arus akan mempengaruhi jenis dan sifat organisme

yang hidup di perairan tersebut (Klein 1972). Menurut Whitton (1975) kecepatan

arus adalah faktor penting di perairan mengalir. Kecepatan arus yang besar (> 5

m/detik) mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya jenis-jenis

yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami kerusakan fisik.

2.6.3. Suhu

Menurut Perkins (1960), Suhu perairan sangat erat kaitannya dengan

komposisi substrat, kekeruhan, masukan air hujan, luas permukaan perairan yang

langsung terkena sinar matahari, serta masukan air limpasan. Suhu perairan sungai

pada umumnya terdapat perbedaan antara di permukaan yang selalu lebih tinggi

dibandingkan dengan suhu pada kolom perairan (mendekati dasar perairan)

(Nybakken 1988).

Suhu berperan sebagai pengatur proses metabolisme dan fungsi fisiologis

organism, sehingga suhu sangat berpengaruh terhadap percepatan atau

perlambatan pertumbuhan dan reproduksi alga. Perubahan suhu berpengaruh

terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air, sehingga suhu juga berperan

dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Menurut Welch (1980) kisaran

suhu yang optimum untuk pertumbuhan suatu organisme akuatik seperti alga dari

filum Chlorophyta dan diatom berkisar pada suhu 30 – 35 oC, sedangkan Cyanophyta bisa toleran terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi diatas 30 0C.

2.6.4. Kekeruhan (Turbiditas)

Gambaran sifat optik air dapat dilihat dari nilai kekeruhannya, kondisi ini

sangat tergantung pada banyaknya cahaya yang terserap dan dipancarkan kembali

oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air baik bahan organik maupun anorganik

yang terlarut dan tersuspensi biasanya berupa pasir halus dan lumpur maupun

yang berupa plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA 1995; Davis &

Cornwell 1991).

Peningkatan kekeruhan pada perairan dapat mengurangi produktivitas

primer dari suatu perairan. Menurut Lloyd (1985), pada perairan dangkal dan

jernih peningkatan kekeruhan hingga 25 NTU mengakibatkan produktivitas

(37)

17

kekeruhan sebesar 5 NTU mengurangi produktivitas primer berturut-turut 75%

dan antara 3 – 13%. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya

proses osmoregulasi pada suatu organisme, seperti pernafasan dan penglihatan

organisme akuatik (Effendi 2003).

2.6.5. Konduktivitas

Konduktivitas merupakan gambaran kemampuan air dalam menghantarkan

arus listrik secara numerik karena ionisasi garam-garam terlarut dalam air (Cole

1988). Nilai konduktivitas suatu perairan alami berkisar antara 20 – 1500

µmhos/cm (Boyd 1988), sedangkan limbah industri nilai konduktivitasnya

mencapai 10.000 µmhos/cm (APHA 1995). Nilai konduktivitas perairan lebih dari

500 µmhos/cm, maka hidrobiota termasuk perifiton mengalami tekanan secara

fisiologis (Afrizal 1992).

2.6.6. Derajat keasaman (pH)

Perairan alami pada umumnya memiliki kisaran pH antara 6,5 – 8,5

tergantung pada suhu, oksigen terlarut dan kandungan garam-garam ionik yang

ada dalam perairan. Sebagian besar biota akuatik memiliki batas toleransi

terhadap pH. Secara umum kondisi pH antara 7 – 8,5 merupakan kondisi ideal

yang disukai oleh biota perairan (Effendi 2003). Kondisi pH menentukan

dominansi biota akuatik khususnya fitoplankton misalkan alga biru lebih

menyukai pH netral sampai basa dan respon pertumbuhannya negatif terhadap

asam (pH<6), sedangkan Chrysophyta umumnya pada kisaran pH 4,5–8,5; dan

pada umumnya kisaran pH yang netral akan mendukung keanekaragaman jenis

diatom (Wetzel 1979).

2.6.7. Oksigen Terlarut (DO)

Proses metabolisme dan respirasi organisme akuatik memerlukan

ketersediaan oksigen terlarut, sehingga keberadaan oksigen terlarut sangat vital

bagi organisme akuatik, selain itu konsentrasi oksigen terlarut juga dapat

digunakan sebagai indikator kualitas air (Odum 1971). Keberadaan oksigen

terlarut di perairan berasal dari difusi oksigen dari udara ke dalam perairan serta

hasil proses fotosintesis dari fitoplankton, sedangkan berkurangnya konsentrasi

(38)

organik yang ada di perairan. Berkurangnya oksigen terlarut berkaitan dengan

banyaknya bahan organik dari limbah industri yang mengandung

bahan-bahan yang tereduksi dan lainnya (Welch 1952). Kandungan oksigen terlarut

pada sistem perairan mengalir seperti sungai pada umumnya tinggi, sedangkan

konsentrasi karbondioksida bebasnya cenderung kecil, hal ini disebabkan adanya

kecepatan arus pada sistem sungai yang memberikan sumbangan terhadap proses

difusi oksigen ke dalam perairan (Hynes 1972). Perairan tawar kandungan

oksigen terlarut berkisar antara 8 mg/liter pada suhu 25 oC. Konsentrasi oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/l (Mc Neelyet al.1979).

Kualitas air di perairan mengalir dapat dikelompokkan menjadi lima

golongan berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut menurut Sachmitz (1971) in

Lumbantobing (1996) Tabel 2.

Tabel 2. Penggolongan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (Sachmitz 1971 inLumbantobing 1996).

Alkalinitas merupakan gambaran kapasitas air dalam menetralkan asam,

sehingga alkalinitas dapat disebut juga sebagai kapasitas penyangga (buffer

capacity) terhadap perubahan pH perairan. Keberadaan alkalinitas perairan

berkaitan dengan kandungan karbonat yang berasal dari pelapukan batuan dan

tanah yang terlarut dalam air. Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi secara tidak

langsung akan berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas perairan.

Perairan alami biasanya memiliki nilai alkalinitas sekitar 40 mg/l CaCO3 (Boyd

(39)

19

2.6.9. Unsur Hara (Nutrien)

Unsur hara yang penting di perairan adalah nitrogen dan fosfor. Nitrogen di

perairan biasanya dalam bentuk nitrogen bebas, nitrat, nitrit, ammonia, dan

amonium. Unsur fosfor dapat ditemukan dalam bentuk senyawa anorganik yang

terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat

(Effendi 2003).

Nitrat dan amonia merupakan sumber utama nitrogen di perairan serta

sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik

maupun alga dan pada umumnya konsentrasi nitrat di perairan tidak tercemar

biasanya lebih tinggi daripada konsentrasi amonia. Nitrat juga merupakan zat

hara penting bagi organisme autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas

pertumbuhan (Eaton et al.1995). Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan

bersifat stabil, sedangkan nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat

sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen.

Kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter.

Kadar nitrat yang lebih dari 5 mg/liter menggambarkan terjadinya pencemaran

antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia. Pada perairan yang menerima

limpasan dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, kadar nitrat

dapat mencapai 1.000 mg/liter (Davis & Cornwell 1991). Kadar nitrit di perairan

relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Senyawa nitrat dapat

dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi

2003).

Sumber amonia di perairan berasal dari proses penguraian nitrogen organik

(protein dan urea) dan nitrogen anorganik (tumbuhan dan biota perairan yang

telah mati) oleh mikroba jamur (proses amonifikasi). Perairan dengan pasokan

oksigen cukup jarang ditemukan Amonia. Kadar amonia di perairan alami

biasanya tidak lebih dari 0,1 mg/liter (McNeely et al. 1979). Amonia banyak

digunakan dalam proses produksi urea, industri bahan kimia, serta industri bubur

kertas. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran

bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpahan pupuk

(40)

Unsur fosfor (P) di alam mayoritas berada dalam bentuk fosfat yang

merupakan bentuk hasil oksidasi sempurna. Fosfat yang dijumpai dalam air

merupakan hasil pelapukan dan terlarutnya mineral fosfat karena erosi tanah,

pupuk, proses asimilasi dan disimilasi tumbuhan, deterjen, limbah industri dan

domestik. Fosfat yang terdapat dalam perairan biasanya terdapat dalam bentuk

terlarut dan tak terlarut. Menurut Goldman et al.(1983) unsur P merupakan kunci

dalam produktivitas primer dan kesuburan suatu perairan yang biasanya terdapat

dalam jumlah sedikit, sehingga unsur ini sering dianggap sebagai faktor pembatas

bagi produktivitas perairan.

Kandungan fosfat yang terlarut di perairan alami pada umumnya tidak lebih

dari 0,10 ppm, sedangkan air sungai pada umumnya mempunyai kandungan fosfat

berkisar 0,001 – 0,05 ppm (Jorgensen 1980). Kandungan fosfat dalam perairan

yang tinggi akbat masuknya pencemaran bahan organik dari limbah rumah tangga

(domestik) maupun industri, dan daerah pertanian dengan dipupuk yang

(41)

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 6 bulan mulai Desember 2010 sampai Mei

2011. Sampel perifiton dan parameter kualitas air diambil setiap bulan pada

Sungai Ciliwung bagian hulu sampai bagian tengah di 4 lokasi (Gambar 4)

berdasarkan pertimbangan masuknya bahan pencemar organik yang berasal dari

lingkungan sekitar sungai sehingga mewakili kondisi perairan dengan tingkat

gangguan (pencemaran) mulai kategori belum tercemar hingga tercemar sedang

pada ekoregion yang sama.

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan sampel perifiton di Sungai Ciliwung.

Kondisi dan letak posisi lokasi penelitian ditentukan berdasarkan

pertimbangan adanya aktivitas antropogenik seperti tercantum dalam Tabel 3.

(42)

Tabel 3. Lokasi penelitian berdasarkan kondisi ekositem Sungai Ciliwung.

Penelitian dilakukan dengan metode Post Fakto Deskriptif yaitu

pengambilan sampel secara langsung di lapangan dan dicari pengaruh masuknya

unsur hara (N dan P) terhadap struktur komunitas perifiton pada setiap stasiun

terpilih sepanjang ekosistem perairan Sungai Ciliwung.

Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

1. Variabel tera yaitu penilaian kualitas sampel air berdasarkan pengukuran

parameter fisika, kimia, dan biologi (perifiton) terhadap parameter utama

maupun penunjang baik secara in situ: oksigen terlarut, pH, konduktivitas,

suhu, dan total padatan terlarut (TDS) maupun parameter yang dianalisis

di laboratorium (eksitu) antara lain: TN, NO2, NO3, NH4, TP, o-PO4dan

COD. Sedangkan parameter biologi diambil perifiton yang berupa algae

dan diatom dari 3 buah batu tenggelam yang diambil secara acak

sepanjang lokasi sampling.

2. Variabel kerja yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi penilaian

kondisi habitat berdasarkan protokol USEPA (Barbour et al. 1999),

penilaian kualitas perairan berdasarkan indeks pencemaran Kirchoff

(1991) dan penilaian Indeks Integritas Biotik Perifiton (perifiton index

(43)

23

Peralatan maupun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini seperti

tercantum dalam tabel 4 di bawah:

Tabel 4. Parameter dan metode yang digunakan dalam penelitian (APHA 1995).

Parameter Satuan Alat/Metoda Analisis

A. Morfometrik

1. Lebar sungai m Meteran In situ

2. Kedalaman m Meteran In situ

3. Kecepatan arus m/detik Current meter Perhitungan

4. Debit m3/dtk Perhitungan

1. Perifiton sel/cm2 Pengerikan dengan sikat pada substrat

In situdan

laboratorium

2. Klorofil-a mg/l Spektrofotometer Laboratorium

3.3. Metoda Sampling Perifiton

Perifiton dari setiap stasiun terpilih disampling dengan mengambil secara

acak 3 buah batu yang terendam sebagai ulangan, kemudian seluruh permukaan

batu disikat dengan sikat gigi untuk melepaskan perifiton yang menempel, sampel

perifiton kemudian dimasukkan dalam botol dan diawetkan dengan formalin 5%

(44)

rafter di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 x 10. Identifikasi perifiton

menggunakan buku acuan identifikasi dari Needham & Needham (1963); Ellen JC

(1996); Biggs BJF & Kilroy C (2000); Lavoie et al. (2008); serta Bellinger &

Sigee (2009). Identifikasi dilakukan di laboratorium Planktonologi Pusat

Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong.

Luas permukaan batu yang dikerik dihitung dengan pendekatan volumetrik

yaitu benda pejal yang diketahui luasan tetapnya seperti kubus, persegi panjang

maupun tabung dengan bermacam ukuran (besar dan kecil) dimasukkan dalam

wadah berisi air sehingga air yang didesak merupakan volume dari benda tersebut.

Data luas dan volume air kemudian dihitung persamaan regresinya dan diperoleh

persamaan garis linear

Y = 0,6926 X + 6,8561 dengan R2= 0,961 Dengan:

Y = Volume hasil pengukuran X = Luas total permukaan batu

3.4. Penilaian Perifiton

Data perifiton yang diperoleh dari setiap lokasi sampling dilakukan

analisis dan dihitung kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman,

maupun indeks dominansinya, selain itu juga dilakukan penilaian berdasarkan

variabel kerja yang telah ditentukan dalam Indeks Integrasi Biotik Perifiton

(perifiton index biotic integrity/ PIBI) guna memudahkan penilaian kondisi

perairan berdasarkan keadaan perifitonnya.

3.4.1. Kelimpahan

Kelimpahan perifiton pada setiap titik lokasi sampling dihitung dengan

menggunakan rumus modifikasi Eaton et al.1995 sebagai berikut:

Dengan:

N : Kelimpahan perifiton (sel/cm2)

n : Jumlah perifiton yang diamati (sel)

As : Luas substrat yang dikerik (cm2) untuk perhitungan perifiton

Acg: Luas penampang permukaan cover glass(mm2)

(45)

25

Vt : Volume konsentrasi pada botol contoh untuk perhitungan perifiton (ml)

Vs : Volume konsentrasi dalam cover glass (ml)

3.4.2. Indeks Keanekaragaman

Tingkat stabilitas komunitas atau kondisi struktus komunitas dari

keanekaragaman jumlah jenis organisme yang terdapat dalam suatu area. Nilai

keanekaraman jenis pada perifiton dapat dihitung berdasarkan modifikasi Indeks

Shannon-Wiener (Odum 1971) sebagai berikut:

Dengan:

H’ : Indeks Keanekaragaman pi : ni/N (proporsi jenis ke-i) ni : Jumlah individu jenis ke-i N : jumlah total individu

Menurut Wilhm dan Doris (1968), nilai indeks keanekaragaman populasi

dapat menggambarkan kondisi perairan. Kriteria indeks keanekaragaman tersebut

diklasifikasikan sebagai berikut.

H’ < 2,3026 : Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap genus rendah dan kestabilan komunitas rendah. Komunitas mengalami gangguan faktor lingkungan

2,3026 < H’ < 6,9078 : Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap genus sedang dan kestabilan komunitas sedang. Komunitas mudah berubah

H’ > 6,9078 : Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap genus tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. Faktor lingkungan yang baik untuk semua jenis dalam habitat.

3.4.3. Indeks Keseragaman

Keseragaman merupakan upaya untuk mengetahui komposisi setiap genus

dalam suatu komunitas dengan cara membandingkan nilai indeks keanekaragaman

dengan nilai maksimumnya. Rumus perhitungan indeks keseragaman menurut

(46)

Dengan:

E : Indeks keseragaman H’ : Indeks keanekaragaman

H’maks : Nilai keanekaragaman maksimum

S : Jumlah genus

Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0-1 (Odum 1971). Semakin

kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasinya. Artinya penyebaran

individu tiap jenis tidak merata atau ada kecenderungan satu genus mendominasi.

Sebaliknya, apabila nilai E mendekati 1 maka penyebaran individu tiap jenis

cenderung merata atau memiliki tingkat keseragaman yang tinggi.

3.4.4. Indeks Dominansi

Nilai indeks dominansi (Odum 1971) digunakan untuk mengetahui ada

tidaknya jenis tertentu yang mendominasi suatu komunitas. Nilai indeks

dominansi dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Dengan :

C : Indeks Dominansi ni: Jumlah indeks ke-i N : Jumlah total individu

Kisaran nilai indeks dominansi adalah antara 0-1. Nilai yang mendekati nol

menunjukkan bahwa tidak ada genus dominan dalam komunitas. Hal ini

menunjukkan bahwa kondisi struktur komunitas dalam keadaan stabil.

Sebaliknya, nilai yang mendekati 1 menunjukkan adanya dominansi jenis yang

menunjukkan kondisi stuktur komunitas dalam keadaan labil dan terjadi tekanan

ekologis.

3.4.5. Indeks Toleransi Pencemaran

Toleransi polusi indeks (PTI) untuk ganggang menyerupai indeks

(47)

27

(1979) membedakan tiga kategori diatom sesuai dengan toleransinya terhadap

peningkatan pencemar, spesies diberi nilai 1 adalah yang paling toleran (misalnya,

Nitzschia palea atau Gomphonema parvulum) dan 3 untuk spesies yang relatif

sensitif. Indeks toleransi pencemaran dapat dihitung dengan persamaan sebagai

berikut:

Dengan:

n = jumlah sel dihitung untuk spesies i ti = toleransi nilai spesies i

N = total jumlah sel dihitung

3.4.6. Biomassa Perifiton

Pengukuran biomassa perifiton dilakukan dengan melakukan analisis

klorofil-a maupun massa abu berat kering (Ash-free dry mass/AFDM). Klorofil-a

mengindikasikan jumlah total keberadaan organisme autotrofik, sedangkan

AFDM merupakan jumlah total material organik dalam perairan (sampel).

Perhitungan biomassa dari klorofil-a adalah sebagai berikut:

Dengan:

 Absorban sebelum 665 dan Absorban sesudah 665 adalah absorban hasil pembacaan pada panjang gelombang 665 sebelum dan sesudah pengasaman.

 28,66 adalah koefisien penyerapan klorofil-a menurut Sartory & Grobbelaar (1984)

Sedangkan biomassa dari perhitungan AFDM diperoleh dari rumus:

Dengan:

AFDM : Berat kering bebas abu (mg/m2)

3.4.7. Penilaian Metrik PIBI

Metrik-metrik yang digunakan dalam penilaian PIBIditentukan berdasarkan

kondisi lingkungan perairan Sungai Ciliwung sehingga diharapkan dapat hasil Klor-a=

[(absorban sebelum 665– absorban sesudah 665) x 28,66 x Vol. sampelx Vol. ekstraksi]

Vol. hasil penyaringan sub-sampel x luas subtrat

AFDM=

[{(Berat cawan+filter+sampel keringberat cawan+filter+sampel setelah diabukan)}xVol. sampel]

(48)

penilaian yang sesuai dengan kondisi perairan yang sebenarnya. Adapun metrik

dan perhitungan dalam PIBIseperti disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Metrik dalam PIBI(Hillet al.2000)

No. Metrik Perhitungan*

1 Kekayaan taksa Jumlah jenis target/Jumlah seluruh jenis

yang ditemukan

2 Keanekaragaman (Indeks keanekaragaman)

3 Indeks Toleransi Polusi (Jumlah sel diatom x Nilai toleransi/Jumlah total sel)

4 Indeks Cianobacteria 1-(Jumlah kelimpahan

Cianobacteria/Jumlah kelimpahan total)

5 Indeks Pengendapan 1-(Jumlah diatom penendapan/Jumlah

kelimpahan total diatom)

6 Indeks Eutraphentik 1-(Jumlah diatom eutraphentik/ Jumlah

kelimpahan total diatom)

7 Index achnantes minutissima 1-(Jumlah diatom achnantes/ Jumlah kelimpahan total diatom)

8 Klorofil a Median klorofil-a/(klorofil-a (mg/m2) +

Median klorofil-a)

9 Biomassa Median AFDM/(AFDM (mg/m2) +

Median AFDM)

10 Indeks Autotrophik (IA) Median IA/(IA (mg/m2) + Median IA) *Masing-masing metrik kemudian dikalikan dengan 10.

Total skore PIBI kemudian dievaluasi berdasarkan kriteria menurut

McCormick et al.2001 sebagai berikut:

Nilai skor PIBI> 95 : Kategori perairan sangat baik

Nilai skor 85 <PIBI< 95 : Kategori perairan baik

Nilai skor 65 <PIBI< 85 : Kategori perairan sedang

Nilai skor PIBI< 65 : Kategori perairan buruk

3.5. Kualitas Perairan Sungai Ciliwung

Guna mengetahui kondisi lingkungan perairan Sungai Ciliwung, maka

dilakukan perhitungan indeks pencemaran perairan berdasarkan beberapa

parameter kualitas perairan seperti oksigen terlarut, pH, suhu, nitrat, amonium,

orto phospat dan konduktivitas dengan menggunakan rumus indeks pencemaran

(49)

29

Dengan:

CI = Indek Pencemaran Kirchoff

qi = Nilai karakteristik sub indek parameter dari kurva baku. wi = Nilai bobot kepentingan setiap parameter

Hasil perhitungan Indeks Pencemaran Kirchoff (1991) kemudian dievaluasi

sebagai berikut:

 0 – 27 = Kondisi perairan tercemar berat

 28 – 56 = Kondisi perairan tercemar sedang

 57 – 83 = kondisi perairan tercemar ringan

 84 – 100 = Kondisi perairan belum tercemar Sumber Kirchoff (1991)

3.6. Kondisi Habitat

Perkiraan terjadinya gangguan pada habitat di sekitar lokasi sampling

dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (scorring) yang diadopsi dari

metode Barbour et al. (1999). Penilaian habitat yang diskoring meliputi: substrat

epifaunal atau ketersediaan vegetasi penutup, banyaknya batuan yang tertanam

pada dasar sungai (embeddedness), banyaknya kombinasi antara kecepatan aliran

dan kedalaman, endapan sedimen, status aliran dari sungai, perubahan saluran,

keberadaan jeram dan kelokan sungai, stabilitas pinggir sungai, perlindungan

pinggir sungai oleh vegetasi, dan lebar zone vegetasi riparian. Kriteria gangguan

pada habitat sungai dapat dilihat dalam Tabel 5. Daerah yang mempunyai nilai

skor habitat tertinggi atau dalam kategori optimal diharapkan dapat dijadikan

sebagai kandidat situs rujukan.

Tabel 6. Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari protocol

US-EPA (Barbour et al. 1999).

Guna mengetahui hubungan antara kelimpahan perifiton dengan variabel

(50)

korelasi canonical (Canonical Corespondence Analysis (CCA)), dimana

sebelumnya dilakukan seleksi untuk menghilangkan autokorelasi antar variabel

sehingga dapat dilakukan pengujian secara multikolinearitas (Ter Braak &

Verdonschot 1995). Penghitungan ordinasi CCA dilakukan dengan menggunakan

softwareMVSP versi 3.1.

Guna mengetahui hubungan antar metrik dalam PIBI dengan kualitas

perairannya dalam hal ini unsur hara N dan P dilakukan uji korelasi spearman.

Analsis uji korelasi Spearman menggunakan software STATISTICA versi 6 (Stat

soft Inc.).

Berdasarkan hasil penilaian maupun skoring yang diperoleh dari metrik

utama (kualitas perairan, indeks habitat, dan penilaian PIBI) kemudian dibuat

grafik radar untuk mempermudah interpretasi kondisi sebenarnya dari lokasi

penelitian, dimana pola segitiga yang ditunjukkan dalam grafik radar jika semakin

besar (semakin mendekati ujung/ nilai maksimal) menunjukkan kondisi yang

semakin baik, sebaliknya jika pola segitiga radar yang ditunjukkan semakin kecil

(memusat) maka menunjukkan kondisi lokasi penelitian telah mengalami

(51)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakterisasi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian Sungai Ciliwung bagian hulu hingga tengah memiliki

ketinggian antara 1,289 sampai 163 m diatas permukaan laut. Kondisi ini

merupakan ciri sungai pegunungan yang memiliki arus deras berkisar antara 0,63

sampai 1,09 m/dt, dengan dasar sungai berbatu, kerikil dan pasir.

Stasiun penelitian I (Gunung Mas) merupakan lokasi yang masih baik

terletak di kawasan hutan lindung, belum ada aktivitas baik perumahan maupun

perkebunan teh. Kondisi air masih jernih dengan kecepatan arus deras dan debit

yang relatif stabil, kedalaman kolom air berkisar antara 0,12 – 0,23 m dengan

rata-rata kedalaman 0,17 m. Substrat dasar sungai didominasi oleh batuan besar

yang tertanam. Bantaran sungai masih cukup baik dengan pepohonan yang masih

lebat.

Stasiun penelitian II (Kp. Pensiunan) berlokasi di perkebunan teh, kondisi

perairan masih jernih dengan kisaran turbiditas 12,72 – 15,60 NTU dan fluktuasi

debit cukup besar yaitu berkisar antara 0,40 – 1,00 m3/dt, sedangkan kecepatan arus 0,8 – 1,52 m/dt dengan rata-rata 1,00 m/dt. Lebar badan sungai sangat

dipengaruhi oleh debit air sungai yaitu berkisar antara 2,1 – 4,13 m dengan

rata-rata 2,78 m, sedangkan kedalaman berkisar 0,20 – 0,34 m dengan rata-rata-rata-rata

kedalaman 0,26 m.

Stasiun penelitian III (Kp. Jogjogan) merupakan lokasi yang sekitarnya

terdapat aktivitas pertanian, perkebunan serta sudah melewati kawasan penduduk

dan tempat peristirahatan. Kondisi airnya sedikit keruh dengan nilai turbiditas

berkisar antara 24,32 – 26,83 NTU dengan rata-rata 25,75 NTU. Substrat dasar

pada lokasi ini didominasi oleh batu besar yang tertanam kuat dan pasir yang

mencapai 92,17 %. Lebar badan air relatif tetap yaitu 18,35 m, kedalaman sungai

berkisar 0,20 – 0,30 m dengan rata-rata 0,26 m. Kecepatan arus pada lokasi ini

Gambar

Gambar 3. Publikasi ekologi perifiton dari awal abad 20th hingga tahun 2008(Scott 2010).
Tabel 1. Distribusi alga dalam kaitannya dengan arus (Round 1964)
Tabel 2.  Penggolongan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (Sachmitz 1971 in Lumbantobing 1996)
Gambar 4. Peta lokasi pengambilan sampel perifiton di Sungai Ciliwung.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun aspek yang dievaluasi oleh para siswa adalah aspek materi, bahasa, ilustrasi dan sikap dengan nilai rata-rata untuk masing-masing evaluasi adalah, 3,9 ; 3,97 ;

[r]

Subbagian Tata Usaha pada Fakultas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf l dan huruf m mempunyai tugas melakukan urusan perencanaan, keuangan, akademik,

Pemerintah daerah meminta pengembang untuk menyerahkan prasarana, sarana, dan utilitas perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan

berkilauan bermain dengan sosok mu yang naif), mengandung makna wanita bermain sendirian dengan air ombak yang terhempas.. Matahari oranye), mengandung makna matahari

DATA DI KJUR BI D PROPAM POLDA NTB SEMESTER I I TAHUN 2016. KET PENDI

Rangkuti (2004:41), Kualitas yang dirasaadalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang berkaitan

investor dengan tujuan investasi seperti ini adalah dengan menggunakan siklus “grand cycle” dan berselancar seiring perubahan ekonomi yang terjadi pada siklus