• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fluktuasi Harga Komoditas Pangan Dan Dampaknya Terhadap Inflasi Di Provinsi Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fluktuasi Harga Komoditas Pangan Dan Dampaknya Terhadap Inflasi Di Provinsi Banten"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

ASTARI FEBRIANI SETIAWAN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakana bahwa skripsi berjudul Fluktuasi Harga Komoditas Pangan dan Dampaknya terhadap Inflasi di Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)
(5)

Dampaknya terhadap Inflasi di Provinsi Banten. Dibimbing oleh ADI HADIANTO.

Inflasi di Provinsi Banten berfluktuatif. Kelompok yang berkontribusi besar yaitu kelompok bahan makanan, salah satunya komoditas pangan. Oleh karena itu, harga komoditas pangan menjadi isu penting di Provinsi Banten. Penelitian ini menganalisis harga komoditas pangan, yaitu beras, jagung, cabai merah keriting, bawang merah, daging sapi murni, daging ayam ras dan telur ayam ras. Data yang digunakan adalah data time series bulanan Januari 2011 hingga Desember 2014. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menjelaskan perkembangan harga komoditas pangan di Provinsi Banten; 2) Menganalisis dampak fluktuasi harga komoditas pangan terhadap inflasi di Provinsi Banten; 3) Menganalisis keterkaitan inflasi antar wilayah Provinsi Banten. Dalam penelitian ini metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, model VAR (Vector Autoregression) atau VECM (Vector Error Correction Model) dan Uji kausalitas Granger. Hasil dari analisis deskriptif menunjukkan selama 2011-2014, perkembangan harga komoditas beras, jagung, cabai merah keriting, bawang merah, daging sapi murni, daging ayam ras dan telur ayam ras menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Hasil analisis VAR menunjukkan bahwa dalam jangka pendek hanya komoditas cabai merah keriting yang berdampak secara signifikan terhadap inflasi di Provinsi Banten. Pada jangka pajang terdapat enam komoditas yang berdampak secara signifikan terhadap inflasi di Provinsi Banten, yaitu daging sapi murni, jagung, beras, daging ayam ras, telur ayam ras serta cabai merah keriting. Hasil uji kausalitas Granger menunjukkan bahwa hanya terdapat hubungan satu arah, yaitu inflasi Banten mempengaruhi inflasi Lampung.

(6)

Inflation in Banten Province. Supervised by ADI HADIANTO.

Banten Province has a fluctuative inflation.The highest inflation is contributed by food category, especially food commodity. Therefore, the price of food commodity become an important issue in the province of Banten. This research analyze the prices of food commoditiy, such as rice, corn, curly red chili, onion, beef, chicken meat and layer egg. The data that used in this research are the monthly time series data from January 2011 to December 2014. The purpose of this research were: 1) To describe the food commodity price developments in Banten; 2) To analyze fluctuations of food commodity prices and their impact on inflation in Banten; 3) To analyze the inflation linkages between regions around Banten Province. This research using descriptive analysis, VAR models (Vector Autoregression) or VECM (Vector Error Correction Model, and Granger causality. The results of a descriptive analysis shows during 2011-2014, the developments of commodity prices such as rice, corn, curly red chili, onion, beef, chicken meat and layer eggs generally showed an upward trend. VAR analysis results showed that in the short term only curly red chili which have a significant impact on inflation in Banten Province. On the long-term there are six commodities that impact significantly on inflation in Banten province, those are beef, corn, rice, chicken meat, layer egg and red chili curly. The results of Granger causality test show that there is only one way relation that is Banten inflation affecting Lampung inflation.

(7)

ASTARI FEBRIANI SETIAWAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 hingga Juni 2015 ini ialah Ekonomi Pertanian, dengan judul Fluktuasi Harga Komoditas Pangan dan Dampaknya terhadap Inflasi di Provinsi Banten.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Orang tua tercinta, Iwan Setiawan dan Lilis Noviarini, serta adik Muhammad Fajrin serta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya yang diberikan kepada penulis.

2. Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan masukan selama penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Novindra, SP, M.Si selaku dosen penguji utama dan Ibu Arini Hardjanto, SE, M.Si selaku dosen penguji dari perwakilan departemen yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini. 4. Bapak Ir. Nindiantoro, MSP selaku dosen pembimbing akademik selama

menjalani perkuliahan.

5. Staf Pegawai di Pusat Data dan Informasi dan Badan Ketahanan Pangan di Kementerian Pertanian, serta Badan Pusat Statistik yang telah membantu selama pengumpulan data.

6. Keluarga besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB, khususnya teman-teman ESL 48 atas kebersamaannya.

7. Sahabat tercinta Windy Melgiana yang selalu memberikan semangat dan telah membantu dalam penyusunan skripsi saya.

8. Sahabat terdekat yaitu Rani Rizqiarati, Kurnia Safitri, Vyatra Pratiwi serta rekan-rekan satu bimbingan Fajar Djamana, Della Rosniawati, Kartika Dwilestari, Gerry Al hasyir, Nur Mulyani, Fidaus Herdian, Yosia Silalahi atas segala dukungan dan semangatnya.

Bogor, Agustus 2015

(12)
(13)

Halaman

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

I PENDAHULUAN 1

1.1Latar Belakang 1

1.2Perumusan Masalah 6

1.3Tujuan Penelitian 7

1.4Ruang Lingkup Penelitian 8

II TINJAUAN PUSTAKA 9

2.1Pangan 9

2.2Inflasi 9

2.3Mekanisme Pembentukan Harga Komoditas Pangan 13

2.4Fluktuasi Harga Komoditas Pangan 14

2.5Keterkaitan Harga Komoditas Pangan dengan Inflasi 17

2.6Vector Autoregression (VAR) 18

2.7Kausalitas Granger 22

2.8Penelitian Terdahulu 23

III KERANGKA PEMIKIRAN 27

3.1Kerangka Pemikiran Operasional 27

IV METODE PENELITIAN 29

4.1Jenis dan Sumber Data 29

4.2Metode Analisis Data 29

4.2.1Analisis Deskriptif 30

4.2.2Vector Autoregression (VAR) 30

4.2.3Uji Kausalitas Granger 33

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN HARGA KOMODITAS PANGAN DI PROVINSI BANTEN 35

5.1Perkembangan Harga Beras 35

5.2Perkembangan Harga Jagung 37

(14)

5.4Perkembangan Harga Bawang Merah 40

5.5Perkembangan Harga Daging Sapi Murni 41

5.6Perkembangan Harga Daging Ayam Ras 42

5.7Perkembangan Harga Telur Ayam Ras 44

VI FLUKTUASI HARGA KOMODITAS PANGAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP INFLASI DI PROVINSI BANTEN 47

6.1Uji Stasioneritas Data 47

6.2Penentuan Lag Optimal 48

6.3Uji Stabilitas Model VAR 49

6.4Uji Kointegrasi 49

6.5Estimasi Vector Error Corection Model (VECM) 50

6.6Analisis Impulse Response Function (IRF) 52

6.7Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) 55

VII KETERKAITAN INFLASI ANTAR WILAYAH SEKITAR PROVINSI BANTEN 59

VIII SIMPULAN DAN SARAN 63

8.1Simpulan 63

8.2Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 65

LAMPIRAN 69

(15)

Nomor Halaman 1.1 Perkembangan konsumsi energi pangan penduduk Indonesia tahun

2009-2013 2

1.2 Inflasi menurut kelompok barang dan jasa di Provinsi Banten tahun 2010-2014 4

2.1 Matriks penelitian terdahulu 24

4.1 Matriks analisis data 29

5.1 Rata-rata perubahan harga komoditas pangan di Provinsi Banten periode 2011-2014 35

5.2 Pendugaan produksi dan konsumsi beras di Provinsi Banten tahun 2010-2013 37

5.3 Pendugaan produksi dan konsumsi jagung di Provinsi Banten tahun 2009-2013 38

5.4 Pendugaan produksi dan konsumsi cabai merah di Provinsi Banten tahun 2009-2013 39

5.5 Pendugaan produksi dan konsumsi bawang merah di Provinsi Banten tahun 2009-2013 41

5.6 Pendugaan produksi dan konsumsi daging sapi di Provinsi Banten tahun 2010-2013 42

5.7 Pendugaan produksi dan konsumsi daging ayam ras di Provinsi Banten tahun 2010-2013 44

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1 Perbandingan perkembangan inflasi umum Provinsi Banten dengan

inflasi umum Indonesia tahun 2009-2014 4

2.1 Ilustrasi inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) 12

2.2 Ilustrasi inflasi desakan biaya (cost push inflation) 13

2.3 Kurva keseimbangan dalam mekanisme pembentukan harga 14

2.4 Ilustrasi perubahan harga komoditas dari sisi penawaran 16

2.5 Ilustrasi perubahan harga komoditas dari sisi permintaan 17

3.1 Skema kerangka pemikiran operasional 28

5.1 Perkembangan harga beras di Provinsi Banten periode Januari 2011-Desember 2014 36

5.2 Perkembangan harga jagung di Provinsi Banten periode Januari 2011-Desember 2014 37

5.3 Perkembangan harga cabai merah keriting di Provinsi Banten periode Januari 2011-Desember 2014 39

5.4 Perkembangan harga bawang merah di Provinsi Banten periode Januari 2011-Desember 2014 40

5.5 Perkembangan harga daging sapi murni di Provinsi Banten periode Januari 2011-Desember 2014 42

5.6 Perkembangan harga daging ayam ras di Provinsi Banten periode Januari 2011-Desember 2014 43

5.7 Perkembangan harga telur ayam ras di Provinsi Banten periode Januari 2011-Desember 2014 44

6.1 Hasil analisis Impulse Response Function (IRF) 53

6.2 Besar pengaruh keseluruhan variabel terhadap inflasi Provinsi Banten 56

7.1 Perbandingan perkembangan inflasi Provinsi Banten, Provinsi Lampung dan Provinsi DKI Jakarta tahun 2010-2014 59

(17)

1 Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Harga Konsumen

Komoditas Pangan Provinsi Banten 71

2 Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Lampung 73

3 Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi DKI Jakarta 75

4 Uji stasioneritas data 78

5 Hasil penentuan lag optimal 82

6 Uji stabilitas model VAR 82

7 Uji kointegrasi 83

8 Hasil estimasi VECM 92

9 Hasil estimasi IRF 94

10 Hasil estimasi FEVD 96

(18)
(19)

1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar yang tercantum dalam Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Oleh karena itu terpenuhinya kebutuhan pangan suatu negara merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. Pentingnya pangan tidak terlepas dari konsep ketahanan pangan.

Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau. Menurut Ariani (2007) menyebutkan bahwa konsep ketahanan pangan memiliki tiga cakupan, yaitu: (1) Ketersediaan pangan yang mencakup produksi, cadangan dan pemasukan; (2) Distribusi atau aksesibilitas mencakup fisik dan ekonomi; (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecakupan gizi individu. Oleh karena itu, ketersediaan pangan tidak hanya dilihat dari aspek keterjangkauan fisik saja tetapi juga dari aspek ekonomi yaitu terjangkau oleh daya beli masyarakat.

(20)

Tabel 1.1 Perkembangan konsumsi energi pangan penduduk Indonesia tahun

Provinsi Banten merupakan salah satu provinsi yang memiliki populasi yang tinggi di Indonesia, sehingga membutuhkan ketahanan pangan pada berbagai komoditas yang ada. Beberapa periode waktu yang terjadi di Provinsi Banten menunjukkan adanya kelangkaan terhadap beberapa komoditas yang dapat menimbulkan gejolak harga yang berfluktuatif. Oleh karena itu, ketersediaan terhadap berbagai komoditas sangat penting dalam menjaga stabilitas harga dan stabilitas perekonomian secara makro di suatu wilayah.

Provinsi Banten mengalami pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012 jumlah penduduk Provinsi Banten tercatat 11 248 947 jiwa mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi 11 452 491 jiwa (BPS Prov. Banten, 2013). Berdasarkan data statistik pendapatan per kapita penduduk Povinsi Banten mengalami peningkatan secara konstan dari tahun ke tahun, pada tahun 2012 pendapatan per kapitanya yaitu sebesar Rp 19 038 000 meningkat menjadi Rp 21 350 000 pada tahun 2013 (BPS Prov. Banten, 2014a). Menurut Tomek (2000), sumber utama peningkatan permintaan komoditas pangan adalah peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan. Jumlah penduduk dan pendapatan yang semakin meningkat maka menyebabkan meningkatnya permintaan pangan di Provinsi Banten.

(21)

tingkat fluktuasi harga pangan dalam mencapai kestabilan harga pangan (Firdaus, 2009). Fluktuasi harga komoditas pangan pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara kuantitas pasokan dan kuantitas permintaan yang dibutuhkan konsumen (Irawan, 2007).

Dalam Prastowo et al. (2008), dijelaskan bahwa dalam komoditas pangan pembentukan harga lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran karena sisi permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangannya. Karakteristik penawaran dan permintaan komoditas pertanian cenderung bersifat inelastis terhadap perubahan harga, petani sebagai produsen tidak dapat serta merta meningkatkan produksinya ketika harga naik, sebaliknya konsumen tidak dapat mengurangi permintaannya. Kondisi tersebut membuat harga komoditas pangan menjadi sensitif terhadap guncangan. Furlog dan Ingenito (1996) menyatakan bahwa fluktuasi harga komoditas dapat dijadikan indikator inflasi karena memiliki kemampuan merespon secara cepat terhadap berbagai guncangan ekonomi (economics shocks) yang terjadi, seperti peningkatan supply dan demand shocks, dan guncangan bukan ekonomi (non economics shocks) seperti bencana alam yang dapat menghambat jalur distribusi komoditas tersebut.

(22)

Sumber: BPS RI dan BPS Prov. Banten, 2015

Gambar 1.1 Perbandingan perkembangan inflasi umum Provinsi Banten dengan inflasi umum Indonesia tahun 2009-2014

Komoditas pangan termasuk dalam kelompok bahan makanan. Berdasarkan kelompok barang dan jasa, inflasi bahan makanan merupakan kelompok yang paling berfluktuatif dalam inflasi di Provinsi Banten. Selama periode tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat inflasi kelompok bahan makanan menyumbang inflasi yang cukup besar jika dibandingkan dengan kelompok barang dan jasa lainnya. Pada tahun 2014 tercatat inflasi kelompok bahan makanan mencapai 12.63%. Selain itu dalam perkembangannya dari tahun ke tahun bahan makanan termasuk kelompok barang dan jasa yang menyumbang inflasi yang cukup besar dalam inflasi umum Provinsi Banten.

Tabel 1.2 Inflasi menurut kelompok barang dan jasa di Provinsi Banten tahun 2010-2014

Kelompok Barang dan Jasa Inflasi Tahunan (%)

2010 2011 2012 2013 2014

Umum 6.10 3.45 4.50 9.65 10.20

1. Bahan Makanan 14.10 4.76 6.46 11.41 12.63

2. Makanan Jadi,Minuman, Rokok dan

Tembakau 3.75 2.95 5.58 9.58 12.57

3. Perumahan, Air, Listrik, Gas, Bahan

Bakar 4.41 3.16 2.72 6.54 8.75

Sumber: BPS Prov. Banten, 2015b

Komoditas pangan menjadi perhatian karena kelompok bahan makanan merupakan penyumbang inflasi yang cukup besar. Keberhasilan dalam

(23)

mengendalikan harga komoditas pangan akan menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan dalam pengendalian laju inflasi (Prastowo et al., 2008). Pengendalian laju inflasi menjadi pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil dapat memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan rill masyarakat menurun sehingga mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat. Selanjutnya, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam pengambilan keputusan (Riyadh et al., 2009).

Besarnya kontribusi perubahan harga komoditas pangan terhadap inflasi menyebabkan fluktuasi harga pangan menjadi permasalahan penting dalam mengendalikan tingkat inflasi di Provinsi Banten. Secara umum, fluktuasi harga pangan terjadi di berbagai wilayah akibat adanya kenaikan harga yang relatif sama. Hal tersebut terindikasi karena adanya keterkaitan pasar dan adanya persaingan pasokan dari berbagai wilayah meskipun mempunyai jarak yang relatif jauh. Provinsi Banten secara geografis merupakan wilayah yang dekat dengan Provinsi Lampung dan Provinsi DKI Jakarta. Hubungan antar provinsi dalam memasok komoditas pertanian merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan permintaan. Apabila antar provinsi terhubung dalam mekanisme pasar, maka harga-harga komoditas akan bergerak secara bersama-sama membentuk integrasi antar wilayah. Terjadinya integrasi harga antar wilayah dan fluktuasi harga pangan menunjukkan informasi harga direspon pasar dan didukung oleh sarana distribusi yang baik (Kementerian Pertanian, 2015).

(24)

1.2 Perumusan Masalah

Pangan merupakan komoditas strategis dalam pemenuhan konsumsi utama masyarakat. Harga komoditas pangan cenderung mengikuti fluktuasi alami guncangan pasokan dan ketidakstabilan permintaan maupun penawaran, sehingga fluktuasi harga komoditas pangan menjadi permasalahan dalam perekonomian suatu wilayah, salah satunya yaitu Provinsi Banten. Provinsi Banten mengalami peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya. Banyaknya populasi mengakibatkan permintaan terhadap bahan makanan di Banten meningkat, namun terkadang penawaran bahan makanan belum cukup memenuhi permintaan yang ada. Hal tersebut dapat menyebabkan peningkatkan harga bahan pangan yang akhirnya mendorong laju inflasi (Santoso, 2011).

Berdasarkan BPS Prov. Banten (2015b), perubahan harga komoditas bahan makanan mempunyai kontribusi yang cukup besar tehadap inflasi di Provinsi Banten. Hal ini terbukti bahwa selama kurun waktu 2010-2014 kelompok bahan makanan menyubang inflasi yang cukup signifikan terhadap inflasi umum Provinsi Banten (Tabel 1.2).

Pada tahun 2014, inflasi bahan makanan sendiri mencapai 12.63%. Perkembangan inflasi di Provinsi Banten dalam kurun waktu akhir tahun 2014 menunjukkan adanya kenaikan harga bagi beberapa komoditas, yaitu antara lain: beras, jagung, cabai merah, bawang merah, daging sapi, daging ayam ras dan telur ayam. Hal tersebut terjadi karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap kenaikan harga. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah provinsi masih belum memberikan hasil yang optimal dalam menjaga stabilitas harga komoditas yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Banten (BPS Prov. Banten, 2014b). Untuk itu, komoditas tersebut dijadikan sebagai objek penelitian.

(25)

Untuk itu, perlu diketahui bagaimana perkembangan harga komoditas pangan di Provinsi Banten. Perkembangan harga tersebut dianalisis untuk menjelaskan fluktuasi harga masing-masing komoditas pangan. Penjelasan mengenai perkembangan harga komoditas pangan dilakukan pada periode penelitian yaitu bagaimana kecenderungan pola datanya. Kemudian melakukan analisis untuk mengetahui pengaruh fluktuasi harga masing-masing komoditas pangan terhadap inflasi di Provinsi Banten. Analisis ini dilakukan untuk melihat komoditas pangan yang memberikan pengaruh dominan terhadap inflasi di Provinsi Banten.

Fluktuasi harga komoditas pangan pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dan permintaan yang dibutuhkan konsumen (Irawan, 2007). Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa, setiap wilayah membutuhkan wilayah disekitarnya untuk menyediakan komoditas yang tidak dapat dipenuhi oleh wilayah tersebut. Dengan demikian pergerakan inflasi di Provinsi Banten selain memiliki keterkaitan dengan waktu sebelumnya, juga memiliki keterkaitan antara wilayah lain. Untuk itu, selanjutnya melakukan analisis apakah wilayah sekitar seperti Provinsi Lampung dan Provinsi DKI Jakarta memberikan kontribusi inflasi di Provinsi Banten.

Hal ini dilakukan sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan upaya pengendalian inflasi di Provinsi Banten yang dapat dilakukan secara lebih efektif. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka rumusan permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan harga komoditas pangan di Provinsi Banten? 2. Bagaimana dampak fluktuasi harga komoditas pangan terhadap inflasi di

Provinsi Banten?

3. Bagaimana keterkaitan inflasi antar wilayah sekitar Provinsi Banten?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:

(26)

2. Menganalisis dampak fluktuasi harga komoditas pangan terhadap inflasi di Provinsi Banten.

3. Menganalisis keterkaitan inflasi antar wilayah sekitar Provinsi Banten.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup pada penelitian ini adalah:

1. Komoditas utama yang menjadi objek penelitian adalah beras, jagung, cabai merah keriting, bawang merah, daging sapi murni, daging ayam ras dan telur ayam ras.

2. Data harga komoditas yang diteliti merupakan data harga di tingkat konsumen di Provinsi Banten.

3. Data inflasi yang digunakan adalah data Indeks Harga Konsumen (IHK) umum pada tahun 2011-2014 dengan tahun dasar 2007.

4. Keterkaitan wilayah sekitar yang dianalisis yaitu Provinsi Lampung dan Provinsi DKI Jakarta.

(27)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pangan

Pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi sumber daya manusia. Berdasarkan Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.

Indonesia merupakan negara yang masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap sektor pertanian terutama sub sektor bahan pangan yang dikendalikan melalui penetapan harga dasar dan harga tertinggi bahan pangan. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi adanya gejolak harga komoditas pangan yang dapat memberikan dampak buruk terhadap kestabilan harga barang dan jasa pada umumnya (Widiarsih, 2012). Stabilisasi harga pangan dilakukan untuk mendukung terciptanya stabilitas sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Hal tersebut diperlukan, karena apabila terjadi harga pangan yang sangat berfluktuatif maka akan menimbulkan risiko dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan (Sumaryanto, 2009).

Komoditas pangan yang dianalisis pada penelitian ini adalah beras, jagung, cabai merah keriting, bawang merah, daging sapi murni, daging ayam ras dan telur ayam ras. Ketujuh komoditas tersebut termasuk ke dalam kelompok pangan yang fluktuasi harganya sering menjadi sorotan dalam masyarakat. Selain itu, pada perkembangannya ketujuh komoditas menunjukkan kenaikan harga dalam beberapa kurun waktu selama periode penelitian.

2.2 Inflasi

(28)

inflasi kecuali kenaikan tersebut terjadi secara meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya (Santoso, 2011).

Angka inflasi dihitung berdasarkan angka indeks yang dikumpulkan dari beberapa macam barang yang diperjualbelikan di pasar dengan masing-masing tingkat harga. Angka indeks yang memperhitungkan semua harga barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen disebut Indeks Harga Konsumen (IHK). Berdasarkan BPS (2015b), formula perhitungan IHK menggunakan rumus Modified Laspeyers adalah:

In = x 100 (1)

dimana:

In = Indeks bulan n Pn = Harga pada bulan n Pn-1 = Harga pada bulan n-1 P0Q0 = Nilai konsumsi tahun dasar Pn-1Q0 = Nilai konsumsi bulan n-1

Sedangkan laju inflasi inflasi bulanan dihitung dengan rumus:

In = x 100% (2)

dimana:

In = Inflasi bulanan n IHKn = IHK bulan n IHKn-1 = IHK bulanan n-1

(29)

2007. Badan Pusat Statistik mengelompokkan barang dan jasa menjadi tujuh kelompok, yaitu:

1. Kelompok Bahan Makan, meliputi sub kelompok: padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya, daging dan hasilnya, ikan segar, ikan diawetkan, telur, susu dan hasil-hasilnya, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, bumbu-bumbuan, lemak dan minyak, serta bahan makanan lainnya.

2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau, meliputi sub kelompok: makanan jadi, minuman yang tidak beralkohol, serta tembakau dan minuman beralkohol.

3. Kelompok Perumahan, meliputi sub kelompok: biaya tempat tinggal, bahan bakar, penerangan dan air, perlengkapan rumah tangga, serta penyelenggaraan rumah tangga.

4. Kelompok Sandang, meliputi sub kelompok: sandang laki-laki, sandang wanita, sandang anak-anak, serta barang pribadi dan sandang lain.

5. Kelompok Kesehatan, meliputi sub kelompok: jasa kesehatan, obat-obatan, jasa perawatan jasmani, serta perawatan jasmani dan kosmetika.

6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga, meliputi sub kelompok: pendidikan, pelatihan, perlengkapan pendidikan, rekreasi, serta olahraga. 7. Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan, meliputi sub

kelompok: transportasi, komunikasi dan pengiriman, sarana dan penunjang transportasi, serta jasa keuangan.

Oleh karena itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) dapat dihitung per komoditas, sub kelompok komoditas, maupun gabungan seluruh komoditas. Komoditas yang menjadi objek penelitian ini yaitu beras, jagung, cabai merah keriting, bawang merah, daging sapi murni, daging ayam ras dan telur ayam ras termasuk dalam kelompok bahan makanan. Penyebab timbulnya inflasi ada beberapa macam. Mankiw (2000), membedakan inflasi menjadi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu:

(30)

atau kurva agregat supply tetap. Hal tersebut dikarenakan tenaga kerja dalam keadaan full employment atau hampir full employment. Akibatnya, titik keseimbangan yang mencerminkan tingkat harga dan jumlah barang akan bergeser ke kanan mengikuti pergerseran kurva agregat demand dan membentuk keseimbangan baru. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan berdampak pada terjadinya inflasi. Ilustrasi mengenai inflasi tarikan permintaan ditampilkan pada Gambar 2.1.

Tingkat Harga

AS

E2 P2

P1 E1 AD2

AD1

0 Y1 Y2 Jumlah

Sumber: Mankiw, 2000

Gambar 2.1 Ilustrasi inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation)

(31)

Tingkat Harga

AS2

AS1

P2 E2 P 1 E1

AD

0 Y2 Y1 Jumlah

Sumber: Mankiw, 2000

Gambar 2.2 Ilustrasi inflasi desakan biaya (cost push inflation)

Inflasi dapat memberikan dampak yang kurang menguntungkan dalam perekonomian. Ada beberapa masalah sosial yang muncul akibat inflasi yang tinggi yaitu menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, memburuknya distribusi pendapatan dan terganggunya stabilitas ekonomi (Rahardja dan Manurung, 2008). Tingkat inflasi berpengaruh pada sebagian kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah. Masyarakat berpendapatan rendah akan mengalami penurunan daya beli uang yang dimiliki untuk membeli kebutuhan sehari-hari (Suparmono, 2004).

2.3 Mekanisme Pembentukan Harga Komoditas

(32)

terbentuk oleh kurva permintaan dan kurva penawaran yang saling berpotongan. Pada kondisi tersebut jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan sehingga tercapai kondisi keseimbangan harga pasar (equilibrium price) (Lipsey et al., 1995).

Harga

P2 S

E P1

P0 D

Jumlah

0 Q

Sumber: Firdaus, 2009

Gambar 2.3 Kurva keseimbangan dalam mekanisme pembentukan harga

Titik Keseimbangan pada kurva ditunjukkan oleh huruf E. Pada keseimbangan tersebut, tingkat harga sebesar P1 dengan jumlah permintaan dan penawaran yang sama yaitu sebesar Q. Dalam kurva tersebut terdapat surplus produsen dan surplus konsumen. Surplus produsen sebesar P0EP1. Surplus produsen adalah keuntungan yang diterima oleh produsen. Surplus konsumen sebesar P2EP1. Surplus konsumen adalah keuntungan yang didapatkan oleh konsumen.

2.4 Fluktuasi Harga Komoditas Pangan

(33)

tersebut diduga lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran (supply shock) karena sisi permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangan (Prastowo et al., 2008).

Karakteristik penawaran dan permintaan untuk komoditas pangan cenderung bersifat inelastis terhadap perubahan harga. Hal tersebut menyebabkan komoditas pangan memiliki tingkat fluktuasi harga yang tinggi. Menurut Anindita (2008), harga produk pangan relatif fluktuatif karena komoditas pangan mempunyai beberapa sifat, yaitu (1) Keadaan biologi di lingkungan pertanian, seperti hama, penyakit dan iklim; (2) Adanya time lags ketika keputusan dalam menggunakan input dan menjual output; (3) Keadaan pasar, khususnya struktur pasar; (4) Dampak dari institusi, seperti BULOG. Adapun faktor yang menyebabkan fluktuasi harga komoditas pangan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fluktuasi penawaran dan fluktuasi permintaan (Firdaus, 2009).

1. Fluktuasi Penawaran

Penawaran dan permintaan pada komoditas pangan bersifat inelastis. Faktor yang menyebabkan penawaran komoditas pangan bersifat inelastis, yaitu komoditas pangan sangat tergantung oleh faktor alam dan dihasilkan secara musiman, kapasitas memproduksi sektor pertanian cenderung untuk mencapai tingkat yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh perubahan permintaan. Keberhasilan tingkat produksi sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar kemampuan para petani untuk mengendalikannya atau mempunyai sifat uncontrollable.

(34)

Harga

S S1 P E

E’ P1

D

Jumlah 0 Q Q1

Sumber: Firdaus, 2009

Gambar 2.4 Ilustrasi perubahan harga komoditas pangan dari sisi penawaran

2. Fluktuasi Permintaan

(35)

Harga

S

P E

P1 E’

D1 D

Jumlah

0 Q1 Q

Sumber: Firdaus, 2009

Gambar 2.5 Ilustrasi perubahan harga komoditas dari sisi permintaan

2.5 Keterkaitan Harga Komoditas Pangan dengan Inflasi

Christanty (2013) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menangani permasalahan inflasi adalah pengendalian dan pengontrolan terhadap harga komoditas pangan. Dalam keterkaitan harga komoditas pangan dan inflasi, Furlog dan Ingenito (1996) menyatakan bahwa harga komoditas dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Hal ini dikarenakan harga komoditas mampu merespon secara cepat guncangan ekonomi yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan (aggregate demand shock). Selanjutnya harga komoditas juga mampu merespon terhadap guncangan non ekonomi seperti banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya yang dapat menghambat jalur distribusi dari komoditas tersebut.

(36)

2.6 Vector Autoregression (VAR)

Metode Vector Autoregression (VAR) pertama kali ditemuakan oleh Sims pada tahun 1980. VAR merupakan salah satu model yang dibangun untuk menganalisis hubungan saling ketergantungan antar variabel ekonomi yang dapat diestimasi tanpa perlu menitikberatkan pada masalah eksogenitas. Dalam pendekatan ini semua variabel dianggap sebagai endogen (Ariefianto, 2012). Model VAR muncul karena seringkali teori ekonomi tidak dapat menentukan spesifikasi yang tepat. Misalnya teori terlalu kompleks sehingga simplifikasi harus dibuat atau sebaliknya fenomena yang ada terlalu kompleks jika hanya dijelaskan dengan teori yang ada (Widarjono, 2013). Data yang digunakan dalam model VAR adalah data deret waktu (time series). Model VAR dibangun dengan pendekatan yang meminimalkan teori dengan dengan tujuan agar mampu menangkap fenomena ekonomi dengan baik. Dengan demikian, model VAR disebut juga sebagai model non struktural atau model bukan berdasarkan teori (Juanda dan Junaidi, 2012)

Menurut Nachrowi dan Usaman (2006) terdapat kelebihan dan keunggulan dari metode VAR. Keunggulan dari metode VAR antara lain:

1. Metode VAR adalah model yang sederhana dan tidak perlu membedakan mana yang menjadi variabel endogen dan mana yang menjadi variabel eksogen. Semua variabel pada model VAR dapat dianggap sebagai variabel endogen.

2. Cara estimasi metode VAR sangat mudah, yaitu dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS) pada setiap persamaan secara terpisah.

3. Peramalan menggunakan metode VAR pada beberapa hal lebih baik dibanding menggunakan metode dengan persamaan simultan yang lebih kompleks.

Adapun kelemahan yang dimiliki metode VAR sebagai berikut (Gujarati, 2003) :

(37)

2. VAR tidak sesuai jika digunakan untuk menganalisis impilikasi kebijakan. Hal ini dikarenakan analisis pada VAR ditekankan pada peramalan (forecasting).

3. Pemilihan panjang lag menjadi tantangan besar, khususnya ketika variabel banyak dan lag panjang.

4. Semua variabel dalam model VAR harus stasioner. Jika terdapat variabel yang tidak stasioner, perlu dilakukan uji lebih lanjut, salah satunya dengan diferensiasi derajat satu.

5. Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan, sehingga sebagian besar peneliti melakukan interpretasi pada estimasi IRF dan FEVD. Menurut Widarjono (2013), terdapat dua hal yang dilakukan sebelum menggunakan metode VAR, yaitu spesifikasi dan identifikasi model VAR. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan penentuan lag setiap variabel endogen. Identifikasi model berkaitan dengan identifikasi persamaan yang akan digunakan sehingga apakah model VAR dapat diestimasi atau tidak. Adapun model persamaan umum VAR dapat dituliskan sebagai berikut (Enders, 2004) sebagai berikut:

Yt = A0 + A1Yt-1 + A2Yt-2 + … + ApYt-p + et (3)

Keterangan:

Yt = vektor variabel endogen (Y1.t, Y2.t, Yn.t) berukuran (n.1) A0 = vektor intersep berukuran (n.1)

Ai = matriks koefisien berukuran (n.n), I = 1,2,…p

p = lag dalam persamaan

e = vektor error (e1t, e2t, … ent) berukuran (n.1)

Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan analisis VAR, yaitu: 1. Uji Stasioneritas Data

(38)

dimasukkan dalam pengolahan statistik maka akan menghasilkan fenomena yang disebut dengan regresi palsu (spurious regression) (Ariefianto, 2012). Menurut Gujarati (2003), data yang tidak stasioner akan memiliki estimasi model ekonometrik time series yang akan menghasilkan kesimpulan yang tidak berarti, yaitu kemungkinan besar estimasi akan gagal mencapai nilai yang sebenarnya. Untuk menguji ada atau tidaknya akar unit dapat digunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Pemahaman mengenai uji ADF dimulai dengan formulasi sebagai berikut:

∆Yt = α0 + βYt-1 + i∆Yt-1+ et (4)

Dalam persamaan seperti ini hipotesis yang digunakan adalah:

H0: β = 0 (mengandung akar unit atau tidak stasioner)

H1: β < 0 (tidak mengandung akar unit atau stasioner)

Jika nilai stastik ADF secara absolut lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon, maka keputusannya tolak H0. Hal ini menunjukkan Yt tidak mengandung akar unit atau data stasioner.

2. Penentuan Lag Optimal

Hal penting lainnya dalam estimasi model VAR adalah penentuan lag. Lag yang optimal diperlukan dalam rangka menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel lainnya dalam sistem VAR. Penentuan lag optimal dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai kriteria, yaitu: Likelihood Ratio (LR), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), Final Prediction Error (FPE) dan Hannan-Quinn Criterion (HQ) (Juanda dan Junaidi, 2012). 3. Uji Stabilitas Model VAR

(39)

4. Uji Kointegrasi

Uji Kointegrasi bertujuan untuk menentukan variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Menurut Engle dan Granger (1987) dalam Firdaus (2011), konsep kointegrasi merupakan kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Jika trace statistic > critical value maka persamaan tersebut terkointegrasi. Uji kointegrasi dapat dilakukan dengan metode Johansen Cointegration Test. Setelah jumlah persamaan yang terkointegrasi telah diketahui maka tahapan analisis selanjutnya yaitu analisis Vector Error Corection Model (VECM) (Firdaus, 2011).

5. Vector Error Corection Model (VECM)

Engle dan Granger (1987) dalam Widarjono (2013) menyatakan bahwa data time series seringkali tidak stasioner pada tingkat level atau non stasioneritas data, tetapi kombinasi linier antara dua atau lebih data non stasioner menjadi stasioner. Data time series yang tidak stasioner disebut terkointegrasi. Model VECM digunakan dalam model VAR non struktural apabila data time series tidak stasioner pada level, tetapi stasioner pada data diferensi dan terkointegrasi sehingga menunjukkan adanya hubungan teoritis antar variabel.

Model VECM ini disebut model VAR yang terestriksi (restricted VAR). Spesifikasi VECM merestriksi hubungan perilaku jangka panjang antar variabel yang ada agar konvergen dalam hubungan kointegrasi namun tetap membiarkan perubahan-perubahan dinamis dalam jangka pendek. Terminologi kointegrasi ini disebut koreksi kesalahan (error correction) karena bila terjadi deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang akan dikoreksi secara bertahap melalui penyesuain parsial jangka pendek secara bertahap. Spesifikasi model VECM secara umum dalam bentuk persamaan menurut Enders (2004) adalah:

Yt = μ0x+ μ1xt+ ΠxYt-1 + Σ k Yt-i + εt (5)

dimana:

ΔYt = vektor yang berisi variabel dalam penelitian

(40)

μ1x = vektor koefisien regresi t = tren waktu

Πx = αxβ’ dimana β’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang

Yt-I = variabel in-level

Γ = matriks koefisien regresi k-1 = ordo VECM dari VAR εt = error term

6. Analisis Impulse Response Function (IRF)

Secara individual koefisien dalam model VAR sulit diinterpretasikan maka digunakan analisis impulse response. Analisis IRF digunakan untuk menentukan respon dari suatu variabel endogen terhadap guncangan atau perubahan dalam variabel error (Widarjono, 2013). Juanda dan Junaidi (2012) menjelaskan bahwa model VAR dapat digunakan untuk melihat dampak perubahan dari satu variabel dalam sistem terhadap variabel lainnya secara dinamis. Caranya melalui pemberian guncangan pada salah satu variabel endogen. Guncangan yang diberikan biasanya sebesar satu standar deviasi dari variabel tersebut.

7. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Analisis FEVD mencirikan suatu struktur dinamis dalam model VAR/VECM. Analisis FEVD dalam model VAR bertujuan untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu dalam sistem VAR. Dalam analisis ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu tertentu. Pada analisis FEVD digunakan untuk menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel dalam sistem VAR/VECM karena adanya guncangan (Juanda dan Junaidi, 2012).

2.7 Kausalitas Granger

(41)

dilihat dengan membandingkan probabilitas dengan nilai kritis yang digunakan. Jika hasil uji kausalitas Granger menunjukkan probabilitas < nilai kritis maka terdapat hubungan kausalitas yaitu saling menyebabkan (Gujarati, 2003).

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pengaruh fluktuasi harga terhadap inflasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya Prastowo et al. (2008), Rahmah (2013), Christanty (2013) dan Hasanah (2014). Persamaan dengan penelitian ini adalah kesamaan topik penelitian, yaitu pengaruh harga komoditas pertanian dan dampaknya terhadap inflasi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu fokus komoditas pangan yang diteliti yaitu beras, jagung, cabai merah keriting, bawang merah, daging sapi murni, daging ayam ras dan telur ayam ras.

(42)

24

Tabel 2.1 Matriks penelitian terdahulu

No. Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil

1. Nama: Nugroho Joko

1. Komoditas pangan mempunyai peranan yang penting

karena sumbangannya yang cukup signifikan dalam pembentukan inflasi

2. Tekanan gejolak harga kelompok komoditas pangan

lebih dipicu oleh supply shocks

3. Gejolak harga kelompok komoditas pangan

cenderung meningkat pada periode setelah krisis seiring dengan berkurangnya peran pemerintah dalam pengendalian harga komoditas

4. Semakin cepat rusak/busuk suatu komoditas tingkat

fluktuasi harganya semakin tinggi

7. Dampak faktor distribusi yang sangat berbahaya

terhadap inflasi adalah peningkatan biaya

transportasi

3. Menganalisis fluktuasi harga

komoditas pangan terhadap

inflasi di Jawa Barat

1. Data yang digunakan

merupakan data sekunder time

series bulanan (2009-2012)

2. Analisis data dilakukan

dengan analisis deskriptif,

ARIMA dan VAR

1. Perkembangan harga komoditas pangan bersifat

positif dengan tren cenderung naik

2. Perubahan harga ketiga komoditas pangan, yaitu

(43)

25

No. Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil

3. Nama: Hyldha Christanty

1. Mengetahui volatilitas harga

beras dan kentang pada empat pasar (Giant Hypermart, Pasar Dinoyo, Pasar Besar) di Kota Malang

2. Mengetahui pengaruh volatilitas

harga komoditas beras dan kentang terhadap inflasi di Kota Malang

1. Data yang digunakan

merupakan data time series

bulanan (2010-2012)

2. Analisis data dilakukan

dengan pendekatan model

ARCH/GARCH

1. Tingkat volatilitas harga tertinggi kedua komoditas

tersebut terjadi di Giant

2. Tingkat volatilitas harga yang relatif tinggi di Giant dan Pasar Dinoyo mampu mengindikasikan bahwa volatilitas harga, khususnya harga komoditas pangan beras dan kentang berpengaruh terhadap inflasi di Kota Malang

harga komoditas pangan hewani asal ternak di Kabupaten Bogor

2. Menganalisis dampak fluktuasi

harga komoditas pangan hewani asal ternak terhadap inflasi di

adalah analisis deskriptif dan analisis VAR

1. Perkembangan harga komoditas pangan hewani asal

ternak di Kabupaten Bogor pada umumnya memiliki kecenderungan meningkat.

2. Dalam jangka pendek tidak terdapat komoditas

pangan hewani asal ternak yang berdampak secara signifikan terhadap inflasi di Kabupaten Bogor. Dalam jangka panjang daging sapi bistik, daging sapi murni, daging kambing/domba, telur ayam ras dan telur itik berdampak positif terhadap inflasi. Daging ayam broiler, daging sapi has, telur ayam buras, hati sapi dan susu segar berdampak negatif terhadap di

1. Mengkaji penggunaan model

ekonometrik VAR guna

membangun pemodelan harga daging ayam

2. Melakukan peramalan jangka

pendek untuk peubah harga

2. Metode penelitian yang

digunakan adalah model

persamaan VAR

1. Model VAR cukup baik dalam menganalisis

hubungan antar peubah yang mempengaruhi harga rata-rata daging ayam.

2. Untuk peramalan jangka pendek, model VAR

(44)

26

No. Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil

6. Nama: Silvia Sari Busnita Tahun: 2014

disparitas harga beras yang terjadi di Indonesia, India dan dunia

2. Menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi volatilitas harga

1. Hasil analisis volatilitas menunjukkan bahwa harga

beras Indonesia dan harga beras dunia merupakan variabel ekonomi yang volatil dan bervariasi dengan disparitas harga setiap tahunnya

2. Hasil estimasi VAR/VECM menunjukkan pada

jangka panjang variabel yang signifikan

mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia adalah cadangan harga beras domestik, produksi padi dan harga beras domestik, sedangkan harga beras dunia berpengaruh signifikan pada jangka pendek

7. Nama: Embang Maryana

kausalitas antara volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai tukar dan harga internasional minyak bumi

2. Mengidentifikasi perubahan nilai

tukar, harga internasional

minyak bumi, harga

internasional CPO, suku bunga

dan produksi mempengaruhi

ekspor CPO

1. Data yang digunakan adalah

data sekunder periode waktu kuartal I tahun 2000 sampai

1. Terdapat hubungan kausalitas antara ekspor CPO

dengan nilai tukar dan harga internasional minyak bumi

2. Pada jangka pendek produksi dan harga internasional

CPO berpengaruh negatif sedangkan harga

internasional minyak bumi dan suku bunga berpengaruh positif terhadap volume ekspor CPO

3. Pada jangka panjang, nilai tukar, suku bunga dan

harga internasional minyak bumi berpengaruh negatif terhadap volume ekspor CPO sedangkan harga internasional CPO dan produksi berpengaruh positif terhadap volume ekspor CPO

4. Hasil analisis FEVD, volume ekspor CPO sangat

(45)

3.1 Kerangka Pemikiran Operasional

Fluktuasi harga pangan menjadi salah satu isu penting dalam perekonomian makro di Provinsi Banten. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi kelompok bahan makanan yang cukup besar terhadap inflasi di Provinsi Banten. Salah satu kelompok bahan makanan yang dominan menyumbang inflasi yaitu komoditas pangan. Hal ini disebabkan terjadinya gejolak fluktuasi harga pada komoditas pangan yang selalu mengalami kenaikan maupun penurunan harga. Perkembangan harga masing-masing komoditas pangan di Provinsi Banten dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif ini dilakukan untuk mengidentifikasi peristiwa pada data yang dianalisis. Selanjutnya analisis deskriptif akan menghasilkan informasi fluktuasi harga komoditas pangan di Provinsi Banten pada periode penelitian.

Setelah diketahui pola data fluktuasi harga komoditas pangan, kemudian informasi tersebut digunakan untuk menganalisis dampak fluktuasi harga pangan terhadap inflasi di Provinsi Banten. Model yang digunakan yaitu model VAR (Vector Autoregression). Hasil analisis berupa IRF (Impulse Response Function) dan FEVD (Forecast Error Variance Decomposition). Analisis IRF digunakan untuk mengetahui respon inflasi Provinsi Banten akibat adanya fluktuasi harga masing-masing komoditas pangan. Analisis FEVD digunakan untuk mengetahui kontribusi fluktuasi harga masing-masing komoditas pangan dalam menjelaskan keragaman inflasi di Provinsi Banten.

(46)

Gambar 3.1 Skema kerangka pemikiran operasional

Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Komoditas Pangan dan Kontribusi Harga Komoditas Pangan dalam

menjelaskan Keragaman Inflasi

Analisis Deskriptif Model VAR

Pengaruh Fluktuasi Harga Komoditas Pangan terhadap

Inflasi Provinsi Banten Analisis Perkembangan

Harga Komoditas Pangan

Keterkaitan Inflasi Antar Wilayah Sekitar Provinsi

Banten Fluktuasi Harga

Komoditas Pangan di Provinsi Banten

Inflasi

Uji Kausalitas Granger

(47)

4.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series bulanan periode Januari 2011 hingga Desember 2014. Data yang digunakan merupakan data sekunder berupa perkembangan harga pangan bulanan di tingkat konsumen yang merupakan rata-rata harga di tingkat provinsi yaitu Provinsi Banten. Data tersebut diperoleh dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin).

Data Indeks Harga Konsumen (IHK) bulanan Provinsi Banten berdasarkan tahun dasar 2007 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten. Selain itu, berbagai data penunjang diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), BPS Provinsi Lampung, BPS DKI Jakarta dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian serta studi literatur yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku bacaan, jurnal ilmiah dan internet yang sesuai dengan topik penelitian.

4.2 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode dan alat analisis yang sesuai.

Tabel 4.1 Matriks analisis data

Tujuan Penelitian Data yang Dibutuhkan Metode Analisis Data

1. Menjelaskan

perkembangan harga

komoditas pangan di Provinsi Banten.

Data time series bulanan harga

komoditas pangan di Provinsi Banten periode Januari 2011 hingga Desember 2014.

komoditas pangan di Provinsi

Banten periode Januri 2011 hingga Desember 2014.

2. Data time series bulanan IHK umum

Provinsi Banten periode Januari 2011 hingga Desember 2014.

(48)

4.2.1Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan bantuan grafik terhadap suatu observasi. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk mencapai tujuan pertama yaitu melihat perkembangan harga komoditas pangan di Provinsi Banten. Analisis deskriptif adalah teknik analisis yang memberikan informasi hanya mengenai data yang dimiliki dan tidak bermaksud untuk menguji hipotesis. Analisis deskriptif hanya dipergunakan untuk menyajikan dan menganalisis data agar lebih bermakna dan komunikatif. (Nurgiantoro et al., 2009).

Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis perkembangan harga pangan di Provinsi Banten periode Januari 2011 hingga Desember 2014. Pada perkembangan harga komoditas pangan akan dijelaskan pola data dan kecenderungan harga pangan di Provinsi Banten. Pada penelitian ini, analisis deskriptif dijelaskan dengan bantuan tabel dan grafik untuk mempermudah dalam penjelasan. Grafik yang ditampilkan merupakan plot data terhadap waktu pada periode penelitian. Grafik tersebut akan ditambah dengan keterangan yang menerangkan kondisi serta hal-hal yang mempengaruhi peristiwa yang terjadi pada data yang dianalisis.

4.2.2Vector Autoregression (VAR)

(49)

dimana:

LnIHKt = Indeks Harga Konsumen (IHK) pada waktu t LnDSMt = Harga daging sapi murni pada waktu t LnJAGt = Harga jagung pada waktu t

LnBERt = Harga beras pada waktu t

LnDARt = Harga daging ayam ras pada waktu t LnTARt = Harga telur ayam ras pada waktu t LnBAMt = Harga bawang merah pada waktu t LnCMKt = Harga cabai merah keriting pada waktu t An, Bn, … = Parameter estimasi

et = error term (sisaan) Adapun tahapan analisis VAR yaitu: 1. Uji Stasioner Data

(50)

Augmented Dickey-Fuller (ADF), dengan selang kepercayaan 5%. Hipotesis yang diuji yaitu:

H0 = tidak stasioner atau terdapat unit root H1 = stasioner atau tidak terdapat unit root

Jika nilai ADF statistik lebih kecil dari MacKinnon critical value, maka keputusannya adalah tolak H0 atau data dinyatakan stasioner, sebaliknya jika nilai ADF statistik lebih besar dari MacKinnon critical value maka tidak tolak H0 sehingga data dinyatakan tidak stasioner.

2. Penentuan Lag Optimal

Penentuan lag optimal dalam penelitian ini dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai kriteria, yaitu: Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), AIC (Akaike Information Criterion), SC (Schwarz Information Criterion) dan HQ (Hannan-quinn Information Criterion).

3. Uji Stabilitas Model VAR

Uji stabilitas dilakukan untuk menguji apakah model VAR sudah stabil atau belum. Model dianggap stabil apabila memiliki nilai modulusnya < 1, maka IRF dan FEVD akan dianggap valid.

4. Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi dilakukan untuk menguji variabel yang tidak stasioner di tingkat level terkointegrasi atau tidak. Hasil uji kointegrasi untuk mengetahui keberadaan informasi hubungan jangka panjang antar variabel. Apabila terdapat kointegrasi pada model yang diuji, maka analisis selanjutnya menggunakan VECM. Model dinyatakan memiliki kointegrasi sehingga signifikan pada selang kepercayaan 5%, apabila nilai trace statistic lebih besar daripada critical value. 5. Estimasi Vector Error Corection Model(VECM)

Estimasi VECM dilakukan untuk pengaruh harga masing-masing komoditas pangan terhadap inflasi di Provinsi Banten dalam jangka pendek dan jangka panjang. Adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang ditunjukkan dengan adanya dugaan parameter error correction (CoeintEq1) yang bernilai negatif (Juanda dan Junaidi, 2012). Selanjutnya, jika |T-hitung| > T- statistik (1,96) artinya signifikan pada selang kepercayaan 5%.

(51)

6. Analisis Impulse Response Function (IRF)

Analisis IRF dilakukan untuk mengetahui respon inflasi akibat adanya guncangan pada inflasi itu sendiri dan fluktuasi pada harga pangan yang menjadi objek penelitian. Hasil analisis berupa grafik yang akan menggambarkan lintasan dimana suatu variabel akan kembali kepada keseimbangannya setelah mengalami guncangan dari variabel lain.

7. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Analisis FEVD digunakan untuk mengetahui kontribusi harga pangan dalam menjelaskan keragaman inflasi. Kemudian dari hasil analisis FEVD juga dapat diketahui komoditas pangan yang menjadi variabel dominan dalam menjelaskan keragaman inflasi di Provinsi Banten.

4.2.3Uji Kausalitas Granger

Uji kausalitas Granger dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas diantara variabel-variabel yang ada dalam model. Pada penelitian ini uji kausalitas Granger digunakan untuk melihat keterkaitan inflasi antara Provinsi Banten dengan inflasi Provinsi Lampung dan Provinsi DKI Jakarta. Uji kausalitas Granger ini dapat dilihat adanya pengaruh masa lalu terhadap kondisi sekarang, sehingga data yang digunakan adalah data time series. Hipotesis pada uji kausalitas adalah sebagai berikut:

Ho: suatu variabel tidak menyebabkan suatu variabel lainnya H1: suatu variabel menyebabkan suatu variabel lainnya

(52)
(53)

Perkembangan harga komoditas pangan di Provinsi Banten dalam penelitian ini dijelaskan dengan mendeskripsikan melalui laju perubahan harga komoditas pangan selama periode penelitian, yaitu periode tahun 2010 hingga tahun 2014. Selanjutnya, akan dilakukan analisis deskriptif untuk menjelaskan perkembangan harga masing-masing komoditas pangan di Provinsi Banten. Pada analisis ini akan dilakukan dengan bantuan grafik untuk mempermudah penjelasan. Grafik tersebut merupakan plot harga masing-masing komoditas terhadap periode penelitian, yaitu Januari 2011 hingga Desember 2014. Hal ini dapat membantu untuk menerangkan kondisi atau gejala yang terjadi pada data yang dianalisis.

Rata-rata harga komoditas pangan selama tahun 2011-2014 cenderung mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan bahwa semua komoditas memiliki rata-rata perubahan harga yang bernilai positif. Komoditas bawang merah memiliki rata-rata perubahan terbesar yaitu sebesar 31.998%, sedangkan komoditas daging ayam ras memiliki rata-rata perubahan harga terkecil yaitu sebesar 6.102%. Rata-rata perubahan harga komoditas pangan di Provinsi Banten dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Rata-rata perubahan harga komoditas pangan di Provinsi Banten periode 2011-2014

(54)

kecenderungan yang meningkat dengan pola musiman. Rata-rata perubahan harganya bernilai positif, yaitu 7.990% dan mengikuti pola berulang setiap tahunnya. Pola musiman pada data harga beras diduga dipengaruhi oleh musim panen yaitu, peningkatan harga terjadi pada puncaknya ketika musim paceklik, sebaliknya terjadi penurunan ketika memasuki musim panen raya sehingga harga beras akan bergejolak sepanjang tahun.

Sumber: Pusdatin, 2015

Gambar 5.1 Perkembangan harga beras di Provinsi Banten periode Januari 2011- Desember 2014

Harga rata-rata dicapai pada tingkat harga Rp 7 854/kg. Harga terendah terjadi pada April 2011 sebesar Rp 6 439/kg. Harga tertinggi dicapai pada tingkat harga Rp 8 805/kg pada Desember 2014. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang diberlakukan sejak bulan November sehingga memberikan dampak naiknya harga barang-barang pada umumnya, termasuk juga komoditas beras. Selain itu, kenaikan harga pada periode Desember terjadi karena kondisi minimnya pasokan beras ke pasar akibat berkurangnya hasil panen di sentra-sentra produksi.1

Pendugaan produksi dan konsumsi beras di Provinsi Banten pada tahun 2010-2013 ditampilkan pada Tabel 5.2. Dapat diketahui pada tabel bahwa produksi beras di Provinsi Banten setiap tahunnya mampu mencukupi kebutuhan

(55)

konsumsi beras yang cenderung stabil. Hal ini dikarenakan Provinsi Banten merupakan salah satu sentra produksi beras.

Tabel 5.2 Pendugaan produksi dan konsumsi beras di Provinsi Banten tahun 2010-2013

Tahun Produksi (ton)* Konsumsi (ton)** Selisih produksi dan konsumsi (ton)

2010 2 048 047 616 437 1 431 610

2011 1 949 714 638 669 1 885 847

2012 1 865 893 651 964 1 213 929

2013 2 083 608 560 572 1 523 036

Sumber: BPS Provinsi Banten dan BKP 2014 (diolah)

Keterangan: * Produksi beras diperoleh dari produksi padi dikali convertion rate 62.74% (Survei

Susut Pasca Panen/Pasca Panen Padi/Beras, 2005-2007)

** Konsumsi beras diperoleh dari rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun dikali dengan jumlah penduduk Provinsi Banten pada tahun berlaku

5.2 Perkembangan Harga Jagung

Harga jagung selama periode penelitian mengalami perubahan harga rata-rata sebesar 11.195%. Harga tertinggi dicapai pada bulan September dan Oktober 2014 sebesar Rp 8 500/kg, sedangkan harga terendah terjadi pada bulan Oktober 2012 yaitu sebesar Rp 5 137/kg. Adapun harga rata-rata jagung selama periode penelitian adalah Rp 6 015/kg. Perkembangan harga jagung di Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 5.2.

Sumber: Pusdatin, 2015

Gambar 5.2 Perkembangan harga jagung di Provinsi Banten periode Januari 2011- Desember 2014

(56)

cukup besar yaitu 33.216%. Perubahan harga yang yang cukup besar pada tahun 2014 diduga terjadi karena adanya kenaikan harga BBM. Pendugaan produksi dan konsumsi jagung di Provinsi Banten pada tahun 2009-2013 ditampilkan pada Tabel 5.3. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa produksi jagung dari tahun ke tahun mengalami penurunan produksi, walaupun jumlah produksinya masih dapat memenuhi jumlah konsumsi. Penurunan produksi diduga terjadi akibat pergeseran pola panen dari panen tua (pipilan) ke pola panen muda karena sebagian petani di Banten merasa lebih diuntungkan. Selain itu, terjadi penurunan luas panen jagung karena adanya alih komoditas tanaman.2

Tabel 5.3 Pendugaan produksi dan konsumsi jagung di Provinsi Banten tahun 2009-2012

Tahun Produksi (ton) Konsumsi (ton)* Selisih produksi dan konsumsi (ton)

2009 27 083 694 26 389

2010 28 135 1 643 26 492

2011 13 807 1 130 12 677

2012 9 820 253 9 567

2013 12 038 461 11 577

Sumber: BPS Provinsi Banten dan BKP 2014 (diolah)

Keterangan: * Konsumsi jagung diperoleh dari rata-rata konsumsi jagung per kapita per tahun dikali dengan jumlah penduduk Provinsi Banten pada tahun berlaku

5.3 Perkembangan Harga Cabai Merah Keriting

Selama tahun 2011-2014, perkembangan harga cabai merah keriting di Provinsi Banten cenderung berfluktuatif setiap bulannya. Tingginya fluktuasi harga tercermin pada rentang harga cabai merah tertinggi dan terendah yang mencapai Rp 84 700/kg. Pada Desember 2014, harga cabai merah keriting mencapai harga tertinggi yaitu sebesar Rp 94 500/kg, sedangkan harga terendah terjadi pada bulan Agustus 2011 sebesar Rp 9 800/kg. Kondisi ini disebabkan permintaan atau konsumsi cabai bulanan yang relatif stabil, sementara tingkat produksi per bulannya sangat fluktuatif terkait dengan faktor musimnya yaitu pada periode musim penghujan berpotensi meningkatkan risiko kegagalan panen. Selain faktor musimnya, fluktuasi pasokan cabai merah disebabkan karena sifat dari produk hortikultura yang tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Hal

2

BPS Provinsi Banten. 2014. Produksi Padi, Jagung dan Kedelai (Angka Ramalan II Tahun

(57)

ini menyebabkan fluktuasi harga pada cabai merah (Prastowo et al., 2008). Perkembangan harga cabai merah keriting dapat dilihat pada Gambar 5.3.

Sumber: Pusdatin, 2015

Gambar 5.3 Perkembangan harga cabai merah keriting di Provinsi Banten periode Januari 2011-Desember 2014

Kenaikan harga cabai merah keriting terjadi pada saat menjelang hari raya. Hal ini diduga adanya kenaikan kebutuhan masyarakat akan cabai merah pada bulan-bulan menjelang hari raya Idul Fitri dan kenaikan permintaan pada akhir tahun. Cabai merah merupakan salah satu komoditas yang sangat digemari masyarakat, baik dalam bentuk segar maupun olahan. Namun peningkatan kebutuhan cabai merah tidak diikuti oleh peningkatan ketersedian cabai merah. Adapun pendugaan produksi dan konsumsi cabai merah di Provinsi Banten tahun 2009-2013 ditampilkan pada Tabel 5.4. Dapat dilihat bahwa produksi cabai merah setiap cenderung mengalami penurunan, sehingga pada tahun 2011-2013 ketersediaan cabai merah di Provinsi Banten belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Tabel 5.4 Pendugaan produksi dan konsumsi cabai merah di Provinsi Banten tahun 2009-2012

Tahun Produksi (ton) Konsumsi (ton)* Selisih produksi dan konsumsi (ton)

2009 139 993 17 165 122 828

2010 134 572 23 277 111 295

2011 3 326 20 415 -17 089

2012 6 339 30 123 -23 784

2013 5 841 22 365 -16 524

Sumber: BPS Provinsi Banten dan BKP 2014 (diolah)

Keterangan: * Konsumsi cabai merah diperoleh dari rata-rata konsumsi cabai merah per kapita per tahun dikali dengan jumlah penduduk Provinsi Banten pada tahun berlaku

(58)

5.4 Perkembangan Harga Bawang Merah

Selama periode penelitian yaitu tahun 2011 hingga tahun 2014, harga bawang merah di Provinsi Banten berfluktuasi dengan selisih harga tertinggi dengan harga terendah sebesar Rp 36 234/kg. Harga tertinggi dicapai pada tingkat harga Rp 45 879/kg yang terjadi pada periode Juli 2013, sedangkan harga terendah sebesar Rp 9 645/kg terjadi pada Januari 2012. Harga rata-rata yaitu pada tingkat harga Rp 20 282/kg. Perkembangan harga bawang merah di Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 5.4.

Sumber: Pusdatin, 2015

Gambar 5.4 Perkembangan harga bawang merah di Provinsi Banten periode Januari 2011-Desember 2014

Perkembangan harga bawang merah di Provinsi Banten selama tahun 2011-2014 memiliki pergerakan data yang fluktuatif. Terjadi kenaikan dan penurunan dalam perubahan harga bawang merah. Rata-rata perubahan harga bawang merah adalah 31.998%. Pada tahun 2013 rata-rata perubahan harga meningkat cukup besar yaitu 156.667%. Pada 2013, harga bawang merah di Provinsi Banten meningkat sangat tajam. Terjadi selama bulan Maret hingga Juli 2013. Hal ini diduga terjadinya kekurangan pasokan bawang merah yang diakibatkan terjadinya musim penghujan yang menyebabkan banjir di wilayah sentra bawang merah.3 Pendugaan produksi dan konsumsi bawang merah di Provinsi Banten dapat dilihat pada Tabel 5.5. Pada tabel dapat dilihat terjadi peningkatan produksi

3

Harga Bawang Merah di Kota Serang Meningkat hingga Rp 30 Ribu per Kg.

http://www.radarbanten.com/read/berita/10/27689/Harga-Bawang-Merah-di-Kota-Serang-Meroket-hingga-Rp30-Ribu-per-Kg.html. Diakses pada tanggal 8 Juni 2015.

Gambar

GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN HARGA
Tabel 1.1 Perkembangan konsumsi energi pangan penduduk Indonesia tahun 2009-2013
Tabel 1.2 Inflasi menurut kelompok barang dan jasa di Provinsi Banten tahun
Gambar 2.2 Ilustrasi inflasi desakan biaya (cost push inflation)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menganalisis harga komoditas pangan hewani asal ternak, yaitu daging ayam broiler (karkas), daging sapi has, daging sapi bistik, daging sapi murni, hati

Skor mutu konsumsi pangan Provinsi Banten pada tahun 2005 masih kurang 21.3 poin dan pada tahun 2007 masih kurang 15.3 poin. Perencanaan konsumsi pangan di Provinsi Banten menuju

Hal tersebut dibuktikan dengan nilai (sig) 0.000 lebih kecil dari 0.05, maka disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan variabel inflasi (X1), fluktuasi harga

Tabel 7.. Jika semua variabel bebas yaitu fluktuasi harga emas dan tingkat inflasi memiliki nilai nol maka pendapatan gadai emas syariah sebesar 1.353,56189.. Nilai

FLUKTUASI HARGA KELAPA SAWIT DAN PRODUK TURUNANNYA DI PROVINSI KALIMANTAN BARATi. TAHUN 2016-2018

Disimpulkan dari hasil analisis clustering 28 pasar tradisional berdasarkan harga pangan komoditas wilayah provinsi Papua, Nusa Tenggara, Maluku, dan Bali di

Politik Pangan: Hegemoni Komoditas Pertanian Genetically Modified Organisms Amerika Serikat di Dunia Tahun 2011-2014.. adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan

Dengan demikian, berdasarkan tingkat kepercayaan yang digunakan, maka risiko dari perubahan harga pada sisi konsumen akan terjadi pada kuantil ke-0,95 atau di sebelah kanan dari