• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUATAN SOSIAL POLITIK KOMUNITAS ADAT

TRI SINTYA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

TRI SINTYA. Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat. Dibawah bimbingan SOFYAN SJAF.

Keberadaan komunitas adat di Indonesia mengalami perubahan dalam aspek sosial dan politik. Awalnya aspek sosial komunitas adat masih berorientasi pada kepentingan bersama kini mulai berubah signifikan dengan azaz individu dan degradasi nilai. Pada dimensi politik keberadaan masyarakat adat juga terkait dengan keberadaan UU No.5 Tahun 1979, UU No.22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 serta yang terakhir khusus membahas pengaturan Desa Adat yaitu UU No. 6 Tahun 2014. Undang-undang ini membuka kesempatan bagi tata pemerintahan komunitas adat lebih diakui secara sah dan formal. Untuk itu penelitian ini betujuan menganalisis sejauhmana kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan politik. Penelitian dilakukan di Desa Balla Tumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dengan metode kuantitaif serta dukungan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum eksistensi sosial politik adat di desa penelitian masih tinggi. Selain itu terdapat hubungan yang cukup kuat antara tingkat kesiapan sosial politik dan penguatan desa adat. Dengan demikian analisis ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan implementasi kebijakan serta mampu mengkaji kesiapan sosial politik komunitas adat.

Kata Kunci: Desa Adat, komunitas adat, politik, sosial

ABSTRACT

TRI SINTYA. Social and Political Reinforcement of Indigenous People. Under guidance of SOFYAN SJAF.

The existence of indigenous peoples in Indonesia have changes includes various aspects such as social and political. At first, the social aspect is still strongly oriented on common interests turned significant into individual orientation and degradation value. The political dimension of the indigenous community associated with village governance. This is related to the presence of UU No.5 in 1979, UU No.22 in 1999, UU No.32 in 2004 and the last one devoted to traditional village setting is UU No.6 in 2014. Legislation is an opportunity for the public governance to be legally recognized customary and formal. The purpose of this research is to to analyze how the social and politic readiness of village to transform become indigenous village in social and politic aspect. This research is conduct in Balla Tumuka Village, District of Balla, Sub-Province of Mamasa, Province of West Sulawesi with quantitative and qualitative methode. The results of this study indicate that in general the existence of indigenous sociopolitical are still high and there are high correlation between the level of social and political readiness and strengthening indigenous villages.

(6)
(7)

PENGUATAN SOSIAL POLITIK KOMUNITAS ADAT

TRI SINTYA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Disetujui oleh

Dr Sofyan Sjaf, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

Tanggal Ujian:

Judul Skripsi : Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat Nama : Tri Sintya

(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dengan segala hal terbaik dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul “Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat”. Selain itu penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kontribusi dan dukungan semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak yang terlibat, sebagai berikut:

1. Bapak Dr. Sofyan Sjaf yang telah membimbing, mendukung dan memberikan inspirasi yang luar biasa dalam penyusunan skripsi.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten Mamasa dan masyarakat Desa Balla Tumuka yang telah memberikan kontribusi terbaik selama proses penelitian serta terima kasih kepada Risma Junita dan Danang Pramudita selaku partner dalam penelitian yang senantiasa berbagi pembelajaran dan pengalaman.

3. Ibunda Rosiah dan Ayahanda Supardi serta keluarga yang telah memberikan dukungan dan doa yang tak terbatas kepada penulis hingga mampu menjalani banyak hal sampai tahapan ini.

4. Dikti dan Kemendikbud yang telah memberikan beasiswa Bidik Misi sebagai penunjang perkuliahan serta Direktorat Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu proses kelancaran.

5. Terima kasih kepada Eka Syaeful Bahri, keluarga Bapak Sudarna, dan keluarga Bapak Heru Arif Riyadi yang telah memberikan segala bentuk kontribusinya kepada penulis selama proses perkuliahan.

6. Rekan-rekan satu bimbingan, serta KPM angkatan 48 yang telah memberikan kebersamaan dan kesan mendalam selama menjalani pembelajaran di Departemen SKPM.

7. Rekan-rekan BEM FEMA Kabinet Trilogi, rekan-rekan majalah komunitas 2012-2013, rekan-rekan Forsia 1435 H dan teman-teman mentoring yang telah memberikan pengalaman dan segala bentuk dukungannya.

8. Praktikan Sosiologi Umum dan Ilmu Penyuluhan yang telah berbagi ilmu dan memberikan pembelajaran berarti kepada penulis serta teman-teman Kos Assakinah yang telah menjadi teman seperjuangan dalam menjalani keseharian.

9. Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi, dukungan, dan doa kepada penulis selama ini.

Penulis berharap kajian mengenai Penguatan Sosial Politik Masyarakat Adat mampu memberikan manfaat dan sumbangsih terhadap khazanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL VIII

DAFTAR GAMBAR IX

DAFTAR LAMPIRAN IX

PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian 1 1 2 3 3 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran Hipotesis Definisi Operasional 5 5 14 16 17 PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Sampling

Teknik Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data

21 21 21 21 22 23 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambaran Desa Balla Tumuka

Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Sejarah Desa dan Adat

25 25 28 32 KESIAPAN SOSIAL POLITIK KOMUNITAS ADAT DESA BALLA

TUMUKA

Tingkat Kesiapan Sosial Komunitas Ikhtisar Kesiapan Sosial Komunitas Kesiapan Politik Komunitas

Penguatan Desa Adat

35 35 43 47 61 HUBUNGAN TINGKAT KESIAPAN SOSIAL POLITIK DAN

PENGUATAN DESA ADAT

Analisis Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial dan Tingkat Kesiapan Politik

Analisis Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial dan Penguatan Desa Adat Hubungan Tingkat Kesiapan Politik dan Penguatan Desa Adat

Hubungan Tingkat Kesiapan Sosial Politik dan Penguatan Desa Adat

63 63 65 67 69

PRASYARAT TRANSFORMASI KE DESA ADAT 71

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Saran

75 75 76

DAFTAR PUSTAKA 77

LAMPIRAN 79

(14)

Tabel 1 Perbandingan karakter pemerintahan desa dan otoritas kelembagaan adat

8

Tabel 2 Uji statistik reliabilitas 22

Tabel 3 Jumlah penduduk masing-masing dusun menurut golongan umur di Desa Balla Tumuka tahun 2014

26 Tabel 4 Jumlah penduduk masing-masing dusun menurut jenis

kelamin di Desa Balla Tumuka tahun 2014

26 Tabel 5 Luas lahan kering di Desa Balla Tumuka tahun 2013 27 Tabel 6 Jumlah dan persentase sebaran umur responden

penelitian

28 Tabel 7 Jumlah warga masing-masing dusun menurut tingkat

pendidikan di Desa Balla Tumuka tahun 2014

29 Tabel 8 Jumlah dan persentase tingkat partisipasi komunitas adat

Desa Balla Tumuka

36 Tabel 9 Jumlah dan persentase tingkat kepercayaan komunitas

adat Desa Balla Tumuka

37 Tabel 10 Jumlah dan persentase tingkat ketaatan terhadap norma 38 Tabel 11 Jumlah dan persentase tingkat kepedulian terhadap

sesama

40 Tabel 12 Jumlah dan persentase tingkat keterlibatan komunitas

dalam aktivitas organisasi sosial/adat

41 Tabel 13 Jumlah dan persentase tingkat kesiapan sosial pada

masing-masing indikator

44 Tabel 14 Jumlah dan persentase tingkat kesiapan sosial 45 Tabel 15 Jumlah dan persentase bentuk struktur adat Desa Balla

Tumuka

47 Tabel 16 Jumlah dan persentase proses dan aktor adat dalam

pengambilan keputusan

50 Tabel 17 Jumlah dan persentase tipe kepemimpinan adat Desa

Balla Tumuka

52 Tabel 18 Jumlah dan persentase bentuk pengelolaan sumber daya

adat Desa Balla Tumuka

56 Tabel 19 Jumlah dan persentase bentuk perangkat hukum adat

Desa Balla Tumuka

57 Tabel 20 Jumlah dan persentase tingkat kesiapan politik pada

masing-masing indikator

59 Tabel 21 Jumlah dan persentase tingkat kesiapan politik 60 Tabel 22 Jumlah dan persentase responden menurut kategori

penguatan desa adat

61 Tabel 23 Jumlah dan persentase menurut tingkat kesiapan sosial

dan tingkat kesiapan politik komunitas adat di Desa Balla Tumuka tahun 2014

63

Tabel 24 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial dan tingkat kesiapan politik komunitas

(15)

Tabel 25 Jumlah dan persentase menurut proses kesiapan sosial dan penguatan desa adat di Desa Balla Tumuka tahun 2014

65

Tabel 26 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial dan penguatan desa adat

66 Tabel 27 Jumlah dan persentase menurut proses kesiapan politik

dan penguatan desa adat di Desa Balla Tumuka tahun 2014

67

Tabel 28 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan politik dan penguatan desa adat

68 Tabel 29 Uji korelasi Rank Spearman tingkat kesiapan sosial

politik dan penguatan desa adat

69 Tabel 30 Analisis kualifikasi persyaratan desa adat 72

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1 Kerangka pemikiran 16

Gambar 2 Bagan mekanisme pengambilan sampel 22

Gambar 3 Hasil pentahapan keluarga pra sejahtera Desa Balla Tumuka tahun 2013

30

Gambar 4 Alur sejarah Desa Balla Tumuka 32

Gambar 5 Jumlah persentase kelompok tani Desa Balla Tumuka Tahun 2014

34 Gambar 6 Jumlah pengurus kelembagaan pada masing-masing

dusun di Desa Balla Tumuka tahun 2014

42 Gambar 7 Jumlah organisasi kemasyarakatan pada masing-masing

dusun di Desa Balla Tumuka tahun 2014

43 Gambar 8 Stratifikasi sosial komunitas Desa Balla Tumuka 49 Gambar 9 Jejaring kolaborasi antar aktor di Desa Balla Tumuka 50

Gambar 10 Perangkat Desa Balla Tumuka 53

Gambar 11 Susunan perangkat hukum adat Desa Balla Tumuka 58

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1 Komparasi substansi undang-undang 79

Lampiran 2 Jadwal penelitian skripsi 83

Lampiran 3 Peta lokasi penelitian 84

Lampiran 4 Daftar responden 85

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai bagian dari kesatuan wilayah pemerintahan Republik Indonesia, desa menjadi subjek penting yang turut berkontribusi atas proses pembangunan. Menurut data sensus penduduk dari Badan Pusat Statisik tahun 2010 terdapat sebanyak 119 321 070 jiwa (50.21 persen) penduduk yang tinggal di pedesaaan. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih bertahan di wilayah-wilayah tersebut. Fakta demikian menuntut adanya upaya pemerataan kesejahteraan khususnya bagi masyarakat desa yang seringkali terlupakan dinamika struktural. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan desa diperlukan melalui sinergi berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga masyarakat lokal.

Pada perkembangannya, berbagai regulasi yang mengatur eksistensi desa turut menjadi bagian tak terpisahkan. Beberapa regulasi yang berisi tentang pemerintahan desa diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 20141. Secara umum keempat undang-undang tersebut memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan. Perbedaan yang paling mencolok adalah posisi masyarakat yang awalnya hanya sebagai objek penerima berubah menjadi subjek pembangunan yang dilibatkan dalam kebijakan otonomi daerah.

Pada UU No.5 Tahun 1979 pemerintahan desa diatur secara terpusat. Seluruh bentuk sistem lokal berganti sesuai apa yang diperintahkan, misalnya nama-nama kesatuan wilayah terkecil disebut sebagai desa. Padahal sebelum itu banyak aturan lokal masyarakat yang menyebut kesatuan wilayah mereka dengan nama-nama yang khas seperti dusun, nagari, gampong ataupun banjar. Pasca berlalunya masa Orde Baru peraturan tersebut berubah dengan paradigma yang lebih demokratis. UU No.22 Tahun 1999 mulai menghargai realitas keragamaan dan hak asal-usul desa, menerapkan asas desentralisasi, serta memberikan penghargaan terhadap berkembangnya masyarakat desa. Namun demikian, undang-undang ini tidak serta merta memperbaiki kondisi yang ada karena terdapat tantangan baru dalam mengubah hasil konstruksi sistem sentralistik sebelumnya, bahkan UU No.32 Tahun 2004 yang muncul sebagai pembaharuan dan menjunjung tinggi asas pluralisme pun masih menyisakan kesangsian mengenai keberhasilan aturan tersebut dalam menjamin kemandirian dan otonomi desa sepenuhnya.

Dari keempat regulasi yang saling menyempurnakan aturan pemerintahan desa, semakin disadari urgensi pengaturan dan perlindungan mengenai masyarakat yang hidup berdasarkan nilai-nilai dan hukum adat. Menurut Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999, tertera dalam Surat Keputusan KMAN No. 01/KMAN/1999, masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur di wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (Moniaga dalam Bappenas

1

(18)

2012). Selanjutnya dalam UU No.32 Tahun 2004 telah mengapresiasi keberadaan tata aturan adat (Pasal 203 dan pasal 216), namun otoritas adat dengan sistem tata pemerintahan asli sulit beradaptasi dan menyelaraskan dengan keberadaan sistem tata pemerintahan formal dalam konsep desa. Alhasil, dalam merespon peluang desentralisasi atau otonomi lokalitas (desa) yang ditawarkan oleh negara melalui platform UU No.32 Tahun 2004 otoritas adat seringkali berbenturan secara kelembagaan dengan otoritas formal (pemerintahan desa) yang legitimate menurut hukum positif kenegaraan (Dharmawan et al. 2006). Selain itu, menurut berbagai hasil penelitian diperoleh bahwa realitas semacam ini seringkali menimbulkan dualistik kepemimpinan di pedesaan atau adanya tumpang tindih antara pemimpin formal dan informal.

Salah satu bentuk persoalan antara pemerintahan desa formal dengan sistem adat yang masih mengakar di pedesaan Indonesia menjadi stimulus adanya regulasi baru. Regulasi tersebut kemudian diupayakan dan berhasil terrealisasi dalam UU No.6 tahun 2014 tentang Desa Adat. Undang-undang ini mengatur pemerintahan Desa Adat sesuai dengan susunan asli atau dibentuk baru berdasarkan prakarsa masyarakat adat. Selain itu peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum dan norma adat istiadat yang berlaku. Persoalannya kemudian apakah setiap desa yang memiliki nilai-nilai kelembagaan lokal mampu untuk menjalankannya sesuai dengan UU No.6 Tahun 2014 mengingat terdapat perbedaan yang khas antar masing-masing desa. Terlebih lagi bekas pengaruh konstruksi sentralistik yang telah melunturkan nilai-nilai masyarakat pedesaan juga menjadi kendala yang berarti. Selain itu mempertimbangkan aspek yang begitu kompleks, menimbulkan persoalan akan sejauhmana kebijakan undang-undang tersebut bisa diterima dan dilaksanakan serta bagaimana upaya penataan dan penguatan sistem Desa Adat dapat tercapai untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian menarik untuk dianalisis dan dikaji lebih lanjut bagaimana dinamika komunitas adat yang terkait dengan kesiapan dan penguatan aspek sosial politik pada komunitas adat Desa Balla Tumuka Kecamatan Balla Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat.

Perumusan Masalah

Intervensi regulasi yang mendorong perubahan bentuk pemerintahan desa di Indonesia telah berlangsung demikian lama bahkan hinga saat ini. Kasus terdahulu lebih menggambarkan bagaimana unit pemerintahan lokal dibentuk menjadi tata pemerintahan desa formal hingga kembali dicanangkan program otonomi daerah. Kebijakan ini nyatanya masih bias terhadap kepentingan komunitas lokal sehingga dibentuklah kebijakan baru dalam UU No.6 Tahun 2014 yang memiliki aturan khusus pemerintahan Desa Adat. Dengan demikian atas dasar realitas tersebut, yang menjadi fokus penelitian ini adalah sejauhmana kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan politik komunitas adat di Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat?

(19)

yang berusaha diwariskan hingga saat ini nyatanya disadari atau tidak telah mengalami perubahan. Perubahan ini juga menstimulus bagaimana mereka mempertahankan eksistensi dari waktu kewaktu melalui upaya penguatan yang berkesinambungan. Oleh karena itu perlu dipertanyakan sejauhmana hubungan kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat?

Berdasarkan analisis yang mempertanyakan kesiapan aspek sosial dan politik komunitas adat maka dapat diidentifikasi bahwa faktor sosial terdiri dari tingkat partisipasi dalam jaringan organisasi sosial/adat, tingkat kepercayaan antar sesama, tingkat ketaatan terhadap norma, tingkat kepedulian terhadap sesama, serta intensitas keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial (adat). Selain itu aspek politik dapat digolongkan dalam beberapa indikator pengamatan yaitu bentuk struktur adat, proses dan aktor pengambil keputusan, tipe kepemimpinan, bentuk alokasi/penguasaan sumber daya, dan perangkat hukum adat. Oleh karena itu perlu juga ditanyakan hal yang relevan seperti sejauhmana hubungan kesiapan sosial dan kesiapan politik dalam komunitas adat? serta faktor-faktor kesiapan apa sajakah yang lebih dominan dalam proses penguatan sosial politik desa adat?

Berbagai aspek kesiapan sosial politik dalam komunitas nyatanya akan saling terkait dengan hal lainnya seperti bentuk penguatan berupa kearifan lokal adat yang mendukung kelestarian tradisi, nilai ataupun norma. Apabila proses penguatan itu berlangsung efektif untuk mencapai tujuan eksistensi adat mengatasi perubahan, maka dapat meningkatkan nilai kesiapan komunitas itu sendiri. Oleh karena itu menarik untuk melihat dan mempertanyakan sejauhmana hubungan faktor kesiapan sosial politik dengan indikator penguatan desa adat?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, dapat dirumuskan tujuan penelitian umum pada penelitian ini yaitu untuk menganalisis sejauhmana kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa adat dalam aspek sosial dan politik komunitas adat. Adapun tujuan yang lebih spesifik adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis sejauh mana kesiapan desa untuk bertransformasi menjadi desa

adat dalam aspek sosial dan politik.

2. Menganalisis hubungan kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat. 3. Menganalisis hubungan kesiapan sosial dan kesiapan politik dalam komunitas

adat serta menganalisis faktor-faktor kesiapan apa sajakah yang lebih dominan dalam proses penguatan sosial politik komunitas adat.

4. Menganalisis hubungan kesiapan dengan indikator penguatan sosial politik komunitas adat.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, yaitu:

(20)

berkaitan langsung dengan pemerintahan desa secara lokal menurut UU No.6 Tahun 2014. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan pustaka dan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai komunitas adat dimasa mendatang sehingga mampu memberikan kontribusi gambaran realitas di masyarakat sebagai pertimbangan implementasi kebijakan.

2. Bagi pembuat kebijakan (pemerintah), penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan serta gambaran rinci mengenai kesiapan sosial politik masyarakat adat yang menjadi subjek pembangunan khususnya dalam regulasi tata pemerintahan desa adat di Indonesia. Dengan demikian pemerintah diharapkan mampu menelaah lebih lanjut prospek serta apa saja yang perlu direvitalisasi untuk mengefektifkan kebijakan Desa Adat.

(21)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Definisi dan Konsep Komunitas Adat

Secara sosiologis, konteks masyarakat adat yang menggunakan pendekatan studi kasus lebih tepat disebut sebagai komunitas adat. Hal ini sesuai dengan pemahaman bahwa istilah masyarakat dan komunitas cenderung berbeda. Masyarakat merupakan kesatuan individu yang lebih mencirikan adanya perbedaan karakteristik dengan cakupan cukup luas, sedangkan komunitas merupakan kesatuan individu yang terikat oleh faktor geografis dan geneologis. Selain itu komunitas juga cenderung lebih memiliki kasamaan karakteristik dan lebih homogen. Dengan demikian, istilah masyarakat adat pun dapat diartikan sebagai kumpulan-kumpulan komunitas adat yang ada di wilayah Indonesia sedangkan komunitas adat yaitu menjelaskan kesatuan adat dalam satu wilayah sebagai objek pembahasan yang cenderung lebih homogen. Untuk itu dalam penelitian ini lebih relevan disebut sebagai komunitas adat karena menitikberatkan pada fokus penelitian pada komunitas adat di Desa Ball Tumuka. Namun berkaitan dengan pustaka rujukan, maka digunakan pula referensi umum yang menjelaskan masyarakat adat dari berbagai sudut pandang.

Keberadaan masyarakat Adat tidak dapat diabaikan dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini melihat bahwa masyarakat adat merupakan salah satu keragamaan dan kearifan lokal yang patut dihargai serta dipelihara dengan bentuk pembangunan yang sesuai. Sayangnya pemahaman mengenai dinamika masyarakat adat belum benar-benar terinternalisasi dalam pembangunan tersebut. Terbukti masih banyaknya permasalahan terkait masyarakat adat nusantara. Untuk itu salah satu lembaga yang disebut sebagai Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), banyak melakukan gerakan sosial yang membela hak dan kepentingan masyarakat adat yang seringkali tergusur dinamika struktural.

Secara lebih rinci Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Kongres I tahun 1999, mendefinisikan masyarakat adat sebagai komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah geografis tertentu, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, memiliki nilai-nilai sosial budaya yang khas, dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat (Moniaga dalam Bappenas 2012).

Selain definisi umum tersebut, definisi dari AMAN ini secara langsung mendasarkan masyarakat adat dalam empat ciri spesifik sebagai berikut:

(1) Sekelompok orang dengan identitas budaya yang sama.

(22)

(4) Sekelompok orang yang memiliki sistem hukum yang khas dan tata kepengurusan kehidupan bersama.

Tidak hanya pada skala nasional, dunia internasional pun mengakui keberadaan masyarakat adat. Hal ini terbukti dengan adanya konvensi ILO mengenai masyarakat adat. Menurut konvensi ILO 169 Tahun 1989 seperti dikutip Bappenas (2012), masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka dimana kondisi sosial, kultural, dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lain di negara tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruh maupun sebagian oleh masyarakat adat dan tradisi masyarakat adat tersebut dengan hukum dan peraturan khusus.

Berdasarkan pemaparan mengenai definisi masyarakat adat dapat dilihat bahwa masyarakat adat merupakan bentuk kesatuan yang patut diakui oleh suatu negara dengan salah satu aspek penting yang menjadi bagian kehidupan adat seperti sistem nilai lokal dalam aspek sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Terkait konsep kebudayaan lokal sendiri menurut Horton dan Hunt (1999) kebudayaan adalah seperangkat peraturan, tata cara, gagasan dan nilai dari pengalaman yang mendukung memenuhi kebutuhan. Selain kebudayaan terdapat pula kelembagaan yang turut mengatur kehidupan masyarakat adat. Horton dan Hunt (1999) juga mendefinisikan sistem lembaga sebagai sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umum tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Oleh karena itu suatu lembaga mencakup (1) seperangkat pola perilaku yang telah distandarisasi dengan baik, (2) serangkaian tata kelakuan, sikap dan nilai-nilai yang mendukung (3) sebentuk tradisi, ritual acara, simbol, pakaian, dan perlengkapan lain.

Serangkaian konsep mengenai tata kelakuan, sikap dan nilai-nilai yang mendukung kehidupan adat selaras dengan unsur-unsur perasaan komunitas yang menjadi gambaran kohesivitas dan eksistensi mereka. Menurut R.M MacIever and Charles seperti dikutip Soekanto (2002) mengungkapkan unsur-unsur perasaan komuniti (community sentiment) antara lain:

(a) Seperasaan: unsur seperasaan akibat seseorang berusaha untuk mengidentifikasi dirinya dengan sebanyak mungkin orang dengan kelompok tersebut. Kepentingan individu diselaraskan dengan kepentingan kelompok. (b) Sepenanggungan: setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan

keadaaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya dalam kelompok dijalankan sehingga dia mempunyai kedudukan yang pasti dalam darah dagingnya sendiri.

(c) Saling memerlukan: individu yang tergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada komunitinya yang meliputi kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis.

(23)

unsur-unsur kekhasan komunitas adat tersebutlah yang mampu membedakan secara nyata bagaimana masyarakat adat dengan masyarakat biasa baik di perkotaan maupun perdesaan.

Komparasi Komunitas Adat dan Tata Pemerintahan Desa

Keberadaan komunitas adat dapat dikatakan mengalami perubahan dalam berbagai aspek baik sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dari segi sosial dan budaya perubahan dirasakan dalam proses interaksi, nilai, wujud budaya, adat istiadat dan eksistensi modal sosial. Aspek ekonomi mengalami perubahan ketika prinsip matrealis sudah mengubah sistem ekonomi kekeluargaan, sedangkan aspek politik dapat terlihat jelas dalam dinamika pemerintahan wilayah pedesaan dan regulasi terkait.

Ditinjau dari sisi dinamika politik komunitas adat, berbagai penelitian menyebutkan sering terjadinya dualisme kepemimpinan adat dengan kepemimpinan pemerintah desa formal. Hal ini distimulus oleh adanya perubahan regulasi nasional. Kepemimpinan adat yang awalnya hampir mempengaruhi seluruh segi kehidupan komunitasnya kian mengalami penurunan secara fungsional. Kepemimpinan yang berlandaskan kharismatik serta asal usul genealogis pemimpin ini pada akhirnya mengalami pemisahan peranan dan wewenang. Peranan pemimpin adat cenderung menangani masalah-masalah informal terkait adat, budaya dan hubungan sosial, sedangkan kepemimpinan desa secara formal mengurusi hal-hal berkenaan dengan administrasi, birokrasi, program pembangunan hingga hubungan dengan pemerintah pusat.

Konsep desa telah dijelaskan dalam UU No.5 Tahun 1979 yang menyebutkan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pelaksanaannya UU No.5 Tahun 1979 ini mensyaratkan pemisahan administrasi desa dari hak adat istiadat dan hak asal usulnya. Sistem pemerintahan desa pun telah mengubah sistem pemerintahan lokal yang kental akan nuansa adat menjadi lebih seragam untuk berbagai daerah. Misalnya tata pemerintahan adat Nagari di Sumatera, sistem Ondoafi di Papua serta Banjar di Bali cenderung berubah sistem struktur birokrasi dan administrasi pemerintahannya. Namun demikian, pada perkembangannya sistem pemerintahan desa mulai mengalami transformasi yang cukup signifikan dalam upaya menghargai kebebasan otonom dan pengakuan keanekaragaman adat istiadat serta asal usul desa seperti pada UU No.22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 serta UU No.6 Tahun 2014.

(24)

dengan itu belum ada instrumen pengatur kehidupan komunitas adat secara spesifik dalam regulasi sebagaimana dalam tata pemerintahan desa formal. Kondisi demikian menjadi sangat dilematis. Disatu sisi perbedaan kekuatan mampu menjadikan bentuk sinergi dan kerjasama untuk mewujudkan efektivitas dan kesuksesan pembangunan namun disisi lain mampu menuai konflik laten akibat overlapping kepemimpinan ataupun perebutan kekuasaan. Untuk itu diperlukan upaya menyelaraskan keduanya sebagai langkah mendorong pemerintahan Indonesia yang lebih baik.

Tabel 1 Perbandingan karakter pemerintahan desa dan otoritas kelembagaan adat

Aspek Pemerintahan desa Kelembagaan adat

Basis kekuasaan Rakyat via pemilihan kepala desa  disahkan oleh negara atau pemerintah

Asal-usul keturunan, kewibawaan, kecendikiaan  prinsip primus inter pares (kematangan

kepribadian/usia) Wilayah kewenangan Semua urusan yang diatur

oleh peraturan perundangan

Semua urusan disatuan wilayah genealogis atau religi  biasanya cakupan pada hak ulayat

Sistem pengendalian organisasi sosial

Utilitarian  optimalisasi manfaat ekonomi, efesiensi, produktivitas

Normatif  operasionalisasi nilai-nilai budaya leluhur

Kepatuhan/ keterlibatan emosional masyarakat terhadap pemimpin Kalkulatif, “kering”, formalistik, organik fungsional

Kewajiban moral, “hangat”

informal dan melibatkan ikatan emosional, mekanisme interpersonal Sistem birokrasi Legal-rasional  mekanisme

kerja terdefinisi dalam prosedur yang baku

Melekat pada kharisma pemimpin adat  tergantung kearifan sang pemimpin

Sistem intensif Remunerasi dari negara Penghargaan sosial dari masyarakat  kehormatan dan rasa disegani

Decision making process Kepala desa, kelembagaan formal pemerintahan desa (BPD) dan arahan

pemerintahan kabupaten

Forum penghulu (pemimpin adat) dan musyawarah pemimpin masyarakat adat

Instrumen pengatur kehidupan sosial

Peraturan desa dan sistem hukum legal diatasnya (perda, PP, UU)

Norma-norma adat lokal dan pranata sosial lokal

Urusan pokok yang ditangani

Semua urusan administrasi publik dan pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan

Pengaturan sumberdaya alam (tanah ulayat) dan pemeliharaan harmoni sosial kemasyarakatan

(25)

Dinamika Regulasi Komunitas Adat

Perkembangan pembangunan dari waktu ke waktu masih belum mengakomodir kepentingan komunitas adat di pelosok-pelosok nusantara. Lebih dari itu muncul beragam permasalahan dan konflik mengenai komunitas adat, swasta, serta pemerintah, padahal secara tegas keberadaan komunitas adat sudah diakui dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yakni pada Pasal 18B Ayat 2

yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”

Selain tercantum di pengaturan undang-undang 1945 sebagai dasar negara, regulasi yang berkaitan dengan komunitas adat juga berkenaan dengan undang-undang tentang pemerintahan desa. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa keberadaan komunitas adat mengalami tumpang tindih dengan tata pemerintahan desa formal. Hal ini dipicu oleh adanya intervensi peraturan perundangan dan kelembagaan dari pusat. Pada masa Orde Baru undang-undang tentang pemerintahan desa diatur dalam UU No.5 Tahun 1979. Undang-undang ini dibuat untuk menyeragamkan pemerintahan desa karena pemerintahan yang tidak seragam mengenai pemerintahan desa dianggap dapat menjadi hambatan untuk melaksanaan pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat (Astuti 2009). Akibat penyeragaman ini keberadaan sistem pemerintahan adat yang kental dengan kearifan lokal mulai mengalami transformasi nilai dan perubahan pada aspek lain dalam kehidupan adat.

Selanjutnya pasca orde baru lengser, peraturan pemerintahan desa pun mengalami perubahan dengan diamandemennya UU No.5 Tahun 1979 menjadi UU No.22 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini hak dan asal usul desa lebih diakui sebagai proses otonomi daerah yang kian digaungkan. Hal tersebut sebagai wujud kebebasan dari sistem otoriter Orde Baru yang selalu dikendalikan oleh pemerintah pusat. Orientasi otonomi daerah ini kemudian membuka peluang bahwa sistem pemerintahan lokal mampu berkembang sesuai dengan kehendak masyarakatnya demi menunjang efektivitas pembangunan. Namun demikian, walaupun UU No.22 Tahun 1999 memberikan lebih banyak kekuasaan kepada daerah, dalam prakteknya ternyata masih menyimpan banyak persoalan, baik teknis administrasi maupun respon pemerintah daerah dan masyarakat terhadap penyelenggaraan otonomi daerah (Al Rasyid 2005).

(26)

Dari berbagai pemaparan analisis tersebut tidak dipungkiri bahwa terjadi perubahan aspek politik dalam tata pemerintahan desa yang bersangkutan dengan keberadaan komunitas adat di Indonesia. Perubahan tersebut nyatanya tidak hanya berpengaruh pada birokrasi dan administrasi formal di suatu desa namun juga merambah aspek lain seperti nilai-nilai dan interaksi hubungan individu maupun lembaga dalam implementasi perubahan ketiga undang-undang tersebut. Jika dikaji lebih lanjut terdapat perbedaan ketiga undang-undang pada lampiran 1.

Sajian perbandingan ketiga undang-undang tata pemerintahan pada tabel lampiran 1 terlihat bagaimana ketiganya membawa pandangan spesifik yang berbeda. Beberapa hal mendasar yang menjadi perbandingan misalnya orientasi “desa” pada ketiga undang-undang tidak sama persis. Kedua undang-undang terakhir memiliki kecenderungan sama dengan orientasi otonomi daerah. Meskipun demikian, semangat otonomi daerah yang diusung oleh undang-undang tersebut nampaknya masih bias dalam mengakomodir kepentingan komunitas adat terbukti belum ada aturan spesifik yang mengatur. Demikian juga halnya pada aspek lain seperti kewenangan desa, keuangan desa, kelembagaan, serta demokrasi dan tata pemerintahan desa itu sendiri hanya berorientasi pada desa formal khususnya UU No.5 Tahun 1979 sedangkan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 berorientasi pada pemerintahan lokal namun kurang spesifik menganggap Desa Adat terlebih masih menyisakan bentuk intervensi pusat.

Selain ketiga undang-undang pemerintahan desa tersebut, muncul pula undang-undang baru sebagai sintesis dan perbaikan yaitu UU No.6 Tahun 2014. Dalam UU No.6 Tahun 2014 orientasi yang difokuskan bukan sekedar isu otonomi daerah sebagai formalitas namun juga mengusung pengakuan desa adat sebagai wilayah pemerintahan lokal secara formal. Pemaknaan desa dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain pengertian desa yang cukup berbeda dari undang-undang sebelumnya pemerintahan desa adat diatur secara khusus dalam undang-undang ini.

(27)

Transformasi Desa

Berdasarkan pemaparan sebelumnya mengenai macam-macam regulasi yang mengatur tata pemerintahan desa di Indonesia menandakan bahwa terdapat proses transformasi yang menarik. Transformasi ini dilakukan sebagai wujud implementasi aturan yang ada. Perubahan distimulus dengan UU No.5 Tahun 1979, UU No.22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 hingga UU No.6 Tahun 2014. Masing-masing regulasi tersebut memiliki esensi yang berbeda sebagai bentuk evaluasi dari regulasi sebelumnya. Masing-masing bentuk aturan diubah secara signifikan hingga yang terakhir mampu mencetuskan kebijakan khusus Desa Adat. Lebih dari itu, program kebijakan berdasarkan ketiga undang-undang pun didukung dengan berbagai peraturan pemerintah, peraturan daerah hingga peraturan desa. Bentuk spesifik dari proses transformasi desa ini dapat terlihat dalam PP No.72 Tahun 2005 dan PP No.43 Tahun 2014.

Penjelasan mengenai peraturan spesifik tentang desa dalam PP No.72 Tahun 2005 lebih berorientasi pada desa secara umum, meskipun dalam regulasi periode ini sudah mencanangkan asas otonomi daerah namun belum menjelaskan lebih detail bagaimana bentuk otonomi jika kesatuan tersebut berupa komunitas adat. Secara garis besar regulasi ini mengatur beberapa hal misalnya mengenai ketentuan umum, proses pembentukan dan perubahan desa, kewenangan desa, pelaksanaan pemerintahan desa, dan lain-lain. Dari berbagai aspek demikian, salah satu yang menarik untuk dikaji dalam peraturan pemerintah ini adalah proses pembentukan dan perubahan status desa. Pembentukan desa atau kesatuan yang disebut dengan nama lain dapat diprakarsai oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan lokal dan partisipasi aktif mereka serta didukung oleh berbagai stakeholder terkait, sedangkan proses perubahannya sendiri justru hanya menjabarkan tentang bagaimana status desa menjadi kelurahan. Menurut peraturan tersebut, desa dapat berubah status menjadi kelurahan dengan beberapa ketentuan yang memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, sarana prasarana pemerintahan, potensi ekonomi dan kondisi sosial budaya masyarakat.

Berbeda dari PP No.72 Tahun 2005, untuk mendeskripsikan UU No.6 Tahun 2014 dibentuk pula PP No.43 Tahun 2014 sebagai pelengkap regulasi mengenai desa. Dalam PP No.43 tahun 2014 terdapat pengaturan baru mengenai Desa Adat. Pengaturan baru tersebut meliputi pembentukan dan perubahan status desa, lembaga kemasyarakatan serta lembaga adat. Pembentukan desa dijelaskan sebagai proses yang diprakarsai pemerintah bersama stakeholder terkait dan warga yang dilakukan dengan prosedur hingga verifikasi kelayakan. Selain itu perubahan status desa dalam PP No.43 Tahun 2014 dijelaskan secara lebih rinci. Perubahan status bukan saja mengenai perubahan desa menjadi kelurahan namun ditambahkan dengan perubahan kembali kelurahan menjadi desa, perubahan desa adat menjadi desa serta perubahan desa menjadi desa adat.

(28)

menteri. Semua proses penyelenggaraan tersebut harus berdasarkan pada hak asal usul desa adat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “hak asal usul” termasuk hak tradisional dan hak sosial budaya masyarakat adat, sedangkan penyelenggaraan hak asal usul oleh desa adat paling sedikit meliputi penataan sistem organisasi dan kelembagaan masyarakat adat, pranata hukum adat, pemilikan hak tradisional, pengelolaan tanah kas desa adat, pengelolaan tanah ulayat, kesepakatan dalam kehidupan masyarakat desa adat, pengisian jabatan kepala desa adat dan perangkat desa adat serta masa jabatan kepala desa adat. Menurut Pasal 30 PP No.43 Tahun 2014 ini menyebutkan bahwa penetapan desa adat dilakukan dengan mekanisme pengidentifikasian desa yang ada dan pengkajian terhadap desa yang ada yang dapat ditetapkan menjadi desa adat.

Penguatan Sosial Politik Komunitas Adat

Berkaitan dengan beragam bentuk perubahan regulasi dari pusat hingga sekarang, komunitas adat dan pemerintahan desa membutuhkan proses penyiapan kembali. Penyiapan ini mempertimbangkan bagaimana awalnya pemerintahan adat sebagai pilar utama kehidupan desa berganti menjadi tata administrasi desa formal. Selain itu perubahan dilanjutkan ketika isu otonomi daerah yang menuntut kebebasan lokal tercantum pada UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 yang mengubah pemerintahan desa formal kembali dituntut mampu mengakomodir kepentingan adat istiadat desa setempat. Namun demikian pada perkembangan tahap ini, lembaga adat masih terpisah dengan tata pemerintahan desa formal. Lembaga adat diakui sebagai lembaga yang memiliki peranan yang hanya sebagai pelengkap tanpa mengembalikan peranan aslinya. Bukan hanya itu, pemerintahan desa formal yang memiliki wewenang untuk menerapkan sistem adat tidak serta merta bertransformasi. Pada beberapa kasus seperti pemerintahan Nagari di Sumatera, beberapa Nagari yang sudah dipecah menjadi desa formal tidak berkenan lagi mengubah ke sistem pemerintahan Nagari seperti amanah UU No.32 Tahun 2004 yang menghargai adat istiadat dan asal usul desa.

Kondisi demikian menjadi pertimbangan untuk pembangunan selanjutnya termasuk merespon adanya regulasi yaitu UU No.6 Tahun 2014 yang mengusung tentang pengaturan Desa Adat secara spesifik dan rinci. Hal tersebut menimbulkan kondisi dilematis. Disatu sisi keberadaan komunitas adat semakin memiliki badan hukum yang mengaturnya secara bebas dan diakui sebagai tata pemerintahan formal. Disisi lain akan muncul persoalan yang berhubungan dengan kesiapan kultural, SDM, sosial dan politik. Konsep kesiapan dilihat dari sisi psikologi menurut Slameto seperti dikutip Nurbaya dan Moerdiyanto (2012) yaitu kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseorang atau individu yang membuatnya siap untuk memberikan respon atau jawaban di dalam cara tertentu terhadap suatu situasi dan kondisi yang dihadapi. Hal ini dapat merepresentasikan keseluruhan kondisi komunitas adat yang membuatnya siap atau tidak untuk memberikan respon terhadap situasi perubahan regulasi khususnya UU No.6 Tahun 2014.

(29)

didalamnya. Menurut Putnam yang dikutip Primadona (2012) mendefinisikan modal sosial mengacu pada organisasi sosial dengan jaringan sosial, norma-norma dan kepercayaan sosial yang dapat menjembatani terciptanya kerjasama dalam komunitas sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Modal sosial ini menyangkut kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network). Selain itu sejumlah parameter penelitian yang dimodifikasi dari Jousairi (2006) dan Hadi (2005) seperti dikutip Afif (2012) dapat dijadikan sebagai instrumen awal penelitian indikator modal sosial yang meliputi:

(1) Partisipasi dalam Jaringan organisasi sosial/kerja, dapat dilihat dari: kerelaan membangun jaringan kerjasama antar sesama, keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/kerja, keaktifan dalam penyelesaian konflik, keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan sosial/kerja.

(2) Kepercayaan antar sesama, dapat dilihat dari: Tingkat kepercayaan terhadap sesama, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat kepercayaan terhadap tokoh masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap ketua kelompok dan pengurus kelompok lainnnya. (3) Ketaatan terhadap norma, dilihat dari: tingkat ketaatan terhadap norma yang

dianut, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat ketaatan terhadap aturan pemerintah.

(4) Kepedulian terhadap sesama, dapat dilihat dari: kepedulian terhadap sesama anggota kelompok, kedekatan dengan orang yang diberi perhatian, sumber motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain.

(5) Keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial, dilihat dari: tingkat keinginan untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesama, frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial, jumlah organisasi sosial yang diikuti, partisipasi dalam pengambilan keputusan pada organisasi sosial.

(30)

Kepemimpinan dalam masyarakat tradisional semacam ini juga pada umumnya dilaksanakana secara kolegial (bersama-sama).

Berlanjut dari konsep kepemimpinan secara umum, Soekanto (2000) mengungkapkan tugas pokok seorang pemimpin secara sosiologis sebagai berikut: (a) Memberikan suatu kerangka yang jelas yang dapat dijadikn pegangan bagi

pengikutnya, skala prioritas, menanggulangi masalah.

(b) Mengawasi, mengendalikan serta menyalurkan perilaku warga masyarakat yang dipimpinnya.

(c) Bertindak sebagai wakil kelompok kepada dunia luar kelompok yang dipimpin.

Aspek lain politik di antaranya adalah kekuasaan, distribusi dan struktur pranata politik. Budiardjo (2000) dalam bukunya Dasar-Dasar Politik mengungkapkan konsep kekuasaan dan pembagian atau distribusi. Kekuasaan menurutnya adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi kemampuan tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku, sedangkan pembagian (distribusi) lebih diartikan sebagai pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Alokasi ini beranggapan bahwa politik adalah membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai secara mengikat. Di sisi lain struktur pranata politik didefinisikan Kornblum dalam Budiardjo (2000) sebagai seperangkat norma dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang. Dalam hal ini pranata politik tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang menerapkan hukuman atau paksaan fisik tetapi juga berfungsi untuk mencapai kepentingan bersama dari anggota kelompok masyarakat tersebut sedangkan secara khusus, kesiapan dan pengaturan desa adat sendiri telah tercantum dalam UU No.6 Tahun 2014. Dalam pasal 97 ayat 2 undang-undang tersebut, kesatuan komunitas hukum adat harus memiliki wilayah dan unsur adanya komunitas yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok, pranata pemerintahan adat, harta kekayaan atau benda adat, serta perangkat norma hukum adat.

Kerangka Pemikiran

Berdasarkan hasil analisis dan kajian referensi terkait dinamika kehidupan komunitas adat banyak yang mengangkat penelitian terkait aspek politik, budaya, sosial, ekonomi dan lingkungan. Namun demikian masih banyak yang belum mengintegrasikan beberapa dari aspek tersebut. Selain itu kajian sebelumnya juga banyak yang mengangkat bagaimana perubahan regulasi di Indonesia mengenai tata pemerintahan desa yang bersentuhan langsung dengan kehidupan komunitas adat itu sendiri. Regulasi yang dimaksud berkenaan dengan realitas ini adalah UU No.5 Tahun 1979 pada masa pemerintahan Orde Baru dan UU No.22 Tahun 1999 serta UU No.32 Tahun 2004 pasca orde baru yang lebih berorientasi otonomi daerah. Pada perkembangannya baru-baru ini telah disahkan mengenai undang-undang tata pemerintahan desa yang lebih mengusung hak dan kewenangan komunitas adat yakni UU No.6 Tahun 2014.

(31)

pada sejarah mengenai perubahan kehidupan sosial, politik dan budaya masyarakat menanggapi perubahan regulasi serupa pada masa Orde Baru dan pasca orde baru justru menyisakan sebuah kesangsian dan permasalahan yang cukup kompleks. Dengan demikian menarik untuk dianalisis lebih lanjut bagaimana kesiapan komunitas lokal dalam menanggapi perubahan regulasi di tahun 2014 ini. Kajian kesiapan didasarkan pada aspek sosial dan politik yang merupakan aspek penting dan bersentuhan langsung didalam komunitas. Kesiapan aspek sosial ini dilihat berdasarkan analisis modal sosial khususnya dalam komunitas yang kental dengan nilai adat. Hal-hal terkait modal sosial direduksi sebagai partisipasi dalam jaringan organisasi sosial atau kerja, kepercayaan antar sesama, ketaatan terhadap norma, kepedulian terhadap sesama dan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial mapun adat.

Partisipasi dalam jaringan organisasi sosial dapat dilihat dari kerelaan membangun jaringan kerjasama antar sesama, keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/adat, keaktifan dalam penyelesaian konflik, keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan sosial/adat, sedangkan kepercayaan antar sesama dapat dilihat dari tingkat kepercayaan terhadap sesama, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, tingkat kepercayaan terhadap tokoh masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap ketua kelompok dan pengurus kelompok lainnnya. Selain itu ketaatan terhadap norma dilihat dari tingkat ketaatan terhadap norma yang dianut, tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku, serta tingkat ketaatan terhadap aturan pemerintah.

Selanjutnya dua indikator lain yang dapat dilihat adalah kepedulian terhadap sesama, dapat digambarkan dari kepedulian terhadap sesama anggota kelompok, kedekatan dengan orang yang diberi perhatian, serta sumber motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain sedangkan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial, dapat dilihat dari tingkat keinginan untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesama, frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial, jumlah organisasi sosial yang diikuti, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan pada organisasi sosial.

Selain melihat dalam aspek sosial dilihat pula bagaimana dinamika kesiapan aspek politik masyarakat yang direpresentasikan melalui indikator struktur adat, pengambilan keputusan, kepemimpinan, alokasi atau penguasaan sumberdaya lokal serta perangkat hukum adat. Struktur adat mengidentifikasi bagaimana tingkatan komunitas adat dalam kehidupan mereka misalnya kelas sosial, serta anggapan kriteria penggolongan kelas sosial. Pengambilan keputusan diantaranya dapat dilihat dari peran dan pengaruh tokoh adat atau individu lain dalam pengambilan keputusan terkait dalam hal-hal tertentu serta pengaruh tokoh pengambil keputusan dalam aspek-aspek tertentu. Selain itu kepemimpinan cenderung melihat bagaimana gaya pemimpin lokal, peranan serta pengaruh mereka di antara komunitas adat secara luas di wilayah tersebut, sedangkan penguasaan sumber daya lokal lebih melihat bagaimana pola pembagian pengelolaan sumber daya lokal, sistem pengelolaan serta aspek terakhir yaitu perangkat hukum adat yang mengatur dasar hidup komunitas adat tersebut.

(32)

Komunitas dikatakan siap apabila sistem nilai adat dan eksistensi kearifan lokal mereka dalam berbagai aspek mampu dipertahankan bahkan menjadi identitas. Hal semacam ini membutuhkan upaya yang dijadikan proses penguatan secara lokal oleh komunitas adat. Dengan demikian kondisi kesiapan sosial politik dapat saling berpengaruh dengan proses penguatan yang terjadi. Setelah melihat hubungan antar keduanya maka bisa ditinjau bagaimana penguatan dan kesiapan sosial politik masyarakat adat dalam menanggapi amanah UU No.6 Tahun 2014. Kesesuaian inilah yang pada akhirnya diharapkan mampu menjadi cerminan bagaimana upaya yang dibutuhkan dalam melihat kepentingan komunitas adat secara lebih bijak. Kajian terkait hal tersebut dijabarkan dalam kerangka penelitian baru sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Tingkat Kesiapan Sosial:

-

Tingkat partisipasi dalam

jaringan organisasi sosial/kerja

-

Tingkat kepercayaan antar

sesama

-

Tingkat ketaatan terhadap norma

-

Tingkat kepedulian terhadap

sesama

-

Intensitas keterlibatan dalam

aktivitas organisasi sosial (adat)

Tingkat Kesiapan Politik:

-

Bentuk struktur adat

-

Proses dan aktor pengambil

keputusan

-

Tipe kepemimpinan

-

Bentuk alokasi/penguasaan

sumber daya

-

Perangkat hukum adat

Penguatan desa

adat (bedasarkan

pandangan

masyarakat):

-

Bentuk sistem

nilai adat

-

Bentuk stuktur

sosial desa

adat

-

Bentuk sistem

pengelolaan

sumber daya

Kesesuaian

dengan

amanah UU

No.6 Tahun

2014

Tentang

Desa

Gambar 1 Kerangka pemikiran sesuai topik penelitian

Hipotesis

Hipotesis uji dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. Kesiapan sosial berhubungan dengan penguatan desa adat 2. Kesiapan politik berhubungan dengan penguatan desa adat

Keterangan:

(33)

3. Faktor kesiapan sosial lebih dominan dalam hubungan dengan penguatan komunitas adat

4. Terdapat hubungan yang signifikan antara kesiapan sosial politik dengan penguatan desa adat.

Definisi Operasional

Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut:

1. Tingkat partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan dalam jaringan organisasi sosial/kerja di keseharian komunitas adat. Hal ini dapat dilihat dari kerelaan membangun jaringan kerjasama antar sesama, keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/adat, keaktifan dalam penyelesaian konflik, keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan sosial/adat. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut yaitu:

- Jumlah kelompok/jaringan organisasi yang diikuti

- Frekuensi keikutsertaan dalam kelompok/jaringan organisasi dan kegiatan lain

- Tingkat keterbukaan dalam melakukan hubungan sosial

- Frekuensi keterlibatan dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah dan memelihara hubungan

Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Selalu (skor 4)

- Sering (skor 3) - Jarang (skor 2) - Tidak pernah (skor 1)

Namun demikian pada pertanyaan-pertanyaan tertentu nilai skor disesuaikan dengan keterkaitan makna pernyataan tersebut. Selanjutnya berdasarkan hasil akumulasi skor dari pilihan responden maka dikategorikan kembali menjadi tingkat partisipasi tinggi dan rendah menggunakan standar deviasi.

2. Tingkat kepercayaan dapat dilihat dari rasa percaya terhadap sesama, rasa percaya terhadap norma yang berlaku, rasa percaya terhadap tokoh masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah, kepercayaan terhadap ketua kelompok dan anggota masyarakat lainnnya. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur variabel tingkat kepercayaan yaitu:

- Tingkat kepercayaan terhadap tokoh adat - Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah

- Tingkat kepercayaan terhadap anggota komunitas lainnya Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut:

- Sangat percaya (skor 4) - Percaya (skor 3)

- Kurang percaya (skor 2) - Tidak percaya (skor 1)

(34)

berlaku, tingkat ketaatan terhadap aturan pemerintah atau tingkat intensitas pelanggaran yang pernah dilakukan. Adapun indikator untuk mengukur tingkat ketaatan terhadap norma/aturan yaitu:

- Frekuensi melaksanakan norma yang dianut - Tingkat kepercayaan terhadap norma yang berlaku - Frekuensi pelanggaran norma/aturan yang ada

Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Selalu (skor 4)

- Sering (skor 3) - Jarang (skor 2) - Tidak pernah (skor 1)

4. Tingkat kepedulian sesama dapat dilihat dari rasa peduli terhadap sesama anggota kelompok, kedekatan dengan orang yang diberi perhatian, sumber motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain. Adapun indikator untuk mengukur variabel tersebut yaitu:

- Tingkat kepeduliaan terhadap adat

- Frekuensi kedekatan interaksi dengan orang dalam adat - Motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut:

- Tinggi (skor 4), cukup tinggi (skor 3), sedang (skor 2), rendah (skor 1) - Selalu (skor 4), Sering (skor 3), jarang (skor 2), tidak pernah (skor 1) - Motivasi hubungan sosial (skor 4), banyak orientasi (skor 3), orientasi

ekonomi (skor 2), hanya orientasi ekonomi (skor 1)

5. Intensitas keterlibatan aktifitas sosial/adat dapat dilihat dari tingkat keinginan untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesama, frekuensi mengikuti kegiatan adat, frekuensi keterlibatan dalam aktivitas lain. Adapun indikator untuk mengukur intensitas keterlibatan dalam aktifitas sosial/adat adalah:

- Tingkat keinginan untuk menambah pengalaman dalam aktifitas adat - Frekuensi keterlibatan dalam penyampaian aspirasi dalam adat Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut:

- Sangat ingin (skor 4), Ingin (skor 3), cukup ingin (skor 2), tidak ingin (skor 1)

- Selalu ikut/terlibat (skor 4), sering ikut/terlibat (skor 3), jarang ikut/terlibat (skor 2), tidak pernah ikut/terlibat (skor 1)

6. Bentuk struktur adat merupakan pola stratifikasi anggota komunitas ke dalam kelas-kelas atau golongan yang ditafsirkan oleh komunitas adat baik secara sosial ataupun menurut pandangan subjektif komunitas. Adapun indikator untuk mengukur bentuk struktur adat yaitu:

- Pola stratifikasi anggota komunitas ke dalam kelas sosial - Kuat lemahnya stratifikasi yang ada di masyarakat adat - Efektivitas lembaga adat dalam menjalankan fungsi

Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut:

- Sangat kuat (skor 4), kuat (skor 3), cukup kuat (skor 2), lemah (skor 1) - Sangat efektif (skor 4), efektif (skor 3), cukup efektif (skor 2), tidak efektif

(skor 1)

(35)

misalnya tokoh adat, kepala desa formal, ataupun masyarakat. Adapun indikator untuk mengukur aktor dan peran pengambil keputusan yaitu:

- Aktor dengan frekuensi pengambilan keputusan tertinggi - Pengaruh adat terhadap proses pemilu

Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut:

- Tokoh adat (skor 4), masyarakat adat (skor 3), kepala desa (2), tokoh lain (skor 1)

- Sangat berpengaruh (skor 4), sedikit berpengaruh (skor 3), biasa saja (skor 2), tidak berpengaruh (skor 1)

8. Tipe kepemimpinan lebih dimaksudkan dengan kuat lemahnya pengaruh dan kepentingan pemimpin melalui proses interaksi dan relasi dengan individu masyarakat, kelompok komunitas maupun pihak eksternal serta gaya yang dipakai seperti demokratis atau otoriter. Adapun indikator untuk mengukur variabel tersebut yaitu:

- Tingkat pengaruh pemimpin adat

- Gaya pemimpin adat dalam melibatkan warga

Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut:

- Sangat berpengaruh (skor 4), berpengaruh (skor 3), tidak terlalu berpengaruh (skor 2), sama sekali tidak berpengaruh (skor 1)

- Selalu melibatkan (skor 4), sering melibatkan (skor 3), kadang-kadang melibatkan (skor 2), tidak melibatkan (skor 1)

9. Bentuk alokasi/penguasaan sumber daya merupakan pengaturan yang mengikat komunitas berkaitan dengan pembagian lahan, kepemilikan lahan individu dan komunal, dan pengelolaan sumberdaya hutan. Adapun indikator untuk mengukur bentuk alokasi/penguasaan sumber daya yaitu:

- Sejauhmana pengaturan lahan diterapkan

- Tingkat pengaruh pengelolaan sumber daya adat - Tingkat pengaruh pihak luar

Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut:

- Masih sangat kuat (skor 4), masih kuat (skor 3), adanya percampuran (skor 2), sudah tidak diterapkan (skor 1)

- Sangat berpengaruh (skor 4), berpengaruh (skor 3), cukup berpengaruh (skor 2), tidak berpengaruh (skor 1)

10. Perangkat hukum adat merupakan perangkat jabatan dalam pengurus hukum adat yang berperan mempertahankan eksistensi tradisi mereka. Adapun indikator untuk mengukur perangkat hukum adat yaitu:

- Sejauhmana kelengkapan perangkat hukum adat

- Tingkat keinginan warga diatur oleh perangkat hukum adat - Tingkat komodifikasi budaya

Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut:

- Sangat lengkap (skor 4), lengkap (skor 3), cukup lengkap (skor 2), hanya aspek adat (skor 1)

- Sangat ingin (skor 4), ingin (skor 3), biasa saja (skor 2), tidak ingin (skor 1)

11. Tingkat kekuatan sistem nilai adat secara keseluruhan dinilai dari pendapat komunitas sejauhmana perangkat aturan yang dillaksanakan. Adapun indikator untuk mengukur bentuk dan sistem nilai adat yaitu:

(36)

Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut:: - Sangat kuat (skor 4)

- Kuat (skor 3) - Lemah (skor 2) - Sangat lemah (skor 1)

Aspek ini dinilai dari pernyataan dengan pengukuran skala likert yang dijawab responden selanjutnya dapat diakumulasikan dan dikategorikan menjadi kuat dan lemah.

12. Tingkat kekuatan stuktur sosial adat secara keseluruhan merupakan kuat atau lemahnya stratifikasi sosial di komunitas adat yang masih berlaku ataupun yang telah berintegrasi. Adapun indikator untuk mengukur bentuk struktur sosial desa adat:

- Pandangan komunitas terhadap kuat atau lemahnya struktur sosial desa adat

Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Sangat kuat (skor 4)

- Kuat (skor 3) - Lemah (skor 2) - Sangat lemah (skor 1)

Aspek ini dinilai dari pernyataan dengan pengukuran skala likert yang dijawab responden selanjutnya dapat diakumulasikan dan dikategorikan menjadi kuat dan lemah.

13. Tingkat kekuatan sistem pengelolaan sumber daya dalam hal ini melihat kuat atau tidaknya implementasi pengelolaan adat berdasarkan pendapat komunitas. Adapun indikator untuk mengukur bentuk sistem pengeloaan sumber daya yaitu:

- Pandangan komunitas terhadap kuat atau lemahnya sistem pengelolaan sumber daya adat

Selanjutnya pengukuran terhadap variabel tersebut sebagai berikut: - Sangat kuat (skor 4)

- Kuat (skor 3) - Lemah (skor 2) - Sangat lemah (skor 1)

(37)

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian penguatan sosial politik komunitas adat ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan pendekatan penelitian survei dan didukung oleh metode kualitatif. Penelitian kuantitatif berorientasi pada survei yang berasal dari data sampel di lapangan. Sampel diambil untuk mewakili keseluruhan populasi. Pendekatan lapang pun dilakukan dengan penggalian informasi dari responden dengan kuesioner dan wawancara. Unit analisa dalam penelitian ini adalah komunitas adat di Desa Balla Tumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Secara umum penelitian ini lebih bertujuan untuk menjelaskan (explanatory) mengenai kondisi di lapang. Pada penelitian explanatory, peneliti menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1989). Selain metode penelitian kuantitatif yang telah dijelaskan, penelitian mengenai komunitas adat ini didukung pula oleh pendekatan kualitatif. Dalam hal ini penelitian dilakukan dengan teknik penelitian wawancara terstruktur, observasi, dan analisa data sekunder yang menjadi sumber referensi berkaitan dengan topik. Penelitian kualitatif tersebut diharapkan mampu melengkapi analisis data lapang yang berkaitan dengan dinamika komunitas adat baik berupa sejarah adat, nilai, norma, tradisi maupun pendekatan terhadap tokoh adat serta stakeholder lain.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada komunitas adat Desa Balla Tumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat. Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian pada bulan Juni 2014, sedangkan proses penelitian di lapangan dilakukan selama 2 minggu, yaitu pada bulan September hingga Oktober 2014. Pemilihan lokasi ini dilatarbelakangi oleh relevansi kondisi lapang dengan masalah penelitian yang diangkat. Adapun kegiatan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel jadwal kegiatan (lampiran 2).

Teknik Sampling

Populasi penelitian adalah seluruh komunitas adat di Desa Balla Tumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Adapun unit penelitian atau populasi sasarannya adalah sampel individu komunitas adat tersebut. Peneliti menetapkan masing-masing sampel dalam penelitian sebanyak 45 orang anggota komunitas adat untuk merepresentasikan kondisi dan pandangan mengenai hal-hal yang diteliti. Adapun mekanisme pengambilan sampel disajikan pada Gambar 2:

(38)

Gambar 2 Bagan mekanisme pengambilan sampel

Sesuai dengan tujuan penelitian yang menganalisis kesiapan sosial politik komunitas adat maka cukup relevan jika kerangka sampling yang digunakan adalah kerangka sampling individu dalam komunitas adat sebagai unit analisis yang diharapkan mampu menjadi representasi populasi komunitas tersebut. Metode pengambilan sampel menggunakan simple cluster sampling dan acak sederhana secara purposive. Proses ini dilakukan dengan membagi karakteristik responden menjadi individu yang dapat berbahasa Indonesia dan individu yang tidak mampu berbahasa Indonesia. Selanjutnya sampel individu yang mampu berbahasa Indonesia di pilih secara acak dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan didasarkan atas kesamaan karakteristik sosial masyarakat target responden. Selain itu pengambilan acak dengan pertimbangan yaitu dengan alasan penyesuaian kondisi lapang yang sulit terakses. Kemudian dari kerangka sampling yang sudah dipertimbangkan ditarik sebagai sampel beberapa unsur atau satuan yang diteliti.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang didapatkan melalui observasi, kuesioner, dan wawancara kepada responden dan informan di lokasi penelitian berupa kuesioner hasil, serta hasil FGD dan wawancara mendalam. Untuk menguatkan kuesioner sebagai salah satu instrumen maka dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Dari uji tersebut maka diperoleh alpha sebagai berikut:

Tabel 2 Uji statistik reliabilitas

Cronbach's Alpha N of Items

0.866 65

Aturan dalam penentuan nilai alpha yaitu jika nilai alpha > 0.90 maka reliabilitas sempurna, jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.90, maka reliabilitas tinggi, jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.5 maka reliabilitas moderat, dan jika nilai alpha

Metode pemilihan simple cluster sampling

Pemilihan sampel secara purposive

Responden penelitian Komunitas adat

Desa Balla

Tumuka Individu yang mampu

berbahasa Indonesia

(39)

<0.5 maka reliabilitas rendah. Tabel hasil uji reliabililitas pada kuesioner penelitian ini menunjukkan angka 0.866 artinya kuesioner memiliki reliabilitas tinggi.

Adapun data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti pemerintah desa, tokoh adat dan hasil penelitian sebelumnya yang dijadikan unit analisa. Data sekunder yang diambil dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti profil desa, nama dan jumlah anggota KK yang dijadikan unit analisa, dan data-data terkait lainnya.

Pengolahan dan Analisis Data

(40)
(41)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambaran Desa Balla Tumuka

Desa Balla Tumuka adalah salah satu desa yang tergabung dalam kesatuan wilayah Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat. Pada mulanya di Balla hanya terdapat satu desa yang diberi nama Desa Balla. Kini telah mengalami pemekaran menjadi enam desa yang tergabung dalam satu Kecamatan Balla. Desa Balla dimekarkan berdasarkan musyawarah yang dihadiri tokoh masyarakat, LKMD, tokoh agama dan pemuda. Pemekaran tersebut pada saat itu diusulkan melalui bupati kepada Gubernur Sulawesi Selatan. Kemudian terbitlah Surat Keputusan Gubernur No.210/II/Tahun 1998 tentang Desa Balla Tumuka, serta dikuatkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Polmas No KPTS.28a/BK/II/Tahun 2002 sebagai desa wisata. Secara geografis luas wilayah Balla Tumuka adalah 775 Ha di atas ketinggian antara 1200 mdpl-1400 mdpl. Kondisi lahan di wilayah ini merupakan perbukitan menanjak dan permukaan tanah yang miring sehingga seringkali menimbulkan kesulitan akses transportasi. Desa Balla Tumuka berbatasan dengan desa-desa lain yaitu (a) sebelah utara berbatasan dengan Desa Ulumambi Kecamatan Bambang, (b) sebelah timur berbatasan dengan Desa Pidara, (c) sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pambe, dan (d) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Porondo Bulawan

(42)

Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk masing-masing dusun menurut jenis kelamin di Desa Balla Tumuka tahun 2014

Jenis Kelamin

Dusun Jumlah %

Balla

Peu‟ Bamba Pongko

Galangrapa‟ Rante Masanda

Rante Puang

Laki-laki 169 147 152 132 88 691 48.01

Perempuan 184 154 173 148 92 748 51.99

Jumlah 353 301 325 280 180 1439 100

% 24.53 20.92 22.59 19.46 12.51 100

Sumber: Monografi Desa Balla Tumuka 2014 (diolah)

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa persentase penduduk tertinggi bertempat di Dusun Balla Peu‟ sedangkan persentase terendah bertempat di Dusun Rante Puang. Seperti dijelaskan sebelumnya, kondisi Dusun Rante Puang yang terletak paling jauh dan sulit akses menjadikan dusun tersebut dihuni sedikit orang. Selain itu, apabila dilihat dari kategori umur maka Desa Balla Tumuka secara keseluruhan memiliki persentase penduduk tertinggi di usia 56-60 tahun sedangkan persentase ter

Gambar

Tabel 1  Perbandingan  karakter  pemerintahan  desa  dan  otoritas  kelembagaan adat
Tabel 1  Perbandingan karakter pemerintahan desa dan otoritas kelembagaan adat
Gambar 1  Kerangka pemikiran sesuai topik penelitian
Gambar 2 Bagan mekanisme pengambilan sampel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pelaksanaan program pemberdayaan komunitas adat terpencil di Desa Meranti Barat Kecamatan Silaen Kabupaten Toba Samosir, Kepala Desa Meranti Barat melakukan kerjasama yang

Pada dasarnya, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia. Keberadaan ABRI sebagai kekuatan sosial

Setelah penulis melakukan penelitian tentang tradisi Rewang sebagai sistem pertukaran sosial dalam pelaksanaan pesta pernikahan adat jawa di desa petapahan jaya Sp- 1,

Pada masa sekarang dolmen masih digunakan sebagai medium ritus adat baik yang berhubungan dengan kepemimpinan seperti pelantikan raja, sistem sosial seperti upacara panas pela

Beberapa pertanyaan mendasar patut diperhatikan dalam mengkaji trasformasi sosial budaya dalam pemberdayaan modal budaya Desa Adat Kuta sebagai daya tarik wisata dalam hegemoni

Fokus pengabdian yang dilakukan tim sebagai tindak lanjut pemetaan sosial yang telah dilakukan adalah dengan penguatan kegiatan keagamaan di Desa Babadan Kecamatan

Berdasarkan observasi dan diskusi langsung dengan mitra didapatkan beberapa permasalahan yang dihadapi yaitu Dalam kehidupan kekinian masyarakat adat Meto di Desa

Kontrol sosial yang dilakukan lembaga adat di Desa Lubuk Tenam sudah mulai lemah bahkan ada aturan dan sanski yang sudah hilang dan digantikan dengan aturan sanksi yang baru, seperti