• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN HAKIM AD HOC DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN HAKIM AD HOC DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang diharapkan mampu memberikan kedamaian pada masyarakat saat kekuasaan negara seperti eksekutif dan kekuasaan legislatif hanya menopang kelompok tertentu dalam masyarakat. Secara etimologis kata “hakim” berasal dari arab hakam; hakiem yang berarti maha adil, maha bijaksana, sehingga secara fungsional hakim diharapkan mampu memberikan keadilan dan kebijaksanaan dalam memutus sengketa para pencari keadilan.

Tataran teoritis, hakim juga diharapkan mampu memberikan pengayoman sehingga putusan yang dijatuhkan kepada pencari keadilan tidak semata sebagai upaya ultimum remedium namun juga sebagai upaya untuk mengembalikan keharmonisan dalam masyarakat yang terganggu akibat adanya tindak pelanggaran hukum. Bahkan hakim juga merupakan personifikasi dari rasa kepastian hukum dan keadilan, sehingga hakim layak diberikan kemampuan impartial (bukan merupakan bagian) dari kekuasaan negara lainnya (Bagir Manan, 2002; 7)

(2)

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR), Undang-undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Lahirnya berbagai peraturan per-Undang-undangan terebut juga tidak terlepas dari era-reformasi pada pertengahan Tahun 1997. Masyarakat telah lebih berani untuk menyampaikan aspirasi terhadap tuntutan bahwa praktek kasus korupsi khususnya dan penegakan hukum yang lemah secara umum mempunyai kontribusi negatif yang sangat signifikan terhadap terpuruknya ekonomi indonesia yang akhirnya berjuang pada krisis ekonomi dan moniter serta krisis multidimensi (Kwiek Kian Gie, 2003 ; 12)

Kedudukan para hakim seperti yang dimaksud oleh penjelasan UUD 1945 diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang ini mengatur bahwa: “tugas dari pada hakim adalah harus sesuai dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat maka dari itu dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya”.

(3)

kelokasi yang terpencil. Hal itu semua tentu saja dapat menjadi persoalan serius dan akan mempengaruhi hakim dalam menangani perkara yang berkaitan dengan pemerintah, baik secara individu maupun secara institusi.

Kewajiban dan kedudukan para hakim seperti dimaksud oleh penjelasan UUD 1945 diatur dalam undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. Kewajiban disini meliputi kewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menangani tindak pidana korupsi tidak terlepas juga dari kewenangan Pengadilan tipikor, yang memang khusus dibuat untuk menangani kasus korupsi. Kewenangan ini terfokus dalam suatu bentuk pengadilan khusus mengenai masalah Korupsi.

Undang-undang ini diatur pula mengenai Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc yang persyaratan pemilihan dan pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada umumnya. Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah.

(4)

Mengenai Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Hakim Karir dan Hakim ad hoc yang persyaratan pemilihan dan pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada umumnya. Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi serta mengembalikan kepercayaan Hukum dalam masyarakat, peneliti tertarik untuk mengkaji dan menelaah tentang“Peran Hakim Ad Hocdalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi’’.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang diidentifikasikan sebagai berikut :

a. Bagaimana peran HakimAd-Hocdalam peradilan Tipikor?

b. Apakah faktor penghambat peran HakimAd-Hocdalam peradilan Tipikor?

2. Ruang Lingkup

(5)

C. Tujuan dan Kegunaan penulisan

1. Tujuan penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui peran HakimAd-Hocdalam peradilan Tipikor.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat Peran HakimAd-Hoc dalam peradilan tipikor .

2. Kegunaan Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun praktis, adapun kegunaan teoritis dan praktis itu adalah :

a. Kegunaan Teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka melakukan pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana mengenai dasar hukum, peran dan wewenang Hakim ad-hoc dalam tindak pidana korupsi.

b. Kegunaan praktis, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada para praktisi hukum terutama kepada para hakim baik hakim pengadilan negeri maupun hakim ad hoc sebagai aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang mengadili tindak pidana korupsi.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

(6)

acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan (Abdulkadir Muhammad, 2004: 73)

Mengatur penyelenggaraan sebuah peradilan yang sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang ketentuan-ketentuan penyelenggara peradilan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut, mengatur beberapa pasal mengenai dasar-dasar peradilan sampai dengan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam hal ini dikhususkan bahwa, hakim memiliki peranan pelaksana putusan pengadilan.

Peranan adalah segala perilaku yang berhubungan dengan setatus sosial. Soerjono Soekanto (1988: 13) menyatakan suatu peranan tertentu dapat dijabarkan ke dalam dasar-dasar sebagai berikut :

1. Peranan yang ideal(ideal role)

2. Peranan yang seharusnya (expected role)

3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri(perceived role) 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)

Berkaitan dengan penegakan hukum, peranan ideal dan peranan yang seharusnya adalah memang peranan yang dikehendaki dan diharapkan oleh hukum dan telah ditetapkan oleh undang-undang. Sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan adalah peranan yang telah mempertimbangkan antara kehendak hukum yang tertulis dengan kenyataan-kenyataan, dalam hal ini kehendak hukum harus dengan kemampuannya berdasarkan kenyataan yang ada.

(7)

1. Peranan yang telah ditetapkan sebelumnya disebut sebagai peranan normatif, dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan hukum secara total enforcement, yaitu penegakan hukum yang bersumber pada substansi (substantive of criminal law).

2. Peranan ideal dapat diterjemahkan sebagai peranan yang diharapkan dilakukan oleh pemegang peranan tersebut. Misalnya kejaksaan sebagai suatu organisasi formal tertentu diharapkan berfungsi dalam penegakan hukum dapat bertindak sebagai pengayom bagi masyarakat dalam rangka mewujudkian ketertiban dan keamanan yang mempunyai tujuan akhir untuk kesejahteraan masyarakat. 3. Interaksi kedua peranan yang telah diuraikan diatas, akan membentuk peranan

faktual yang dimiliki kejaksaan.

Penanggulangan pidana korupsi berdasarkan pada teori Hofnagels, politik kriminal meliputi:

1. Penerapan hukum pidana. 2. Pencegahan tanpa pidana.

3. Mempengaruhi pandangan masyrakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masa.

(8)

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif itu, antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi sosial yang secara langsung atau tidak secara langsung dapat menimbulkan masalah atau menumbuh suburkan kejahatan, seperti adanya tindak pidanan korupsi yang isinya dapat menganggu perekonomian negara.

Ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu: Kepastian hukum (rechtsicherheit), kemanfaatan/kegunaan (zweekmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit) (Sudikno Mertokusumo, 1991: 134).

Penegakan hukum terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan.

5. Faktor kebudayaan.

(9)

Wewenang Hakim serta Kedudukan Hakim menurut Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 24 dan 25 Undang-undang 1945. Berdasarkan teori diatas penulis akan menerapkan dengan analisis dari penegak hukum, yaitu Peran serta Faktor penghambat HakimAd-Hocdalam peradilan Tipikor.

2. Konseptual

Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau hendak diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 132)

Adapun pengertian yang mendasari dari istilah-istilah yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah :

a. Peran adalah sesuatu yang jadi bagian atau yang memegang pimpinan terutama dalam terjadinya sesuatuhal atau peristiwa (Balai Pustaka,1990: 213)

b. Hakim Ad-hoc adalah hakim yang diangkat oleh presiden berdasarkan rekomendasi ketua mahkamah agung (Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Korupsi)

c. Tipikor adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau kooperasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)

(10)

berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

e. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 angka 8 KUHAP).

f. Undang-undang adalah kaidah hukum tertulis yang dibuat pejabat yang berwenang atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat (secara) umum (Bagir Manan, 2000 : 9)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini memuat keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan mempermudah pemahaman konteks skripsi ini, maka alur penulisan disusun secara sistematis sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, serta menguraikan kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

(11)

III. METODE PENELITIAN

Dalam bab ini memuat tentang metode-metode penulisan skripsi, berupa langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, sumber data dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengolahan data serta analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai eksistensi hakim ad-hoc, dengan menggunakan data yang diperoleh dilapangan baik berupa data primer dan data sekunder.

V. PENUTUP

(12)

A. Kedudukan Hakim Menurut Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dan Hukum Acara Pidana

1. Kedudukan Hakim Menurut Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman

Pasal 25 UUD 1945 menyebutkan : “syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan Undang-undang”. Selanjutnya penjelasan dari Pasal 24 dan 25 UUD 1945 mengatakan : “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubungan dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang kedudukan para hakim”.

(13)

Menurut Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, sebagai hakim ia memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

1. Hakim sebagai penegak hukum dan kewajiban wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 Ayat 1).

2. Ketentuan ini mewajibkan kepada hakim untuk bertindak aktif, karena menyadari bahwa masyarakat Indonesia masih mengenal hukum-hukum tidak tertulis, maka ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sehingga ia dapat memutuskan dengan bijaksana sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat, sehinga keputusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.

3. Kewajiban mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara tertentu (Pasal 29 Ayat 3).

4. Kewajiban hakim untuk mundur menurut pasal ini, apabila seorang hakim masih terikat hubungan keluarga sampai derajat ketiga atau semanda dengan ketua, salah seorang Hakim Angota, Jaksa, Penasehat Hukum atau Panitera juga dengan yang diadili.

5. Kewajiban bersumpah atau berjanji menurut agama sebelum melakukan jabatannya (Pasal 30).

(14)

dilihat dalam keputusan selalu didahului dengan kata-kata “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pelaksanan tugas hakim kedudukannya adalah bebas. Bebas artinya ia tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun dalam melaksanakan tugasnya, ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Segala campur tangan dalam unsur-unsur peradilan oleh pihak-pihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal tersebut dalam Undang-undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ”.

Maksud isi dari pasal tersebut adalah agar pengadilan dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, yakni memberikan keputusan semata-mata berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran, maka tekanan atau pengaruh dari luar terhadap hakim tidak dibenarkan oleh pasal ini karena akan menyebabkan para hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya.

2. Kedudukan Hakim Pokok Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(15)

berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini”.

Pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa dalam proses menerima, memeriksa dan memutuskan perkara, seorang hakim harus berpegang pada asas bebas, jujur, dan tidak memihak dan undang-undang menjamin hal ini. Jaminan terhadap kedudukan hakim merupakan hal penting guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

Berhubungan dengan kebebasan hakim, perlu dijelaskan tentang posisi hakim yang tidak memihak, dalam hal ini hakim tidak memihak artinya tidak berat sebelah dalam pertimbangan-pertimbangan penilaiannya. Mencegah terjadinya keberpihakkan hakim terhadap satu atau beberapa orang yang terkait dalam suatu persidangan, maka KUHAP menentukan bahwa apabila terdapat hal demikian maka kewajiban dari hakim adalah mengundurkan diri. Ini dilakukan agar dalam memimpin jalannya persidangan seorang hakim tidak mendapat pengaruh dari pihak-pihak tersebut dalam hal ini ditegaskan dalam KUHAP Pasal 157, yang menyebutkan :

(1) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut umum atau panitera.

(16)

Lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan hakim serta pengadilan maka perlu dijaga mutu (keahlian) para hakim, dengan diberikan syarat-syarat tertentu untuk menjadi hakim yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 tentang Peradilan Umum.

Syarat-syarat untuk diangkat dan diberhentikan menjadi hakim pengadilan negeri, menurut Pasal 14 Undang-undang Peradilan Umum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Warga Negara Indonesia.

2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

4. Bukan bekas anggota organisasi terlarang partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G 30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.

5. Pegawai Negeri. 6. Sarjana Hukum.

7. Berumur serendah-rendahnya 25 Tahun.

8. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.

Jabatan hakim menurut Pasal 18 Undang-undang peradilan umum tidak boleh dirangkap menjadi :

(1) Kecuali ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang, hakim tidak boleh merangkap menjadi :

a. Pelaksana putusan pengadilan.

b. Wali, pengumpu dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa.

c. Pengusaha.

(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi penasehat Hukum.

Pemberhentian hakim dapat dilakukan baik dengan hormat ataupun secara tidak hormat dari jabatannya. Menurut Pasal 19 Undang-undang Peradilan Umum pemberhentian dengan hormat dari jabatannya dapat dilakukan dengan alasan :

1. Karena permintaan sendiri.

2. Sakit jasmani atau rohani terus-menerus. 3. Telah berumur 63 Tahun.

(17)

Menurut Pasal 20 hakim dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya dengan alasan :

1. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan. 2. Melakukan perbuatan tercela.

3. Terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya. 4. Melanggar sumpah atau janji jabatan.

5. Melanggar larangan yang dimaksud dalam Pasal 18.

B. Proses Pengangkatan, Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

1. Kedudukan dan proses pengangkatan hakim di pengadilan tipikor

Sesuai Undang-undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, majelis hakim dalam perkara korupsi di Pengadilan Tipikor terdiri dari lima orang. Dua diantaranya hakim karir. Sedangkan tiga lainnya adalah hakimad-hoc. Hakim karir Pengadilan Tipikor ditunjuk langsung oleh Ketua Mahkamah Agung. Sedangkan hakim ad-hocdiangkat oleh Presiden berdasarkan rekomendasi Ketua Mahkamah Agung.

Pada Pengadilan Tipikor, seorang hakim tipikor dituntut memiliki suatu integritas pengetahuan yang tinggi dan dapat melakukan penafsiran-penafsiran hukum yang dituangkan secara lisan, khususnya dalam melakukan penyidikan dan penuntutan guna memberikan keadilan terhadap bangsa dan negara atas perilaku korupsi yang akan dituntaskan. Spirit memberantas korupsi yang kuat itu harus ada pada Pengadilan Tipikor.

(18)

53 yang menyebutkan bahwa : Undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tipikor yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hakim karir Pengadilan Tipikor diangkat berdasarkan penunjukan langsung yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung. Di dalam menjalankan tugasnya para hakim tidak tunduk pada suatu lembaga manapun, melainkan ia hanya tunduk kepada Mahkamah Agung selaku lembaga yang memiliki kekuasaan tertinggi untuk mengangkat dan memberhentikan para hakim karir baik yang telah menjalankan tugasnya dengan benar maupun terhadap penyimpangan yang telah dilakukan oleh hakim. Hakim Karir harus pula tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai pedoman bagi para hakim dalam menjalankan tugasnya, untuk menjaga kemungkinan dari pemecatan baik secara hormat maupun tidak terhormat dan dalam rangka melakukan penegakan hukum bagi rakyat.

Hakim ad hoc diangkat oleh Presiden berdasarkan rekomendasi Ketua Makamah Agung. Artinya dalam pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian para hakim ad hoc tidak terlepas dari kewenangan Ketua Mahkamah Agung sebagai suatu lembaga yang memiliki kekuasaan tertinggi dan yang tentunya dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam mengangkat para hakimad hoc.

(19)

meminimalisir pengangkat hakim ad-hoc baru yang tentunya telah diuji kinerjanya sebagai hakimad-hocbaru Pengadilan Tipikor.

Sebelum melakukan pengangkatan hakim ad-hoc baru, Panitia seleksi (Pansel) selain yang terdiri atas Hakim Agung dari Mahkamah Agung dan pejabat struktural Mahkamah Agung lainnya, juga berasal dari dua organisasi di luar Mahkamah Agung yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang bergerak dibidang pemberi bantuan hukum bagi rakyat pencari keadilan dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) yang mewakili dan berdomisili di Jakarta, guna untuk menciptakan suatu transparansi proses pengangkatan para hakimad-hoc.

Melakukan tes profilassessmentterdapat beberapa prosedur tes yang harus diikuti yaitu :

1. Tes Psikologi atau Harisonassessment test.

Dalam test tersebut terdapat 17 pertanyaan yang harus dijawab secara cepat, singkat dan jelas yang tentunya harus disertakan dengan dasar dan analisis hukum yang kuat.

2. Tes Kompetensi Profesi.

(20)

penelusuran rekam jejak yang dilakukan oleh Koalisi Pemantau Peradilan dan Pansel terus dilakukan dan akan diserahkan sebelum wawancara.

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981/KUHAP, memberikan tugas dan wewenang hakim

1 . Tugas Hakim:

a. Menetapkan hari sidang (Pasal 152).

b. Memimpin pemeriksaan di sidang dan menjaga supaya tidak dilakukan atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas (Pasal 153 ayat (2)).

c. Memerintah terdakwa untuk dipanggil masuk (Pasal 154).

d. Menanyakan terdakwa tentang identitasnya, mengingatkan terdakwa untuk memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihat disidang, meminta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan dan menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti (Pasal 155).

e. Memberikan keputusan terhadap keberatan terdakwa atau penasihat hukum bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan harus diatalkan (Pasal 156).

f. Meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan dengan yang lain sebelum memberi keterangan disidang (Pasal 159).

g. Memanggil saksi ke dalam ruang sidang seorang demi seorang, menanyakan kepada saksi keterangan tentang identitas saksi dan hubungan saksi dengan terdakwa (Pasal 160).

h. Memperingatkan kepada saksi untuk memberikan keterangan yang disangka palsu dengan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila saksi tetap memberikan keterangan palsu (Pasal 174 ayat (1)).

i. Menegur terdakwa apabila bertingkah yang tidak patut sehingga menggangu ketertiban sidang, memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang jika terdakwa tidak mengindahkan teguran hakim tersebut (Pasal 176).

j. Menunjukan seorang juru bahasa bagi terdakwa atau saksi yang tidak paham Bahasa Indonesia (Pasal 177).

k. Mengangkat orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi sebagai penterjemah bagi terdakwa atau saksi yang bisu dan tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178).

l. Memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti (Pasal 181).

(21)

n. Memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadikan hak terdakwa setelah hakim mengucapkan putusanpemidanaan (Pasal 196).

o. Menandatangani surat putusan. 2. Wewenang Hakim:

a. Melakukan penahanan (Pasal 20).

b. Menangguhkan penahanan dan mencabut penangguhan penahanan (Pasal 31).

c. Menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 17 tahun tidak di perkenankan menghadiri sidang (Pasal 153 ayat (5)).

d. Memerintahkan agar sksi yang tidak hadir (meskipun telah dipanggil dengan sah) tersebut dihadapkan persidangan (Pasal 159 ayat (2)).

e. Menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau penasihat hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan alasannya (Pasal 164).

f. Meminta kepada saksi segala keterangan yang dianggap perlu (Pasal 165 ayat (1)).

g. Menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran masing-masing (Pasal 165 ayat (4)).

h. Mendengar keterangan saksi tanpa hadirnya terdakawa (Pasal 173).

i. Memberikan perintah agar saksi ditahan karena memberi keterangan disidang disangka palsu (Pasal 174 ayat (2)).

j. Meminta keterangan ahli (Pasal 180).

k. Membuka kembali pemeriksaan di persidangan yang telah dinyatakan tertutup (Pasal 182 ayat (2)).

l. Memberi penjelasan tentang hukum yang berlaku (Pasal 221).

m. Menunda pemeriksaan perkara sampai pada hari sidang yang lain (Pasal 223 ayat (2)).

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan tugas dan wewenang hakim

1. Tugas Hakim :

a. Menandatangani tiap putusan pengadilan.

(22)

d. Mengkaji, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan masa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

2. Wewenang Hakim adalah menandatangani penetapan, ikhtisar rapat permusyawarahan dan berita acara pemeriksaan.

C. Pengertian dan Karakteristik Tindak Pidana Korupsi

Menurut Barda Nawawi Arief, “Kata korupsi berasal dari bahasa latin

corruption’ atau ‘corruptus’, kemudian mucul dari bahasa inggris ‘corruption’ dan bahasa Belanda ‘corrupti’. Selanjutnya diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi “korupsi”(1998: 3).secara harafiah kata korupsi berarti “kebusukan,

keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral,

penyimpangan dari kesucian” (Andi Hamzah, 2005:7). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1991: 352),

“korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti: penggelapan uang, penerimaan

uang sogok, dan lain sebagainya”. Sementara dalam encyclopedia americana,

“korupsi diartikan sebagai suatu hal yang buruk dengan berbagai macam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat, dan bangsa” (Leden Marpaung, 2004:18)

Penelusuran terhadap berbagai pengertian dan keriteria mengenai korupsi, penulis berpendapat bahwa korupsi pada intinya adalah sesuatu yang buruk dalam persepektif sosial. Sementara itu, dari perspektif hukum, menurut Baharudin

Loppa, “korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan,

(23)

merugikankesejahtraan atau kepentingan rakyat/umum” (1997: 26). ICW (indonesian corruption watch) berpendapat, “korupsi adalah penyimpangan standar prilaku manusia (standards behavior)” (dalam Husni Umar dan Syukri Ilyas, 2004: 32). Sedangkan Bank Dunia mendefinisikan korupsi sebagai “Abuse of public office, yaitu penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi

atau kelompok” (Leden Marpaung, 2004: 20)

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan, bahwa tindak pidana korupsi adalah:

1. Perbuatan melawan hukum memperkay diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat (1)).

2. Perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

(24)

4. Perbuatan memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan Kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) Huruf b).

5. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima Pemberian atau janji sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b (Pasal 5 ayat (2)).

6. Perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud Untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6).

7. Perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf b).

8. Perbuatan hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a (Pasal 6 ayat (2)).

9. Perbuatan advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b (Pasal 6 ayat (2)).

(25)

orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a).

11. Perbuatan orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b).

12. Perbuatan orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c).

13. Perbuatan orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisain Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan pearbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d).

14. Perbuatan orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c (Pasal 7 ayat (2).

(26)

atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8).

16. Perbuatan pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementarawaktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9).

17. Perbuatan pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusak atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya (Pasal 10).

18. Perbuatan pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, surat, atau daftar tersebut (Pasal 10 huruf a).

(27)

20. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima Hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau Janji itu tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatan (Pasal 11).

21. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban (Pasal 12 huruf a).

22. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban (Pasal 12 huruf b).

23. Perbuatan hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau Patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi Putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c).

(28)

berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d).

25. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukun, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima potongan, pembayaran dengan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (Pasal 12 huruf d).

26. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang ada pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepadapegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain untuk ke kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang (Pasal 12 huruf f).

27. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu Menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau menyerahkan Barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui Bahwa hal tersebut bukan merupakan utang (Pasal 12 huruf g).

(29)

29. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (Pasal 12B ayat(1).

30. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 13).

31. Perbuatan orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).

32. Perbuatan orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 14).

33. Perbuatan orang yang melakukan percobaan,pembantuan,atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15).

(30)

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disamping diketahui jenis-jenis tindak pidan korupsi di indonesia (34 jenis), juga diketahui tempat pengaturan tindak pidana korupsi, yaitu didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang, Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan didalam Undang-Undang lainnya.

Menurut Roland-Abaroa, “Korupsi terutama dikalangan pemerintahan,

disebabkan karena adanya monopoli kekuasaan, ditambah dengan luasnya kewenangan diskresi dan ketiadaan akuntabilitas. Hal tersebut dirumuskan sebagai berikut : C = M+D-A. Keterangan : C = Corruption, M = Monopoly power D = Discretionry by official, dan A =Accountability(Singgih, 2002: 76)

Berangkat dari rumusan semacam ini, maka menurut Abaroa, “Pemberantasan

korupsi harus dilakukan melalui upaya sistematis dengan mengurangi kekuasaan monopoli, memperjelas dan membatasi kewenangan, dan meningkatkan keterbukaan (Singgih, 220 : 77)

(31)

D. Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.

(32)

dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan -tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidak adilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

1. Proses Hukum yang adil (layak)

(33)

bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

(34)

semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur yang terlibat didalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain.

2. Model Integrated Criminal Justice System

Dalam sistim peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial. Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-mata.

Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

(35)

Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana, ialah :

a) Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).

b) Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.

c) Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.

d) Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of justice”.

Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatat. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama

membentuk suatu “integrated criminal justice system”.

Muladi menegaskan maknaintergrated criminal justice systemadalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam :

1) Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

(36)

3) Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati pandangan-pandangan, sikar-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistim peradilan pidana.

Keselarasan dan keterkaitan antara sub sistem yang satu dengan yang lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu sub sistem, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim akan menimbulkan dampak kembali pada sub sisitim lainnya. Keterpaduan antara subsistem itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistem menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu komponen-komponen sistem peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Oleh karena peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum. Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan pidana (criminal policy system) harus dilihat sebagai “The Network of court and tribunals whichedeal with criminal law and it’s enforcement”.

(37)

gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.

Mardjono Reksodiputro dengan gambaran bekerjanya sistem peradilan pidana demikian maka kerjasama erat dalam satu sistem oleh instansi yang terlibat adalah satu keharusan. Jelas dalam hal ini tidak mudah, tetapi kerugian yang timbul apabila hal tersebut tidak dilakukan sangat besar. Kerugian tersebut meliputi:

a) kesukaran dalam menilai sendiri keberhasiolan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;

b) kesulitan memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem); dan

c) karena tanggung jawab masing instansi kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari system peradilan pidana.

Menteri Kehakiman sendiri pernah mengingatkan “dengan menggunakan kata system sebenarnya kita telah menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen administrasi peradilan pidana kita. Ini berarti perlu adanya keterpaduan dalam langkah dan gerak masing-masing sub system kearah tercapainya tujuan bersama”.

3. Modernisasi Sistem Peradilan

(38)

(legal stucture), substansi-substansi baru pengaturan hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture) maka akan timbul bahaya-bahaya terhadap ketentraman hidup (peaceful life) dalam berbagai kehidupan sosial, akan menjadi tidak pasti, tidak tertib serta tidak terlindung. Sebabnya adalah penegakan hukum aktual (actual enforcement) akan jauh dari penegakan hukum ideal (total enforcement and full anforcement).

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yakni konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali, yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual dan konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Era modernisasi dan globalisasi inilah sistim hukum ditantang untuk berperan sebagai mekanisme pengintegrasi (integrative mechanism) yang dapat mempersatukan berbagai dimensi kepentingan : (a) Antar kepentingan internal bangsa, (b) Antar kepentingan nasional dengan kepentingan internasional, (c) Antar sektor kehidupan nasional. Hukum nasional dalam era globalisasi di

(39)

kecenderungan-kecenderungan internasional ini memberikan warna di dalam kehidupan hukum nasional baik dalam pembentukan hukum, penegakan hukum maupun kesadaran hukum.

Disadari ataupun tidak, modernisasi dan globalisasi memang dapat menimbulkan permasalahan tersendiri dalam penegakan hukum. Meski demikian masalah pokok dalam penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya yang berdampak positif ataupun negatif terletak pada isi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto, adalah sebagai berikut :

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undang-undang.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

(40)

tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistim, terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

Salah satu cara untuk melaksanakan modernisasi sistim peradilan pidana adalah dengan membangun sebuah model. Menurut pendapat Herbert Packer, pendekatan normatif dibedakan ke dalam dua model, yaitu : crime control model dan due prosess model. Sedangkan menurut Muladi, model sistim peradilan pidana yang

cocok bagi Indonesia adalah yang mengacu kepada : “daad-dader strafrecht

yang disebut : model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.

Persepsi para pendukung crime control model dan due prosess model terhadap proses peradilan pidana adalah bahwa proses tersebut tidak lain merupakan suatu

decision making”. Crime control model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan “excessive leniency” sedangkan due prosess model merupakan

(41)

A. Pendekatan Masalah

Penelitian merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Hal ini disebabkan karena penelitian untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis konstruksi terhadap data yang dikumpulkan dan diolah (Soerjono Soekanto dan Sri mamudji : 1985: 1)

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan secara yuridis empiris. Dengan lebih memfokuskan pada pendekatan yuridis normatif. Pendekatan secara yuridis normatif dimaksudkan untuk mempelajari kaedah hukum, yaitu dengan mempelajari, menelaah asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian ini. Secara operasional pendekatan ini dilakukan dengan studi kepustakaan atau studi literatur.

(42)

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto. 1986 : 11). Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada yaitu :

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari wawancara di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang tidak diperoleh langsung di lapangan, tetapi data yang diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan bahan-bahan hukum, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari : 1. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

2. undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(43)

5. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

6. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti (Burhan Ashshofa. 1996 : 79)

(44)

Responden dalam penelitian ini sebanyak 4 (empat) orang, yaitu :

1. Hakim Pengadilan Tipikor Tanjung Karang : 2 orang 2. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 2 orang Jumlah : 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, prosedur pengumpulan data yang dilakukan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut, yaitu :

a. Studi Kepustakaan (Library research)

Yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, buku-buku, media massa dan informasi lain yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Editing, yaitu memeriksa kembali kembali kelengkapan jawaban, kejelasan,

(45)

b. Klasifikasi data, yaitu mengklarifikasi jawaban para responden menurut jenisnya, klarifikasi ini dilakukan dengan kode tertentu agar memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis.

E. Analisis Data

Pada kegiatan ini data yang dipeoleh kemudian dianalasis secara kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data yang dihasilkan dari penelitian di lapangan kedalam bentuk penjelasan atau uraian kalimat.

(46)

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Peran Hakimad hocdalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi

Pelaksanaan peran Hakim sebagai komponen utama lembaga peradilan, sekaligus sebagai bagian yang strategik dan sentral dari kekuasaan kehakiman, selain memberikan kontribusi dalam melaksanakan misi institusinya, juga menjadi kontributor dalam proses pelayanan publik dalam menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran. Di sisi yang lain, juga akan berimplikasi nyata terhadap pemenuhan tanggungjawab kelembagaan kekuasaan kehakiman.

(47)

mengintegrasikan hukum positif ke dalam nilai-nilai agama, kesusilaan, sopan santun dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat melalui setiap putusan yang dibuatnya. Karena pada hakikatnya, mahkota seorang hakim itu bukan pada palunya, melainkan pada bobot atau kualitas dari putusan yang dihasilkan serta Hakim tidak lagi memerankan dirinya sekedar"terompet Undang-undang", melainkan menempatkan posisinya sebagai "living intetpretator"dari rasa keadilan masyarakat.

2. Faktor penghambat peran hakimad hocdalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi

(48)

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dilakukan pembahasan dalam skripsi ini, maka saran-saran yang dapat penulis sampaikan sebagai berikut :

1. Mengingat beratnya peran dan tanggungjawab hakim tersebut, diperlukan manusia-manusia yang terpilih dan terpanggil yakni mereka yang sungguh-sungguh terpanggil jiwa dan hati nurani sebagai hakim nuraninya sebagai hakim. Karena profesi hakim tidak dapat dilakukan oleh orang-orang yang panggilan jiwanya hanya sebagai "penguasa" apalagi sebagai "pengusaha". Suara hati nurani yang hakekatnya berarti kesadaran moral atau sebagai pertimbangan akal yang ditanamkan Tuhan kepada manusia tentang baik dan buruk atau sebagai kenyataan dari budi kesusilaan.

2. Untuk mendapatkan hakim yang berkualitas, profesional, bertanggung jawab, adil dan benar diperlukan juga pemberian penghargaan yang layak. Selain itu masih juga diperlukan manajemen dan kontrol terhadap kinerja hakim secara proporsional dan profesional, penerapan sistem “reward and punishment

(49)

KORUPSI (Skripsi)

Oleh

Andi Ashdik Adly

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(50)

PERAN HAKIM AD HOC DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

Andi Ashadik Adly

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang diharapkan mampu memberikan kedamaian pada masyarakat, hakim juga diharapkan mampu memberikan pengayoman sehingga putusan yang dijatuhkan kepada pencari keadilan tidak semata sebagai upaya ultimum remedium namun juga sebagai upaya untuk mengembalikan keharmonisan dalam masyarakat yang terganggu akibat adanya tindak pelanggaran hukum. Mengenai Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Hakim Karir dan Hakimad hocyang persyaratan pemilihan dan pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada umumnya. Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi serta mengembalikan kepercayaan Hukum dalam masyarakat.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris guna memperoleh suatu hasil penelitian yang benar dan objektif. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian ini.Metode pendekatan yuridis empiris, yaitu menelaah hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian dilapangan untuk melihat fakta-fakta yang berkaitan dengan peran hakimAd hocTipikor.

(51)

mencakup penemuan dan pembaruan hukum. Hakim yang ideal, selain memiliki kecerdasan yang tinggi, juga harus mempunyai kepekaan terhadap nilai-nilai keadilan, mampu mengintegrasikan hukum positif ke dalam nilai-nilai agama, kesusilaan, sopan santun dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat melalui setiap putusan yang dibuatnya

(52)

KORUPSI

Oleh

Andi Ashdik Adly

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Pidana Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(53)

PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI Nama Mahasiswa : Andi Asdhik Adly

No. Pokok Mahasiswa : 0852011022

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M, S.H.,M.H. Dr. Maroni, S.H.,M.H. NIP 196208171987032003 NIP 196003101987031002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(54)

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati M, S.H.,M.H. ...

Sekretaris/Anggota :Dr. Maroni, S.H.,M.H. ...

Penguji Utama :Maya Shafira, S.H.,M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriandi, S.H.,M.S. NIP 19621109 198203 1 003

(55)

Penulis dilahirkan di Tulang Bawang pada tanggal 27 April 1990 sebagai anak kedua dari lima bersaudara pasangan Bahtiar dan Nilawati.

Jenjang pendidikan penulis dimulai pada Sekolah Dasar Negeri 3 Kibang Yekti Jaya, Tulang Bawang, diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SMP Negeri 2 Lambu Kibang, Tulang Bawang diselesaikan pada tahun 2005. Pendidikan di SMA Negeri 1 Banjar Agung, Tulang Bawang diselesaikan pada tahun 2008.

(56)

Berikan aku Hakim yang baik, Jaksa yang baik dan Polisi yang baik, maka aku

akan berantas kejahatan walau tanpa undang-undang secarik pun

(Prof. B.M. Taverne)

Seorang pejuang sejati tidak akan pernah mengenal kata akhir dalam

perjuangannya, ia tidak memerlukan gemuruh tepuk tangan tidak akan lemah

karena cacian dan tidak bangga akan penghargaan

(Anonim)

Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat

suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan

bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun

(57)

Kupersembahkan Karya Tulisku ini kepada

Papi dan Umi yang senantiasa

membantu penulis baik moril dan materiil,

ini adalah persembahan pertama dari putra kalian,

semua ini tiada sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan

yang Papi dan Umi berikan selama ini,

mudah mudahan ini menjadi langkah awal bagi putra kalian

untuk membalas budi baik yang sangat besar yang telah

kalian berikan selama ini, Amien...

Untuk Abang Perwira Abdul Aziz, Rodi Alpaizi, Vitriyana, Ali Nurdin serta Himpunan dan

Dara Rahmadani (bunga)

Untuk seluruh keluarga besarku yang selalu menantikan keberhasilanku

Untuk almamater UNILA yang selalu kubanggakan,

Serta untuk Keluarga Besar MAHUSA UNILA yang telah memberi banyak pengalaman yang

(58)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul“Peran Hakim Ad Hoc Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi”, yang harus ditempuh sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menambah mutu tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang paling dalam penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Haryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Mauliani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Maya Shyafira, S.H., M.H. selaku Pembahas Utama atas kritik, masukan dan saran-sarannya guna menyempurnakan skripsi ini.

(59)

waktu, memberi arahan dan saran serta dorongan semangat dalam menyempurnakan skripsi ini.

6. Ibu Rini Fatonah, S.H., M.H. selaku pembahas kedua yang telah meluangkan waktu, memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

7. Ibu Siti Azizah, S.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi kan nasehat dan bimbingan selama penulis menjadi Mahasiswa

8. Papi ku Bahtiar dan Umi ku Nilawati yang senantiasa membantu penulis baik moril dan materiil, skripsi ini adalah persembahan pertama dari putra kalian, semua ini tiada sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan yang Papi dan Umi berikan selama ini, mudah–mudahan ini menjadi langkah awal bagi putra kalian untuk membalas budi baik yang sangat besar yang telah kalian berikan selama ini, Amien.

9. Abang, adik, kakak ipar dan ponakan tercinta (Abang Perwira Abdul Aziz, Rodi Alpaizi, Vitriyana, Ali Nurdin, Himpunan dan Dara Rahmadani ’Bunga’ ) yang selalu memberikan semangat dan doa agar dapat berjuang bersama dalam mencapai cita-cita yang kita dan orang tua kita harapkan serta tak lupa pula Kakek dan Nenek ku tercinta “Jaddi Nurdin dan Nyaik Ten Badariyah serta sidi Hi. Abdulra’ub(alm) dan siti Hj. Maimuah ” yang selalu

memberikan pelajaran dalam hidup serta doa-doanya, semoga Jaddi, nyaik dan siti diberikan umur yang panjang oleh Allah SWT, Amien.

10. Ayah Bustoni, Ibuk, Pauda Burwawi, Muda, Papah Hasan Basri, Mamah, Pade Dahuri Santoni, Made, Paksu Ibrahim, Maksu serta Holi Ibrahim, Bunda, Paksu Rohman dan Maksu. yang telah memberi banyak perhatian, dan dukungan, kasihsayang serta do’a.

11. Keluarga Besar MAHUSA UNILA yang telah mengajarkan banyak hal, tempet Tertawa, Gembira, Sedih, Menangis, dan tempat pertamakali mulai berfikir, Kebersamaan, Kekeluargaan yang tidak bisa ditukar dengan apapun, dengan semagat jiwa dan tekat MAHUSA JAYAAAA

(60)

pertama sampai Angkatan 29 Salam Lestari...!

13. Keluarga Besar Lintas Baday 26 Arum, Bontet, Buluk, Ganggas, Gembur, Gendis, Golek, Kimung, Subuk. LUAR BIASA buat sikap, dukungan, dan kebersamaan kalian yang selama ini telah membantu membentuk prinsip dan karekter, semoga baday yang kita lalui akan menjadi cambuk untuk terus melangkah, AMBIL POSISI....!

14. Keluarga Besar Pencinta Alam, Teman-teman Giat pengalaman, Giat Lingkungan serta kepengurusan 2010-2011.

15. Teman-teman SD, SLTP, SMA, dan teman-teman Kuliah yang telah membangun serta memberi motivasi untuk menjadi yang terbaik.

16. Buat Doni saputra, Hasan Basri, Toni dan Pasukan GALAS Salam Hagat Smoga kita menjadi lebuh baik, Amin

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan semua pihak yang berkepentingan pada umumnya untuk kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat bagi semua.

Semoga segala bimbingan, bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan pahala dari Allah SWT, Amien yaa Robbal Allamin.

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat pentingnya peran dari seorang caregiver dalam program pendampingan psikososial, dimana pendampingan psikososial juga memiliki peran penting dalam memperbaiki

Menurut Mardalis (2004:58) teknik purposive yaitu pengambilan sampel pada pertimbangan dan tujuan tertentu yang dilakukan dengan sengaja Adapun pihak yang diwawancara

Jika informasi yang akan ditampilkan harus dipandang sebagai satu record pada saat tertentu atau harus dalam bentuk suatu fomulir, maka paging lebih tepat digunakan.

Melalui permainan konstruktif anak dapat berimajinasi, memecahkan masalah yang dihadapi, mengajukan pertanyaan, menebak-nebak yang kemudian menemukan jawaban (

Pengujian autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara galat pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode

Setelah penyidik menerima laporan tentang dugaan terjadinya tindak pidana kerusakan hutan yang disebabkan oleh pembalakan liar atau illegal logging baik

Hasil dari penelitian ini adalah terciptanya sebuah alat pemberi pakan ikan otomatis untuk membantu menyelesaikan masalah pemberian pakan pada pembudidayaan ikan

ノ Tokumaru,Yosihiko(2000)五'aspectmelodiquedelamusiquedesyamisen ,Selaf378,Paris:Editions Peeters..