KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA
TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU
OLEH
PERSADA AGUSSETIA SITEPU
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SEMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NAMA : PERSADA AGUSSETIA SITEPU
NOMOR POKOK : 99792
PROGRAM STUDI : PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT
JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KESESUAIAN KARAKTERISTIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN KESESUAIAN PEMANFAATANNYA DI ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU
DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ir. NEVIATY P. ZAMANI, MSc. (KETUA) Dr. Ir. VINCENTIUS P. SIREGAR, DEA. (ANGGOTA)
HARI : SENIN
TANGGAL : 20 JUNI 2005
WAKTU : 09.00 – 10.00 WIB
UJIAN TESIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NAMA : PERSADA AGUSSETIA SITEPU
NOMOR POKOK : 99792
PROGRAM STUDI : PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT
JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KARAKTERISTIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN KESESUAIAN PEMANFAATANNYA PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA, TAMAN NASIONAL
KEPULAUAN SERIBU
DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ir. NEVIATY P. ZAMANI, MSc. (KETUA) Dr. Ir. VINCENTIUS P. SIREGAR, DEA. (ANGGOTA)
DOSEN PENGUJI : Dr. Ir. UNGGUL AKTANI, MSc.
HARI : RABU
TANGGAL : 26 SEPTEMBER 2007
WAKTU : 09.00 WIB – SELESAI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang terletak di bagian utara
Jakarta. Wilayah ini merupakan kesatuan dari perairan laut dan pulau-pulau kecil
sebanyak 110 buah yang tersebar dari arah barat laut ke arah tenggara sekitar
Teluk Jakarta (SK Gub. DKI No. 1986 tahun 2000). Sebagai wilayah yang
memiliki karakteristik yang unik yang berbeda dengan wilayah lain di Jakarta,
pengelolaan wilayah Kepulauan Seribu kemudian ditetapkan secara administratif
menjadi salah satu Daerah Tingkat II di DKI Jakarta dengan nama Kabupaten
Adminitrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2001.
Wilayah ini telah cukup lama dikenal sebagai salah satu alternatif tujuan
wisata di wilayah Ibukota Jakarta. Perairan pantai dan masih terdapatnya objrk
daya wisata khas perairan laut tropis yaitu terumbu karang, maka pengembangan
wilayah Kepulauan Seribu ini terutama ditujukan pada sektor pariwisata. Di
dalam wilayah Kepulauan Seribu ini terdapat beberapa kawasan yang telah
ditetapkan menjadi kawasan konservasi yaitu berupa kawasan cagar alam, suaka
margasatwa dan taman nasional yang tentu saja dapat menjadi aset berharga
dalam rangka meningkatkan sektor pariwisata di wilayah ini.
Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) merupakan salah satu dari
kawasan konservasi tersebut, kawasan ini berada di bagian utara wilayah
Kepulauan Seribu yang keberadaannya telah ditetapkan sejak tahun 1995 dan
terakhir dikukuhkan sebagai taman nasional pada tahun 2002 melalui SK Mehut
No. 6310/Kpts-II/2002. Kawasan TNKpS meliputi perairan laut seluas 107.489
ha yang terletak pada posisi 5°24´-5°45´ LS dan 106°25´-106°40´ BT (Balai
TNKpS, 2002). UU No. 5 tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai
suatu “kawasan yang mempunyai ekosistim asli yang dikelola dengan sistem
zonasi dan dimanfaatkan untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
pariwisata dan penunjang budi daya”. Berdasarkan undang-undang tersebut
di dalamnya yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona Pemanfaatan Wisata dan
Zona Pemukiman.
Zona Pemanfaatan Wisata adalah zona yang di alokasikan untuk kegiatan
pariwisata di TNKpS. Zona ini meliputi kawasan perairan laut seluas 62.430 ha
dimana keberadaan terumbu karang di perairan ini yang umumnya berupa karang
sekitar pulau (fringing reef) atau gosong karang adalah yang menjadi objek utama
kegiatan periwisata di kawasan ini.
Di Zona Pemanfaatan Wisata yang merupakan hasil revisi zonasi Balai
TNKpS tahun 2004 melalui SK Dirjen PHKA Dephut No. 05/IV-KK/2004 ini,
seluruh pulau yang telah dikembangkan menjadi resort wisata seperti Pulau Bira,
Pulau Sepa, Pulau Putri dan Pulau Kotok dan pulau-pulau lain yang berdekatan
dengan pulau-pulau tersebut dimasukan ke dalam zona ini. Hal ini diharapkan
untuk lebih mengefektifkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam di dalam
kawasan untuk kegiatan pariwisata dan pengembangannya yaitu dengan
memberikan tata ruang yang jelas bagi para stakeholder.
Tetapi dalam pelaksanaannya oleh pihak TNKpS sebagai pengelola,
pengalokasian ruang saja dirasakan belum cukup efektif dalam rangka mengelola
zona ini, tetapi diperlukan juga adanya suatu aturan yang lebih spesifik di zona ini
sesuai dengan kondisi terumbu karang yang menjadi objek pemanfaatan. Hal ini
mengingat aturan yang digunakan dalam pengelolaan Zona Pemanfaatan Wisata
TNKpS saat ini masih sangat umum yaitu mengacu pada ketentuan pemanfaatan
sumberdaya alam di dalam kawasan taman nasional pada UU No. 5 tahun 1990
atau PP No. 68 tahun 1998 yang belum cukup jelas terutama bagi masyarakat atau
wisatawan yang memanfaatkannya.
Di zona ini berbagai aktivitas wisata dilakukan oleh para wisatawan
seperti menyelam atau snorkeling yang lokasinya terutama berada di sekitar
ekosistem terumbu karang. Selain aktivitas wisata bahari tersebut, beberapa
kegiatan pemanfaatan lain juga dilakukan di sekitar lokasi ini oleh stakeholder
lain terutama oleh masyarakat (nelayan) untuk memancing, menjaring ikan atau
aktivitas menangkap ikan lainnya.
Mengingat bahwa terumbu karang ini adalah merupakan ekosistem yang
dinamis dimana kondisinya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di
diketahuinya kondisi terumbu karang di zona ini yaitu berupa distribusi
keberadaan dan kondisi tutupannya agar dapat dilakukan pengelolaan yang lebih
efektif, sesuai kondisinya tersebut serta nilai dan potensi pemanfaatannya.
Untuk mengetahui kesesuaian pemanfaaatan kawasan terumbu karang pada
Zona Pemanfaatan Wisata ini diperlukan sebuah kajian yang dapat menganalisis
lokasi keberadaan, distribusi tutupan, nilai kawasan terumbu karang dan berbagai
aktifitas pemanfaatannya secara komperhensif.
Identifikasi Masalah
Meskipun di wilayah TNKpS telah di alokasikan zona khusus yaitu Zona
Pemanfaatan Wisata yang diperuntukan bagi berbagai kegiatan pemanfaatan
pariwisata alam dengan terumbu karang sebagai objek utama dalam
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kawasan tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya masih
belum cukup banyak diketahui kondisi terumbu karang yang ada di lokasi ini,
baik distribusi keberadaannya, tutupan dan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kondisi tersebut.
Belum cukup diketahuinya informasi tersebut di atas menyebabkan belum
diketahuinya pula nilai atau potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang yang
ada sehingga masih terdapat beberapa aktivitas yang tidak atau kurang sesuai
dengan nilai dan potensinya tersebut. Bahkan beberapa diantaranya dapat
berpotensi merusak kawasan terumbu karang di zona ini secara langsung maupun
tidak, seperti terinjak atau terkena jangkar kapal wisatawan maupun akibat
aktivitas stakeholder lain di luar kegiatan pariwisata seperti menangkap ikan
dengan menggunakan jaring dasar (muroami), penggunaan bahan peledak atau
bahan kimia berbahaya yang dilaporkan masih terjadi di kawasan terumbu karang
di zona ini.
Terjadinya berbagai permasalahan ini terutama diakibatkan karena belum
cukup jelas dan spesifiknya aturan yang mengatur kegiatan pemanfaatan kawasan
terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS ini. Aturan yang digunakan
saat ini masih mengacu pada ketentuan dasar pemanfaatan sumberdaya alam di
kawasan taman nasional di Indonesia yang masih sangat umum. Terdapatnya
potensinya tersebut sangat diperlukan dalam rangka mencapai kelestarian manfaat
kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS ini.
Perumusan Masalah
Dari identifikasi permasalahan di atas dapat dirumuskan permasalahan
yang ada sebagai berikut:
1. Masih belum cukup banyak diketahuinya kondisi kawasan terumbu karang di
Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS yaitu berupa distribusi keberadaan,
tutupan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Belum diketahuinya potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona
Pemanfaatan Wisata, TNKpS malalui nilai ekologi maupun pariwisata.
3. Belum cukup jelas dan spesifiknya aturan yang mengatur kegiatan-kegiatan
pemanfaatan di kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS.
Tujuan Penelitian
Dari uraian rumusan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis distribusi lokasi kawasan terumbu karang, persen tutupan
karangnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisinya tersebut di Zona
Pemanfaatan Wisata, TNKpS.
2. Menelaah potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan
Wisata, TNKpS melalui nilai ekologi dan pariwisatanya.
3. Mengidentifikasi arah aturan pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona
Pemanfaatan Wisata, TNKpS secara spesifik sesuai kondisi dan potensinya.
Kerangka Pemikiran
Zona Pemanfaatan Wisata sesuai fungsinya merupakan kawasan yang
dialokasikan untuk mengakomodasi berbagai aktifitas pariwisata dan
adalah kawasan yang mempunyai objek pemanfaatan yang bernilai secara
pariwisata yang potensial dan harus dikelola dengan baik dalam rangka mencapai
kelestarian manfaatnya. Aktifitas wisata bahari yang dilakukan oleh wisatawan
yang datang ke kawasan ini menjadikan terumbu karang yang ada di zona ini
sebagai objek utama berbagai aktivitas pariwisata di kawasan ini selain aktivitas
lain diluar kegiatan pariwisata yang juga menjadikan kawasan terumbu karang
sebagai objek utama pemanfaatannya.
Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan Zona Pemanfaatan Wisata di TNKpS
ini harus dapat menerapkan suatu konsep pengelolaan yang dapat menyelaraskan
antara kelestarian kawasan terumbu karang dengan berbagai kegiatan
pemanfaatannya sesuai fungsi zonanya di dalam kawasan taman nasional. Hal ini
dimaksudkan untuk mewujudkan terciptanya kelestarian manfaat (sustainable use)
kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata TNKpS sehingga kualitas
kawasan terumbu karang dapat tetap terjaga dan kegiatan pemanfaatannya yang
sesuai dapat terus berlangsung.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada para stakeholder tentang
kondisi kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS dan
faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhinya.
2. Meletakan dasar survei dan monitoring kawasan terumbu karang secara lebih
terarah sesuai kondisi dan potensinya di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS.
3. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan
pengelolaan yang terkait dengan kawasan terumbu karang di Zona
Survei/Inventarisasi Analisis Citra / GIS
Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan Terumbu Karang di Zona Pemanfaatan Wisata,TNKpS
Distribusi & Persentase Tutupan Karang
- Habitat sekitar karang
- Komposisi life form karang
- Komposisi genus karang
Zona Pemanfaatan Wisata,
- Posisi kawasan terumbu karang
- Lokasi terumbu karang
- Luasan
Kegiatan Pemanfaatan
stakeholders di ZPW, TNKpS Karang di ZPW, TNKpS
Nilai Ekologi dan Parwisata kawasan Terumbu Karang di
ZPW, TNKpS
TINJAUAN PUSTAKA
Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan kumpulan organisme karang yang hidup di perairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang komponen utamanya disusun oleh hewan-hewan karang dari Klas Anthozoa, Ordo Scleractinia, yang mampu membuat rangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan dan Wells, 1943 dalam Supriharyono, 2000). Hewan karang adalah hewan sessile
renik, umumnya berada dalam ekosistem bersama hewan laut lain seperti soft coral,
hydra, anemone laut dan lain-lain yang termasuk ke dalam Phylum Cnidaria
(Coelenterata) (Veron, 2000) dimana klasifikasi dari komunitas hewan-hewan dalam ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen terpenting di suatu ekosistem terumbu karang tersebut adalah karang batu (stony coral) yaitu hewan yang tergolong dalam Ordo Sclerectinia dimana kerangkanya terbangun dari rangka kapur (Nontji, 2002).
Tabel 1. Klasifikasi komunitas terumbu karang (Veron, 2002)
Klas Hydrozoa
Ordo Hydroidea (hydroids)
Ordo Milleporina (meliputi Genus Millepora)
Ordo Stylasterina (meliputi Genus Distichopora and Stylaster)
Klas Cubozoa (sea wasps)
Klas Anthozoa
SubKlas Octocorallia
Ordo Helioporacea (Genus Heliopora)
Ordo Alcyonacea (soft corals, Tubipora, sea fans)
Ordo Pennatulacea (sea pens)
SubKlas Hexacorallia
Ordo Actiniaria (sea anemones)
Ordo Zoanthidia (zoanthids)
Ordo Corallimorpharia (corallimorpharians)
Ordo Scleractinia (stony corals)
SubKlas Ceriantipatharia
Ordo Antipatharia (black corals)
KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA
TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU
OLEH
PERSADA AGUSSETIA SITEPU
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SEMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NAMA : PERSADA AGUSSETIA SITEPU
NOMOR POKOK : 99792
PROGRAM STUDI : PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT
JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KESESUAIAN KARAKTERISTIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN KESESUAIAN PEMANFAATANNYA DI ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU
DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ir. NEVIATY P. ZAMANI, MSc. (KETUA) Dr. Ir. VINCENTIUS P. SIREGAR, DEA. (ANGGOTA)
HARI : SENIN
TANGGAL : 20 JUNI 2005
WAKTU : 09.00 – 10.00 WIB
UJIAN TESIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NAMA : PERSADA AGUSSETIA SITEPU
NOMOR POKOK : 99792
PROGRAM STUDI : PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT
JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KARAKTERISTIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN KESESUAIAN PEMANFAATANNYA PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA, TAMAN NASIONAL
KEPULAUAN SERIBU
DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ir. NEVIATY P. ZAMANI, MSc. (KETUA) Dr. Ir. VINCENTIUS P. SIREGAR, DEA. (ANGGOTA)
DOSEN PENGUJI : Dr. Ir. UNGGUL AKTANI, MSc.
HARI : RABU
TANGGAL : 26 SEPTEMBER 2007
WAKTU : 09.00 WIB – SELESAI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang terletak di bagian utara
Jakarta. Wilayah ini merupakan kesatuan dari perairan laut dan pulau-pulau kecil
sebanyak 110 buah yang tersebar dari arah barat laut ke arah tenggara sekitar
Teluk Jakarta (SK Gub. DKI No. 1986 tahun 2000). Sebagai wilayah yang
memiliki karakteristik yang unik yang berbeda dengan wilayah lain di Jakarta,
pengelolaan wilayah Kepulauan Seribu kemudian ditetapkan secara administratif
menjadi salah satu Daerah Tingkat II di DKI Jakarta dengan nama Kabupaten
Adminitrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2001.
Wilayah ini telah cukup lama dikenal sebagai salah satu alternatif tujuan
wisata di wilayah Ibukota Jakarta. Perairan pantai dan masih terdapatnya objrk
daya wisata khas perairan laut tropis yaitu terumbu karang, maka pengembangan
wilayah Kepulauan Seribu ini terutama ditujukan pada sektor pariwisata. Di
dalam wilayah Kepulauan Seribu ini terdapat beberapa kawasan yang telah
ditetapkan menjadi kawasan konservasi yaitu berupa kawasan cagar alam, suaka
margasatwa dan taman nasional yang tentu saja dapat menjadi aset berharga
dalam rangka meningkatkan sektor pariwisata di wilayah ini.
Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) merupakan salah satu dari
kawasan konservasi tersebut, kawasan ini berada di bagian utara wilayah
Kepulauan Seribu yang keberadaannya telah ditetapkan sejak tahun 1995 dan
terakhir dikukuhkan sebagai taman nasional pada tahun 2002 melalui SK Mehut
No. 6310/Kpts-II/2002. Kawasan TNKpS meliputi perairan laut seluas 107.489
ha yang terletak pada posisi 5°24´-5°45´ LS dan 106°25´-106°40´ BT (Balai
TNKpS, 2002). UU No. 5 tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai
suatu “kawasan yang mempunyai ekosistim asli yang dikelola dengan sistem
zonasi dan dimanfaatkan untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
pariwisata dan penunjang budi daya”. Berdasarkan undang-undang tersebut
di dalamnya yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona Pemanfaatan Wisata dan
Zona Pemukiman.
Zona Pemanfaatan Wisata adalah zona yang di alokasikan untuk kegiatan
pariwisata di TNKpS. Zona ini meliputi kawasan perairan laut seluas 62.430 ha
dimana keberadaan terumbu karang di perairan ini yang umumnya berupa karang
sekitar pulau (fringing reef) atau gosong karang adalah yang menjadi objek utama
kegiatan periwisata di kawasan ini.
Di Zona Pemanfaatan Wisata yang merupakan hasil revisi zonasi Balai
TNKpS tahun 2004 melalui SK Dirjen PHKA Dephut No. 05/IV-KK/2004 ini,
seluruh pulau yang telah dikembangkan menjadi resort wisata seperti Pulau Bira,
Pulau Sepa, Pulau Putri dan Pulau Kotok dan pulau-pulau lain yang berdekatan
dengan pulau-pulau tersebut dimasukan ke dalam zona ini. Hal ini diharapkan
untuk lebih mengefektifkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam di dalam
kawasan untuk kegiatan pariwisata dan pengembangannya yaitu dengan
memberikan tata ruang yang jelas bagi para stakeholder.
Tetapi dalam pelaksanaannya oleh pihak TNKpS sebagai pengelola,
pengalokasian ruang saja dirasakan belum cukup efektif dalam rangka mengelola
zona ini, tetapi diperlukan juga adanya suatu aturan yang lebih spesifik di zona ini
sesuai dengan kondisi terumbu karang yang menjadi objek pemanfaatan. Hal ini
mengingat aturan yang digunakan dalam pengelolaan Zona Pemanfaatan Wisata
TNKpS saat ini masih sangat umum yaitu mengacu pada ketentuan pemanfaatan
sumberdaya alam di dalam kawasan taman nasional pada UU No. 5 tahun 1990
atau PP No. 68 tahun 1998 yang belum cukup jelas terutama bagi masyarakat atau
wisatawan yang memanfaatkannya.
Di zona ini berbagai aktivitas wisata dilakukan oleh para wisatawan
seperti menyelam atau snorkeling yang lokasinya terutama berada di sekitar
ekosistem terumbu karang. Selain aktivitas wisata bahari tersebut, beberapa
kegiatan pemanfaatan lain juga dilakukan di sekitar lokasi ini oleh stakeholder
lain terutama oleh masyarakat (nelayan) untuk memancing, menjaring ikan atau
aktivitas menangkap ikan lainnya.
Mengingat bahwa terumbu karang ini adalah merupakan ekosistem yang
dinamis dimana kondisinya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di
diketahuinya kondisi terumbu karang di zona ini yaitu berupa distribusi
keberadaan dan kondisi tutupannya agar dapat dilakukan pengelolaan yang lebih
efektif, sesuai kondisinya tersebut serta nilai dan potensi pemanfaatannya.
Untuk mengetahui kesesuaian pemanfaaatan kawasan terumbu karang pada
Zona Pemanfaatan Wisata ini diperlukan sebuah kajian yang dapat menganalisis
lokasi keberadaan, distribusi tutupan, nilai kawasan terumbu karang dan berbagai
aktifitas pemanfaatannya secara komperhensif.
Identifikasi Masalah
Meskipun di wilayah TNKpS telah di alokasikan zona khusus yaitu Zona
Pemanfaatan Wisata yang diperuntukan bagi berbagai kegiatan pemanfaatan
pariwisata alam dengan terumbu karang sebagai objek utama dalam
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kawasan tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya masih
belum cukup banyak diketahui kondisi terumbu karang yang ada di lokasi ini,
baik distribusi keberadaannya, tutupan dan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kondisi tersebut.
Belum cukup diketahuinya informasi tersebut di atas menyebabkan belum
diketahuinya pula nilai atau potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang yang
ada sehingga masih terdapat beberapa aktivitas yang tidak atau kurang sesuai
dengan nilai dan potensinya tersebut. Bahkan beberapa diantaranya dapat
berpotensi merusak kawasan terumbu karang di zona ini secara langsung maupun
tidak, seperti terinjak atau terkena jangkar kapal wisatawan maupun akibat
aktivitas stakeholder lain di luar kegiatan pariwisata seperti menangkap ikan
dengan menggunakan jaring dasar (muroami), penggunaan bahan peledak atau
bahan kimia berbahaya yang dilaporkan masih terjadi di kawasan terumbu karang
di zona ini.
Terjadinya berbagai permasalahan ini terutama diakibatkan karena belum
cukup jelas dan spesifiknya aturan yang mengatur kegiatan pemanfaatan kawasan
terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS ini. Aturan yang digunakan
saat ini masih mengacu pada ketentuan dasar pemanfaatan sumberdaya alam di
kawasan taman nasional di Indonesia yang masih sangat umum. Terdapatnya
potensinya tersebut sangat diperlukan dalam rangka mencapai kelestarian manfaat
kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS ini.
Perumusan Masalah
Dari identifikasi permasalahan di atas dapat dirumuskan permasalahan
yang ada sebagai berikut:
1. Masih belum cukup banyak diketahuinya kondisi kawasan terumbu karang di
Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS yaitu berupa distribusi keberadaan,
tutupan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Belum diketahuinya potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona
Pemanfaatan Wisata, TNKpS malalui nilai ekologi maupun pariwisata.
3. Belum cukup jelas dan spesifiknya aturan yang mengatur kegiatan-kegiatan
pemanfaatan di kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS.
Tujuan Penelitian
Dari uraian rumusan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis distribusi lokasi kawasan terumbu karang, persen tutupan
karangnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisinya tersebut di Zona
Pemanfaatan Wisata, TNKpS.
2. Menelaah potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan
Wisata, TNKpS melalui nilai ekologi dan pariwisatanya.
3. Mengidentifikasi arah aturan pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona
Pemanfaatan Wisata, TNKpS secara spesifik sesuai kondisi dan potensinya.
Kerangka Pemikiran
Zona Pemanfaatan Wisata sesuai fungsinya merupakan kawasan yang
dialokasikan untuk mengakomodasi berbagai aktifitas pariwisata dan
adalah kawasan yang mempunyai objek pemanfaatan yang bernilai secara
pariwisata yang potensial dan harus dikelola dengan baik dalam rangka mencapai
kelestarian manfaatnya. Aktifitas wisata bahari yang dilakukan oleh wisatawan
yang datang ke kawasan ini menjadikan terumbu karang yang ada di zona ini
sebagai objek utama berbagai aktivitas pariwisata di kawasan ini selain aktivitas
lain diluar kegiatan pariwisata yang juga menjadikan kawasan terumbu karang
sebagai objek utama pemanfaatannya.
Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan Zona Pemanfaatan Wisata di TNKpS
ini harus dapat menerapkan suatu konsep pengelolaan yang dapat menyelaraskan
antara kelestarian kawasan terumbu karang dengan berbagai kegiatan
pemanfaatannya sesuai fungsi zonanya di dalam kawasan taman nasional. Hal ini
dimaksudkan untuk mewujudkan terciptanya kelestarian manfaat (sustainable use)
kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata TNKpS sehingga kualitas
kawasan terumbu karang dapat tetap terjaga dan kegiatan pemanfaatannya yang
sesuai dapat terus berlangsung.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada para stakeholder tentang
kondisi kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS dan
faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhinya.
2. Meletakan dasar survei dan monitoring kawasan terumbu karang secara lebih
terarah sesuai kondisi dan potensinya di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS.
3. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan
pengelolaan yang terkait dengan kawasan terumbu karang di Zona
Survei/Inventarisasi Analisis Citra / GIS
Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan Terumbu Karang di Zona Pemanfaatan Wisata,TNKpS
Distribusi & Persentase Tutupan Karang
- Habitat sekitar karang
- Komposisi life form karang
- Komposisi genus karang
Zona Pemanfaatan Wisata,
- Posisi kawasan terumbu karang
- Lokasi terumbu karang
- Luasan
Kegiatan Pemanfaatan
stakeholders di ZPW, TNKpS Karang di ZPW, TNKpS
Nilai Ekologi dan Parwisata kawasan Terumbu Karang di
ZPW, TNKpS
TINJAUAN PUSTAKA
Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan kumpulan organisme karang yang hidup di perairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang komponen utamanya disusun oleh hewan-hewan karang dari Klas Anthozoa, Ordo Scleractinia, yang mampu membuat rangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan dan Wells, 1943 dalam Supriharyono, 2000). Hewan karang adalah hewan sessile
renik, umumnya berada dalam ekosistem bersama hewan laut lain seperti soft coral,
hydra, anemone laut dan lain-lain yang termasuk ke dalam Phylum Cnidaria
(Coelenterata) (Veron, 2000) dimana klasifikasi dari komunitas hewan-hewan dalam ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen terpenting di suatu ekosistem terumbu karang tersebut adalah karang batu (stony coral) yaitu hewan yang tergolong dalam Ordo Sclerectinia dimana kerangkanya terbangun dari rangka kapur (Nontji, 2002).
Tabel 1. Klasifikasi komunitas terumbu karang (Veron, 2002)
Klas Hydrozoa
Ordo Hydroidea (hydroids)
Ordo Milleporina (meliputi Genus Millepora)
Ordo Stylasterina (meliputi Genus Distichopora and Stylaster)
Klas Cubozoa (sea wasps)
Klas Anthozoa
SubKlas Octocorallia
Ordo Helioporacea (Genus Heliopora)
Ordo Alcyonacea (soft corals, Tubipora, sea fans)
Ordo Pennatulacea (sea pens)
SubKlas Hexacorallia
Ordo Actiniaria (sea anemones)
Ordo Zoanthidia (zoanthids)
Ordo Corallimorpharia (corallimorpharians)
Ordo Scleractinia (stony corals)
SubKlas Ceriantipatharia
Ordo Antipatharia (black corals)
Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks.
Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang umumnya terbagi atas dua
kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (karang hermatipik) dan karang
yang tidak dapat membentuk terumbu (karang ahermatipik). Kelompok pertama
dalam prosesnya bersimbiosis dengan zooxanthellae dan membutuhkan sinar
matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal reef
building corals, sedangkan kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan
kapur sehingga dikenal dengan non–reef building corals yang secara normal
hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron, 1974).
Pembentukan dan Struktur Rangka Kapur Karang
Pembentukan terumbu karang dimulai adanya individu karang (polip)
yang hidup berkelompok (koloni) ataupun menyendiri (soliter). Karang yang
hidup berkoloni membangun rangka kapur dengan berbagai bentuk, sedangkan
karang yang hidup sendiri hanya membangun satu bentuk rangka kapur.
Gabungan beberapa bentuk rangka kapur tersebut disebut terumbu (Veron, 2000).
Anatomi polip cukup sederhana, polip karang mempunyai lapisan kulit
ganda, kulit luar dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan jaringan mati
(mesoglea) dan kulit dalamnya yang disebut gastrodermis yang mengandungh
tumbuhan alga renik bersel tunggal zooxanthetlae (Nybakken, 1992). Alga ini
tumbuh di dalam polip karang dan melakukan fotosintesis. Kegiatan ini
memproduksi zat makanan yang di manfaatkan oleh hewan karang. Dalam
kegiatan ini karang menyediakan perlindungan dan akses mendapatkan sinar
matahari bagi alga. Selain itu zooxanthelae juga memberi warna pada karang
(Oliver, 2004 dalam Lesser, 2004). Di bagian bawah terdapat pharynx yang
terbagi secara radial oleh mesentrie yang lekatkan tubuh hewan karang dari dalam
mangkuk kalsium karbonatnya. Organ ini berguna dalam proses pencernaan,
eksresi dan tempat terbentuknya gonad. Tentakel terdapat di sekeliling mulut
yang memiliki nematocyst (sel penyengat) yang digunakan untuk mendeteksi dan
Walaupun karang adalah hewan meiliki organ yang sederhana, rangka kapur
yang dibentuknya seringkali sangat kompleks, dan morfologi dari rangka kapur
inilah yang saat ini umumnya digunakan untuk mengidentifikasi jenis karang.
Salah satu dasar pengamatan karang yang paling banyak digunakan adalah
pengamatan struktur koralit. Di dalam koralit terdapat septa. yang tumbuh keluar
dari dasar koralit, septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang (Nybakken,
1992; Vaughan and Wells 1943 dalam Van Woesik, 2002). Koralit terbuat dari
kalsium karbonat, dimana ion kalsium diambil dari perairan sekitar oleh polip,
kemudian diproses dalam tubuh hewan karang dan disekresi sebagai kalsium
karbonat. Ukuran koralit sangat bervariasi, dari yang seukuran kepala jarum sampai
yang sebesar sepatu. Koralit diperbanyak melalui proses yang disebut budding.
Terdapat dua proses budding yaitu intra tentacular dimana polip akan terbagi
menjadi dua atau lebih polip dan extratentacular dimana polip baru terbentuk dari
sisi polip pertama (Delbeek, 1995). Umumnya ribuan polip yang terbentuk saling
berhubungan (interconnected) dalam satu koloni. Koloni karang akan tumbuh
dengan mensekresi lapisan kapur di bawah polip, sehingga terumbu makin
membesar dan hewan karang terdorong ke atas. Tumbuh di luar koralit terdapat
costae. Pada beberapa karang terdapat bagian yang muncul seperti tiang pada dasar
septa yang disebut paliform lobe dan di bagian tengah koralit terdapat columella.
Koralit digabungkan secara horizontal oleh coenesteum (Van Woesik, 2002).
Gambar 2. Struktur koralit hewan karang (Veron, 2002)
Bentuk dari koralit tergantung dari model pertumbuhannya, bila koralit
membentuk dinding sendiri yang pendek disebut plocoid atau yang lebih panjang
disebut phaceloid. Bila koralit membentuk diding bersama disebut ceroid, bila
membentuk dinding lembah sendiri disebut meandroid dan bila membentuk
dinding lembah bersama disebut flabello-meandroid (Veron, 2002).
Gambar 3. Bentuk-bentuk pertumbuhan koralit karang (Veron, 2002)
Pertumbuhan Koloni Karang
Bentuk dari pertumbuhan koloni karang tergantung dari karakter dan
ukuran dari polip, laju pertumbuhan dan tipe reproduksinya. Pertumbuhan koloni
karang dibedakan atas tipe massive (tumbuh sama besar ke semua arah), columnar
(membentuk tiang), encrusting (merayap di substrat), branching (membentuk
percabangan atau menjari), foliaceous/folious (menyerupai daun), laminar
(menyerupai meja) dan free living. Pertumbuhan dari struktur ini sangat
bervariasi, tergantung pada jenis hewan karang dan kondisi lingkungannya,
dengan kisaran pertumbuhan umumnya antara 0,3 sampai 10 cm per tahun.
(Vaughan and Wells, 1943 dalam Van Woesik 2002). Zooxanthellae merupakan
faktor yang esensial dalam proses kalsifikasi atau produksi kapur bagi
sama untuk setiap species. Species-species tertentu tumbuhnya sangat cepat,
yaitu bisa > 2 cm/bulan (umumnya branching corals), namun ada pula species
karang (umumnya massive corals) yang tumbuhnya sangat lambat, yaitu hanya
< 1 cm/tahun (Goreau, 1959 dalam Supriharyono, 2000).
Umumnya karang batu dibedakan atas karang Acropora dan non-Acropora.
Hal ini disebabkan karang jenis Acropora lebih mudah dibedakan dan memiliki
jumlah jenis dan penyebaran sangat luas dibandingkan jenis lainnya. Perbedaan
Acropora dengan non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora
memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan
non-Acropora hanya memiliki radial koralit (English et.al., 1994 dan Van Woesik, 2002).
Beberapa tahun belakangan ini untuk memudahkan pencatatan, banyak
penelitian tidak mencatat karang pada tingkat spesies, tetapi yang digunakan
mengidentifikasi dengan teknik pendekatan bentuk pertumbuhan (lifeform) yang
di mulai di Australian Institute of Marine Science (AIMS) yang kemudian banyak
diikuti secara luas di dunia (De Vantier, 1986). Bentuk-bentuk lifeform terumbu
karang disajikan pada Gambar 4.
Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang
Umumnya karang tumbuh pada daerah terbuka yang menghadap ke laut,
keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang hermatypic ini sangat
tergantung pada kondisi lingkungan tempat tumbuhnya (Soeharsono, 1996).
Kondisi lingkungan ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi
seringkali berubah karena adanya gangguan, baik yang berasal dari alam atau
aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisik-kimia dan biologis.
Faktor-faktor fisik-kimia yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan atau
laju pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas,
dan sedimen. Sedangkan faktor biologis, biasanya berupa predator (Suprihayono,
2000).
1. Suhu
Terumbu karang ditemukan dapat tumbuh pada perairan laut dengan
suhu antara 18°C – 40°C. (Nybakken, 1992). Tetapi umumnya karang akan
tumbuh baik pada kisaran suhu perairan antara 23oC - 29oC, hal ini yang
menyebabkan umumnya karang ditemukan tumbuh pada wilayah tropis, karena
daerah tropis mempunyai rentang suhu yang kecil, pada karang adanya perubahan
suhu yang kecil sekalipun dapat menyebabkan kematian (Fagerstrom, 1987 dalam
Van Woesik, 2002). Pada daerah dengan suhu rendah kalsifikasi semakin
berkurang sampai batas minimal pada suhu 18 oC. Hal yang sama terjadi akibat
peningkatan suhu yang juga dapat menurunkan proses kalsifikasi dan kematian
pada karang. Pada kasus El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan pemanasan
global pada tahun 1998 dengan suhu berkisar antara 30oC -33oC telah
menyebabkan terjadinya karang menjadi memutih (bleaching). Dari peristiwa ini
kematian karang dilaporkan secara luas hampir di seluruh dunia (Lesser, 2004).
Suhu yang dapat mematikan hewan karang bukan hanya suhu yang ekstrem
minimum atau maksimum saja, namun lebih karena terjadinya perubahan suhu
secara mendadak dari suhu normal (ambient level). Perubahan suhu secara
laju pertumbuhan karang bahkan menghentikannya (Neudecker, 1981 dalam
Supriharyono 2000).
2. Cahaya Matahari
Mengingat binatang karang hidupnya bersimbiose dengan alga
(zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesa, maka pengaruh cahaya
matahari ini sangat dibutuhkan. Bahkan keadaan awan di suatu tempat yang
mempengaruhi pencahayaan pada waktu siang hari dapat mempengaruhi
pertumbuhan karang (Goerou, 1959 dalam Supriharyono, 2000). Intensitas
cahaya matahari ini juga berhubungan erat dengan faktor kedalaman perairan
dimana kebanyakan karang tumbuh pada kedalaman kurang dari 25 meter
(Nybakken, 1992). Intensitas cahaya secara langsung mempengaruhi proses
fotosintesis dari zooxanthelae dan kalsifikasi karang, karena cahaya tersebut
dibutuhkan oleh zooxanthelae untuk melakukan proses fotosintesis yang
kemudian dimanfaatkan oleh hewan karang sebagai sumber energi (McLaughlin,
2002). Proses metabolisme karang akan lebih efisien bila radiasi sinar matahari
(terutama gelombang ultra violet) relatif lebih rendah, di alam kondisi ini
umumnya terjadi pada saat pagi dan sore hari. Umumnya intensitas cahaya
matahari yang dapat ditolerir hewan karang adalah pada panjang gelombang
cahaya antara 300-500 nm (Goerou, 1959 dalam Supriharyono, 2000).
Sedangkan Lesser (2004) menyatakan intensitas cahaya ultra voilet (UV) di
periaran pada panjang gelombang 320 nm-400 nm (UV-A) dan 290 nm – 320
nm (UV-B) dapat menjadi penyebab terjadinya coral bleaching.
3. Salinitas
Salinitas juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang,
dimana hewan karang dapat hidup dengan baik pada salinitas normal air laut
yaitu pada kisaran 32 percent per thoushand (ppt) – 35 ppt (Nybakken, 1992).
Sedangkan kisaran salinitas dimana masih dapat ditemukan karang adalah antara
27-48 ppt (Van Woesik, 2002). Penurunan salinitas di bawah 27 ppt
zooxanthelae-nya, sehingga akan menyebabkan kematian pada karang.
Sedangkan karang masif seperti famili Poritidae dan Faviidae memperlihatkan
toleransi yang lebih tinggi terhadap perubahan salinitas, daripada karang-karang
bercabang seperti pada Famili Acroporidae dan Pocilloporidae. Kematian akibat
pengaruh salinitas ini umumnya diakibatkan tidak berjalannya proses pertukaran
osmosis di sel epidermis karang (Van Woesik, 1994). Penyebab adanya
perubahan salinitas di perairan laut ini sangat bervariasi umumnya tergantung
pada faktor alam, seperti run-off sungai, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas
dapat berubah drastis (Vaughan dan Wells, 1943 dalam Supriharyono 2000).
4. Sedimentasi
Kondisi perairan yang jernih dengan sedimentasi yang kecil dibutuhkan
terumbu karang agar penetrasi cahaya matahari untuk fotosintesis dalam hewan
karang tidak terganggu. Penyebab terjadinya sedimentasi dapat berada di laut
maupun daratan yang umumnya berhubungan dengan aktifitas manusia seperti
pembangunan pantai, pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pertanian
dan pembukaan hutan yang dapat membebaskan sedimen ke perairan laut
(Suprihayono, 2000). Selain itu ada pula sedimentasi yang berasal dari erosi karang
(bioerosion yang biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut, seperti bulu babi, ikan
dan bintang laut lainnya. Sedimen karbonat tertinggi dihasilkan oleh bulu babi
(Diadema antilarum) (Land, 1979 dalam Supriharyono, 2000). Kekeruhan yang
tinggi di perairan akan menurunkan laju pertumbuhan karang dan menyebabkan
kematian karang. Pada dasarnya kebanyakan hewan karang mampu untuk
membuang sedimen dari polipnya dengan tingkat kemampuan yang bervariasi,
tetapi sedimentasi yang tinggi tentunya tak dapat ditolerir dan akan menyebabkan
kematian pada karang. Selain itu sedimentasi ini juga dapat memacu pertumbuhan
macro alga sebagai kompetitor habitat karang yang tumbuh dari tumpukan sedimen
di dasar substrat (Brown, 1990). Kisaran dari besaran sedimentasi ini memiliki
Supriharyono, 2000). Pengaruh sedimentasi terhadap karang ini disajikan dalam
Tabel 2.
Tabel 2. Perkiraan dampak tingkat sedimentasi terhadap komunitas karang (Pastorok dan Bilyard, 1985 dalam Supriharyono, 2000)
Laju Sedimentasi
(mg/cm2/hari) Tingkatan Dampak 1 - 10 KECIL – SEDANG
Mengurangi kelimpahan
Kemungkinan penurunan dalam peremajaan Kemungkinan penurunan jumlah species 10-50 SEDANG – BESAR
Pengurangan kelimpahan secara besar-besaran Penurunan peremajaan
Pengurangan jumlah species Kemungkinan invasi species baru > 50 BESAR
Kelimpahan berkurang secara dratis Komunitas rusak berat
Kebanyakan species musnah Banyak koloni mati
Peremajaan hampir tidak terjadi Regenerasi lambat atau terhenti Invasi species-species baru
Faktor Pertumbuhan Bentuk Karang
Hanya sedikit karang yang tumbuh pada satu bentuk pertumbuhan koloni
hal ini kemungkinan dikarenakan suatu jenis karang tumbuh tidak hanya di satu
spesifik habitat. Umumnya bentuk pertumbuhan koloni karang beradaptasi pada
faktor-faktor yang ada di lingkungannya sekitarnya (James, 1998). Beberapa faktor
penting lingkungan perairan yang dapat mempengaruhi bentuk pertumbuhan
karang adalah cahaya matahari, pergerakan air laut dan sedimentasi dan
sub-aerial exposure.
Komposisi komunitas karang diperkirakan mencerminkan hasil respon
jangka panjang komunitas tersebut terhadap pengaruh fisik, kimia dan biologi
lingkungannya yang diwariskan individu secara internal dan eksternal (Van
Woesik, 2001). Struktur dari adanya daya adaptasi ini dapat berupa bentuk, laju
pertumbuhan, toleransi terhadap terbatasnya cahaya atau parameter lainnya (Van
Selain itu karakteristik laju pertumbuhan tiap jenis juga dapat menentukan
komposisinya dalam komunitas karang. Dimana karang yang memiliki laju
pertumbuhan lebih cepat akan lebih mendominasi komunitasnya. Umumnya
karang genus Acropora memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi dibanding jenis
lain. Dari data pertumbuhan transplansi karang di Pulau Seribu laju terhadap 14
genus karang, umumnya pertumbuhan genus Acropora memiliki laju
pertumbuhan tertinggi yaitu berkisar antara 4,28 – 5,71 mm/bln (Acropora aspera)
(BTNKpS, 2006).
1. Cahaya Matahari
Penetrasi cahaya matahari yang berhubungan dengan kedalaman perairan
ini akan membatasi pertumbuhan karang pada daerah yang dangkal dan hal ini
yang menjadi dasar pembentukan zonasi karang. Umumnya intensitas cahaya
berkurang drastis mulai kedalaman 3-5 m. Pengurangan cahaya ini dapat
menurunkan luas tutupan karang dimana komunitas karang menjadi lebih kecil
dan terpisah-pisah serta dan ditandai dengan berkurangnya karang bercabang (Van
Woesik, 1994). Menurut Chappell (1980) dalam Supriharyono (2000), terdapat
kecenderungan bahwa pengaruh pertumbuhan karang terhadap ketersediaan
cahaya adalah semakin banyak cahaya yang masuk, maka rasio permukaan karang
dengan volume karang akan semakin turun. Sehingga kenaikan intensitas cahaya
ini akan merubah dominasi kelompok karang dari bentuk tabulate ke bentuk
globose (massif atau sub-masif ) atau bercabang, demikian juga sebaliknya.
2. Pergerakan Air Laut (Hydrodynamics)
Pergerakan air laut berperan dalam memberi oksigen, nutrien dan plankton,
juga dapat untuk membersihkan partikel sedimen yang menempel pada karang.
Tidak adanya gelombang atau arus, memungkinkan terjadinya pengendapan
sedimen di tubuh karang dan masukan air segar yang kaya oksigen dan nutrien jadi
berkurang (Nybakken, 1992). Perbedaan tekanan akibat arus, gelombang terhadap
dinding-dinding dasar laut dapat menyebabkan terjadinya distribusi jenis karang.
Pada suatu lokasi, gelombang laut dapat secara kontinyu menghempas karang,
pengaruh sedimentasi, nutrient perairan, plankton dan larva (Rogers, 1990). Ada
kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis atau energi pergerakan
air laut, maka bentuk karang akan lebih mengarah ke bentuk masif atau encrusting.
Berdasarkan penelitian Supriharyono tahun 1987 di Jawa Tengah, terdapat
perbedaan bentuk karang Porites lutea, dari berbentuk masif di Teluk Penyu,
Cilacap yang perairannya relatif tenang menjadi berbentuk encrusting di Jepara
yang perairannya kuat (Supriharyono, 2000). Pergerakan air ini juga membantu
sirkulasi di perairan karang, umumnya pada daerah yang memiliki sirkulasi perairan
yang baik, jenis Acropora akan mendominasi (Veron, 2000).
3. Sedimentasi
Kebanyakan karang hermatipik umumnya tidak dapat bertahan dengan
adanya sedimen yang menutupinya, namun ada beberapa spesies yang dapat
bertahan terhadap sedimentasi yang tinggi dan ini ditemukan sebagai koloni yang
terisolasi (Nybakken, 1992). Karang dengan polip yang besar seperti famili
Faviidae, Mussidae, Fungiidae atau beberapa jenis Gonioporidae umumnya tahan
terhadap adanya sedimentasi dengan membersihkan tubuhnya menggunakan
tentakel dari polip yang muncul keluar dan aktif. Karang di daerah sedimentasi
tinggi, umumnya membentuk pertumbuhan yang kecil atau encrusting. Pada jenis
tertentu seperti Porites dapat mengeluarkan mucus untuk menyelubunginya
sehingga menghindari polipnya dari sedimen yang masuk (Van Woesik 1994).
Tetapi perairan yang tingkat sedimentasi sangat tinggi seperti pada kegiatan
pengerukan dasar laut, tentu akan dapat membunuh semua jenis karang termasuk
karang-karang masif ini. Acropora bercabang adalah jenis karang yang paling
sensitif terhadap adanya sedimentasi, karena tidak memiliki kemampuan
membersihkan diri (cleaning capability) (Done, 1982 dalam Van Woesik 2002).
Terdapat kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau dapat beradaptasi
pada perairan dengan sedimentasi tinggi bentuk pertumbuhannya akan mengarah
ke bentuk masif, dan sub-masif. Sedangkan di perairan yang jernih atau
sedimentasi rendah, akan lebih banyak ditemukan karang dalam bentuk
Sebuah penelitian yang dilakukan di Pulau Hyman, Australia pada tahun
1986 dan 1988, memperlihatkan terjadi variasi komoposisi jenis karang sesuai
jaraknya dari lokasi pembuangan limbah rumah tangga. Pada terumbu karang di
lokasi yang terdekat, banyak terjadi kematian jenis Acropora bercabang,
sementara hal ini tidak terjadi pada jenis Porites dan karang-karang Faviidae
masif yang umum ditemukan (Van Woesik 1992). Pengaruh limbah minyak pada
karang juga tergantung pada morfologi karangnya, karang jenis Acpropora
bercabang adalah yang paling rentan terhadap limbah minyak, sementara pada
karang masif dengan polip besar seperti karang mussidae dapat membuang
minyak yang menempel dalam satu hari (Loya dan Rinkevich 1987 dalam
McLaughlin, 2002).
4. Pasang Surut
Subareal exposure adalah daerah karang yang dipengaruhi pasang surut air
laut, dimana pada saat-saat tertentu airnya sangat rendah, sehingga banyak karang
yang muncul ke permukaan. Lamanya waktu karang muncul di permukaan
tergantung dari lamanya waktu pasang-surut. Terdapat kecenderungan bahwa
semakin tinggi pengaruh subaerial exposure, maka semakin banyak jenis karang
yang berbentuk globose dan encrusting (Chappell, 1980 dalam Supriharyono
2000). Karena banyak di antara karang yang tidak bisa bertahan lama hidup pada
kondisi ini. Selain itu satu tanda spesifik adanya pengaruh subareal exposure
adalah banyaknya karang yang berbentuk micro atoll, terutama pada jenis-jenis
karang koloni besar seperti Porites atau karang Famili Faviidae (Hughes,
1994). Kecenderungan bentuk pertumbuhan karang berdasarkan beberapa fakor
pergerakan air dan lingkungannya dapat dilihat pada Table 3 dan Gambar 5 di
Tabel 3. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang (James, 1997)
Lingkungan No. Bentuk Pertumbuhan
Pergerakan air Sedimentasi 1. Rapuh, Bercabang Kecil Rendah 2. Tipis, Rapuh, Tabular Kecil Rendah 3. Membulat, columnar, sub-masif Sedang Tinggi 4. Kokoh, Dendroid, Bercabang Sedang-Besar Sedang 5. Hemisperical, Irregular, Masif Sedang-Besar Rendah
6. Encrusting Besar Rendah
7. Tabular Sedang Rendah
Gambar 5. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang (Chappell, 1980 dalam Supriharyono, 2000)
Zonasi Terumbu Karang
Terbentuknya zonasi terumbu karang umumnya bergantung pada kondisi
lingkungannya. Terdapat dua tipe dari zonasi karang ini, yaitu karang yang
tumbuh di daerah yang sangat perairan terlindung dan karang yang tumbuh di
daerah perairan terbuka (Van Woesik, 1994). Menurut McLaughlin (2002), di
suatu lokasi, zonasi terumbu karang dibedakan berdasarkan intensitas cahaya yang
posisi relatif terhadap laut terbuka, dan pergerakan air laut. Tiap parameter ini
berinteraksi sehingga memberikan kondisi akhir berupa zonasi terumbu karang.
Parameter paling dominan dalam zonasi terumbu karang adalah intensitas
cahaya, yang merupakan sumber utama energi pada karang. Dan karena intensitas
cahaya ini berhubungan dengan kedalaman, maka kedalaman juga dapat digunakan
sebagai indikator untuk membagi habitat karang (Delbeek, 1995). Menurut Van
Woesik (2002), walaupun karang ditemukan tumbuh pada kedalaman yang bervariasi,
tetapi kebanyakan karang tumbuh pada kedalaman yang spesifik. Walaupun belum
diketahui dengan jelas apakah kompetisi atau preferensi habitat yang lebih
berpengaruh dalam keberadaannya, tetapi keduanya saling berpengaruh. Berbagai
karang dalam habitatnya akan membentuk suatu karakter zonasi terumbu karang yang
dibatasi melalui kompetisi dan kemepuan penyesuaiannya dengan kondisi lingkungan.
Pada daerah perairan dangkal tepian atau rataan terumbu dimana intensitas
sinar matahari tinggi dan gelombang perairan besar pertumbuhan karang
cenderung didominasi oleh karang bercabang, menjari atau masif. Pada lokasi
yang lebih dalam, dengan pengaruh gerakan air dan cahaya berkurang, karang
umumnya didominasi oleh bentuk yang lebih tipis percabangannya, flat atau
tabulate untuk meningkatkan luas permukaan yang menerima cahaya
(McLaughlin, 2002; Delbeek, 1995). Sedangkan karang yang tumbuh di sekitar
puncak terumbu (reef crest) yang sangat dipengaruhi gelombang umumnya
dominasi mengarah pada bentuk yang kokoh atau memiliki cabang yang pendek
dan kuat untuk mencegah terhanyut gelombang (Van Woesik, 2002).
Pengaruh kualitas kondisi lingkungan di luar faktor alam juga dapat
mempengaruhi dominansi jenis terumbu karang. Pada penelitian di La Parguera,
Puerto Rico pada tahun 1984, memperlihatkan pada suatu zona karang yang relatif
sama, keberadaan karang Acropora relatif terbatas pada perairan yang jernih
dengan energi gelombang sedang sampai kuat. Sedangkan pada daerah lain yang
mempunyai kejernihan dan gelombang sedikit rendah umumnya terdapat karang
campuran dari jenis Acropora dan non-Acropora (umumnya karang masif Porites,
dan komunitas ekosistem terumbu karang menurut Delbeek (1995), dapat dibagi
menjadi beberapa zona sebagai berikut:
Forereef (Reef Front)
Reef front adalah bagian daerah terumbu karang yang menghadap laut terbuka. Pada daerah ini terdapat lereng (slope) kea rah laut, sehingga di daerah ini terdapat perbedaan intensitas cahaya yang masuk mengikuti kelerengannya. Tetapi pada umumnya karang tumbuh pada lokasi yang cukup banyak mendapat cahaya untuk mendukung pertumbuhannya. Reef front dibagi atas dua sub-zona yaitu reef slope dan upper reef slope.
Upper Reef Slope
Berada di atas reef slope, umumnya pada kedalaman antara 1-5 m, merupakan zona dengan kepadatan karang tertinggi. Di daerah ini terdapat tempat yang dataran, berbukit dan lembah. Pada tempat yang datar dan berbukit umumnya ditemukan karang bercabang, menjari, masif dan encrusting. Pada daerah lembah terutama yang sinar mataharinya terlindung, banyak ditemukan
rubble dan alga. Karang tumbuh dengan berbagai macam bentuk, baik karang batu maupun soft coral. Karang batu umumnya memiliki bentuk yang tidak terlalu kokoh, tetapi tetap untuk memaksimalkan penerimaan cahaya. Jenis-jenis diminan yang ada di daerah ini adalah Acropora, Goniastrea, Favia, Favites, Leptoseria, Lobophyllia, Plerogyra, Pocillopora, Porites, Millepora, Stylophora,
Lobophytum, Sarcophyton dan Sinularia.
Lower Reef Slope
Merupakan bagian bawah dari reef front. Di daerah ini spektrum warna biru mendominasi dan jumlah cahaya lebih sedikit dibanding pada bagian atasnya. Karang tumbuh secara horizontal untuk mendapat cahaya sebanyak mungkin. Sehingga karang yang banyak tumbuh adalah berbentuk tabulate. Jenis dominan adalah Acropora, Montipora, Echinopora, Porites dan Turbinaria.
Reef Crest
umumnya pendek dan menjari atau masif. Jenis-jenis karang yang umumnya terdapat di zona ini adalah Acropora, Favites, Montipora and Pocillopora, Lobophytum, Sarcophyton and Sinularia.
Reef Flat
Daerah reef flat di belakang reef crest adalah juga daerah dengan lingkungan yang keras, karang yang tumbuh di daerah ini harus dapat bertahan dengan intensitas cahaya matahari yang sangat tinggi yang mengandung sinar ultra violet, kekeringan, salinitas tinggi dan turun naiknya suhu perairan. Selain itu tutupan karang juga dapat diperkecil dengan adanya substrat pasir. Jenis-jenis karang yang umumnya ditemukan di daerah ini adalah Porites, Acropora, anemones dan Alcyonaceans.
Back Reef
Pada daerah ini umumnya agak berlumpur akibat akumulasi sediment dari daerah reef crest atau reef front. Karang muncul dari tumpukan pasir yang ada. Selain gerakan air, keberadaan Holothurioids di daerah ini membantu penyerapan sediment di perairan. Jenis-jenis karang yang umumnya dijumpai di daerah ini adalah karang massif, lembaran dan bercabang seperti Euphyllia, Gonipora, Pachyseris, Favia, Favites, Goniastraea, Pocillopora, Porites, Seriatopora,
Heliopora dan Sarcophyton.
Zonasi, komunitas karang dan berbagai faktor yang mempengaruhinya dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Gambar 7. Zonasi dan komunitas ekosistem terumbu karang (Delbeek, 1995)
Tipe Ekosistem Terumbu Karang
Para ahli telah mengklasifikasikan beberapa tipe-tipe pembentukan ekosistem
terumbu karang, terdapatnya variasi dalam tipe ekosistem ini umumnya dapat saling
berhubungan yang diklasifikasikan berdasarkan sejarah geologinya, bentuk, jaraknya
ke daratan dan materi penyusunnya (Veron, 2000). Secara prinsip, Teori Darwin
menyatakan tiga tipe formasi pembentukan ekosistem terumbu karang di dunia, yang
kemudian dikenal dengan teori penenggelaman (Subsidence Theory) yaitu:
1. Terumbu karang tepi (fringing reef)
dengan daratan terutama pulau-pulau kecil dan tumbuh di sepanjang
pantainya yang mengandung sediment non-karbonat dan tidak terlalu terbuka
sehingga cukup terlindung dari gelombang (McManus, 1992). Terumbu karang
ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka, goba (lagoon) kecil yang
terdapat diantara karang dan daratan umumnya berlumpur yang terbawa dari
daratan (Veron, 2000).
2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)
Terumbu karang ini berada jauh dari daratan yang dapat berjarak lebih dari
100 km dari daratan, bergantung dari pengaruh gelombangnya. Goba yang luas
di antara terumbu karang dengan daratan ini dapat mencapai kedalaman 40 – 70 m
dan mengandung bahan sedimen berkapur yang bersumber dari terumbu karang
3. Atol
Merupakan diding-dinding terumbu karang berbentuk cincin yang mengelilingi goba di tengahnya. Atol memiliki banyak bentuk dan ukuran, umumnya berupa pulau-pulau sempit yang dapat saja bervegetasi. Terumbu karang ini muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan, sehingga terumbu karang ini dapat terpengaruh oleh arus pasut (Bakus, 1982).
Darwin mengemukakan bahwa formasi awal merupakan fringing reefs
yang terbentuk di sekitar pulau. Jika pulau tersebut mengalami penurunan permukaan secara tektonik, fringing reefs akan berubah menjadi barrier reefs. Apabila proses terus berlanjut, maka atolls akan terbentuk (Veron, 2000).
Manfaat Ekosistem Terumbu Karang
Manfaat ekosistem terumbu karang tidak hanya berasal dari hewan karang, tetapi juga dari berbagai macam penyusun ekositem tersebut yang berkaitan erat dengan hewan karang ini dalam hubungan fungsional dan harmonis (Nontji, 1987). Moberg dan Folk (1999) dalam Caesar (2000) membagi manfaat ekosistem terumbu karang berdasarkan manfaat barang dan jasa yang dihasilkannya. Barang di kategorikan dalam manfaat sumberdaya yang dapat pulih (karang, ikan dll.) dan manfaat penambangan karang (pasir, karang dll.). Jasa di kategorikan kedalam manfaat struktur fisik, biotik, biogeochemical, informasi dan manfaat sosial budaya, seperti disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Manfaat ekosistem terumbu karang (Moberg dan Folk, 1999 dalam Caesar, 2000)
Barang Jasa
Biotik Abiotik Struktur fisik Biotik dalam ekosistem
Biotik antar
ekosistem Biogeokimia Informasi
Sosial budaya
Makanan Bahan bangunan
Perlindungan
garis pantai Habitat
Mendukung
daratan Keanekaragaman
Beberapa dari manfaat terumbu karang tersebut seperti pemanfaatan karang
untuk perdagangan, bahan bangunan dan pariwisata, bila tidak dikontrol dengan
baik akan menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang dan akan
menurunkan manfaat lainnya. Khusus pada pemanfaatan untuk perdagangan, pada
dekade terakhir, Indonesia mencatat peningkatan perdagangan karang baik hidup
atau mati untuk di ekspor sebagai dekorasi ke luar negeri. Sampai tahun 1990-an
Indonesia tercatat memasok 36% – 41% pasar karang dunia dengan nilai sebesar 1,2
juta spesimen pertahunnya (Suhartono dan Mardiastuti, 2003).
Dari data yang diperoleh dari Asosiasi Pengusaha Karang dan Ikan Karang
Indoenesia (AKKI), perdagangan karang hampir meliputi seluruh jenis karang yang
ada termasuk pasir dan batu karang dan jenis scleractinia yang tidak teridentifikasi.
Dari data perdagangan tersebut, diketahui sepuluh genus karang yang paling banyak
diperjualbelikan sebagai karang hias baik kondisi hidup atau mati dari Indonesia
(Suhartono dan Mardiastuti, 2003). Sedangkan di Australia dari data yang
diperoleh bahwa karang yang paling banyak diambil untuk akuarium (ornamental
reef) umumnya adalah karang yang berbentuk bercabang dan bentuk
mendaun/tabulate (leafy). Khusus yang berbentuk bercabang yang umumnya dari
genus Acropora dapat mencapai lebih dari 50% dari total ornamental reef (Harriot,
2005). Data karang yang paling banyak diperjualbelikan dari Indonesia seperti
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Besaran nilai ekspor sepuluh genus karang Indonesia yang paling diminati pasar internasional data CITES tahun 1986 – 1999 (Suhartono dan Mardiastuti, 2003)
No. Nama Genus Nama Komersial Persentase
Pengelolaan Kawasan Taman Nasional
Pembangunan sistem kawasan konservasi di Indonesia pada dasarnya
mengacu pada sistem yang dikembangkan oleh IUCN (International Union
Conservation of Nature and Natural Resource) dimana tujuan pengelolaan yang
dilakukan untuk menghindari terjadinya kepunahan biota yaitu “save it, study it,
dan use it” yang dalam arti luas untuk menyelamatkan suatu spesies atau
ekosistem sebelum hilang/rusak, mengkaji/mempelajari manfaatnya untuk
peningkatan kesejahteraan hidup manusia secara berkelanjutan (Alikodra 1996).
Pemanfaatan sumber daya alam di taman nasional sebagai salah satu kawasan konservasi dilaksanakan sejalan dengan Strategi Konservasi Dunia yang dikeluarkan oleh IUCN pada tahun 1980, yang kemudian melahirkan Strategi Konservasi Indonesia. Strategi Konservasi Indonesia yang merupakan dasar dari terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang kemudian disebut “misi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya”, adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. 3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Implementasi misi tersebut diwujudkan dalam pengalokasian wilayah-wilayah ekosistem tertentu menjadi kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Taman nasional yang merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian alam didefinisikan sebagai “kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistim asli, dikelola dengan sistim zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi”, diarahkan untuk:
• Menjaga keseimbangan ekosistem dan melindungi sistem penyangga kehidupan.
• Melindungi keanekaragaman jenis dan menjadi sumber plasma nutfah;
• Menunjang kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan.
Dalam penyusunan kawasan konservasi termasuk taman nasional, secara
umum IUCN memberikan beberapa kriteria sebagai dasar pertimbangan
penunjukan dan pengelolaan kawasan konservasi yaitu kriteria sosial, ekologi,
ekonomi, regional dan kriteria pragmatik, dengan beberapa parameter di dalamnya
sebagai berikut:
Kriteria Sosial
- Kesepakatan sosial untuk mendapatkan dukungan masyarakat sekitar.
- Mendukung ke arah peningkatan kualitas lingkungan dan kesehatan
masyarakat sekitar.
- Kawasan tersebut juga dapat digunakan sebagai wahana rekreasi masyarakat
sekitar.
- Pengelolaan kawasan dapat melingkupi nilai agama, budaya dan sejarah
setempat.
- Mengandung unsur keindahan alam.
- Menghindari konflik dengan kebutuhan atau aktifitas masyarakat.
- Merupakan wilayah yang aman dan tidak berbahaya.
- Kawasan yang mudah dicapai.
- Kawasan dapat bermanfaat bagi penelitian dan pendidikan.
- Dalam pengelolaanya dapat mendukung peningkatan kesadaran masyarakat.
Kriteria Ekonomi
- Merupakan wilayah penting untuk spesies komersial.
- Nelayan banyak bergantung terhadap hasil perikanan di kawasan ini.
- Tingkat ancaman terhadap kawasan ini dapat diketahui.
- Dapat mendukung pengingkatan ekonomi masyrakat sekitar dalam jangka
panjang.
- Kawasan berpotensi untuk pengembangan pariwisata.
Kriteria Ekologi
- Kawasan kaya dalam ragam ekosistem, habitat, komunitas dan spesies
- Kawasan belum terganggu atau rusak.
- Adanya hubungan saling ketergantungan dalam ekosistem atau proses ekologi
- Kawasan mewakili tipe habitat, proses ekologi atau geologi tertentu.
- Kawasan merupakan habitat suatu spesies endemik atau yang langka.
- Terdapatnya kesatuan fungsi unit ekologi yang utuh atau mandiri dan lestari.
- Terdapat proses produktif yang bermanfaat bagi manusia dan biota lain.
- Kawasan mudah terdegradasi akibat peristiwa alam atau manusia.
Kriteria Regional
- Kawasan dapat mewakili karakter region wilayahnya baik dari bentang alam,
proses ekologi atau situs budaya.
- Kawasan dapat menyangga perbedaan pengelolaan yang ada di luar kawasan.
Kriteria Pragmatik
- Dapat dilakukan tindakan cepat bila perlu diperlukan dalam pengelolaan
kawasan.
- Memiliki luasan cukup dapat mencakup kebutuhan proses ekologi yang
diperlukan.
- Aman dari potensi ancaman eksploitasi atau dampak dari pembangunan.
- Cukup sesuai untuk dapat melaksanakan program pengelolaan secara efektif.
- Telah berjalannya walau secara tidak langsung suatu embrio model
pengelolaannya.
- Dapat berlangsungnya proses pemulihan secara alami dari kerusakan
mengarah ke kondisi semula.
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang telah memuat definisi taman nasional, pada tahun1998 dibuat statu Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 yang memuat arahan penetapan dan pengelolaan taman nasional dimana kawasan ini dalam pengelolaannya menggunakan sistem zonasi kawasan yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona Pemanfaatan dan Zona lainnya yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi tiap lokasi taman nasional (Departemen Kehutanan, 2002). Arahan pengelolaan zona tersebut adalah sebagai berikut:
1. Zona Inti
dilindungi, sebagai perwakilan tipe ekosistem yang khas atau habitat biota yang dilindungi.
• Kriteria penetapan:
− Mempunyai komunitas tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
− Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum terganggu manusia dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
− Mempunyai potensi keterwakilan tipe ekosistem yang khas, formasi biota tertentu atau unit-unit penyusunnya.
• Kriteria pemanfaatan:
− Penelitian dan pendidikan untuk menunjang ilmu pengetahuan.
− Inventrisasi, pemantauan dan pengamanan potensi kawasan.
− Penunjang budidaya yang tidak bersifat merusak.
2. Zona Perlindungan
Zona Perlindungan adalah wilayah untuk menyangga pelestarian Zona Inti dan Zona Pemanfaatan Wisata yang masih merupakan wilayah habitat biota yang dilindungi dengan pemanfaatan wisata yang terbatas.
• Kriteria penetapan:
− Mampu mendukung upaya pelestarian biota biota khas atau dilindungi dalam habitatnya yang memerlukan upaya konservasi.
− Memiliki keanekaragaman yang mempu menyangga pelestarian Zona Inti dan Zona Pemanfaatan Wisata.
• Kriteria pemanfaatan:
− Semua kegiatan yang dapat dilakukan di Zona Inti.
− Pembinaan habitat
− Kegiatan wisata terbatas dengan pengaturan aktivitas, musim, lokasi dan jumlah wisatawan.
3. Zona Pemanfaatan
• Kriteria penetapan:
− Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau gejala fenomena alam yang indah dan unik.
− Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif bagi pariwisata dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami.
− Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam dan pelestariannya.
• Kriteria pemanfaatan:
− Semua kegiatan yang dapat dilakukan di Zona Inti.
− Pemanfaatan dan pengembangan obyek daya tarik wisata alam taman nasional untuk kegiatan pariwisata alam dan rekreasi.
4. Zona lainnya
Zona lainnya adalah zona diluar Zona Inti, Zona Perlindungan dan Zona Pemanfaatan Wisata yang dikembangkan sesuai dengan keperluan ditinjau dari aspek kondisi sumber daya alam dan kondisi masyarakat setempat.
• Kriteria penetapan:
− Mempunyai potensi sumber daya yang mampu mendukung kegiatan tradisional masyarakat.
− Mampu mendukung pemukiman masyarakat dan tempat memenuhi kebutuhan hidupnya.
− Merupakan kawasan yang dapat dipulihkan keutuhannya dalam rangka pelestarian manfaat.
• Kriteria pemanfaatan:
− Rehabilitasi potensi dan sumber daya alam kawasan.
− Pemanfaatan sumber daya alam dengan memperhatikan daya dukungnya.
− Budidaya biota asli kawasan.
− Pengembangan lokasi, sarana dan prasaranan pemukiman untuk masyrakat lokal dengan memperhatikan dampak lingkungan.