• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pola Kemitraan Dalam Pengadaan Beras Pandanwangi Bersertifikat (Kasus GAPOKTAN Citra Sawargi dan CV Quasindo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pola Kemitraan Dalam Pengadaan Beras Pandanwangi Bersertifikat (Kasus GAPOKTAN Citra Sawargi dan CV Quasindo)"

Copied!
300
0
0

Teks penuh

(1)

CITRA SAWARGI DAN CV QUASINDO)

RINI INDRAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam Tesis yang berjudul :

”Analisis Pola Kemitraan dalam Pengadaan Beras Pandanwangi Bersertifikat (Kasus GAPOKTAN Citra Sawargi dan CV Quasindo)”

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan dari Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2008

(3)

Certified Rice (Case Study of Federation of Farmer Group Citra Sawargi and CV Quasindo Enterprise). Advised by H. Musa Hubeis as leader and H. Aris Munandar as member).

Ministry of Agriculture cooperated with Institute of Research and Community Empowerment (LPPM) Bogor Agricultural University (IPB) prepared instrument to label certified variety rice, especially “Pandanwangi”. The certification passed through a comprehensive quality control (QC) system that involved the whole of rice agribusiness agents that joined in the Federation of Farmer Group (Gapoktan) Citra Sawargi. Marketing of Pandanwangi rice product passed through business partner in the form of trade contract between Gapoktan Citra Sawargi and CV Quasindo.

The aims of this research were to identify implementation of partnership between Gapoktan Citra Sawargi and CV Quasindo, to analyze impact of partnership specially to the income/profit, to evaluate expected partnership model, to arrange the alternative of the development strategy of the partnership which conducted by Gapoktan Citra Sawargi and CV Quasindo, and to arrange conceptual model for supplying local prime certified rice based on supplying model of Pandanwangi rice certificated.

Data were analyzed in qualitative and quantitative methods. Quantitative analysis was done to analyze farm businesses and market efficiency through farm cost and benefit analysis and marketing marjin. Qualitative analysis was done to evaluate expected partnership model (Analytical Hierarchi Process/AHP) and the analysis of best development strategy applied (SWOT analysis).

Partnership by General Trading Model had already increased farmer income, but it was not fully capable to inforcement farmer organization (Gapoktan), due to weaknesses of capital. Main advantages of this partnership discovered in this study were (1) strengthening of farmer business organization, (2) selling price become better, (3) assurance of price and market product, and (4) increasing production and rendement. Advantages of partnership for CV Quasindo were (1) opportunity developed new business unit, (2) guarantee continuity of supply (quality ang quantity), (3) get guarantee certification facility of purity variety from the Government, (4) get profit from selling result of product, and (5) get promotion facility from the Government.

Based on the analysis of partnership model evaluation, it had been obtained that the nucleous estate partnership model is an expected partnership model, considering weaknesses of Gapoktan capital especially for supplying infrastructure for rice production and unhulled paddy buying caused by the weaknesses of the government support in reinforcement of Gapoktan.

(4)

RINI INDRAYANI. Analisis Pola Kemitraan dalam Pengadaan Beras

Pandanwangi Bersertifikat (Kasus Gapoktan Citra Sawargi dan CV Quasindo).

Dibawah bimbingan MUSA HUBEIS sebagai Ketua dan ARIS MUNANDAR sebagai Anggota.

Beras dalam kemasan berlabel yang diperdagangkan saat ini belum sepenuhnya menunjukkan mutu beras yang diinginkan konsumen. Demikian pula label yang tertera dalam kemasan pada umumnya tidak sesuai dengan identitas sesungguhnya dari beras yang dikemas. Hasil pengamatan dan uji laboratorium oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2006 menunjukkan bahwa rataan keaslian beras Pandanwangi ‘asli’ pada beras berlabel Pandanwangi yang dijual adalah 24,7 %, artinya 75,3 % merupakan beras pencampur (bukan Pandanwangi).

Atas dasar kondisi tersebut guna memberikan jaminan kepuasan bagi konsumen beras, maka Departemen Pertanian (Deptan) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB telah menyiapkan perangkat sistem sertifikasi beras berlabel berdasarkan kesesuaian varietas, khususnya ‘Pandanwangi-Cianjur’. Sertifikasi tersebut dilakukan melalui suatu sistem manajemen mutu terpadu dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh pelaku agribisnis perberasan yang tergabung dalam wadah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Citra Sawargi. Pemasaran produk beras Pandanwangi dilakukan melalui kemitraan dalam bentuk kontrak dagang antara Gapoktan Citra Sawargi dengan CV Quasindo.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi pelaksanaan kemitraan; (2) Menganalisis dampak kemitraan, khususnya terhadap pendapatan/keuntungan usaha masing–masing pihak yang bermitra; (3) Mengevalusi pola kemitraan yang diinginkan; (4) Menyusun strategi pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat; (5) Menyusun model konseptual pengadaan beras unggul lokal tersertifikat berbasis model pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat.

Metode analisis kualitatif (deskriptif) digunakan untuk mengidentifikasi pelaksanaan kemitraan, selanjutnya dilakukan analisis pendapatan usahatani dan marjin tataniaga untuk menganalisis keuntungan usaha masing–masing pihak yang bermitra. Hasil analisis tersebut dipertajam dengan metode analytical hierarchi process (AHP) untuk mengetahui model kemitraan yang ideal sesuai keinginan kedua pihak yang bermitra. Identifikasi faktor–faktor yang mempengaruhi kinerja kemitraan dan penyusunan strategi pengembangan usaha dilakukan dengan analisis strengths, weaknesses, opportunities and threats (SWOT). Berdasarkan hasil analisis kualitatif dan kuantitatif tersebut dapat disusun model konseptual pengadaan beras unggul lokal tersertifikat berbasis model pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat.

Kemitraan dengan Pola Dagang Umum telah mampu meningkatkan pendapatan petani mitra, namun belum mampu sepenuhnya menguatkan kelembagaan petani (Gapoktan). Rataan pendapatan usahatani petani mitra lebih tinggi 22,54% dibandingkan petani non mitra. Hal ini utamanya disebabkan lebih tingginya produktivitas (15,87%) dan harga jual gabah (5,47%). Dari hasil analisis marjin tataniaga, kedua pihak yang bermitra menikmati marjin keuntungan yang relatif proporsional, yaitu masing-masing 7% (Gapoktan) dan 6% (CV Quasindo).

(5)

membagi keunggulan di bidang teknologi, manajemen dan permodalan, tetapi hanya akses pasar). Faktor eksternal yang berpengaruh kuat terhadap kinerja kemitraan adalah trend tuntutan konsumen, kebijakan proteksi impor (peluang), lemahnya dukungan promosi sertifikasi dan rendahnya law enforcement (ancaman).

Dari hasil analisis SWOT, strategi yang paling efektif dilakukan oleh kedua pihak yang bermitra adalah strategi pertumbuhan berikut : (1) memperluas wilayah pemasaran, (2) memperkuat kemitraan, (3) meningkatkan promosi, (4) meningkatkan implementasi jaminan mutu dan (5) penguatan kelembagaan.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

CITRA SAWARGI DAN CV QUASINDO)

RINI INDRAYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional

pada Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama Mahasiswa : Rini Indrayani

Nomor Pokok : F052054245

Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.H.Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Dr.Ir.H.Aris Munandar, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Industri Kecil Menengah,

Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Prof.Dr.Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Tesis yang berjudul “Analisis Pola Kemitraan dalam Pengadaan Beras Pandanwangi Bersertifikat (Kasus GAPOKTAN Citra Sawargi dan CV Quasindo)” salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah (PS MPI), Sekolah Pascasarjana (SPs), Institut Pertanian Bogor (IPB) dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa laporan akhir ini tidak akan tersusun tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA selaku ketua Komisi Pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan dorongan dalam penyusunan dan penyelesaian laporan akhir.

2. Dr.Ir. H. Aris Munandar, MS selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah mengorbankan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan dan memberikan perhatiannya dalam penyusunan laporan akhir ini.

3. Bapak Machpudin (PPL), H. Burhan, H. Mansyur beserta seluruh jajaran pengurus Gapoktan Citra Sawargi dan Ibu S. Evy Julianti (Direktur Utama CV Quasindo) atas korbanan waktu dan informasi yang diberikan.

4. Suami dan anak tercinta serta orangtua dan seluruh keluarga yang selalu memberikan do’a restu, dukungan dan semangat.

5. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan akhir ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu

Penulis berharap bahwa laporan akhir ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan.

(10)

Penulis lahir di Bogor pada tanggal 31 Mei 1970, sebagai anak kedua dari lima bersaudara, putri dari Bapak Ir. H. Saharuddin, MS (Alm) dan Ibu Enny Sukaeni.

Pada tahun 1989, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri I Bogor, dan selanjutnya pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur penerimaan khusus PMDK. Pada tahun 1990, penulis memilih masuk pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB. Gelar Sarjana Pertanian berhasil diraih pada tahun 1993. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana IPB pada Program Studi Industri Kecil Menengah.

Sejak tahun 1994 hingga saat ini, penulis bekerja di Departemen Pertanian, dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Seksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Subdit Pemantauan dan Pengawasan Pasar.

Penulis menikah dengan Ary Fajar Gunawan, SP dan saat ini telah dikaruniai empat orang anak : Shafa Nafisah Elfajria, Fathya Fiddini Elfajri, Hadziqan Syah Elfajri dan Aqilya Saharani Elfajri.

Bogor, Mei 2008

(11)

CITRA SAWARGI DAN CV QUASINDO)

RINI INDRAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam Tesis yang berjudul :

”Analisis Pola Kemitraan dalam Pengadaan Beras Pandanwangi Bersertifikat (Kasus GAPOKTAN Citra Sawargi dan CV Quasindo)”

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan dari Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2008

(13)

Certified Rice (Case Study of Federation of Farmer Group Citra Sawargi and CV Quasindo Enterprise). Advised by H. Musa Hubeis as leader and H. Aris Munandar as member).

Ministry of Agriculture cooperated with Institute of Research and Community Empowerment (LPPM) Bogor Agricultural University (IPB) prepared instrument to label certified variety rice, especially “Pandanwangi”. The certification passed through a comprehensive quality control (QC) system that involved the whole of rice agribusiness agents that joined in the Federation of Farmer Group (Gapoktan) Citra Sawargi. Marketing of Pandanwangi rice product passed through business partner in the form of trade contract between Gapoktan Citra Sawargi and CV Quasindo.

The aims of this research were to identify implementation of partnership between Gapoktan Citra Sawargi and CV Quasindo, to analyze impact of partnership specially to the income/profit, to evaluate expected partnership model, to arrange the alternative of the development strategy of the partnership which conducted by Gapoktan Citra Sawargi and CV Quasindo, and to arrange conceptual model for supplying local prime certified rice based on supplying model of Pandanwangi rice certificated.

Data were analyzed in qualitative and quantitative methods. Quantitative analysis was done to analyze farm businesses and market efficiency through farm cost and benefit analysis and marketing marjin. Qualitative analysis was done to evaluate expected partnership model (Analytical Hierarchi Process/AHP) and the analysis of best development strategy applied (SWOT analysis).

Partnership by General Trading Model had already increased farmer income, but it was not fully capable to inforcement farmer organization (Gapoktan), due to weaknesses of capital. Main advantages of this partnership discovered in this study were (1) strengthening of farmer business organization, (2) selling price become better, (3) assurance of price and market product, and (4) increasing production and rendement. Advantages of partnership for CV Quasindo were (1) opportunity developed new business unit, (2) guarantee continuity of supply (quality ang quantity), (3) get guarantee certification facility of purity variety from the Government, (4) get profit from selling result of product, and (5) get promotion facility from the Government.

Based on the analysis of partnership model evaluation, it had been obtained that the nucleous estate partnership model is an expected partnership model, considering weaknesses of Gapoktan capital especially for supplying infrastructure for rice production and unhulled paddy buying caused by the weaknesses of the government support in reinforcement of Gapoktan.

(14)

RINI INDRAYANI. Analisis Pola Kemitraan dalam Pengadaan Beras

Pandanwangi Bersertifikat (Kasus Gapoktan Citra Sawargi dan CV Quasindo).

Dibawah bimbingan MUSA HUBEIS sebagai Ketua dan ARIS MUNANDAR sebagai Anggota.

Beras dalam kemasan berlabel yang diperdagangkan saat ini belum sepenuhnya menunjukkan mutu beras yang diinginkan konsumen. Demikian pula label yang tertera dalam kemasan pada umumnya tidak sesuai dengan identitas sesungguhnya dari beras yang dikemas. Hasil pengamatan dan uji laboratorium oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2006 menunjukkan bahwa rataan keaslian beras Pandanwangi ‘asli’ pada beras berlabel Pandanwangi yang dijual adalah 24,7 %, artinya 75,3 % merupakan beras pencampur (bukan Pandanwangi).

Atas dasar kondisi tersebut guna memberikan jaminan kepuasan bagi konsumen beras, maka Departemen Pertanian (Deptan) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB telah menyiapkan perangkat sistem sertifikasi beras berlabel berdasarkan kesesuaian varietas, khususnya ‘Pandanwangi-Cianjur’. Sertifikasi tersebut dilakukan melalui suatu sistem manajemen mutu terpadu dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh pelaku agribisnis perberasan yang tergabung dalam wadah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Citra Sawargi. Pemasaran produk beras Pandanwangi dilakukan melalui kemitraan dalam bentuk kontrak dagang antara Gapoktan Citra Sawargi dengan CV Quasindo.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi pelaksanaan kemitraan; (2) Menganalisis dampak kemitraan, khususnya terhadap pendapatan/keuntungan usaha masing–masing pihak yang bermitra; (3) Mengevalusi pola kemitraan yang diinginkan; (4) Menyusun strategi pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat; (5) Menyusun model konseptual pengadaan beras unggul lokal tersertifikat berbasis model pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat.

Metode analisis kualitatif (deskriptif) digunakan untuk mengidentifikasi pelaksanaan kemitraan, selanjutnya dilakukan analisis pendapatan usahatani dan marjin tataniaga untuk menganalisis keuntungan usaha masing–masing pihak yang bermitra. Hasil analisis tersebut dipertajam dengan metode analytical hierarchi process (AHP) untuk mengetahui model kemitraan yang ideal sesuai keinginan kedua pihak yang bermitra. Identifikasi faktor–faktor yang mempengaruhi kinerja kemitraan dan penyusunan strategi pengembangan usaha dilakukan dengan analisis strengths, weaknesses, opportunities and threats (SWOT). Berdasarkan hasil analisis kualitatif dan kuantitatif tersebut dapat disusun model konseptual pengadaan beras unggul lokal tersertifikat berbasis model pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat.

Kemitraan dengan Pola Dagang Umum telah mampu meningkatkan pendapatan petani mitra, namun belum mampu sepenuhnya menguatkan kelembagaan petani (Gapoktan). Rataan pendapatan usahatani petani mitra lebih tinggi 22,54% dibandingkan petani non mitra. Hal ini utamanya disebabkan lebih tingginya produktivitas (15,87%) dan harga jual gabah (5,47%). Dari hasil analisis marjin tataniaga, kedua pihak yang bermitra menikmati marjin keuntungan yang relatif proporsional, yaitu masing-masing 7% (Gapoktan) dan 6% (CV Quasindo).

(15)

membagi keunggulan di bidang teknologi, manajemen dan permodalan, tetapi hanya akses pasar). Faktor eksternal yang berpengaruh kuat terhadap kinerja kemitraan adalah trend tuntutan konsumen, kebijakan proteksi impor (peluang), lemahnya dukungan promosi sertifikasi dan rendahnya law enforcement (ancaman).

Dari hasil analisis SWOT, strategi yang paling efektif dilakukan oleh kedua pihak yang bermitra adalah strategi pertumbuhan berikut : (1) memperluas wilayah pemasaran, (2) memperkuat kemitraan, (3) meningkatkan promosi, (4) meningkatkan implementasi jaminan mutu dan (5) penguatan kelembagaan.

(16)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(17)

CITRA SAWARGI DAN CV QUASINDO)

RINI INDRAYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional

pada Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

Nama Mahasiswa : Rini Indrayani

Nomor Pokok : F052054245

Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.H.Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Dr.Ir.H.Aris Munandar, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Industri Kecil Menengah,

Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Prof.Dr.Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS

(19)

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Tesis yang berjudul “Analisis Pola Kemitraan dalam Pengadaan Beras Pandanwangi Bersertifikat (Kasus GAPOKTAN Citra Sawargi dan CV Quasindo)” salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah (PS MPI), Sekolah Pascasarjana (SPs), Institut Pertanian Bogor (IPB) dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa laporan akhir ini tidak akan tersusun tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA selaku ketua Komisi Pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan dorongan dalam penyusunan dan penyelesaian laporan akhir.

2. Dr.Ir. H. Aris Munandar, MS selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah mengorbankan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan dan memberikan perhatiannya dalam penyusunan laporan akhir ini.

3. Bapak Machpudin (PPL), H. Burhan, H. Mansyur beserta seluruh jajaran pengurus Gapoktan Citra Sawargi dan Ibu S. Evy Julianti (Direktur Utama CV Quasindo) atas korbanan waktu dan informasi yang diberikan.

4. Suami dan anak tercinta serta orangtua dan seluruh keluarga yang selalu memberikan do’a restu, dukungan dan semangat.

5. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan akhir ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu

Penulis berharap bahwa laporan akhir ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan.

(20)

Penulis lahir di Bogor pada tanggal 31 Mei 1970, sebagai anak kedua dari lima bersaudara, putri dari Bapak Ir. H. Saharuddin, MS (Alm) dan Ibu Enny Sukaeni.

Pada tahun 1989, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri I Bogor, dan selanjutnya pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur penerimaan khusus PMDK. Pada tahun 1990, penulis memilih masuk pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB. Gelar Sarjana Pertanian berhasil diraih pada tahun 1993. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana IPB pada Program Studi Industri Kecil Menengah.

Sejak tahun 1994 hingga saat ini, penulis bekerja di Departemen Pertanian, dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Seksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Subdit Pemantauan dan Pengawasan Pasar.

Penulis menikah dengan Ary Fajar Gunawan, SP dan saat ini telah dikaruniai empat orang anak : Shafa Nafisah Elfajria, Fathya Fiddini Elfajri, Hadziqan Syah Elfajri dan Aqilya Saharani Elfajri.

Bogor, Mei 2008

(21)

ABSTRACT... iv

RINGKASAN... v

SURAT PERNYATAAN... vii

RIWAYAT HIDUP... viii

PRAKATA... ix

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Permasalahan... 1

1.2. Perumusan Masalah... 6

1.3. Tujuan ... 8

BAB II LANDASAN TEORI... 9

2.1. Agribisnis dan Agroindustri Perberasan... 9

2.2. Kelembagaan Petani... 14

2.3. Kemitraan Usaha... 16

2.4. Program Sertifikasi Beras Pandanwangi... 19

BAB III METODE KAJIAN... 23

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 23

3.2. Pengumpulan Data... 23

3.3. Pengolahan dan Analisis Data... 25

3.3.1. Analisis Pendapatan Usahatani... 27

3.3.2. Analisis Marjin Tataniaga... 29

3.3.3. Metode PHA ... 30

3.3.4. Analisis SWOT... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 38

4.1. Keadaan Umum... 38

4.1.1. Lokasi dan Karakteristik Usahatani Pandanwangi... 38

4.1.2. Karakteristik Pelaku Kemitraan... 45

4.2. Pelaksanaan Kemitraan... 50

4.3. Manfaat Kemitraan... 56

4.3.1. Analisis Pendapatan Usahatani... 60

4.3.2. Rantai Pasar dan Marjin Pemasaran... 65

4.4. Evaluasi Pola Kemitraan yang Diinginkan ... 70

4.4.1. Identifikasi Model... 70

4.4.2. Hasil Pengolahan Vertikal... 73

(22)

4.5.3. Matriks EFAS... 86 4.5.4. Matriks Internal – Eksternal... 87 4.5.5. Analisis Matriks SWOT... 88 4.5.6. Pemilihan Alternatif Strategi... 95 4.6. Model Konseptual Pengadaan Beras Unggul Lokal

Bersertifikat... 97

KESIMPULAN DAN SARAN... 104 1. Kesimpulan... 104 2. Saran... 105

DAFTAR PUSTAKA... 106

LAMPIRAN... 109

(23)

1. Kontribusi pasar tradisional dan pasar modern terhadap

total penjualan ritel nasional ... 2

2. Perbandingan jumlah pasar tradisional dan pasar modern ... 2

3. Hasil uji kemurnian beras ... 4

4. Nilai skala banding berpasangan ... 32

5. Varietas padi yang dikembangkan di Kabupaten Cianjur ... 38

6. Kandungan zat gizi Pandanwangi per 100 g ... 40

7. Perkembangan areal pertanaman padi Pandanwangi di

Wilayah Kecamatan Warung Kondang ... 41

8. Daerah sebaran padi Pandanwangi ... 42

9. Daerah sentra produksi Pandanwangi di Kabupaten Cianjur ... 43

10. Lokasi pengembangan padi Pandanwangi di Kecamatan

Warung Kondang ... 43

11. Keragaan pengusahaan padi varitas Pandanwangi di

Kabupaten Cianjur ... 45

12. Jumlah petani, kelompok tani, luas tanam dan taksiran

produksi gapoktan Citra Sawargi ... 47

13. Perkiraan panen padi Pandanwangi Gapoktan Citra Sawargi ... 55

14. Sumber permodalan Gapoktan Citra Sawargi ... 55

15. Perkembangan kisaran harga padi Pandanwangi dan padi

varietas unggul nasional ... 57

16. Analisis pendapatan usahatani padi Pandanwangi per musim ... 60

17. Analisis pendapatan usahatani padi VUN jenis Ciherang

pada tahun 2006 ... 64

18. Lembaga dan fungsi pemasaran ... 67

19. Marjin pemasaran beras Pandanwangi ... 69

(24)

23. Pengolahan vertikal pola kemitraan pada level kelima ... 76

24. Faktor strategis internal kemitraan usaha ... 85

25. Faktor strategik eksternal pengembangan usaha Pandanwangi ... 87

26. Matriks Internal – Eksternal ... 88

27. Matriks SWOT ... 89

28. Tingkat kepentingan unsur SWOT pada usaha pengadaan

beras Pandanwangi bersertifikat ... 96

29. Penentuan alternatif strategi terbaik ... 97

(25)

1. Rantai pemasaran padi/beras kasus di Pulau Jawa ... 11

2. Diagram Sankey ... 13

3. Esensi organisasi internal agribisnis ... 15

4. Model revitalisasi gapoktan ... 16

5. Diagram alir proses sertifikasi beras ... 21

6. Model konseptual pengadaan beras unggul lokal bersertifikat ... 26

7. Diagram Matriks IE ... 36

8. Diagram matriks SWOT ... 37

9. Model pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat ... 51

10. Alur pengadaan beras Pandanwangi ... 54

11. Rantai pemasaran beras di Kecamatan Warung Kondang ... 66

12. Evaluasi bentuk kemitraan yang paling tepat ... 72

13. Model konseptual pengadaan beras unggul lokal bersertifikat ... 103

(26)

1. Analisis pendapatan usahatani Pandanwangi per musim petani

mitra ... 109

2. Analisis pendapatan usahatani Pandanwangi per musim petani

non mitra ... 111

3. Penentuan rating faktor strategi internal ... 113

4. Penentuan rating faktor strategi eksternal ... 114

5. Pembobotan terhadap kekuatan dan kelemahan ... 115

6. Pembobotan terhadap peluang dan ancaman ... 116

7. Pembobotan faktor strategik internal kemitraan usaha ... 117

8. Pembobotan faktor strategik eksternal kemitraan usaha ... 118

9. Matrik perbandingan berpasangan faktor kunci kemitraan ... 119

10. Matriks perbandingan berpasangan pelaku kemitraan ... 120

11. Matriks perbandingan berpasangan tujuan kemitraan ... 121

12. Matriks perbandingan berpasangan pola kemitraan ... 122

13. Hasil pengolahan vertikal sistem hirarki keputusan pola

kemitraan yang paling tepat ... 124

(27)

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Beras merupakan komoditas strategis Indonesia ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Hal ini antara lain karena beras merupakan makanan pokok hampir semua penduduk Indonesia. Beras juga diproduksi hampir di semua kabupaten/kota di Indonesia dengan total produksi per tahun 51 – 52 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 30,6 – 31,2 juta ton beras.

Hampir seluruh beras yang diproduksi di Indonesia digunakan di dalam negeri guna memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk (96,7 % dari total produksi). Sebagian beras yang diperdagangkan di pasar–pasar tradisional merupakan beras yang dijual dalam bentuk curah (per kilogram atau liter). Hanya sebagian kecil beras yang dibeli oleh konsumen akhir diperdagangkan dalam kemasan berlabel dan umumnya selama ini (sampai dengan tahun 2003) sebagian besar dipenuhi oleh produk impor (Jasmine Rice/Fragran rice atau Thai Hom Mali) dan diperdagangkan di pasar – pasar modern.

Sejak diberlakukannya ketentuan impor beras (SK Menperindag No.9/MPP/Kep/I/2004) dengan implementasinya berupa “pelarangan impor beras” sejak tahun 2004 hingga saat ini, maka seluruh pasar beras dalam negeri baik di pasar tradisional maupun modern dikuasai sepenuhnya oleh beras produk lokal. Ketiadaan beras impor khususnya beras mutu tinggi (beras wangi) khususnya untuk memasok kebutuhan Hotel dan Restoran diseluruh Indonesia menimbulkan desakan dari pelaku pasar beras nasional terhadap pemerintah untuk dapat segera memenuhi kebutuhan jenis beras wangi mutu tinggi dimaksud dari produksi dalam negeri (substitusi impor) yang besarnya sekitar 75.000 ton per tahun (Ditjen PPHP, 2006). Kondisi ini semakin merangsang pengusaha/pedagang beras untuk bersaing dengan menonjolkan varietas padi lokal dengan keunggulan sifatnya sebagai merk dagang atau label beras.

(28)

pemasaran beras kemasan berlabel. Hasil penelitian Nielsen Tahun 2005 menunjukkan bahwa secara nasional, pangsa pasar modern cenderung mengalami peningkatan cukup nyata (Tabel 1), sementara jumlah maupun pangsa pasar tradisional justru mengalami penurunan. Perubahan tersebut didorong oleh adanya perubahan trend konsumen atau preferensi masyarakat dalam mengkonsumsi barang kearah pasar modern, serta sebagai dampak diberlakukannya Keppres 118/2000 yang mengeluarkan bisnis ritel dari negative list Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai tindaklanjut penandatanganan LoI antara Pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) (Nielsen, 2005).

Tahun Pasar Tradisional (%) Pasar Modern (%)

2000 78,10 21,80

2001 75,20 24,80

2002 74,80 25,10

2003 73,70 24,40

2004 69,60 30,40

Tabel 1. Kontribusi Pasar Tradisional dan Pasar Modern terhadap total penjualan ritel nasional

Sumber : Nielsen, 2005.

Tabel 2. Perbandingan jumlah Pasar Tradisonal dan Pasar Modern

Tahun Pasar

Tradisional

(unit)

Perubahan (%)

Pasar Modern

(unit)

Perubahan (%)

2001 1.899.736 - 3.865 -

2003 1.745.589 - 8,11 5.079 31,41

Sumber : Nielsen, 2005.

(29)

memberikan keyakinan bagi konsumen dalam menentukan pilihan atas beras bermutu sesuai dengan varietasnya dan menjaga kepentingan produsen/pelaku bisnis untuk memperluas pangsa pasar beras dengan harga yang lebih baik (Damardjati, 1995).

Dalam kenyataannya, beras dalam kemasan berlabel yang diperdagangkan belum sepenuhnya menunjukkan mutu beras yang diinginkan konsumen. Demikian pula label yang tertera dalam kemasan pada umumnya tidak sesuai dengan identitas sesungguhnya dari beras yang dikemas. Sebagai contoh, beras kemasan berlabel ‘Pandanwangi’ belum tentu 100 % terdiri atas beras Pandanwangi. Praktik yang umum dilakukan para pedagang atau distributor beras adalah mencampur atau mengoplos berbagai jenis beras dengan menambahkan sedikit beras varietas Pandanwangi dan pada kemasan diberi label Pandanwangi. Praktik yang juga sering dilakukan adalah memberi aroma sintetis, sehingga seolah–olah beras tersebut adalah asli varietas Pandanwangi yang umum dicari konsumen. Kondisi tersebut dapat menurunkan kepuasan dan kepercayaan konsumen terhadap merek beras dalam kemasan berlabel.

(30)

Tabel 3. Hasil uji kemurnian Beras

No. Merek Harga

(Rp/kg) PW (%) BPW (%) BP (%)

1 A 9.000 42,25 46,61 11,14

2 H 9.000 39,47 41,74 18,79

3 F 7.200 19,78 68,06 12,16

4 G 7.000 33,91 60,92 5,17

5 D 7.000 24,54 45,16 30,30

6 E 6.960 20,64 45,05 34,31

7 I 6.000 16,82 59,84 23,34

8 C 6.630 11,84 56,62 31,54

9 B 6.000 13,04 60,18 26,78

Sumber : LPPM IPB, 2006

Keterangan : PW: Pandan Wangi, BPW: Bukan Pandan Wangi, BP : Butir Patah

Atas dasar berbagai kondisi tersebut di atas, maka dalam upaya memberikan jaminan kepuasan bagi konsumen beras cenderung menuntut mutu yang semakin baik dan konsisten. Saat ini, Departemen Pertanian (Deptan) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB telah menyiapkan perangkat sistem sertifikasi beras berlabel berdasarkan kesesuaian varietas, khususnya ‘Pandanwangi-Cianjur’ melalui suatu sistem manajemen mutu terpadu dan berkelanjutan yang melibatkan seluruh pelaku agribisnis perberasan (petani, penangkar benih, penggilingan padi dan unit-unit pendukung lainnya). Sistem sertifikasi beras yang sudah disiapkan saat ini adalah certificate of conformity berupa :

1. Inspeksi kejelasan penggunaan benih bersertifikat disesuaikan dengan luas lahan dan bukti pembelian benih

2. Kejelasan hubungan antara luas areal penanaman, jumlah petani dan kepemilikan lahannya dan produksi beras bersertifikat yang direncanakan. 3. Pengujian karakteristik mutu beras disesuaikan dengan standar (SNI)

(31)

di Kecamatan Warung Kondang, Cianjur. Di kecamatan ini juga dilakukan pemurnian varietas Pandanwangi dan penangkaran benih Pandanwangi.

Dengan keunggulan karakteristik berasnya, maka padi Pandanwangi seharusnya memiliki harga jual gabah/beras relatif lebih tinggi dibandingkan padi varietas lainnya. Namun pada umumnya petani Pandanwangi belum mendapatkan manfaat finansial dari usahataninya, karena tidak memiliki posisi tawar yang kuat dibandingkan dengan pelaku bisnis beras Pandanwangi di hilirnya, yaitu disebabkan penguasaan lahan terbatas dan lemahnya permodalan petani.

Kondisi ini diperparah lagi dengannya kurangnya kesadaran petani dan kemampuan dalam penggunaan benih berlabel, sehingga kemurnian mutu gabah yang dihasilkan petani tidak terjamin. Hal ini pada akhirnya dimanfaatkan pelaku bisnis hilir sebagai salah satu alasan dalam menekan harga gabah Pandanwangi di tingkat petani.

Dibentuknya kelembagaan petani dalam wadah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) diharapkan mampu mengatasi permasalahan terkait efisiensi dalam produksi dan pemasaran beras Pandanwangi. Gapoktan Citra Sawargi berlokasi di Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur. Gapoktan ini beranggotakan petani produsen padi varietas Pandanwangi, penangkar benih dan penggilingan padi yang secara bersama-sama membangun sistem produksi beras Pandanwangi bersertifikat jaminan kemurniannya sejak dari benih (menggunakan benih berlabel) hingga menjadi beras.

(32)

Bermodal pengalaman tersebut, CV Quasindo mencoba mengembang-kan usahanya dengan menjalin kemitraan dengan Gapoktan Citra Sawargi dalam memasarkan beras Pandanwangi bersertifikat dengan didasari oleh peluang pasar masih terbuka mengingat adanya kecenderungan konsumen yang menuntut beras dengan mutu baik dan konsisten, dimana aroma beras seringkali menjadi salah satu komponen mutu yang terbukti dapat memberikan premi harga beras tinggi. Pertimbangan lainnya adalah belum adanya pesaing untuk produk beras Pandanwangi ‘asli’ melalui pemberian jaminan kemurnian varietas melalui sertifikasi beras berlabel yang perangkatnya telah disiapkan dan disosialisasikan kepada masyarakat oleh Deptan bekerjasama dengan LPPM IPB.

1.2 Perumusan Masalah

Menurut Sinaga (1988), kemitraan didasarkan pada persamaan kedudukan, keselerasan dan peningkatan keterampilan kelompok mitra melalui perwujudan sinergi kemitraan, yaitu hubungan :

a. Saling memerlukan. Dalam hal ini, perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku dan kelompok mitra memerlukan penampungan hasil dan bimbingan.

b. Saling memperkuat. Dalam hal ini, baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra sama-sama memperhatikan kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing.

c. Saling menguntungkan, yaitu baik kelompok mitra mapun perusahaan mitra memperoleh peningkatan pendapatan dan kesinambungan usaha.

Namun demikian, dalam pelaksanaan kemitraan seringkali dihadapkan pada berbagai kendala. Menurut Badan Agribisnis (1999), hal-hal yang menjadi kendala tercapainya tujuan kemitraan, antara lain :

(33)

b. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki usaha mitra sebagai pelaku usaha dalam berbagai hal seperti tingkat pendidikan yang rendah, kemampuan manajerial, akses terhadap modal dan informasi yang rendah.

Demikian juga halnya dalam pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat yang melibatkan Gapoktan di sektor hulu serta CV Quasindo disektor hilir sangat rawan dengan praktek-praktek kecurangan dan kegagalan pemenuhan kontrak. Insentif harga yang lebih tinggi dari pelaku pasar beras Pandanwangi lainnya dibandingkan kontrak harga dengan CV Quasindo merupakan salah satu faktor potensial pemicu tidak terpenuhinya volume kontrak yang disepakati. Praktek pencampuran beras Pandanwangi dengan beras sejenis, baik di tingkat petani (dalam bentuk gabah) maupun di tingkat penggilingan merupakan permasalahan potensial lainnya yang sangat mempengaruhi konsistensi mutu beras Pandanwangi.

Latar belakang kemitraan, mekanisme pembinaan dan bantuan lainnya, transparansi harga/pasar dan pemenuhan tanggungjawab oleh CV Quasindo yang merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan, karena potensial menimbulkan kemitraan yang tidak sehat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang mendasari kajian berikut :

a. Bagaimana kemitraan yang selama ini berlangsung antara Gapoktan Citra Sawargi dan CV Quasindo ?

b. Manfaat apakah yang diperoleh masing-masing pihak dalam pengadaan beras Pandanwangi khususnya ditinjau dari pendapatan/keuntungan usahanya ?

c. Bagaimana pola kemitraaan yang sebenarnya diinginkan oleh kedua pihak yang bermitra ?

d. Bagaimana strategi pengadaan beras Pandanwangi melalui kemitraan antara Gapoktan Citra Sawargi dan CV Quasindo dalam pengembangan usahanya ?

(34)

1.3 Tujuan

Tujuan kajian ini secara umum adalah untuk mengetahui pelaksanaan dan strategi kemitraan antara Gapoktan Citra Sawargi dengan CV Quasindo dalam pengadaan beras Pandanwangi-Cianjur bersertifikat. Secara khusus, kajian ini bertujuan :

a. Mengidentifikasi pelaksanaan kemitraan antara Gapoktan Citra Sawargi dengan CV Quasindo dalam pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat. b. Menganalisis manfaat kemitraan khususnya ditinjau dari

pendapatan/keuntungan usaha masing-masing pihak yang bermitra, di dalam pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat.

c. Menganalisis pola kemitraan yang diinginkan oleh kedua pihak yang bermitra dalam pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat .

d. Menyusun strategi pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat melalui pengembangan kemitraan antara Gapoktan Citra Sawargi dengan CV Quasindo dalam mengembangkan usahanya.

(35)

II. LANDASAN TEORI

2.1. Agribisnis dan Agroindustri Perberasan

Hal mendasar yang perlu diperhatikan adalah bahwa atribut suatu produk akhir agribisnis merupakan hasil kumulatif dari semua sub sistem agribisnis dari hulu sampai hilir (alir produk atau product line). Karena itu, pengelolaan secara integrasi vertikal suatu sistem agribisnis dapat menjamin transmisi informasi pasar secara sempurna dan cepat dari hilir ke hulu, meminimumkan margin ganda dan menjaga konsistensi mutu produk dari hulu ke hilir akan menentukan ketepatan, serta kecepatan merespon perubahan pasar.

Hingga saat ini, struktur usaha yang bersifat dispersal atau tersekat-sekat merupakan kondisi umum yang terjadi pada usaha agribisnis yang melibatkan produsen sarana produksi, produsen hasil pertanian atau petani, pedagang hasil pertanian dan pengolah hasil pertanian. Masing-masing pelaku usaha menjalankan usahanya sendiri-sendiri dan tidak ada kaitan institusional diantaranya walaupun kegiatan yang dilakukan sebenarnya saling terkait secara fungsional. Keterkaitan diantara pelakunya hanya terbentuk melalui harga dan pada kondisi yang bersifat dispersal, sehingga pihak yang kuat akan dominan dalam pembentukan harga.

Struktur usaha demikian tidak kondusif bagi pengembangan usaha agribisnis berkelanjutan akibat tidak adanya kaitan fungsional yang serasi dan harmonis diantara pelaku usaha agribisnis, sehingga dinamika pasar tidak selalu dapat direspon secara efisien. Konsekuensi lainnya adalah transmisi harga dan informasi pasar yang bersifat asimetris dan terbentuknya marjin ganda yang tidak dapat dihindari, disamping pemasaran hasil pertanian yang tidak efisien.

(36)

petani masih belum banyak berfungsi sebagai lembaga pemasaran. Keberadaan kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi tani atau koperasi unit desa masih lebih banyak terfokus untuk menangani aspek budidaya dan belum berfungsi sebagai lembaga pemasaran hasil di tingkat petani. Hal ini disebabkan karena kemampuan manjemen pemasaran, akses pasar dan permodalannya yang masih sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan pemasaran beras di Indonesia menjadi tidak efisien (Ditjen PPHP, 2006).

Sistem pemasaran hasil yang belum efisien ini dapat dilihat dari struktur pasar yang terjadi belum mencerminkan persaingan sempurna, tetapi masih banyak ditemui di lapangan struktur pasar yang terjadi berbentuk oligopsoni dan bahkan monopsoni. Hal ini disebabkan jumlah petani padi di Indonesia cukup banyak dengan tingkat produksi sangat sedikit, sedangkan jumlah pembelinya relatif sedikit. Struktur pasar yang demikian menyebabkan pembeli berada pada posisi penentu harga, sehingga posisi tawar petani menjadi lemah.

Pemasaran hasil padi di Indonesia umumnya melewati mata rantai yang cukup panjang. Rantai pemasaran yang demikian ini sering merugikan petani maupun konsumen. Petani menerima harga yang rendah, sedangkan konsumen harus membayar dengan harga tinggi. Pada umumnya, petani padi tidak dapat menjual secara langsung kepada konsumen, terutama apabila sudah terikat dengan pinjaman uang sebagai modal dalam melakukan usahataninya.

(37)
[image:37.612.139.528.83.524.2]

Gambar 1. Rantai pemasaran padi/beras kasus di Pulau Jawa (Ditjen PPHP, 2006)

Terkait dengan mutu gabah, maka petani dengan segala keterbatasan sumber daya yang tersedia mulai dari kemampuan akses terhadap input produksi (benih bermutu unggul, pupuk, pestisida dan lain-lain), keterbatasan sarana pasca panen dan keterikatan terhadap sistem budidaya panen setempat, serta kurangnya insentif harga terhadap perbaikan mutu gabah menyebabkan sulit untuk meningkatkan mutu gabah.

!

"

# $ # %

& %

" !

' !

'

() * +) *

, * -) *

(38)

Di sisi lain penggilingan padi sebagai pelaku sub sistem pengolahan gabah/beras juga terpaksa harus berhadapan dengan pedagang pengumpul gabah dari berbagai wilayah dengan berbagai keragaman mutu gabah, kondisi ini diperparah lagi dengan konfigurasi mesin penggilingan padi yang kurang memenuhi standar dan sudah berumur tua, serta teknologi yang digunakan masih sederhana.

Disamping itu, masih banyak penggilingan padi yang menggunakan sistim kerja ”one pass” yaitu gabah kering digiling hanya melalui tiga proses sederhana, yaitu proses pecah kulit, proses pemisahan sekam, dan proses penyosohan, yang dilakukan dari atas ke bawah dengan menggunakan gaya gravitasi gabah itu sendiri. Hal ini berdampak kurang baik terhadap mutu dan rendemen beras yang dihasilkan.

Atas dasar hasil inventarisasi yang telah dilakukan, diperkirakan paling tidak sebanyak 70% penggilingan padi yang masih menggunakan sistem kerja one pass dari penggilingan padi kecil (PPK) 36,33%, Rice Milling Unit (RMU) 32,34% dan penggilingan padi Engelberg 1,5%. Akhir-akhir ini justru berkembang penggilingan padi ”mobile” yang menggunakan sistim kerja one pass dan diperkirakan jumlahnya cukup banyak (Ditjen PPHP, 2006).

Dari kondisi tersebut dapat dipastikan mutu dan rendemen beras yang dihasilkan penggilingan padi di Indonesia masih rendah. Laporan BPS pada tahun 1977 menunjukkan bahwa rendemen rataan penggilingan padi di Indonesia 62,08% .

Lebih lanjut skala usaha penggilingan di Indonesia pada umumnya relatif kecil sehingga kurang efisien dan daya serap bahan bakunya rendah. Hal ini sangat berbeda dengan penggilingan padi yang terdapat di negara eksportir beras seperti Thailand dan Vietnam yang dapat dijadikan sebagai perbandingan. Rangkaian permasalahan pada setiap subsistem agribisnis ini pada akhirnya melemahkan daya saing beras nasional (Patiwiri, 2006a).

(39)
[image:39.612.133.507.307.665.2]

Selanjutnya pengolahan gabah dilakukan di penggilingan padi. Menurut Patiwiri (2006b) gabah yang dapat dimasukkan pada proses penggilingan padi adalah gabah kering giling (GKG), yaitu gabah yang memiliki kadar air (KA) 13 – 15% dan keluar berupa beras sosoh berwarna putih siap tanak. Dari bentuk gabah kering giling sampai menjadi beras sosoh, berat biji padi akan berkurang sedikit demi sedikit selama proses penggilingan akibat dari pengupasan dan penyosohan. Bagian–bagian yang tidak berguna akan dipisahkan, sedangkan bagian utama yang berupa beras dipertahankan. Namun tidak dapat dihindarkan sebagian butiran beras akan patah selama mengalami proses penggilingan. Tahapan proses penggilingan padi dan perubahan bobotnya seperti termuat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Sankey (Patiwiri, 2006a)

2% 8% 52 %

! "

(40)

Dari gambar di atas terlihat bahwa butiran padi yang dihasilkan petani akan mengalami perubahan bobot pada tahap-tahap proses penggilingan padi. GKP yang memiliki KA 20% akan menurun beratnya sebanyak 7% setelah mengalami proses pengeringan hingga menjadi GKG yang memiliki KA sekitar 14%. GKG merupakan masukan terhadap proses penggilingan padi.

Proses penggilingan padi diawali dengan pembersihan awal untuk membersihkan kotoran yang berjumlah ± 3% dari bobot gabah awal. Selanjutnya gabah mengalami pemecahan kulit, dimana sekam yang berbobot 20% dari bobot gabah awal akan terlepas dari butiran gabah dan akan tersisa beras pecah kulit 77%. Beras pecah kulit kemudian melalui proses penyosohan untuk memisahkan bekatulnya dan untuk mendapatkan warna beras yang mengkilap. Akibat proses ini diperoleh bekatul sebanyak 10% dari berat gabah awal, beras kepala sebanyak 52% dan beras patah segala ukuran sebanyak 15%. Persentase sekam dan bekatul semata – mata disebabkan oleh perbedaan varietas padi sedangkan persentase beras patah dan beras kepala banyak dipengaruhi oleh kinerja mesin yang dipakai, KA dan sejenisnya.

2.2. Kelembagaan Petani

(41)
[image:41.612.149.522.89.368.2]

Gambar 3. Esensi organisasi internal agribisnis (Pakpahan, 1990)

Gambar 3 menunjukkan bahwa kelima unsur atau subsistem organisasi ekonomi petani saling berinteraksi dan pada akhirnya akan menghasilkan keragaan organisasi. Unsur lingkungan merupakan bagian dari sistem organisasi yang menentukan keragaan organisasi, namun berada di luar kendali organisasi. Terdapat dua jenis pengertian kelembagaan, yaitu kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai organisasi. Sebagai aturan main, kelembagaan merupakan perangkat aturan yang membatasi aktivitas anggota dan pengurus dalam mencapai tujuan organisasi.

Dari sudut pandang ekonomi, kelembagaan dalam arti organisasi biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar, tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando. Keputusan tentang produksi dan alokasi penggunaan sumber daya ditentukan oleh organisasi.

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) adalah gabungan dari beberapa kelompok tani yang melakukan usaha agribisnis dalam kebersamaan/kemitraan sehingga mencapai peningkatan produksi dan pendapatan usahatani bagi

KELEMBAGAAN - Batas wilayah produksi - Hak pemilikan - Pengambilan keputusan - Penegakan hukum

TEKNOLOGI - Teknis Budidaya - Karakteristik

komoditi - Asset Fixity dan

specificity

PARTISIPAN: - Kepribadian - Umur dan seks - Kekayaan - Kesehatan - Kosmopolit - Nilai - Pendidikan TUJUAN - Keuntungan atau

surplus usaha yang tinggi

- Meningkatkan Pendapatan

KINERJA ORGANISASI

- Keuntungan atau surplus usaha - Pendapatan

organisasi dan partisipan meningkat

(42)

anggotanya dan petani lainnya. Untuk membentuk dan atau mengaktifkan kembali, serta memper-kuat kelembagaan petani yang ada, maka Departemen Pertanian telah mencanangkan Revitalisasi Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani pada tahun 2007. Dengan pola ini diharapkan pembinaan pemerintah kepada petani akan semakin terfokus dengan sasaran yang jelas. Model revitalisasi Gapoktan sebagaimana Gambar 4.

Gambar 4. Model revitalisasi Gapoktan (Syarief dan Fatika, 2006)

Keterangan : UPJA = Unit Pelayanan Jasa Alsintan Alsintan = Alat Mesin Pertanian

2.3. Kemitraan Usaha

Menurut Kartasasmita dalam Badan Agribisnis (1999b), kemitraan usaha mengandung pengertian adanya hubungan kerja sama usaha antara badan usaha yang sinergis bersifat sukarela dan dilandasi oleh prinsip saling membutuhkan, menghidupi, memperkuat dan menguntungkan yang hasilnya bukanlah zero sum game melainkan positive sum game atau win-win solution.

(43)

yang bermitra harus merasakan keuntungan dan manfaat yang diperoleh dari kemitraan.

Selanjutnya Tambunan (1996) menyatakan bahwa penyebab timbulnya kemitraan di Indonesia ada dua macam, yaitu :

a. Kemitraan yang didorong oleh pemerintah, dalam hal ini kemitraan menjadi isu penting karena telah disadari bahwa pembangunan ekonomi selama ini selain meningkatkan pendapatan nasional per kapita, juga telah memperbesar kesenjangan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat.

b. Kemitraan yang muncul dan berkembang secara alamiah. Hal ini disebabkan oleh adanya keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan tingkat fleksibilitas dalam meningkatkan keuntungan.

UU Nomor 9 tahun 1995 pasal 27 tentang Usaha Kecil (UK) menyatakan bahwa kemitraan dilaksanakaan dalam pola-pola berikut : inti-plasma, sub kontrak, dagang umum, waralaba, keagenan, dan bentuk-bentuk lain yang masing-masing didefinisikan sebagai berikut:

a. Pola Inti-Plasma adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dan

menengah dengan usaha besar (UB) yang bertindak sebagai inti dan UK sebagai plasma. Perusahaan inti harus membantu dan membimbing usaha plasma dalam melaksanakan subsistem usahatani, sebaliknya petani plasma bersedia bekerja sama dengan inti di bawah bimbingan pemerintah.

b. Pola Subkontrak adalah hubungan kemitraan antara UK (petani)

dengan usaha menengah (UM) dan UB yang ada di dalamnya. UK memproduksi komponen yang diperlukan oleh UM atau UB sebagai bagian produksinya.

c. Pola Dagang Umum adalah bentuk kemitraan antara pengusaha kecil

(petani) dengan UM atau UB yang di dalamnya UM atau UB memasarkan hasil produksi UK atau UK memasok kebutuhan yang diperlukan oleh UM atau UB mitranya.

d. Pola Waralaba adalah hubungan kemitraan yang di dalamnya pemberi

(44)

saluran distribusi pengusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.

e. Pola Keagenan adalah hubungan kemitraan yang di dalamnya UK

diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa UM atau UB mitranya.

f. Pola bentuk-bentuk lain adalah pola kemitraan di luar pola-pola di

atas, tetapi belum dibakukan atau pola baru yang akan timbul di masa yang akan datang.

Selanjutnya Williamson dalam LPM–UNILA (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa kemungkinan hubungan kontrak yang bisa diciptakan antara pihak perusahaan besar dan petani, antara lain :

a. Marketing Contract adalah kontrak yang menetapkan macam dan jumlah produk pertanian yang akan diserahkan, tetapi jarang menyebutkan kegiatan-kegiatan atau metode-metode khusus yang harus diikuti oleh proses produksi. Selain itu, kontrak ini tidak mengharuskan pihak pengelola (inti) untuk menyediakan masukan seperti bibit, makanan, atau peralatan. Kontrak ini merupakan kesepakatan untuk membeli hasil produksi di kemudian hari.

b. Production Contract adalah kesepakatan antara petani dengan perusahaan bukan pertanian yang menentukan macam dan jumlah produk tertentu yang dihasilkan, serta dapat menetapkan varietas bibit, kegiatan-kegiatan dalam proses produksi dan masukan-masukan yang digunakan. Bantuan teknis disediakan oleh perusahaan (pemberi kontrak).

c. Vertical Integration, yakni semua tahap produksi dilaksanakan oleh suatu perusahaan, dimana pasar tidak berperan dalam pengkoordinasian beberapa faktor produksi. Dalam kasus ini, petani bukan pemilik bahan baku, sarana-sarana produksi, atau hasil produksi. Petani lebih berperan sebagai manajer, pengawas upahan atau seorang pekerja borongan.

(45)

sekaligus membebani para petani dengan kriteria mutu, kuantitas, dan harga disertai dengan bantuan teknis. Model atau bentuk kelembagaan organisasi sebagai wadah koordinasi vertikal antara para petani dan perusahaan bisa mengambil salah satu atau gabungan dari beberapa model di atas atau sama sekali mengambil pola lain yang berbeda dari model di atas.

2.4. Program Sertifikasi Beras Pandanwangi

Untuk memproduksi beras bersertifikat di dalam negeri diperlukan suatu model pengembangan yang terpadu secara sinergis antara produsen benih, petani padi, penggilingan padi, lumbung desa, lembaga keuangan dan pemerintah sebagai fasilitator dan regulator. Para pelaku agribisnis perberasan perlu dipersiapkan/dibina guna memahami teknis produksi beras bersertifikat mulai dari pra panen, panen, pasca panen hingga pengolahan berasnya (benih berlabel, penerapan Standar Nasional Indonesia atau SNI gabah/beras sampai kepada manajemen pemasarannya).

Guna melaksanakan program sertifikasi tersebut telah dilakukan empat kegiatan utama, yaitu :

a. Pengembangan dan penguatan kelembagaan petani

b. Pengembangan sistem penanganan dan pengolahan beras bersertifikat

c. Pengembangan sistem pemasaran beras bersertifikat

d. Pengembangan sistem sertifikasi pelabelan beras.

Berdasarkan hasil kesepakatan Tim dan hasil Focus Group Discussion (FGD) yang telah dilakukan, maka telah disusun kesepakatan tentang karakteristik atau persyaratan dasar yang menjadi ciri khusus beras bersertifikat. Beras dikatakan sebagai beras bersertifikat, jika memenuhi hal-hal berikut :

a. Diusulkan oleh unit usaha/unit produksi yang berbadan hukum atau memiliki aspek legal

(46)

c. Menerapkan sistem mutu (Good Agriculural Practices atau GAP dan Good Handling Practices/Good Manufacturing Practices atau GHP/GMP)

d. Sertifikasi dilakukan oleh pihak ketiga

e. Harus menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Pelabelan dan peraturan perundangan lainnya.

f. Didukung insfrastruktur dan sarana, serta sumber daya yang memadai, termasuk sumber daya manusia (SDM)

Pengawasan dan sertifikasi beras ditujukan untuk memberikan jaminan kepada konsumen terhadap penandaan keaslian varietas pada produk beras. Penandaan meningkatkan daya saing produk, karena sifat produk yang spesifik menunjukkan keaslian atau kemurnian produk merupakan potensi lokal maupun nasional. Pengawasan dan sertifikasi ini dilakukan dengan pendekatan ilmiah, analitis, dan ekonomis melalui ketepatan pelaksanaan monitoring dan pencatatan informatif yang mencakup keseluruhan rantai produksi dari benih sampai beras dikemas.

(47)

Permintaan Informasi

Pengajuan permohonan

Keputusan Sertifikasi

Pemeriksaan audit kecukupan dan Pemeriksaan Pra Panen

Penerbitan Sertifikat Ya

Tidak

Tidak Penerapan Sistem Produksi

beras berlabel yang relevan dan memenuhi persyaratan

Ya

Tidak Ya

Selesai

Pengawasan Berkala

Pemeriksaan kelengkapan

dokumen

Pemeriksaan Pasca Panen dan Pengambilan contoh dan

analisa produk

[image:47.612.210.416.55.669.2]

Rapat Evaluasi

(48)

Pada tahap awal atau jangka pendek, dilakukan dua jenis sertifikasi beras, yaitu : (1) Sertifikasi dengan sistem Certifikate of Quality dan (2) Sertifikasi dengan sistem Certificate of Conformity. Sedangkan tahap selanjutnya akan diarahkan ke penandaan SNI. Dengan demikian prioritas inspeksi yang dilakukan dalam jangka pendek adalah :

a. Certificate of Quality dilakukan oleh laboratorium terakreditasi yang mengeluarkan kesesuaian terhadap kualitas. Dalam hal ini terhadap kualitas mutu beras, termasuk di dalamnya ketertelusuran keaslian verietas.

b. Certificate of Conformity ditambah dengan proses inspeksi terhadap keaslian variets berdasarkan regulasi teknis/SK Menteri tentang variets. Untuk tujuan keaslian varietas dan kesesuaian terhadap SNI, maka hal-hal yang dilakukan untuk diprioritaskan adalah :

1) Inspeksi untuk memperoleh kejelasan penggunaan benih bersertifikat, disesuaikan dengan luas lahan dan bukti pembelian benih.

2) Kejelasan hubungan antara luas areal penanaman, jumlah petani dan kepemilikan lahannya dan produksi beras bersertifikat yang direncanakan.

(49)

III. METODE KAJIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lokasi penanaman padi Pandanwangi, yaitu diwilayah Kecamatan Warung Kondang – Kabupaten Cianjur. Kelembagaan tani yang menjadi subyek penelitian ini adalah Gapoktan Citra Sawargi yang berlokasi di Desa Bunikasih Kecamatan Warung Kondang. Gapoktan Citra Sawargi terdiri atas 6 kelompok tani di wilayah Desa Bunikasih, Desa Tegallega dan Desa Mekarwangi. Saat ini petani pandanwangi yang menjadi anggota Gapoktan Citra Sawargi sebanyak 96 orang dengan luas lahan 48,93 hektar. Pengambilan data contoh petani mitra maupun non mitra di ke 3 wilayah pengamatan.

Penelitian terhadap perusahaan mitra, yaitu CV Quasindo yang telah melakukan kemitraan dengan petani-petani Pandanwangi yang tergabung dalam kelembagaan Gapoktan Citra Sawargi di lokasi perusahaan di Jalan RE Martadinata Komplek Ruko Permata Ancol – Jakarta.

Penelitian dilakukan selama 3 bulan dari bulan Desember tahun 2007 sampai dengan Februari 2008, meliputi pengambilan data primer dan data pendukung lainnya, baik di CV Quasindo maupun Gapoktan Citra Sawargi, serta Studi Kepustakaan. Tahap pengolahan data sampai penyelesaian akhir laporan penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret sampai dengan April 2008.

3.2. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode pengambilan data dilakukan dengan cara :

(50)

hal–hal lain menyangkut pola kemitraan, manajemen usaha, pemasaran dan lain–lain.

b. Data primer berupa karakteristik dan kinerja pihak – pihak yang bermitra, biaya produksi dan penerimaan, persepsi pakar atas pola kemitraan ideal serta faktor – faktor yang paling berpengaruh terhadap pengembangan usaha pengadaan beras Pandanwangi sebagai bahan perumusan strategi pengembangan usaha, seluruh data tersebut diperoleh dari penelitian lapangan untuk mengumpulkan data yang mempunyai hubungan langsung dengan masalah yang diteliti langsung dari sumbernya. Cara pengumpulan data primer diperoleh dengan cara : 1) Interview, yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan tanya jawab antara dua pihak, dimana satu pihak sebagai pencari informasi. Sedangkan pihak lainnya sebagai pemberi informasi lisan maupun tertulis. Sumber informasi adalah pihak-pihak yang berkompeten terhadap masalah yang ada.

2) Observasi, yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung terhadap obyek yang diteliti berupa kegiatan proses produksi dan pemasaran beras Pandanwangi-Cianjur bersertifikat .

3) Kuesioner, yaitu daftar pertanyaan terhadap obyek yang sedang diteliti kepada pihak yang terkait langsung dengan penelitian, khususnya pihak–pihak yang melakukan kemitraan seperti Gapoktan Citra Sawargi dan CV Quasindo.

(51)

menjadi anggota Gapoktan Citra Sawargi yang sedang melakukan kemitraan dengan CV Quasindo (petani mitra) dan petani Pandanwangi dilokasi yang sama, namun bukan anggota Gapoktan Citra Sawargi dan tidak melakukan kemitraan dengan CV Quasindo (petani non mitra). Jumlah seluruh responden petani Pandanwangi yang digunakan adalah 50 orang, yaitu 25 petani mitra dan 25 petani non mitra.

Penarikan petani contoh dilakukan dengan metode cluster sampling, yaitu cara penarikan contoh dari suatu populasi yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok atau sub populasi. Dalam penelitian ini diambil dua sub populasi berdasarkan keterlibatan atau tidaknya dalam kemitraan dengan CV Quasindo untuk memproduksi beras Pandanwangi Cianjur bersertifikat. Kelompok sub populasi tersebut merupakan anggota dari ke 6 Kelompok Tani yang tergabung dalam Gapoktan Citra Sawargi, sedangkan untuk petani non mitra yang menjadi responden adalah petani yang lokasi sawahnya berdekatan dengan petani mitra.

3.3. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang diperoleh, baik data primer maupun sekunder selanjutnya dianalisis secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis usahatani dan analisis marjin tataniaga dilakukan untuk mengetahui dampak kemitraan terhadap pendapatan/keuntungan usaha masing-masing pihak yang bermitra. Pengolahan data dilakukan dengan program microsoft excel .

Evaluasi pola kemitraan yang diinginkan oleh kedua pihak yang bermitra dilakukan dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analitik atau Analisis Hirarki Proses (AHP). Pengolahan data dilakukan dengan manipulasi matriks dengan perangkat lunak microsoft excel.

Analisis terhadap strategi pengembangan usaha pengadaan beras Pandanwangi Cianjur bersertifikat melalui kemitraan, dilakukan dengan analisis Strengths, Weaknesses, Oportunities dan Threats (SWOT).

(52)

berdasarkan kerangka konseptual yang dibuat secara deskriptif seperti yang termuat pada Gambar 6.

Gapoktan

Citra Sawargi Kemitraan

CV Quasindo o Latar belakang kemitraan o Karakteristik o Kinerja usaha Analisis Kualitatif Deskriptif Analisis pendapatan usahatani Analisis Kualitatif deskriptif Analisis Marjin Tataniaga Manfaat kemitraan khususnya terhadap

pendapatan usaha

Analisis SWOT Strategi pengembangan usaha Proses Hirarki Analisis o Latar belakang kemitraan o Karakteristik o Kinerja usaha Analisis Kualitatif Deskriptif Analisis Kualitatif deskriptif Manfaat kemitraan o Proporsional tidaknya keuntungan usaha o Efisiensi rantai pasar Evaluasi pola kemitraan ideal

[image:52.612.77.507.121.617.2]

Model Konseptual Pengadaan Beras Unggul Lokal Bersertifikat

(53)

Tahapan dari pengolahan dan analisa data adalah sebagai berikut :

3.3.1 Analisis Pendapatan Usahatani

Salah satu indikator keberhasilan kemitraan di tingkat petani adalah meningkatnya pendapatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama usahatani dijalankan selama jangka waktu yang ditetapkan. Secara umum pendapatan usahatani dapat didefinisikan sebagai sisa (beda) dari pengurangan nilai-nilai penerimaan usahatani dengan biaya-biaya yang dikeluarkannya. Dari jumlah pendapatan ini kemudian dapat dinyatakan besarnya balas jasa atas penggunaan tenaga kerja petani dan keluarganya, modal sendiri dan keahlian pengelolaan petani (Tjakrawiralaksana dan Soeriaatmadja, 1983).

Penerimaan usahatani merupakan nilai produksi yang diperoleh dari produk total dikalikan dengan harga jual di tingkat petani. Pengeluaran atau biaya usahatani adalah nilai penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang mungkin diperoleh dengan membeli, sehingga pengeluaran atau biayanya berbentuk tunai, tetapi ada pula sarana produksi yang digunakan berasal dari hasil usahatani sendiri,sehingga pada keadaan demikian pengeluaran merupakan nilai yang diperhitungkan.

Biaya lain yang perlu diperhitungkan adalah pajak resmi yang dibayar petani, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Selanjutnya perhitungan biaya tenaga kerja petani, serta anggota keluarga dinilai berdasarkan upah yang harus dibayarkan, apabila pekerjaan tersebut dilakukan orang lain (Tjakrawiralaksana dan Soeriaatmadja,1983).

(54)

penggunaannya tidak habis terpakai dalam satu kali proses produksi. Biaya tetap antara lain pajak lahan dan pajak air. Sedangkan biaya variabel adalah biaya untuk sarana produksi yang dipakai dalam proses produksi yang langsung mempengaruhi jumlah produksi dan sifat penggunaannya habis terpakai dalam satu kali pses produksi.

Untuk menghitung pendapatan petani Pandanwangi, baik petani mitra maupun non mitra digunakan rumus berikut :

PB = Hy.Y - Hx.X - Bt

Keterangan :

PB : Pendapatan bersih dari produksi Pandanwangi (Rp/ha/musim) Y : Total produksi Pandanwangi dalam bentuk Malai Kering

Panen (Kg/Ha/musim)

Hy : Harga dari Pandanwangi (Rp/kg)

X : Jumlah faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi Pandanwangi

Hx : Harga dari setiap faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi Pandanwangi

Bt : Biaya tetap untuk memproduksi Pandanwangi

Untuk mengukur efisiensi masing-masing usahatani terhadap setiap penggunaan satu unit input dapat digambarkan oleh nilai rasio antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya yang secara sederhana (Kadariah, et al., 1978) dapat diturunkan dari rumus berikut :

Penerimaan

Rasio R/C (Revenue/Cost) =

Biaya

(55)

3.3.2 Analisis Marjin Tataniaga

Menurut Syahyuti (2006), esensi kemitraan dalam ekonomi terletak pada kontribusi bersama baik berupa tenaga (labor) maupun benda (property), atau keduanya untuk tujuan – tujuan ekonomi. Kontribusi bersama dalam kemitraan harus berjalan seimbang agar tujuan kemitraan sebagai upaya bersama yang saling menguntungkan dapat tercapai.

Kegiatan pemasaran komoditas pertanian merupakan jembatan antara petani produsen dengan berbagai tingkat pelaku tataniaga (pedagang pengumpul, bandar/pedagangan besar kecamatan, pedagang besar kabupaten, pedagang besar provinsi, supplier dan pedagang pengecer-super/hyper market) hingga sampai ke konsumen akhir. Apabila hubungan antara produsen dengan pelaku tataniaga hingga konsumen bisa dipandang sebagai suatu aliran komoditas maka akan dapat terlihat permasalahan yang menyebabkan lemahnya keterkaitan satu dengan lainnya pada pasar (Saptana et al., 2006a).

Dahl dan Hamond dalam Saptana et al., (2006b) menyatakan bahwa marjin pemasaran menggambarkan perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan harga-harga yang diterima produsen. Termasuk dalam marjin pemasaran adalah seluruh biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga (marketing cost) dan keuntungan yang diterima pelaku tataniaga (marketing profit) mulai dari pintu gerbang produsen ke konsumen akhir. Secara matematik digunakan rumus berikut :

m n

M = Ci + j

i=1 j=1

dimana : M = marjin pemasaran

Ci = biaya pemasaran i (i = 1,2,3...m) m =

Gambar

Gambar 1. Rantai pemasaran padi/beras kasus di Pulau Jawa�(Ditjen PPHP, 2006)�
Gambar 2.  Diagram Sankey (Patiwiri, 2006a)
Gambar 3.  Esensi organisasi internal agribisnis (Pakpahan, 1990)
Gambar 5. Diagram alir proses sertifikasi beras berlabel (LPPM – IPB, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait