PENGARUH BENZYL ADENINE (BA) TERHADAP
PERTUMBUHAN EKSPLAN DUA KULTIVAR KRISAN
(
Dendranthema grandiflora
Tzelev Syn.) SECARA
IN VITRO
Oleh Umar Syaifan
A34104027
PROGRAM STUDI AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
UMAR SYAIFAN. Pengaruh Benzyl Adenine (BA) terhadap Pertumbuhan Eksplan Dua Kultivar Krisan (Dendranthema grandiflora
Tzelev Syn.) secara In Vitro. Dibimbing oleh NURUL KHUMAIDA
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh zat pengatur tumbuh
(BA) bagi pertumbuhan eksplan dua kultivar krisan secara in vitro. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Juni hingga September 2009 di Laboratorium Kultur
Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas, Jawa Barat.
Penelitian menggunakan rancangan perlakuan faktorial dengan dua faktor
yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Dua faktor tersebut
adalah konsentrasi BA (µM) dan kultivar krisan. Konsentrasi BA terdiri dari lima
taraf, yaitu 0.00 µM, 2.22 µM, 4.44 µM, 6.66 µM dan 8.88 µM. Faktor kedua
kultivar krisan, terdiri dari kultivar Puspita Nusantara dan Puspita Asri. Terdapat
10 kombinasi perlakuan dimana setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan, sehingga
terdapat 30 satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 6 botol
kultur yang berisi 3 eksplan per botol.
Pengamatan terhadap beberapa peubah dilakukan pada 6, 7 dan 8 MST.
Peubah yang diamati adalah persentase tumbuh, jumlah tunas, tinggi tunas, waktu
inisiasi tunas, jumlah daun per tunas, jumlah daun per eksplan, panjang ruas.
Pengamatan dilakukan pada dua tahap, yaitu pada tahap kultur in vitro di
laboratorium dan pada tahap aklimatisasi di rumah plastik.
Persentase tumbuh eksplan krisan kultivar Puspita Asri dan Puspita
Nusantara pada 1 MST mencapai 100 %. Rekapitulasi sidik ragam menunjukkan
bahwa perlakuan berpengaruh terhadap kemampuan eksplan untuk tumbuh. Hasil
analisis ragam menunjukkan konsentrasi BA berpengaruh nyata terhadap jumlah
tunas, tinggi tunas, jumlah daun total dan panjang ruas pada tahap kultur in vitro.
Perlakuan BA 0.00 µM (Kontrol) mampu menghasilkan tunas tertinggi
(9.79 cm) dan panjang ruas terpanjang (0.87 cm), BA 6.66 µM menghasilkan
jumlah tunas terbanyak (8.71 tunas), sedangkan BA 4.44 µM mendorong eksplan
Kultivar krisan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah daun
pada 6 MST dan 7 MST. Kultivar krisan berpengaruh sangat nyata terhadap waktu
inisiasi tunas, tinggi tunas, panjang ruas, jumlah tunas pada 7 dan 8 MST, serta
jumlah daun per tunas pada 8 MST. Kultivar Puspita Asri cenderung memiliki
tinggi tanaman, ruas yang lebih panjang dan jumlah tunas yang lebih banyak
dibandingkan kultivar Puspita Nusantara.
Interaksi antara BA dan kultivar krisan tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah tunas, jumlah daun per tunas, jumlah daun per eksplan, tinggi tunas dan
panjang ruas pada tahap kultur in vitro. Namun demikian, interaksi antara BA dan
kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap waktu inisiasi tunas. Kultivar Puspita
Asri yang diberi perlakuan BA 0.00 µM (Kontrol) memiliki waktu inisiasi
tercepat (2.77 HST).
Pada tahap aklimatisasi, interaksi antara BA dan kultivar krisan
berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, dan panjang ruas pada 8
MST, sedangkan untuk jumlah tunas dan panjang ruas pada 2 dan 4 MST,
interaksi antara BA dan kultivar krisan tidak berpengaruh. Pada tahap
aklimatisasi, interaksi perlakuan BA 2.22 µM dengan kultivar Puspita Asri
menghasilkan tanaman tertinggi (19.16 cm), ruas terpanjang (1.26) cm pada 6
PENGARUH BENZYL ADENINE (BA) TERHADAP
PERTUMBUHAN EKSPLAN DUA KULTIVAR KRISAN
(
Dendranthema grandiflora
Tzelev Syn.) SECARA
IN VITRO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Umar Syaifan
A34104027
PROGRAM STUDI AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian :PENGARUH BENZYL ADENINE (BA) TERHADAP
PERTUMBUHAN EKSPLAN DUA KULTIVAR KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzelev Syn.) SECARA IN VITRO
Nama Mahasiswa : Umar Syaifan
NRP : A34104027
Program Studi : Agronomi
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi NIP. 19650719 199512 001
Mengetahui
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 19571222 198203 1 002
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 2 Januari 1986. Penulis adalah
anak ke empat keluarga Hartono dan Ir. Darliah, MS dengan tiga orang kakak
yang bernama Royan Abdu Azziz, Putri Veraning Bekti dan Miranti.
Penulis menempuh pendidikan di Taman Kanak-kanak Aisiyah Cipanas
pada tahun 1990 sampai tahun 1992. Tahun 1992 sampai 1998 penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Cipanas 1. Tahun 1998 sampai
tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Pacet. Pada tahun 2001
penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Sukaresmi dan lulus tahun
2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Program
Studi Agronomi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alah SWT karena berkat rahmat
dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
”Pengaruh Benzyl Adenin (BA) terhadap Pertumbuhan Esplan Dua Kultivar
Krisan (Dendranthema grandiflora Tzelev Syn.) Secara In Vitro”. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat kelulusan mahasiswa Program Studi Agronomi,
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari pengaruh
konsentrasi BA terhadap pertumbuhan dua kultivar krisan, yaitu Puspita Asri dan
Puspita Nusantara. Akhirnya penulis hanya berharap kepada Allah SWT semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang memerlukan.
Bogor, Agustus 2010
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi yang telah meluangkan banyak waktunya untuk
membimbing, mengarahkan, dan banyak membantu dengan penuh kesabaran
selama penelitian sampai penyelesaian penulisan skripsi.
2. Dr. Ir Faiza C. Suwarno, MS dan Dr. Ir Eny Widajati, MS atas masukannya
untuk perbaikan skripsi serta kesediaannya menjadi dosen penguji.
3. Dr. Ir. Maya Melati, MS atas bimbingan akademik yang telah diberikan
kepada penulis.
4. Ibu Eka Febrianty, Ibu Siti Hajar, Bapak Yana dan Ibu Atik yang memberikan
arahan dan bantuan kepada penulis selama bekerja di Laboratorium Kultur
Jaringan Kebun Percobaan Cipanas Balithi (Balai Penelitian Tanaman Hias).
5. Bapak, Ibu dan Kakak-kakak yang selalu memberi dukungan baik moril
maupun materi serta motivasi yang tiada habisnya kepada penulis.
6. Teman-teman Agronomi 41, teman-teman pondok Arjuna, saudara-saudaraku
dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas bantuan, doa,
DAFTAR ISI
Varietas Krisan yang Dikembangkan di Indonesia ... 4
Perbanyakan Krisan ... 7
Pelaksanaan Penelitian ... 13
Jumlah Tunas ... 31
Panjang Ruas ... 32
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 34
Saran ... 34
DAFTAR PUSTAKA ... 35
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Rekapitulasi sidik ragam Pengaruh BA dan Kultivar terhadap
Pertumbuhan Eksplan Krisan ... 19
2. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Waktu Inisasi Tunas ... 20
3. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Tunas ... 21
4. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Tinggi Tunas ... 23
5. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Daun per Tunas ... 25
6. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Daun per Eksplan .... 26
7. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Panjang Ruas ... 28
8. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Tinggi Tanaman Saat Aklimatisasi ... 30
9. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Daun Saat Aklimatisasi ... 31
10. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Panjang Ruas Saat Aklimatisasi ... 32
Lampiran
1. Komposisi media Murashige dan Skoog ... 402. Deskripsi Kultivar Puspita Nusantara ... 41
3. Deskripsi Kultivar Puspita Asri ... 41
4. Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya terhadap Waktu Inisiasi Tunas ... 42
5.
Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya terhadap Jumlah tunas ... 426. Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya Terhadap Tinggi Tunas pada 6 dan 7 MSK ... 43
8. Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya terhadap
Jumlah Daun per Tunas ... 44
9. Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya terhadap
umlah Daun per eksplan ... 45
10. Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya terhadap
Panjang Ruas pada 6 dan 7 MSK ... 45
11. Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya terhadap
Panjang Ruas pada 8 MSK ... 46
12. Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya terhadap
Tinggi Tanaman Saat Aklimatisasi ... 46
13. Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya terhadap
Jumlah daun Saat aklimatisasi ... 47
14. Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya terhadap
Jumlah Tunas Saat Aklimatisasi ... 47
15. Sidik Ragam Pengaruh BA, Kultivar dan Interaksinya terhadap
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1. Keragaan Mahkota Bunga Krisan Kultivar Puspita Asri ... 5
2. Krisan Mahkota Bunga Krisan Kultivar Puspita Nusantara ... 6
3. Struktur Kimia BA (Benzyl Adenine) ... 11
4. Kondisi Awal Eksplan yang Diperoleh dari Stek Buku Tunggal
Krisan dalam Botol Bultur yang Berisi Media MS0 ... 17 5. Kondisi Eksplan Saat Kemunculan Tunas Pertama pada 1 MSK ... 20 6. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi BA terhadap Jumlah
Tunas Krisan ... 22 7. Kondisi Awal Planlet Krisan saat Aklimatisasi ... 29
Lampiran
1. Kondisi Botol-botol Percobaan pada Rak Kultur ... 48
2. Planlet Krisan Kultivar Puspita Nusantara pada 8 MSK dengan
Berbagai Kombinasi Perlakuan BA ... 49
3. Planlet Krisan Kultivar Puspita Asri pada 8 MSKT dengan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman hias merupakan salah satu tanaman hortikultura yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi dan memiliki keindahan serta daya tarik tertentu,
yang digunakan untuk keperluan hiasan di dalam dan di luar ruangan. Sebagai
salah satu komoditas yang mengandung arti ekonomi tinggi, tanaman hias dapat
diusahakan menjadi suatu usaha yang menjanjikan keuntungan besar
Permintaan nasional akan tanaman hias dan bunga potong meningkat
sejalan dengan peningkatan pembangunan perumahan, hotel, pariwisata dan
kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini membangkitkan minat dan membuka
peluang yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha tani dan pemasaran
tanaman hias. Kebutuhan tanaman hias dan bunga potong dalam dan luar negeri
menunjukkan prospek yang baik dan cenderung meningkat sejalan dengan
peningkatan pendapatan masyarakat.
Krisan (Dendranthema grandiflora) merupakan salah satu komoditas
tanaman hias yang banyak diminati masyarakat. Di Indonesia, permintaan
terhadap bunga krisan meningkat 25% per tahun, bahkan di tahun 2003
permintaan pasarnya meningkat 31,62%. Ekspor bunga potong krisan ke luar
negeri seperti Belanda, Brunei, Singapura, Jepang, dan UEA mencapai 43 juta
tangkai (Dirjen Hortikultura, 2007).
Krisan merupakan bunga potong dan bunga pot yang memiliki nilai
ekonomi tinggi, sehingga prospeknya sangat baik. Pasar potensial bunga krisan
antara lain Jerman, Inggris, Italia, Swiss, Amerika Selatan, Australia, Swedia,
Denmark, Jepang dan negara lainnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan bunga
krisan dalam negeri dan luar negeri (ekspor), Indonesia berpeluang untuk
mengembangkan usaha bunga krisan.
Meningkatnya permintaan bunga potong krisan ini harus diimbangi
dengan kemampuan penyediaan benihnya. Situasi tersebut memberi peluang bagi
petani produsen dan pengusaha bunga krisan untuk meningkatkan kuantitas,
kualitas dan kontinuitas produksi bunga krisan yang sesuai dengan permintaan
2007 di Indonesia berturut-turut mencapai 63.716.256 dan 66.979.260 tangkai.
Produksi bunga potong krisan tersebut mengungguli mawar, sedap malam, gladiol
dan anggrek (Dirjen Hortikultura 2007).
Untuk mengimbangi permintaan konsumen yang terus meningkat setiap
tahun, para pengusaha atau petani krisan membeli benih tanaman krisan dari
produsen luar negeri. Salah satu kendala yang dihadapi dalam produksi krisan
ialah penyediaan benih tanaman yang seragam, bermutu tinggi dan sehat dalam
jumlah yang banyak dan dengan waktu yang relatif singkat.
Krisan diperbanyak secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan tanaman
krisan secara generatif jarang dilakukan karena sulit dan bersifat heterozigot
(keturunan biji tidak sama dengan induknya). Selain itu, perbanyakan secara
generatif memerlukan waktu yang lama dan penangan khusus. Perbanyakan krisan
secara vegetatif umumnya melalui stek pucuk, anakan dan kultur jaringan.
Usaha produksi krisan di Indonesia dihadapkan pada beberapa kendala,
antara lain ketergantungan pada bibit dari luar negeri seperti Belanda, Jerman,
Amerika Serikat, dan Jepang yang harganya mahal. Selain itu, bila tanaman akan
diperbanyak perlu membayar royalti 10% dari harga jual tiap tangkainya. Kondisi
tersebut menyebabkan harga jual bibit tinggi dan menurunkan keuntungan petani
atau pengusaha tanaman krisan. Masalah lain adalah degenerasi bibit, yaitu
penurunan mutu benih sejalan dengan bertambahnya umur tanaman.
Perbanyakan benih krisan secara intensif dan ekstensif sangat diperlukan,
salah satunya dapat dilakukan melalui teknik kultur jaringan. Produksi benih
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pengembangan suatu jenis
tanaman. Namun benih/bibit dari suatu varietas unggul yang dihasilkan para
pemulia jumlahnya sangat terbatas, sedangkan benih tanaman yang dibutuhkan
jumlahnya sangat banyak.
Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) telah banyak menghasilkan
varietas unggul krisan antara lain yaitu Puspita Nusantara, Puspita Kencana,
Sakuntala, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Purbasari, Dewi Ratih, Pitaloka, Cut
Nyak Dien dan Puspita Asri. Keberhasilan teknik kultur jaringan terhadap varietas
tersebut melatarbelakangi untuk dilakukannya penelitian teknik penanaman kultur
Pada penelitian ini diberikan BA yang merupakan salah satu jenis sitokinin yang
diharapkan mendorong organogenesis eksplan. Pemberian BA yang termasuk
dalam golongan sitokinin sering digunakan pada berbagai penelitian tanaman hias
yang ditumbuhkan secara in vitro.
Sitokinin dan auksin ditambahkan ke dalam media kultur untuk
merangsang pembelahan sel dan mengendalikan diferensiasi eskplan (Hatman et
al., 1990). Sitokinin seperti benzyl adenin memacu pertunasan pada perbanyakan
klonal tanaman krisan (Chakrabarty et al., 2000), dan lili (Darliah, et al., 2001).
Auksin biasa ditambahkan ke dalam media perakaran, seperti NAA pada tanaman
lili (Darliah et al., 2001), krisan (Chakrabarty et al., 2000) dan IAA pada krisan
(Marwoto et al., 2004). Dengan demikian teknologi kultur in vitro dapat
digunakan sebagai teknologi pilihan untuk perbanyakan tanaman krisan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi BA dan
kultivar krisan terhadap pertumbuhan eksplan krisan secara in vitro dan
aklimatisasinya.
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan respon pertumbuhan eksplan pada pemberian BA dengan
konsentrasi yang berbeda.
2. Terdapat perbedaan respon pertumbuhan eksplan dengan digunakannya
kultivar krisan yang berbeda.
3. Terdapat interaksi antara BA dengan kultivar krisan terhadap pertumbuhan
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Krisan
Tanaman krisan (Dendranthema grandiflora Tzelev Syn.) atau dikenal
dengan nama Seruni atau Bunga emas termasuk ke dalam famili
Compositae/Asteraceae yang berasal dari daratan Cina, daerah subtropik Asia
Timur. Tanaman ini merupakan tanaman bunga hias berupa perdu (Widyawan,
1994).
Krisan merupakan salah satu jenis tanaman hias yang mempunyai prospek
pasar yang cerah untuk dikembangkan sebagai bunga potong dan tanaman pot.
Krisan potong umumnya digunakan sebagai bahan dekorasi ruangan, rangkaian
besar maupun jambangan bunga. Krisan pot banyak digunakan sebagai penghias
di lobi hotel maupun rumah tinggal (Sanjaya, 1996).
Krisan merupakan tanaman semusim dan tahunan yang berkerabat dekat
dengan dahlia, bunga matahari dan marigold. Dalam klasifikasi terbaru genus
Chrisanthemum diubah menjadi Dendranthema. Menurut ahli botani, tanaman
krisan diklasifikasikan sebagai berikut:
Spesies : Dendranthema grandiflora
Varietas Krisan yang Dikembangkan di Indonesia
Terdapat beberapa masalah dalam pengembangan krisan di Indonesia.
Selama ini krisan yang ditanam petani merupakan hasil introduksi, dengan
demikian bahan tanam krisan harus selalu didatangkan dari luar negeri terutama
Belanda. Masalah lain yang ditemui adalalah perlunya merakit kultivar krisan
Dalam upaya untuk mengatasi masalah tersebut, Balai Penelitian Tanaman
Hias (Balithi) telah menghasilkan varietas krisan antara lain Puspita Nusantara,
Puspita Kencana, Sakuntala, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Purbasari, Dewi
Ratih, Pitaloka, Cut Nyak Dien dan Puspita Asri. Pengembangan varietas krisan
tersebut dilaksanakan oleh Unit Pengelolaan Benih Sumber Balithi.
Varietas-varietas tersebut sudah ditanam di sentra produksi krisan di Jawa barat, Jawa
Tengah, Sumatra utara dan Sumatra Selatan (Soedarjo, 2009).
Varietas Puspita Asri merupakan hasil dari persilangan tetua Dewi Sartika
dengan Stroika. Varietas ini memiliki bentuk bunga ganda dengan jenis bunga
spray. Warna bunga ungu (bunga pita) dan kuning (bunga tabung). Bentuk daun
lonjong menjari dengan tepi agak bergerigi. Puspita Asri memiliki sistem
perakaran serabut dan tahan terhadap penyakit karat. Varietas ini cukup adaptif
pada dataran medium dan dataran tinggi. Keragaan mahkota bunga Puspita Asri
tersaji pada Gambar 1.
Varietas Puspita Nusantara dihasilkan dari persilangan tetua Tawn Talk
dengan Saraswati. Varietas ini memiliki bentuk bunga tunggal dengan jenis bunga
spray. Warna bunga kuning dan bentuk daun yang lonjong menjari dengan tepi
daun agak bergerigi. Puspita Nusantara memiliki sistem perakaran serabut dan
tahan terhadap penyakit karat. Varietas ini cukup adaptif pada dataran medium
dan dataran tinggi. Keragaan mahkota bunga Puspita Nusantara tersaji pada
Gambar 2.
Gambar 2. Krisan Kultivar Puspita Nusantara
Di habitat aslinya, krisan merupakan tanaman semak yang dapat tumbuh
dengan tinggi mencapai 30 – 200 cm. Berdasarkan siklus hidupnya, krisan
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu krisan semusim dan krisan tahunan. Krisan
tumbuh baik di daratan medium sampai daratan tinggi, yaitu pada kisaran
600-1200 meter di atas permukaan laut. Krisan kurang menyukai cahaya matahari dan
percikan air hujan langsung serta tanah yang tergenang (Balithi, 2008). Tanaman
krisan dapat tumbuh optimal pada media dengan kerapatan jenis 0,2 – 0,8 g/cm2
(berat kering), total porositas 50-75%, kandungan air 50-70%, kandungan udara
dalam pori 10 – 20%, dan kisaran pH sekitar 5,5 – 6,5.
Krisan dapat tumbuh pada kisaran suhu harian antara 17 – 30 oC. Pada fase
vegetatif, krisan membutuhkan kisaran suhu harian optimum 22 - 28 oC pada
siang hari dan tidak melebihi 26o C pada malam hari (Khattak dan Pearson, 1997).
Suhu berpengaruh terhadap kualitas bunga yang dihasilkan. Suhu harian optimum
pada fase generatif adalah 16 – 18 oC (Willkins et al., 1990). Pada suhu di atas 25
o
C proses inisiasi bunga akan terhambat dan menyebabkan pembentukan bakal
bunga juga terhambat. Suhu yang terlalu tinggi juga mengakibatkan bunga yang
dihasilkan berwarna kusam, pucat dan pudar.
Berdasarkan tanggap tanaman terhadap panjang hari, krisan tergolong
tanaman berhari pendek fakultatif. Batas kritis panjang hari (Critical Daylenght)
krisan sekitar 13.5 – 16 jam tergantung genotipe (Langton, 1990). Krisan akan
tetap tumbuh vegetatif bila panjang hari yang diterimanya lebih dari batas
kritisnya dan akan terinduksi untuk masuk ke fase generatif (inisiasi bunga)
Kelembaban udara juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
krisan. Tanaman krisan membutuhkan kelembaban 90 – 95% pada awal
pertumbuhan untuk pembentukan akar, sedangkan pada tanaman dewasa,
pertumbuhan optimal dicapai pada kelembaban udara sekitar 70 -80%
(Mortensen, 2000).
Perbanyakan Krisan
Penyediaan bibit krisan dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif.
Namun, perbanyakan secara generatif sangat jarang dilakukan di Indonesia,
karena kendala iklim yang menyebabkan tanaman sukar berbiji. Selain itu,
perbanyakan generatif kurang menguntungkan karena tanaman hasil persilangan
memiliki sifat heterozigot (Priyono, 1992). Perbanyakan melalui biji juga
membutuhkan waktu lama dan penanganan khusus untuk mencapai fase generatif.
Perbanyakan krisan secara vegetatif umum dilakukan di Indonesia.
Perbanyakan krisan secara vegetatif biasanya dilakukan menggunakan setek
pucuk, anakan dan kultur jaringan. Untuk mendapatkan benih/bibit bermutu
dengan cara stek, tanaman induk krisan di lapangan umumnya harus dibongkar
pada minggu ke-16 dan diganti tanaman baru. Perbanyakan dengan cara ini
mudah dilakukan karena tidak diperlukan tenaga ahli, peralatan modern dan biaya
yang tidak terlalu mahal. Namun pada cara perbanyakan demikian, tingkat
multiplikasinya sangat rendah dan waktu yang dibutuhkan untuk perbanyakan
terhitung lama, serta peluang untuk terserang hama dan penyakit masih sangat
besar.
Kultur Jaringan Tanaman Krisan
Teknik kultur jaringan adalah teknik menumbuh-kembangkan bagian
tanaman, baik berupa sel, jaringan, maupun organ dalam kondisi aseptik secara in
vitro (Yusnita, 2003). Pada organisme multi seluler, setiap sel memiliki potensi
untuk memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap
(Gunawan, 1992).
Perbanyakan krisan secara kultur jaringan dapat menghemat waktu dan
ialah mampu menghasilkan tanaman yang seragam, bermutu tinggi dan bebas
penyakit dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif singkat. Namun
kelemahan perbanyakan dengan teknik ini memerlukan tenaga ahli dan dana yang
cukup besar.
Tanaman yang dikembangkan melalui teknik kultur jaringan memiliki
toleransi pH media yang sangat sempit. Titik optimum pH media berkisar antara
5,0 sampai dengan 6,0. Pada umumnya, kelembaban relatif (RH) di ruang kultur
mendekati 100 %. Suhu optimum berkisar antara 25-26 0C. Lama penyinaran di
ruang kultur berkisar antara 10-24 jam/hari (Gunawan, 1992).
Menurut Haryanto (1993) medium MS padat ditambah air kelapa (150
ml/l), NAA (0,5 ml/l) dan kinetin (1,5 ml/l) paling baik untuk pemunculan tunas
dan akar krisan varietas lokal. Kalus krisan dapat membentuk tunas dan akar
28,60 dan 36,20 hari, sementara itu dalam medium MS padat ditambah air kelapa
(150 ml/l), NAA (0,5 ml/l) dan BAP (0,5 ml/l), kalus krisan mampu bertunas
dalam waktu 25,80 hari, namun medium tersebut tidak merangsang pemunculan
akar (Haryanto, 1993).
Menurut Chairunnisa (2004), media kultur dengan kombinasi NAA 0.2
mg/l + kinetin 2 mg/l menghasilkan jumlah buku terbanyak pada planlet krisan
varietas Surf. hal ini menunjukkan bahwa kedua ZPT (NAA dan kinetin) berperan
dalam pertumbuhan planlet selama masa kultur. Penelitian Mandal et al. (2000)
pada stek buku krisan varietas Maghi memperlihatkan bahwa kombinasi NAA dan
kinetin menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dibandingkan dengan
kombinasi ZPT lainnya.
Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan memiliki prospek yang cerah,
namun masih banyak kendala yang belum bisa diatasi, di antaranya adalah
terbatasnya sarana dan prasarana. Pada teknik kultur jaringan, untuk tanaman
yang berbeda digunakan metode yang berbeda pula, sehingga untuk mendapatkan
hasil dari suatu rangkaian percobaan membutuhkan biaya yang cukup besar dan
waktu yang cukup lama. Beberapa hal yang harus disiapkan untuk pelaksanaan
Eksplan
Eksplan adalah bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan dalam
kultur jaringan. Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan yang baik adalah
nodus atau stek buku tunggal dari tanaman krisan. Ukuran eksplan untuk
masing-masing jaringan berbeda, untuk jaringan ruas batang atau nodus biasanya
berukuran 0,5-1 cm (Daisy dan Wijayani, 1994). Persentasi keberhasilan eksplan
yang berasal dari jaringan muda persentase keberhasilannya akan lebih tinggi,
karena jaringan muda selalu aktif membelah, dinding selnya belum mengalami
penebalan, sitoplasmanya masih penuh dan vakuolanya kecil-kecil (Daisy dan
Wijayani, 1994). Eksplan yang dipilih akan memberikan respon yang berbeda
tergantung pada bagian tanaman yang akan digunakan.
Eksplan yang ditanam pada media yang tepat dapat beregenerasi melalui
proses yang disebut organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis merupakan
proses terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar (Gunawan, 1992)
Media Dasar Murashige dan Skoog
Media kultur jaringan berfungsi sebagai tempat tumbuh eksplan. Nama
media disesuaikan dengan penemunya sebagai contoh, media MS (Murashige dan
Skoog), media VW (Vacin dan Went) dan sebagainya. Pada dasarnya, jenis bahan
kimia yang digunakan pada tiap jenis media hampir sama. Perbedaan hanya
terdapat pada konsentrasi masing-masing senyawanya (Daisy dan Wijayani,
1994).
Nutrisi yang dikandung dalam media adalah unsur hara mikro, makro,
sumber karbon, vitamin, ZPT dan asam amino. Zat pengatur tumbuh berperan
untuk menstimulasi perkembangan dan diferensiasi sel (Daisy dan Wijayani,
1994). Setiap tanaman memiliki kesesuaian dengan media tertentu. Untuk kultur
jaringan tanaman hias telah banyak yang melaporkan keberhasilannya dengan
menggunakan media MS, diantaranya adalah Spathiphyllum, gladiol, begonia,
mawar dan azalea (Gunawan, 1992).
Banyak faktor yang menentukan tingkat keberhasilan perbanyakan
vegetatif secara in vitro, diantaranya adalah kondisi eskplan, penggunaan media
yang tepat, konsentrasi zat pengatur tumbuh dan faktor lingkungan. Bahan
bagian tanaman seperti tangkai, meristem ujung tunas lateral (Ahmed dan Andrea,
1987), petal (Chakrabarty et al, 2000), dan daun.
Sitokinin
Sitokinin merupakan senyawa golongan adenine yang berperan penting
dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin pertama kali
ditemukan adalah kinetin yang diisolasi oleh Prof. Skoog dalam laboratorium
botani di University of Winconsin. Kinetin diperoleh dari DNA ikan Herring yang
diautoklaf dalam larutan asam. Persenyawaan dari DNA tersebut ketika
ditambahkan dalam media untuk tembakau, ternyata merangsang.pembelahan sel
dan diferensiasi sel persenyawaan tersebut, yang kemudian dinamakan kinetin
(Gunawan, 1992). Menurut Wattimena (1988) dan Lakitan (1996) BA adalah
salah satu jenis sitokinin yang sangat aktif tetapi kemungkinan tidak disintesis
oleh tanaman. Menurut Chawla (2002) BA bermanfaat untuk pertumbuhan tunas
pada tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro dan Wattimena (1988)
mengungkapkan bahwa BA sangat aktif dalam mendorong pertumbuhan kalus
tembakau.
Zat pengatur tumbuh sitokinin mempunyai beberapa peranan fisiologis,
yaitu mendorong pembentukan tunas adventif, mendorong pembungaan,
menghambat pembentukan akar, memperlambat penuaan, dan mendorong
pembukaan stomata
Sitokinin yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin,
zeatin, 2iP, BAP, BA, PBA, 2 Ci-4Pci, 2,6-Ci-4Pci:N dan Thidiozuron (TDZ).
Nukleusidanya yaitu 6 Benziladenin Ribosi dijumpai pada sel Pimpinella anisum.
BA memiliki atom C dan H yang menempel pada atom N yang terikat pada cincin
purin (Gunawan, 1992), seperti tersaji pada Gambar 3. BA memiliki Berat
Gambar 3. Struktur kimia Benzyl Adenin
Aklimatisasi
Menurut Donnelly dan Vidaver (1988) aklimatisasi adalah proses adaptasi
tanaman hasil kultur jaringan atau perbanyakan in vitro terhadap lingkungan
rumah kaca atau lingkungan lapang. Aklimatisasi dilakukan untuk
mengadaptasikan tanaman hasil kultur jaringan terhadap lingkungan baru sebelum
ditanam dan dijadikan tanaman induk untuk produksi dan untuk mengetahui
kemampuan adaptasi tanaman dalam lingkungan tumbuh yang kurang aseptik
(Gunawan, 1992).
Tujuan utama aklimatisasi adalah menyediakan lingkungan in vivo yang
optimum untuk meminimalkan persentase kematian dan kerusakan tanaman, dan
untuk mendorong pertumbuhan pada dan setelah masa aklimatisasi (Ziv, 1995).
Pada proses aklimatisasi diperlukan faktor lingkungan yang memadai,
seperti temperatur, kelembaban dan cahaya. Temperatur yang dibutuhkan pada
tanaman krisan sekitar 15-26 oC, kelembaban 70-90 % dan pencahayaan minimal
100 lux (Fides, 1992). Selama proses aklimatisasi, tanaman diperkuat dengan cara
menaikkan intensitas cahaya dan menurunkan kelembaban. Keduanya dilakukan
secara hati-hati dan bertahap untuk menghindari kematian tanaman (Gunawan,
1992).
Hartman dan Kester (1990) mengemukakan bahwa media tumbuh yang
ideal adalah media yang memiliki syarat-syarat seperti struktur terbuka atau
gembur, sehingga aerasi dan drainase baik serta kelembaban yang cukup, bebas
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan dan
aklimatisasi dilakukan di rumah plastik Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2009.
Bahan dan Alat
Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah stek buku tunggal dari
planlet krisan yang berumur dua bulan. Kultivar yang digunakan yaitu Puspita
Nusantara dan Puspita Asri (deskripsi tanaman disajikan pada Tabel lampiran 2
dan 3). Media kultur yang digunakan adalah media Murashige and Skoog (MS)
seperti tercantum dalam Tabel Lampiran 1. Media tersebut merupakan media
padat yang mengandung hara makro, mikro dan gula dengan agar sebagai bahan
pemadat. Zat pengatur tumbuh yang menjadi perlakuan penelitian ini adalah BA
(Benzyl Adenin). Bahan lain yang digunakan meliputi alkohol 70 %, dan Benomil
50% sebagai desinfektan
Alat-alat yang digunakan adalah rak kultur yang dilengkapi lampu TL 40
watt, laminar air flow cabinet, autoklaf, botol tanam, alat tanam (pinset, gunting,
skalpel), karet gelang, tissue, plastik, penutup botol, pembakar spirtus, pH meter,
gelas piala, kertas saring dan cawan petri.
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok
(RAK) yang disusun secara faktorial dengan menggunakan dua faktor. Faktor
pertama adalah konsentrasi BA dengan lima taraf, yaitu 0 µM BA (kontrol), 2.22
µM BA, 4.44 µM BA, 6.66 µM BA dan 8.88 µM BA. Faktor kedua adalah
kultivar unggul krisan yang terdiri atas dua taraf, yaitu Puspita Nusantara dan
Puspita Asri, sehingga terdapat 10 kombinasi perlakuan. Masing-masing
perlakuan diulang 6 kali.
Setiap ulangan terdiri dari tiga eksplan setiap botol, sehingga terdapat 180
Model statistik dari percobaan ini adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + i + j + ( ) ij + γk+ ijk
Keterangan :
Yijk : Nilai pengamatan konsenrasi BA ke-i, kultivar krisan ke-j dan ulangan ke- k.
µ : Nilai tengah umum.
i : Pengaruh perlakuan konsentrasi BA taraf ke-i (i= 1, 2, 3, 4).
j : Pengaruh perlakuan kultivar krisan taraf ke-j (j= 1, 2).
( )ij : Pengaruh interaksi antara konsentrasi BA taraf ke-i dengan kultivar
krisan taraf ke-j. .
γk : Pengaruh ulangan ke-k.
ijk : Galat perlakuan.
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F pada taraf 5%. Apabila
berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan DMRT (Duncan
Multiple Range Test) pada taraf 5%.
Pelaksanaan Penelitian Sterilisasi alat dan media
Sterilisasi dilakukan untuk membersihkan perlatan kultur, alat tanam,
media, Laminar Air Flow Cabinet dan eksplan krisan sebelum dikulturkan sebagai
upaya pencegahan kontaminasi eksplan pada media kultur. Laminar air flow
cabinet disterilisasi dengan cara membersihkan dasar dan kaca dengan alkohol
70% dan menghidupkan lampu UV selama 1 malam sebelum laminar air flow
cabinet digunakan.
Sterilisasi peralatan dilakukan dengan mencuci alat dengan air mengalir
kemudian dibungkus rapi dengan kertas, setelah itu dimasukkan ke dalam autoklaf
dengan suhu 121 0C dan tekanan 17.5 psi selama satu jam. Sterilisasi media
dilakukan dengan memasukkan media dalam autoklaf pada suhu 121 0C dan
tekanan 17.5 psi selama setengah jam
Persiapan eksplan
Stek buku tunggal dicuci dibawah air mengalir, kemudian dimasukkan ke
5 menit, untuk kemudian dibilas dengan aquades. Stek buku tunggal direndam
dalam larutan fungi sebagai desinfektan (1 gr/200ml benlox, 1 gr/200ml bactomil,
ascorbat), kemudian dikocok-kocok selama 1 jam. Setelah itu stek buku tunggal
dibilas 3 kali dengan aquades, kemudian sterilisasi dilakukan di dalam laminar air
flow cabinet
Stek buku tunggal dicuci dengan tween sebanyak 2 tetes ditambah aquades
100 ml dan direndam selama 10 menit. Setelah itu dibilas aquades sebanyak 3
kali. Stek buku tunggal kemudian direndam dengan clorox 10% dan dikocok
selama 5 menit, setelah itu nodus dibilas aquades sebanyak 3 kali. Stek buku
tunggal direndam kembali dalam clorox 5% selama 5 menit, setelah itu dibilas
dengan aquades sebanyak 3 kali. Stek buku tunggal yang sudah steril diletakkan
dalam cawan petri untuk kemudian ditanam pada media prekondisi.
Pembuatan media MS
Tahap pembuatan dimulai dengan pembuatan larutan stok (larutan dengan
konsentrasi pekat) yang berisi unsur-unsur hara, meliputi stok A, B, C, D, E, F,
Vitamin dan Myo-inositol. Pembuatan media perlakuan dilakukan dengan
mengambil larutan stok sesuai komposisi yang diperlukan serta berikan BA sesuai
perlakuan.
Setelah semua zat dicampur, larutan dimasukkan ke dalam gelas piala
kemudian tera dengan aquades sampai 1 liter, kemudian tambahkan gula.
Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter, pH yang dikehendaki adalah
5,6 – 5,8. penambahan NaOH 0,1 N dilakukan bila pH kurang dari 5,6 dan
penambahan KOH dilakukan bila pH lebih dari 5,8. Agar-agar dimasukkan untuk
memadatkan media dan masukkan media dalam wadah untuk dipanaskan sambil
diaduk.
Setelah mendidih larutan dimasukkan ke dalam botol kultur, kemudian
ditutup plastik dan diikat dengan karet gelang. Satu liter media dapat mengisi 30
botol kultur. Botol yang beriisi media selanjutnya dimasukkan ke dalam autoklaf
selama 30 menit, kemudian disimpan di ruang kultur.
Penanaman eksplan
Penanaman dilakukan dalam laminar air flow cabinet yang sudah
spirtus dimasukkan ke dalam laminar air flow cabinet. Penanaman eksplan steril
pada media perlakuan dilakukan dengan cara sub kultur eksplan dari media
prekondisi.
Eksplan yang sudah ditanam kemudian dimasukkan ke ruang kultur
dengan suhu 20 0C, kelembaban 46% dan diberi penyinaran lampu TL 36 watt
dengan periode penyinaran 8 jam gelap dan 16 jam terang mulai dari awal
penanaman sampai 8 MSK (Gambar Lampiran 1).
Aklimatisasi
Aklimatisasi dilakukan setelah eksplan berumur 9 MSK. Planlet yang akan
diaklimatisasi dikeluarkan dari botol kultur secara hati-hati, diukur tinggi, jumlah
daun, dan panjang ruas, kemudian dibandingkan masing-masing kultivar dengan
berbagai tingkat konsentrasi (Gambar Lampiran 2 dan 3). Akar planlet yang masih
melekat dengan agar-agar dicuci menggunakan air bersih, kemudian direndam
dalam benlatte (fungisida) selama 3 menit, dan ditanam pada bak yang berisi
media arang sekam steril yang telah dibasahi. Jarak tanam yang digunakan adalah
10 cm x 10 cm.
Pengamatan
Pengamatan untuk tahap kultur in vitro dilakukan setiap satu minggu
sekali sejak 6 minggu setelah kultur (MSK) sampai dengan 8 MSK, sedangkan
untuk tahap aklimatisasi, pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali sejak 4
MST sampai dengan 6 MST. Data hasil pengamatan selanjutnya diolah dan
dianalisis untuk kemudian dituangkan dalam penulisan skripsi.
Tahap aklimatisasi
1. Tinggi tanaman
2. Panjang ruas
3. Jumlah daun per tunas
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap
kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam
Laboratorium Kultur Jaringan Balithi Cipanas selama delapan minggu, sedangkan
aklimatisasi dilakukan di rumah plastik pada bak yang berisi media arang sekam
steril selama enam minggu. Eksplan Krisan yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari stek buku tunggal (nodus) yang diambil dari hasil sub kultur planlet
krisan berumur 2 bulan. (Gambar 4).
Gambar 4. Kondisi awal eksplan yang diperoleh dari stek buku tunggal krisan (Dendranthema grandiflora Tzelev Syn.) dalam botol kultur yang berisi media MS0.
Secara umum, eksplan yang dikulturkan dapat tumbuh dengan baik.
Persentase pertumbuhan eksplan yang diamati sebesar 100%. Eksplan yang
dikulturkan menunjukkan kemampuan multiplikasi tunas. Hal ini dapat diketahui
pada jumlah tunas dan jumlah daun tanaman krisan mulai dari pengamatan
pertama pada 6 MSK dan terus berlanjut sampai akhir pengamatan.
Pada tahap kultur in vitro, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
interaksi antara BA dan kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap peubah waktu
eksplan, tinggi tunas dan panjang ruas tidak dipengaruhi oleh interaksi antara BA
dan kultivar.
Pada tahap aklimatisasi, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
interaksi antara BA dan kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap tinggi
tanaman, jumlah daun, dan panjang ruas pada 6 MST, sedangkan pada jumlah
tunas dan panjang ruas pada 2 dan 4 MST interaksi antara BA dan kultivar krisan
tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis sidik ragam untuk semua peubah yang
diamati disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil sidik ragam tampak bahwa perbanyakan tanaman krisan
secara in vitro menunjukkan perlakuan tunggal BA berpengaruh nyata terhadap
jumlah tunas per eksplan, tinggi tunas, jumlah daun per eksplan, dan panjang
ruas, sedangkan untuk jumlah daun per tunas perlakuan tunggal BA tidak
berpengaruh nyata. Hasil analisis sidik ragam juga menunjukkan bahwa
perlakuan tungal kultivar berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas, panjang ruas,
jumlah tunas (pada 7 dan 8 MSK), jumlah daun total (pada 8 MSK), sedangkan
untuk jumlah daun per eksplan perlakuan tunggal BA tidak berpengaruh nyata.
Tahap Kultur In Vitro
Waktu Insiasi Tunas
Secara umum, seluruh eksplan krisan ini melakukan inisiasi tunas pertama
pada 2-4 Hari Setelah Kultur (HSK), baik untuk kultivar Puspita Asri maupun
kultivar Puspita Nusantara. Menurut Windasari (2004), pada krisan yang
dikulturkan dengan media MS dengan perlakuan kinetin dan NAA memiliki
rata-rata kecepatan tunas munculnya tunas sekitar tiga hari setelah tanam. Kondisi
Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh BA dan Kultivar terhadap Pertumbuhan
Gambar 5. Kondisi eksplan saat kemunculan tunas pertama pada 1 MSK
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan kultivar
krisan berpengaruh nyata terhadap waktu inisiasi tunas (Tabel Lampiran 3).
Waktu inisiasi tercepat diperoleh dari kombinasi perlakuan BA 0.00 µM dengan
kultivar Puspita Asri (2.77 hari) dan tidak berbeda nyata dengan kombinasi
perlakuan BA 2.22 µM + Kultivar Puspita Asri (3.17 hari). Kombinasi perlakuan
BA 8.88 µM dengan Kultivar Puspita Nusantara menghasilkan waktu inisiasi
tunas yang paling lambat yaitu 4.05 hari (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Waktu Inisiasi Tunas
BA (µM)
Kultivar
Puspita Asri Puspita Nusantara
...hari...
0 2.77d 3.36cb
2.22 3.17cd 3.77ab
4.44 3.44bc 3.94a
6.66 3.33bc 3.69ab
8.88 3.37bc 4.05a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%.
Berdasarkan hasil pengamatan, tampak bahwa pada setiap taraf
konsentrasi perlakuan BA dengan konsentrasi yang sama, kultivar Puspita Asri
memiliki rata-rata waktu inisiasi tunas yang lebih cepat dibandingkan kultivar
Puspita Nusantara. Perbedaan waktu inisiasi tunas tersebut diduga disebabkan
oleh perbedaan faktor genetik dari kedua kultivar krisan tersebut (Tabel 2).
Jumlah Tunas
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi BA
berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas yang terbentuk mulai dari 6-8
MSK (Tabel Lampiran 4). Perlakuan BA 6.66 µM berbeda nyata dengan tanpa
BA, 4.44 µM, dan 8.88 µM pada 8 MSK. Jumlah tunas terbanyak didapatkan dari
perlakuan BA 6.66 µM dengan jumlah tunas 8.71, sedangkan jumlah tunas
terkecil didapatkan dari perlakuan tanpa BA (kontrol).
Tampak bahwa pemberian BA dapat mendorong pertambahan jumlah
tunas krisan (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena fungsi BA sebagai sitokinin.
Menurut Wattimena et al. (1992) pada konsentrasi tinggi BAP akan mendorong
poliferasi tunas. Chawla (2002) menambahkan bahwa BA bermanfaat untuk
pertumbuhan tunas pada tanaman yang ditumbuhkan secara In vitro.
Tabel 3. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Tunas
Perlakuan Umur (MSK)
Puspita Nusantara 4.29 6.15k 7.66k
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom umur dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%.
Analisis regresi pengaruh BA terhadap jumlah tunas pada 8 MSK
menghasilkan persamaan y = -0.1609x2 + 2.1655x + 1.5763 (R2 = 0.998), seperti
terhadap jumlah tunas krisan yang terbentuk. Koefisien determinasi yang
dihasilkan sangat tinggi (0.998), artinya sebesar 99 % keragaman Y yang dapat
dijelaskan oleh model regresi polinomial.
Gambar 6. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi BA terhadap Jumlah Tunas Krisan pada 8 MSK
Pada Gambar 6 tampak bahwa penambahan BA 6.73 µM optimum untuk
pertumbuhan jumlah tunas, pada titik tersebut dihasilkan jumlah tunas terbanyak
9.48 tunas. Pemberian BA melebihi 6.73 µM akan menurunkan jumlah tunas. Hal
ini diduga karena pada titik konsentrasi BA 6.73 µM, telah memasuki titik jenuh
pembelahan sel atau telah melewati konsentrasi optimumnya.
Kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap pertumbahan jumlah tunas
krisan, kecuali pada 6 MST (Tabel 3). Pada 8 MSK, kultivar Puspita Nusantara
memiliki rata-rata jumlah tunas yang lebih besar (7.66 tunas) dibanding kultivar
Puspita Asri (5.23 tunas). Hal ini diduga karena faktor genetik yang berbeda dari
masing-masing kultivar, sehingga memberikan respon yang berbeda pula
terhadap setiap perlakuan BA yang diberikan.
Tinggi Tunas
Pada penelitian ini, tinggi tunas diukur dari pangkal batang bagian bawah
sampai ujung tunas apikal. Tinggi tunas diamati sebagai indikator pertumbuhan
maupun untuk mengukur pengaruh lingkungan yang diterapkan. Hal ini
didasarkan karena tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling (6.73,9.48)
mudah dilihat (Anwar, 2007). Tunas yang diamati merupakan tunas yang
terpanjang dari setiap eksplan yang dijadikan sampel pengamatan.
Berdasarkan hasil analisis ragam tampak bahwa BA memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tunas mulai dari 6-8 MSK. Perlakuan 0.00
µM BA (kontrol) berbeda nyata terhadap perlakuan BA 2.22 µM, 4.44 µM, 6.66
µM dan 8.88 µM (Tabel Lampiran 5 dan 6). Perlakuan tanpa BA memiliki
rata-rata tinggi tunas tertinggi yaitu 9.79 cm, sedangkan rata-rata-rata-rata tinggi tunas terendah
dihasilkan perlakuan BA 8.88 µM sekitar 4.11 cm.
Chairunnisa (2004) menyatakan bahwa penambahan kinetin pada media
MS menyebabkan planlet krisan yang dihasilkan memiliki tinggi tunas yang lebih
pendek dibandingkan dengan plantlet yang dikulturkan pada media MS tanpa
perlakuan kinetin.
Tabel 4. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Tinggi Tunas
Perlakuan Umur (MSK)
Puspita Nusantara 2.83k 3.65k 4.37k
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom umur dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%
Berdasarkan Tabel 4, tampak bahwa tinggi tunas terus bertambah setiap
minggunya. Hal ini menandakan terjadinya pemanjangan sel pada setiap tunas
yang terbentuk. Salisbury (1995) mengungkapkan bahwa sitokinin dapat
mendorong pertumbuhan tanaman, karena sitokinin merangsang pembelahan sel
melalui sintesis protein dimana protein ini dibutuhkan untuk proses mitosis.
Lakitan (1996) menyatakan bahwa sitokinin juga bisa meningkatkan plastisitas
sel dan peningkatan gula tereduksi sehingga akan menyebabkan potensial
osmotik sel menurun, air diserap lebih banyak sehingga tekanan turgor meningkat
BA dapat menghambat pertumbahan tinggi tunas. Perlakuan kontrol
menghasilkan planlet yang lebih tinggi dibandingkan dengan planlet yang diberi
perlakuan BA. Hal ini diduga karena pengaruh BA sebagai sitokinin yang
memberikan efek terhambatnya pertambahan tinggi tunas dan pertumbuhan ruas
sehingga sitokinin menekan pertumbuhan ke arah samping. Adanya sitokinin
memberikan fungsi antagonis terhadap efek auksin yaitu dominasi apikal (Davies,
1995), akibatnya pertumbuhan planlet lebih dominan pada pertumbuhan tunas
dibanding pembentukan ruas.
Moncalean et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan pemberian BA
(sitokinin) pada tanaman Actinidia deliciosa dapat mengurangi panjang tajuk.
Secara umum sitokinin berfungsi mempengaruhi pembelahan dan pembesaran sel
ke arah samping sehingga menghambat panjang tunas.
Kultivar krisan berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tunas krisan
(Tabel Lampiran). Pada akhir pengamatan, kultivar Puspita Asri memiliki
rata-rata tunas yang lebih tinggi (7.75 cm) dibanding Puspita Nusantara yang hanya
memiliki rata-rata tinggi tunas sekitar 4.37 cm (Tabel 4). Perbedaan tinggi
tersebut diduga karena faktor genetik yang berbeda dari masing-masing kultivar,
sehingga memberikan respon yang berbeda pula terhadap setiap perlakuan BA
yang diberikan.
Jumlah Daun per Tunas
Pembentukan daun pada eksplan krisan relatif cepat dan terjadi sejak
minggu pertama setelah kultur. Jumlah daun per tunas merupakan jumlah daun
yang dimiliki oleh salah satu tunas tertinggi dari suatu eksplan. Pengamatan daun
eksplan dilakukan setelah daun membuka sempurna.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tunggal BA tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah daun per tunas untuk setiap minggu
pengamatan (Tabel Lampiran 7). Hal ini berarti bahwa konsentrasi BA 0 µM
(Kontrol), 2.22 µM, 4.44 µM, 6.66 µM, dan 8.88 µM memiliki kemampuan yang
sama untuk mendorong pertumbuhan jumlah daun per tunas pada eksplan.
Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa kultivar krisan tidak
MSK. Kultivar Puspita Asri memiliki rata-rata jumlah daun per tunas yang lebih
tinggi dibandingkan kultivar Puspita Nusantara (Tabel 5).
Tabel 5. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Daun per Tunas
Perlakuan Umur (MSK)
Puspita Nusantara 12.00 14.28 15.24k
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom umur dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%
Jumlah daun per tunas pada setiap kombinasi perlakuan meningkat di
setiap minggunya (Tabel 5). Daun yang terbentuk berwarna hijau, hal tersebut
dikarenakan adanya sitokinin yang dapat menghambat perombakan butir-butir
protein dan klorofil yang apabila terombak akan menyebabkan daun menjadi
kuning (Wattimena, 1988).
Jumlah Daun per Eksplan
Jumlah daun per eksplan merupakan jumlah keseluruhan daun yang
terdapat pada tunas-tunas suatu eksplan. Perlakuan BA memberikan pengaruh
pada eksplan untuk mendorong pertumbuhan jumlah daun total. Pengaruh
perlakuan tersebut mempunyai kesesuaian dengan pengaruhnya pada banyaknya
jumlah tunas yang terbentuk, karena daun pada eksplan terbentuk setelah
terbentuknya tunas. Apabila jumlah tunas yang terbentuk banyak, maka jumlah
daun yang terbentuknya pun akan banyak. Banyaknya jumlah daun ini
menunjukkan banyaknya tunas dan buku yang terbentuk. Semakin banyak jumlah
tunas maka semakin banyak juga jumlah daun dan buku eksplan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan BA berpengaruh
sangat nyata terhadap peubah jumlah daun per eksplan (Tabel Lampiran 8).
Berdasarkan hasil analisis ragam tampak bahwa perlakuan BA 4.44 µM mampu
MST dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan BA 6.66 µM (49.17 daun pada 8
Tabel 6. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Daun per Eksplan
Perlakuan Umur (MSK)
Puspita Nusantara 30.36 35.12 42.38
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom umur dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%
Pengaruh perlakuan BA terhadap jumlah daun mencapai hasil maksimal
pada konsentrasi 4.44 µM dan menurunkan kembali jumlah daun yang terbentuk
pada penambahan konsentrasi BA (6.66 dan 8.88 µM). Hal ini diduga karena
pemberian BA yang telah memasuki titik jenuh pembelahan sel atau telah
melewati konsentrasi optimumnya, sehingga pembelahan sel menjadi lebih
lambat. Hasil penelitian Chairunnisa (2004) terhadap perbanyakan krisan
menunjukkan bahwa pemberian tunggal kinetin yang paling optimum untuk
pertumbuhan jumlah daun yaitu pada konsentrasi 1 mg/l, sedangkan pemberian
kinetin 2 mg/l memberikan efek menghambat untuk pertumbuhan jumlah daun
karena telah melewati titik optimum pemberian kinetin sehingga menghasilkan
jumlah daun yang lebih sedikit dibandingkan pemberian kinetin 1mg/l. Menurut
Strabala et al. (1996), sitokinin berperan dalam perkembangan primordia daun.
BA sebagai sitokinin sangat berperan dalam menghasilkan tunas tersebut,
maka peningkatan BA dapat meningkatkan jumlah daun. Syara (2006)
optimum untuk pertumbuhan jumlah daun Anthurium andreanum. sedangkan
pada konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan penurunan jumlah daun seiring
dengan penurunan jumlah tunas. Hasil penelitian Windasari (2004) terhadap
pertumbuhan krisan varietas Delano Red menunjukkan bahwa penambahan
kinetin 2.5 mg/L menghasilkan rata-rata jumlah daun tertinggi, sedangkan
perlakuan tanpa kinetin menghasilkan rata-rata jumlah daun terendah.
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa kultivar krisan tidak berpengaruh
nyata terhadap jumlah daun per eksplan tanaman krisan di setiap minggu
pengamatan (Tabel Lampiran 7). Dari data yang diperoleh jumlah daun total
antara kultivar Puspita Asri dan Puspita Nusantara tidak berbeda signifikan
(Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa kultivar Puspita Asri dan Puspita
Nusantara memiliki kemampuan yang sama dalam mendorong pertumbuhan
jumlah daun.
Panjang Ruas
Panjang ruas merupakan jarak atau selang antara nodus satu dengan nodus
berikutnya dan dapat dijadikan indikasi ukuran tinggi eksplan. Panjang ruas
berkaitan erat dengan tinggi tanaman; semakin panjang ruas, semakin tanaman
makin tinggi. Panjang ruas yang diamati adalah ruas yang terpanjang dari salah
satu tunas tertinggi pada eksplan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tunggal BA
berpengaruh sangat nyata terhadap panjang ruas pada 6-8 MSK (Tabel Lampiran
9 dan 10). Perlakuan tanpa BA berbeda nyata dengan perlakuan yang lain.
Perlakuan BA 4.44 µM tidak berbeda nyata dengan perlakuan BA 6.66 µM dan
8.88 µM.
Perlakuan BA 0.00 µM (kontrol) memiliki rata-rata panjang ruas tertinggi,
yaitu 0.87 cm pada 8 MST, sedangkan perlakuan BA 8.88 µM cenderung
Tabel 7. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Panjang Ruas
Puspita Nusantara 0.23k 0.40k 0.45k
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom umur dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%.
Perlakuan BA memberikan efek terhambatnya pertambahan tinggi tunas
dan pertumbuhan ruas. Adanya sitokinin memberikan fungsi antagonis terhadap
efek auksin yaitu dominasi apikal (Davies, 1995), akibatnya pertumbuhan planlet
lebih dominan pada pertumbuhan tunas dibanding pembentukan ruas.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kultivar krisan berpengaruh
sangat nyata terhadap panjang ruas krisan di setiap minggu pengamatan (Tabel 7).
Kultivar Puspita Asri cenderung memiliki rata-rata panjang ruas yang lebih besar
(0.66 cm pada 8 MSK) dibanding kultivar Puspita Nusantara (0.45 cm pada 8
MSK).
Tahap Aklimatisasi
Proses aklimatisasi dimaksudkan untuk mengadaptasikan plantlet dari
lingkungan botol dalam laboratorium (aseptik) ke lingkungan tanam baru pada
bak berisi media arang sekam steril yang dimpan di rumah plastik (non aseptik)
dengan tujuan mengurangi stres dan kematian tanaman.
Kondisi awal planlet yang diaklimatisasi disajikan pada gambar 8.
Pemilihan arang sekam ini didasarkan pada informasi sebelumnya yang
menyatakan bahwa arang sekam dapat meningkatkan kemampuan planlet
Gambar 7. Kondisi Awal Planlet Krisan Kultivar Puspita Asri dan Puspita Nusantara yang Diaklimatisasi pada Bak Berisi Media Arang Sekam Steril
Keberhasilan aklimatisasi krisan ini masih belum optimal, dengan
persentase tumbuh sekitar 55%. Hal ini menunjukkan bahwa daya hidup eksplan
krisan pada aklimatisasi masih sangat rendah. Masa aklimatisasi merupakan masa
yang sangat kritis bagi kelangsungan hidup planlet hasil kultur jaringan, karena
tanaman ini memiliki lapisan lilin (kutikula) yang tidak berkembang baik akibat
kondisi mikro planlet saat di dalam botol dengan kelembaban antara 90-100%.
Perbedaan lingkungan mikro dan makro dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman. Contoh dari lingkungan mikro salah satunya adalah
kandungan hara pada media. Sedangkan lingkungan makro meliputi suhu,
kelembaban, dan cahaya. Jumlah tanaman yang hidup di akhir pengamatan tidak
sama dengan awal pengamatan, karena banyak tanaman yang mati di
tengah-tengah pengamatan.
Kelembaban media tanam perlu mendapat perhatian dalam budidaya
krisan, karena tanaman ini tidak toleran terhadap kekeringan, kelembaban yang
rendah dan suhu yang tinggi terutama pada awal penanaman.
Perbedaan-perbedaan kondisi lingkungan tersebut mempengaruhi hasil pengamatan yang
berbeda pada tahap kultur in vitro dengan aklimatisasi.
Perubahan lingkungan tumbuh dari laboratorium (heterotrof) ke media
aklimatisasi (autotrof) tersebut mempengaruhi daya tumbuh planlet saat
aklimatisasi. Karena saat aklimatisasi tanaman asal kultur jaringan ini belum
terlebih dahulu. Kelembaban lingkungan yang belum optimal diduga menjadi
faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pada aklimatisasi. Kelembaban yang
tidak optimal tersebut dapat mengakibatkan akar tanaman busuk yang akan
mengakibatkan tanaman mati.
Tinggi Tanaman
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan kultivar
krisan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman krisan (Tabel Lampiran 11).
Kombinasi perlakuan BA 2.22 µM dengan kultivar Puspita Asri memberikan
hasil tertinggi 19.16 cm, sedangkan untuk kultivar Puspita Nusantara diperoleh
tanaman tertinggi yaitu 15.83 cm pada perlakuan tanpa BA atau kontrol.
Kombinasi BA 8.88 µM dengan kultivar Puspita Nusantara menghasilkan tinggi
terendah sekitar 4.32 cm (Tabel 8). Perbedaan rata-rata tinggi tanaman diduga
karena perbedaan genetik dari masing-masing kultivar dan daya adaptasi yang
berbeda yang menyebabkan pertumbuhan tanaman yang belum optimal. Menurut
Hartmann dan Kester (1992), tanaman yang berbeda dapat merespon hormon
(sitokinin) dalam berbagai kosentrasi secara bebeda. Hal ini dapat disebabkan
oleh perbedaan kandungan konsentrasi hormon endogen tumbuhan itu sendiri.
Tabel 8. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Tinggi Tanaman yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%
Jumlah Daun
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan
krisan hanya pada 6 MST (Tabel Lampiran 12). Kombinasi antara kultivar
Puspita Asri dengan perlakuan BA 2.22 µM menghasilkan jumlah daun terbanyak
yaitu sekitar 17.55 daun, sedangkan untuk kultivar Puspita Nusantara jumlah
daun terbanyak yaitu 16.55 pada perlakuan tanpa BA atau kontrol (Tabel 9).
Perbedaan rata-rata jumlah daun yang diperoleh antara kombinasi kulvitar
Puspita Asri dengan Puspita Nusantara dengan perlakuan BA diduga karena
perbedaan faktor genetik dan daya adaptasi masing-masing kultivar. Kultivar
Puspita Asri memiliki daya adaptasi yang lebih pada lingkungan aklimatisasi
dibandingkan Puspita Nusantara, sehingga pertumbuhannya lebih optimal.
Ziv (1986) menjelaskan bahwa kondisi planlet saat aklimatisasi memiliki
morfologi daun yang tidak normal, stomata yang tidak sempurna, serta daya
adaptabilitas yang rendah.
Tabel 9. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Daun saat Aklimatisasi pada 6 MST yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%.
Jumlah Tunas
Pada aklimatisasi, tidak terjadi penambahan jumlah tunas di setiap
minggunya. Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan tunggal BA tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas krisan di setiap minggu pengamatan
(Tabel Lampiran 13). Hal ini berarti bahwa konsentrasi BA 0 µM, 2.22 µM, 4.44
µM, 6.66 µM, dan 8.88 µM memiliki kemampuan yang sama untuk mendorong
pertumbuhan jumlah tunas tanaman krisan saat aklimatisasi. Hal ini diduga
karena tidak adanya perlakuan khusus yang diberikan saat aklimatisasi.
Penambahan unsur-unsur atau ZPT yang lain dengan perbandingan yang sesuai
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kultivar krisan tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas yang terbentuk (Tabel Lampiran 11).
Jumlah tunas krisan tidak menunjukkan peningkatan mulai 2 sampai 6 MST.
Pertumbuhan yang terjadi pada tanaman mengarah pada pertumbuhan ke
atas, yaitu pada tinggi tanaman. Berbeda pada saat kultur in vitro, yang
pertumbuhannya lebih mengarah ke arah samping, yaitu pertambahan tunas. Hal
ini diduga karena efek BA sebagai sitokinin tambahan yang dapat mendorong
pertambahan tunas sudah tidak ada. Hormon endogen berperan dalam
pertumbuhan tanaman saat tidak adanya perlakuan ZPT.
Panjang Ruas
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan kultivar
krisan berpengaruh nyata terhadap panjang ruas tanaman krisan pada aklimatisasi
(Tabel Lampiran 14). Kombinasi antara kultivar Puspita Asri dengan perlakuan
BA 6.66 µM menghasilkan ruas terpanjang yaitu 1.32 cm, sedangkan untuk
kultivar Puspita Nusantara ruas terpanjang yaitu 1.25 cm pada perlakuan tanpa
BA atau kontrol (Tabel 10). Kombinasi antara kultivar Puspita Asri dengan
perlakuan BA memiliki rata-rata panjang ruas yang lebih tinggi dibanding dengan
interaksi antara kultivar Puspita Nusantara dengan perlakuan BA. Hal tersebut
diduga karena perbedaan genetik dan daya adaptasi dari masing-masing kultivar.
Rata-rata panjang ruas pada saat kultur in vitro dengan saat aklimatisasi
tidak berbeda jauh. Hal ini diduga karena pertumbuhan pada aklimatisasi yang
belum optimal. Pertumbuhan yang optimal tersebut salah satunya dapat diduga
karena kecaman atau stres pada tanaman akibat perbedaan keadaan lingkungan
saat aklimatisasi dengan saat kultur. Perubahan kondisi lingkungan yang drastis,
dari lingkungan terkontrol ke tidak terkontrol, dari suhu relatif stabil ke suhu
lingkungan yang fluktuatif, dari kelembaban tinggi ke rendah dan fluktuatif, dan
dari cahaya rendah ke cahaya tinggi pada umumnya menyebabkan tanaman
mudah mengalami cekaman atau stres, kehilangan air, layu, dan mati (Winarto,
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pada tahap kultur in vitro, pemberian BA berpengaruh nyata terhadap
waktu inisiasi tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah daun total dan
panjang ruas. BA 0.00 µM mampu menghasilkan tunas tertinggi (9.79 cm)
dan panjang ruas terpanjang (2.41 cm), BA 6.66 µM menghasilkan
eksplan dengan jumlah tunas terbanyak (8.71 tunas), dan BA 4.44 µM
mendorong eksplan membentuk daun dotal yang terbanyak (51.54 daun).
Kultivar Puspita Asri tanpa penambahan BA (kontrol) menghasilkan
waktu inisiasi tunas tercepat yaitu pada 2.77 HST.
2. Kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap waktu inisiasi tunas, jumlah
tunas (7 dan 8 MST), tinggi tunas, jumlah daun per tunas (8 MST) dan
panjang ruas pada tahap kultur in vitro. Kultivar Puspita Asri cenderung
memiliki rata-rata tinggi tanaman, panjang ruas dan jumlah tunas yang
lebih besar dibandingkan kultivar Puspita Nusantara.
3. Pada tahap aklimatisasi, kombinasi BA 2.22 µM dengan kultivar Puspita
Asri merupakan kombinasi terbaik menghasilkan tanaman terbaik dengan
tinggi 19.16 cm, panjang ruas terpanjang (1.26 cm) dan jumlah daun
terbanyak (17.55 daun) pada 6 MST.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed H.A and M. Andrea. 1987. Effect of heat treatment on acceleration chrysanthemum multiplication by meristem-tip culture. Actas hort. 212. Symposium on In Vitro Related to Mass Propogation of Horticulture Plants. www. actahort.oprg/book/212/212.
Anwar, N. 2007. Pengaruh Media Multiplikasi Terhadap Pembentukan Akar pada Tunas In Vitro Nenas (Ananas comocus (L.) Merr.) cv. Smooth Cayenne
di Media Pengakaran. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 37 hal.
Ariani, D dan Suryowinoto M. 1994. Variasi Zat Pengatur Tumbuh pada Budidaya Jaringan Endosperm Jagung (Zea mays L.). Di dalam: Soestina. Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi II. Prosiding; Bogor, 6-7 September 1994. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1995. 104-107 hal.
Armini, N. M., G. A. Wattimena, L. W. Gunawan. 1992. Perbanyakan Tanaman: Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi IPB. Bogor. 309 hal.
Beyl, C. A. 2005. Getting started with tissue culture, media preparation, sterile technique, and laboratory equipment, p 19-37. Dalam R.J. Trigiano and D.J. Gray (Eds.). Plant Development and Biotechnology. CRC Press: Florida.
Budiarto, K. 2004. Stock Plant Productivity of Chrysanthemum (Dendranthema grandiflora [Ramat.] Kitam.) Grown Under Covered and Open Condition. Masteral Thesis. Departemen of Horticulture, University of The Phillipine. Los Banos. Philippines. 71 hal.
Chairunnisa. 2004. Pengaruh Kombinasi Auksin dan Sitokinin pada Perbanyakan Krisan Pot (Chrysanthemum morifolium) Varietas Surf Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Chakrabarty, D., A.K.A. Mandal and S.K. Datta. 2000. Retrieval of new colourd chrysanthemum through organogenesis. Current Scie. 78 (9): 1060-1061.
Chawla, H.S. 2002. Introduction to Plant Biotechnologi. Science Publish, Inc. USA. 532 hal.
Conger, B. V. 1987. Cloning Agricultural Plant Via In Vitro Techniques. Edisi ke 5. Press. United State. 273 hal.