• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Ekologi Kijing (Glauconome virens, Linnaeus 1767) Di Ekosistem Mangrove Belawan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Ekologi Kijing (Glauconome virens, Linnaeus 1767) Di Ekosistem Mangrove Belawan."

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI EKOLOGI KIJING (Glauconome virens Linnaeus, 1767)

DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN

T E S I S

Oleh

RUSDI MACHRIZAL

127030015/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

STUDI EKOLOGI KIJING (Glauconome virens Linnaeus, 1767)

DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN

T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUSDI MACHRIZAL

127030015/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PENGESAHAN

Judul Tesis : STUDI EKOLOGI KIJING (Glauconome virens

Linnaeus, 1767) DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN

Nama Mahasiswa : RUSDI MACHRIZAL

Nomor Induk Mahasiswa : 12 70 30 015

Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

19691018 199412 2 002 19700102 199702 2 002

Ketua Program Studi, Dekan FMIPA,

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.BioMed Dr. Sutarman, M.Sc

19660209 199203 1 003 19631026 199103 1 001

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 27 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si Anggota : 1. Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

2. Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc 3. Dr. Tengku Alief Aththorick, M.Si

(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

STUDI EKOLOGI KIJING (Glauconome virens Linnaeus, 1767)

DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, 27 Agustus 2014 Penulis

(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rusdi Machrizal

NIM : 127030015

Program Studi : Magister Biologi Jenis karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Studi Ekologi Kijing (Glauconome virens, Linnaeus 1767) Di Ekosistem Mangrove Belawan.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola, dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasi Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, Agustus 2014

Rusdi Machrizal

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “STUDI EKOLOGI KIJING (Glauconome virens Linnaeus, 1767) DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN”. Dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Biologi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Ibu Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si sebagai Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ing Ternala Alexander Barus, M.Sc, dan Dr. T. Alief Aththorick, M.Si sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan penyusunan tesis ini.

2. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.BioMed sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi, dan Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si, sebagai sekretaris Program Studi Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc sebagai kepala Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara.

3. Ayahanda Zalwis, dan Ibunda Rita Mourina Pasaribu atas limpahan kasih sayang, dukungan moril dan materil yang senantiasa diberikan kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

4. Keluarga Besar Rizal’s Family, kakanda Dian Kemala Riza, S.TP beserta

(8)

5. Teman-teman Pasca Sarjana Biologi angkatan 2012, Pak Uswatul Hasan, Bang Khairul, Bang Aulia, Bang Diki, Tiki, Ali Ramadhan, Kak Afrida, Kak Cut, Kak Tuty, Kak Riri, Kak Ummi, Rani, Kiki, Nabila, Elisa, Frantika, terima kasih untuk kebersamaannya selama ini.

6. Teman-teman dalam tim penelitian bidang ekologi perairan yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungannya dalam penyelesaian tesis ini.

7. Fika Dara Yolanda Nasution, S.Pd yang telah setia menemani penulis dalam menyelesaikan studi magister.

8. Keponakan tercinta, Cherilla Izzata Putri Lubis, Fatih Muhammad Hadziq Nasution, Athaya Ramiza, Azri Ahmad Radziq Nasution, dan Reyza AlFarizi, yang telah meramaikan keluarga ini.

Akhir kata semoga Allah SWT memberikan rahmatNya kepada kita dalam menuntut ilmu dan semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 27 Agustus 2014

(9)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Rusdi Machrizal, S.Pi

Tempat dan Tanggal lahir : Pematang Siantar, 27 Maret 1986

Alamat Rumah : Jl. Pimpinan No. 133 Medan

Telepon/Hp : +6285374888500

E-mail : rusdi_ik04@yahoo.com

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN 142428 Padangsidimpuan Tamat : 1998

SMP : SMPN 1 Padangsidimpuan Tamat : 2001

SMA : SMAN 2 Padangsidimpuan Tamat : 2004

Strata-1 : Ilmu Kelautan UR Tamat : 2009

(10)

ABSTRAK

Kijing, Glauconome virens dari famili glauconomidae, hidup pada kawasan ekosistem mangrove. Spesies ini membenamkan diri pada dasar berlumpur (muddy bottoms) pada kedalaman 13-30 cm dan dapat hidup pada kondisi rendah oksigen. Kijing merupakan salah satu komoditas eksport. Masyarakat Belawan memanfaatkan kijing sebagai salah satu sumber protein.

Tujuan penelitian ini adalah: mengkaji aspek biologi kijing, seperti kepadatan, morfometrik, dan pola pertumbuhan. Mengkaji aspek ekologi yang meliputi pola penyebaran, karakteristik sarang, serta hubungan antara faktor fisik kimia perairan dengan kepadatan kijing. Penelitian dilakukan selama 3 bulan (dari Januari 2014 sampai Maret 2014) di ekosistem mangrove Belawan dimana dibagi atas 3 stasiun pengamatan, dengan tiga kali pengulangan. Analisis data meliputi kepadatan kijing, struktur komunitas mangrove, karakteristik lingkungan perairan (suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, fosfat, nitrat, tekstur sedimen), pola penyebaran kijing, hubungan panjang berat, morfometrik dan analisis korelasi Parson.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan tertinggi berada stasiun III dengan jenis substrat lempung liat berpasir, dengan nilai kepadatan 2,93 Ind/m2. Kepadatan terendah terdapat pada stasiun II sebesar 1,16 Ind/m2, dengan substrat lempung berliat. Pola pertumbuhan kijing adalah alometrik negatif dengan nilai konstanta b<3. Distribusi kijing berbeda pada setiap stasiunnya, stasiun I dan II memiliki pola distribusi seragam, dan stasiun III memiliki pola distribusi mengelompok.

Hasil pengamatan faktor fisik kimia perairan menunjukkan bahwa suhu berada pada kisaran 27,8-28,5oC, salinitas 5-20‰, pH air 6,2-6,8, pH sedimen 6-6,5, DO 3-3,4 ppm, Nitrat berkisar 4-13,7 mg/L, Fosfat 0,03-0,44 mg/l. Hasil pengukuran logam berat pada sampel sedimen menunjukkan kadar Pb sebesar 0,009-0,012 ppm, Cu sebesar 0,042-0,122 ppm, dan Cd sebesar 0,016-0,093 ppm. Analisis substrat menunjukkan, stasiun I memiliki substrat lempung, stasiun II memiliki substrat lempung berliat, dan stasiun III memiliki substrat lempung liat berpasir. Analisis vegetasi mangrove menunjukkan jenis buta-buta (Excoecaria allagocha) memiliki nilai INP tertinggi pada kategori pohon dan anakan, masing-masing sebesar 122,77%, dan 151,72%. Hasil pengamatan terkait karakteristik sarang kijing menunjukkan bahwa kedalaman sarang berkisar 13-30,2 cm, dengan ukuran panjang kijing berkisar 2,4-6,8 cm. Bentuk permukaan sarang menyerupai angka delapan, sama dengan bentuk sifon kijing. Analisis korelasi menunjukkan ada hubungan korelasi searah antara fraksi pasir sedimen dengan kelimpahan dengan koefisien korelasi sebesar 0,964, dan korelasi berlawanan arah terhadap fraksi liat sedimen dengan koefisien korelasi -0,996.

(11)

ABSTRACT

Kijing, Glauconome virens of the family Glauconomidae are found in mangrove area. The clams burrow themselves to the dept 13-30 cm in the muddy bottom and can survive on the anoxic condition. Kijing is a kind of export commudity. In Belawan, Kijing has used as a protein source.

The objectives of this research were : to study biological aspect of kijing, like abundance, mofomometric, growth pattern. Ecological aspect like distribution pattern, hole characteristic, and connetion between water physical chemistry factor with the abundance of kijing. The research was carried out in 3 months( from January 2014 to March 2014) in mangrove ecosystem Belawan. The site was divided into three station sampling, and three repeating. The analyses covered community structure of the mangrove, density of kijing, environmental characteristics of the waters (temperature, salinity, pH, DO, phosphate and nitrate), distribution patterns of the kijing, lengthweight relationship, morfometric, and Pearson correlation analysis.

The results showed that Sandy Clay Loam sediment with higher density of kijing (2,93 Ind/m2) in station III. The lowest density showed that Clay Loam sediment in station II (1,16 Ind/m2). Growth pattern of kijing indicated a negative allometric growth (b<3). Distribution pattern of kijing in station I and II indicated uniform, and clumped in station III.

The results showed that temperature 27,8-28,5oC, salinity 5-20‰, water pH 6,2 -6,8, sediment pH 6-6,5, DO 3-3,4, Nitrate 4-13,7 mg/L, Posphate 0,03-0,44 mg/L. heavy metal concentration in sediment showed Pb 0,009-0,012 ppm, Cu 0,042-0,122 ppm, and Cd 0,016-0,093 ppm. Texture sediment analysis showed, station I Loam, station II Clay Loam, and station III Sandy Clay Loam. The results showed that mangrove area was dominated by Excoecaria allagocha with Importance Value Index 122,77%, - 151,72%. Observations related to the characteristic of kijing hole indicates that the depth of hole ranged from 13-30,2 cm, with size kijing from 2,4 – 6,8 cm. The hole surface shape similar with the syfon like number 8 (eight). Correlation analysis showed positive correlation between density and sandy fraction sediment, with a correlation coefficient of 0,964, and negative correlation between density and clay fraction sediment, with a correlation coefficient of -0,996.

(12)

DAFTAR ISI

2.1 Sistematika dan Morfologi Glauconome virens 4 2.2 Habitat dan Distribusi 5

2.3 Kebiasaan Makan 5

2.4 Ekosistem Mangrove 6

2.5 Faktor Lingkungan 7

2.6 Logam Berat 8

BAB III. METODE PENELITIAN 10

3.1 Waktu dan Tempat 10

3.2 Deskripsi Lokasi Penelitian 11

3.3 Alat dan Bahan 12

3.4 Prosedur Penelitian 12 3.4.1 Pengambilan sampel Kijing 12 3.4.2 Pengamatan Kerapatan Jenis Mangrove 13 3.4.3 Morfometrik Kijing 14 3.4.4 Hubungan Panjang Berat 14 3.4.5 Faktor Fisik Kimia Perairan 14 3.4.6 Karakteristik Sarang Kijing 15

3.4.7 Sedimen 15

3.5 Analisis Data 16

3.5.1 Kelimpahan G.virens 16 3.5.2 Analisis Vegetasi Mangrove 16 3.5.3 Distribusi dan Pola Penyebaran 17

3.5.4 Morfometrik 18

(13)

3.5.6 Karakteristik Sarang Kijing 18 3.5.7 Karakteristik Fisik Kimia Perairan 19 3.5.8 Analisis Korelasi 19

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 20

4.1 Kepadatan Kijing 20

4.2 Morfometrik dan Hubungan Panjang Berat 22

4.2.1 Morfometrik 22

4.2.2 Hubungan Panjang Berat 24

4.3 Pola Penyebaran 26

4.4 Struktur Komunitas Mangrove 27

4.5 Sedimen 29

4.6 Faktor Fisik Kimia Perairan 33 4.7 Karakteristik Sarang Kijing 38 4.8 Analisis korelasi Faktor Fisik Kimia Perairan dengan

Kelimpahan Kijing 41

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 43

5.1 Kesimpulan 43

5.2 Saran 43

(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1. Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian 12 3.2. Teknik Pengumpulan data parameter fisik kimia

perairan

19

4.1. Hubungan panjang berat kijing (G.virens) pada setiap stasiun

24

4.2. Nilai Indeks Morisita pada setiap Stasiun Penelitian

26

4.3. Indeks nilai penting vegetasi mangrove kategori pohon pada stasiun III

28

4.4. Indeks nilai penting vegetasi mangrove kategori anakan pada stasiun III

28

4.5. Tekstur tanah berdasarkan komposisi ukuran butiran tanah berdasarkan USDA.

29

4.6. Proporsi fraksi menurut kelas tekstur tanah 30 4.7. Faktor Fisik Kimia Perairan selama penelitian 33 4.8. Nilai Analisis Korelasi Kelimpahan Kijing dengan

Faktor Fisik- Kimia Perairan

(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Morfologi Kijing (G.virens) 4 2.2. Daerah penyebaran kijing (G.virens) 5 3.1. Peta Lokasi Penelitian 10 3.2. Stasiun Penelitian 11 3.3. Skema tata letak transek dalam pengambilan

sampel kerang

13

(16)

ABSTRAK

Kijing, Glauconome virens dari famili glauconomidae, hidup pada kawasan ekosistem mangrove. Spesies ini membenamkan diri pada dasar berlumpur (muddy bottoms) pada kedalaman 13-30 cm dan dapat hidup pada kondisi rendah oksigen. Kijing merupakan salah satu komoditas eksport. Masyarakat Belawan memanfaatkan kijing sebagai salah satu sumber protein.

Tujuan penelitian ini adalah: mengkaji aspek biologi kijing, seperti kepadatan, morfometrik, dan pola pertumbuhan. Mengkaji aspek ekologi yang meliputi pola penyebaran, karakteristik sarang, serta hubungan antara faktor fisik kimia perairan dengan kepadatan kijing. Penelitian dilakukan selama 3 bulan (dari Januari 2014 sampai Maret 2014) di ekosistem mangrove Belawan dimana dibagi atas 3 stasiun pengamatan, dengan tiga kali pengulangan. Analisis data meliputi kepadatan kijing, struktur komunitas mangrove, karakteristik lingkungan perairan (suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, fosfat, nitrat, tekstur sedimen), pola penyebaran kijing, hubungan panjang berat, morfometrik dan analisis korelasi Parson.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan tertinggi berada stasiun III dengan jenis substrat lempung liat berpasir, dengan nilai kepadatan 2,93 Ind/m2. Kepadatan terendah terdapat pada stasiun II sebesar 1,16 Ind/m2, dengan substrat lempung berliat. Pola pertumbuhan kijing adalah alometrik negatif dengan nilai konstanta b<3. Distribusi kijing berbeda pada setiap stasiunnya, stasiun I dan II memiliki pola distribusi seragam, dan stasiun III memiliki pola distribusi mengelompok.

Hasil pengamatan faktor fisik kimia perairan menunjukkan bahwa suhu berada pada kisaran 27,8-28,5oC, salinitas 5-20‰, pH air 6,2-6,8, pH sedimen 6-6,5, DO 3-3,4 ppm, Nitrat berkisar 4-13,7 mg/L, Fosfat 0,03-0,44 mg/l. Hasil pengukuran logam berat pada sampel sedimen menunjukkan kadar Pb sebesar 0,009-0,012 ppm, Cu sebesar 0,042-0,122 ppm, dan Cd sebesar 0,016-0,093 ppm. Analisis substrat menunjukkan, stasiun I memiliki substrat lempung, stasiun II memiliki substrat lempung berliat, dan stasiun III memiliki substrat lempung liat berpasir. Analisis vegetasi mangrove menunjukkan jenis buta-buta (Excoecaria allagocha) memiliki nilai INP tertinggi pada kategori pohon dan anakan, masing-masing sebesar 122,77%, dan 151,72%. Hasil pengamatan terkait karakteristik sarang kijing menunjukkan bahwa kedalaman sarang berkisar 13-30,2 cm, dengan ukuran panjang kijing berkisar 2,4-6,8 cm. Bentuk permukaan sarang menyerupai angka delapan, sama dengan bentuk sifon kijing. Analisis korelasi menunjukkan ada hubungan korelasi searah antara fraksi pasir sedimen dengan kelimpahan dengan koefisien korelasi sebesar 0,964, dan korelasi berlawanan arah terhadap fraksi liat sedimen dengan koefisien korelasi -0,996.

(17)

ABSTRACT

Kijing, Glauconome virens of the family Glauconomidae are found in mangrove area. The clams burrow themselves to the dept 13-30 cm in the muddy bottom and can survive on the anoxic condition. Kijing is a kind of export commudity. In Belawan, Kijing has used as a protein source.

The objectives of this research were : to study biological aspect of kijing, like abundance, mofomometric, growth pattern. Ecological aspect like distribution pattern, hole characteristic, and connetion between water physical chemistry factor with the abundance of kijing. The research was carried out in 3 months( from January 2014 to March 2014) in mangrove ecosystem Belawan. The site was divided into three station sampling, and three repeating. The analyses covered community structure of the mangrove, density of kijing, environmental characteristics of the waters (temperature, salinity, pH, DO, phosphate and nitrate), distribution patterns of the kijing, lengthweight relationship, morfometric, and Pearson correlation analysis.

The results showed that Sandy Clay Loam sediment with higher density of kijing (2,93 Ind/m2) in station III. The lowest density showed that Clay Loam sediment in station II (1,16 Ind/m2). Growth pattern of kijing indicated a negative allometric growth (b<3). Distribution pattern of kijing in station I and II indicated uniform, and clumped in station III.

The results showed that temperature 27,8-28,5oC, salinity 5-20‰, water pH 6,2 -6,8, sediment pH 6-6,5, DO 3-3,4, Nitrate 4-13,7 mg/L, Posphate 0,03-0,44 mg/L. heavy metal concentration in sediment showed Pb 0,009-0,012 ppm, Cu 0,042-0,122 ppm, and Cd 0,016-0,093 ppm. Texture sediment analysis showed, station I Loam, station II Clay Loam, and station III Sandy Clay Loam. The results showed that mangrove area was dominated by Excoecaria allagocha with Importance Value Index 122,77%, - 151,72%. Observations related to the characteristic of kijing hole indicates that the depth of hole ranged from 13-30,2 cm, with size kijing from 2,4 – 6,8 cm. The hole surface shape similar with the syfon like number 8 (eight). Correlation analysis showed positive correlation between density and sandy fraction sediment, with a correlation coefficient of 0,964, and negative correlation between density and clay fraction sediment, with a correlation coefficient of -0,996.

(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Glauconome virens dikenal masyarakat Belawan dengan nama Kijing. Namun di

Malaysia kerang ini dikenal dengan nama “Siput cangkul atau Kupang” (Yap et

al., 2009; Hamli et al., 2012). Carpenter dan Niem (1998) menjelaskan, kijing

memiliki lebih dari satu nama ilmiah yaitu Glauconome virens (Linnaeus, 1767);

Sinovacula virens (Linnaeus, 1767); Tanysiphon virens (Linnaeus, 1767);

Glauconome rugosa (Reeve, 1844). Kijing juga dikenal dengan nama Greenish glauconomya (Inggris) dan Glauconomye verte (Perancis).

G.virens adalah spesies asli kawasan indopasifik, kerang ini tersebar dari bagian Selatan tropis Pasifik, Philipina, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan bagian Utara Australia (Tropis Australia) (Carpenter & Niem, 1998). G.virens hidup dengan cara membenamkan diri kedalam substrat lumpur di daerah hutan mangrove dan membuat lubang-lubang sebagai sarang. Lubang yang dibuat terlihat seperti membentuk angka delapan. Semakin besar ukuran lubang maka akan semakin besar pula kerang yang hidup di dalamnya. Carpenter & Niem (1998) mengemukakan bahwa di kawasan hutan mangrove kijing hidup berasosiasi dengan dengan kerang lokan (Geloina sp) dan pisau lipat (Pharella sp).

G.virens merupakan salah satu jenis kerang yang bernilai ekonomis tinggi. Menurut masyarakat yang sering menangkap kerang ini, kijing (G.virens) merupakan komoditi ekspor. G.virens dijual dalam keadaan segar dan kering di pasar-pasar Malaysia, Jepang, Hong Kong, dan Philipina (Davidson, 1976; Amornjaruchit, 1988; Saraya, 1982; Young & Serna, 1982). Kijing dimanfaatkan sebagai sumber protein, sama halnya dengan kerang hijau, kerang darah, dan jenis-jenis kerang pada umumnya. Tidak hanya sebagai sumber protein, kerang

(19)

2

Lubang-lubang yang dijadikan sarang oleh G.virens dapat membantu masuknya oksigen ke dalam substrat hutan mangrove. Hal ini juga dijelaskan oleh Efriyeldi (2012) bahwa lubang-lubang yang dibangun kerang dapat membantu masuknya oksigen ke dalam substrat hutan mangrove yang sering mengalami kondisi anoksik.

Kawasan hutan mangrove Belawan adalah salah satu kawasan yang memiliki potensi sumberdaya G.virens. Namun kajian tentang sumberdaya ini belum pernah dilakukan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Hal ini dapat dilihat dari minimnya informasi yang tersedia. Printrakoon et al., (2008) menginformasikan distribusi G.virens yang dijumpai pada kawasan hutan mangrove di daerah Teluk Thailand, Yap et al., (2009) mengukur kandungan logam berat pada G.virens yang hidup di daerah intertidal Peninsular Malaysia. Kemudian Hamli et al., (2012) melaporkan tentang keberadaan G.virens sebagai jenis bivalva yang dapat dikonsumsi di kawasan hutan mangrove Sarawak, Malaysia.

Sehubungan dengan belum adanya publikasi tentang kerang G.virens di Indonesia, maka perlu dilakukan kajian tentang spesies ini, mengingat tingginya ancaman kerusakan terhadap ekosistem mangrove Belawan yang menjadi habitat kijing (G.virens) ini. Kajian ini meliputi aspek ekologi kijing di ekosistem mangrove Belawan.

1.2 Perumusan Masalah

(20)

3

Keterbatasan informasi mengenai G.virens ini, disebabkan oleh terbatasnya kajian yang berkaitan dengan kerang ini, sehingga sangat disayangkan apabila terjadi kepunahan sebelum semua informasi tentang organisme ini dapat diungkap. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai aspek ekologi kijing di ekosistem mangrove Belawan sehingga hasil dari penelitian diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengelolaan sumberdaya moluska dan ekosistem mangrove secara berkelanjutan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui aspek ekologi terkait karakteristik sarang kijing (G.virens) dan penyebarannya di hutan mangrove Belawan.

2. Mengetahui aspek biologi kijing (G.virens), yang meliputi morfometrik, pola pertumbuhan, dan kepadatan populasi di kawasan hutan mangrove Belawan. 3. Menganalisis hubungan antara faktor fisik kimia perairan dengan kepadatan

kijing (G.virens).

1.4 Manfaat Penelitian

(21)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistematika dan Morfologi Glauconome virens

Sistematika Kijing (Glauconome virens) menurut Carpenter & Niem (1998) adalah sebagai berikut:

Phylum : Mollusca Class : Bivalva Subclass : Heterodonta Ordo : Veneroida Superfamily : Cyrenoidea Family : Glauconomidae Genus : Glauconome

Species : Glauconome virens (Linnaeus, 1767)

Gambar 2.1. Morfologi kijing (G.virens)

(22)

5

2.2 Habitat dan Distribusi

Kerang G.virens hidup pada dasar lumpur di daerah kawasan hutan mangrove. Hidup pada perairan payau dan sering dijumpai pada daerah dengan vegetasi nipa (Nypa fruticans). Kerang ini juga sering dijumpai hidup bersama

Pharella sp dan Geloina sp. Kerang ini tersebar didaerah tropis, bagian Selatan tropis Pasifik, Philipina, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan bagian Utara Australia (Tropis Australia) (Carpenter & Niem, 1998). Daerah penyebaran spesies ini seperti terlihat pada gambar 2.2.

Keterangan : Daerah penyebaran kijing --- Zona Polynesia

Gambar 2.2 Daerah penyebaran kijing (G.virens)( Carpenter & Niem, 1998).

2.3 Kebiasaan Makan dan Pencernaan

Bivalva umumnya dikenal sebagai hewan yang menyaring makanannya (Filter feeder), tidak terkecuali kijing (G.virens). Menurut Efriyeldi (2012) umumnya bivalva yang makan secara menyaring (filter feeder) akan memakan material organik yang terdapat pada kolom air sesuai ukuran yang bisa masuk ke mulutnya.

(23)

6

Hasil analisis isi saluran pencernaan beberapa jenis kerang yang hidup di kawasan pesisir seperti kerang sepetang (P.acutidens) yang dilakukan oleh Efriyeldi (2012), diperoleh detritus atau hancuran material bahan organik dalam jumlah besar, yang diperkirakan mencapai 90%. Selain detritus, ditemukan juga plankton, khususnya berupa fitoplankton. Plankton yang ditemukan dalam saluran pencernaan sepetang terdiri dari kelompok Bacillariophycea (11 genera) dan

Cyanophyceae (2 genera), namun kelompok zooplankton tidak ditemukan. Sebagian besar plankton yang ditemukan dalam saluran pencernaan sepetang berasal dari kelompok Bacillariophyceae, yang berkisar antara 92.31-100%. Selain itu Kelompok Bacillariophyceae juga ditemukan sebagai makanan yang disukai (nilai IE positif) pada kerang tahu (Meretrix meretrix) dan pada kerang

Gafariumdivaricatum dan Ostreacucullata (Rudi, 1999; Hari, 1999).

2.4 Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2001). Ekosistem mangrove Indonesia memiliki keragaman tertinggi di dunia dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan

Ceriops), Avicenniaceae (Avicennia), Sonneraticeae (Sonneratia), dan Meliaceae

(24)

7

Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat bagi jenis-jenis ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Dilihat dari aspek fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai pelindung kawasan pesisir dari hempasan angin, arus dan ombak dari laut, serta berperan juga sebagai benteng dari pengaruh banjir dari daratan. Tipe perakaran beberapa jenis tumbuhan mangrove (pneumatophore) tersebut juga mampu mengendapkan lumpur, sehingga memungkinkan terjadinya perluasan areal hutan mangrove. Disamping itu, perakaran jenis tumbuhan mangrove juga mampu berperan sebagai perangkap sedimen dan sekaligus mengendapkan sedimen, yang berarti pula dapat melindungi ekosistem padang lamun dan terumbu karang dari bahaya pelumpuran (Pramudji, 2001).

Natan & Uneputty (2010) menjelaskan bahwa ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang dihasilkannya. Serasah mangrove setelah melalui proses dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme menghasilkan detritus yang meningkatkan kesuburan perairan sehingga berbagai jenis fitoplankton dapat hidup dan berkembang. Menurut Pramudji (2001) hutan mangrove merupakan habitat dari komunitas biota perairan yang dihuni oleh 61 jenis gastropoda, 9 jenis bivalvia, dan 54 jenis krustacea.

2.5 Faktor Lingkungan

(25)

8

Salinitas perairan pesisir sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi, 2003). Natan (2008) mendapatkan salinitas perairan hutan mangrove teluk Ambon bagian dalam yang merupakan habitat kerang lumpur (Anadontia edentula) berkisar 29.15-30.08‰. Selanjutnya Efriyeldi (2012) mendapatkan salinitas pada habitat kerang sepetang (Pharella acutidens) di ekosistem mangrove Dumai pada rata-rata 20.9-22.9‰.

Derajat keasaman (pH) perairan merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme. Setiap jenis organisme mempunyai pH optimal, pH optimal untuk kehidupan moluska adalah 6.5-7.5 (Russel-Hunter 1983). Nilai pH air yang didapatkan Natan (2008) pada habitat kerang lumpur di ekosistem mangrove teluk Ambon bagian dalam sebesar 6.24-6.9. Berbeda halnya dengan yang didapatkan Efriyeldi (2012) pH air pada ekosistem mangrove Dumai yg merupakan habitat dari kerang sepetang sebesar 6.8-7.2, selanjutnya Efriyeldi (2006) menyatakan bahwa pH sedimen pada ekosistem mangrove stasiun kelautan Dumai adalah 5.0-6.8. Menurut Effendi (2003) sebahagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH 7.0-8.5.

Oksigen merupakan faktor yang berperan penting untuk menunjang kehidupan organisme dalam proses respirasi dan metabolisme sel. Kandungan oksigen terlarut pada ekosistem mangrove Dumai berkisar antara 4.17-5.38 ppm (Efriyeldi, 2012). Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l mengakibatkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik.

2.6 Logam Berat

(26)

9

Arisandi et al., (2012) melaporkan tentang akumulasi logam berat jenis timbal (Pb) pada sedimen dikawasan hutan mangrove Kebon Agung Surabaya sebesar 13.157 ppm, nilai ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang diperoleh Ernawaty (2010) sebesar 0.0403-0.478 ppm pada sedimen muara sungai Asahan. Tugiyono (2007) mencatat kandungan logam berat Pb pada sedimen di kawasan Teluk Lampung berkisar antara 0.009-0.0036 ppm.

(27)

10

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2014, yang menjadi lokasi penelitian adalah kawasan hutan mangrove Belawan Sicanang. Lokasi dibedakan menjadi tiga stasiun, dimana penentuan stasiun dilakukan berdasarkan jenis vegetasi mangrove. Stasiun I terletak pada 3o 44’ 17,1” LU dan 98o 39’ 3,04” BT, hutan mangrove dengan vegetasi Nipah (Nypa fruticans), Stasiun II berada 3o

45’ 7,6” LU dan 98o 38’ 17,6” BT hutan mangrove denga

n vegetasi berembang (Soneratia caseolaris), Stasiun III terletak pada 3o 45’ 27,8” LU dan 98o 38’ 14,3” BT hutan mangrove dengan vegetasi heterogen. Lokasi penelitian ditentukan melalui pengamatan pada saat penelitian pendahuluan. Peta lokasi penelitian seperti pada Gambar 3.1.

(28)

11

3.2 Deskripsi lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove kelurahan Belawan Sicanang. Lokasi pengambilan sampel dibagi menjadi tiga stasiun. Penentuan lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan jenis vegetasi mangrove.

Stasiun I adalah lokasi dengan vegetasi Nipah (Nypa fruticans). Lokasi ini merupakan daerah dengan vegetasi yang homogen. Stasiun ini berada di depan muara sungai terjun, daerah ini merupakan jalur lalulintas kapal nelayan. Stasiun II terletak pada saluran outlet tambak masyarakat. Stasiun ini merupakan daerah pembuangan limbah tambak masyarakat sicanang. Vegetasi yang hidup pada lokasi ini juga homogen yaitu Soneratia caseolaris (Berembang). Stasiun III, adalah stasiun yang berada di daerah paluh leman. Pada daerah ini juga dekat dengan tambak, tetapi bukan merupakan daerah pembuangan limbah tambak udang. Daerah ini ditumbuhi berbagai spesies mangrove (Gambar 3.2).

(29)

12

3.3 Alat dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan untuk mengukur parameter ekologi perairan, dan parameter biologi disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Alat dan Bahan yang diperlukan dalam Penelitian.

No Parameter Alat Bahan

2. Fraksi substrat (sedimen) Sediment core, Ayakan, oven furnance, timbangan, cawan poselen

Sedimen, H2O2

3. Morfometrik Jangka sorong, timbangan digital,

5. Struktur komunitas Mangrove Meteran, tali, lembaran data

Vegetasi mangrove

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pengambilan Sampel Kijing

(30)

13

Gambar 3.3 Skema tata letak transek dalam pengambilan sampel kerang.

3.4.2 Pengamatan Kerapatan Jenis Mangrove

Pengamatan kerapatan jenis mangrove dilakukan dengan metode petak kuadrat yaitu dengan membuat petak pengamatan berukuran 30 m × 20 m, untuk kategori pohon (diameter > 10 cm) pada tiap stasiun pengamatan. Selanjutnya diidentifikasi dan dihitung jumlah individu perjenisnya. Hal yang sama juga dilakukan untuk kategori anakan (diameter 2-10 cm) dengan membuat petak pengamatan berukuran 10 m × 10 m di dalam petak pengamatan 30 m × 20 m tersebut. Ilustrasi pengamatan mangrove seperti pada Gambar 3.4.

10

(31)

14

3.4.3 Morfometrik Kijing

Untuk mendapatkan data morfometrik kijing, maka dilakukan pengukuran terhadap seluruh kijing yang tertangkap selama penelitian. Data morfometrik yang diambil berupa data panjang, lebar, dan tebal. Adapun cara pengukuran seperti terlihat pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 Pengukuran morfometrik Kijing (G.virens). (a). pengukuran lebar, (b). pengukuran tebal, (c). pengukuran panjang.

3.4.4 Hubungan Panjang Berat

Hubungan panjang berat diperoleh dengan cara membuat persamaan regresi sederhana menggunakan data panjang yang diperoleh dari pengukuran morfometrik seperti pada (Gambar 3.5). Data berat diperoleh dengan cara menimbang kijing dengan timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,01 g.

3.4.5 Faktor Fisik Kimia Perairan

(32)

15

3.4.6 Karakteristik Sarang Kijing

Pengamatan karakteristik sarang dilakukan degan cara visual (pengamatan langsung). Data yang diambil terkait karakteristik berupa data bentuk lubang, kedalaman lubang. Pengamatan hanya dilakukan pada beberapa individu kijing, berdasarkan ukuran.

3.4.7 Sedimen

Analisis ukuran butiran sedimen pada lokasi penelitian dilakukan untuk mendapatkan jenis tekstur tanah yang ada di lokasi penelitian. Analisis ukuran butiran sedimen berdasarkan skala ukuran yang dikeluarkan oleh United State Department of Agricultural (USDA, 2006). Sampel sedimen diambil menggunakan sediment core yang tebuat dari pipa paralon berdiameter 10 cm. Sedimen diambil sampai kedalaman 30 cm, selanjutnya sampel dimasukkan kedalam kantong plastik dan dianalisis di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Hasil dari pengukuran butiran sedimen dinyatakan dalam bentuk persen (%), setelah nilai diperoleh, kemudian dilakukan penentuan jenis tekstur dengan menggunakan segitiga tekstur USDA (USDA Textural Triangel) (Gambar 3.6).

(33)

16

3.5 Analisis Data 3.5.1 Kepadatan Kijing

Untuk menentukan kepadatan kijing digunakan formula menurut Krebs (1978) :

Kepadatan (ind/m2) = Jumlah ind.suatu spesies Luas Plot

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan akan disajikan dalam bentuk deskriptif, sehingga dapat dilihat perbedaan kepadatan pada tiap stasiun pengamatan.

3.5.2 Analisis Vegetasi Mangrove

Perhitungan kerapatan jenis mangrove dilakukan dengan menggunakan formula menurut English et al. (1997):

K= Jumlah individu jenis Luas contoh

Kerapatan Relatif adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis ke i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis:

KR= Kerapatan suatu jenis

Kerapatan seluruh jenisx100%

Frekuensi jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh/plot yang diamati:

F=Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

Frekuensi Relatif jenis (FR) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis:

FR=Frekuensi dari suatu jenis

(34)

17

Dominasi jenis adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area:

D=Jumlah bidang dasar Luas petak contoh

Dominasi relatif adalah perbandingan antara luas area penututupan jenis i (Di) dan luas total area penutupan antara seluruh jenis :

DR= Dominansi suatu jenis

Dominansi seluruh jenisx100%

Indeks Nilai Penting (INP) (%) adalah jumlah nilai kerapatan relatif jenis (KR), frekuensi relatif jenis (FR) dan penututupan relatif jenis (DR) :

INP=KR+FR+DR

3.5.3 Distribusi dan Pola Penyebaran

Pola distribusi kijing (G.virens) ditentukan dengan menggunakan Indeks Penyebaran Morisita (Khouw, 2009) berdasarkan rumus :

Id=n ∑X

2

-∑X (∑X)2- ∑X

Keterangan :

Id = Indeks Penyebaran Morisita n = Jumlah plot / besar sampel

∑X = Jumlah Individu disetiap plot

∑X2

= Jumlah individu disetiap plot dikuadratkan

Dengan kriteria pola sebaran sebagai berikut :

• Jika nilai Id = 1, maka distribusi populasi kategori acak

• Jika nilai Id >1, maka distribusi populasi kategori bergerombol/mengelompok

(35)

18

3.5.4 Morfometrik

Analisis hubungan morfometrik antara panjang dengan lebar dan tebal serta antara lebar dan tinggi menggunakan persamaan berikut :

P = a + b L P = a + Tb L = a + Tb

dimana: P = panjang cangkang, L = lebar cangkang, T = tebal cangkang, a dan b = konstanta.

3.5.5 Hubungan Panjang Berat Kijing

Pertumbuhan kijing dapat diketahui melalui analisis hubungan panjang cangkang dengan berat tubuh kijing (berat total), yang dianalisis melalui persamaan (King, 1995) :

W= aLb

Dimana :

W = Berat total (g)

L = Panjang cangkang (mm) a dan b = Konstanta

3.5.6 Karakteristik sarang kijing

(36)

19

3.5.7 Karakteristik Fisik Kimia Perairan

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan karakteristik fisik kimia perairan akan di analisis secara deskriptif. Kemudian data akan disajikan dalam bentuk tabel, dan dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan hubungan antara karakteristik fisik kimia perairan dengan kepadatan kijing. Teknik pengumpulan data parameter fisik kimia perairan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Teknik pengumpulan data parameter fisik kimia perairan.

NO Parameter Metode

1. Suhu In situ

2. Substrat Laboratorium 3. DO (dissolved oxygen) In situ

4. Nitrat (NO3) Laboratorium

5. Posfat (PO4) Laboratorium

6. pH (sedimen, Air) In situ

7. Kadmium (Cd) pada sedimen Laboratorium 8. Cuprum (Cu) pada sedimen Laboratorium 9. Timbal (Pb) pada sedimen Laboratorium

3.5.8 Analisis Korelasi

(37)

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kepadatan Kijing

Hasil penelitian yang dilakukan selama tiga bulan menunjukkan adanya perbedaan kepadatan kijing disetiap stasiunnya. Dari ketiga stasiun pengamatan diperoleh kepadatan tertinggi pada stasiun III sebesar 2,93 Ind/m2, dan yang

Gambar 4.1 Kepadatan kijing pada 3 stasiun pengamatan Keterangan :

I. Hutan mangrove dengan vegetasi nipah (Nypa fruticans)

II. Hutan mangrove dengan vegetasi brembang (Soneratia caseolaris) III. Hutan mangrove dengan vegetasi heterogen

(38)

21

Rendahnya kepadatan pada stasiun II diduga disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya kondisi dasar mangrove yang ditutupi oleh vegetasi jeruju, selain itu sistem perakaran Soneratia sp yang memiliki akar pensil menyebabkan sulitnya kijing dalam membuat liang. Hal yang sama juga disampaikan Efriyeldi (2012), bahwa kepadatan bivalva pada hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi hutan mangrove, sedimen dan faktor biofisik kimia perairan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan kijing berada pada kisaran 1,16-2,93 Ind/m2. Jika dibandingkan dengan kepadatan kerang Pharella acutidens

dan Anodontia edentula yang tergolong kedalam kelompok razor clam, nilai ini tergolong rendah. Efriyeldi (2012) mendapatkan kepadatan kerang Pharella acutidens di kawasan mangrove Dumai sebesar 6,7 - 10,2 Ind/m2.Sementara itu Natan (2008) mendapatkan kepadatan kerang lumpur (Anadontia edentula) pada kawasan hutan mangrove Ambon sebesar 9 - 29 Ind/m2.

Perbedaan kepadatan ini diduga sangat terkait oleh ketersediaan makanan, kemampuan beradaptasi, dan predatorisme. Rendahnya kepadatan pada stasiun II diduga disebabkan karena faktor kemampuan adaptasi kijing dan predatorisme. Permukaan mangrove yang tertutupi oleh vegetasi jeruju menyebabkan substrat dipenuhi perakaran mangrove sehingga menghambat gerak kijing dalam membuat lubang. Selain daripada itu pada stasiun II banyak ditemukan kijing dalam keadaan mati, hal ini ditandai dengan banyaknya cangkang yang kosong.

(39)

22

Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi kepadatan kijing adalah tipe substrat di kawasan mangrove. Hasil analisis substrat menunjukkan adanya perbedaan jenis substrat pada masing-masing stasiun penelitian. Dimana stasiun I memiliki substrat lempung (Loam), stasiun II lempung berliat (Clay loam), sedangkan pada stasiun III tekstur tanahnya lempung liat berpasir (Sandy-clay Loam). Substrat lempung (stasiun I) didominasi fraksi debu dan liat, jenis substrat ini mudah mengeras apabila dalam kondisi kering.

Stasiun III memiliki substrat lempung liat berpasir dengan jumlah fraksi pasir mencapai 50,56%. Fraksi pasir memiliki ukuran butiran yang lebih besar sehingga terdapat rongga yang lebih besar, dan lebih sulit mengeras. Welch (1952) dalam Wijayanti (2007) menyebutkan substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis hewan benthos. Hal ini juga dipertegas oleh Cernohorsky (1978) & (Nybakken, 1988) bahwa kepadatan suatu spesies dipengaruhi oleh faktor ekologi dan biologi seperti tipe substrat yang disenangi, ketersediaan makanan, predator, dan aktivitas manusia.

4.2 Morfometrik dan Hubungan panjang berat 4.2.1 Morfometrik

(40)

23

Gambar 4.2 Grafik hubungan morfometrik Kijing (G.virens) (a) Panjang dengan lebar (b) Panjang dengan tebal, dan (c), lebar dengan tebal.

(41)

24

Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan linier positif antara panjang dengan lebar, panjang dengan tebal, serta lebar dengan tebal. Hubungan linier positif juga didapat pada Pharella acutidens, dan Anodontia edentula

(Efriyeldi, 2012; Natan, 2008). Hubungan linier positif dapat diartikan bahwa seiring bertambahnya ukuran panjang cangkang maka akan terjadi penambahan pada ukuran lebar dan tebal cangkang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Efriyeldi (2012) hubungan yang linier dan positif menunjukkan semakin bertambah ukuran panjang cangkang, maka ukuran lebar dan tebal kerang juga semakin bertambah, namun besaran pertambahannya cenderung relatif berkurang seiring bertambahnya ukuran panjang kerang. Perbandingan ukuran lebar dan tebal terhadap panjang menurun seiring bertambahnya ukuran panjang.

4.2.2 Hubungan panjang berat

Hasil pengukuran panjang kijing berkisar 2,4 - 6,8 cm dan berat 1,40 - 26,25 g. Hubungan panjang cangkang dan berat total kijing disajikan dalam bentuk persamaan regresi sederhana. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai konstanta b, nilai konstanta b berkisar 1,369 - 2,068. Nilai ini berarti pertumbuhan kijing alometrik negatif (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Hubungan panjang berat kijing (G.virens) pada setiap stasiun.

Stasiun Hubungan panjang berat Pola Pertumbuhan

I W= 0,0045L1,37 Alometrik negatif II W= 0,0084L1,47 Alometrik negatif III W= 0,3858L2,18 Alometrik negatif

(42)

25

Gambar 4.3 Grafik hubungan panjang berat kijing (G.virens) di ekosistem mangrove Belawan, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, (c) stasiun 3.

(43)

26

Pola pertumbuhan bivalva dapat berbeda, tergantung pada jenis dan habitat bivalva itu sendiri. Pola pertumbuhan kijing secara umum adalah alometrik negatif dengan nilai b <3. Nilai konstanta b<3 juga diperoleh pada kerang sepetang (Pharella acutidens) dan Solen strictus dengan nilai b<3 (Efriyeldi et al, 2012; Park & Oh, 2002). Nilai yang sama ini diduga disebabkan oleh bentuk dari kijing yang memanjang sehingga untuk mencapai betuk tersebut dibutuhkan pertumbuhan panjang yang lebih cepat dibandigkan pertambahan beratnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Efriyeldi et al, (2012) bahwa kerang yang memiliki bentuk panjang dan pipih akan mengalami pertumbuhan panjang terlebih dahulu sebelum pertumbuhan berat. Pertumbuhan alometrik dapat dijelaskan degan bentuk yang memanjang dan pipih. Untuk mencapai bentuk pipih dan memanjang pertambahan panjang harus lebih dominan bila dibandingkan pertambahan berat (Del, 2004; Efriyeldi, 2012).

4.3 Pola penyebaran

Hasil analisis indeks morisita (distribusi) G.virens pada ketiga stasiun penelitian, diperoleh indeks morista seperti tertera pada Tabel 4.2. Indeks morisita yang didapat berbeda pada masing-masing stasiun. Nilai indeks morisita tertinggi diperoleh pada stasiun III sebesar 1,421. Pada stasiun I didapat nilai indeks terendah sebesar 0,645.

Tabel 4.2. Nilai Indeks Morisita pada setiap Stasiun Penelitian

Stasiun Morisita Kategori

1 0.645 Seragam 2 0.958 Seragam

3 1.421 Mengelompok/Bergerombol

(44)

27

Indeks distribusi yang berkelompok diduga disebabkan kijing (G.virens) memilih tempat hidup pada habitat yang paling sesuai baik faktor fisik kimia maupun tersedianya nutrisi di dasar perairan. Odum (1993) menyatakan bahwa pola sebaran mengelompok adalah bentuk yang paling umum terjadi di alam. Tidak adanya kompetisi antar individu dalam populasi kijing diduga menyebabkan pola penyebaran yang mengelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1993) sebaran mengelompok disebabkan oleh individu dalam populasi saling melindungi. Sebaran mengelompok juga dapat terjadi karena proses reproduksi, selain itu mengelompoknya individu pada populasi merupakan strategi dalam menanggapi perubahan cuaca dan musim, serta perubahan habitat (Odum, 1993; Soetjipta, 1993).

Pada stasiun I dan II didapat pola sebaran seragam dengan nilai Id < 1. Pola yang sama juga didapat oleh Irwani & Suryono (2006) pada kerang totok (Geloina sp) di Segara anakan Cilacap. Perbedaan pola sebaran ini diduga disebabkan oleh karakter lingkungan dan ketersediaan makanan yang terbatas sehingga menyebabkan kompetisi antar individu dalam mendapatkan ruang yang sama. Pola sebaran merata/seragam ini menurut Odum (1993) terjadi karena adanya persaingan individu sehingga mendorong pembagian ruang secara merata. Effendie (1978) yang menyatakan bahwa pola distribusi merupakan hasil dari seluruh jawaban tingkah laku individu-individu di dalam populasi terhadap kondisi lingkungan disekitarya. Riyanto et al (1985) mengungkapkan pola sebaran seragam (uniform) terjadi apabila kompetisi antar individu sangat hebat atau ada antagonisme positif yang mendorong pembagian ruang yang sama.

4.4 Struktur komunitas mangrove

(45)

28

Tabel 4.3 Indeks nilai penting vegetasi mangrove kategori pohon pada stasiun 3.

Nama

Tabel 4.4 Indeks nilai penting vegetasi mangrove kategori anakan pada stasiun 3.

Nama

Teruntun Lumnitzera racemosa 4 14,29 20,00 14,29 48,58

Mata

Buaya Bruguiera hainesii 6

21,43 30,00 18,39 69,81

Dungun Heritiera littoralis 1 3,57 10,00 1,55 15,12

Buta-buta Excoecaria agallocha 16 57,14 30,00 64,58 151,72

Nyirih Xylocarpus granatum 1 3,57 10,00 1,19 14,76

Total 28 100 100 100 300

Hasil analisis vegetasi mangrove menunjukkan bahwa spesies buta-buta (Excoecaria agallocha) memiliki INP tertinggi untuk kategori pohon dan anakan sebesar 122,77 % dan 151,72%. Tingginya nilai INP pada spesies E. agallocha

diduga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya kepadatan kijing pada stasiun III. Hal ini dikarenakan sifat hidup E. agallocha yang akan menggugurkan daun pada musim-musim tertentu, sehingga produksi serasah meningkat. Tingginya serasah akan menyebabkan peningkatan kandungan bahan organik pada kawasan ini. Kandungan bahan organik yang tinggi dapat mempengaruhi ketersediaan makanan bagi kijing. Hal yang sama dinyatakan oleh Efriyeldi (2012), bahwa daerah dengan kandungan bahan organik yang tinggi memiliki kepadatan populasi bivalvia jenis Pharella acutidens yang tinggi juga.

Nilai INP yang tinggi pada jenis E. agallocha pada stasiun III diduga karena pada stasiun ini merupakan daerah yang paling sesuai bagi perkembangan pohon buta-buta, serta ketersedian unsur hara tanah yang akan mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Hal yang sama diungkapkan oleh Resosoedarmo et al

(46)

29

Hasil analisis vegetasi mangrove juga menunjukkan adanya perbedaan antara spesies pada kategori pohon dan anakan pohon. Pada kategori pohon tidak ditemukan spesies Xylocarpus granatum (Nyirih), sedangkan pada kategori anakan spesies ini ditemukan dengan nilai INP terendah (14,76%). Fenomena ini diduga terkait aktivitas penebangan hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat sekitar lokasi penelitian. Spesies ini merupakan spesies yang paling banyak di tebang untuk di manfaatkan sebagai bahan bangunan, perahu (bahan konstruksi ringan). Sehingga spesies ini tidak ditemukan dalam ukuran yang termasuk kedalam kategori pohon (diameter >10 cm).

Hasil pengamatan menunjukkan pada stasiun III kerapatan pohon sebesar 155,5 ind/ha, dan kerapatan anakan sebesar 933,3 ind/ha. Kerapatan keseluruhan antara pohon dan anakan sebesar 1088,85 ind/ha, oleh karena itu vegetasi mangrove pada stasiun III termasuk dalam kondisi sedang. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 (2004), kondisi hutan mangrove dikatakan baik bila vegetasi mangrovenya memiliki kerapatan vegetasi

≥ 1500 ind/ha, kondisi sedang bila memiliki kerapatan vegetasi ≥ 1000 ind/ha sampai < 1500 ind/ha dan kondisi rusak bila memiliki kerapatan vegetasi < 1000 ind/ha.

4.5 Sedimen

Hasil analisis ukuran butiran sedimen menunjukkan perbedaan komposisi butiran disetiap stasiunnya. Skala ukuran butiran tanah sesuai dengan kelas ukuran butiran yang dikeluarkan oleh United State Department of Agricultural (USDA, 2006) ukuran secara umum dibagi menjadi 3 kelas ukuran yaitu, pasir (Sand), debu (Silt), dan Liat (Clay). Hasil analisis seperti pada Tabel 4.5.

(47)

30

Hasil analisis menunjukkan bahwa tekstur tanah di ketiga stasiun adalah lempung (liat), dengan karakteristik tanah berwarna hitam, memiliki butiran yang halus, USDA (2006) menyatakan bahwa ukuran butiran lempung (liat) adalah <0,002 mm, jenis tekstur ini memiliki sifat yang unik keras apabila dalam keadaan kering dan lengket apabila dalam keadaan basah.

Hasil pengamatan tekstur tanah, memperlihatkan adanya perbedaan tekstur pada setiap stasiun penelitian. Stasiun I diperoleh tekstur lempung (Loam), stasiun II lempung berliat (Clay loam), sedangkan pada stasiun III tekstur tanahnya lempung liat berpasir (Sandy-clay Loam). Perbedaan tekstur ini diduga berkaitan dengan jenis vegetasi. Vegetasi yang berbeda memiliki jenis perakaran yang berbeda pula, sehingga kemampuan dalam menjerat partikel sedimen akan berbeda. Hal yang sama diungkapkan oleh Indah et al, (2009) bahwa sistem perakaran mangrove mempengaruhi kelas tekstur yang terbentuk pada kawasan hutan mangrove. Komposisi fraksi merupakan faktor yang terpenting dalam penentuan kelas tekstur tanah. Jumlah fraksi tertentu akan membentuk satu jenis takstur tanah. Komposisi tekstur berdasarkan USDA (2006) seperti pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Proporsi fraksi menurut kelas tekstur tanah

No Kelas Tekstur Tanah Proporsi (%) Fraksi Tanah

(48)

31

Pada stasiun I substrat yang didapat adalah lempung (Loam), jenis tekstur ini terbentuk karena pada stasiun I fraksi pasir berada pada kisaran 44,56 %, debu 31,28 %, dan liat 24,16%. Stasiun II dibentuk oleh fraksi pasir sebesar 32,56%, debu 33,28%, dan liat 34,16%, dari komposisi ini maka kelas tekstur termasuk kedalam lempung berliat (Clay loam). Pada stasiun III didapat tekstur berupa lempung liat berpasir (Sandy clay loam) yang terbentuk dari komposisi fraksi pasir sebesar 50,56%, debu 27,28%, dan liat 22,16%. Hal ini sesuai dengan USDA (2006) bahwa substrat lempung terbentuk dari fraksi pasir 22,5 - 52,5%, fraksi debu 30 - 50%, dan fraksi liat 10 - 30%. Substrat lempung berliat terbentuk dari komposisi fraksi pasir 20 - 45%, debu 15 - 52,5%, dan liat 27,5 - 40%. Selanjutnya pada stasiun III didapat substrat lempung liat berpasir, jenis ini terbentuk dari pasir 45 - 80%, debu <30%, dan liat 20 - 37,5%. Nilai dari masing-masing fraksi dimasukkan kedalam segitiga tekstur tanah untuk mendapatkan kelas tekstur (Gambar 4.4).

(49)

32

Stasiun I dan stasiun II yang merupakan hutan mangrove dengan vegetasi nipah dan berembang memiliki kelas tekstur berupa lempung dan lempung berliat, hal ini diduga karena tingginya nilai fraksi liat dan debu. Fraksi liat dan debu akan membentuk lumpur. Selain itu tekstur lempung juga diduga terbentuk karena stasiun I dan II merupakan stasiun yang berada pada muara sungai dan daerah pembuangan limbah tambak yang banyak membawa partikel lumpur dari daratan. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Patang (2009) bahwa muara sungai merupakan salah satu sumber lumpur yang ada pada hutan mangrove. Selain itu dekomposisi serasah akan berpengaruh pada pembentukan tekstur tanah, serasah dan akar mangrove akan membantu proses pengikatan partikel debu dan liat sehingga lama-kelamaan partikel tersebut akan mengendap dan membentuk lumpur (Setiawan, 2013).

Pada ketiga stasiun ditemukan bahwa fraksi pasir merupakan fraksi yang mendominasi dari kedua fraksi lainnya dengan nilai 32,56 - 50,56 %. Hal sama juga didapat oleh Natan (2008) pada hutan mangrove Teluk Ambon bagian dalam dengan persentasi pasir berkisar 73,95 - 87,15%. Pada stasiun III ditemukan fraksi pasir mendominasi sebesar 50,56%, sehingga terbentuk tekstur berupa lempung liat berpasir, hal ini diduga karena stasiun ini berada pada paluh yang lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas laut, sehingga partikel substrat juga didominasi oleh substrat pasir. Patang (2013) menjelaskan bahwa daerah yang tidak banyak mendapatkan masukan dari daratan akan memiliki substrat yang didominasi oleh substrat laut yakni pasir.

(50)

33

4.6 Faktor fisik kimia perairan

Parameter lingkungan merupakan bagian terpenting bagi kehidupan organisme akuatik. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keberadaan suatu organisme di suatu kawasan (habitat). Hasil rata-rata pengukuran parameter lingkungan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Faktor fisik kimia perairan selama penelitian.

Parameter Satuan Baku Sumber : data primer dan Kepmen LH No 51 Thn 2004. Baku mutu air laut untuk

biota laut.

Suhu

Hasil pengukuran suhu rata-rata selama penelitian, terlihat bahwa suhu air berada pada kisaran 27,8 - 28,5oC. Hal ini sesuai dengan pernyataan Whitten et al,

(51)

34

Suhu yang diperoleh pada stasiun III merupakan suhu yang paling optimum bagi kehidupan kijing di ekosistem mangrove Belawan. Hal ini ditandai dengan tingginya kepadatan kijing pada lokasi ini. Hal yang sama juga didapat oleh Natan (2008) dimana kepadatan tertinggi kerang lumpur (Anadontia edentula) sebesar 26 ekor/m2 dengan suhu 27,94oC di ekosistem mangrove Teluk Ambon bagian dalam. Hal ini sesuai dengan Kepmen LH No 51. Tahun 2004 yang menyatakan bahwa suhu yang optimum bagi biota perairan berkisar 28-32oC.

Perbedaan suhu pada masing-masing stasiun diduga sangat terkait dengan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Efriyeldi (2012); Tamsar et al, (2013) bahwa perbedaan suhu di kawasan hutan mangrove sangat erat kaitannya dengan naungan kanopi vegetasi mangrove yang dapat mempengaruhi intensitas cahaya matahari saat penyinaran.

Salinitas

Salinitas adalah kandungan garam terlarut dalam satuan volume air yang

biasanya dinyatakan dengan satuan promil (‰) (Barus, 2004). Nilai salinitas

bervariasi di setiap stasiun berkisar 5-20‰. Stasiun III merupakan lokasi dengan

salinitas tertinggi sebesar 20‰. Pada lokasi ini juga diperoleh kepadatan kijing

tertinggi sebesar 2,93 Ind/m2. Hal ini menunjukkan bahwa kijing lebih menyukai salinitas yang lebih tinggi. Sama halnya dengan yang didapat Efriyeldi (2012) pada kerang sepetang (Pharellaacutidens), dimana kepadatan yang tinggi sebesar 6,7-10,2 Ind/m2 dijumpai pada kisaran salinitas 20,9-22,9‰ pada kawasan hutan mangrove Kota Dumai. Kepadatan yang tinggi juga didapat oleh Natan (2008) pada kerang lumpur (Anodontia edentula) sebesar 21 Ind/m2 di kawasan hutan

mangrove Teluk Ambon bagian dalam dengan salinitas 29‰.

Perbedaan nilai salinitas sangat terkait dengan pasokan air tawar yang masuk ke suatu kawasan perairan. Salinitas terendah didapat pada stasiun I

dengan vegetasi nipah sebesar 5‰, hal ini diduga karena stasiun I berada pada

(52)

35

Sementara nilai salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun III yang merupakan hutan mangrove dengan vegetasi heterogen sebesar 20‰. Hal ini disebabkan karena letaknya yang lebih dekat dengan laut sehingga mendapat pasokan air laut lebih banyak. Irwanto (2006) menjelaskan bahwa kawasan yang jauh dari laut salinitasnya akan lebih rendah bila dibandingkan dengan kawasan yang dekat dengan laut, dikarenakan kawasan tersebut lebih banyak menerima pasokan air tawar dari sungai.

Derajat Keasaman (pH air dan sedimen)

Nilai pH air selama penelitian didapat sebesar 6,2-6,8. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun III dengan nilai 6,8 dan terendah pada stasiun I sebesar 6,2. Nilai pH yang didapat pada stasiun III merupakan pH optimum bagi kijing, hal ini dapat dilihat dari tingginya kepadatan kijing pada stasiun III. Efriyeldi (2012) mendapatkan kepadatan yang tinggi dari bivalvia Pharellaacutidens pada pH 6,9 di kawasan hutan mangrove Kota Dumai. Nilai pH air yang berada dibawah angka 7 disebabkan lokasi pengambilan contoh air masih dipengaruhi oleh massa air sungai

yang masuk ke suatu kawasan. Selain itu pH air yang cenderung asam pada lokasi

penelitian diduga terkait dengan tingginya kandungan bahan organik yang berasal

dari dekomposisi serasah mangrove (Sitorus, 2004).

(53)

36

Oksigen Terlarut (DO)

Kandungan Oksigen terlarut pada suatu kawasan sangat penting, karena oksigen dibutuhkan oleh semua organisme yang hidup di kawasan tersebut untuk proses respirasi. Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar 3-3,4 ppm. Rendahnya kandungan oksigen terlarut disemua stasiun penelitian diduga karena tingginya kekeruhan yang menyebabkan cahaya matahari tidak dapat masuk ke perairan. DO tertinggi diperoleh pada stasiun III, dan terendah pada stasiun I. Hasil ini menunjukkan bahwa kadar DO pada lokasi penelitian sudah berada dibawah baku mutu air untuk biota perairan. Kadar DO

yang baik bagi biota perairan adalah ≥ 5 mg/L (Kepmen LH No 51 Thn 2004).

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air (Barus, 2004). Kandungan oksigen terlarut yang rendah pada lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan kijing. Hal ini berarti bahwa kijing mampu hidup pada kondisi oksigen yang rendah. Sejalan dengan yang ditemukan oleh Natan (2008) bahwa kandungan oksigen terlarut pada kawasan mangrove Teluk Ambon bagian dalam sebesar 1,50 mg/l dengan kepadatan kerang 35 Ind/m2.

Nitrat (NO3) dan Fosfat (PO4)

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kadar nitrat dan fosfat pada masing-masing stasiun. Kadar nitrat berada pada kisaran 4-13,7 mg/L. Sedangkan kadar posfat pada kisaran 0,03-0,44 mg/L. Kadar nitrat dan fosfat ini telah melebihi ambang batas. Menurut Kepmen LH No 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air laut Untuk Biota Laut, kadar nitrat dan fosfat yang diperbolehkan untuk biota perairan adalah 0,008 mg/L (Nitrat) dan 0,015 mg/L (Fosfat).

(54)

37

Stasiun III merupakan stasiun yang paling rendah kadar nitrat dan fosfatnya, kadar nitrat dan fosfat pada stasiun ini secara berturut-turut sebesar 4 mg/L dan 0,03 mg/L. Hal ini disebabkan karena pada stasiun ini tidak mendapat masukan air limbah domestik yang mengandung unsur N dan P. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Hutagalung dan Rozak (1997), Salah satu penyebabnya peningkatan kadar nitrat adalah masuknya limbah domestik atau pertanian yang umumnya banyak mengandung nitrat. Kadar fosfat di perairan semakin meningkat dengan masuknya limbah domestik (deterjen dll.), dan pertanian/perkebunan (pupuk) yang banyak mengandung fosfat.

Kadar nitrat dan fosfat yang tinggi dapat menyebabkan pengayaan nutrien (Eutrofikasi) pada kawasan mangrove Belawan. Kondisi ini akan memicu terjadinya ledakan populasi alga beracun (Harmfull algae bloom) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian organisme pantai secara massal. Effendi (2003) menyatakan bahwa kandungan nitrat lebih 0.2 mg/l dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Barus (2004) mengungkapkan peningkatan kadar fosfor dalam air akan meningkatkan populasi alga secara massal, yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air.

Logam berat sedimen

(55)

38

Logam berat merupakan salah satu unsur yang dapat mencemari lingkungan. Masuknya logam berat di suatu kawasan perairan biasanya disebabkan oleh aktivitas antropogenik, seperti pembuangan limbah industri, limbah perkotaan dan aktivitas kendaraan bermotor. Amin et al, (2011) menyatakan, sumber pencemar logam berat dapat masuk ke perairan melalui aktivitas masyarakat seperti dari asap kendaraan, pertanian menggunakan pestisida, perbengkelan, kegiatan industri dan pembuangan sisa limbah rumah tangga.

4.7 Karakteristik sarang

Pengamatan terkait sarang kijing (G.virens) di lakukan untuk mendapatkan informasi mendasar tentang bentuk permukaan sarang, kedalaman sarang dan kondisi dalam sarang. G.virens adalah hewan bentik yang hidup dengan cara membenamkan diri kedalam lumpur (infauna) di kawasan estuaria, umumnya hidup pada substrat di daerah hutan mangrove.

Dari hasil pengamatan selama penelitian ditemukan beberapa karakter terkait bentuk permukaan lubang yang dijadikan sebagai sarang oleh G.virens. Permukaan lubang terbentuk dari dua buah lingkaran yang menyerupai angka delapan (8), dimana ukuran lingkaran bagian atas lebih kecil dari pada lingkaran bagian bawah (Gambar 4.5).

(56)

39

Pada saat surut sarang kijing dapat dilihat dengan jelas karena bentuknya yang unik. Ukuran sarang pada lubang bagian atas pada umumnya lebih kecil bila dibandingkan dengan lubang bagian bawah. Lubang bagian atas umumnya berbentuk agak lonjong, sedangkan bagian bawah membulat. Hal ini disebabkan oleh bentuk sifon yang sama dengan bentuk permukaan lubang (Gambar 4.6).

Gambar 4.6. (a dan b) kijing mengeluarkan sifonnya, (c) Bentuk sifon kijing yang mempengaruhi bentuk permukaan sarang menyerupai angka delapan (8).

Hasil pengukuran kedalaman sarang sangat terkait dengan ukuran individu kijing yang ada di dalamnya. Semakin besar kijing maka akan semakin dalam sarang yang dibuat. Kedalaman sarang berkisar antara 13-30,2 cm, dengan ukuran panjang kerang terkecil 2,4 cm dan terbesar 6,8 cm.

(57)

40

Kijing memiliki mekanisme dalam mempertahankan diri dengan cara membuat lubang-lubang palsu untuk menghindari predator. Kijing membuat lubang permukaan yang lebih banyak daripada jumlah kijing yang ada di dalam sarang (Gambar 4.7). Hal ini diduga untuk mengelabui peredator yang akan memangsanya. Sering ditemukan cangkang dalam keadaan kosong atau pecah akibat di mangsa oleh kepiting yang hidup di hutan mangrove.

Gambar 4.7. Lubang permukaan sarang (atas kiri dan kanan), kerang berada dalam sarang (bawah)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kijing di dalam lubang dalam keadaan tegak lurus dengan lubang. Bagian anterior berada pada posisi atas dan posterior pada bagian bawah. Bagian anterior akan mengeluarkan sifon pada saat air mulai pasang atau pada saat sarang digenangi air. Dalam lubang juga terbentuk alur yang terbentuk oleh aktifitas pergerakan kijing ( Gambar 4.8).

(58)

41

Gambar 4.8. (a,b) kondisi sarang pada saat tergenang air. (c) kerang saat berada di dalam lubang dengan anterior menghadap ke permukaan lubang.

4.8 Analisis Korelasi Faktor Fisik Kimia Perairan dengan Kelimpahan Kijing.

Berdasarkan nilai parameter lingkungan yang diperoleh dari masing-masing stasiun penelitian, maka dilakukan analisis korelasi parson untuk mengetahui hubungan antara pameter lingkungan terhadap kepadatan kijing. Setelah dikorelasikan dengan kepadatan maka didapatkan nilai korelasi seperti pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Nilai Analisis Korelasi Kepadatan Kijing dengan Faktor Fisik- Kimia Perairan.

No Parameter r

1. Suhu 0,831

2. Salinitas - 0,442

3. pH air - 0,124

4. pH sedimen 0,180

5. DO 0,066

6. Nitrat (NO3) - 0,760

7. Fosfat (PO4) - 0,936

8. Pasir 0,964

9. Debu - 0,797

10 Liat - 0,996

Keterangan :

Gambar

Grafik hubungan morfometrik Kijing (G.virens)
Gambar 2.1.  Morfologi kijing (G.virens)
Gambar 2.2 Daerah penyebaran kijing (G.virens)( Carpenter & Niem, 1998).
Gambar 3.1.  Peta lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Gimin et al, (2004) di ekosistem mangrove Australia bagian utara menunjukkan bahwa pola pertumbuhan G erosa berlangsung allometrik positif,

Menurut Brower dan Zar (1977) komposisi dan kondisi substrat di perairan hutan mangrove merupakan faktor penting berkaitan dengan distribusi kepiting bakau.Substrat di sekitar

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengukur pemanfaatan mangrove bagi masyarakat lokal, mengidentifikasi flora dan fauna hutan mangrove di kawasan Serapuh, Kecamatan Tanjung

berjudul “ Kajian Ekologi Mangrove di Kawasan Mangrove Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Sumatera Utara ”.. S kripsi ini sebagai syarat untuk menyelesaikan

Struktur Komunitas Mangrove Berdasarkan Perbedaan Substrat Di Desa Kembar Maminasa, Kecamatan Maginti, Kabupaten Muna [Skripsi].Fakultas Ilmu Kelautan Dan

Penurunan kerapatan vegetasi mangrove dipesisir pulau sembilan tentunya akan berpengaruh terhadap penurunan kemampuan fisik akar mangrove tersebut sebagai pemerangkap sedimen atau

Kualitas vegetasi mangrove yang rendah akibat penebangan liar pohon mangrove secara besar-besaran di masa lalu, sehingga hutan mangrove di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading

Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai panjang garis pantai ± 81.000 Km. Di kawasan pantai tersebut ter- dapat berbagai tipe vegetasi, diantaranya mangrove atau