• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kelayakan finansial proyek penanaman kembali kebun sawit sebagai upaya mengurangi deforestasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kelayakan finansial proyek penanaman kembali kebun sawit sebagai upaya mengurangi deforestasi"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

PROYEK PENANAMAN KEMBALI KEBUN SAWIT

SEBAGAI UPAYA MENGURANGI DEFORESTASI

FITRIA FADHILLA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKUTAS KEHUTANAN

(2)

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

PROYEK PENANAMAN KEMBALI KEBUN SAWIT

SEBAGAI UPAYA MENGURANGI DEFORESTASI

FITRIA FADHILLA

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKUTAS KEHUTANAN

(3)

RINGKASAN

FITRIA FADHILLA. E14104012. Analisis Kelayakan Finansial Proyek Penanaman Kembali Kebun Sawit sebagai Upaya Mengurangi Deforestasi. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO.

Lahan hutan menjadi target ekspansi bidang usaha lain non-kehutanan, salah satunya perkebunan sawit. Ekspansi perkebunan kelapa sawit besar-besaran saat ini adalah pendorong terbesar deforestasi di Indonesia. Laju ekspansi lahan sawit begitu besar dikarenakan meningkatnya kebutuhan konsumsi minyak di dunia. Untuk menghindari adanya kegiatan ekspansi lahan yang terus-menerus, maka dilakukan kegiatan penanaman kembali. Kegiatan penanaman kembali merupakan kegiatan melakukan peremajaan sawit sebagai upaya meningkatkan produktivitas hasil tanaman, yang dilakukan secara mekanis dengan menggunakan 2 unit alat berat yaitu excavator kapasitas 20 ton yang dilakukan oleh pihak kontraktor.

Penelitian ini dilaksanakan di Perkebunan Sawit PT. X di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Penelitian berlangsung dari Agustus hingga November 2010. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui alasan pemilik kebun untuk melakukan kegiatan penanaman kembali, kemudian menghitung kelayakan usaha sebagai kontraktor proyek penanaman kembali kebun sawit berdasarkan aspek finansial (Net Present Value, Internal Rate of

Return, Benefit Cost Ratio, dan Payback Period), sehingga dapat ditentukan

proyek tersebut layak atau tidak. Selanjutnya menganalisis berkurangnya laju deforestasi dengan adanya kegiatan penanaman kembali tersebut. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Untuk menghitung kelayakan usaha, data diolah dengan menggunakan analisis Discounted Cash Flow dengan menggunakan tiga kondisi harga sewa alat dalam satuan jam berdasarkan harga pasar di lokasi, kondisi harga tersebut antara lain Rp.200.000 per jam, Rp.225.000 per jam, dan Rp. 250.000 per jam. Dan untuk menganalisis berkurangnya laju deforestasi dengan adanya kegiatan penanaman kembali digunakan analisis secara deskriptif.

Berdasarkan analisis Discounted Cash Flow diperoleh hasil bahwa kondisi harga sewa alat per jam Rp. 225.000 dan Rp. 250.000 merupakan kondisi yang layak untuk ditawarkan kepada pihak kebun. Sedangkan harga sewa alat per jam Rp. 200.000 tidak layak berdasarkan nilai Internal Rate of Return. Mengenai deforestasi, berdasarkan analisis deskriptif dan asumsi perkiraan pertambahan luas sawit sebesar 8,7% per tahun, maka akan terjadi pengurangan ekspansi perkebunan kelapa sawit sebesar 5% per tahun dengan adanya kegiatan penanaman kembali. Ini berarti bahwa hanya terjadi ekspansi sebesar 3.7% per tahun. Jadi, dengan angka ekspansi yang lebih rendah maka juga akan mengurangi potensi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (deforestasi).

(4)

SUMMARY

FITRIA FADHILLA. E14104012. Analysis of Feasibility Study at Palm Oil Plantation Replanting For Reduce Deforestation. Under Supervision of HARIADI KARTODIHARDJO.

Recently, forest to be target for expansion of non-forest sectors. One of sector who converts the forest is palm oil plantation. Expansion of palm oil plantation is very high because demand of palm oil is getting increase. In order to absorp the demand, palm oil plantation stakeholders try to expand land. It means that they need more land to be converted to palm oil. In order to improve production of palm oil without expansion, it is conducted replanting. Replanting is activity in palm oil plantation to replace old plant with new plant. In field, replanting by mechanization is the best way because of faster than others (manual, chemical). Mechanization use heavy equipment (excavator with capacity 20 ton) who operated by contractor.

This research was done at company X, located at North Mamuju, Province of West Celebes, from August until November 2010. The aim of research are know the reason of palm oil plantation company to conduct replanting, then calculate financial analysis as palm oil replanting contractor based on financial aspect, consist of Net Present Value, Internal Rate of Return, Benefit Cost Ratio, dan Payback Period. And then, this research also analyze influence of palm oil replanting to deforestation in North Mamuju. For research, data consist of primary data and secondary data. Discounted Cash Flow is used for calculate financial analysis where used three conditions of price per hour, IDR 200,000 per hour, IDR 225,000 per hour, and also IDR 250,000 per hour. For analyze influence of palm oil replanting to deforestation is used decription analysis.

Based on Discounted Cash Flow, condition with price IDR 225,000 per hour, and IDR 250,000 per hour are feasible. But condition with price IDR 200,000 per hour Price is not feasible because value of internal rate of return almost same with interest rate. And for deforestation, based on description analysis and asumption expansion rate of palm oil plantation 8.7% per year, replanting can reduce the expansion to be 5% per year lower. It means that with replanting, the expansion only 3.7% per year. Thus, with lower expansion rate, it is possible to decrease convertion of forest (deforestation) to be palm oil plantation.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Kelayakan Finansial Proyek Penanaman Kembali Kebun Sawit Sebagai Upaya Mengurangi Deforestasi” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

Fitria Fadhilla

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas segala kebesaran-NYA sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini

berjudul “Analisis Kelayakan Finansial Proyek Penanaman Kembali Kebun Sawit Sebagai Upaya Mengurangi Deforestasi”. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis kegiatan penanaman kembali yang dilakukan oleh perkebunan sawit. Analisis dilakukan dengan menghitung kelayakan finansial. Dengan mengetahui kelayakan kegiatan ini diharapkan para pemilik kebun sawit dalam meningkatkan produktivitas produksinya memiliki kebijakan melakukan penanaman kembali pada kebun yang sudah ada dengan tidak melakukan ekspansi pada lahan hutan sehingga konversi hutan yang menyebabkan deforestasi dapat dihindari.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, namun penulis tetap berharap skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat khususnya bagi pihak-pihak yang membutuhkannya. Saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan baik.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku pembimbing, Bapak Rachmat Kurniawan dari pihak kontraktor kebun, serta pihak-pihak kebun lainnya yang telah banyak membantu memberikan informasi kepada penulis. Ungkapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada keluarga tercinta, Kakek Muslim, Nenek Kismawati, serta seluruh keluarga atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya, penulis ucapkan terima kasih.

Bogor, Mei 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Juni 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Syaiful Bachri dan Enny Marina.

Pada tahun 1998, penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Sudimara 13 Ciledug, Tangerang, Banten. Kemudian tahun 2001 penulis lulus dari SLTP YKPP Pendopo Muara Enim Sumsel. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SMU YKPP Pendopo Muara Enim Sumsel dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan perkuliahan pada Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan dan berbagai kepanitiaan yakni sebagai staf bidang olahraga dan seni BEM KM IPB tahun 2005-2006, anggota KOPMA IPB tahun 2005-2006, dan panitia Temu Manajer tahun 2007. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Umun Kehutanan (PUK) di Sancang-Kamojang, Garut, Jawa Barat laludilanjutkan dengan Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Purwakarta, Jawa Barat pada bulan Juli-September 2007. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang di KPH Ciamis, Jawa Barat pada bulan Februari-April 2008.

(9)

DAFTAR ISI

2.4 Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali dengan Deforestasi ... 10

3.4.1 Analisis Kelayakan Finansial ... 17

(10)

4.2.4.2 Produk Domestik Regional Bruto ... 24

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penanaman Kembali oleh Perkebunan Sawit PT. X ... 25

5.2 Proyek Kegiatan Penanaman Kembali ... 27

5.3 Usaha Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali ... 30

5.4 Bisnis Usaha Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali ... 30

5.5 Analisis Kelayakan Finansial Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali ... 31

5.5.1 Pendapatan (Inflow) ... 31

5.5.2 Pengeluaran (Outflow) ... 32

5.5.2.1 Biaya Investasi, Bunga, dan Depresiasi ... 32

5.5.2.2 Biaya Operasional ... 33

5.5.3 Indikator Proyek ... 34

5.6 Analisis Dampak Kegiatan Penanaman Kembali terhadap Deforestasi ... 37

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 40

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(11)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Perkembangan Luas Areal Sawit dan Produksi TBS ... 11

2. Asumsi Korelasi Antara Penanaman Kembali, Permintaan Minyak Sawit, dan Ekspansi Lahan ... 12

3. Kisaran Harga... 19

4. Luas Kawasan Hutan di Mamuju Utara Menurut Fungsinya... 23

5. Pertumbuhan Ekonomi Antar Kabupaten di Sulawesi Barat ... 24

6. Produk Domestik Regional Bruto Antar Kabupaten di Sulawesi Barat... 24

7. Perbandingan antara Penanaman Kembali dengan Pengembangan Sawit Secara Konvensional ... 27

8. Kerjasama Antara Kontraktor dan Perusahaan Kebun... 30

9. Biaya Investasi ... 32

10. Biaya Bunga ... 33

11. Biaya Depresiasi ... 33

12. Biaya Operasional ... 34

13. Indikator Proyek ... 35

14. Luas Areal Kelapa Sawit di Mamuju Utara Tahun 2007-2012 ... 38

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 4

2. Excavator dan Bulldozer ... 13

3. Analisis Deskriptif Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali Dengan Deforestasi ... 20

4. Peta Provinsi Sulawesi Barat ... 21

5. Grafik Curah Hujan Kabupaten Mamuju Utara ... 22

6. Lahan konservasi yang terdapat di dalam areal kebun ... 26

7. Flow Chart Kegiatan Penanaman Kembali... 28

8. Kegiatan Penumbangan ... 28

9. Kegiatan Pencacahan ... 29

10. Kegiatan Perumpukan ... 29

11. Proses Bisnis Usaha Kegiatan Penanaman Kembali ... 31

12. Pendapatan per tahun berdasarkan harga per jam per unit excavator ... 32

13. Nilai NPV pada tiap kondisi ... 35

14. Nilai IRR pada tiap kondisi ... 36

15. Nilai BCR pada tiap kondisi ... 36

16. Nilai Payback Period pada tiap kondisi ... 36

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Perbandingan Antara Biaya Kegiatan Penanaman Kembali dengan

Pembukaan Lahan Baru (Konvensional) ... 44

2. Cash Flow Harga Sewa Rp.200.000 per jam ... 45

3. Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.200.000 per jam ... 45

4. Cash Flow Harga Sewa Rp.225.000 per jam ... 46

5. Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.225.000 per jam ... 46

6. Cash Flow Harga Sewa Rp.250.000 per jam ... 47

7. Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.250.000 per jam ... 47

8. Rincian Pengeluaran (Outflow) ... 48

9. Struktur Organisasi ... 50

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Pertumbuhan industri pengolahan kayu dan perkebunan di Indonesia terbukti sangat menguntungkan selama bertahun-tahun. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, negara ini secara dramatis meningkatkan produksi hasil hutan dan hasil perkebunan yang ditanam di lahan yang sebelumnya berupa hutan (FWI/GFW, 2001)

Salah satu perkebunan yang produksinya meningkat dari tahun ke tahun adalah perkebunan kelapa sawit. Pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia sungguh fenomenal, dengan produksi yang bertumbuh 36 kali lipat sejak pertengahan tahun 1960-an. Pembangunan perkebunan selama 30 tahun terakhir jelas merupakan faktor utama penyebab deforestasi, tetapi sulit menyajikan data definitif mengenai luas hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan. Sumber-sumber data resmi sangat bervariasi dan tidak konsisten dari tahun ke tahun. Menurut analisis, total kawasan lahan hutan yang dikonversi menjadi bentuk perkebunan antara tahun 1982 dan 1999 adalah 4,1 juta ha. Dari angka total ini, menurut penelitian lainnya, 1,8 juta ha hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 dan 2000 (FWI/GFW, 2001)

Permintaan dunia akan minyak kelapa sawit diperkirakan akan meningkat dari 20,2 juta ton per tahun menjadi 40 juta ton di tahun 2020. Permintaan ini dapat dipenuhi bila 300.000 ha perkebunan baru ditanami tiap tahunnya selama 20 tahun ke depan. Diperkirakan bahwa sebagian besar lahan baru ini akan dibuka di Indonesia dimana sumber daya manusia dan lahan masih berlimpah(Greenpeace, 2008).

(15)

nasional mencapai 21 juta ton dan naik menjadi 22 juta ton pada tahun 2010 ini. Namun, lahan perkebunan sawit di Indonesia saat ini sedikitnya menghasilkan rata-rata sekitar 3,2 ton minyak sawit mentah per ha per tahun. Angka tersebut masih jauh lebih rendah dari produktivitas perkebunan sawit Malaysia yang mencapai 6-7 ton per ha per tahun.1

Menurut Direktur Tanaman Tahunan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, produktivitas perkebunan sawit dalam negeri saat ini masih rendah, terutama milik rakyat yang hanya 15 ton tandan buah segar (TBS) per ha dan swasta 25 ton per ha per tahun dengan rendemen 21-23%. Namun, perkebunan sawit tidak mungkin lagi melakukan ekspansi besar-besaran karena keterbatasan lahan. Pemerintah memiliki program revitalisasi dan penanaman kembali untuk meningkatkan produktivitas produksi minyak sawit mentah.2

Dalam konteks perkebunan komersial, yang menjadi tujuan perusahaan yaitu keuntungan yang optimal. Keuntungan optimal perusahaan perkebunan sangat ditentukan oleh sumber pendapatan perusahaan. Secara pasti, hal itu merupakan fungsi produksi dari tanaman yang ditanam di kebun. Untuk mencapai produksi yang optimal tersebut, perlu dicapai keadaan rata-rata umur tanaman 15 tahun karena akan tercapai produksi puncak. Salah satu tindakan manajemen untuk mempertahankan rata-rata umur tanaman tetap optimal bagi perusahaan adalah dengan melakukan kegiatan penanaman kembali (Pahan, 2008). Dengan dilakukan kegiatan ini diharapkan selain dapat meningkatkan hasil panen juga sekaligus menghindari konversi hutan menjadi lahan sawit baru.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui alasan pemilik kebun untuk melakukan kegiatan penanaman kembali.

2. Menghitung kelayakan usaha sebagai kontraktor proyek penanaman kembali kebun sawit berdasarkan aspek finansial (Net Present Value,

(16)

3. Menganalisis berkurangnya laju deforestasi dengan adanya kegiatan penanaman kembali kebun sawit.

1.3 Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan adanya kegiatan penanaman kembali akan mengurangi laju deforestasi hutan. Selain itu, dengan mempelajari usaha kontraktor dapat melatih kompetensi untuk menjadi wirausaha yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan.

1.4 Kerangka Pemikiran

Peningkatan jumlah penduduk di dunia tentunya akan diikuti oleh kebutuhan pangan yang semakin meningkat, salah satunya adalah minyak kelapa sawit. Keadaan ini menyebabkan para pengusaha perkebunan kelapa sawit akan terus meningkatkan produksinya guna mendapatkan keuntungan dari pasar yang selalu meningkat. Salah satu upaya peningkatan produksi adalah dengan intensifikasi (tanpa melakukan ekspansi lahan) yang kegiatannya berupa penanaman kembali. Penanaman kembali ini dapat dilakukan dengan cara mekanis yang diharapkan dapat dilakukan dengan cepat dan biaya yang lebih murah.

Untuk mendukung kegiatan penanaman kembali, perlu adanya kajian analisis finansial berupa berapa besar Net Present Value, Internal Rate of Return,

Benefit Cost Ratio, dan Payback Period, sehingga apakah menguntungkan jika

ada pihak yang akan mengerjakan kegiatan penanaman kembali secara mekanis. Selain itu juga akan dilakukan analisis secara deskriptif mengenai seberapa besar pengurangan deforestasi dari kegiatan penanaman kembali kelapa sawit tersebut.

(17)
(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan

2.1.1 Pengertian Hutan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.

Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung, dan produksi (Tunggal, 2008).

2.1.2 Keadaan Hutan Saat Ini

(19)

puluhan tahun dan penebangan ilegal. Hutan mulai mengalami tekanan besar karena para penebang kayu terus mencari-cari kawasan baru. Selain itu, tekanan juga ditimbulkan oleh ledakan industri kelapa sawit (Greenpeace, 2008).

Salah satu ancaman terkini terhadap hutan Indonesia adalah perkebunan kelapa sawit. Didorong oleh meningkatnya permintaan global akan minyak kelapa sawit untuk industri makanan, kosmetik, serta kemunculan apa yang disebut bahan bakar nabati. Sebuah laporan dari Departemen Kehutanan dan negara Uni Eropa menyatakan permintaan dunia akan minyak kelapa sawit diperkirakan akan meningkat dari 20,2 juta ton per tahun menjadi 40 juta ton di tahun 2020. Permintaan ini dapat dipenuhi bila 300.000 ha perkebunan baru ditanami tiap tahunnya selama 20 tahun ke depan. Sebagian besar lahan baru ini akan dibuka di Indonesia dimana sumber daya manusia dan lahan masih berlimpah (Greenpeace, 2008).

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang paling pesat bertumbuh dalam dua dasawarsa terakhir. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, areal tanaman perkebunan kelapa sawit terus meningkat dari 1,1 juta ha di tahun 1990 menjadi 6,1 juta ha di tahun 2006. Sedangkan hingga tahun 2007, Menteri Pertanian menyatakan bahwa areal tanaman perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 6,3 juta ha. Jika dibuat rata-rata, terjadi penambahan luas tanaman kelapa sawit sekitar 260 ribu ha setiap tahun.3

Industri kelapa sawit tumbuh 36 kali lipat sejak pertengahan tahun 1960-an. Didominasi oleh perusahaan negara, perkebunan rakyat dan perkebunan skala besar milik swasta. Pembangunan perkebunan selama 30 tahun terakhir jelas merupakan faktor utama penyebab deforestasi, tetapi sulit menyajikan data definitif mengenai luas hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan. Hasil analisis menunjukkan total kawasan lahan hutan yang dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 1982 dan 1999 adalah 4,1 juta ha. Dari angka ini, menurut penelitian lainnya 1,8 juta ha hutan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 dan 2000 (FWI/GFW, 2001).

3

(20)

2.1.3 Deforestasi

Beberapa definisi deforestasi yang telah digunakan oleh berbagai institusi internasional diacu dalam Budiharto (2009) diantaranya adalah:

UNFCCC 11/CP.7 mendefinisikan sebagai konversi langsung yang disebabkan oleh manusia terhadap lahan hutan menjadi lahan non-hutan.

FAO (2006) mendefinisikan konversi hutan ke penggunaan lahan lain atau pengurangan dalam jangka waktu yang lama dari kanopi pohon kurang dari batasan minimal 10%. Dengan demikian deforestasi merupakan kehilangan penutupan lahan hutan secara permanen atau jangka waktu yang panjang, baik yang disebabkan oleh pengaruh manusia maupun dari gangguan alam. Konversi hutan ke lahan pertanian, padang rumput/penggembalaan, dan area perkotaan juga termasuk deforestasi.

WWF/IUCN (1996) mendefinisikan hilangnya hutan yang tidak digantikan dengan regenerasi alami atau penanaman kembali.

(21)

2.2 Perkebunan Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elais quineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis golongan plasma yang termasuk tanaman tahunan. Kelapa sawit sudah mulai menghasilkan pada umur 24-30 bulan. Kelapa sawit tumbuh dengan baik pada dataran rendah di daerah tropis yang beriklim basah yaitu sepanjang garis khatulistiwa antara 23,5º LU-23,5º LS. Adapun persyaratan tumbuh pada tanaman kelapa sawit sebagai berikut:

Curah hujan ≥2000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun dengan periode

bulan kering (<100mm/bln) tidak lebih dari 3 bulan.

Temperatur siang hari rata-rata 29-33ºC, malam hari 22-24ºC. Ketinggian tempat dari permukaan laut < 500m.

Matahari bersinar sepanjang tahun, minimal 5 jam perhari.

Industri kelapa sawit merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, berupa lahan yang subur, tenaga kerja yang produktif, dan sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun. Kelapa sawit merupakan tanaman yang paling produktif dengan produksi minyak per ha yang paling tinggi dari seluruh tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Agribisnis kelapa sawit adalah salah satu dari sedikit industri yang merupakan keunggulan kompetitif Indonesia untuk bersaing di tingkat global.

Minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis karena merupakan bahan baku utama pembuatan minyak makan. Permintaan akan minyak makan di dalam dan luar negeri yang kuat merupakan indikasi pentingnya peran komoditas kelapa sawit dalam perekonomian bangsa. Selain itu masih banyak produk turunan dari kelapa sawit seperti mentega, sabun, hingga biodiesel (Pahan, 2008).

2.3 Penanaman Kembali

(22)

komidel yang sangat besar. Pohon-pohon tersebut jika didata lalu dianalisa secara konkrit, maka akan ditemui bahwa tren grafik produktivitasnya tidak sebaik masa usia muda. Oleh karena itu sudah harus dipikirkan untuk melakukan proses peremajaan tanaman dengan penanaman kembali kebun sawit (Nyoto, 2007).

Secara teoritik, produksi tanaman kelapa sawit per satuan luas menunjukkan kecenderungan (profile) yang meningkat secara tajam pada umur 4-7 tahun, mulai melandai pada umur 8-15 tahun, dan mulai turun secara gradual pada umur >16 tahun. Produksi /ha/tahun dalam suatu kebun secara merata sepanjang satu siklus, biasanya 25-30 tahun, harus betul-betul optimal. Untuk mencapai produksi yang optimal tersebut, perlu dicapai keadaan rata-rata umur tanaman 15 tahun. Acuan penentuan batasan umur 15 tahun didasarkan karena pada umur 15 tahun akan tercapai produksi puncak. Rata-rata umur tanaman yang paling optimal tersebut harus diimbangi dengan program penanaman kembali yang berkesinambungan. Penanaman kembali merupakan salah satu tindakan manajemen untuk mempertahankan rata-rata umur tanaman tetap optimal bagi perusahaan (Pahan, 2008).

Menurut Pahan (2008), penanaman kembali merupakan kegiatan melakukan peremajaan yang bukan hanya didasarkan pada umur, melainkan : - Rata-rata produksi/ha tanaman yang rendah

- Biaya perawatan yang tinggi - Lokasi blok yang sulit diakses - Ketersediaan modal

Kegiatan penanaman kembali dapat dilakukan secara manual, khemis, maupun mekanis. Kegiatan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan konservasi lahan sehingga daur hidrologi tetap terpelihara.4

Mengingat kebutuhan minyak sawit dunia yang terus meningkat, maka penanaman kembali dapat menjadi pilihan alternatif solusi jangka panjang sehingga ekspansi konversi hutan menjadi perkebunan sawit dapat dihindari.

4

http://www.faperta.ugm.ac.id/buper/download/kuliah/sawit/4_LC%20dan%20Persiapan%20Lahan.ppt (25 Mei 2010)

(23)

2.4 Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali dengan Pengurangan Deforestasi

Kendati produksi crude palm oil (CPO) Indonesia tahun depan diperkirakan akan naik 6,3% dari tahun ini yang kurang lebih mencapai 19 juta ton menjadi 22 juta ton akhir tahun depan, namun total stok dunia justru diramalkan tidak akan sanggup memenuhi permintaan. Padahal pada saat bersamaan konsumsi dunia terus mengalami peningkatan secara signifikan. Artinya jika tahun 2010 total produksi CPO Indonesia berkisar 19 juta ton dengan komposisi ekspor mencapai 16 juta ton, maka tahun depan ekspor Indonesia minimal bisa mencapai 18,2 juta ton. Dengan penyerapan domestik yang diperkirakan tak beranjak dari 4 juta ton setahun.5

Pemerintah menggenjot produktivitas kelapa sawit dengan melakukan program penanaman kembali kelapa sawit. Sebab, selama ini tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit Indonesia masih rendah. Direktur Tanaman Tahunan Kementerian Pertanian Rismansyah Danasaputra mengatakan untuk kebun kelapa sawit rakyat, saat ini tingkat produktivitasnya sekitar 15 ton per hektare (ha) per tahun. Sedangkan untuk perkebunan besar milik PTPN dan swasta rata-rata sekitar 20 ton - 25 ton tandan buah segar (TBS) per ha per tahun dengan tingkat rendemen minyak kelapa sawit rata-rata 21% - 23%.

Berdasarkan data statistik perkebunan Kementan, tahun 2010 lalu lahan kelapa sawit yang perlu diremajakan sekitar 91.281 ha. Rinciannya, sebanyak 13.651 ha perkebunan besar milik negara (PBN), 46.959 ha perkebunan milik swasta (PBS) dan 30.671 ha perkebunan milik rakyat (PR). Dari jumlah itu, areal perkebunan milik swasta dan perkebunan negara telah diremajakan sekitar 2.424 ha atau sekitar 4% dari luas lahan yang harus diremajakan.6

5

http://www.kontan.co.id/index.php/bisnis/news/36357/Stok-CPO-Dunia-Tak Mampu-Penuhi-

Permintaan (4 Juni 2010) 6

http://industri.kontan.co.id/v2/read/Industri/64727/Genjot-produktivitas

(24)

Tahun Produksi (ton) Kenaikan (ton) Luas lahan (ha) Kenaikan (ha) tandan buah segar (TBS) 10 tahun terakhir menurut Ditjenbun yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan Luas Areal Sawit dan Produksi TBS

sumber: Ditjenbun, 2010

Berdasarkan data di atas, dibutuhkan sekitar 591.897 ha lahan setiap tahunnya. Jumlah tersebut akan terus meningkat seiring permintaan minyak kelapa sawit dunia yang semakin tinggi. Tentunya potensi akan adanya konversi hutan menjadi sawit akan lebih besar seiring dengan meningkatnya permintaan minyak dunia yang memacu para pengusaha sawit untuk meningkatkan produksinya.

Penanaman kembali merupakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Tanaman yang tidak produktif berarti produktivitas buah < 15 ton/ha/tahun. Hal ini tidak hanya disebabkan faktor umur tanaman yang sudah tua, melainkan faktor jalan, penyakit, dan pola tanam yang tidak sesuai dengan standar. Oleh karena itu, setelah dilakukan replanting diharapkan dapat diperoleh hasil buah yang optimal (>25 ton/ha/tahun), dan dapat menghemat biaya karena kondisi tanaman dan areal yang sudah memenuhi standar.

(25)

Asumsi Nilai Satuan

Peningkatan permintaan minyak/tahun 1.284.439 ton minyak kelapa sawit

Produksi buah yang harus tersedia (rendemen 20%) 6.422.197 ton buah (TBS)

Kondisi Rata-rata produksi buah (ton/ha/tahun) Luas lahan (ha)

"A" tanpa penanaman kembali 15 428.146 penanaman kembali dapat memenuhi permintaan minyak sawit dengan luas lahan

sebesar 428.146 ha. Hal ini berbeda dengan kondisi “B” dengan penanaman

kembali yang cukup dengan 256.888 ha untuk memenuhi permintaan tersebut. Jadi, seharusnya dengan luas 256.888 sudah cukup memenuhi permintaan pasar tanpa memerlukan ekspansi lahan sebesar 171.258 ha.

2.5 Alat Berat

Untuk keperluan waktu, cara mekanis dengan menggunakan bantuan alat berat dinilai lebih efektif dan efisien. Hal tersebut jika dibandingkan dengan cara kimia yang membutuhkan waktu 1-3 bulan untuk tanaman mati dengan sendirinya setelah disuntikkan herbisida aktif. (Nyoto, 2007)

Alasan pemanfaatan alat berat (AED Department PT. UT, 2007) adalah : 1. Alat-alat berat digunakan untuk pekerjaan berskala besar dengan waktu

penyelesaian yang terbatas.

2. Alat-alat berat digunakan untuk pekerjaan berskala besar yang tidak memungkinkan hanya menggunakan tenaga manusia.

3. Karena alasan efisiensi, keterbatasan tenaga kerja, keamanan dan faktor-faktor ekonomi lainnya.

(26)

Konstruksi bagian atas dari excavator dapat berputar 360 derajat, sehingga memungkinkan alat ini bekerja ditempat yang relatif sempit sekalipun.

Sedangkan Bulldozer adalah traktor beroda rantai, serba guna dan memiliki kemampuan traksi yang besar. Digunakan untuk bermacam-macam pekerjaan, seperti menggali, mendorong, menggusur, mengurug dan sebagainya. Efisien untuk kondisi medan kerja yang berat sekalipun, seperti daerah berbukit, berbatu, hutan dan sebagainya. Mampu beroperasi pada tanah kering hingga lembab. Pada kondisi tanah yang sangat lunak (liat berlumpur), dapat dipergunakan Swamp Bulldozer. Jarak pemindahan tanah dengan menggunakan

bulldozer masih efisien sampai sejauh 100 meter. Contoh gambar excavator dan

bulldozer tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2 Excavator dan Bulldozer

2.6 Analisis Proyek

Menurut Soeharto (1995) kegiatan proyek dapat diartikan sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu dan dimaksudkan untuk melaksanakan tugas yang sasarannya telah digariskan dengan jelas.

Tujuan analisis proyek menurut Gray et al. (1987) adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui tingkat keuntungan yang dapat dicapai melalui investasi dalam

suatu proyek.

2. Mengindari pemborosan sumber-sumber yaitu dengan menghindari pelaksanaan proyek yang tidak menguntungkan.

3. Mengadakan penilaian terhadap kesempatan investasi yang ada sehingga kita dapat memilih alternatif proyek yang paling menguntungkan.

(27)

Keputusan untuk melakukan investasi yang menyangkut sejumlah besar dana dengan harapan mendapatkan keuntungan bertahun-tahun dalam jangka panjang, seringkali berdampak besar bagi kelangsungan suatu perusahaan. Oleh karena itu sebelum diambil keputusan jadi tidaknya suatu investasi salah satu syarat terpenting adalah mengkaji aspek finansial dan ekonomi. Dasar dan tujuan analisis aspek finansial dibedakan dari aspek sosial-ekonomi. Analisis finansial berkepentingan untuk meningkatkan kekayaan perusahaan yang diukur dengan naiknya nilai saham. Sedangkan aspek ekonomi mengkaji manfaat dan biaya bagi masyarakat secara menyeluruh.

Dalam proses mengkaji kelayakan proyek atau investasi dari aspek finansial, pendekatan konvensional yang dilakukan adalah dengan menganalisis perkiraan aliran kas keluar dan masuk selama umur proyek atau investasi. Yaitu menguji dengan memakai kriteria seleksi. Aliran kas terbentuk dari perkiraan biaya pertama, modal kerja, biaya operasi, biaya produksi, dan revenue.

Sistematika analisis aspek finansial menurut Soeharto (1995) adalah sebagai berikut:

1. Menentukan parameter dasar

Parameter dasar memberikan ketentuan, antara lain mengenai kapasitas produksi, teknologi yang dipakai, pilihan peralatan utama, fasilitas pendukung, jumlah produksi, pangsa pasar, proyeksi harga produk, dan lain-lain.

2. Membuat perkiraan biaya investasi

Dikenal tiga komponen utama biaya investasi, yaitu biaya pertama atau biaya pembangunan, modal kerja, dan biaya operasi/produksi.

3. Proyeksi pendapatan

Perkiraan atau proyeksi pendapatan adalah perkiraan dana yang masuk sebagai hasil penjualan produksi dari unit usaha yang bersangkutan.

4. Membuat model

(28)

5. Kriteria penilaian

Kriteria penilaian didahului oleh konsep equivalent yang mencoba memberikan bobot kuantitatif faktor waktu terhadap nilai uang seperti bunga dan rendemen (rate of return). Ini selanjutnya dipakai sebagai kaidah pokok dalam perhitungan dan analisis masalah finansial dan ekonomi. Kriteria penilaian merupakan alat bantu bagi manajemen untuk membandingkan dan memilih alternatif investasi yang tersedia. Terdapat bermacam-macam kriteria penilaian yang dianggap baku diantaranya memperhitungkan konsep equivalent

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan dari Agustus sampai dengan November 2010. Penelitian dimulai dengan pembuatan proposal penelitian. Kemudian, kegiatan pengambilan data dan pengamatan di lapangan dilakukan di Perkebunan Sawit PT. X di Mamuju Utara Sulawesi Barat selama kurang lebih 1 bulan dari September sampai dengan Oktober 2010. Selanjutnya data diolah dan dianalisis lalu skripsi disusun.

3.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu stopwatch, kamera, meteran, dan kompas. Sedangkan alat berat (mekanis) yang digunakan adalah

excavator kapasitas 20 ton.

3.3 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer merupakan hasil kegiatan pengamatan dilapangan yaitu : Metode kerja

Produktivitas alat berat

Biaya tetap (mesin, bangunan)

Biaya variabel (bahan bakar, upah, listrik, perawatan alat berat) Struktur organisasi

Sarana dan prasarana

Jarak basecamp dengan lokasi

Data sekunder merupakan data dari sumber lain yaitu : Kondisi geografis lokasi penelitian

(30)

3.4 Metode Pengolahan Data

3.4.1 Analisis Kelayakan Finansial

Analisis Discounted Cash Flow (DCF)

Menurut Soeharto (1995), bentuk penyajian DCF adalah sebagai berikut:

1. Net Present Value (NPV)

NPV didasarkan pada konsep mendiskonto seluruh aliran kas ke nilai sekarang. Dengan mendiskonto semua aliran kas masuk dan keluar selama umur proyek (investasi) ke nilai sekarang kemudian menghitung angka netto, maka akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama, yaitu harga (pasar) saat ini.

Rumus NPV sebagai berikut:

Keterangan rumus:

(C)t = aliran kas masuk tahun ke-t

(Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t

n = umur unit usaha hasil investasi

i = arus pengembalian (rate of return)

t = waktu

Indikasi:

NPV = positif, usulan proyek dapat diterima, makin tinggi angka NPVmakin baik. NPV = negatif, usulan proyek ditolak.

NPV = 0, berarti netral

2. Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah arus pengembalian yang menghasilkan NPV aliran kas masuk = NPV aliran kas keluar. Analisis dilakukan dengan menentukan terlebih dulu besar arus pengembalian (diskonto) (i), kemudian dihitung nilai sekarang neto (PV) dari aliran kas keluar dan masuk. Selanjutnya ditentukan NPV=0, kemudian dicari berapa besar arus pengembalian (diskonto) (i) agar hal tersebut terjadi.

n (C)t n (Co)t

NPV = ∑ - ∑

(31)

Rumus IRR sebagai berikut:

Keterangan rumus:

(C)t = aliran kas masuk tahun ke-t

(Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t

n = umur unit usaha hasil investasi

i = arus pengembalian (rate of return)

t = waktu

Indikasi:

IRR > arus pengembalian (i) yang diinginkan, proyek diterima IRR < arus pengembalian (i) yang diinginkan, proyek ditolak

3. Benefit Cost Ratio (BCR)

(32)

Rumus PP sebagai berikut:

Proyek dengan periode pengembalian lebih cepat akan lebih disukai

Di dalam perhitungan indikator proyek, digunakan 3 (tiga) harga per jam yang berbeda-beda yaitu Rp. 200.000 per jam, Rp. 225.000 per jam, dan Rp. 250.000 per jam. Kisaran harga tersebut diperoleh dari harga pasar di lokasi kerja yang bersumber dari hasil wawancara di lapangan. Berikut kisaran harga yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kisaran Harga

sumber: hasil wawancara di lapangan

Selanjutnya ditentukan kondisi mana yang layak berdasarkan nilai NPV, IRR, BCR, dan PP.

3.4.2 Analisis Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali dengan Deforestasi

Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan data sekunder dari lapangan (hasil wawancara) maupun pustaka dari pihak yang terkait. Analisis ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 3.

Kondisi Harga per jam

A Rp. 200.000

B Rp. 225.000

C Rp. 250.000

Persentase ekspansi areal kelapa sawit di Indonesia 5 tahun terakhir

Perkembangan luas areal kelapa sawit di Mamuju Utara

Ekspansi Areal Kelapa Sawit di Mamuju Utara tanpa kegiatan penanaman kembali

n-1 1 PP = (n-1) + Cf - ∑ An

(33)

Gambar 3 Analisis Deskriptif Hubungan Antara Kegiatan Penanaman Kembali dengan Deforestasi.

(34)

KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Sulawesi Barat

Sulawesi Barat merupakan provinsi pemekaran Sulawesi Selatan yang terbentuk tahun 2004 berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Secara geografis

terletak di antara 0°12’ - 3°38’ Lintang Selatan (LS) dan 118°43’ 15’’ - 119° 54’

3’’ Bujur Timur (BT). Luas wilayah daratan Provinsi Sulawesi Barat adalah

16.937,16 km2 dengan luas wilayah laut 7.668,84 km2 dan terbagi ke dalam 5 kabupaten yaitu Polewali Mandar, Majene, Mamuju, Mamuju Utara, dan Kabupaten Mamasa. Batas Provinsi Sulawesi Barat di sebelah Utara adalah Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah Timur berbatasan Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Teluk Mandar, dan sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar.

Gb… Peta Sulawesi Barat

sumber: Dephut, 2009

Gambar 4 Peta Provinsi Sulawesi Barat

(35)

Bulan

4.2.1 Letak Geografis

Menurut BPS Mamuju Utara (2009), Kabupaten Mamuju Utara yang beribukota di Pasangkayu terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Barat atau

pada bagian barat dari Pulau Sulawesi. Secara geografis terletak pada posisi 0º 40’

10” – 1º 50’ 12” Lintang Selatan (LS) 119º 25’ 26” – 119º 50’ 20” Bujur Timur

(BT). Kabupaten Mamuju Utara mempunyai batas wilayah: Utara : Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah; Timur : Kabupaten Donggala;

Selatan : Kabupaten Mamuju; Barat : Selat Makassar.

Kabupaten Mamuju Utara memiliki luas wilayah 304.375 ha. Secara administrasi pemerintahan terbagi atas 12 kecamatan yang terdiri dari 63 desa. Kecamatan Baras merupakan kecamatan terluas dengan luas 43.343 ha (14,24 %) dari seluruh luas wilayah Kabupaten Mamuju Utara, sedangkan kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan Sarjo dengan luas 3.011 ha (0,69 %).

4.2.2 Curah Hujan

Curah Hujan di Mamuju Utara berkisar antara 124 mm3 hingga 703 mm3. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli sedangkan terendah di Januari.

sumber: BPS Mamuju Utara (2009)

Gambar 5 Grafik Curah Hujan Kabupaten Mamuju Utara

(36)

Penggunaan lahan di Mamuju Utara terdiri tanaman pangan (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai) yang dominasi oleh tanaman padi. Hortikultura berupa tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan yang didominasi oleh tomat dan jeruk. Perkebunan (kelapa sawit, kelapa dalam, kakao, dan lain-lain) yang didominasi oleh perkebunan kelapa sawit. Dan, sebagian besar wilayah Mamuju Utara merupakan hutan yaitu seluas 208.258,25 ha. Luas kawasan hutan di Mamuju Utara menurut fungsinya bersumber dari Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup Kabupaten Mamuju Utara dalam BPS Mamuju Utara (2009) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Luas Kawasan Hutan di Mamuju Utara Menurut Fungsinya

sumber: BPS Mamuju Utara (2009)

4.2.4 Kependudukan

Berdasarkan BPS Mamuju Utara (2009), berdasarkan data yang dikumpulkan dari tiap kantor desa di Mamuju Utara, penduduk Kabupaten Mamuju Utara pada tahun 2008 berjumlah 143.163 jiwa. Angka ini menunjukkan adanya pertumbuhan penduduk di Mamuju Utara sebesar 9,29 % dibandingkan dengan tahun 2007 berdasarkan sumber yang sama. Jumlah penduduk Mamuju Utara paling besar berada di Kecamatan Pasangkayu yaitu sebesar 18.394 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar sebesar 82,56 jiwa per km2

4.2.5 Indikator Ekonomi

4.2.5.1 Pertumbuhan Ekonomi

Jenis Hutan Luas (ha)

Hutan Lindung 95.444,36

Hutan Produksi Konversi 32.009,33

Hutan Produksi Biasa 1.691,36

Hutan Produksi Terbatas 76.973,70

Hutan Suaka Alam 2.139,90

(37)

Pertumbuhan ekonomi Mamuju Utara sebesar 7,57 % atau peringkat ketiga di Propinsi Sulawesi Barat. Berikut perbandingan pertumbuhan ekonomi antar kabupaten di Sulawesi Barat yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Pertumbuhan Ekonomi Antar Kabupaten di Sulawesi Barat

sumber: BPS Mamuju Utara (2009)

4.2.5.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku Mamju Utara pada tahun 2008 sebesar Rp. 1.002.083.000.000 atau peringkat ketiga di Propinsi Sulawesi Barat. Berikut perbandingan produk domestik bruto antar kabupaten di Sulawesi Barat yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Produk Domestik Regional Bruto Antar Kabupaten di Sulawesi Barat

sumber: BPS Mamuju Utara (2009)

Secara detail, PDRB Mamuju Utara paling besar disumbangkan dari sektor pertanian, yaitu sebesar 44,64%. Hal ini menunjukkan bahwa Mamuju Utara pada saat ini masih bertumpu pada sektor pertanian.

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penanaman Kembali oleh Perkebunan Sawit PT. X

Dalam rangka meningkatkan produksi minyak kelapa sawit akibat permintaan Crude Palm Oil (CPO) dunia yang semakin tinggi, PT. X berusaha melakukan inovasi untuk meningkatkan produksinya. PT. X melakukan intensifikasi dengan tidak melakukan perluasan wilayah kebun sawit yang diperoleh dari lahan lain khususnya lahan hutan. Kegiatan yang dilakukan adalah penanaman kembali.

Penanaman kembali merupakan kegiatan peremajaan tanaman sawit yang produktivitasnya telah menurun yang dilakukan pada lahan yang sama sehingga tidak merambah kepada lahan lain. Hal tersebut berbeda dengan kegiatan ekspansi lahan yang biasanya dilakukan pada kawasan hutan. Konversi hutan untuk perkebunan sawit dinilai dapat menimbulkan kerusakan lingkungan seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, ketersediaan sumberdaya air dan erosi tanah.

Berdasarkan wawancara kepada pihak kebun7, beberapa alasan perusahaan kebun tersebut melakukan kegiatan penanaman kembali antara lain:

1. Izin

Meskipun di dalam perkebunan sendiri terdapat areal hutan, namun bagi pihak kebun untuk melakukan perluasan kebun dengan mengkonversi lahan konservasi, diperlukan perizinan yang harus diperoleh dari berbagai pihak terkait. Kemungkinan akan ada pihak-pihak yang tidak menyetujui perizinan peralihan lahan karena lahan tersebut merupakan lahan konservasi.

7

(39)

Gambar 6 Lahan konservasi yang terdapat di dalam areal kebun 2. Keterbatasan Lahan

Untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan, konversi hutan untuk perkebunan sawit telah banyak dilakukan. Namun untuk wilayah Indonesia Bagian Timur, untuk didirikannya atau perluasan wilayah perkebunan mengalami kendala dalam hal aksesibilitas yang rendah karena kondisi alam berupa topografi yang relatif berbukit-bukit.

3. Gejolak Sosial

Telah banyak organisasi-organisasi lingkungan hidup menyuarakan aspirasi mengenai dampak dari kegiatan konversi hutan untuk perkebunan sawit yang mengakibatkan deforestasi. Salah satu dampak yang paling dirasakan saat ini yang menyangkut kehidupan masyarakat luas adalah mengenai perubahan iklim akibat luas hutan yang semakin menurun. Maka dari itu, untuk meminimalisir gejolak sosial baik dari organisasi-organisasi lingkungan hidup serta masyarakat setempat, pihak kebun melakukan kegiatan penanaman kembali ini dimana juga dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan.

4. Investasi besar

Untuk melakukan konversi hutan menjadi kebun sawit, akan dilakukan

Land Clearing atau pembukaan lahan baru. Pembukaan lahan adalah kegiatan

(40)

pembakaran, misalnya seperti secara kimiawi dengan mematikan pohon yang juga akan merusak lingkungan, juga dapat dilakukan dengan cara mekanik. Cara mekanik membutuhkan investasi alat berat yang juga terbilang mahal.

Berikut ini perbandingan antara penanaman kembali dengan pengembangan kebun sawit secara konvensional (land clearing) yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Perbandingan antara Penanaman Kembali dengan Pengembangan Sawit Secara Konvensional

sumber: hasil wawancara, *Pahan (2008)

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa penanaman kembali lebih menguntungkan berdasarkan aspek finansial, sosial, dan lingkungan. Dari aspek finansial, penanaman kembali membutuhkan biaya sebesar Rp. 1.896.000.000 untuk luas 400 ha sedangkan konvensional Rp. 2.080.312.141 (Pahan, 2008) dengan kata lain lebih hemat sebesar 10%. Dari aspek sosial penanaman kembali lebih kecil kemungkinan adanya gangguan sosial seperti pencurian dan perselisihan lahan masyarakat sekitar. Dari aspek lingkungan penanaman kembali tidak ada proses pembakaran dan konversi hutan dapat diminimalisir karena dilakukan pada lahan yang sudah ada, sedangkan pengembangan sawit secara konvensional berpotensi dilakukan metode pembakaran dan konversi hutan.

5.2 Proyek Kegiatan Penanaman Kembali

Penanaman kembali dilakukan di dalam areal kebun sawit yang sudah berdiri. Hal ini berbeda dengan land clearing atau pembukaan lahan dimana berlokasi di areal baru (misal konversi hutan ataupun lahan lainnya). Berikut flow

(41)

Gambar 7 Flow Chart Kegiatan Penanaman Kembali

Proyek kegiatan penanaman kembali dalam penelitian ini hanya dilakukan dari proses penebangan hingga perumpukan. Hal tersebut dikarenakan investasi yang terlalu besar untuk pembelian sebuah alat berat. Sedangkan kegiatan re-design infrastruktur (membuat drainase dan terasering) dan penanaman, perusahaan kebun melakukannya sendiri dengan menggunakan alat yang sudah ada (bulldozer) dan secara manual (tenaga manusia). Oleh karena itu ruang lingkup penelitian ini terdiri dari kegiatan penumbangan hingga perumpukan, yaitu sebagai berikut :

1. Penumbangan

Penumbangan merupakan kegiatan melepaskan perakaran sawit dari permukaan tanah. Sawit merupakan tanaman dengan akar serabut sehingga cukup mudah ditumbangkan dengan alat berat. Alat dan mesin yang digunakan yaitu

excavator dengan kapasitas 20 ton dilengkapi dengan alat chipping bucket.

Berikut kegiatan penumbangan yang disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Kegiatan Penumbangan

2. Pencacahan

Pencacahan merupakan kegiatan membagi batang sawit menjadi beberapa bongkahan batang sawit dengan ketebalan sekitar 15-20 cm. Tujuan dari pencacahan ini adalah mempermudah serta mempercepat proses pembusukan (dekomposisi) sehingga biomassa sawit dapat dimanfaatkan kembali menjadi pupuk bagi tanaman baru. Selain itu, pencacahan juga bermanfaat untuk mencegah datangnya hama seperti kumbang, dimana kumbang akan cepat menyerang pada batang yang ditumbangkan dalam kondisi utuh. Proses

(42)

pencacahan ini cukup mudah dilakukan karena kondisi batang yang masih segar dan basah. Alat dan mesin yang digunakan yaitu excavator dengan kapasitas 20 ton dilengkapi dengan alat chipping bucket. Berikut kegiatan pencacahan yang disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Kegiatan Pencacahan

3. Perumpukan

Perumpukan merupakan kegiatan untuk mendistribusikan hasil cacahan sehingga dapat merata dan teratur. Tujuan dari perumpukan ini adalah memastikan bahwa hasil dekomposisi biomassa sawit dapat dimanfaatkan secara merata. Alat dan mesin yang digunakan yaitu excavator dengan kapasitas 20 ton dilengkapi dengan alat chipping bucket. Berikut kegiatan perumpukan yang disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Kegiatan Perumpukan

(43)

Untuk waktu dengan cara mekanis, diperoleh untuk satu alat excavator 20 ton mampu mencapai produktivitas 1 ha per hari dengan jam kerja 14 ha.

5.3 Usaha Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali

Umumnya karena alat berat merupakan investasi yang mahal, perusahaan akan memilih untuk menggunakan jasa kontraktor. Adapun bentuk kerjasama antara kontraktor dengan perusahaan kebun dapat berupa kontrak luasan (ha), kontrak volume (pokok sawit), dan kontrak jam. Untuk kontrak luasan dan volume akan sangat bergantung pada pengalaman kontraktor, karena mereka akan dibayar berdasarkan produktivitas yang diperoleh, sedangkan untuk kontrak jam merupakan pilihan bagi kegiatan yang tergolong baru, yaitu untuk mempelajari terlebih dahulu proses kerja. Karena penanaman kembali dengan cara mekanis masih tergolong baru, maka kontrak jam menjadi pilihan dalam penelitian ini.

Kontraktor dan perusahaan kebun yang telah bersepakat melakukan kerjasama memiliki kesepakatan kerja yang tertuang dalam perjanjian kerjasama. Tabel 8 berikut ini menyajikan rincian kerjasama yang berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Hak dan kewajiban tersebut diperoleh dari hasil wawancara di lapangan.

Tabel 8 Kerjasama Antara Kontraktor dan Perusahaan Kebun

5.4 Bisnis Usaha Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali

(44)

Gambar 11 Proses Bisnis Usaha Kegiatan Penanaman Kembali

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa waktu efektif pekerjaan adalah dari Januari hingga September. Hal ini karena pada akhir tahun (Oktober hingga Desember) akan dilakukan penanaman. Kegiatan penanaman kembali dilakukan dalam dua shift yaitu waktu kerja maksimal dalam satu shift adalah sepuluh jam, dan rata-rata tujuh jam, jadi dalam satu hari diperoleh jam kerja 14 jam.

5.5 Analisis Kelayakan Finansial Kontraktor Proyek Kegiatan Penanaman Kembali

Analisis finansial menguraikan 3 hal, yaitu pendapatan (inflow), pengeluaran (outflow), dan cash flow. Berikut hasil pengamatan di lokasi kerja :

5.5.1 Pendapatan (Inflow)

Pendapatan berdasarkan dari jumlah jam kerja yang dihasilkan per bulan. Dalam satu hari, rata-rata jam kerja adalah 14 jam, sehingga dengan jumlah hari kerja 25 hari per bulan akan dihasilkan 350 jam kerja per bulan. Beberapa faktor yang mempengaruhi jam kerja adalah kondisi alat berat, cuaca, dan ketersediaan bahan bakar.

(45)

oleh kontraktor penanaman kembali dengan investasi 2 unit excavator 2 ton yang disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Pendapatan Per Tahun Berdasarkan Harga Per Jam Unit Excavator

5.5.2 Pengeluaran (Outflow)

5.5.2.1 Biaya Investasi, Bunga, dan Depresiasi

Biaya investasi merupakan biaya awal yang harus dikeluarkan untuk memulai usaha, diantaranya adalah pembelian alat berat, peralatan services, alat kantor, peralatan komunikasi, dan fasilitas tempat tinggal. Biaya investasi tersebut diperoleh berdasarkan wawancara oleh pihak kontraktor di lapangan. Berikut persentase biaya investasi yang harus dikeluarkan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Biaya Investasi

(46)

Berkaitan dengan investasi, akan diperhitungkan juga biaya bunga dan biaya depresiasi. Biaya bunga dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Biaya Bunga

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa biaya bunga tahun pertama sebesar Rp. 266.576.400 dan selanjutnya menurun untuk tahun kedua (Rp. 177.717.600) tahun ketiga (Rp. 88.858.800). Hal ini dikarenakan suku bunga yang dipakai adalah suku bunga efektif sebesar 15% per tahun dengan jangka waktu angsuran selama 3 tahun.

Untuk biaya depresiasi, dipengaruhi oleh umur pakai alat berat dan resale

value pada saat umur ekonomis tercapai. Umur pakai alat adalah 5 (lima) tahun

dan resale value sebesar 30%. Sedangkan untuk investasi lain seperti alat kantor,

fasilitas tempat tinggal, dan alat komunikasi, umur pakainya adalah lima tahun dengan nilai resale value adalah Rp. 0. Berikut besarnya depresiasi yang disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Biaya Depresiasi

5.5.2.2 Biaya Operasional

(47)

Tabel 12 Biaya Operasional

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa biaya pemeliharaan alat adalah komponen biaya operasional terbesar yaitu Rp. 330.000.000 atau 55%. Besarnya biaya tersebut karena kondisi alat sangat menentukan kelancaran operasional di lapangan, sehingga kondisi alat yang baik akan menghasilkan pendapatan sesuai dengan target yang diharapkan. Gaji karyawan juga menjadi komponen biaya operasional yang dominan. Besarnya biaya gaji sebagian besar dari gaji operator yang di bayar per jam, yaitu sebesar Rp. 15.000.

Biaya operasional setiap tahunnya akan mengalami peningkatan akibat dari kenaikan harga (inflasi). Berdasarkan data dari Bank Indonesia5, inflasi rata-rata dari Januari 2009 hingga Desember 2010 adalah sebesar 5,01%. Oleh karena itu di dalam penelitian ini akan digunakan asumsi nilai inflasi sebesar 5% per tahun.

Untuk asuransi merupakan biaya yang harus dikeluarkan sebagai pengaman apabila terjadi kecelakaan terhadap alat berat maupun pekerja. Untuk pekerja biaya asuransi telah dimasukkan ke dalam unsur gaji, dengan besar 5% dari gaji pokok. Sedangkan untuk alat berat, biaya asuransi adalah sebesar 1 % per tahun dari harga beli. Maka biaya asuransi untuk 2 unit alat berat adalah Rp 22.000.000.

5.5.3 Indikator Proyek

Indikator proyek (NPV, IRR, BCR, dan PP) merupakan pertimbangan untuk menentukan apakah suatu proyek dinyatakan layak atau tidak layak. Pada Tabel 13 akan disajikan indikator proyek yang telah dihitung berdasarkan pengamatan di lapangan.

5

(48)

Tabel 13 Indikator Proyek

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kondisi A (harga per jam Rp. 200.000) memiliki nilai NPV terkecil, yaitu sebesar Rp. 18.736.197. Sedangkan kondisi C (harga per jam Rp. 250.000) memiliki nilai NPV terbesar, yaitu sebesar Rp. 760.493.657. Jadi, berdasarkan nilai NPV, kondisi A, B, dan C memenuhi kriteria yang layak yaitu memiliki nilai yang positif. Berikut grafik nilai NPV yang disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13 Nilai Net Present Value pada Tiap Kondisi.

(49)

Suku bunga bank

(15%)

Gambar 14 Nilai Internal Rate of Return pada Tiap Kondisi.

Untuk nilai BCR, kondisi A memiliki nilai BCR yang terendah, yaitu sebesar 1,01, sedangkan yang tertinggi adalah kondisi C sebesar 1,34. Dari ketiga kondisi (A,B, dan C), semuanya memenuhi kriteria yang layak, yaitu nilai BCR lebih besar dari satu. Dan untuk nilai payback period, semakin cepat maka semakin baik untuk suatu proyek. Kondisi C memiliki payback period tercepat yaitu 4,25 tahun, sedangkan kondisi A memiliki payback period terlama yaitu 5,93 tahun. Pada Gambar 15 dan 16 dapat dilihat dengan grafik nilai BCR dan

Payback Period.

Gambar 15 Nilai Benefit Cost Ratio pada Tiap Kondisi.

(50)

Jadi, berdasarkan nilai NPV, IRR, BCR, dan payback period, hanya kondisi B (harga per jam Rp. 225.000) dan kondisi C (harga per jam Rp. 250.000) yang dinyatakan layak. Sedangkan kondisi A (harga per jam Rp. 200.000) dinyatakan tidak layak karena nilai IRR kurang atau sama dengan suku bunga bank, yaitu sebesar15%.

Dengan mengetahui kondisi yang layak secara finansial, maka kontraktor akan mengambil kebijakan harga sekitar Rp. 225.000 per jam – Rp. 250.000 per jam. Mengenai apakah harga Rp. 225.000 per jam atau Rp. 250.000 per jam, akan ditentukan dalam negosiasi antara kontraktor dengan pemilik kebun.

5.6 Analisis Dampak Kegiatan Penanaman Kembali terhadap Deforestasi

Deforestasi merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori non hutan. Yang termasuk kategori non hutan adalah semak belukar, savana/padang rumput, perkebunan, pertanian lahan kering campur semak, transmigrasi, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, permukiman, pelabuhan udara/laut (Dephut, 2008). Berdasarkan uraian tersebut dikatakan bahwa perkebunan termasuk ke dalam kategori non-hutan.

Menurut Ditjenbun (2010) diperkirakan tahun 2010 luas kebun sawit di Indonesia sebesar 7,8 juta ha. Adanya pembukaan perkebunan ini berpotensi meningkatkan debit sungai yang akan menjadi bencana banjir. Selain itu juga menyebabkan erosi serta terancam punahnya satwa langka karena habitatnya di konversi menjadi sawit.

Untuk menganalisis pengaruh kegiatan penanaman kembali terhadap deforestasi di Sulawesi Barat khususnya di Mamuju Utara dilakukan secara deskriptif. Menurut Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup dalam

(51)

Kecamatan

* Asumsi perkiraan pertambahan luas sebesar 8.7% per tahun

Luas Sawit (Ha)

Gambar 17 Perkembangan Areal Kelapa Sawit di Indonesia

Dari grafik perkembangan di atas, diketahui bahwa dari tahun 2005 hingga 2010 areal sawit melakukan perluasan dari 5.453.817 ha menjadi 7.824.623 ha. Dari jumlah tersebut maka setiap tahunnya, dari tahun 2005-2010 telah terjadi ekspansi sawit sebesar 8.7%.

Untuk wilayah Mamuju Utara, berdasarkan data Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup dalam BPS Mamuju Utara (2007) memiliki luas kelapa sawit seluas 79,271 ha. Sehingga dapat diperoleh perkiraan luas areal kelapa sawit hingga tahun 2012 yang tersaji pada Tabel 14.

Tabel 14 Luas Areal Kelapa Sawit di Mamuju Utara Tahun 2007-2012

(52)

data kebun PT. X, akan dilakukan penanaman kembali sebesar 5% per tahun tanpa melakukan perluasan areal atau pembukaan kebun baru. Oleh karena itu berikut dampak adanya penanaman kembali terhadap ekspansi lahan dengan analisis secara deskriptif yang disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Dampak Adanya Kegiatan Penanaman Kembali Terhadap Ekspansi Lahan

Keterangan: Diperkirakan luas kebun sawit meningkat 8,7% per tahun tanpa penanaman kembali dan 3,7% jika ada penanaman kembali. Ekspansi diperoleh dari konversi lahan non hutan.

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa pada tahun 2012 apabila tidak dilakukan penanaman kembali diperkirakan luas kebun sawit di Mamuju Utara menjadi 120.299 ha. Ekspansi lahan yang terjadi sebesar 18.486 ha. Kemudian jika terdapat penanaman kembali, maka perkiraan ekspansi lahan hanya sebesar 7,674 ha. Semakin besar luasan areal penanaman kembali, maka semakin sedikit ekspansi lahan yang akan berdampak berkurangnya potensi untuk mengkonversi lahan hutan menjadi kebun sawit.

Jadi, dengan adanya penanaman kembali diharapkan dapat seminimal mungkin terjadinya ekspansi lahan, dan jika terjadi ekspansi, diharapkan lahannya berasal dari konversi areal non hutan sehingga tidak ada deforestasi.

No. Uraian Luas Sawit

Kembali 101.813 110.671 120.299 18.486

2 Penanaman

(53)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Perkebunan Sawit PT. X melakukan intensifikasi dengan tidak melakukan perluasan wilayah kebun sawit yang diperoleh dari lahan lain khususnya lahan hutan (konversi hutan) yaitu dengan kegiatan penanaman kembali pada lahan yang sama. Penanaman kembali lebih menguntungkan dari aspek finansial, sosial, dan lingkungan dibandingkan dengan pengembangan secara konvensional (konversi hutan).

2. Berdasarkan analisis kelayakan finansial kontraktor proyek penanaman kembali, diketahui bahwa harga per jam Rp. 225.000 dan Rp, 250.000 adalah layak, sedangkan harga per jam Rp. 200.000 tidak layak. Hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pemilik kebun untuk melakukan kegiatan penanaman kembali dengan harga sewa alat berat per jam mulai dari Rp.200.000 hingga Rp.250.000.

3. Penanaman kembali sebesar 5% akan mengurangi ekspansi lahan sawit dari sekitar 8,7% per tahun menjadi 3,7% per tahun. Untuk wilayah Mamuju Utara, dengan adanya penanaman kembali diperkirakan akan terjadi ekspansi lahan sebesar 7.674 ha dari tahun 2010-2012, namun jika tidak ada penanaman kembali diperkirakan akan ada ekspansi lahan sebesar 18.486 ha.

6.2 Saran

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Application Engineer Department UT, 2007. Manajemen Alat Berat. Jakarta.

BPS Mamuju Utara. 2009. Kabupaten Mamuju Utara dalam Angka 2007/2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju Utara. Mamuju Utara.

Budiharto 2009. Penentuan Rujukan dan Skenario Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia [thesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2006. Jakarta: Departemen Kehutanan.

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2006/I13_06.pdf [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2009. Potensi Sumber Daya Hutan Produksi

Sulawesi Barat. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Produksi Kehutanan.

Departemen Kehutanan.

http://www.dephut.go.id/files/potensiSDHP_sulbar.pdf

[Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2010. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia menurut Pengusahaan. Jakarta.

FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia: Bab 3 Deforestasi dan Degradasi Hutan. Bogor , Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch.

http://fwi.or.id/publikasi/buku/PKHI_BAB_3.pdf

Gray C, Simanjuntak P, Sabur LK, Maspaitella PFL. Pengantar Evaluasi Proyek. 1987. PT. Gramedia. Jakarta.

Greenpeace. 2008. Kerusakan Hutan, Perubahan Iklim, dan Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Greenpeace SEA. Jakarta.

http://www.greenpeace.org/seasia/id/Global/seasia/report/2008/10/deforest asi-perubahan-iklim-d.pdf

Kurniawan R. 2010. Laporan Survey Replanting. Laporan Internal PT. Bina Pertiwi. Jakarta.

(55)

Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm 17-23, 107-110, 120-121.

Republik Indonesia. Undang-Undang Kehutanan RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Soeharto, I. 1995. Manajemen Proyek Dari Konseptual Sampai Operasional. Jakarta: Erlangga.

(56)

LAMPIRAN

(57)

Lampiran 1 Perbandingan Antara Biaya Kegiatan Penanaman Kembali dengan

jumlah pokok sawit per hari per ha 10 pokok sawit per jam, jadi butuh 13

(58)

Lampiran 2 Cash Flow Harga Sewa Rp.200.000 per jam

Lampiran 3 Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.200.000 per jam

0 1 2 3 4 5 6

1 Inflow

1. Nilai Penjualan 1.260.000.000 1.260.000.000 1.260.000.000 1.260.000.000 1.260.000.000 Total Inflow 1.260.000.000 1.260.000.000 1.260.000.000 1.260.000.000 1.260.000.000

2 Outflow

1. Biaya Investasi (2.221.470.000)

2. Biaya Operasional

Discounted Factor (15%) 1 0,870 0,756 0,658 0,572 0,497 0,432

Relevan Free Cash Flow After Discounted (2.221.470.000) 494.518.174 393.830.598 308.229.079 237.531.778 520.760.355 285.336.213

1 Nilai Penjualan 1.260.000.000 1.260.000.000 1.260.000.000 1.260.000.000 1.260.000.000

Harga sewa per jam (hour meter) 200.000

Rata-rata Pemakaian per hari (2 shift) 14 jam/unit

Rata-rata hari kerja per bulan 25 hari

Bulan Efektif 9 Bulan

Jumlah unit 2 unit

(59)

Lampiran 4 Cash Flow Harga Sewa Rp.225.000 per jam

Lampiran 5 Rincian Pendapatan (Inflow) Harga Sewa Rp.225.000 per jam

0 1 2 3 4 5 6

1 Inflow

1. Nilai Penjualan 1.417.500.000 1.417.500.000 1.417.500.000 1.417.500.000 1.417.500.000

Total Inflow 1.417.500.000 1.417.500.000 1.417.500.000 1.417.500.000 1.417.500.000

2 Outflow

1. Biaya Investasi (2.221.470.000) 2. Biaya Operasional Discounted Factor (15%) 1 0,870 0,756 0,658 0,572 0,497 0,432 Relevan Free Cash Flow After Discounted (2.221.470.000) 592.995.000 477.195.438 380.720.244 300.567.573 575.574.090 285.336.213

1 Nilai Penjualan 1.417.500.000 1.417.500.000 1.417.500.000 1.417.500.000 1.417.500.000

Harga sewa per jam (hour meter) 225.000 Rata-rata Pemakaian per hari (2 shift) 14 jam/unit Rata-rata hari kerja per bulan 25 hari

Bulan Efektif 9 Bulan

Jumlah unit 2 unit

Gambar

Gambar 1  Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1  Perkembangan Luas Areal Sawit dan Produksi TBS
Gambar 2  Excavator dan Bulldozer
Tabel 3  Kisaran Harga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang paling efektif adalah dengan menggunakan perangkap Persegi dengan ketinggian 10 cm (P1T1) pada pengamatan 7

Fe dapat dihilangkan daeri dalam air dengan melakukan proses oksidasi menjadi Fe(OH)3 yang tidak larut dalam air, kemudian diikuti dengan pengendapan dan

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “ Pendapat Mahasiswa Program Studi PKn Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Atas Buku” adalah hasil karya sendiri

Melimpahnya paku-pakuan epifit dari jenis Lycopodium sp dan Selliguea lima (v.A.v.R) Holt pada tajuk pohon bahkan dijumpai sampai menutupi cabang- cabang yang

Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara infestasi STH dengan perilaku higiene pada murid kelas I sekolah dasar di pesisir Sungai

Jadi dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden menyatakan setuju dan kurang setuju bahwa jasa internet yang dijual pada warnet premiere karawang sebagai alternative pilihan

o Keputusan Bupati Bantaeng Nomor 140/273/V/2015 Tentang Penetapan Hari dan Tanggal Pelaksanaan Pemungutan Suara Pemilihan Kepala Desa Metode E-Voting Di Kabupaten Bantaeng o

Pemungutan suara terhadap setiap mata acara RUPS Luar Biasa dilakukan secara lisan dengan mengangkat tangan untuk memilih dan mencontreng suara abstain atau suara tidak