• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan fenol, komponen fitokimia dan aktivitas antioksidan lamun Cymodocea rotundata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kandungan fenol, komponen fitokimia dan aktivitas antioksidan lamun Cymodocea rotundata"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

SITI ANWARIYAH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Kandungan Fenol, Komponen Fitokimia dan Aktivitas Antioksidan Lamun Cymodocea rotundata adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Siti Anwariyah

(3)

SITI ANWARIYAH. Kandungan Fenol, Komponen Fitokimia dan Aktivitas Antioksidan Lamun Cymodocea rotundata. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan PIPIH SUPTIJAH.

Lamun Cymodocea rotundata merupakan salah satu jenis lamun yang pemanfaatannya belum begitu banyak. Sejauh ini, lamun C. rotundata

dimanfaatkan sebagai pakan penyu hijau dan dugong. Masih terbatasnya data-data ilmiah yang mendukung pemanfaatan jenis lamun ini mendorong perlunya dilakukan penelitian mengenai metabolit sekunder dalam lamun C. rotundata. Metabolit sekunder ini dimungkinkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan sehingga penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengetahui pemanfaatan lamun

C. rotundata di masa mendatang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi proksimat (air, abu, protein, dan lemak), abu tidak larut asam dan kadar serat pangan, serta untuk mengetahui pengaruh perbedaan pelarut terhadap rendemen ekstrak, nilai total fenol, senyawa fitokimia, dan aktivitas antioksidan dalam lamun C. rotundata.

Lamun C. rotundata dalam penelitian ini berasal dari perairan Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. Lamun yang masih segar digunakan dalam pengujian proksimat, abu tak larut asam dan serat pangan. Lamun yang telah dikeringkan diekstrak dengan metode maserasi dalam tiga pelarut berbeda, yaitu metanol (polar), etil asetat (semipolar) dan n-heksana (nonpolar). Pengujian dilakukan terhadap masing-masing ekstrak yang diperoleh meliputi uji total fenol menggunakan reagen Folin-Ciocalteau, uji kualitatif fitokimia, dan aktivitas antioksidan dengan metode diphenylpycrilhydrazil (DPPH).

Komposisi proksimat (%bb) lamun ini meliputi 90,67% air; 2,35% abu; 1,13% protein; 0,79% lemak; dan 5,06% karbohidrat (by difference). Lamun

C. rotundata tidak mengandung abu tak larut asam. Kandungan serat pangan (%bb) yang diperoleh dari lamun ini meliputi insoluble dietary fibre (IDF) sebesar 5,39 g/100 g sampel; soluble dietary fibre (SDF) sebesar 8,93 g/100 g sampel; dan

total dietary fiibre (TDF) sebesar 14,32 g/100 g sampel. Rendemen ekstrak lamun tertinggi terdapat pada ekstrak dengan pelarut metanol (9,76%) diikuti oleh etil asetat (0,57%) dan n-heksana (0,15%). Total fenol tertinggi terdapat pada ekstrak metanol (335,58 mg GAE/1000 g sampel) diikuti oleh etil asetat (37,24 mg GAE/1000 g sampel), dan n-heksana (2,63 mg GAE/1000 g sampel). Ekstrak metanol lamun C. rotundata memiliki 5 senyawa fitokimia, yaitu flavonoid, steroid, triterpenoid, fenol hidrokuinon, dan saponin. Aktivitas antioksidan dalam lamun ini ditunjukkan oleh nilai IC50. Aktivitas antioksidan

tertinggi terdapat pada ekstrak dengan pelarut metanol, diikuti oleh etil asetat dan n-heksana dengan nilai IC50 berturut-turut 203,32 ppm; 357,77 ppm; dan

(4)

SITI ANWARIYAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

ii

Nama : Siti Anwariyah

NRP : C34070054

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Dra. Pipih Suptijah, MBA NIP. 19670922 199203 1 003 NIP. 19531020 198503 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. NIP. 19580511 198503 1 002

(6)

iii

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat, rahmat

dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini

dengan baik.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi

hasil penelitian ini berjudul “Kandungan Fenol, Komponen Fitokimia dan Aktivitas

Antioksidan Lamun Cymodocea rotundata”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu penulis selama penyusunan skripsi ini , terutama kepada:

1 Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen

pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan yang telah

diberikan kepada penulis.

2 Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan

banyak saran.

3 Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi

Hasil Perairan.

4 Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi

Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah banyak membantu penulis

selama proses penelitian.

5 Ir. Sri Andajani, M.Si selaku Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan

Seribu, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengambil

sampel di Pulau Pramuka.

6 Keluarga terutama Bapak, ibu, kakak dan adik yang telah memberikan

semangat, materil dan doa, serta membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

7 Chandra Serisa Rasi Kanya yang telah memberi semangat dan motivasi

kepada penulis selama menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.

8 Ria, Dita, Fipo, dan Nabila atas kerja sama, persahabatan, dan bantuan

(7)

iv Laboratorium.

10 Zia, Ratna dan Elsa (Almh), atas persahabatan yang terjalin dan motivasi

yang selalu diberikan kepada penulis.

11 Anggun, Indri, Kanov, Wari, Hana, Putri, Ici, Ade, Widya, Junda, Depi, dan

Santi, atas motivasi dan keceriaan yang telah diberikan kepada penulis

selama di Aisyah.

12 Teman-teman THP 44 yang telah banyak memberikan informasi, pendapat

dan motivasi sehingga penelitian dan skripsi ini dapat terselesaikan.

13 Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi

ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini

bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2011

Siti Anwariyah

(8)

v

Penulis dilahirkan di Serang, Banten pada 10 Januari

1990. Penulis merupakan putri kedua dari pasangan Marin

dan Sarimah. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di

SD Negeri Drangong I (tahun 1995-2001), selanjutnya

penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2 Serang

(tahun 2001-2004). Pendidikan menengah atas ditempuh

penulis di SMA Negeri 1 Serang (tahun 2004-2007). Pada

tahun 2007, penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI

(Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi

kemahasiswaan seperti Forum for Scientific Studies (FORCES) sebagai anggota

divisi kewirausahaan periode 2007-2008, Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil

Perikanan (HIMASILKAN) sebagai anggota divisi pengembangan sumber daya

manusia periode 2009-2010 dan sebagai sekretaris umum periode 2010-2011, dan

Koperasi Mahasiswa (KOPMA) sebagai anggota entrepreneurship periode

2008-2009. Penulis juga aktif sebagai asisten m.k. Teknologi Industri Tumbuhan Laut

dan Teknologi Pengolahan Hasil Perairan tahun 2010-2011. Selain itu, penulis juga

aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian

Bogor.

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana, penulis melakukan

penelitian yang berjudul “Kandungan Fenol, Komponen Fitokimia dan

(9)

vi

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Lamun Cymodocea rotundata ... 4

2.2 Antioksidan ... 5

2.3 Uji Aktivitas Antioksidan ... 7

2.4 Ekstraksi Bahan Aktif ... 8

2.5 Analisis Fitokimia ... 9

2.5.1 Alkaloid ... 10

2.5.2 Triterpenoid dan steroid ... 10

2.5.3 Flavonoid ... 11

3.3.6 Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH ... 23

3.3.7 Uji fitokimia ... 23

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 24

(10)

vii

4.2 Kandungan Serat Pangan Lamun Cymodocea rotundata ... 29

4.3 Rendemen Ekstrak Lamun Cymodocea rotundata ... 31

4.4 Total Fenol Lamun Cymodocea rotundata ... 32

4.5 Senyawa Fitokimia Lamun Cymodocea rotundata ... 34

4.6 Aktivitas Antioksidan Lamun Cymodocea rotundata ... 38

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(11)

viii

Halaman

1 Komposisi proksimat dan abu tak larut asam lamun C. rotundata .. 26

2 Kandungan serat pangan lamun C. rotundata ... 29

3 Senyawa fitokimia dalam ekstrak lamun C. rotundata pada

berbagai pelarut ... 35

4 Nilai IC50 larutan BHT dan ekstrak lamun C. rotundata ... 38

(12)

ix

Halaman

1 Cymodocea rotundata ... 5

2 Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal bebas 7 3 Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine ... 8

4 Diagram alir penelitian ... 17

5 Hasil rendemen ekstrak lamun C. rotundata ... 31

6 Total fenol ekstrak lamun C. rotundata dalam berbagai pelarut ... 32

(13)

x

Halaman

1 Dokumentasi penelitian ... 48

2 Perhitungan analisis proksimat ... 51

3 Perhitungan rendemen ekstrak kasar ... 53

4 Perhitungan kadar serat pangan ... 54

5 Perhitungan total fenol ekstrak lamun C. rotundata ... 56

6 Perhitungan pengenceran DPPH, BHT dan ekstrak kasar ... 59

7 Perhitungan persen inhibisi dan penentuan IC50 ... 60

8a Analisis ragam rendemen ekstrak lamun C. rotundata ... 65

8b Uji lanjut Duncan rendemen ekstrak ... 66

9a Analisis ragam aktivitas antioksidan lamun C. rotundata ... 66

9b Uji lanjut Duncan aktivitas antioksidan... 66

10a Analisis ragam total fenol lamun C. rotundata ... 66

(14)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan pola hidup manusia saat ini ternyata menjadi salah satu sumber

radikal bebas yang berperan dalam timbulnya berbagai penyakit. Sofia (2005)

menyatakan bahwa radikal bebas merupakan spesies kimia yang memiliki

elektron bebas di kulit terluar sehingga sangat reaktif. Badarinath et al. (2010)

menyatakan bahwa radikal bebas tipe turunan oksigen reaktif sangat signifikan

dalam tubuh. Oksigen reaktif ini mencakup superoksida (O·2), hidroksil (·OH),

peroksil (ROO·), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (O2), oksida nitrit

(NO·), peroksinitrit (ONOO·) dan asam hipoklorit (HOCl).

Lim et al. (2002) menyatakan bahwa radikal bebas mampu bereaksi

dengan protein, lipida, karbohidrat, maupun deoxyribose nucleic acid (DNA).

Reaksi antara radikal bebas dan molekul tersebut berujung pada timbulnya suatu

penyakit seperti peradangan, penuaan dini, kanker, jantung koroner, dan penyakit

degeneratif lainnya. Salah satu pencegahan yang perlu dilakukan untuk

menghindari timbulnya penyakit-penyakit tersebut adalah pemberian atau

konsumsi antioksidan. Menurut Kuncahyo dan Sunardi (2007), antioksidan adalah

senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada

radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam.

Meenakshi et al. (2009) menggolongkan antioksidan menjadi dua jenis

berdasarkan sumbernya, yaitu antioksidan buatan (sintetik) dan antioksidan alami.

Antioksidan sintetik yang secara umum lebih sering digunakan adalah butylated

hydroxyl anysol (BHA), butylated hydroxyl toluene (BHT), Propyl gallate (PG),

dan butylated hydroxyl quione (BHQ). Adanya kekhawatiran akan kemungkinan

efek samping dari antioksidan sintetik menjadikan antioksidan alami menjadi

alternatif yang sangat dibutuhkan. Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap

aktivitas antioksidan alami yang diperoleh dari bahan pangan seperti sayuran,

buah, rumput laut, dan hewan.

Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat

menyesuaikan dirinya untuk hidup di dalam air laut. Menurut Kurniawan (2010),

(15)

tersebut, tujuh genus diantaranya hidup di perairan tropis, yaitu Enhallus,

Thalassia, Thalassodendron, Halophila, Halodule, Cymodocea dan Syringodium.

Penelitian terhadap aktivitas antioksidan pada lamun sudah mulai dilakukan pada

beberapa spesis lamun, diantaranya Posidonia oceanic oleh Sureda et al. (2008)

dan Enhalus acoroides oleh Kannan et al. (2010)

Lamun Cymodocea rotundata merupakan salah satu jenis lamun yang

pemanfaatannya belum begitu banyak. Sejauh ini, lamun C. rotundata

dimanfaatkan sebagai pakan penyu hijau dan dugong. Lamun C. rotundata

yang terdapat di daerah tropis seperti di perairan Pulau Pramuka-Jakarta

mendapatkan paparan sinar ultra violet (UV) yang kuat sepanjang tahun. Lamun

ini diduga memproduksi metabolit sekunder untuk mempertahankan

hidupnya dari radiasi sinar UV yang dapat memicu terjadinya oksidasi.

Burkholder et al. (2007) menyatakan bahwa lamun C. rotundata mengandung

unsur nitrogen dan fosfor yang berasal dari sedimen habitatnya. Masih terbatasnya

data-data ilmiah yang mendukung pemanfaatan jenis lamun ini mendorong

perlunya dilakukan penelitian mengenai metabolit sekunder dalam lamun

C. rotundata.

Metabolit sekunder dalam suatu bahan dapat diperoleh dengan proses

ekstraksi. Lamun C. rotundata yang digunakan dalam penelitian ini diekstraksi

dengan menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda kepolarannya, yaitu metanol

(polar), etil asetat (semipolar) dan n-heksana (nonpolar). Perbedaan jenis pelarut

ini akan mempengaruhi karakteristik dari metabolit sekunder yang terdapat pada

lamun C. rotundata yang dimungkinkan memiliki aktivitas sebagai antioksidan.

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran berbeda

biasanya menggunakan sampel yang telah dikeringkan karena adanya resapan

membran sel sampel membuat ekstrak metabolit endoseluler yang dihasilkan lebih

banyak (Colegate dan Molyneux 2008). Menurut Gupta et al. (2011), proses

pengeringan dapat menurunkan aktivitas air yang dapat menghambat

pertumbuhan mikroba. Pengeringan juga dapat mengurangi volume penyimpanan

dan mengurangi reaksi-reaksi yang dapat merusak bahan seperti hidrolisis dan

oksidasi lemak (Winarno 2008). Penelitian mengenai aktivitas antioksidan juga

(16)

Sudirman (2011) dan Permatasari (2011), buah oleh Kuncahyo dan Sunardi

(2007), rumput laut oleh Meenakshi et al. (2009) dan Hwang et al. (2010),

maupun hewan seperti spons oleh Hanani et al. (2005) dan keong ipong-ipong

oleh Apriandi (2011). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

yang dapat meningkatkan pemanfaatan lamun C. rotundata di masa mendatang.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. mengetahui komposisi proksimat (air, abu, lemak, dan protein), abu tak

larut asam dan serat pangan lamun Cymodocea rotundata;

b. mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap nilai total fenol,

senyawa fitokimia dan aktivitas antioksidan ekstrak lamun

(17)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Lamun Cymodocea rotundata

Cymodoceae rotundata merupakan salah satu jenis lamun yang terdapat di

Indonesia. Lamun jenis ini disebut juga sebagai round tiped grass. Lamun adalah

tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan

diri hidup terbenam di dalam laut. Lamun memiliki beberapa sifat yang dapat

membuatnya mampu hidup di lingkungan laut, yaitu mampu hidup di media

air bersalinitas tinggi, mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam,

mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik, serta mampu

melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan terbenam

(Dahuri 2003).

Klasifikasi C. rotundata menurut Les dan Waycott (2004) adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta (Angiosperms) Kelas : Liliopsida

Subkelas : Alismatidae

Ordo : Potamogetonales Famili : Cymodoceaceae Genus : Cymodocea

Spesies : Cymodocea rotundata

C. rotundata memiliki ciri tanaman ramping, mirip dengan C. serrulata,

daun seperti garis lurus dan lengkap dengan panjang 6-15 cm dan lebar 2-4 mm,

lurus sampai agak bulat, tidak menyempit sampai ujung daun, ujung daun bulat

dan seludang daun keras. C. rotundata juga memiliki rimpang yang ramping

(diameter 1-2 mm, panjang antar ruas 1-4 cm) dengan tunas pendek yang tegak

dan setiap ruas terdiri atas 2-5 daun. Buah C. rotundata berbulu tanpa tangkai,

berada dalam seludang daun, berbentuk setengah lingkaran dan agak keras serta

bagian bawah berlekuk dengan 3-4 geligi runcing (COREMAP 2007). Morfologi

(18)

Gambar 1 Cymodocea rotundata Sumber : Les dan Waycott (2004)

Lamun merupakan tumbuhan autotrof yang dapat melakukan fotosintesis.

Lamun dapat memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki

rantai pakan baik melalui pemangsaan langsung oleh herbivora maupun melalui

proses dekomposisi. Serasah yang diproduksi oleh lamun diduga membantu

meningkatkan kelimpahan fito dan zooplankton di permukaan terumbu karang

sehingga lamun berperan sebagai produsen primer. Lamun juga memiliki

peran penting bagi kehidupan penyu hijau (Chelonia mydas) dan dugong

(Dugong dugong). Jenis-jenis lamun yang dikonsumsi penyu hijau diantaranya

adalah Cymodocea, Thalassia, dan Halophila, sedangkan jenis lamun yang

dikonsumsi oleh dugong diantaranya adalah Posidonia dan Halophila. Daun dan

rhizoma lamun memiliki kandungan nitrogen yang tinggi sehingga disukai oleh

hewan-hewan tersebut (Dahuri 2003).

2.2 Antioksidan

Antioksidan menurut Kuncahyo dan Sunardi (2007) adalah senyawa kimia

yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas,

sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam. Sofia (2005) mendefinisikan

antioksidan sebagai inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi dengan cara

bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang

relatif stabil.

Berdasarkan sumber perolehannya, antioksidan dibedakan menjadi dua

macam yaitu antioksidan buatan (sintetik) dan antioksidan alami. Tubuh manusia

tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam berjumlah berlebih, sehingga jika

(19)

Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diizinkan penggunaannya untuk

pangan yaitu butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil

galat, tert-butil hidroksi quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan alami di

dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu

atau dua komponen makanan, senyawa antioksidan yang terbentuk dari

reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber

alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992).

Menurut Sofia (2005), antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan

vitamin. Antioksidan enzim meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase dan

glutation peroksidase (GSH.Prx). Superoksida dismutase berperan dalam

melawan radikal bebas pada mitokondria, sitoplasma dan bakteri aerob dengan

mengurangi bentuk radikal bebas superoksida. Katalase merupakan enzim yang

mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Fungsinya menetralkan

hidrogen peroksida beracun dan mencegah formasi gelembung CO2 dalam darah.

GSH.Prx mengandung Se dan bekerja dengan cara menggerakkan H2O2 dan lipid

peroksida dibantu dengan ion logam-logam transisi. Antioksidan vitamin lebih

populer sebagai antioksidan dibandingkan enzim. Antioksidan vitamin mencakup

alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten dan asam askorbat (vitamin C) yang

banyak didapatkan dari tanaman dan hewan.

Kuncahyo dan Sunardi (2007) menyatakan bahwa fungsi utama

antioksidan adalah sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi

dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam

makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan,

meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah

hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Antioksidan juga dapat menetralkan radikal

bebas, seperti enzim SOD, glutation peroksidase, dan katalase. Antioksidan dapat

diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E

dan berkaroten serta senyawa fenolik. Lawrence et al. (2000) menambahkan

bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir atau meredam

dampak negatif dari radikal bebas.

Barus (2009) mengelompokkan fungsi antioksidan berdasarkan

(20)

antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang

mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer.

Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R·,

ROO·) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal

antioksidan (A·) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal bebas.

Fungsi sekunder merupakan fungsi memperlambat laju autooksidasi dengan

berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan

pengubahan radikal bebas kebentuk lebih stabil. Reaksi penghambatan

antioksidan terhadap radikal bebas dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal bebas

(Sumber: Barus 2009)

2.3 Uji Aktivitas Antioksidan

Badarinath et al. (2010) mengelompokkan metode pengujian aktivitas

antioksidan kedalam tiga golongan. Golongan pertama adalah Hydrogen atom

Transfer methods (HAT) misalnya oxygen radical absorbance capacity (ORAC)

method dan lipidperoxidation inhibition capacity (LPIC) assay. Golongan kedua

adalah Electron Transfer methods (ET) misalnya ferric reducing antioxidant

power dan diphenylpicrylhydrazil (DPPH) free radical scavenging assay.

Golongan ketiga adalah metode lain seperti total oxidant scavenging capacity

(TOSC) dan chemiluminescence.

Molyneux (2004) menyatakan bahwa metode yang umum digunakan

dalam pengujian aktivitas antioksidan adalah diphenylpicrylhydrazil (DPPH) free

radical scavenging assay. Pada metode ini, larutan DPPH yang berperan sebagai

radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan sehingga DPPH akan

berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat non-radikal. Peningkatan

jumlah diphenilpycrilhydrazine akan ditandai dengan berubahnya warna ungu

Inisiasi : R· + AH RH + A·

Propagasi : ROO· + AH ROOH + A·

Terminasi : ROO· + ROO· + AH ROOH + ROOH + A·

ROO· + R· + AH ROOH + RH + A·

(21)

menjadi warna kuning pucat. Struktur diphenylpicrylhydrazil dan

diphenilpycrilhydrazine dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine Sumber : Molyneux (2004)

Molyneux (2004) menyatakan bahwa secara umum hasil dari metode

DPPH diinterpretasikan dalam parameter IC50 (Inhibition Concentration) atau

EC50 (Efficient Concentration 50). IC50 atau EC50 didefinisikan sebagai

konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan tereduksi

aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin besar aktivitas antioksidan maka nilai IC50

atau EC50 akan semakin kecil.

2.4 Ekstraksi Bahan Aktif

Ekstraksi menurut Rahayu (2009) merupakan pemisahan suatu zat dari

campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak

dapat tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut

yang lain. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyiapan pelarut dan

bahan yang akan diekstrak diantaranya adalah selektivitas, kelarutan, kemampuan

tidak saling bercampur, kerapatan, reaktivitas, dan titik didih.

Jenis ekstraksi meliputi ekstraksi secara dingin dan ekstraksi secara panas.

Ekstraksi secara dingin terdiri atas metode maserasi, metode sokhletasi dan

metode perkolasi, sedangkan ekstraksi secara panas terdiri atas metode refluks dan

metode destilasi uap. Maserasi merupakan ekstraksi sederhana yang dilakukan

dengan cara merendam sampel dalam suatu pelarut selama beberapa hari pada

temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode maserasi bertujuan untuk

mengekstrak sampel yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam

(22)

Sokhletasi merupakan ekstraksi yang dilakukan secara berkesinambungan.

Pelarut dipanaskan sehingga menguap kemudian uap pelarut terkondensasi

menjadi molekul-molekul air. Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan

untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan

secara langsung. Perkolasi merupakan metode ekstraksi dengan mengalirkan

pelarut melalui sampel yang telah dibasahi. Keuntungan metode ini adalah

tidak memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat telah terpisah dari

ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau

terbatas dibandingkan dengan metode refluks dan pelarut menjadi dingin selama

proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien

(Suradikusumah 1989).

Metode refluks digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang

mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung. Kerugian metode ini

adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar dari sejumlah manipulasi

dari operator. Destilasi uap adalah metode yang populer untuk ekstraksi

minyak-minyak esensial dari sampel tanaman. Metode ini diperuntukkan untuk mencari

bahan yang mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada

tekanan udara normal (Sudjadi 1986).

2.5 Senyawa Fitokimia

Fitokimia merupakan bagian ilmu pengetahuan alam yang menguraikan

aspek kimia suatu tanaman. Kajian fitokimia meliputi uraian tentang isolasi dan

konstitusi senyawa kimia dalam tanaman, perbandingan struktur senyawa kimia

tanaman dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis

tanaman atau penelitian untuk pengembangan senyawa kimia dalam tanaman

(Sirait 2007).

Analisis fitokimia adalah analisis yang mencangkup aneka ragam senyawa

organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai struktur

kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara

alamiah dan fungsi biologisnya. Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan

ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang ditunjukkan

(23)

2.5.1 Alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder

yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid terbagi

menjadi tiga bagian, yaitu elemen yang mengandung N terlibat pada pembentukan

alkaloid, elemen tanpa N yang ditemukan dalam molekul alkaloid dan reaksi yang

terjadi untuk pengikatan khas elemen-elemen pada alkaloid (Sirait 2007).

Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan

biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna

dalam pengobatan. Misalnya kuinin, morfin dan stiknin adalah alkaloid yang

terkenal dan mempunyai efek fisiologis dan psikologis. Alkaloid tidak

mempunyai tata nama sistematik, oleh karena itu, suatu alkaloid dinyatakan

dengan nama trivial yang beakhiran -in (Lenny 2006).

2.5.2 Triterpenoid dan steroid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,

yaitu skualena. Triterpenoid merupakan senyawa tanpa warna, berbentuk kristal,

sering kali bertitik leleh tinggi dan aktif optik yang umumnya sukar dicirikan

karena tak ada kereaktifan kimianya. Triterpenoid digolongkan menjadi empat

golongan, yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung

(Harborne 1987).

Steroid adalah molekul kompleks yang larut di dalam lemak dengan empat

cincin yang saling bergabung. Steroid yang paling banyak adalah sterol yang

merupakan steroid alkohol. Kolesterol merupakan sterol utama pada jaringan

hewan. Kolesterol dan senyawa turunan esternya, dengan lemaknya yang berantai

panjang adalah komponen penting dari plasma lipoprotein dan dari membran sel

sebelah luar. Membran sel tumbuhan mengandung jenis sterol lain terutama

stigmasterol yang berbeda dari kolesterol hanya dalam ikatan ganda di antara

karbon 22 dan 23 (Lehninger 1982).

2.5.3 Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari C6-C3-C6. Flavonoid

(24)

pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Kegunaan flavonoid bagi tumbuhan

adalah untuk menarik serangga yang membantu proses penyerbukan dan untuk

menarik perhatian binatang yang membantu penyebaran biji. Bagi manusia,

flavonoid dalam dosis kecil bekerja sebagai stimulan pada jantung dan pembuluh

darah kapiler (Sirait 2007).

Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-mula

didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar sepuluh

kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon,

biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon. Senyawa flavonoid dapat

diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini

dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, oleh karena

itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987).

2.5.4 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam

lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula

pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam

air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat. Banyak

saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum

ialah asam glukuronat. Adanya saponin dalam tumbuhan ditunjukkan dengan

pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau

memekatkan ekstrak (Harborne 1987).

Saponin dapat menyebabkan hidrolisis pada sel darah. Saponin yang

paling penting adalah hesogenin. Hesogenin mempunyai gugus keton pada C12

yang dapat ditransportasikan ke C11 membentuk 11-keto tigogenin yang dapat

diubah menjadi kortison. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena

ikatan glikosidanya dan lebih mudah dipisahkan dengan kromatografi kertas atau

kromatografi lapis tipis selulosa (Suradikusumah 1989).

2.5.5 Fenol hidrokuinon

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar.

Kuinon untuk tujuan identifikasi dibagi menjadi empat kelompok, yaitu

(25)

berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon), naftokuinon,

antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya

terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam

bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa

warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan hidrolisis

asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987).

Kuinon disintesis tumbuhan dari berbagai prekursor dan berbagai jalur

seperti jalur asetat-polimalonat, jalur asam amino, jalur sikimat, dan melanovat.

Jalur asetat-polimalonat merupakan jalur yang paling umum. Suatu senyawa

poliketometilen dianggap sebagai intermediet antara ester CoA dengan fenol atau

kuinon (Suradikusumah 1989). Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida

mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam

lemak dan akan terdeteksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan

klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon

menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi

oleh udara. Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan

oksidasi ulang dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut di udara

(Harborne 1987).

2.6 Serat Pangan (Dietary Fibre)

Serat pangan (Dietary fibre) merupakan salah satu bagian yang dapat

dikonsumsi dari tumbuhan atau dapat disebut karbohidrat yang tidak dapat dicerna

dan diserap oleh usus halus manusia namun akan difermentasikan secara

sempurna maupun parsial dalam usus besar (Kamp et al. 2004). Serat tergolong

zat non-gizi yang berguna untuk diet. Para ahli mengelompokkan serat pangan

sebagai salah satu jenis polisakarida yang disebut karbohidrat kompleks.

Karbohidrat ini terbentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang bergabung

menjadi satu membentuk rantai kimia panjang yang sulit dicerna oleh enzim

pencernaan. Berdasarkan jenis kelarutannya, serat pangan digolongkan menjadi

dua, yaitu serat pangan tidak larut air (insoluble dietary fibre) dan serat pangan

larut air (soluble dietary fibre) (Sulistijani 2002).

Serat pangan larut air lebih efektif dalam mereduksi plasma kolesterol

(26)

lipoprotein (HDL). Soluble dietary fibre (SDF) juga bermanfaat bagi penderita

diabetes melitus karena SDF dapat mereduksi absorpsi glukosa dalam usus.

Manfaat lain SDF menurut Muchtadi (2001) adalah membuat perut merasa cepat

kenyang sehingga bermanfaat untuk mempertahankan berat badan normal. SDF

terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut (Sulistijani 2002):

1) Pektin

Pektin merupakan polimer dari glukosa dan asam galakturonat dengan

jumlah asam galakturonat yang lebih banyak. Pektin terdapat dalam sel primer

tanaman dan berfungsi sebagai perekat antara dinding sel tanaman. Sifatnya yang

membentuk gel dapat mempengaruhi metabolisme zat gizi.

2) Musilase

Musilase ditemukan dalam lapisan endosperm biji tanaman. Strukturnya

menyerupai hemiselulosa tetapi tidak termasuk dalam golongan tersebut karena

letak dan fungsinya berbeda. Musilase mampu mengikat air sehingga kadar air

dalam biji tanaman tetap bertahan dan mampu membentuk gel yang

mempengaruhi metabolisme dalam tubuh.

3) Gum

Gum terdapat pada bagian lamella tengah atau di antara dinding sel

tanaman. Gum berguna sebagai penutup dan pelindung bagian tanaman yang

terbuka. Gum mampu membentuk gel karena memiliki molekul hidrofilik yang

berkombinasi dengan air.

Insoluble dietary fibre (IDF) menurut Muchtadi (2001) tidak terlalu

signifikan sebagai agen hipokolesterolemik, tetapi peranannya sangat penting

dalam pencegahan disfungsi alat pencernaan seperti konstipasi (sulit buang air

besar), haemoroid (ambeien), kanker usus besar, dan infeksi usus buntu. IDF

terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut (Sulistijani 2002):

1) Selulosa

Selulosa merupakan serat-serat panjang yang terbentuk dari homopolimer

glukosa rantai linier. Fungsi selulosa dalam tanaman adalah untuk memperkuat

dinding sel tanaman, sedangkan di dalam pencernaan, selulosa berperan sebagai

(27)

2) Hemiselulosa

Hemiselulosa memiliki rantai molekul lebih pendek dibanding selulosa.

Unit monomer pembentuk hemiselulosa terdiri dari heksosa dan pentosa.

Hemiselulosa berfungsi memperkuat dinding sel tanaman dan sebagai cadangan

pangan bagi tanaman.

3) Lignin

Lignin termasuk senyawa aromatik yang tersusun dari polimer fenil

propan. Lignin bersama hemiselulosa berfungsi membentuk jaringan tanaman dan

memperkuat sel kayu. Serealia dan kacang-kacangan merupakan bahan makanan

(28)

3

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei

2011. Pengambilan sampel dilakukan di Pulau Pramuka, Taman Nasional

Kepulauan Seribu, Jakarta. Preparasi sampel dilakukan di Laboratorium

Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan

IPB. Uji proksimat dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan dan

Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan IPB.

Pengujian serat pangan dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen

Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Ekstraksi sampel dilakukan di Laboratorium

Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan IPB.

Evaporasi dan pengujian aktivitas antioksidan dilakukan di Laboratorium Uji

Biofarmaka, Pusat Studi Biofarmaka IPB. Pengujian total fenol dan fitokimia

dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia IPB.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lamun

C. rotundata dari Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta.

Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat adalah dietil eter, K2SO4,

HgO, H2SO4, H2O2, H3BO3, bromcherosol green, methyl red, NaOH-Na2S2O3,

AgNO3, dan HCl. Bahan-bahan untuk uji serat pangan (dietary fibre) adalah

etanol, akuades, aseton, buffer phospat, NaH2PO4 anhidrat, enzim thermamyl,

HCl, pepsin, NaOH, dan pankreatin. Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi

adalah metanol, etil asetat dan n-heksana. Bahan-bahan untuk uji total fenol

adalah etanol, akuades, Na2CO3 5%, reagen Folin-Ciocalteau 50%, dan asam

galat. Bahan-bahan untuk uji aktivitas antioksidan adalah ekstrak C. rotundata,

diphenil- picrylhydrazil (DPPH), etanol, dan butylated hydroxytoluene (BHT)

sebagai standar. Bahan-bahan untuk uji fitokimia adalah asam sulfat, pereaksi

dragendorff, meyer, wagner, molisch, kloroform, anhidra asetat, asam sulfat, amil

alkohol, dan FeCl3.

Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi timbangan analitik,

(29)

inkubator, spektrofotometer UV-Visible, plate microwell, sudip, alumunium foil,

tabung reaksi, gelas ukur, pipet volumetrik, pipet mikro, gegep, tissue, kapas

bebas lemak, kompor listrik, kantung plastik, tanur, cawan porselen, elisa reader

dan vorteks.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahap pengambilan dan

preparasi sampel, tahap analisis kimia berupa analisis proksimat (kadar air, lemak,

protein, karbohidrat, dan abu), abu tidak larut asam dan serat pangan, tahap

pembuatan ekstrak kasar sampel, uji total fenol, aktivitas antioksidan, dan uji

fitokimia. Tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.

3.3.1 Pengambilan dan preparasi lamun C. rotundata

Pengambilan lamun C. rotundata dilakukan di Pulau Pramuka, Taman

Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. Lamun yang telah dikumpulkan segera

dibersihkan dengan air laut untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan

dibersihkan kembali dengan air tawar untuk menghilangkan garam-garam yang

masih menempel. Sampel segar dimasukkan dalam kantung plastik kemudian

disimpan dalam cool-box. Pengeringan dilakukan dengan menjemur lamun

C. rotundata segar dibawah sinar matahari selama 3 hari kemudian diblender

hingga halus.

3.3.2 Analisis proksimat dan abu tak larut asam

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk

memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar

air, abu, lemak, dan protein.

1) Analisis kadar air (BSN 2006)

Analisis kadar air dilakukan mengacu pada SNI 01-2354.2-2006 yang

dimodifikasi. Cawan porselen kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit

lalu didinginkan dalam desikator selama 20 menit dan ditimbang. 5 gram sampel

disimpan dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC dan

(30)

Gambar 4 Diagram alir penelitian Analisis:

a. Proksimat

b. Abu tak larut asam c. Serat pangan

Pengeringan dengan sinar matahari Lamun

Cymodocea rotundata

Lamunkering Lamun segar

Ekstrak kasar metanol

Ekstrak kasar n-heksana Ekstrak kasar

etil asetat

Analisis: a. Rendemen b. Total fenol c. Fitokimia

d. Aktivitas antioksidan Evaporasi

Sampel + metanol Sampel + etil asetat Sampel + n-heksana

Maserasi

Penyaringan

(31)

Selanjutnya cawan dan isinya didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Perhitungan kadar air menggunakan rumus berikut ini.

Kadar air (%) = B−C

B−Ax 100%

Keterangan : A = berat cawan kosong (g)

B = berat cawan + sampel awal (g) C = berat cawan + sampel kering (g)

2) Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama satu jam pada suhu

105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang

hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke

dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api kompor listrik hingga

tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan

suhu 400 oC selama satu jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang

konstan. Penentuan kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus berikut.

Berat abu (g) = berat sampel dan cawan akhir (g) – berat cawan kosong (g)

Kadar abu (%) = berat abu (g)

berat sampel (g) x 100%

3) Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode soxhlet. Abu lemak

dikeringkan dalam oven lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. 1 gram

sampel dalam bentuk tepung ditimbang langsung dalam saringan timbel yang

sesuai ukurannya kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak.

Timbel yang berisi sampel diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet kemudian alat

kondensor dipasang di atasnya dan labu lemak dibawahnya. Pelarut dietil eter

atau n-heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya dan refluks

dilakukan selama 6 jam sampai pelarut yang turun ke labu lemak berwarna jernih.

Pelarut hasil destilasi ditampung kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil

ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan

sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, labu beserta lemaknya

ditimbang sehingga berat lemak dapat dihitung. Kadar lemak dihitung dengan

(32)

Kadar lemak % = W1−W2

4) Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap,

yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan

metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram, kemudian dimasukkan ke

dalam labu kjeldahl 50 ml lalu ditambahkan 7 gram K2SO4, kjeltab 0,005 g jenis

HgO, 15 ml H2SO4 pekat dan 10 ml H2O2 ditambahkan secara perlahan ke dalam

green 0,1 % dan methyl red 0,1 % dengan perbandingan 2:1. Destilasi dilakukan

dengan menambahkan 50 ml larutan NaOH-Na2S2O3 ke dalam alat destilasi

hingga tertampung 100-150 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat

berwarna hijau. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan

warna merah muda yang pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat.

Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

N (%) = ml HCl−ml blanko x N HCl x FP x 14,007 x 100%

mg contoh

Keterangan: Protein (%) = N (%) x 6,25

5) Analisis kadar abu tidak larut asam (BSN 2000)

Analisis kadar abu tidak larut asam dilakukan berdasarkan

SNI 01-3836-2000. Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, dididihkan

dengan 25 ml HCl encer selama 5 menit, dikumpulkan bagian yang tidak larut

asam, disaring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu. Selanjutnya

dilakukan pencucian dengan air panas, dipijarkan dan ditanur hingga bobot tetap

lalu ditimbang. Perhitungan kadar abu tidak larut asam dilakukan menggunakan

(33)

Kadar abu tidak larut asam (%) = berat abu (g)

berat sampel (g) x 100%

3.3.3 Analisis serat pangan (dietary fibre) (Asp et al. 1983)

Analisis serat pangan dilakukan mengacu pada metode multi enzim

(Asp et al. 1983). Serat pangan terdiri atas serat pangan larut dan serat pangan tak

larut. Analisis serat pangan diawali dengan menghaluskan sampel kemudian

dihomogenkan dan diliofilisasi. Sampel yang akan digunakan adalah sampel

dalam keadaan tanpa lemak dan air. Oleh karena itu, dilakukan ekstraksi lemak

dan pengeringan. Sampel tanpa lemak dan air ditimbang sebanyak 1 gram lalu

ditambahkan 25 ml buffer phospat dan 0,1 ml enzim thermamil. Selanjutnya

sampel dipanaskan pada suhu 80 0C selama 15 menit. Setelah dipanaskan, sampel

didinginkan dan dilakukan pengaturan pH menjadi 1,5 dengan menggunakan

HCl 4N lalu dilakukan penambahan 1 ml suspensi pepsin dan sampel diinkubasi

dalam suhu 37 0C selama 2 jam. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH menjadi

6,8 dengan menggunakan NaOH 4N. Setelah dilakukan pengaturan pH, sampel

ditambahkan suspensi pankreatin dan diinkubasi dalam suhu 37 0C selama 2 jam

kemudian dilakukan pengaturan pH kembali dengan menggunakan HCl 4N

hingga diperoleh larutan sampel dengan pH 4,5.

1) Analisis serat pangan tak larut air (IDF)

Analisis serat pangan tak larut air dilakukan dengan menyaring larutan

sampel pH 4,5 dengan kertas saring Whatman 40 hingga diperoleh filtrat dan

residu. Residu yang diperoleh dibilas dengan akuades dan dicuci dengan 50 ml

etanol 78%. Selanjutnya dilakukan pencucian kembali dengan menggunakan

aseton lalu dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 0C selama 3 jam. Setelah

dioven, sampel didinginkan dan ditimbang kemudian diarangkan dan ditanur

dalam suhu 550 0C. Selanjutnya sampel didinginkan dan ditimbang lalu dilakukan

perhitungan dengan rumus berikut. Serat pangan tak larut air dinyatakan dalam

(34)

C = Berat kertas saring + residu setelah dioven D = Berat cawan porselen kosong

E = Cawan porselen + abu setelah ditanur

2) Analisis serat pangan larut air (SDF)

Analisis serat pangan larut air dilakukan dengan penambahan 400-500 ml

etanol 95% pada filtrat yang diperoleh dari analisis serat pangan tak larut.

Selanjutnya sampel dipanaskan hingga 60 0C dalam waterbath kemudian

didiamkan selama 1 jam. Sampel disaring dengan kertas saring Whatman 40

hingga diperoleh residu dan filtrat. Residu yang diperoleh kemudian dibilas

dengan akuades dan dicuci dengan 50 ml etanol 78% lalu dicuci kembali

dengan aseton. Selanjutnya sampel dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 0C

selama 3 jam. Sampel didinginkan dan ditimbang kemudian diarangkan dan

ditanur dalam suhu 550 0C. Sampel yang telah dingin selanjutnya ditimbang dan

dilakukan perhitungan dengan rumus berikut. Serat pangan larut air dinyatakan

dalam g/100 g sampel.

F = Berat kertas saring kosong

G = Berat kertas saring + residu setelah dioven H = Berat cawan porselen kosong

I = Cawan porselen + abu setelah ditanur

3.3.4 Ekstraksi bahan aktif (Andayani et al. 2008)

Ekstraksi bahan aktif dilakukan dengan mengacu pada penelitian

Andayani et al. (2008) yang dimodifikasi. Proses ini menggunakan tiga jenis

pelarut yaitu metanol (polar), etil asetat (semipolar) dan n-heksana (non-polar).

Lamun yang telah dikeringkan dan dihaluskan kemudian ditimbang sebanyak

20 gram lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 160 ml pelarut

(1:8). Sampel dimaserasi selama 48 jam dengan menggunakan automatic shaker

pada suhu kamar. Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring

Whatman 42 sehingga diperoleh filtrat dan residu. Filtrat yang diperoleh

kemudian dikeringkan dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 40 oC hingga

(35)

3.3.5 Uji kandungan total fenol (Yangthong et al. 2009)

Uji kandungan total fenol dilakukan untuk mengetahui jumlah fenol yang

terdapat pada sampel. Metode yang dipakai mengacu pada metode penelitian

Yangthong et al. (2009). Ekstrak kasar dengan berat sekitar 5 - 10 mg ditimbang

lalu diilarutkan dengan 2 ml etanol 95%. Kemudian larutan ditambahkan 5 ml

akuades dan 0,5 ml reagen Folin-Ciocalteau 50% (v/v). Campuran didiamkan

selama 5 menit kemudian ditambahkan 1 ml Na2CO3 5% (b/v). Campuran

dihomogenkan lalu diinkubasi dalam kondisi gelap selama satu jam. Serapan yang

dihasilkan diukur dengan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang

725 nm. Asam galat digunakan sebagai standar dengan konsentrasi 0, 10, 20, 30,

40, 50, 60, dan 70 mg/l. Nilai total fenol lamun C. rotundata dinyatakan dalam

mg Galic Acid Equivalent (GAE)/1000 g sampel.

3.3.6 Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Aranda et al. 2009)

Uji aktivitas antioksidan dilakukan berdasarkan kemampuan sampel yang

digunakan dalam mereduksi radikal bebas stabil DPPH. 1 mg ekstrak kasar dan

BHT sebagai kontrol positif ditimbang lalu ditambahkan etanol dengan

perbandingan 1:1000. Selanjutnya 1,3 mg DPPH diencerkan dengan 25 ml etanol.

1 µl etanol diisikan ke dalam microwell plate yang telah disiapkan. Setelah itu,

dilakukan pengisian ekstrak dengan beberapa konsentrasi dan penambahan larutan

DPPH. Campuran dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37 oC dalam waktu

30 menit. Serapan yang dihasilkan diukur dengan elisa reader.

Persentase penghambatan aktivitas radikal bebas diperoleh dari nilai

absorbansi sampel. Persamaan regresi diperoleh dari hubungan antara konsentrasi

sampel dan presentase penghambatan aktivitas radikal bebas. Nilai konsentrasi

penghambatan aktivitas radikal bebas sebanyak 50% (IC50) dihitung dengan

menggunakan persamaan regresi. Nilai IC50 diperoleh dengan memasukkan y=50

serta nilai A dan B yang telah diketahui. Nilai x sebagai IC50 dapat dihitung

dengan persamaan :

y = A + B Ln(x)

Keterangan : y = persen inhibisi

(36)

A = slope

B = intercept

3.3.5 Uji fitokimia (Harborne 1987)

Uji fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, steroid/triterpenoid,

flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan tanin. Uji ini dilakukan untuk

mengetahui ada tidaknya komponen bioaktif yang terdapat pada lamun

C. rotundata.

1) Alkaloid

Uji alkaloid dilakukan dengan melarutkan dalam beberapa tetes asam

sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi

dragendorff, pereaksi meyer, dan pereaksi wagner. Hasil uji positif diperoleh bila

terbentuk endapan putih kekuningan dengan pereaksi meyer, endapan coklat

dengan pereaksi wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi

dragendorff.

Pereaksi meyer dibuat dengan menambahkan 1,36 HgCl2 dengan 0,5 g KI

lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar.

Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi wagner berwarna coklat dibuat dengan cara

10 ml akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,5 gram iodin dan 2 gram KI lalu

dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar.

Pereaksi dragendorff berwarna jingga dibuat dengan cara 0,8 g bismut subnitrat

ditambahkan dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur

dengan larutan yang dibuat dari 8 gram KI dalam 20 ml air. Sebelum digunakan,

1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam

asetat glasial dan 100 ml air.

2) Triterpenoid/steroid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi

yang kering lalu ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat.

Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk

pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.

3) Saponin (uji busa)

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang

stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N

(37)

4) Fenol Hidrokuinon

1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang

dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3

5%. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau atau hijau biru.

5) Flavonoid

Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil

alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama)

dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Reaksi positif ditunjukkan dengan

terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.

6) Tanin

Sejumlah sampel ditambahkan FeCl3 kemudian campuran dihomogenkan.

Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pada campuran.

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor. Data hasil pengujian yang diolah

menggunakan RAL adalah rendemen ekstrak, total fenol dan aktivitas antioksidan.

Semua perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan.

Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 : Perbedaan jenis pelarut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap

rendemen ekstrak, total fenol dan aktivitas antioksidan pada lamun

C. rotundata

H1 : Perbedaan jenis pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen

ekstrak, total fenol dan aktivitas antioksidan pada lamun C. rotundata

Faktor yang digunakan sebagai perlakuan adalah jenis pelarut yang

digunakan yang terdiri dari 3 taraf, yaitu metanol, etil asetat dan n-heksana. Model

rancangan yang digunakan adalah :

(38)

Uji lanjut Duncan digunakan jika analisis ragam menunjukkan hasil

berbeda nyata pada selang 95% (α=0,05). Rumus yang digunakan dalam uji

lanjut Duncan adalah:

Sy = KTS r

Rp = qa′x Sy

Keterangan :

Sy = Significant range

KTS = kuadran tengah sisa

r = ulangan

qa’ = significant studentized range

(39)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Proksimat dan Abu Tak Larut Asam Lamun Cymodocea rotundata

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia atau

kandungan gizi dalam lamun C. rotundata. Komposisi kimia tersebut meliputi

air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat. Kadar karbohidrat lamun C. rotundata

diketahui dengan perhitungan secara by difference. Pengujian lain yang dilakukan

adalah pengujian terhadap kadar abu tidak larut asam. Pengujian ini berkaitan

dengan kebersihan dalam proses preparasi lamun C. rotundata yang digunakan.

Perhitungan analisis proksimat dan abu tak larut asam dapat dilihat pada Lampiran

2 dan hasilnyadapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan proksimat dan abu tak larut asam lamun C. rotundata

Komponen Nilai (%)

Air 90,67 ± 1,63

Abu 2,35 ± 0,79

Protein 1,13 ± 0,40

Lemak 0,79 ± 0,84

Karbohidrat (by difference) 5,06 ± 0,40

Abu tak larut asam 0,00 ± 0,00

Air merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem hidup dan

mencakup 70% atau lebih dari bobot hampir semua bentuk kehidupan. Air

mengisi semua bagian dari tiap sel sehingga air merupakan medium tempat

berlangsungnya transportasi nutrien, reaksi-reaksi enzimatis metabolisme dan

transfer energi kimia (Lehninger 1982).

Menurut derajat keterikatan air, air terikat dibagi menjadi empat tipe. Air

tipe III atau air bebas merupakan air yang secara fisik terikat dalam jaringan

matriks bahan seperti membran, kapiler dan serat. Air tipe ini memiliki sifat

mudah diuapkan sehingga sifat ini dijadikan prinsip dalam pengujian kadar air

(Winarno 2008). Lamun C. rotundata memiliki kadar air yang tergolong tinggi,

(40)

Kandungan air dalam suatu bahan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan

daya tahan bahan tersebut.

Sekitar 96% bahan pangan terdiri atas bahan organik dan air, sisanya

terdiri dari unsur-unsur mineral. Ketika proses pembakaran, bahan-bahan organik

terbakar sedangkan mineral tidak, oleh karena itu disebut sebagai abu. Mineral

dalam tubuh berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Setiap organisme

memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi

mineral, sehingga akan berpengaruh terhadap nilai kadar abu pada masing-masing

bahan (Winarno 2008).

Analisis kadar abu dilakukan untuk mengetahui kandungan mineral dalam

lamun C. rotundata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu dalam lamun

C. rotundata adalah sebesar 24,86% bk. Nilai ini jauh lebih rendah jika

dibandingkan dengan hasil penelitian Setyati et al. (2003) pada lamun

C. serrulata yang mengandung abu sebesar 67,09% bk. Tinggi rendahnya kadar

abu ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan habitat atau lingkungan hidup. Setiap

lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi

organisme akuatik yang hidup di dalamnya.

Protein merupakan sumber asam amino yang mengandung unsur C, H,

O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Lehninger 1982).

Pengukuran kadar protein dilakukan untuk mengetahui besar atau kecilnya

kandungan protein di dalam lamun C. rotundata. Hasil pengujian kadar protein

menunjukkan bahwa lamun C. rotundata mengandung protein sebesar

12,67% bk. Jumlah ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan protein

lamun C. serrulata yang diteliti oleh Setyati et al. (2003) yaitu sebesar 9,39% bk.

Kadar protein dalam tumbuhan secara umum memiliki mutu yang lebih

rendah daripada kadar protein hewani karena protein hewani lebih banyak

menyediakan asam amino-asam amino esensial. Protein dalam tubuh berfungsi

sebagai zat pengatur dan pembangun serta sebagai bahan bakar apabila keperluan

energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Winarno 2008).

Lemak merupakan senyawa organik yang tidak larut di dalam air dan

dapat diekstrak dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut nonpolar, seperti

(41)

organisme (Lehninger 1982). Satu gram lemak mampu menghasilkan energi

sebesar 9 kkal. Lemak nabati mengandung asam-asam lemak esesial seperti asam

linoleat, linolenat dan arakidonat yang dapat mencegah penyempitan pembuluh

darah akibat penumpukan kolesterol dan juga berfungsi sebagai pelarut bagi

vitamin A, D, E, dan K (Winarno 2008).

Hasil pengujian kadar lemak menunjukkan bahwa lamun C. rotundata

mengandung lemak sebesar 7,81% bk. Kandungan lemak pada C. rotundata

ternyata memiliki jumlah yang sama dengan hasil penelitian Setyati et al. (2003)

yang menyatakan bahwa kadar lemak pada lamun C. serrulata adalah sebesar

7,81% bk. Yunizal et al. (1998) menyatakan bahwa kadar air umumnya memiliki

hubungan yang berbanding terbalik dengan kadar lemak. Lamun C. rotundata

memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga secara proporsional kadar

lemak menjadi turun.

Karbohidrat merupakan polihidroksi aldehida (keton) atau senyawa yang

menghasilkan senyawa ini bila dihidrolisis. Karbohidrat terbagi atas tiga

golongan utama, yaitu monosakarida, oligosakarida dan polisakarida.

Polisakarida yang umumnya dijumpai pada tanaman adalah pati dan selulosa yang

mempunyai ratusan atau ribuan unit monosakarida (Lehninger 1982). Kadar

karbohidrat (by difference) lamun C. rotundata yang diperoleh dari hasil

penelitian ini adalah sebesar 5,06%.

Pada tanaman, karbohidrat (C6H12O6) dibentuk dari reaksi CO2 dan H2O

dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel tanaman yang

berklorofil. Walaupun jumlah kalori yang terdapat dalam satu gram karbohidrat

hanya 4 kkal, namun karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir

seluruh penduduk dunia (Winarno 2008). Karbohidrat berguna sebagai storing

energy seperti pati dan sebagai penyusun dinding sel seperti selulosa. Banyak

senyawa kimia dalam tanaman seperti asam nukleat dan glikosida yang

mengandung karbohidrat dimana karbohidrat tersebut merupakan bagian esensial

pada strukturnya. Kegunaan gula pada tanaman antara lain untuk membantu

penyerbukan, melindungi luka dan mencegah terjadinya infeksi serta detoksifikasi

(42)

Abu tidak larut asam merupakan garam-garam klorida yang tidak larut

asam, yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu

tidak larut asam menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam

yang tidak dapat larut asam pada suatu bahan. Kadar abu tidak larut asam

juga menunjukkan kebersihan dalam suatu proses pengolahan suatu produk

(Basmal et al. 2003).

Lamun C. rotundata yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar

abu tidak larut asam sebesar 0%. Nilai kadar abu tidak larut asam yang diperoleh

dalam penelitian ini masih berada dibawah 1%, yaitu nilai yang dipersyaratkan

dalam Food Chemical Codex (1992) untuk produk kappa-karaginan food grade.

Ada tidaknya kadar abu tidak larut asam ini diduga berasal dari bahan-bahan abu

yang tidak dapat larut asam yang terdapat di perairan tempat lamun C. rotundata

hidup yang terbawa saat proses preparasi seperti pasir, silika, lumpur, dan karang.

4.2 Kandungan Serat Pangan Lamun Cymodocea rotundata

Serat pangan (Dietary fibre) merupakan salah satu bagian yang dapat

dikonsumsi dari tumbuhan atau dapat disebut karbohidrat yang tidak dapat dicerna

dan diserap oleh usus halus manusia namun akan difermentasikan secara

sempurna maupun parsial dalam usus besar (Kamp et al. 2004). Para ahli

mengelompokkan serat pangan sebagai salah satu jenis polisakarida yang disebut

karbohidrat kompleks. Karbohidrat ini terbentuk dari beberapa gugusan gula

sederhana yang bergabung menjadi satu membentuk rantai kimia panjang yang

sulit dicerna oleh enzim pencernaan (Sulistijani 2002).

Pengujian serat pangan pada lamun C. rotundata dalam penelitian ini

menggunakan metode multi enzim. Serat pangan yang diuji meliputi serat pangan

larut air (Soluble Dietary Fibre) dan serat pangan tak larut air (Insoluble Dietary

Fibre). Kandungan serat pangan lamun C. rotundata dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan serat pangan lamun C. rotundata

Jenis serat pangan Nilai (g/100 g sampel)

Insoluble Dietary Fibre (IDF) 5,39 ± 0,08

Soluble Dietary Fibre (SDF) 8,93 ± 0,05

Gambar

Gambar 1  Cymodocea rotundata
Gambar 2  Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal bebas (Sumber: Barus 2009)
Gambar 3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine
Gambar 4  Diagram alir penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak kasar hasil ekstraksi dari lamun Enhalus acoroides menggunakan pelarut metanol (polar), etil asetat (semipolar) dan n-heksana (nonpolar) kemudian diuji komponen

kadar air, kadar abu, lemak, protein, serat kasar dan karbohidrat (AOAC 2005), ekstraksi tunggal dengan 3 jenis pelarut yang berbeda kepolarannya, pengujian aktivitas

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi proksimat (air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat) serta menganalisis pengaruh pengukusan terhadap rendemen, asam

Tingkat substitusi tepung kacang merah meningkatkan kadar abu, protein, lemak, karbohidrat, energi, serat (larut dan tak larut) dan kapasitas antioksidan beras analog sorgum

Analisis di laboratorium dengan menggxrnakun ,.i*gkui* alat-alat yang diperlukan,untuk analisis proksimat meliputi kadar bahan liering, abu, protein kasar, lemak kasar dan

Selanjutnya dila- kukan analisis sifat kimia (kadar air, abu, protein, lemak) (Sulaeman, Anwar & Marliyati, 1995) dan kadar serat pangan larut, serat pangan tidak larut

Sedangkan analisis kimia yang dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan.. karbohidrat), nilai energi, amilosa, serat pangan, kadar pati, pati

Kandungan gizi (proksimat, asam amino, asam lemak, dan vitamin E) dan non gizi (serat pangan dan isoflavon total) dari tepung tempe kedelai lokal grobogan