• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI. Oleh : TRI UTAMA ARGASASMITA F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI. Oleh : TRI UTAMA ARGASASMITA F"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI

Oleh :

TRI UTAMA ARGASASMITA F24103127

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI

Tri Utama Argasasmita1) Deddy Muchtadi2) Made Astawan3) dan Sri Widowati4)

ABSTRAK

Beras merupakan sumber karbohidrat utama hampir di seluruh daerah di Indonesia karena rasanya yang enak dan dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Pada penelitian ini dilakukan analisis fisikokimia dan indeks glikemik dari lima varietas beras beramilosa tinggi dan lima varietas beras beramilosa rendah. Analisis fisikokimia yang dilakukan yaitu analisis warna, bobot 1000 butir, kekerasan beras, uji amilografi, analisis proksimat, kadar amilosa, kadar serat pangan, daya cerna pati, kadar pati dan pati resisten. Konsep indeks glikemik (IG) memberikan gambaran tentang hubungan antara karbohidrat dalam makanan dengan kadar glukosa darah. Makanan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat memiliki nilai IG tinggi dan sebaliknya.

Hasil analisis menunjukkan karakteristik fisik dan kimia yang berbeda antar varietas beras yang diteliti. Beras yang diteliti memiliki nilai IG sedang sampai tinggi. Beras yang memiliki IG sedang yaitu varietas Logawa (59), Batang Lembang (63) dan IR 42 (69). Sedangkan beras yang memiliki nilai IG tinggi yaitu Celebes (86), Ciasem (ketan) (147), Bengawan Solo (98), Sintanur (91), Gilirang (97), Ciliwung (87), dan Batang Piaman (80). Faktor yang paling mempengaruhi nilai IG dalam penelitian ini adalah kadar amilosa. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis korelasi antara nilai IG dengan kadar amilosa yang memiliki nilai korelasi yang signifikan (r = -0.862).

Kata kunci :beras, sifat fisikokimia, nilai IG, dan kadar amilosa Jurnal skripsi 2008

(3)

Tri Utama Argasasmita. F24103127. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Indeks

Glikemik Varietas Beras Beramilosa Rendah dan Tinggi. Di bawah Bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Dr.Ir. Sri Widowati, MAppSc.

Ringkasan

Bagi masyarakat Indonesia beras dijadikan sebagai bahan pangan pokok sehari-hari. Beras merupakan sumber karbohidrat utama hampir di seluruh daerah di Indonesia karena rasanya yang enak dan dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Pada penelitian ini dilakukan analisis fisikokimia dan indeks glikemik dari lima varietas beras beramilosa tinggi dan lima varietas beras beramilosa rendah. Kesepuluh varietas beras ini merupakan beras giling yang berasal dari Balai Penelitian Tanaman Padi di Sukamandi. Varietas beras beramilosa tinggi yang dianalisis yakni Ciliwung, Logawa, Batang Piaman, Batang Lembang dan IR 42, sedangkan varietas beras beramilosa rendah yang akan dianalisis yakni Celebes, Ciasem (beras ketan), Sintanur, Gilirang dan Bengawan Solo.

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yakni penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisis proksimat terhadap kesepuluh varietas tersebut, sedangkan pada penelitian utama dilakukan pengujian nilai indeks glikemik dan sifat fisikokimia lainnya seperti kadar amilosa, kadar pati, kadar serat pangan , bobot seribu butir, suhu gelatinisasi, daya cerna pati, uji kekerasan beras, uji kekerasan nasi dan analisis warna.

Hasil karakterisasi sifat fisik menghasilkan data kekerasan beras yang berkisar antara 5.30-6.99 Kgf(Kilogramforce). Bobot seribu butir beras berkisar antara 15.70-22.00 gram. Derajat putih berkisar antara 71.86-78.85 %. Suhu gelatinisasi suspensi tepung beras yang diteliti berkisar antara 83-90 oC. Viskositas maksimum suspensi tepung beras yang dianalisis berkisar antara 390-900 BU (Brabender Unit).

Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar air beras yang diuji berada dalam kisaran 11.82-13.31 % bb, kadar abu berkisar antara 0.58-0.86 % bk, kadar protein berkisar antara 7.56-10.60 % bk, kadar lemak antara 0.53-1.31 % bk. Kadar karbohidrat by difference berada pada kisaran 87.69-91.07 % bk. Kadar amilosa berkisar antara 7.32-29.41 % b.b. Nilai serat pangan tidak larut berkisar antara 2.27 -5.68 % bk. Untuk kadar serat pangan larut, nilai yang didapat berkisar antara 1.00-3.59 % bk. Kadar serat pangan total beras yang diteliti berkisar antara 4.67-7.57% bk.

Nilai kadar pati beras yang diteliti berkisar antara 76-82 % bb. Kadar pati resisten beras yang diteliti sangat kecil berkisar antara 0.08 - 0.20 % bk . Nilai daya cerna pati in vitro beras yang diteliti berkisar antara 62 - 81 %. Nilai indeks glikemik berkisar antara 59 - 147. Varietas beras dengan nilai IG sedang yakni Logawa (59), Batang Lembang (63), dan IR 42 (68), sedangkan varietas beras dengan nilai IG tinggi yakni Celebes (86), Ciasem (ketan) (147), Bengawan Solo (97), Sintanur (91), Gilirang (97), Ciliwung (86), dan Batang Piaman (80). Standar nilai IG digunakan dalam penelitian ini adalah glukosa yang memiliki nilai IG 100. Varietas Logawa (59) memiliki nilai IG yang lebih rendah dari beras Taj Mahal (61). Dengan demikian, Varietas Logawa berpotensi untuk dikembangkan sebagai makanan bagi penderita diabetes karena kenaikan kadar glukosa darah yang dihasilkannya tidak terlalu drastis. Faktor yang paling mempengaruhi nilai IG

(4)

dalam penelitian ini adalah kadar amilosa. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis korelasi antara nilai IG dengan kadar amilosa yang memiliki nilai korelasi cukup besar (r = -0.862).

(5)

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

TRI UTAMA ARGASASMITA F24103127

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor Oleh :

TRI UTAMA ARGASASMITA F24103127

Dilahirkan pada tanggal 23 Maret 1985 Di Bekasi, Jawa Barat

Tanggal Lulus : Menyetujui, Bogor, Januari 2008

Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS

Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Dr. Ir. Sri Widowati, MAppSc

Pembimbing II Pembimbing III

Mengetahui, Bogor, Januari 2008

(7)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Maret 1985. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, pasangan Maman Herdyaman dan Nelmawati Noer. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis adalah Sekolah Dasar di SDN Jatirahayu I (1991-1997), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 81 Jakarta Timur (1997-2000), dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMU Negeri 48 Jakarta Timur, dan lulus pada tahun 2003. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003, melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan akademis dan non-akademis. Penulis aktif mengikuti berbagai kepanitian kegiatan di dalam kampus, diantaranya Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan Nasional XIII (2005), dan BAUR Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB (2006), dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya.

Penulis melakukan penelitian sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian dengan judul KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN

INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Made

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrahim. Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas segala nikmat, kemudahan, petunjuk, dan berbagai hal yang telah ALLAH SWT limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Indeks Glikemik Lima Varietas Beras Amilosa Rendah dan Lima Varietas Beras Amilosa Tinggi. Skripsi ini penulis susun dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Dr.Ir. Sri Widowati, MAppSc. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu :

1. Papa, Mama, Aa Yudha, Uni Rika, Adek Fina, Teh Santi, Faiz, Mas Eko, dan Firsty atas segala dukungan, kasih sayang, perhatian, dan doa kepada penulis selama ini. 2. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Dr.Ir. Sri

Widowati, MAppSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan saran kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

3. Para analis di Balai Besar Pascapanen, Bu Pia, Mas Tri, Mbak Rina, Mbak Dewi, Mbak Melli, Mas Yudhi, Pak Danu dan Pak Toto atas segala bantuan, kesediaan untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan penulis selama penelitian.

4. Teman seperjuanganku dalam menyelesaikan penelitian ini, Prima, terima kasih banyak atas semuanya.

5. Teman-teman satu bimbingan, Tathan, Rina, dan Ichan terima kasih atas semua dukungan yang diberikan pada penulis.

6. Teman-teman yang telah bersedia menjadi relawan dalam pengujian nilai indeks glikemik. Terima kasih banyak atas kesediaannya menyumbangkan darah demi penelitian ini.

7. Penduduk “The Village” Adie, Arie, Chusni, Udjo, Pa’De, Erte, Yoga, Reza, Ados, dan Sarwo terima kasih atas semua kenangan yang kita lalui bersama dalam satu atap. Semoga persaudaraan kita tetap erat sampai akhir.

(9)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2008

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN... i

RIWAYAT HIDUP... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi I. PENDAHULUAN ... 1 A. LATAR BELAKANG ... 1 B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. STRUKTUR BIJI BERAS ... 3

B. PENGGILINGAN PADI MENJADI BERAS ... 5

C. JENIS-JENIS BERAS... 6

D. SIFAT FISIK BERAS... 7

E. SIFAT KIMIA BERAS... 7

F. INDEKS GLIKEMIK ... 8

III. METODOLOGI ... 10

A. BAHAN DAN ALAT ... 10

B. METODE PENELITIAN... 10

1. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 10

2. PENELITIAN UTAMA ... 11

C. METODE ANALISIS ... 11

1. Analisis Sifat Fisik ... 11

a. Warna ... 11

(11)

d. Kekerasan Beras ... 12

2. Analisis Sifat Kimia ... 13

a. Proksimat ... 13

i. Kadar Air ... 13

ii. Kadar Abu ... 13

iii. Kadar Protein ... 14

iv. Kadar Lemak ... 15

v. Kadar Karbohidrat ... 15

b. Kadar Amilosa ... 16

c. Kadar Serat Pangan ... 17

d. Daya Cerna Pati... 19

e. Kadar Pati Resisten... 20

3. Pengujian Indeks Glikemik ... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

A. KARAKTERISASI SIFAT FISIK BERAS ... 24

1. Kekerasan Beras ... 24

2. Bobot Seribu Butir... 25

3. Warna... 25

4. Uji Amilografi ... 28

B. KARAKTERISASI SIFAT KIMIA BERAS 1. Analisis Proksimat ... 30

a). Kadar Air ... 31

b). Kadar Abu ... 32

c). Kadar Protein ... 33

d). Kadar Lemak ... 33

e). Kadar Karbohidrat... 34

2. Analisis Kadar Amilosa... 34

3. Analisis Kadar Serat Pangan ... 37

4. Analisis Kadar Pati dan Pati Resisten ... 39

(12)

C. INDEKS GLIKEMIK ... 43

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

A. KESIMPULAN ... 49

B. SARAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA... 51

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nilai Kekerasan Beras dan Bobot Seribu Butir ... 24

Tabel 2. Warna dan Derajat Putih Beras... 27

Tabel 3. Data Amilografi Beras ... 29

Tabel 4. Hasil Analisis Proksimat Beras... 31

Tabel 5. Kadar Amilosa Beras ... . 36

Tabel 6. Kadar Serat Pangan Beras... 38

Tabel 7. Kadar Pati dan Pati Resisten Beras... 40

Tabel 8. Respons Kadar Glukosa Darah dan Nilai Indeks Glikemik Beras ... 44

Tabel 9. Perbandingan Komposisi Kimia Beras dengan Nilai IG Terendah dan Beras dengan Nilai IG Tertinggi ... 48

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Biji Beras... 4

Gambar 2. Kurva Standar Amilosa... 36

Gambar 3. Daya Cerna Pati in vitro Beras... 42

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji Statistik Nilai Kekerasan Beras... 55

Lampiran 2. Hasil Uji Statistik Bobot 1000 Butir Beras... 56

Lampiran 3. Hasil Uji Statistik Derajat Putih ...……… 57

Lampiran 4. Hasil Uji Statistik Kadar Air Beras...……... 58

Lampiran 5. Hasil Uji Statistik Kadar Abu Beras...……….. .. 59

Lampiran 6. Hasil Uji Statistik Kadar Protein Beras...…………... 60

Lampiran 7. Hasil Uji Statistik Kadar Lemak Beras...………... 61

Lampiran 8. Hasil Uji Statistik Kadar Karbohidrat Beras... 62

Lampiran 9. Hasil Uji Statistik Kadar Amilosa Beras ..………... 63

Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Kadar Serat Pangan Tidak Larut Beras... 64

Lampiran 11 Hasil Uji Statistik Kadar Serat Pangan Larut Beras ……... 65

Lampiran 12. Hasil Uji Statistik Kadar Pati Beras ………... 66

Lampiran 13. Hasil Uji Statistik Kadar Pati Resisten Beras... 67

Lampiran 14. Hasil Uji Statistik Kadar Daya Cerna Pati in vitro Beras... 68

Lampiran 15. Hasil Uji Statistik Kadar Indeks Glikemik Beras …………... 69

Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Kadar Amilopektin ... 70

Lampiran 17. Hasil Uji Korelasi Kadar Amilosa Dengan Nilai IG………... 71

(16)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kesadaran yang semakin tinggi terhadap kesehatan telah menyebabkan perubahan pola perilaku masyarakat. Kegemukan atau obesitas semakin disadari dapat menimbulkan berbagai penyakit. Penyakit seperti kardiovaskular, hipertensi, dan diabetes melitus merupakan penyakit yang sangat erat kaitannya dengan pola makan sehari-hari. Seiring dengan meningkatnya kesadaran ini, berkembang pula berbagai tindakan pencegahan terhadap penyakit terkait.

Salah satu upaya pencegahan adalah dengan memilih makanan yang tepat, yang tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar tubuh saja, tetapi juga mempunyai sifat fungsional yang akan memberikan dampak positif pada kesehatan. Salah satu cara memilih makanan yang tepat adalah melalui pendekatan indeks glikemik pangan.

Konsep indeks glikemik (IG) merupakan pendekatan yang relatif baru untuk memilih makanan yang tepat, khususnya pangan sumber karbohidrat. Konsep ini menekankan pada pentingnya mengenal pangan (terutama karbohidrat) berdasarkan kecepatan menaikkan kadar glukosa dalam darah. Pangan yang memiliki IG tinggi akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat dan sebaliknya (Rimbawan dan Siagian, 2004). Dengan mengetahui IG pangan, penderita DM dan obesitas akan lebih mudah memilih makanan yang mengenyangkan namun tidak cepat menaikkan kadar glukosa darah.

Beras merupakan salah satu tanaman pangan utama dari hampir setengah populasi dunia (Childs, 2004). Bagi masyarakat Indonesia beras merupakan bahan pangan pokok sehari-hari. Beras dijadikan sumber karbohidrat utama hampir di seluruh daerah di Indonesia karena mudah didapat, rasanya yang enak dan dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Menurut Damardjati et al (1983), sebagai bahan pokok, beras menyumbangkan sekitar 40-80% energi dan 45-55% protein dalam rata-rata menu rakyat Indonesia. Didalam bidang ekonomi, beras merupakan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat Indonesia, sebagai indeks kestabilan

(17)

Pada penelitian ini dilakukan analisis fisikokimia dan indeks glikemik dari sepuluh varietas beras. Beras memiliki banyak varietas dan beberapa dari varietas yang beredar di pasaran itu merupakan varietas unggul dengan rasa yang enak sehingga disukai masyarakat. Oleh karena itu, banyak beredar beras berlabel dengan menggunakan nama-nama varietas tersebut dengan harga yang tinggi. Akan tetapi, karena belum adanya informasi karakteristik dari varietas-varietas tersebut maka banyak terjadi penipuan yang merugikan konsumen. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik beberapa jenis beras yang dapat dijadikan acuan menguji keaslian dan kevalidan beras-beras berlabel.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian adalah menganalisis sifat fisikokimia dari lima varietas beras beramilosa tinggi yakni IR 42, Ciliwung, Batang Piaman, Batang Lembang dan Logawa, serta lima varietas beras beramilosa rendah yakni Celebes, Ciasem (ketan), Sintanur, Gilirang dan Bengawan Solo. Sifat fisik yang diteliti adalah kekrasan beras, bobot seribu butir, uji amilografi, dan analisis warna. sifat kimia yang diteliti antara lain proksimat beras, kadar amilosa, kadar serat pangan, kadar pati, kadar pati resisten, dan daya cerna pati in vitro. Sifat fisik dan kimia yang diteliti ini diharapkan dapat memberikan informasi tentanf nilai gizi yang terkandung dalam varietas beras yang diteliti dan dapat dijadikan sebagai standar mutu. Selain itu juga dilakukan pengujian indeks glikemik terhadap kesepuluh varietas beras tersebut dengan menggunakan 10 orang relawan. Hasil nilai indeks glikemik yang didapat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memilih makanan yang sesuai.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. STRUKTUR BIJI BERAS

Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pertanian yang hingga kini menjadi tanaman utama dunia yang asal-usulnya masih diperdebatkan. Bukti sejarah di provinsi Zheijiang, Cina Selatan, menunjukkan bahwa penanaman padi di Asia telah dimulai 7000 tahun yang lalu. Beras diperkenalkan di Indonesia oleh orang Deutero-Malay yang berimigrasi pada tahun 1599 SM ketika wilayah Indonesia masih ditempati oleh Proto-Malay (Grist, 1975).

Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan jumlahnya, lebih dari 90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Timur, tersebar di negara-negara beriklim subtropis. Dari kelompok spesies padi yang telah dibudidayakan terdapat dua kelompok utama yaitu Oryza sativa yang berasal dari Asia dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat. Kini di dunia lebih banyak dikenal dua kelompok varietas padi Oryza sativa yaitu : japonica dan indica (Winarno, 1984)

Padi japonica banyak ditanam di daerah Jepang, Korea, dan negara-negara subtropis. Sedangkan padi indica banyak ditanam di daerah tropis (khususnya Asia Tenggara). Perbedaan antara kedua padi tersebut antara lain dari bentuk bijinya. Bentuk biji beras japonica secara umum lebih pendek dan lebar dibandingkan beras indica. Japonica memiliki daun yang lebih lebar dan endosperm yang lebih transparan dibanding indica. Perbedaan lain yang juga penting adalah karakteristik pemasakannya, japonica bersifat lebih cepat lembek setelah pemasakan, sebaliknya indica lebih tahan terhadap pemasakan (Grist, 1975). Hal ini berkaitan dengan sifat nasi yang dihasilkan. Nasi dari beras japonica memiliki tekstur yang lebih lengket dan lembek dibandingkan nasi dari beras indica.

Di Indonesia, padi adalah tanaman pangan utama, disamping jagung, sagu, dan umbi-umbian. Terpilihnya padi sebagai sumber karbohidrat utama adalah karena kelebihan-kelebihan sifat tanaman padi dibandingkan tanaman sumber karbohidrat

(19)

Beras merupakan bagian dari tanaman padi (Oryza sativa, L.). Gabah adalah butir padi yang telah rontok dari malainya. Butir gabah terdiri dari satu bagian yang dapat dimakan disebut “Caryopsis” dan satu bagian lagi yang merupakan struktur kulit yang disebut sekam. Bagian sekam adalah 18 sampai 28 persen dari bobot gabah. Gabah yang dikupas akan menghasilkan beras pecah kulit (brown rice). Apabila beras pecah kulit tersebut disosoh maka akan diperoleh beras gilling (milled rice). Beras merupakan satu-satunya jenis biji-bijian yang sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk biji utuh (Winarno, 1984). Bagian butir beras (brown rice) terdiri dari lapisan pericarp, testa atau tegmen, lapisan aleuron, endosperm, dan embrio (Juliano, 1972). Struktur gabah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur biji beras (Grist,1975)

Berdasarkan bentuk selnya, pericarp dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu epicarp, mesocarp dan lapisan melintang (cross layer). Pericarp dengan tebal dinding sel dua m banyak mengandung butir-butir protein dan lemak. Di bagian bawah pericarp terletak lapisan testa yang banyak mengandung lemak. Lapisan aleuron yang terdiri dari sel-sel parenkim merupakan pembungkus endosperm dan

(20)

lembaga yang kaya protein, lemak dan vitamin. Bagian endosperm terdiri dari sel-sel parenkim yang terdiri dari granula pati dan matrik protein. Tebal lapisan dinding sel endosperm adalah 0.25 m. Dinding sel pericarp, aleuron dan endosperm beras bereaksi positif dengan pewarna protein, hemiselulosa dan selulosa (Juliano, 1972).

Lapisan pembungkus endosperm dinamakan kulit ari. Testa dan lapisan aleuron disebut lapisan dalam, sedangkan pericarp disebut lapisan luar. Lapisan-lapisan kulit ari ini hanya dapat dilihat secara mikroskopis. Warna kulit ari ini dari putih sampai kehitam-hitaman. Penghilangan sebagian atau keseluruhannya lapisan ini akan menentukan derajat sosoh. Endosperm hampir seluruhnya terdiri dari sel-sel pati, membentuk biji yang dapat dimakan (Grist, 1975).

B. PENGGILINGAN PADI MENJADI BERAS

Penggilingan (milling) disini menunjukkan keseluruhan proses pengolahan gabah hingga menjadi beras yaitu meliputi proses pembersihan, penghilangan sekam, kulit ari dan proses pemisahan beras yang dihasilkan berdasarkan ukurannya (Luh, 1980). Pengolahan padi menjadi beras di Indonesia dapat dibedakan atas tiga cara yaitu secara tradisional ditumbuk dengan tangan, dengan mesin penggilingan secara kecil-kecilan serta dengan mesin penggilingan pada perusahaan padi komersil (Winarno, 1984).

Pengupasan kulit gabah (hulling) bertujuan untuk menghilangkan sekam dengan kerusakan pada lapisan dedak yang minimum, bila memungkinkan tanpa adanya kepatahan pada beras pecah kulit yang dihasilkan (Araullo et al, 1976). Beras yang telah kehilangan sekam ini masih mengandung lapisan dedak atau pericarp yang menyelaputi endosperm. Bila lapisan dedak dan aleuron telah dihilangkan maka beras ini disebut beras sosoh.

Pada proses penyosohan terjadi pengupasan kulit yang berwarna perak dan lapisan dedak atau sebagian besar lapisan-lapisan beras pecah kulit yang digiling (Grist, 1975). Derajat sosoh dinyatakan dalam persen dan menyatakan tingkat kehilangan dari lembaga dan lapisan kulit ari luar maupun dalam. Dalam sistem

(21)

milled), beras giling ringan (lightly milled) dan beras kurang tergiling (under milled) (Luh, 1980).

C. JENIS-JENIS BERAS

Beberapa cara penggolongan beras yang banyak diterapkan dan dipraktekkan yaitu (1) berdasarkan varietas padinya, sehingga dikenal adanya beras Bengawan Solo, Celebes, Sintanur, dan lain-lain, (2) berdasarkan asal daerahnya, sehingga dikenal adanya beras Cianjur, beras Garut, dan beras Banyuwangi, (3) berdasarkan cara pengolahannya, sehingga dikenal adanya beras tumbuk dan beras giling, (4) berdasarkan tingkat penyosohannya, sehingga dikenal beras kualitas I atau beras kualitas II, (5) berdasarkan gabungan antara sifat varietas padi dengan tingkat penyosohannya (Winarno, 2004).

Berdasarkan ukuran dan bentuk beras, dalam standarisasi mutu beras di pasaran internasional dikenal empat tipe ukuran panjang beras, yaitu biji sangat panjang (> 7 mm), biji panjang (6.0-6.9 mm), biji sedang (5.0-5.9 mm), dan biji pendek (< 5 mm). Sedangkan berdasarkan bentuknya yang ditetapkan berdasar nisbah panjang/lebar, beras juga dibagi atas empat tipe, yaitu lonjong (slender), sedang (medium), agak bulat (bold), dan bulat (round) (Damardjati dan Purwani, 1991).

Menurut Winarno (1997), berdasarkan kandungan amilosanya, beras (nasi) dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu : (1) beras dengan kadar amilosa tinggi 25-33 %; (2) beras dengan kadar amilosa menengah 20-25 %; (3) beras dengan kadar amilosa rendah 9-20 %; (4) beras dengan kadar amilosa sangat rendah < 9 %. Beras ketan praktis tidak ada amilosanya (1-2 %), sedang beras yang mengandung amilosa lebih dari 2% disebut beras biasa atau beras bukan ketan.

Beras berkadar amilosa rendah mempunyai sifat nasi yang pulen, tidak terlalu basah maupun kering. Sedangkan beras berkadar amilosa tinggi mempunyai sifat nasi yang keras, kering dan pera. Penduduk daerah tropis seperti Indonesia, Pakistan dan sebagian Filipina menyukai beras berkadar amilosa sedang, sedangkan penduduk Sri Lanka, Vietnam Selatan, Malaysia Barat, dan Burma menyukai beras berkadar amilosa tinggi (Damardjati dan Purwani, 1991).

(22)

D. SIFAT FISIK BERAS

Sifat-sifat fisik beras antara lain suhu gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan, kelengketan, kelunakan, dan kilap nasi (Damardjati dan Purwani, 1991). Menurut Winarno (1997) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu gelatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69oC), sedang (70-74oC), dan tinggi (>74oC).

Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu gelatinisasi rendah. Sifat fisik yang dianalisis pada penelitian ini antara lain analisis warna, bobot seribu butir, uji amilografi, dan uji kekerasan beras.

E. SIFAT KIMIA BERAS

Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin, dan air. Analisis komponen kimia beras dan fraksi gilingnya menunjukkan bahwa distribusi penyusunannya tidak merata. Lapisan terluar beras kaya akan komponen non pati seperti protein, lemak, serat, abu, pentosa, dan lignin, sedangkan bagian endosperm kaya akan pati (Juliano, 1972).

Karbohidrat utama dalam beras adalah pati dan hanya sebagian kecil pentosan, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Pati beras berkisar antara 85-90% dari berat kering beras. Kandungan pentosan berkisar antara 2.0-2.5%, dan gula 0.6-1.4% dari beras pecah kulit. Menurut Winarno (1997), pati merupakan nonpolimer glukosa dengan ikatan -glukosidik. Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut adalah amilosa sedangkan fraksi tidak larut adalah amilopektin.

Protein sebagai penyusun terbesar kedua setelah pati, mempunyai ukuran granula 0.5-5 m terdiri dari 5% fraksi albumin (larut dalam air), 10% globulin

(23)

larut dalam air, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan volume pengembangan butir pati selama pemanasan (Juliano, 1972).

Seperti halnya serealia lainnya, kandungan lipida tertinggi biji beras terdapat dalam lembaga dan lapisan aleuron yang tekumpul dalam butiran lipida. Kadar lemak dari beras pecah kulit berkisar antara 2.4-3.9%, sedangkan pada beras giling berkisar 0.3-0.6% (Juliano, 1972). Kandungan lipida beras ini dipengaruhi oleh varietas, derajat kematangan biji, kondisi pertanaman dan metode ekstraksi lipida.

Analisis kimia yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis proksimat yang terdiri dari analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat secara by difference. Selain itu juga dilakukan analisis kadar amilosa, kadar serat pangan, kadar pati, analisis daya cerna pati in vitro dan analisis pati resisten.

F. INDEKS GLIKEMIK

Konsep indeks glikemik (IG) diperkenalkan pada awal tahun 1980 untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara karbohidrat dalam makanan dengan kadar glukosa darah (Brand-Miller, 2000). IG menurut Whitney et al (1990) adalah suatu ukuran yang menggambarkan luas kurva kenaikan dan penurunan kadar glukosa darah setelah mengonsumsi suatu makanan tertentu dibandingkan dengan suatu standar. Standar yang digunakan adalah glukosa murni. Nilai IG glukosa murni adalah 100 (Rimbawan dan Siagian, 2004). Setiap jenis makanan memiliki nilai IG yang berbeda-beda. Makanan dengan IG rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar glukosa darah yang tidak terlalu drastis, sesaat setelah makanan tersebut dicerna (Ragnhild et al, 2004). Sedangkan makanan yang memiliki nilai IG tinggi, akan mengalami hal yang sebaliknya.

Bahan pangan berdasarkan nilai IG dapat diklasifikasikan menjadi (1) bahan pangan dengan nilai IG rendah (<55), (2) bahan pangan dengan nilai IG sedang (55-69), (3) bahan pangan dengan nilai IG tinggi (>70) (Foster-Powell et al, 2002). Faktor yang mempengaruhi IG suatu bahan pangan adalah daya cerna pati, interaksi antara pati dengan protein, jumlah dan jenis asam lemak, kadar serat pangan, dan bentuk fisik bahan pangan (Ragnhild et al, 2004).

(24)

Kadar glukosa darah minimum sebesar 40-60 mg/dl diperlukan untuk menyediakan energi bagi susunan saraf pusat sebagai sumber energi utama. Hormon yang berperan meningkatkan kadar glukosa darah adalah hormon adrenalin. Hormon tersebut dihasilkan oleh kelenjar adrenal dan pankreas. Sedangkan hormon yang berperan dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin yang dihasilkan akan sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung di dalam darah. Hormon insulin dihasilkan oleh kelenjar langerhans pada pankreas (Wardlaw, 1999).

Pengetahuan terhadap nilai IG suatu makanan dapat memberikan beberapa keuntungan antara lain dapat membantu mengontrol diet dan berat badan, mengurangi resiko diabetes dan serangan jantung, membantu mengontrol kadar kolesterol dan membantu memperkirakan jumlah makanan yang harus dimakan. Akan tetapi konsep ini juga memiliki keterbatasan antara lain karena terlalu besarnya variasi nilai IG tiap jenis makanan. Selain itu juga, nilai IG dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain metode persiapan makanan, kombinasi dengan makanan lain dan respons yang berbeda antara satu orang dengan yang lain (Anonim, 2007).

(25)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima varietas beras beramilosa tinggi dan lima varietas beras beramilosa rendah yang didapat dalam bentuk beras giling yang berasal dari Sukamandi. Beras beramilosa rendah yang digunakan adalah varietas Sintanur, Bengawan Solo, Gilirang, Celebes, dan Ciasem (ketan) (ketan). Sedangkan beras beramilosa tinggi yang digunakan adalah varietas IR 42, Ciliwung, Batang Piaman, Logawa, dan Batang Lembang. Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain adalah larutan HCl 0.01 N, K2SO4, HgO, larutan

H2SO4 pekat, larutan H3BO3,indikator metil merah 0.2%, metilen blue 0.2%, larutan

NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0.02 N, heksan, larutan glukosa standar 0.2 mg/ml,

larutan HClO4 9.2 N, larutan NaOH 1 N, larutan amilosa, etanol 95%, larutan

iodine, larutan KI, larutan KOH 0.2 N, akuades, dan thymol blue 0.025%. Bahan-bahan kimia ini berasal dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

Alat-alat yang digunakan antara lain neraca analitik, cawan alumunium, oven, desikator, labu Kjedahl, batu didih, gelas Erlenmeyer, cawan porselein, tanur, kertas saring, labu Soxhlet, gelas ukur, spektrofotometer, water bath, orbital staker, sentrifuse, batang pengaduk, amalgamotor, kertas grafik, bowl, amilograf, dan alat-alat gelas.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian yang berada di Cimanggu, Bogor.

1. Penelitian Pendahuluan

Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian pendahuluan adalah analisis secara fisik dan kimia. Analisis fisik meliputi pengujian warna, bobot seribu butir, uji amilografi, dan uji kekerasan beras. Sedangkan analisis kimia yang dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan

(26)

karbohidrat), nilai energi, amilosa, serat pangan, kadar pati, pati resisten, dan daya cerna pati secara in vitro.

2. Penelitian Utama

Penelitian utama yang dilakukan adalah menguji nilai IG 10 varietas beras dengan kadar amilosa rendah dan tinggi masing-masing dengan 10 orang relawan. Beras tersebut sebelumnya diolah menjadi nasi menggunakan rice cooker agar dapat dikonsumsi oleh relawan. Pada pengujian IG relawan terpilih diharuskan menjalani puasa penuh (kecuali air) selama ± satu malam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi keesokan harinya). Hal ini bertujuan untuk mengetahui kadar glukosa darah puasa relawan tersebut. Setelah pengukuran kadar glukosa darah puasa, relawan diberikan sampel yang mengandung 50 gram karbohidrat untuk dikonsumsi. Sampel darah relawan akan diuji setiap 30 menit selama dua jam (pada menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90, dan ke-120) setelah mengonsumsi sampel . Hal ini dilakukan untuk mengetahui respons kadar glukosa darah relawan terhadap sampel yang diberikan

C. METODE ANALISIS 1. Analisis Sifat Fisik

a. Warna

Pengukuran warna dilakukan dengan khromameter. Sampel berupa tepung beras diletakkan pada wadah transparan kemudian diukur menggunakan khromameter. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, b. Nilai L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0 - (-80) untuk warna hijau. Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70 untuk warna kuning, b- = 0-(-70) untuk warna biru. Dari ketiga parameter itu dapat dilakukan perhitungan untuk mengukur derajat putih sampel.

(27)

b. Bobot Seribu Butir

Beras kepala yang masih baik dan utuh dipilih sebanyak 1000 butir. Kemudian ditimbang bobotnya. Perlakuan ini diulang beberapa kali dan hasilnya dirata-ratakan. Nilai yang didapat adalah bobot seribu butir.

c. Uji Amilografi (Bhattacharya, 1979)

Uji amilografi bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi suspensi tepung beras. Sampel sebanyak 40 gram ditimbang dan dilarutkan dengan 460 ml air destilata. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bowl. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 20°C atau 25°C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah sehingga pada saat mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap menit.

Mesin amilograf dihidupkan. Pada saat suspensi mencapai suhu 30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95°C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf terdiri dari: 1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai naik

2. Suhu pada puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada saat nilai maksimum viskositas dapat dicapai

3. Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Brabender Unit

d. Kekerasan Beras

Pengukuran kekerasan beras dilakukan dengan menggunakan Kiya Hardness Meter. Sampel beras diletakkan pada tempat yang telah ditentukan. Beras tersebut akan ditusuk oleh jarum penusuk selama beberapa saat. Kemudian jarum penunjuk kekerasan akan bergerak dan menunjukkan nilai kekerasan beras yang diukur tersebut.

(28)

2. Analisis Sifat Kimia a. Analisis Proksimat

- Analisis Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995)

Kadar air diukur dengan metode oven biasa karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak mengalami degradasi pada suhu 100ºC. Pertama-tama, cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C selama 15 menit. Cawan tersebut lalu diangkat dan didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai cawan tidak terasa panas. Cawan yang telah dingin kemudian ditimbang dan dicatat beratnya. Setelah itu, sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0,003 gram). Cawan tersebut lalu diangkat, didinginkan di dalam desikator, dan ditimbang berat akhirnya. Kadar air dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Kadar air (% b/b) 100% a) -(x y) -(x × = Keterangan:

x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g)

- Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan porselin dipanaskan di dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin, cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna putih dan beratnya konstan. Pengabuan dilakukan dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap pertama suhu 400°C lalu dilanjutkan pada suhu 550°C. Cawan lalu diangkat, didinginkan dalam desikator, dan

(29)

Perhitungan: Kadar Abu (% b/b) 100% W W 1 2 × = Keterangan: W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat abu (g)

- Analisis Kadar Protein, Metode Mikro Kjeldahl (AOAC, 1995) Sampel sebanyak ± 0,2 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0,01N/0,02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Lalu ditambahkan 2 gram K2SO4, 50 mg HgO, 2 ml H2SO4 pekat,

dan batu didih. Sampel kemudian didekstruksi selama 1-1.5 jam hingga jernih dan didinginkan. Setelah itu, ditambahkan 2 ml air yang dimasukkan secara perlahan ke dalam labu dan didinginkan kembali. Cairan hasil dekstruksi (cairan X) dimasukkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator

(Methylen red : Methylen blue = 2:1) diletakkan di ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang kondensor terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi

dilakukan hingga larutan dalam erlenmeyer ± 50 ml. Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko.

Perhitungan: Kadar N (%) 100% W 14,007 C Vb) -(Vs × × × = Kadar protein (%) = % N x 5.95

(30)

Keterangan:

Vs = Volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = Volume untuk titrasi blanko (ml) C = Konsentrasi HCl (N)

W = Berat sampel (mg)

- Analisis Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang telah bebas lemak dikeringkan di dalam oven, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dalam kertas saring kemudian ditutup kapas yang bebas lemak. Sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian dipasang kondensor dan labu pada ujung-ujungnya. Lalu dimasukkan pelarut heksana ke dalam alat dan sampel direfluks selama 5 jam. Setelah itu, pelarut didestilasi dan ditampung pada tempat lain. Labu lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh berat tetap. Labu lemak kemudian dipindahkan ke desikator untuk didinginkan, lalu ditimbang dan dicatat beratnya.

Perhitungan: Kadar Lemak (% b/b) 100% W W 1 2 × = Keterangan: W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat lemak (g)

- Kadar Karbohidrat by difference (AOAC, 1995)

Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference dilakukan dengan cara:

Kadar karbohidrat (% bk)

(31)

b. Analisis Kadar Amilosa (Juliano, 1971 yang Dimodifikasi)

o Pembuatan Kurva Standar

Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar kemudian didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan juga asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml. Selanjutnya larutan tersebut juga ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit. Larutan kemudian diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.

o Penetapan Sampel

Sejumlah 100 mg sampel tanpa lemak dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol serta 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan kemudian dipipet sebanyak 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml asetat 1 N serta 2 ml larutan iod. Larutan selanjutnya ditambah akuades sampai tanda tera, dikocok, didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan rumus :

Kadar Amilosa (%) 100% W FP S A× × = Keterangan :

A = absorbansi sampel pada panjang gelombang 620 nm S = slope kemiringan pada kurva standar

FP = faktor pengenceran, yaitu 0,002 W = berat sampel (gram)

(32)

c. Analisis Kadar Serat Pangan , Metode Multienzim (Asp et al, 1983)

Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-phospat 0,1 M pH 6 dan diaduk agar terbentuk suspensi. Selanjutnya ditambahkan 0,1 ml enzim termamyl ke dalam erlenmeyer berisi sampel. Erlenmeyer lalu ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air dengan suhu 100°C selama 15 menit sambil diaduk sesekali.

Sampel diangkat dan didinginkan, lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1,5 menggunakan HCl 4 N. Selanjutnya enzim pepsin sebanyak 100 mg ditambahkan ke dalam erlenmeyer berisi sampel, ditutup, dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40°C selama 1 jam. Erlenmeyer kemudian diangkat, ditambahkan air destilata, dan pH diatur menjadi 6,8 menggunakan NaOH. Setelah pH 6,8 tercapai, ditambahkan enzim pankreatin sebanyak 100 mg ke dalam erlenmeyer, erlenmeyer ditutup, dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40°C selama 1 jam. Persiapan tahap akhir adalah pengaturan pH menjadi 4,5 menggunakan HCl. Larutan sampel dengan pH 4,5 lalu disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0,5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan 2 kali pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata. - Residu (Serat pangan tidak larut)

Sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Sampel lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 105°C selama satu malam atau hingga mencapai berat konstan. Sampel yang telah kering kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Setelah itu, sampel diabukan dengan tanur pada suhu 550°C selama 5 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

(33)

Filtrat tersebut kemudian disaring dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0,5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Filtrat lalu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Selanjutnya filtrat dikeringkan dengan oven pada suhu 105°C selama satu malam atau hingga mencapai berat konstan. Filtrat lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Setelah itu, filtrat diabukan dengan tanur pada suhu 550°C selama 5 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

- Blanko

Penetapan blanko dapat dilakukan dengan cara yang seperti prosedur untuk sampel, tetapi dilakukan tanpa penambahan sampel. Perhitungan :

% Serat pangan tidak larut (IDF) 100% sampel Berat ) B -I -(D1 1 1 × =

% Serat pangan larut (SDF) 100%

sampel Berat ) B -I -(D2 2 2 × =

% Total Serat (TDF) = (SDF + IDF) (%) Keterangan :

D = Berat setelah pengeringan (gram) I = Berat setelah pengabuan (gram)

B = Berat blanko bebas abu (gram) = (D-I)blanko

d. Analisis Daya Cerna Pati In vitro (Muchtadi et al, 1992 yang Dimodifikasi)

Sampel dibuat suspensi dalam aquades (1%), kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 90°C. Setelah itu, sampel didinginkan dan diambil sebanyak 2 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-Fosfat 0,1 M juga ditambahkan ke dalam tabung reaksi, lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 15 menit, dan didinginkan. Setelah dingin, ke dalam tabung reaksi

(34)

ditambahkan larutan enzim amilase yang telah dilarutkan dalam buffer Na-Fosfat 0,05 M. Larutan tersebut kemudian diinkubasi kembali pada suhu 37°C selama 30 menit.

Sampel dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain. Setelah itu, ke dalam tabung reaksi ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5-dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat, dan 1,6 gram NaOH dalam 100 ml aquades. Larutan tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 100°C selama 10 menit sampai terbentuk warna oranye. Warna merah oranye yang terbentuk lalu diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi dihitung menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Daya cerna pati beras dihitung sebagai berikut:

% Daya cerna pati = 100% b

a

×

Keterangan:

a = kadar maltosa sampel setelah reaksi enzimatis b = kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzimatis

e. Analisis Kadar Pati Resisten (Englyst and Cumming, 1988 yang dikutip

oleh Marsono, 1993)

Sampel ditimbang sebanyak 100 mg, kemudian dimasukkan ke dalam tabung screw cap.

§ Ekstraksi gula

Larutan etanol 80 % sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung screw cap. Tabung tersebut kemudian disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm dan suhu 4oC selama 25 menit. Supernatan yang terbentuk lalu

(35)

Erlenmeyer dan ditera sebagai gula sederhana menggunakan Analisis gula reduksi secara spektrofotometri. Padatan dalam tabung ditambahkan 5 ml aseton lalu dikeringkan dengan aliran gas N2.

§ Ekstraksi lemak (jika kadar lemak sampel lebih dari 5 %)

Padatan di dalam tabung ditambahkan dengan 8 ml heksana atau petroleum eter. Tabung tersebut kemudian divortex dan dilanjutkan dengan sentrifugasi selama 15 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang. Sedangkan padatannya ditambahkan dengan 2-3 ml aseton lalu dikeringkan dengan aliran gas N2.

§ Hidrolisis pati

Padatan di dalam tabung ditambahkan dengan 7,5 ml buffer Na-asetat 0.1 M pH 5.0, 1.5 ml akuades, dan magnetic flea. Selanjutnya dilakukan proses gelatinisasi pada suhu 100oC selama 30 menit menggunakan penangas air yang dilengkapi dengan magnetic stirrer. Enzimα-endoamilase dimasukkan ke dalam tabung. Tabung lalu ditutup dan diinkubasi pada suhu 95oC selama 30 menit sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Setelah didinginkan, amiloglukosidase sebanyak 200 µl dan 50 µl pullulanase dimasukkan ke dalam tabung. Tabung ditutup dan distirer pada suhu 40oC selama satu malam. Setelah satu malam, larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit. Pemanasan tersebut bertujuan menginaktifasi enzim.

§ Presipitasi TDF dan RS

Larutan di-evapomix sampai volumenya kurang dari 4 ml. Kemudian ke dalam larutan ditambahkan 24.6 ml etanol 93% dan didiamkan selama satu malam dalam ruang dingin (suhu 4-10oC) untuk mendapatkan TDF dan RS. Tabung lalu disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm dan suhu 4 oC selama 15 menit. Supernatan selanjutnya dipindahkan ke dalam Erlenmeyer. Proses ekstraksi dilakukan hingga

(36)

dua kali ulangan dengan penambahan 10 ml etanol 80%. Supernatan hasil ekstraksi dikumpulkan dalam Erlenmeyer dan ditera sebagai pati dengan menggunakan Analisis gula reduksi secara spektrofotometri. Padatan dalam tabung ditambah dengan 2-3 ml aseton lalu dikeringkan dengan aliran gas N2.

§ Hidrolisis RS

Padatan dalam tabung ditambah dengan 1.5 ml KOH 2 M dan di-stirer selama 30 menit pada suhu kamar. Selanjutnya dimasukkan 7.5 ml buffer Na-asetat 0.1 M pH 5.0 dan 50µl pullulanase, tabung lalu ditutup dan di-stirer pada suhu 40 oC selama satu malam. Setelah didiamkan selama satu malam, larutan dipanaskan di dalam air mendidih selama 15 menit. Hal tersebut bertujuan menginaktifasi enzim.

§ Presipitasi TDF

Larutan di-evapomix sampai volumenya kurang dari 4 ml. Kemudian ke dalam larutan ditambahkan 24.6 ml etanol 93% dan didiamkan selama satu malam dalam ruang dingin (suhu 4-10oC). Proses tersebut dilakukan untuk mengendapkan TDF. Tabung lalu disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm dan suhu 4 oC selama 15 menit. Supernatan selanjutnya dipindahkan ke dalam Erlenmeyer. Proses ekstraksi dilakukan hingga dua kali ulangan dengan penambahan 10 ml etanol 80%. Supernatan hasil ekstraksi dikumpulkan dalam Erlenmeyer dan ditera sebagai RS dengan menggunakan Analisis gula reduksi secara spektrofotometri. Padatan dalam tabung ditambah dengan 2-3 ml aseton lalu dikeringkan dengan aliran gas N2.

3. Pengujian Indeks Glikemik (El, 1999)

(37)

Standar yang digunakan adalah glukosa murni. Pengujian IG dilakukan untuk mengetahui nilai IG sampel yang diuji (10 varietas beras). Relawan yang dibutuhkan dalam analisis ini berjumlah 10 orang dan seluruhnya adalah mahasiswa IPB. Sebelum pengambilan sampel darah, relawan harus menjalani puasa penuh (kecuali air) selama satu malam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi keesokan harinya). Pada hari pengambilan sampel darah, relawan mengonsumsi 1 porsi nasi yang mengandung 50 gram karbohidrat. Setelah itu, dilakukan pengambilan sampel darah. Sampel darah yang diambil sebanyak 20

µL (finger prick capillary blood sampel method) setiap 30 menit selama 2 jam (menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90, dan ke-120). Pengambilan darah juga dilakukan untuk menguji kadar IG glukosa murni sebagai standar dengan prosedur yang sama dengan pengambilan darah sampel beras. Glukosa murni yang dikonsumsi oleh relawan sebanyak 50 gram.

Kadar glukosa darah diukur menggunakan glukometer. Caranya dengan menempelkan sampel darah yang telah diambil pada alat tersebut, kemudian alat tersebut dengan cepat akan mengukur dan memberikan hasilnya. Nilai kadar glukosa darah ini kemudian diplotkan menjadi sebuah grafik dengan sumbu x adalah waktu pengukuran dan sumbu y adalah kadar glukosa darah. Nilai IG kemudian dihitung dengan membandingkan luas daerah dibawah kurva antara pangan sampel dan pangan acuan. Nilai IG akhir adalah nilai rata-rata dari 10 orang relawan tersebut.

(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A KARAKTERISASI SIFAT FISIK BERAS

1 Kekerasan Beras

Kekerasan adalah sifat yang menunjukkan daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Kekerasan merupakan kemampuan maksimal bahan dalam menahan beban yang diterimanya. Pengukuran kekerasan dapat dilakukan dengan memberikan gaya tekan pada sampel hingga sampel patah atau hancur. Nilai kekerasan ditentukan dari gaya maksimum yang dicapai hingga sampel patah atau hancur. Analisis kekerasan beras dilakukan menggunakan Kiya Hardness Meter. Hasil analisis kekerasan beras dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Kekerasan Beras dan Bobot Seribu Butir pada sepuluh varietas beras Indonesia

Varietas Kekerasan Beras (KgF) Bobot 1000 Butir (gram) Celebes 6.57e 15.7b Ciasem (ketan) 6.74f 20.35f Bengawan Solo 6.00c 14.11a Sintanur 6.48de 19.11e Gilirang 5.54b 21.55g Ciliwung 6.75f 18.03d Logawa 6.37d 19.8ef Batang Piaman 6.99g 22.02f Batang Lembang 6.37d 20.4g IR 42 5.30a 17.15c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Nilai kekerasan beras yang terendah dimiliki oleh varietas IR 42 (5.30 Kgf) sedangkan nilai terbesar dimiliki oleh varietas Batang Piaman (6.99 Kgf). Hasil

(39)

penelitian yang dilakukan oleh Widiatmoko (2005) nilai kekerasan beras ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kadar air, lama penyimpanan beras, dan derajat sosohnya. Semakin banyak kadar air yang terkandung dalam beras, maka beras akan semakin keras. Sebaliknya semakin sedikit kadar air yang terkandung dalam beras, maka beras akan semakin rapuh sehingga nilai kekerasannya akan lebih kecil.

2 Bobot Seribu Butir

Bobot seribu butir menunjukkan bobot tiap butir beras yang menentukan hasil produksi. Nilai ini dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya campuran dalam sampel beras di pasaran. Selain itu juga dapat digunakan untuk mengetahui kemurnian suatu varietas beras. Hasil analisis pengukuran bobot seribu butir beras sampel menghasilkan data seperti terlihat pada Tabel 1.

Nilai bobot seribu butir beras yang dianalisis berkisar antara 15.7-22.0 gram. Nilai yang terendah dimiliki oleh varietas Celebes (15.7 g) sedangkan yang tertinggi dimiliki oleh varietas Batang Piaman (22.0 g). Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 2) terhadap bobot seribu butir menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara varietas Ciasem (ketan), Logawa, dan Batang Piaman pada taraf 0.05.

Litbang Deptan (2002) telah mengeluarkan daftar bobot seribu butir beberapa varietas beras, antara lain Ciherang, Cilamaya Muncul dan Pandan Wangi. Varietas Ciherang memiliki bobot seribu butir sebesar 27-28 gram, Varietas Cilamaya Muncul sebesar 26-27 gram sedangkan Varietas Pandan Wangi memiliki bobot seribu butir sebesar 22-23 gram. Bobot seribu butir dipengaruhi oleh ketersediaan unsur-unsur hara dalam tanah selama penanaman padi. Kekurangan unsur hara pada saat penanaman akan mengakibatkan bobot seribu butir yang dihasilkan lebih rendah dari yang seharusnya.

3 Warna

Warna suatu benda akan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adanya sinar sebagai sumber penerangan yang menyinari benda, sifat absorpsi dan

(40)

refleksi spektrum benda yang disinari, kondisi lingkungan benda dan kondisi subyek yang melihat benda (Kusnandar dan Andarwulan, 2004). Tanpa adanya sumber penerangan yang memadai maka warna suatu benda tidak dapat diidentifikasi dengan benar. Demikian juga dengan sifat absorpsi dan refleksi cahaya oleh benda, kondisi lingkungan dan kondisi subyek yang melihat benda akan mempengaruhi penilaian atau persepsi terhadap warna. Oleh karena itu, untuk dapat mendefinisikan warna benda seobyektif mungkin, maka berkembang teknik pengukuran dengan menggunakan instrument dimana warna benda dapat diukur secara kuantitatif.

Pengukuran warna pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan khromameter. Pengukuran dengan alat ini akan menghasilkan data dengan tiga parameter yang diberi notasi L, a*, dan b*. Notasi L menyatakan parameter kecerahan (lightness) dengan nilai L = 0 berarti hitam dan 100 berarti putih. Artinya semakin besar nilai L maka warna benda akan semakin memdekati warna putih, sebaliknya semakin kecil nilai L, maka warna benda akan semakin mendekati warna hitam. Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam.

Notasi a* menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a* (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Semakin besar nilai +a* (positif), warna benda akan semakin mendekati warna merah. Sebaliknya semakin kecil nilai -a* (negatif), warna benda akan semakin mendekati warna hijau. Notasi b* menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna biru dan nilai –b* (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna kuning. Semakin besar nilai +b* (positif), warna benda akan semakin mendekati warna merah. Sebaliknya semakin kecil nilai -b* (negatif), warna benda akan semakin mendekati warna hijau. Hasil analisis warna dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

(41)

Tabel 2. Warna dan Derajat Putih pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas Nilai L Nilai a* Nilai b* Derajat Putih*)

Celebes 77.97c 4.80e 11.94c 74.49cd Ciasem (ketan) 82.57d 4.55b 11.08b 78.85e Bengawan Solo 76.30a 4.90f 14.36f 71.86a Sintanur 77.39b 4.59bc 14.69g 72.65b Gilirang 76.67a 4.64cd 13.21d 72.80b Ciliwung 77.35b 5.10g 11.10b 74.27c Logawa 76.29a 4.89f 13.93e 72.07a Batang Piaman 77.97c 4.80e 11.94c 74.49cd Batang Lembang 77.53b 4.43a 10.43a 74.83d IR 42 77.98c 4.67d 12.21c 74.39c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05)

*) Nilai derajat putih didapatkan berdasarkan hasil perhitungan, bukan dari hasil pengukuran menggunakan khromameter. Perhitungan dilakukan menggunakan persamaan sebagai berikut : Derajat Putih (DP) = 100-[(100 - L*)2+ a*2+ b*2]1/2

Dengan menggunakan data L*, a*, b* dapat juga dihitung derajat putih (tingkat keputihan) dari sampel menggunakan persamaan: Derajat Putih (DP) = 100-[(100 - L*)2 + a*2 + b*2]1/2 . Derajat putih ini berguna untuk menentukan tingkat keputihan sampel yang berbentuk tepung (Soekarto, 1990).

Berdasarkan Tabel 2 nilai kecerahan (L*) yang tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (82.6) sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Logawa (76.2). Nilai a* tertinggi dimiliki oleh varietas Ciliwung (5.1) sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Batang Lembang (4.4). Nilai b* yang tertinggi dimiliki oleh varietas Sintanur (14.7) sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Batang Lembang (10.4). Nilai derajat putih yang tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (78.9) sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Bengawan Solo (71.9). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bernard (2005) terhadap derajat putih beras varietas IR 42 dan Padi Panjang menghasilkan tingkat kecerahan 79 dan 69. Padi Panjang adalah salah satu jenis padi etnik dari Kalimantan Selatan. Hasil analisis sidik ragam terhadap analisis warna dapat dilihat pada Lampiran 3.

(42)

4 Uji Amilografi

Uji amilografi digunakan untuk melihat sifat dari gelatinisasi pati beras yang diteliti. Beberapa parameter yang diamati antara lain suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi, viskositas pada suhu 93oC, viskositas pada suhu 93 oC setelah 20 menit, viskositas pada suhu 50 oC, viskositas pada suhu 50 oC setelah 20 menit. Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat kurva mulai menaik, sedangkan suhu puncak gelatinisasi diukur pada saat puncak maksimum viskositas tercapai. Viskositas maksimum adalah besarnya viskositas pada saat titik puncak gelatinisasi yang dinyatakan dalam Brabender Unit (BU).

Menurut Winarno (1997), bila suspensi pati dalam air dipanaskan maka akan dapat diamati beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu mulai berubah menjadi jernih pada suhu tertentu. Hal tersebut biasanya diikuti oleh pembengkakan granula pati. Pembengkakan ini terjadi bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat dari gaya tarik-menarik antar molekul pati didalam granula sehingga air dapat masuk ke dalam butur-butir pati. Indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak itu mendekati indeks refraksi air sehingga warnanya berubah menjadi jernih.

Pati memiliki gugus hidroksil yang jumlahnya sangat banyak. Hal inilah yang menyebabkan kemampuan menyerap airnya sangat besar. Hal inilah yang menyebabkan granula pati membengkak. Peningkatan viskositas terjadi karena air yang awalnya berada diluar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan kini berada didalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997). Menurut Swinkels (1985), peningkatan viskositas terjadi akibat friksi yang lebih besar dengan semakin membengkaknya granula dan keluarnya eksudat granula ke dalam larutan.

Bila pati telah mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan

(43)

kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi ini disebut retrogradasi. Hasil analisis amilografi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Data Amilografi pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas Waktu el. (menit) Suhu Gel. (oC) Suhu Visk. puncak (oC ) Visk. Puncak (BU) Visk. Pd Suhu 93oC (BU) Visk. Pd Suhu 93oC Setelah 20 Menit (BU) Visk. Pd Suhu 50oC (BU) Visk Pd Suhu = 50 oC setelah 20 menit (BU) Celebes 39 89 - 700 200 300 704 625 Ciasem (ketan) 35 83 - 360 148 240 360 355 Bengawan Solo 40 90 - 680 127 270 680 625 Sintanur 39 89 - 900 260 400 900 810 Gilirang 37 86 93 760 308 360 760 708 Ciliwung 39 88 93 760 300 320 760 740 Logawa 39 88 - 650 168 248 650 580 Batang Piaman 38 87 - 400 120 200 400 360 Batang Lembang 39 89 - 468 118 216 468 430 IR 42 38 87 - 595 210 360 595 550

Berdasarkan Tabel 3, suhu gelatinisasi beras yang diteliti berkisar antara 83-90 oC. Suhu gelatinisasi yang tertinggi dimiliki oleh varietas Bengawan Solo (90

o

C), sedangkan suhu gelatinisasi yang terendah dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan). Berdasarkan suhu gelatinisasinya, beras dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yakni beras dengan suhu gelatinisasi rendah (55-69 oC), suhu gelatinisasi sedang (70-74 oC), dan suhu gelatinisasi tinggi (>74 oC) ( Khush dan Cruz, 2000). Jadi beras yang dianalisis termasuk golongan beras dengan suhu gelatinisasi tinggi.

(44)

Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa hal yakni karakteristik granula, terdapatnya komponen protein, lemak, dan juga gula pada tepung. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu gelatinisasi dari beras yang diteliti berkisar antara 35-40 menit. Menurut Juliano (1972), hubungan suhu gelatinisasi dengan waktu pemasakan beras menunjukkan bahwa peningkatan suhu gelatinisasi akan memperlama waktu pemasakan beras menjadi nasi. Beras yang memiliki suhu gelatinisasi rendah akan menyerap air dan mengembang pada suhu yang lebih rendah dibandingkan beras yang memiliki suhu gelatinisasi tinggi.

Berdasarkan Tabel 3, suhu viskositas maksimum sebagian besar tidak terukur. Hanya ada dua varietas yang terukur yakni Gilirang dan Ciliwung yang suhu viskositas maksimumnya sebesar 93 oC. Suhu viskositas maksimum yang tidak terukur kemungkinan karena suhu maksimum viskositas beras tersebut lebih besar dari 93 oC. Karena setelah suhu 93 oC tercapai maka amilograph akan mempertahankan suhu ini selama 20 menit. Akibatnya varietas beras yang memiliki suhu viskositas maksimum lebih dari 93 oC tidak akan memiliki puncak pada kurva dan suhunya tidak dapat terukur.

Viskositas maksimum adalah besarnya viskositas pada saat titik puncak gelatinisasi. Pada titik ini granula pati yang mengembang mulai pecah diikuti dengan pengembangan viskositas. Berdasarkan data di atas viskositas maksimum beras yang dianalisis berkisar antara 390-900 BU. Viskositas tertinggi dimiliki oleh varietas Sintanur (900 BU) sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (390 BU). Viskositas yang tinggi menunjukkan kemampuan granula pati dalam menyerap air juga tinggi.

B KARAKTERISASI SIFAT KIMIA BERAS 1 Analisis Proksimat

Analisis proksimat beras adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui kadar suatu komponen tertentu yang terkandung di dalamnya. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan

(45)

Tabel 4. Hasil analisis proksimat pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas Kadar Air (%) Kadar Abu (%bk) Kadar Protein (%bk) Kadar Lemak (%bk) Kadar Karbohidrat by difference (%bk) Celebes 12.48ab 0.73ab 8.55b 0.53a 90,19def Ciasem (ketan) 13.13b 0.74ab 10.60c 0.95bc 87,71 a Bengawan Solo 12.59ab 0.72ab 7.62a 0.59a 91,07f Sintanur 12.50ab 0.77ab 9.02b 1.04cd 89,17bc Gilirang 13.31b 0.58a 8.76b 0.81b 89,85cde Ciliwung 12.79b 0.82b 9.13b 1.31e 88,74b Logawa 13.03b 0.86b 9.01b 0.99bc 89,14bc Batang Piaman 13.02b 0.68ab 7.56a 1.10cd 90,66 ef Batang Lembang 13.20b 0.68ab 10.58c 1.05cd 87,69 a IR 42 11.82a 0.78ab 8.59b 1.23de 89,40bcd

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

1.1 Kadar air

Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang sangat berpengaruh dalam proses penyimpanan beras. Beras yang memiliki kadar air yang tinggi akan mudah rusak dan mengalami penurunan mutu. Badan Standardisasi Nasional (BSN) mensyaratkan kadar air maksimum beras giling adalah 14 %.

Kadar air beras yang diuji berada pada kisaran 11.82-13.31 %, ini masih dianggap aman untuk penyimpanan karena masih di bawah standar yang ditetapkan yakni 14 %. Kadar air yang tertinggi dimiliki oleh varietas Gilirang (13.31 %), sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas IR 42 (11.82 %). Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kadar air varietas Celebes, Ciasem (ketan), Bengawan Solo, dan Sintanur tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Begitu pula antara varietas Gilirang, Ciliwung, Logawa, Batang Piaman, dan Batang Lembang.

(46)

1.2 Kadar Abu

Abu adalah residu anorganik yang didapatkan setelah proses penghilangan bahan-bahan organik yang terkandung dalam suatu bahan (Sudarmadji et al,1996). Kadar abu ditentukan berdasarkan kehilangan bobot yang terjadi setelah sampel mengalami proses pembakaran pada suhu yang sangat tinggi (500-600 oC). Kadar abu secara kasar dapat mencerminkan kadar mineral yang terkandung dalam beras. Mineral-mineral yang terkandung dalam abu terdapat dalam bentuk garam oksida, sulfat, fosfat, nitrat, dan klorida (Miller, 1998).

Nilai kadar abu beras yang diteliti berkisar antara 0.58-0.86 % bk. Kadar abu tertinggi dimiliki oleh varietas Logawa (0.86 %) sedangkan kadar abu terendah dimiliki oleh varietas Gilirang (0.58 %) (Tabel 4). Menurut Juliano (1972) kadar abu beras berada pada kisaran 0.6 %. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 5) menunjukkan kadar abu pada varietas beras tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Varietas Celebes, Ciasem (ketan), Bengawan Solo, Batang Piaman, Batang Lembang, IR 42, dan Sintanur tidak berbeda nyata. Begitupun antara varietas Ciliwung dengan Logawa.

Kadar abu pada beras dipengaruhi oleh derajat penyosohan dan kandungan unsur hara dalam tanah. Menurut Juliano (1972), distribusi mineral pada beras yang sudah disosoh adalah sekitar 28 % dari total mineral yang terkandung pada beras pecah kulit. Kandungan mineral terbesar ditemukan pada bagian dedak yaitu sebesar 51 % dari total mineral yang terkandung dalam beras pecah kulit. Proses penyosohan adalah proses yang paling bertanggungjawab terhadap rendahnya kandungan mineral pada beras giling yang dikonsumsi sehari-hari. Kandungan mineral pada beras sebagian besar ditemukan pada bagian dedak dan embrio yang hilang pada saat proses penyosohan.

(47)

terdiri atas unsur nitrogen. Jumlah unsur ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan kadar protein dalam beras. Unsur nitrogen yang terikat dalam bentuk matriks dilepaskan melalui proses destruksi dan diukur jumlahnya.

Kadar protein beras yang dianalisis berkisar antara 7.56-10.59 % bk. Nilai tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (10.59 %) sedangkan nilai kadar protein terendah dimiliki oleh varietas Batang Piaman (7.56 %) (Tabel 4). Menurut Juliano (1972) kadar protein beras berada pada kisaran 7 %. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 6) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara varietas Celebes, Sintanur, Gilirang, Ciliwung, Logawa, dan IR 42. Begitupun antara varietas Bengawan Solo dan Batang Piaman serta varietas Ciasem (ketan) dan Batang Lembang. Kadar protein pada beras giling sangat dipengaruhi oleh derajat sosoh dan kondisi tanah tempat beras ditanam. Beras yang tumbuh pada tanah yang kaya akan unsur N akan cenderung memiliki kadar protein yang tinggi (Juliano, 1972).

1.4 Kadar Lemak

Lemak adalah suatu golongan senyawa yang bersifat tidak larut air, namun larut dalam pelarut organik. Pelarut yang umum digunakan untuk mengukur kadar lemak adalah heksana, dietil eter, dan petroleum eter (Sudarmadji et al, 1996). Metode pengukuran lemak yang digunakan pada analisis ini adalah metode Soxhlet.

Kadar lemak hasil analisis beras yang diuji menunjukkan nilai yang berkisar antara 0.53-1.31 % bk. Kadar lemak tertinggi dimiliki oleh varietas Ciliwung (1.31 %) sedangkan kadar lemak terendah dimiliki oleh varietas Celebes (0.53 %) (Tabel 3). Menurut Juliano (1972) kadar lemak beras berada pada kisaran 0.5 %. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa varietas Ciasem (ketan) dan Logawa tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Begitu pula antara varietas Celebes dengan Bengawan Solo. Varietas Sintanur, Batang Piaman dan Batang Lembang juga tidak berbeda nyata.

(48)

Penelitian yang dilakukan oleh Resureccion et al (1979) pada beras pecah kulit IR 32 menemukan bahwa kadar lemak beras yang sudah mengalami penyosohan dan penggilingan hanyalah sekitar 17 % dari total lemak keseluruhan yang terdapat pada beras pecah kulit tersebut. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa kandungan lemak terbesar pada beras pecah kulit terdapat pada bagian dedak (51 %).

1.5 Kadar Karbohidrat by difference

Karbohidrat adalah zat gizi yang dapat ditemui dalam jumlah terbesar pada beras. Karbohidrat dalam serealia termasuk beras sebagian besar terdapat dalam bentuk pati. Penentuan kadar karbohidrat dalam analisis proksimat dilakukan secara by difference. Total jumlah kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat beras adalah 100 %.

Kadar karbohidrat beras yang diteliti berada pada kisaran 87.69-91.07 % bk. Nilai karbohidrat yang tertinggi dimiliki oleh varietas Bengawan Solo (91.07 %) sedangkan nilai karbohidrat yang terendah dimiliki oleh varietas Batang Lembang (87.69 %) (Tabel 4). Menurut Juliano (1972) kadar karbohidrat beras berada pada kisaran 78 %. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 8) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara varietas Ciasem (ketan) dengan Batang Lembang, varietas Bengawan Solo dengan Batang Piaman dan antara varietas Ciliwung dengan Logawa.

2 Kadar Amilosa

Kadar amilosa adalah salah satu kriteria penting dalam sistem klasifikasi beras. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras (nasi) dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu : (1) beras dengan kadar amilosa tinggi 25-33 %; (2) beras dengan kadar amilosa menengah 20-25 %; (3) beras dengan kadar amilosa rendah 9-20 %; (4) beras dengan kadar amilosa sangat rendah < 9 %. Beras ketan praktis tidak ada amilosanya (1-2 %), sedang beras yang mengandung amilosa lebih dari

Gambar

Gambar 1. Struktur biji beras (Grist,1975)
Tabel 1. Nilai Kekerasan Beras dan Bobot Seribu Butir pada sepuluh  varietas beras Indonesia
Tabel 2. Warna dan Derajat Putih pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas  Nilai  L  Nilai  a*  Nilai  b*  Derajat  Putih*)
Tabel 3. Data Amilografi pada sepuluh varietas beras Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi proses pratanak pada tujuh varietas beras menyebabkan peningkatan rendemen, penurunan derajat putih, peningkatan kadar abu, penurunan kadar lemak, penurunan kadar

Penelitian ini menggunakan variable data yang diamati berupa Pengukuran Kadar Amilosa Beras dengan menggunakan Uji Suhu Gelatinasi, Uji Kesukaan Beras Melalui Tekstur Nasi,

Oleh karenanya pada penelitian ini dilakukan analisis komposisi kimia, seperti (kadar air. Abu, protein, lemak, karbohidrat, dan kapasitas antioksidan) untuk melihat

Aplikasi proses pratanak pada tujuh varietas beras menyebabkan peningkatan rendemen, penurunan derajat putih, peningkatan kadar abu, penurunan kadar lemak, penurunan kadar

Pati Thailand dengan tingkat kristalinitas yang lebih rendah serta kadar abu, lemak dan amilosa yang lebih tinggi memiliki suhu pasting terendah. Suhu pasting

Penambahan tepung kedelai dan tepung ganyong juga berpengaruh nyata terhadap kadar abu, protein, serat kasar, karbohidrat, amilosa, zat besi dan kalsium dalam mie instan..

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis kandungan zat gizi enam varietas beras secara proksimat, (2) Melakukan analsis daya cerna pati secara

Pati Thailand dengan tingkat kristalinitas yang lebih rendah serta kadar abu, lemak dan amilosa yang lebih tinggi memiliki suhu pasting terendah.. Suhu pasting