DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH
(MUNTOK WHITE PEPPER) DI PROVINSI
BANGKA BELITUNG
YUDI SAPTA PRANOTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya segala pernyataan dalam tesis saya
yang berjudul :
DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN
DAN DAYA SAING LADA PUTIH (MUNTOK WHITE PEPPER) DI
PROVINSI BANGKA BELITUNG
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, November 2011
YUDI SAPTA PRANOTO. The Impact of Government Policies on Profitability and Competitiveness of White Pepper (Muntok White Pepper) in the Province of Bangka Belitung (ANNA FARIYANTI as Chairman and RITA NURMALINA as Member of the Advisory Committee).
Indonesia is well known as the world producer and exporter of white pepper. In the year 2000, Indonesia was able to meet 90 percent of the world demand for white pepper. But during the past 10 years, Indonesia’s white pepper exports have declined, even in 2009 and 2010 export of white pepper contributed only as much as 26.8 percent and 28 percent of the world white pepper demand. At present, the problem becomes a serious threat to the sustainability of white pepper exports as there is a decreasing in crop area thus decline the productivity and a stronger competition with other exporter countries such as Vietnam. This study was conducted in the province of Bangka Belitung. Aims of this study were : (1) to analyze the profitability of white pepper commodity financially and economically, (2) to analyze the comparative and competitive advantages of white pepper, and (3) to analyze the impact of government policy on profitability and competitiveness of white pepper. Policy Analysis Matrix (PAM) was used to calculate the private and social profits and to measure the level of comparative advantage and competitive advantage of white pepper. Sensitivity analysis was also conducted in order to analyze the impact of policy change on white pepper commodity. The results showed that : (1) white pepper farm in the province of Bangka Belitung is profitable (both private and social profitable), (2) it had a competitive advantage (PCR<1) and comparative advantages (DRCR<1 ), and (3) government policies do not provide effective protection for farmers to produce white pepper.
RINGKASAN
YUDI SAPTA PRANOTO. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung (ANNA FARIYANTI sebagai Ketua dan RITA NURMALINA sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Potensi subsektor perkebunan yang besar merupakan salah satu sumber pertumbuhan khususnya bagi sektor pertanian serta bagi perekonomian nasional pada umumnya. Salah satu komoditi yang menjadi andalah ekspor nasional adalah lada putih. Indonesia dikenal sebagai produsen dan sekaligus eksportir lada putih di dunia. Pada tahun 2000 ekspor lada putih Indonesia mampu memasok 90 persen dari kebutuhan dunia, selanjutnya menurun pada tahun 2009 dan tahun 2010 berturut - turut sebesar 26.8 persen dan 28 persen. Namun, saat ini, kondisi lada putih Indonesia mengalami permasalahan, dilihat dari luas areal tanaman lada putih yang semakin menurun diikuti juga oleh penurunan produktivitas. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan ekspor lada putih Indonesia, ditambah lagi dengan adanya persaingan negara produsen lada putih seperti Vietnam, yang pertumbuhan produksinya meningkat setiap tahunnya. Provinsi Bangka Beliung merupakan sentra produksi lada putih terbesar di Indonesia setelah provinsi Lampung. Namun kondisi terakhir usahatani lada putih mengalami trend penurunan produksi dan luas areal tanaman, hal ini disebabkan oleh adanya permasalahan yang dihadapi oleh petani yaitu : (1) produktivitas, mutu tanaman dan tingkat harga lada yang relatif rendah, sementara harga sarana produksi relatif mahal, (2) tingginya kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit dan rendahnya usaha peningkatan diversifikasi produk, (3) rendahnya sumberdaya dan permodalan petani, dan (4) adanya persaingan dengan pertambangan timah rakyat dan peluang usaha komoditas lainnya seperti kelapa sawit. Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dan Kementerian Pertanian telah menyikapi kondisi lada ini. Bentuk perhatian tersebut dituangkan melalui pencanangan program revitalisasi lada putih (Muntok White Pepper) di Provinsi Bangka Belitung. Langkah tersebut antara lain adalah peningkatan produktivitas, mutu hasil, efisiensi biaya produksi dan pemasaran, serta manajemen stok melalui pengembangan inovasi teknologi dan kelembagaan
putih di provinsi Bangka Belitung memiliki keuntungan privat dan keuntungan sosial lebih besar dari nol, ditunjukkan dengan nilai keuntungan privat sebesar Rp. 25 454 038 per hektar dan keuntungan sosial sebesar Rp. 29 728 670 per hektar. Hal ini mengindikasikan usahatani lada putih di provinsi Bangka Belitung layak untuk dikembangkan. Usahatani lada putih di Provinsi Bangka Belitung memiliki daya saing dilihat dari indikator Private Cost Ratio (PCR<1) dan
Domestic Resource Cost Ratio (DRCR< 1). Nilai PCR sebesar 0.813, hal ini berarti untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu - satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 0.813. Sedangkan nilai DRCR sebesar 0.805, hal ini berarti setiap US $ yang dibutuhkan untuk impor
lada putih jika diproduksi di Bangka Belitung hanya membutuhkan biaya sebesar US $ 0.805, sehingga terjadi penghematan devisa negara sebesar US $ 0.195.
Analisis dampak kebijakan dari sisi output ditunjukkan nilai transfer output (TO) negatif (TO<0) yaitu Rp. 22 185 619 per hektar. Nilai ini, menunjukkan bahwa harga domestik lada putih lebih rendah dari harga internasionalnya. Hal ini mengidikasikan adanya disinsentif terhadap output lada putih, berarti kebijakan pemerintah tidak protektif terhadap output lada putih sehingga merugikan petani. Dilihat dari transfer input (TI) bernilai negatif, sebesar Rp. 6 060 221per hektar. Hal tersebut bahwa terdapat transfer pemerintah berupa subsidi pada input asing, berarti ada kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input asing, sehingga petani membeli input asing lebih murah. Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output menunjukkan bahwa berdasarkan nilai trasnfer bersih (TB), menunjukan nilai negatif sebesar Rp. 4 274 632 per hektar, kondisi ini mencerminkan besarnya pengurangan surplus petani sebagai akibat kebijakan pemerintah, sehingga dalam hal ini petani dirugikan. Sedangkan nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 0.89, menunjukkan adanya kebijakan pemerintah tidak berdampak positif dan tidak memberikan memberikan perlindungan yang efektif bagi petani lada putih untuk berproduksi.
Berdasarkan analisis sensitivitas terhadap indikator keuntungan menunjukkan bahwa usahatani lada putih lebih peka (sensitif) terhadap penurunan produksi sebesar 20 persen dan penurunan harga output lada putih sebesar 20 persen. Perubahan ini menyebabkan keuntungan privat bernilai negatif yaitu Rp. (3 410 123) dan Rp. (3 404 820) serta keuntungan sosial juga bernilai negatif sebesar Rp. (3 573 420) dan Rp. (3 567 302). Pada kondisi ini usahatani lada putih di provinsi Bangka Belitung tidak layak untuk dikembangkan karena menyebabkan kerugian pada petani. Berdasarkan indikator daya saing menunjukkan bahwa usahatani lada putih lebih peka (sensitif) terhadap penurunan produksi sebesar 20 persen dan penurunan harga output lada putih sebesar 20 persen. Perubahan ini menyebabkan usahatani lada putih di Bangka Belitung tidak memiliki daya saing baik keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif sehingga tidak lagi efisien untuk diproduksi didalam negeri.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
(MUNTOK WHITE PEPPER) DI PROVINSI
BANGKA BELITUNG
YUDI SAPTA PRANOTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si
(Dosen Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang:
Dr. Ir. Ratna Winandi, MS
(Dosen Departemen Agribisnis,
di Provinsi Bangka Belitung
Nama : Yudi Sapta Pranoto
NRP : H353090051
Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS
Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Bismilahirrohmannirrohim
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesisi dengan judul
“Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih
(Muntok White Pepper) di Provinsi Bangka Belitung” sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada Kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya terutama kepada Dr. Anna Fariyanti, MS, sebagai ketua
komisi pembimbing dan Prof. Dr. Rita Nurmalina, MS, sebagai anggota, yang
telah banyak membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses
penelitian dan penyelesaian tesisi ini. Terimakasih juga penulis sampaikan
kepada:
1. Dirjen DIKTI- Kementerian Pendidikan Nasional, Rektor Universitas Bangka
Belitung (UBB), Dekan Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi UBB,
Program Studi Agribisnis UBB, yang telah memberikan kesempatan bagi
penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk mengikuti Program Magister di
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB.
2. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Dinas Pertanian dan Perternakan
Provinsi Bangka Belitung, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Provinsi Bangka Belitung dan narasumber/responden, yang telah memberikan
pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.
4. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS selaku Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Ratna
Winandi Asmarantaka, MS selaku Penguji yang mewakili Mayor Ilmu
Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah
memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini.
5. Ibunda dan Alm Bapakku, istriku (Deasy Iryanti), mertua ku (Bapak Itjan Bardin
dan Ibu Aniyati) dan kakak-kakakku serta anakku tercinta (Ni’ma Kholiqoh
Mashlahatal Ummah) atas segala bantuan, doa, dukungan dan pengertiannya yang
diberikan sejak awal perkuliahan hingga penyusunan tesis selesai.
6. Teman-teman EPN angkatan 2009 (aditya, aziz, bismar, cahyono, nining, tuti,
santi, fitria, indra, endrew, thato, nia, dian, efi, marlina, kiki, pak jhoni, pak micha,
ibu inna) terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah.
7. Teman-teman kost “wisma ghalih community” atas kebersamaan, toleransi dan
dukungannya selama penulis tinggal di Bogor.
8. Seluruh staf Mayor EPN (Mba Rubby, Mba Yani, Bu Kokom dan Pak Husein)
yang senantiasa dan sabar membantu penulis selama perkulihan hingga
menyelesaikan studi.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini, memberikan manfaat dalam
khasanah pengembangan pendidikan serta sektor pertanian khususnya komoditas lada
putih di Provinsi Bangka Belitung. Semoga Allah menerima karya ini sebagai amal
kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin
Bogor, November 2011
Penulis dilahirkan di Belinyu Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka
Belitung pada tanggal 29 Agustus 1980. Penulis merupakan putra bungsu dari
tujuh bersaudara dari pasangan Noeroeddin (almarhum) dan Sri Utami.
Penulis menyelesaikan pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri 58
Belinyu, Kabupaten Bangka Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 1992,
kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan studinya ke Sekolah
Menengah Pertama YPDB Belinyu dan lulus tahun 1995. Selanjutnya penulis
meneruskan ke Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah 14, Sungailiat Bangka
dan lulus pada tahun 1998.
Tahun 1999 penulis diterima masuk pada Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian
(STIPER) Bangka, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dan lulus pada tahun 2003.
Pada tahun yang sama penulis menjadi staf administrasi dan asisten dosen pada
Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Bangka. Pada tahun 2006, STIPER
Bangka bergabung menjadi Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi (FPPB)
Universitas Bangka Belitung (UBB), pada tahun yang sama penulis menjadi staf
akademik dan asisten dosen. Tahun 2006 penulis menikah dengan Deasy Iryanti, SP dan telah dikarunia satu orang putri bernama Ni’ma Kholiqoh Mashlahatal Ummah. Pada Tahun 2007 penulis diangkat menjadi dosen tetap pada Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka
Belitung (UBB).
Pada tahun 2009, penulis melanjutkan studi Program Magister pada Mayor
Ilmu Ekonomi Pertanian, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor dengan bantuan biaya
Halaman
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 13
1.4 Manfaat Penelitian ... 13
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... ... 14
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15
2.1. Sejarah Penyebaran Tanaman Lada di Indonesia ... 15
2.2. Sejarah Tanaman Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung ... ... 16
2.3. Kebijakan Pengembangan Lada di Provinsi Bangka Belitung ... 18
2.4. Revitalisasi Lada Putih ... 20
2.5. Tinjauan Studi Terdahulu ... 23
2.5.1. Aspek Komoditi Lada ... 23
2.5.2. Aspek Usahatani ... 25
2.5.3. Aspek Daya Saing ... 27
2.5.4. Aspek Kebijakan ... 28
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 31
3.1. Pengertian dan Teori Daya Saing ... 31
3.2. Analisis Ekonomi ... 35
3.3. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi ... 36
3.4. Matrik Analisis Kebijakan ... 42
IV. METODE PENELITIAN ... 51
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51
4.2. Data dan Sumber Data ... 51
4.3. Metode Pengumpulan Data ... 52
4.4. Metode Analisis ... 52
4.4.1. Penentuan Faktor Input dan Output ... 53
4.4.2. Penentuan Komponen Biaya Domestik dan Asing ... 53
4.4.3. Penentuan Harga Privat dan Penaksiran Harga Bayangan Input dan Output ... 54
4.4.3.1. Harga Bayangan Output ... 55
4.4.3.2. Harga Bayangan Sarana Produksi ... 56
4.4.3.3. Harga Bayangan Tenaga Kerja ... 56
4.4.3.4. Harga Bayangan Lahan ... 57
4.4.3.5. Harga Bayangan Nilai Tukar ... 57
4.4.4. Penentuan Biaya Tataniaga ... 58
4.4.5. Analisis Indikator Matrik Kebijakan ... 59
4.4.5.1. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial ... 59
4.4.5.2. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif 59 4.4.6. Dampak Kebijakan Pemerintah ... 61
4.4.6.1. Kebijakan Output ... 61
4.4.6.2. Kebijakan Input ... 62
4.4.6.3. Kebijakan Input-Output ... 63
4.4.7. Analisis Sensitivitas ... 64
V. TINJAUAN UMUM LADA PUTIH DI INDONESIA ... 67
5.1. Perkembangan Lada Putih Dunia ... 67
5.1.1. Produksi Lada Putih Dunia ... 67
5.1.2. Ekspor Lada Putih Dunia ... 68
5.1.3. Impor Oleh Negara Konsumen... 69
5.2.1. Produksi Lada Putih Indonesia ... 72
5.2.2. Ekspor dan Impor Lada Putih Indonesia ... 73
5.2.3. Sistem Agribisnis Lada Putih di Bangka Belitung ... 75
5.2.3.1. Subsistem Input dan Sarana Produksi ... 75
5.2.3.2. Subsistem Usahatani Lada ... 76
5.2.3.3. Subsistem Pengolahan ... 80
5.2.3.4. Subsistem Pemasaran ... 81
5.2.3.5. Subsistem Penunjang ... 81
VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN LADA PUTIH ... 83
6.1. Kebijakan Terhadap Input ... 83
6.2. Kebijakan Perdagangan Output ... 85
6.3. Kebijakan Revitalisasi Lada ... 86
6 .4. Kebijakan Pemerintah Daerah ... 89
VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH... 93
7.1. Justifikasi Harga Bayangan ... 93
7.1.1. Harga Bayangan Output ... 93
7.1.2. Harga Bayangan Lahan ... 94
7.1.3. Harga Bayangan Tenaga Kerja... 94
7.1.4. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan... 94
7.1.5. Harga Bayangan Nilai Tukar... 95
7.2. Karakteristik Petani Responden ... 96
7.3. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Sosial ... 97
7.4. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial ... 100
7.5. Analisis Daya Saing ... 102
7.6. Dampak Kebijakan Pemerintah ... 105
7.6.1. Dampak Kebijakan Output Lada Putih ... 106
7.6.2. Dampak Kebijakan Input Lada Putih ... 109
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 121
8.1. Kesimpulan ... 121
8.2. Implikasi Kebijakan ... 123
DAFTAR PUSTAKA ... 124
Nomor Halaman
1. Perkembangan Produksi, Luas Lahan dan Produktivitas Lada
di Indonesia, Tahun 2004 – 2010 ... 4
2. Perkembangan Produksi, Luas Lahan dan Produktivitas Lada
Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2004 – 2010 ... 9
3. Perkembangan Ekspor Lada Putih Provinsi Bangka Belitung,
Tahun 2005 – 2010 ... 10
4. Matriks Analisis Kebijakan ... 44
5. Produksi Lada Putih Dunia, Tahun 2006 – 2010 ... 68
6. Identifikasi Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan
Lada Putih ... 92
7. Karakteristik Petani Responden Lada Putih
di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 ... 96
8. Penerimaan dan Komponen Biaya Rata-Rata Finansial dan
Ekonomi Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 ... 98
9. Keuntungan Privat dan Sosial Usahatani Lada Putih di
Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 ... 101
10. Nilai Indikator PCR dan DCR Lada Putih
di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 ... 104
11. Nilai Indikator Analisis Kebijakan Output, Tahun 2011 ... 108
12. Nilai Indikator Analisis Kebijakan Input, Tahun 2011 ... 111
13. Dampak Kebijakan Input- Output dan Kinerja Pasar Usahatani
Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung ... 114
14. Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas
Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 ... 117
15. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas
Nomor Halaman
1. Perkembangan Ekspor Lada Hitam dan Putih oleh Negara Produsen
Lada Putih Dunia, Tahun 2006 – 2010 ... 2
2. Perkembangan Ekspor Beberapa Negara Produsen Lada Putih Dunia, Tahun 2000 – 2010 ... 3
3. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Impor ... 37
4. Restriksi Perdagangan pada Komoditas Impor dan Ekspor ... 39
5. Dampak Subsidi dan Pajak Pada Input Tradable ... 40
6. Dampak Subsidi dan Pajak Pada Input Non Tradable ... 41
7. Kerangka Pemikiran Operasional ... 50
8. Perkembangan Ekspor Lada Putih Dunia, Tahun 2000 – 2010. ... 69
9. Perkembangan Impor Lada oleh Negara Konsumen ... 70
10. Perkembangan Harga Lada Hitam dan Putih Dunia, Tahun 2000 - 2010 ... 74
Nomor Halaman
1. Syarat Mutu Lada Putih ... 131
2. Data Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Lada Putih Menurut Kabupaten di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2009... 132
3. Alokasi Komponen Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik dan Asing ... 133
4. Tabel Perhitungan Standart Convertion Factor dan Shadow Price Exchange Rate ... 134
5. Metode Pendekatan Penentuan Harga Privat dan Sosial Usahatani Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung ... 135
6. Penyebaran Areal Lada Putih di Indonesia, Tahun 2010 ... 136
7. Input-Output Lada Putih Menurut Umur Berdasarkan Harga Privat di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 ... 137
8. Input-Output Lada putih Menurut Umur Berdasarkan Harga Sosial di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2011 ... 138
9. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Asing dan Domestik ... 139
10. Analisis Finansial Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung ... 144
11. Analisis Ekonomi Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung ... 145
12. Hasil Matrik Analisis Kebijakan Lada Putih ... 146
13. Analisis Finansial Lada Putih Ketika Produksi Turun 20 Persen ... 147
14. Analisis Ekonomi Lada Putih Ketika Produksi Turun 20 Persen ... 148
20. Matrik Analisis Kebijakan Lada Putih Ketika Harga Output Turun ... 153
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang
melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian
merupakan sektor yang penting dalam memacu pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi masyarakat. Sebagai negara agraris Indonesia mempunyai peluang yang
besar dalam mengembangkan ekspor produk pertanian khususnya komoditas dari
subsektor perkebunan. Pada tahun 2009, komoditas subsektor perkebunan yang
menjadi andalan ekspor Indonesia berdasarkan urutan nilai ekspornya yaitu: (1)
kelapa sawit, (2) karet, (3) kakao, (4) kopi, (5) tembakau, (6) kelapa, (7) teh hijau,
(8) lada, (9) pinang, (10) tebu, (11) kapas, dan (12) cengkeh (Kementerian
Pertanian, 2010). Komoditas tersebut memberikan kontribusi dalam hal devisa
negara dan merupakan sektor penggerak ekonomi masyarakat di daerah sentra
produksi komoditas perkebunan tersebut (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Aneka Tanaman Industri, 2007).
Salah satu tanaman subsektor perkebunan yang potensial dikembangkan
sebagai tanaman ekspor adalah lada. Lada (Piper nigrum L.) disebut sabagai raja dalam kelompok rempah (King of Spices), kegunaan yang sangat khas dan tidak digantikan dengan rempah lain. Walaupun komoditas lada menempati urutan ke
delapan sebagai penyumbang devisa negara, namun komoditas ini sangat berperan
penting dalam perekonomian Indonesia. Secara ekonomi, lada merupakan sumber
pendapatan petani dan devisa negara non - migas. Periode waktu tahun 2006 -
0 50000 100000 150000 200000 250000 300000
2006 2007 2008 2009 2010
P
ro
d
u
k
si
(To
n
)
Tahun
Dunia Vietnam Indonesia Brazil India Malaysia Srilanka Others
ekspor tertinggi mencapai US $ 186 juta pada tahun 2008 dan terendah pada tahun
2006 sebesar US $ 77 juta ( Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Secara sosial,
lada merupakan komoditas tradisional yang telah dibudidayakan sejak lama dan
aktivitas usahanya menjadi penyedia lapangan kerja yang cukup luas terutama di
daerah sentra produksi. Pada tahun 2010 dari total luas perkebunan lada sebesar
186 296 hektar, atau 99.99 persen merupakan perkebunan rakyat yang melibatkan
sekitar 328 060 Kepala Keluarga petani (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010).
Lada di pasaran dunia diproduksi oleh 11 negara utama penghasil lada
yaitu Brazilia, India, Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Vietnam, China, Thailand,
Madagaskar, Kamboja dan Equador (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007).
Dalam kurun waktu 5 tahun antara 2006 - 2010, pertumbuhan produksi lada dunia
telah mengalami fluktuasi dengan trend meningkat sekitar 0.084 persen per tahun.
Produksi lada dunia mencapai angka tertinggi tahun 2009 sebesar 344 912 ton dan
terendah tahun 2007 sebesar 316 027 ton. Selama periode tersebut lada Indonesia
mampu memasok 16 persen per tahun, jauh lebih rendah jika dibandingkan
dengan Vietnam sebesar 32 persen, diikuti dengan India dan Brazil sebesar 16 dan
12 persen. Perkembangan produksi cukup pesat, diikuti pula dengan ekspor lada
Indonesia dalam perdagangan lada dunia, ditunjukkan pada Gambar 1.
Sumber : International Pepper Community, 2011.
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
P
ro
d
u
k
si
(To
n
)
Tahun
Dunia Indonesia vietnam Malaysia Brazil India China
Berdasarkan Gambar 1, ekspor lada Indonesia menempati posisi kedua
setelah Vietnam. Pada tahun 2010 Indonesia hanya mampu memasok 24 persen
dari kebutuhan dunia, sementara Vietnam sebesar 43 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa telah terjadinya persaingan antar negara pengekspor lada didunia.
Ketatnya persaingan ini dapat dilihat dari perkembangan produksi lada negara
pengekspor seperti Brazilia yang merupakan negara dengan produksi lada yang
hampir mendekati produksi lada Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Selain sebagai produsen lada hitam, Indonesia juga sebagai produsen lada
putih dunia. Pada awal tahun 2000-an, Indonesia merupakan negara pengekspor
lada putih terbesar di dunia. Akan tetapi, terus menurun dalam dekade terakhir
dan kalah jika dibandingkan dengan Cina, bahkan dengan Vietnam yang pada
awalnya tidak terlalu fokus pada komoditas ini. Perkembangan ekspor beberapa
negara penghasil lada putih dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber: International Pepper Community, 2011.
Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa peran lada putih Indonesia di pasar
Internasional sebagai pemasok utama sejak kebutuhan lada putih dunia
menghadapi persaingan terutama Vietnam. Pada tahun 2000-an kontribusi lada
putih Indonesia sebesar 90 persen dari total dunia dan selanjutnya menurun
bahkan pada tahun 2009 dan tahun 2010 berturut - turut sebesar 26.8 persen dan
28 persen jauh lebih rendah dibandingkan Vietnam secara berturut - turut sebesar
52.6 dan 50 persen. Hal ini disebabkan sejak tahun 2003, Vietnam sudah
memulai mengekspor lada putih. Selama satu dekade terakhir produksi lada putih
Indonesia mengalami penurunan produksi sebesar 5.2 persen per tahun, sementara
Vietnam mengalami peningkatan produksi rata-rata sebesar 46 persen per tahun.
Kondisi ini diperburuk dengan semakin berkurangnya areal tanam lada
dan digantikan dengan tanaman lain seperti kelapa sawit dan karet, yang dianggap
oleh petani lebih menguntungkan dan aktivitas usahatani yang masih tradisional
menyebabkan produksi lada cenderung semakin turun. Kecenderungan penurunan
produksi, penurunan luas lahan dan produktivitas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Lada Hitam dan Putih di Indonesia, Tahun 2004 - 2010
Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)
2004 201484 77008 0.662
2005 191992 78328 0.688
2006 192604 77533 0.668
2007 189054 74131 0.656
2008 183 082 80 420 0.702
2009 185 941 82 834 0.729
2010* 186 294 84 218 0.723
Sumber : Kementerian Pertanian, 2010. Keterangan : * Angka Sementara
Tabel 1 menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas areal lada, yang
konversi pertanaman dari tanaman lada ke tanaman yang dianggap lebih
menguntungkan, adanya konversi lahan lada menjadi usaha pertambangan baik
tambang timah maupun batubara (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007). Sejalan
dengan penurunan luas areal, produksi lada juga mengalami penurunan dalam
setiap tahunnya, namun pada tahun 2008 produksi lada mengalami peningkatan
sebesar 2-3 persen. Dari sisi produktivitas perkembangan dari tahun ke tahun
berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan, kisaran produktivitas sebesar
0.7 – 0.75 ton per hektar, sementara produktivitas lada negara pesaing seperti
Vietnam sebesar 2 ton per hektar bahkan sampai 3 ton per hektar (Wahyudi,
2010), Brazil sebesar 1.4 ton per hektar, Malaysia sebesar 1.69 ton per hektar dan
China sebesar 1.29 ton per hektar.1
Fenomena diatas menunjukan bahwa ada permasalahan dalam sistem
agribisnis lada di Indonesia, dalam subsistem hulu, harga input dan sarana
produksi pertanian cenderung masih sangat mahal. Dalam subsistem on farm, sebagian besar aktivitasnya masih dilakukan secara tradisional dan turun temurun,
sedangkan dalam subsistem off farm, terdapat masalah kurangnya diversifikasi produk lada putih Indonesia dibandingkan dari negara lain. Selain itu, dukungan
permodalan merupakan masalah utama yang dihadapi oleh sebagian besar petani
lada (Kemala, 2007; Juhono, 2007). Kondisi ini juga diperburuk dengan fluktuasi
harga lada, hal tersebut menyebabkan intensitas pemeliharaan pertanaman lada
menjadi rendah, sehingga rentan terhadap serangan hama dan patogen penyakit.
Sebagai akibatnya produktivitas tanaman lada menjadi rendah berdampak pada
keuntungan petani.
1
Sebenarnya usahatani lada akan menguntungkan apabila dikelola dengan
baik, sehingga akan memperkecil risiko dan meningkatkan keuntungan. Risiko
yang dihadapi adalah ancaman kerusakan karena perubahan iklim yang tidak
menguntungkan, serangan hama dan penyakit, adanya fluktuasi harga lada yang
cukup tajam. Peningkatan pendapatan dapat dilakukan dengan cara melakukan
efisiensi usahatani dan meningkatkan mutu hasil. Budidaya lada putih secara
tradisional seperti saat ini tidak dapat mengurangi risiko maupun memperbesar
peluang pasar, oleh sebab itu harus diperbaiki sesuai dengan budidaya anjuran
yang bersifat ramah lingkungan dan berkesinambungan (Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, 2007).
Berkembangnya perdagangan lada ditandai dengan meningkatnya
permintaan lada oleh negara - negara konsumen dan perkembangan konsumsi
dunia yang semakin cepat. Bila pada tahun 2000 konsumsi lada dunia mencapai
168 ribu ton, maka pada tahun 2006 meningkat menjadi 212 ribu ton. Permintaan
dunia terhadap komoditas lada setiap tahunnya antara 250 - 300 ribu ton
(International Pepper Community, 2007). Pada tahun 2010 terjadi peningkatan permintaan lada oleh negara importir dunia sebesar 308 154 ton (International
Pepper Community, 2011).
Peningkatan konsumsi dunia terhadap lada disebabkan oleh penggunaan
dan pemanfaatan lada yang luas dalam bentuk produk utama dan produk turunan,
meliputi pengunaan untuk kebutuhan konsumsi rumahtangga, unit usaha, dan
untuk industri. Pada negara maju dengan tingkat perkembangan industri makanan
yang tinggi seperti Amerika, Jerman, Perancis, dan Jepang, konsumsi lada
berkembang. Oleh karena itu, peningkatan pendapatan per kapita diduga menjadi
faktor yang mempercepat pertumbuhan industri disuatu negara, termasuk industri
makanan. Pertumbuhan inilah yang akan mendorong laju permintaan terhadap
lada, sebagai salah satu komponen penting dalam industri makanan.
Intensitas perdagangan internasional yang semakin meningkat menjadikan
produktivitas, efisiensi dan daya saing semakin penting untuk diperhatikan.
Indonesia tidak akan mampu bersaing dalam persaingan global, baik di pasar
Internasional maupun di pasar domestik tanpa membangun ketiga hal tersebut
diatas. Selain itu persyaratan yang diminta negara konsumen semakin ketat
terutama dalam hal jaminan mutu, aspek kebersihan dan kesehatan. Kontaminasi
mikroorganisme merupakan salah satu isu terutama dalam keamanan produk
(pangan) selain kontaminasi aflatoksin dan residu pestisida (Nurdjannah, 2006).
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian telah mengupayakan standar
mutu hasil lada dengan menerbitkan standar mutu lada putih yaitu SNI
01-0004-1995 seperti yang terlihat pada Lampiran1.
Dalam rangka menghadapi situasi perdagangan bebas yang semakin
kompetitif dan untuk memenuhi tuntutan negara konsumen, maka perlu dilakukan
langkah - langkah perbaikan teknik budidaya dan pengolahan untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi, mutu hasil dan aspek kebersihan produk. Menghadapi
keadaan tersebut di atas, keterpaduan antara teknologi budidaya dan pengolahan
hasil perlu ditingkatkan karena mutu produk tidak saja ditentukan oleh
pengolahan tetapi juga oleh faktor budidaya atau kondisi pertanaman.
Untuk itu peningkatan daya saing lada Indonesia sangat tergantung pada
pengembangan agribisnis lada di Indonesia adalah revitalisasi perkebunan lada
dalam kegiatan rehabilitasi atau perluasan lada, yang bertujuan untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas lada sebagai andalan ekspor nasional,
meningkatkan pendapatan petani lada yang sekaligus mempercepat pengurangan
tingkat kemiskinan khususnya didaerah sentra produksi lada (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2009). Berdasarkan penjelasan diatas maka pentingnya untuk
mengkaji tentang kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan peningkatan
keuntungan dan daya saing lada putih.
1.2. Perumusan Masalah
Provinsi Bangka Belitung merupakan daerah produsen lada putih terbesar
di Indonesia selain daerah Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Tenggara dan Kalimatan Tengah. Berdasarkan data Direktorat
Jenderal Perkebunan (2010), sampai saat ini Bangka Belitung merupakan provinsi
yang memiliki areal lada terluas kedua di Indonesia setelah Provinsi Lampung,
dan merupakan produsen lada putih (white pepper) paling besar di Indonesia (Edizal,1998). Lada putih produksi Provinsi Bangka Belitung, telah dikenal luas
di pasar lada putih dunia dengan nama Muntok White Pepper. Penamaan Muntok White Pepper ini salah satunya, disebabkan karena lada putih dari Bangka Belitung, pertama kali diperdagangkan secara internasional melalui pelabuhan
Muntok di Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat (Ginting, 2010).
Berdasarkan laporan studi lapangan Kurniawati (2009) dalam Ginting 2010, sebagai komoditas ekspor, lada putih berkontribusi terhadap pendapatan
daerah Provinsi Bangka Belitung,sampai akhir tahun 90-an pasokan lada putih
2009, nilai ekspor lada putih provinsi Bangka Belitung sebesar US $ 26 228
153.71 (BPS Provinsi Bangka Belitung, 2010) atau sekitar 40 persen dari total
produksinya.
Selain menjadi sumber pendapatan daerah dan petani lada putih sendiri,
komoditas lada putih juga memiliki peranan strategis, dilihat dari sisi sejarah dan
kebudayaan di Provinsi Bangka Belitung. Lada putih adalah komoditas unggulan
dari Provinsi Bangka Belitung yang telah diusahakan masyarakat sejak abad ke-18
Masehi (Oktaviandi, 2009). Berdasarkan Statistik Pertanian, Perkebunan, dan
Peternakan Provinsi Bangka Belitung Tahun 2010, perkebunan lada putih rakyat
dimiliki dan diusahakan oleh 23 934 kepala keluarga. Karakteristik alam Provinsi
Bangka Belitung juga sangat mendukung dibudidayakannya tanaman lada putih,
seperti kesesuaian faktor iklim dan ketersediaan air (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2009).
Namun, saat ini, komoditas potensial di Provinsi Bangka Belitung ini
memiliki permasalahan yaitu mengalami fluktuasi dan tren penurunan produksi.
Kondisi ini disebabkan menurunnya jumlah luas areal tanaman lada putih
diprovinsi Bangka Belitung serta rendahnya produktivitas tanaman lada putih,
untuk selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2004 - 2010
Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)
2005 41 834.50 18 273.50 0.89
2006 40 720.65 16 292.36 0.78
2007 35842.44 16 242.18 1.01
2008 34 038.00 15 671.00 0.76
2009 36 722.90 15 601.12 1.12
2010 39 962.67 15172.18 1.09
Data pada Tabel 2, menunjukkan dalam rentang waktu lima tahun terakhir
laju pertumbuhan produksi lada putih di Bangka Belitung cenderung menurun
sebesar 3 persen per tahun. Sementara laju pertumbuhan luas areal yang menurun
sebesar 5 persen tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, sedangkan pada tahun
2010 terjadi peningkatan luas areal hanya 87.3 persen dari total luas lahan tahun
2004. Sementara produktivitas lada putih di Bangka Belitung mengalami
peningkatan sebesar rata - rata 1 ton per hektar. Penurunan luas areal lada di
Bangka Belitung disebabkan oleh berbagai faktor yaitu fluktuasi harga lada,
gangguan organisme peganggu tanaman, dampak penambangan timah ilegal, dan
pengembangan komoditas lain (Daras dan Pranowo, 2009).
Penurunan luas lahan dan produksi lada putih berpengaruh pada
penurunan kontribusi ekspor lada putih provinsi Bangka Belitung terhadap
Indonesia. Pada tahun 2005 konstribusi lada putih terhadap ekspor lada putih
Indonesia sebesar 72.4 persen, namun pada tahun berikutnya mengalami
penurunan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor Lada Putih di Provinsi Bangka Belitung, Tahun 2005 - 2010
Tahun Ekspor Lada Putih (Ton) Lada Babel Terhadap Kontribusi Ekspor Indonesia (%) Bangka Belitung
Indonesia
2005 11 749 16 227 72.4
2006 8 208 15 045 54.6
2007 9 535 15 574 61.2
2008 5 519 16 190 34.1
2009 6 235 11 490 54.3
2010* 5 885 13 000 45.3
Sumber : (1). Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Bangka Belitung, 2010. (2). International Pepper Community, 2010.
Tabel 3 menunjukan kontribusi lada putih Bangka Belitung terhadap
volume ekspor lada putih Indonesia sangat dominan yakni rata-rata sebesar 53.6
persen. Penurunan volume ekspor lada putih Bangka Belitung berdampak pada
penururnan volume ekspor lada putih Indonesia di pasar International. Hal ini
disebabkan oleh tidak kondusifnya kondisi pertanaman lada putih di lapangan,
juga akibat ancaman dari negara-negara pesaing mulai terjadi, terutama Vietnam.
Selain itu juga berbagai permasalahan yang dihadapi oleh petani lada putih yaitu :
(1) tingkat produktivitas tanaman rata-rata 0.8 - 1 ton per hektar dan mutu yang
rendah, (2) tingkat harga lada putih yang relatif rendah rata-rata sebesar
Rp. 37000 per kilogram tahun 2009 dan pada tahun 2010 harga lada putih sebesar
Rp. 46 979 per kilogram, sementara harga sarana produksi (pupuk dan pestisida)
relatif tinggi atau mahal, (3) tingginya kehilangan hasil akibat serangan hama dan
penyakit, (4) masih rendahnya usaha peningkatan diversifikasi produk, (5)
sumberdaya petani baik pengetahuan maupun permodalan masih lemah atau
terbatas ketersediaannya, dan (6) semakin menurunnya luas areal pertanaman lada
putih karena adanya persaingan dengan pertambangan timah rakyat dan peluang
usaha komoditas lainnya seperti kelapa sawit.
Pendapatan usahatani lada putih menjadi persoalan yang penting bagi
petani, dikarenakan keberlanjutan usahatanilada putih tergantung pada besar
kecilnya keuntungan yang diperoleh. Mengingat lada putih Bangka Belitung
berasal dari perkebunan rakyat yang diusahakan secara tradisional turun temurun,
umumnya mempunyai produktivitas sekitar 0.8 sampai dengan 1 ton per hektar.
Rendahnya produktivitas diikuti adanya kenaikan biaya produksi yang terus
memperoleh keuntungan menurun. Keuntungan usahatani lada dapat ditingkatkan
apabila dapat memperkecil resiko, upaya itu dapat dilakukan dengan perubahan
pola budidaya tradisional menuju pola budidaya yang dianjurkan
(GoodAgriculture Practice) dengan menggunakan tiang panjat hidup. Dengan demikian timbul pertanyaan apakah usahatani lada putih di Provinsi Bangka
Belitung masih menguntungkan?
Secara nasional berdasarkan fakta - fakta diatas bahwa
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh petani lada putih di provinsi Bangka Belitung dan
Indonesia pada umumnya, menunjukan suatu indikasi telah terjadi penurunan
kemampuan bersaing dipasar internasional atau dengan kata lain daya saing lada
putih telah mengalami penurunan. Daya saing sering dikaitkan dengan
kemampuan untuk menghasilkan produk dengan biaya serendah mungkin (efisien)
dan mutu sesuai dengan konsumen. Oleh karena itu, timbul pertanyaan apakah
lada putih Provinsi Bangka Belitung masih memiliki daya saing?
Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dan Kementerian Pertanian telah
menyikapi kondisi lada putih ini. Bentuk perhatian tersebut dituangkan melalui
pencanangan program revitalisasi lada putih (Muntok White Pepper) di Provinsi Bangka Belitung. Revitalisasi ini akan melibatkan berbagai pihak yang berada di
dalam sistem agribisnis komoditas lada tersebut. Langkah tersebut antara lain
adalah peningkatan produktivitas, mutu hasil, efisiensi biaya produksi dan
pemasaran, serta manajemen stok melalui pengembangan inovasi teknologi dan
secara kompetitif dalam proses produksi dengan negara-negara penghasil lada
putih lainnya. Sehubungan hal ini, timbul pertanyaan apakah kebijakan
pemerintah berdampak pada peningkatan keuntungan dan daya saing lada putih di
Provinsi Bangka Belitung?
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak
kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing komoditas lada putih
di Provinsi Bangka Belitung. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan
untuk :
1. Menganalisis tingkat keuntungan usaha komoditas lada putih secara finansial
dan ekonomi.
2. Menganalisis daya saing lada putih melalui keunggulan kompetitif dan
komparatif.
3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadapkeuntungan dan daya
saing lada putih.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan berguna untuk:
1. Bagi petani lada putih sebagai tambahan informasi tentang kondisi aktual
pengelolaan lada putih dan mengetahui seberapa besar peran dan kebijakan
pemerintah berpengaruh terhadap pengusahaan komoditas lada putih.
2. Bagi pemerintah daerah dan instansi terkait bermanfaat sebagai bahan evaluasi
-instrumen kebijakan yang lebih efektif dan efesien bagi pengembangan
komoditas lada putih.
3. Bagi civitas akademika berguna untuk rnenambah pengetahuan ataupun
sebagai bahan rujukan dalam melakukan penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Mengacu pada permasalahan dan tujuan penelitian serta kendala yang ada,
menimbulkan beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yaitu: (1) kebijakan
pemerintah yang dimaksud adalah kebijakan input, output, teknologi budidaya,
pengolahan dan perdagangan, (2) budidaya anjuran yang dimaksud adalah
budidaya yang menggunakan tiang panjathidup, (3) daerah penelitian hanya pada
tiga kabupaten yang merupakan sentra produksi lada putih yaitu Kabupaten
Bangka Selatan, Kabupaten Belitung dan Kabupaten Bangka Barat, (4) analisis
dilakukan pada tingkat usahatani, (5) periode waktu analisis didasarkan pada data
usahatani rata-rata musim tanam 2009/2010 yang telah menerapkan sistem GAP
atau GFP (Good Agriculture/ Farming Practices), dan (6) analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas lada putih dilakukan dengan
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Penyebaran Tanaman Lada di Indonesia
Tanaman lada (Piper Ningrum L) berasal dari pantai Barat Ghats, Malabar India. Tanaman liarnya juga ditemui diperbukitan pegunungan Assam
dan bagian utara Burma. Tetapi hal itu mungkin berasal dari introduksi pada
waktu-waktu sebelumnya, daerah asalnya dipantai Barat India, lada dibawa oleh
para pendatang Hindu ke Jawa antara tahun 100 SM dan tahun 600 SM. Lada
adalah termasuk salah satu jenis tanaman yang telah lama diusahakan dan
hasilnya pun telah lama pula diperdagangkan dipasaran Eropa, sehingga
perdagangan lada di Indonesia dikenal di seluruh penjuru dunia. Lada yang
dipasarkan ke Eropa tersebut dibawa para pedagang lewat pusat pusat
perdagangan seperti Persia dan Arabia, Timur Tengah dan Mesir (Wahid, 1996).
Lada merupakan tanaman yang tumbuh dan merambat pada sebuah tajar
yang mati atau hidup. Tanaman Lada dapat tumbuh dengan baik di daerah
beriklim tropis dengan temperature optimum 230 sampai 300 dan curah hujan
sebesar 2 000 hingga 2 500 mm per tahun yang merata sepanjang tahun.
Penyebaran lada di Indonesia pertama kali dilakukan oleh para koloni Hindu yang
sedang melakukan perjalanan dalam misi penyebaran agamanya. Sebelum perang
dunia kedua Indonesia merupakan negara produsen utama di dunia dengan
produksi sekitar 69 persen produksi lada dunia, disusul India dan Malaysia.
Namun banyak kebun lada rusak dan terlantar atau diganti untuk penanaman
bahan makanan selama perang dan selama pendudukan Jepang. Kemerosotan
produksi ladanya untuk memenuhi kebutuhan pasaran dunia seperti India,
Malaysi, Srilanka dan Brazil berhasil memperbesar produksi dan ekspornya
(Siswoputranto, 1976).
Rismunandar (1990) mengatakan bahwa perkembangan lada sejak awal
abad 19 hingga lahirnya Orde Baru di Indonesia mengalami pasang surut, sebagai
akibat dari gejolak perang maupun harga lada di dunia. Sejak tahun 1929
produksi lada berpusat di Lampung dan Bangka dengan ekspor dalam tahun 1931
sebanyak 25 000 ton dan 27 000 ton untuk tahun 1937, dan dinyatakan bahwa
harga lada yang tinggi terjadi dalam periode 1925 - 1930 sehingga pada tahun
tersebut merupakan pendorong utarna bagi perluasan lahan di kedua daerah
tersebut. Selain yang dihasilkan di daerah Lampung dan Bangka sebagian
produksi lada di Indonesia diperoleh dan daerah-daerah Sumatera Selatan,
Kalimantan Timur. Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatena Barat dan Jawa Barat yang
umumnva merupakan usaha petani rakyat, kecuali kebun-kebun yang terdapat di
daerah Bangka.
Sampai saat ini Indonesia terkenal dengan Lampung Black Pepper dan
Muntok White Pepper. Lada putih dihasilkan terutama daerah Bangka sedangkan lada hitam terutama dihasilkan didaerah lampung. Pada saat ini hasil tanaman
lada diseluruh dunia diperjualbelikan dalam bentuk lada putih, lada hitam, buah
lada hijau yang dikerinngkan, buah lada hijau yang di canning, lada bubuk, minyak atsiri dan oleoresin (Rismunandar, 1990).
2.2. Sejarah Tanaman Lada di Provinsi Bangka Belitung
sekitar abad ke-18 Masehi. Pada daerah Bangka Belitung, pada mulanya lada
ditanam di Kecamatan Muntok dan Jebus yang kemudian menyebar kearah barat
seperti Desa Dalil dan Kecamatan Petaling. Adanya serangan penyakit kuning
dan penurunan kesuburan tanah mengakibatkan tanaman lada tidak dapat terus
bertahan didaerah dimana mula-mula ditanam. Pusat pertanaman lada saat ini ada
di bagian Selatan Pulau Bangka yaitu di Kecamatan Payung dan Toboali. Adanya
varietas yang berkembang dengan nama Lampung Daun Lebar, Lampung Daun
Kecil dan Jambi memberi indikasi bahwa pertanaman lada di Bangka berasal dari
daratan Sumatera.
Komoditas lada menjadi salah satu daya tarik bangsa Eropa datang ke
Indonesia. Rempah-rempah itu semakin berkembang pesat sejak Belanda, melalui
VOC, membuka kantor perdagangan di Palembang yang juga melingkupi wilayah
Bangka - Belitung. Sejak tiga abad lalu lada Bangka lebih dikenal di dunia
internasional sebagai Muntok White Pepper. Nama Muntok merujuk pada nama pelabuhan di Bangka Barat yang menjadi transit perdagangan lada dari daerah
Bangka - Belitung ke dunia luar.
Lada merupakan tanaman yang pernah menjadi komoditas primadona di
Pulau Bangka dan Belitung. Tidak sedikit masyarakat yang meningkat
kesejahteraan hidupnya lantaran bercocok tanam lada. Tanaman yang sudah
dibudidayakan di Indonesia sejak zaman penjajahan ini juga telah mengharumkan
nama Pulau Bangka Belitung. Bagi pemerintah Bangka Belitung sendiri, tanaman
ini sudah cukup banyak berperan dalam sejarah propinsi, jauh sebelum
memisahkan diri dari Sumatera Selatan. Puncak kejayaan lada pernah tercapai
pada pertengahan tahun 1998. Di saat masyarakat Indonesia di kawasan lain
sedang dilanda kesulitan ekonomi, masyarakat Bangka Belitung ber-euphoria
dengan berbagai kebutuhan barang mewah akibat tingginya harga jual lada, yaitu
mencapai level Rp. 100 000 per kilogram. Sejalan dengan dimulainya kehidupan
sebagai propinsi baru di Indonesia, ketenaran komoditas ini pun mulai terkikis.
Level harga Rp. 100 000 per kilogram pun seakan-akan hanya kenikmatan sekejap
mata karena perlahan-lahan harga jual lada menurun drastis sampai pernah
bertahan lama pada level harga belasan ribu rupiah per kilogram.
2.3. Kebijakan Pengembangan Lada di Provinsi Bangka Belitung
Seperti ciri - ciri perkebunan rakyat lainnya, perkebunan lada juga ditandai
dengan produktivitas yang rendah. Oleh karenanya sebagian besar upaya
pembinaan sistem komoditas lada berada di pundak pemerintah, baik pusat
maupun daerah. Untuk mengembangkan dan meningkatkan produktivitas lada,
berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Strategi pengembangannya
diarahkan pada wilayah - wilayah tradisional, dengan pertimbangan: (1) animo
masyarakat telah terpelihara dengan baik dan teknologinya telah dikuasai
masyarakat setempat, (2) pada wilayah tersebut lada merupakan sumber pendapat
utama, dan (3) berbagai kelembagaan pemasaran dan perdagangan sarana
produksi telah tumbuh dengan baik (Marwoto, 2003).
Dengan menggunakan strategi tersebut, di masa lalu pemerintah telah
mengeluarkan beberapa kebijakan penting: (1) unit pelaksana proyek (UPP), (2)
swadaya berbantuan, (3) kredit modal kerja permanen (KMKP), (4) peremajaan,
rehabilitasi dan perluasan tanaman ekspor (PRPTE), (5) rural credit project
antara tahun 1978 - 1985 dan tidak dilanjutkan karena tidak tersedianya dana
maupun tingkat kemacetan yang tinggi
Kegiatan UPP dimulai dari tahun anggaran 1980/1981 dan berakhir pada
tahun anggaran 1984/1985 dengan alasan dananya tidak disediakan lagi dalam
anggaran pemerintah. Kegiatan intensifikasi melalui kredit, baik dalam bentuk
KMKP maupun RCP berakhir tahun 1982/1983 disebabkan alasan teknis dan
ekonomis. Program PIL dilaksanakan di berbagai sentra lada pada tahun
1978/1979 hingga tahun 1981/1982. Program ini bertujuan membantu petani
dalam pengadaan sarana produksi untuk pemeliharaan tanaman lada, dengan
harapan produktivitas dan kualitas lada dapat meningkat sehingga pada gilirannya
dapat meningkatkan pendapatan petani. Dalam PIL, petani yang terseleksi
mendapat bantuan paket kredit berupa pupuk, obat-obatan dan biaya hidup yang
jumlahnya diberikan berdasarkan rekomendasi dari Dinas Perkebunan setempat.
Perkembangan Pelaksanaan Kegiatan Lada pada Dasarnya telah
dilaksanakan pada Tahun 2003. Pada Tahun 2003 Terdapat Kegiatan yang
dinamakan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) Lada. Untuk
Sentra Kawasan Kimbun, pada waktu itu dipilih Kabupaten Bangka Selatan,
namun seiring berjalannya waktu respon Kabupaten terhadap pengembangan
kawasan ini dirasakan kurang, hal ini terbukti terdapatnya kegiatan yang tidak
dilaksanakan, sehingga pusat memberikan punishment dengan melemahkan pembiayan pada sektor Perkebunan khususnya Lada.
Berbagai upaya untuk mengembangkan komoditi lada yang telah
dilakukan pemerintah, baik propinsi maupun Kabupaten melalui pendanaan dari
pengadaan bibit lada untuk perluasan areal lada, (2) bantuan sarana produksi lada,
(3) SL-PHT lada melalui program IPM (integrated pest management); 4) pengembangan kebun induk lada, dan (4) bantuan alat-alat pasca panen dan
pengolahan lada.
2.4. Revitalisasai Lada Putih melalui Gerakan Pengembangan Lada Putih Tahun 2009 – 2012
Upaya mengembalikan kejayaan Muntok White Pepper diperlukan beberapa langkah yang fundamental. Langkah tersebut antara lain adalah
peningkatan produktivitas, mutu hasil, efisiensi biaya produksi dan pemasaran,
serta manajemen stok melalui pengembangan inovasi teknologi dan kelembagaan.
Akhir - akhir ini banyak kalangan pengamat mulai mengkhawatirkan
keberlanjutan pasokan lada putih Bangka Belitung di pasar global pada
tahun-tahun yang akan datang karena produksi dan produktivitasnya terus menurun.
Untuk mendukung langkah - langkah fundamental tersebut, maka akan
disusun rencana aksi untuk pengembangan lada putih di Kepulauan Bangka
Belitung untuk jangka waktu 2009 - 2012 atau disebut sebagai ”Gerakan
Pengembangan Lada Putih (Gerbang Latih)”. Gerakan ini akan diwujudkan
dalam bentuk 5 program :
1. Program Intensifikasi, Ekstensifikasi dan Rehabilitasi Lada
Program ini akan diwujudkan dalam 3 bentuk kegiatan yaitu intensifikasi,
rehabilitasi dan ekstensifikasi lada masing-masing seluas 2 000, 2 000 dan 1 000
hektar. Kegiatan intensifikasi yang direncanakan seluas 2 000 ha, akan
dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2009 - 2012 dengan rincian 100 ha pada
dilaksanakan melalui penyediaan benih, pupuk (organik dan anorganik), pestisida
dan tajar hidup.
Kegiatan rehabilitasi akan dilaksanakan pada lahan seluas 2000 ha dengan
rincian 100 ha pada tahun 2009, 1 000 ha (2010), 500 ha (2011) dan 400 ha
(2012). Kegiatan ini diwujudkan dalam bentuk penyediaan benih, pupuk
(organik dan anorganik), pestisida dan tajar hidup. Untuk pelaksanaannya akan
dikoordinir oleh Direktorat Jenderal Perkebunan dengan dana dari APBN.
Ekstensifikasi tanaman lada direncanakan secara bertahap seluas 1 000 ha,
dimana pada tahun 2009 akan direalisasikan seluas 250 ha dan 750 ha pada tahun
2010. Dari luasan tersebut, 150 ha diantaranya merupakan reklamasi lahan eks
tambang yang akan dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu 50 ha pada tahun 2009 dan
100 ha pada tahun 2010. Seperti pada kegiatan sebelumnya, pelaksanaan dari
kegiatan ini juga diwujudkan melalui penyediaan benih, pupuk, pestisida dan tajar
hidup. Kegaiatan ini akan dimotori oleh Dinas Perkebunan Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung dengan memanfaatkan dana dari APBD.
2. Pengembangan Industri Benih, Biopestisida dan Pupuk Organik
Untuk mendukung program ini, maka akan dilakukan kegiatan:
a. Penyediaan benih sumber.
b. Pengembangan kebun induk.
c. Pembinaan penangkar benih.
d. Pengembangan biopestisida dan pupuk organik.
3. Pengembangan Industri Pengolahan
Kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mendukung program ini adalah:
b. Pembinaan Good Manufacturing Practices (GMP).
c. Pengembangan Pengolahan Lada bubuk dan diversifikasi produk.
4. Penguatan Kelembagaan dan Diseminasi
Kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mendukung program ini adalah:
a. Pembinaan sekolah lapang.
b. Pembinaan kelembagaan pemasaran.
c. Pemberdayaan tenaga penyuluh dan pendamping.
d. Pembinaan lembaga usahatani.
e. Pengembangan diseminasi Good Agriculture Practices (GAP) lada. f. Promosi dan ekspose teknologi.
5. Kebijakan Makro
Kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mendukung program ini adalah:
a. Kebijakan penyediaan permodalan.
b. Kebijakan alokasi anggaran khusus.
c. Pemantapan database (indikasi geografis, statistik, dll).
d. Kebijakan pengembangan industri hilir.
Salah satu langkah kongkret yang telah berhasil dilakukan pemerintah
daerah untuk menunjang gerakan pengembangan lada putih serta upaya
melindungi komoditi lada putih yang merupakan aset daerah yang memiliki ciri
khas tertentu, maka pada tanggal 27 Mei 2010 diterbitkanlah Sertifikasi Indikasi
Geografis (SIG) Lada Putih Muntok oleh Departemen Kehakiman dan Hak Azazi
Manusia melalui Dirjen Haki. Dasar hukum Indikasi Geografis Indonesia adalah
UU No.15 tahun 2001 tentang Merek, PP No.51 2007 tentang Indikasi - geografis
suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor
lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari
kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang
dihasilkan.
Adapun tujuan dari Indikasi Geografis (IG) adalah perlindungan terhadap
produk, mutu dari produk, nilai tambah produk dan upaya pengembangan
pedesaan. IG merupakan komponen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memberikan
perlindungan terhadap lada putih muntok sebagai komoditas perdagangan yang
terkait erat dengan Bangka Belitung sebagai tempat asal produk barang. Untuk
menghasilkan Lada yang bermutu baik dalam pelaksanaan IG maka tahapan pra
produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran menuju ketentuan ISO 9000,
14000 (sistem mutu dan keamanan pangan), serta aplikasi produksi dan
pengolahan berdasarkan GAP/GFP (Good Agriculture/Farming Practices) dengan Penggunaan benih unggul, Penerapan teknologi lada ramah lingkungan, menuju
lada organik menggunakan junjung hidup dan pupuk kompos dan bio pestisida.
2.5. Tinjauan Studi Terdahulu
Sub bab ini menjelaskan beberapa penelitian terdahulu tentang komoditi
lada dan aspek-aspek yang berkaitan dengan analisis usahatani, daya saing
(kompetitif dan komperatif ) dengan pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) yang sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
2.5.1. Studi Tentang Aspek Komoditi Lada
Penelitian yang dilakukan oleh Syam (2002) mengenai analisis efisiensi
Belitung. Metode analisis fungsi produksi frontier stokastik, hasil penelitian menunjukan bahwa usahatani Lada masih menguntungkan bagi petani, rataan TE
(Technological Efficiency) untuk petani sampel lada adalah 0.71. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan produksi lada, dari
segi sebaran TE (Technological Efficiency), komoditas lada tidak memiliki sebaran yang merata. Ini berarti bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan
kapabilitas managerial sebagai faktor internal yang dapat mempengaruhi
proses/fungsi produksi lada.
Elizabeth (2003) melakukan penelitian tentang keragaan komoditas lada
Indonesia dengan pendekatan analisis diskriptif. Hasil penelitiannya memberikan
informasi bahwa tanaman lada yang ada di Indonesia lebih banyak diusahakan
oleh petani dibandingkan perusahaan besar. Hal ini disebabkan oleh harga yang
tidak bisa diprediksi, baik di dalam negeri mapun di luar negeri sehingga tidak
bisa memprediksi berapa keuntungan atau pendapatan yang ditargetkan. Hasil
penelitiannya juga menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara
volume produksi dengan harga dalam negeri.
Analisis penawaran dan permintaan Lada Putih Indonesia di pasar
internasional yang dilakukan oleh Soebtrianasari (2008). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penawaran ekspor ada putih Indonesia ke Arnenika Serikat
sangat dipengaruhi oleh produksi lada putih Indonesia, jumlah ekspor lada putih
Indonesia ke Amerika Serikat tahun sebelumnya dan harga riil ekspor lada putih
Indonesia. Sedangkan untuk faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor lada
putih Indonesia ke Belanda, hanya peubah harga riil ekspor saja yang berpengaruh
lebih responsif terhadap penuhahan produksi lada putih, sedangkan ekspor lada
putih ke Belanda hanya responsive terhadap perubahan harga riil ekspor.
Marwoto (2003) melakukan penelitian tentang perkebunan lada rakyat
kabupaten bangka : ketidakefisien dan ketidak berdayaan. Menggunakan analisis
finansial dan ekonomi, hasil penelitian menunjukan ketidakefisienan tercermin
dari kecendrungan penurunan nilai NPV menjadi Rp. 2 148 648 dan B/C sebesar
1.13 pada skala usaha 5 tahunan dan tingkat suku bunga 12 persen dengan
PC sebesar 0.174, EPC sebesar 0.61, SRP sebesar 0.37, NT sebesar Rp -50 554
988, TO sebesar Rp. -22 652 569, NPCO sebesar 0.83, TI sebesar Rp. 19 352 505
dan nilai NPCI sebesar 1.67.
2.5.2. Studi Tentang Aspek Usahatani Lada
Nurasa (2006) melakukan penelitian tentang analisis kelayakan finansial
lada putih di Bangka, metode analisis menggunakan analisis input-output untuk
mendapatkan nilai Biaya Beneficial Cost Ratio (B/C Ratio), Net Present Value
(NPV), dan Internal Rate Of Return (IRR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pada tahun keempat, tanaman lada mulai berproduksi dengan nilai produksi
mencapai Rp. 7 682 000 juta dan pendapatan sebanyak Rp. 4 376 000 juta. Nilai
produksi tertinggi terjadi pada tahun keenam, yaitu mencapai Rp. 9 849 000 juta
dengan nilai pendapatan sebanyak Rp.7 816 000 juta. Sedangkan nilai produksi
terendah dicapai pada tahun kesepuluh, yaitu mencapai Rp 5 318 000 juta dengan
nilai pendapatan mencapai Rp. 3 028 000 juta. Pada tingkat bunga 24 persen
keuntungan bersih (NPV) usahatani mencapai Rp. 0.27 juta per hektar dengan
nilai B/C Ratio sebesar 1.02. Sedangkan pada tingkat bunga 30 persen, usahatani
sebesar 0.83. Pada tingkat input-output aktual, titik impas usahatani lada berada
pada nilai IRR sebesar 24.63 persen.
Dewi et al, 2003, melakukan penelitian peningkatan pendapatan petani lada melalui perbaikan sistem usahatani, metode analisa usahatani, menunjukan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat produksi lada yang diperoleh petani
yang berusahatani secara terpadu antara lada dengan ternak kambing berbeda
156.63 persen atau berbeda 379.81 kg/ha dengan produksi petani lada
monokultur. Dengan demikian pendapatan yang diperoleh dari usahatani lada
berbeda 341.85 persen atau secara nominal sebesar Rp. 5 536 919.23 per tahun.
Usaha ternak kambing pada sistem usahatani lada dapat menekan biaya produksi
usahatani lada sebesar Rp. 1 942 400 per tahun atau 50.54 persen dari total biaya
produksi. Meskipun masih merupakan usaha sampingan ternak kambing mampu
memberikan kontribusi pendapatan sebesar 27.18 persen dari total pendapatan
petani.
Sitanggang (2008), Analisis Usahatani Dan Tataniaga Lada Hitam (Studi
Kasus : Desa Lau Sireme, Kecamatan Tiga Lingga, Kabupaten Dairi), hasil
penelitian menunjukan : (1). teknologi yang digunakan masih bersifat sederhana
(tradisional) dan ketersediaan input produksi (bibit, pupuk, obat-obatan dan
tenaga kerja) cukup tersedia di daerah penelitian, (2). besar volume produksi,
biaya produksi, penerimaan, pendapatan usahatani, pendapatan keluarga (per
tahun) dan kelayakan usahatani. Rata-rata jumlah produksi 54.89 Kg,
Produktivitas usahatani 359.38 Kg/Ha, produktivitas tenaga kerja 29.86 Kg/HKP,
biaya produksi Rp. 5 783 656.04/Ha, penerimaan Rp. 10 062 626.27/Ha,
026.61/Ha. Usahatani lada di daerah penelitian layak diusahakan secara finansial.
Hal ini terlihat dari perhitungan analisis NPV sebesar 19 086 542.94; Net B/C
sebesar 4.62, IRR sebesar 44.39 persen.
2.5.3. Studi Tentang Aspek Daya Saing
Model PAM (Policy Analysis Matrix) pertama kali dikemukakan oleh Monke dan Pearson (1989). Matriks ini telah banyak digunakan secara luas pada
penelitian empiris kebijakan pertanian antara lain studi yang mengungkapkan
daya saing (kompetitif dan komperatif) yang telah dilakukan oleh Nurasa (2002)
Secara ekonomi usahatani lada putih (siklus 7 tahun) yang didasarkan pada net present value (NPV) di Bangka-Belitung memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai DRCR lebih kecil dari satu (0.36). Pengembangan
usahatani lada putih domestik hanya membutuhkan alokasi korbanan sumberdaya
di dalam negeri lebih kecil dari 1 US$, yaitu US$ 0.36. Demikian pula
keunggulan kompetitif usahatani lada putih cukup memadai sebagaimana
ditunjukkan oleh nilai PCR yang kurang dari satu. Gambaran ini mengisyaratkan
bahwa usahatani lada putih layak untuk dikembangkan mengingat korbanan biaya
domestik yang dibutukan relatif rendah, dan cenderung efisien dalam pemanfaatan
sumberdaya.
Sudarlin (2008), menganalisis daya saing pengusahaan komoditi lada putih
(Muntok White Pepper) (kasus di kecamatan Air Gegas Kabupaten Bangka
Selatan), hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan komoditi lada putih di
Kecamatan Airgegas baik secara finansial maupun ekonomi sangat
menguntungkan dengan nilai keuntungan privat dan sosial masing-masing lebih