DATA RIWAYAT HIDUP
: Lebak, 29 September 1993
: Islam
1. Sekolah Dasar Negeri Muara III (2000-2006)
2. MTS Daar El Kutub (2006-2009)
3. MA Daar El Kutub (2009-2012)
Laporan Pengantar Tugas Akhir
PERANCANGAN INFORMASI PERAHU TRADISIONAL RAMPUS BINUANGEUN MELALUI MEDIA VIDEO DOKUMENTER
DK 38315/Tugas Akhir Semester II 2015-2016
oleh:
Abdul Haris NIM. 51912318
Program Studi Desain Komunikasi Visual
FAKULTAS DESAIN
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia, sehingga penulis dapat menyelesaikan dan menyusun laporan
Tugas Akhir ini dengan judul: “PERANCANGAN INFORMASI PEMBUAT PERAHU TRADISIONAL RAMPUS BINUANGEUN MELALUI MEDIA VIDEO DOKUMENTER”.
Tugas Akhir ini bertujuan sebagai salah satu syarat kelulusan akademik strata satu
(S1).
Selama pelaksanaan Tugas Akhir hingga tersusunnya laporan ini, penulis banyak
mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan
ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada Kedua Orang Tua, yang selalu
memberikan doa serta bantuan berupa materi dan moril. Gema Arifprahara, M.Ds,
selaku pembimbing yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan yang
begitu besar dan semua pihak yang telah memberikan bantuan mulai dari
pelaksanaan hingga selesainya penyusunan laporan ini yang tidak penulis
sebutkan satu persatu.
Dengan segala kerendahan hati dan sebagai manusia biasa, penulis menyadari
akan kekurangan dalam menyajikan laporan Tugas Akhir ini, semoga dapat
memberikan manfaat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Demikian
penyajian laporan tugas Akhir ini yang penulis susun, atas segala hormat dan
kerjasamanya penulis mengucapkan banyak terimakasih.
Bandung, 13 April 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
BAB II. PEMBUAT PERAHU TRADISIONAL RAMPUS BINUANGEUN ... 4
II.1 Geografi dan Sejarah Desa Binuangeun ... 4
II.2 Perahu Tradisional Nelayan Binuangeun ... 8
II.3 Jenis dan Kriteria Kayu yang Digunakan ... 10
II.4 Bagian Badan Perahu ... 11
II.5 Proses Pembuatan Perahu Tradisional Binuangeun ... 12
II.6 Perlakuan dan Perawatan Masa Perahu... 15
II.7 Pola Pemukiman dan Sehari-hari Nelayan ... 16
II.8 Pengaruh Cuaca Terhadap Nelayan ... 19
II.9 Analisis ... 20
BAB III. STRATEGI PERANCANGAN DAN KONSEP VISUAL MEDIA
INFORMASI ... 21
III.1 Strategi Perancangan ... 21
III.1.1 Tujuan Komunikasi ... 21
III.1.2 Pendekatan Komunikasi ... 22
III.1.3 Mandatory ... 23
III.1.9 Strategi Distribusi ... 30
III.2 Konsep Visual ... 31
IV.BAB IV TEKNIS PRODUKSI MEDIA ... 47
IV.1 Perlengkapan ... 47
IV.1.1 Perlengkapan Pengambilan Gambar ... 47
IV.1.2 software Penunjang ... 48
IV.1.3 Anggota Tim ... 49
IV.1.4 Proses Pengambilan Gambar ... 49
IV.1.6 Media Pendukung ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 63
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Atmosoeprapto, Kisdarto.(tanpa tahun).Temukan kembali Jati Diri Anda .PT.Elex Media Komputindo.
Barata, Atep Adya (2003) Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta : Alex Media Komputindo.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. (2007). Kearifan Tradisional
Masyarakat Nelayan (Kampung Batunderang). Jakarta.
Effendy, Heru (2002). Mari membuat film Panduan menjadi Produser. Pustaka Konfiden, Yogyakarta.
Kusnadi. (2000). NELAYAN (Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial). Bandung:Humaniora Utama Press.
Kusnadi. (2007). Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta : PT. LKIS Pelangi Aksara.
M.Bayu, Widagdo. (2010). Bikin Film Indie itu Mudah. Yogyakarta. Andi.
Nugroho, Fajar (2007). Cara Pintar Bikin Film Dokumenter. Yogyakarta : Indonesia Cerdas.
Pratista, Himawan. (2008). Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.
Santoso, Ensadi (2013). Bikin Video Dengan Kamera DSLR. Jakarta : Mediakita.
Sianipar, Pandapotan (2008). Cara Mudah Menguasai Pinnacle Studio 11 Plus. Jakarta : PT Elex Media Komutindo.
Sihombing, Danton (2001). Tipografi Dalam Desain Grafis. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Tinarbuko, Sumbo. (2013). Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta : Jalasutra.
Utomo, Bambang Budi (ed). 2007.Pandanglah Laut sebagai Pemersatu
Nusantara. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Sumber Artikel Internet
Grehenson, Gusti. (2015). Dikhawatirkan Berkurang, Jumlah Pulau di Indonesia
Didata Ulang. Diambil dari:
www.ugm.ac.id (26 Januari 2016).
Lubis.H.Nina. (2009). Sejarah Kabupaten Lebak. Diambil dari:
www.pnrangkasbitung.go.id. (3 Oktober 2015).
Sumber Wawancara
Petugas TPI, wawancara, 15 Oktober 2015.
Idris, wawancara, 16 Oktober 2015.
Wildan, wawancara 17 Oktober 2015.
Arsala, wawancara, 17 Oktober 2015.
Organisasi Mutiara Laut, wawancara, 18 Oktober 2015.
Endang, wawancara,18 Oktober 2015.
Uu, wawancara, 18 Oktober 2015.
Kantor Kelurahan Desa Muara Binuangeun, wawancara, 19 Oktober 2015.
Pandi, wawancara, 01 Mei 2016.
Eho, wawancara, 02 Mei 2016.
BAB I. PENDAHULUAN
1.1Latar belakang masalah
Manusia adalah makhluk hidup yang selalu ingin melakukan interaksi dengan
manusia lainnya, dituntut untuk mengenal satu sama lain dalam hal pemenuhan
kebutuhannya sebagai makhluk sosial. Manusia dalam menjalankan kehidupannya
akan membentuk suatu ikatan terkecil yang disebut keluarga. Dalam
perkembangannya kumpulan dari beberapa keluarga akan membentuk suatu
masyarakat, yang akan tumbuh semakin luas menjadi suatu bangsa. Tata cara
kehidupan setiap masyarakat dibentuk berdasarkan perpaduan antara berbagai
sikap, cara berpikir, cara bergaul dan cara hidup dari tiap masing-masing individu
sesuai dengan kultur yang dipercaya dan diyakini oleh setiap individu.
Sebagaimana Indonesia memiliki jumlah pulau 17.508 buah dan yang terdaftar di
PBB hanya sebanyak 13.466 pulau, dikenal sebagai negara yang memiliki
keanekaragaman hayati terbesar dan lebih kurang dua pertiga dari teritorial negara
yang berbentuk republik ini merupakan perairan (Gusti, 2016)
Keadaan ini memungkinkan Indonesia dikenal dengan negara bahari. Untuk
menghubungkan satu pulau ke pulau lain dibutuhkan alat transportasi air yaitu
dengan kapal atau perahu, kapal atau perahu yang terbuat dari kayu selain
digunakan sebagai alat transportasi, juga banyak digunakan oleh masyarakat
nelayan sekitar pantai untuk menangkap ikan di laut.
Desa pesisir Binuangeun, merupakan salah satu pantai Indonesia yang letaknya
berada di wilayah Muara Binuangeun, Lebak, Banten selatan dan merupakan
wilayah yang memiliki pantai dan perairan yang indah, dimana didalamnya
terdapat sekumpulan masyarakat yang mencari sumber kehidupannya sebagian
besar dari hasil laut, cara mereka melaut masih menggunakan cara tradisional
dengan peralatan seadanya seperti jaring sederhana yang digunakannya, mengikuti
adalah buatan masyarakat sekitar yang memiliki kemampuan dibidang pembuatan
perahu dan sangat dikenal dengan kekuatan fisik perahunya yang kuat karena
disebabkan faktor lingkungan yang dikenal dengan laut selatan (kidul).
Perahu rampus adalah sebuah nama panggilan yang digunakan oleh masyarakat
nelayan Binuangeun bagi perahu yang menggunakan jaring rampus, salah satu
bentuk interaksi yang terjadi yaitu kemampuan untuk membuat sebuah perahu
yang berbeda dari wilayah lainnya seperti Palabuan Ratu dan Bayah yang secara
konstruksi, bentuk dan bahan baku yang digunakan juga berbeda. Kemampuan
dalam membuat sebuah perahu yang secara geografis merupakan salah satu
bagian dari pengetahuan lokal masyarakat yang perlu dikaji.
Akan tetapi sampai saat ini, nilai-nilai pengetahuan dalam membuat sebuah
perahu tradisional Rampus oleh masyarakat luar Binuangeun tidak begitu dikenal
sebagai bagian dari perkembangan masyarakat pesisir Indonesia oleh masyarakat
luar, pengetahuan akan hal itu banyak yang mengalami erosi atau bahkan punah
dan tidak terdokumentasikan dengan baik sebagai sumber ilmu pengetahuan
akibat pergeseran jaman.
1.2Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang dapat diambil dari kehidupan nelayan
Binuangeun ini yaitu :
Perahu tradisional masyarakat Binuangeun diduga mempunyai ciri-ciri khusus
yang berbeda dengan perahu-perahu tradisional daerah lain. Hal ini
disebabkan karena perahu memiliki fungsi dan bentuk yang berbeda
Adanya aktivitas pembuatan perahu yang hanya diketahui oleh masyarakat di Binuangeun
Dikenal dengan perahu yang kuat dari segi konstruksi
Kemajuan dari perkembangan teknologi akan dapat mempengaruhi bahkan
berkurangnya minat para generasi muda untuk mempelajari pengetahuan
dalam membuat perahu tradisional
1.3Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, perumusan masalah yang
akan ditelaah lebih lanjut yaitu :
Bagaimana mengkomunikasikan sebuah komunitas masyarakat pembuat perahu tradisional tepatnya di Binuangeun sebagai bagian dari nilai-nilai
pengetahuan lokal masyarakat pesisir?
1.4Batasan Masalah
Dengan demikian supaya permasalahan dalam pembahasan ini tidak meluas, ada
kiranya peneliti memberikan batasan masalah, batasan masalah tersebut yaitu :
Menggambarkan sebuah aktivitas masyarakat dan wawancara mengenai
pembuatan perahu tradisional Rampus di Binuangeun melalui video
dokumenter.
1.5Tujuan Perancangan
Tujuan perancangan ini yaitu diharapkan agar masyarakat mengetahui adanya
pengetahuan lokal dibidang perahu yang tersimpan di desa nelayan Binuangeun
sebagai bagian dari perkembangan masyarakat pesisir Indonesia.
1.6Manfaat
Berikut adalah beberapa manfaat yang dapat diambil dari tugas akhir ini adalah:
1. Bagi peneliti bermanfaat sebagai sarana pembelajaran dalam proses
pengetahuan khususnya dalam pembuatan perahu tradisional di wilayah
Binuangeun
2. Bagi pembaca atau khalayak sebagai bahan pembelajaran, referensi dan
sumber pengetahuan tentang perahu tradisional nelayan di wilayah
BAB II. PERAHU TRADISIONAL RAMPUS BINUANGEUN
II.1 Geografi dan Sejarah Desa Binuangeun
Desa nelayan Binuangeun terletak di provinsi Banten Kabupaten Lebak, dalam
situs resmi Kabupaten Lebak. seorang sejarawan (Nina H.Lubis), mengatakan
tentang pembagian wilayah Keresidenan Banten berdasarkan surat keputusan
komisaris jenderal nomor 1, staatsblad nomor 81 tahun 1828, Wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga) Kabupaten yaitu :
Kabupaten Serang, Kabupaten Caringin dan Kabupaten Lebak.
Wilayah Kabupaten Lebak, berdasarkan pembagian diatas memiliki batas-batas
yang meliputi district dan under district yaitu :
District madhoor (Madur) yang terdiri dari under district yaitu salah satunya
Binuangeun Kabupaten Lebak yang dibentuk berdasarkan undang-undang No.14
tahun 1950 dipimpin oleh Bupati Hj. Iti Oktavia Jayabaya, Kabupaten Lebak
terdiri dari 28 kecamatan, dan 130 desa yang diantaranya salah satunya desa
Muara Binuangeun. Binuangeun memiliki desa Muara yang artinya lautan yang
menjorok ke daratan sehingga pertemuan antara lautan dan daratan itu adalah desa
Muara yaitu sebuah perkampungan yang dekat dengan perairan, Jika melihat di
peta Pulau Jawa, salah satu daerah yang paling terisolir (remote area) adalah desa Muara Binuangeun, biasa disingkat Binuangeun saja, desa ini terletak di
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, arah tenggara Pulau Jawa, menghadap ke
Samudera Indonesia. Posisi di peta yaitu di kiri bawah, arah jam 7, salah satu kota
paling barat di daerah selatan Pulau Jawa.
Ada beberapa rute yang bisa menghubungkan daerah utara dan selatan Pulau
Jawa, di Jawa Barat dan Banten rute tersebut seperti Bandung-Cianjur-
Sukabumi-Palabuan Ratu-Binuangeun, atau melalui jalur
Bandung-Jakarta-Serang-Rangkasbitung-Binuangeun. Jarak menuju lokasi dari Bandung sangat jauh jika
menggunakan transportasi seperti kendaraan roda empat atau dua akan
hambatan dalam perjalanan (terjadi kemacetan atau perbaikan jalan) bisa
menempuh jarak 10 jam perjalanan dan jika memakai kendaraan umum seperti
bus akan memerlukan waktu 12 jam perjalanan dan jika mencapai lokasi ke Binuangeun akan banyak pemberhentian kendaraan di terminal, melalui beberapa
terminal yaitu, terminal Sukabumi, terminal Palabuan Ratu, terminal Bayah,
terminal Simpang dan terakhir Binuangeun.
Gambar II.1 Gapura menuju salah satu jalan ke Pantai Binuangeun. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Gambar II.2 Kantor kelurahan Muara Binuangeun. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Menelusur lebih jauh tentang desa nelayan Binuangeun adalah desa pesisir,
dimana mayoritas penduduknya yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan,
desa Binuangeun memiliki beberapa dusun seperti, Karang malang, Karang Seke,
Karang Anyar (Kembang Ranjang), Tanjung Panto, Padepokan, Kaler, Alasroban,
dan Basisir, setiap tempat dipimpin oleh kepala RW (Rukun Warga) dan RT
Binuangeun berjumlah 27 RT dan 7 RW dan mempunyai 6 UPTL juga 1 kantor
Kelurahan dan memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pasar tradisional yang
cukup besar (sumber: Kantor Kelurahan Muara Binuangeun 2015).
Berkenaan dengan sejarah mula Binuangeun, seorang tokoh masyarakat Binuangeun mengatakan bahwa “Binuangun dulunya adalah Buni-Angeun yaitu dimana siapa saja yang datang ke desa Binuangeun tidak akan pernah kembali lagi
karena orang-orang akan merasa nyaman dan akhirnya beranak pinak dan
melanjutkan hidup mereka di desa nelayan Binuangeun, maka dikatakan
Binuangeun adalah tempat orang berdatangan dari berbagai suku bangsa dan
melanjutkan hidupnya di Binuangeun, dulu dikatakan bahwa sebelum orang-
orang merantau ke Binuangeun, desa tersebut merupakan semak belukar dan
terhalangi oleh beberapa batang yang bukan besi dan juga bukan batang pohon,
yang pada saat itu tergeletak menghalangi jalan, tidak ada orang yang bisa
mengangkat batang tersebut dan jika masuk menerobos melewati batang pohon
tersebut maka 100 orang yang masuk akan pulang 10 orang, hingga pada suatu
saat ada seorang yang disebut Pacek Binuangeun (nama orang) yang oleh masyarakat sekitar pada waktu itu disebut orang sakti, diangkat lah si batang yang
menyerupai besi tapi bukan besi dan bukan batang pohon pula maka pada
akhirnya setiap orang dari berbagai suku datang ke desa Muara kampung Binuangeun tanpa adanya korban lagi” (Arsala, 2015).
Setiap tempat di Binuangeun memiliki kisah masing-masing yang terjadi pada
saat itu seperti karang malang terjadi karena dulu nama karang malang adalah
nama patilasan (tempat yang pernah didiami oleh orang sakti) seorang wali Kibuyut Mangsur yang berkelana di tempat Karang Malang, sejarah tempat
Karang Seke adalah tempat pada masa itu pengobatan pemandian di air laut
dengan cukup membawa rokok dan segelas air karena Karang Seke punya arti
karang pengobatan seke (sakit), sejarah Karang Anyar atau Kembang Ranjang
diceritakan bahwa dulu ada seorang perempuan istri Prabu Siliwangi bernama Nyi
Subang Kembang Ranjang yang mendiami di tempat yang sekarang dinamakan
Kibuyut Mangsur berpijak di Tanjung Panto pada saat beliau berpijak, beliau
menemukan langlang buana (sejenis raja harimau jadi-jadian dari Ujung Kulon) sedang terjepit kima (sebutan untuk kerang besar), disana Kibuyut Mangsur menolong si Langlangbuana dengan perjanjian bahwa anak cucu yang terlahir di Binuangeun harus dijaga, Padepokan mempunyai cerita tempat perkumpulan
(pendopo) orang dahulu, Kaler, hanya sebutan saja bahwa dusun tersebut berada
di kaler atau utara, Alasroban mempunyai cerita pada masa itu ada seekor naga
yang memangsa banyak korban dan akhirnya dijadikan tempat bernama
Alasroban, untuk dusun Basisir juga hanya sebagai sebutan yang kebanyakan
orang-orang jawa, selain itu yang terakhir (Arsala, 2015).
Desa Binuangeun mempunyai aliran sungai yang menghubungkan antara ujung
sungai dan laut aliran sungai ini adalah perbatasan antara Kabupaten Lebak dan
Pandeglang, lautan Binuangeun mempunyai batas yang sangat luas hingga
perbatasan Australia dan India, karena laut Binuangeun sering menjadi jalannya
kapal-kapal besar yang melewati seperti kapal dari luar negri (Endang, 2015).
Jika musim hujan tiba pasang naik air laut cukup tinggi serta ombak yang
ditimbulkannya sangat besar begitupun dengan angin badai, ombak disana cukup
besar bisa mencapai 15 meter tingginya, ditepi pantai Binuangeun sudah dibangun
bangunan penahan ombak besar agar tidak terjadi abrasi yang sudah-sudah, seperti
di dusun karang malang yang sudah terjadi pengirisan setiap tahun, begitupun
ketika curah hujan datang, sungai yang mengalir ke laut meluap akibatnya
penduduk setempat merasa gelisah karena erosi setiap tahun dan pada akhirnya
penanggulangan pemerintah terhadap bencana erosi tersebut dijalankan dengan
membuat penahan ombak dan dibuat pula dipinggir-pinggir pemukiman,
sungai-sungai di kampung nelayan Binuangeun juga merupakan tempat pangkalan
Tabel II.1 Luas Wilayah Desa Muara Binuangeun. Sumber: Kelurahan Desa Muara Binuangeun 2015.
No Wilayah Luas
Dikawasan ini tidak ditemukan tanaman yang bernilai ekonomis hanya sedikit,
kebanyakan pohon kelapa baik ditepi pantai dan perkampungan warga saja, meski
ada beberapa pohon seperti jambu, mangga, sirsak hanya didepan pekarangan
rumah saja, di pinggiran pantai hanya tumbuh pohon pandan laut atau yaitu
tumbuhan yang melindungi garis pantai dari ancaman abrasi dan membantu
menangkap sedimen yang dibawa air sungai ke laut hingga membantu melindungi
ekosistem lain seperti terumbu karang, cuaca di Binuangeun cukup panas ketika
menjelang siang, dan dingin oleh angin laut ketika menjelang malam, Bagi
mereka tidak menjadi masalah jika suhu disiang hari sangat panas, karena masih
terbantu oleh angin laut (Endang, 2015).
II.2 Perahu Tradisional nelayan Binuangeun
Perahu tradisional merupakan salah satu alat transportasi air yang terbuat dari
kayu, dibuat oleh tenaga-tenaga trampil yang tidak memiliki pendidikan atau
pelatihan khusus dibidang pembuatan perahu dengan menggunakan peralatan
Gambar II.3 Perahu Rampus Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian perahu adalah kendaraan air
(biasanya tidak ber geladak) yang lancip pada kedua ujungnya dan lebar
ditengahnya. Mode transportasi air merupakan bentuk teknologi yang diciptakan
oleh manusia sebagai bentuk perairan, ini menyangkut segala sesuatu yang dibuat
sehingga mampu mengapung, mengangkut manusia dan bawaannya, serta dapat
dikendalikan ke tempat yang dituju (Utomo (ed), 2007:21).
Jumlah kependudukan masyarakat Binuangeun terdiri dari 5426 orang laki-laki
dan perempuan 4948, jumlah 10.171 orang yang mendiami perkampungan
nelayan Binuangeun sedangkan jumlah kepala keluarga 2521 KK.
Masyarakat nelayan Binuangeun memasuki beragam sektor dalam mata
pencaharian informal yang tersedia di wilayah tersebut, Sebagian besar penduduk
bekerja sebagai nelayan dan juga salah satunya yaitu melakukan pembuatan
perahu, menurut (Endang, 2015) selaku ketua organisasi mutiara laut mengatakan
bahwa, perahu yang dibuat oleh orang-orang nelayan Binuangeun sangat kuat dan
bagus. Yaitu dalam sistem pembuatan nya dan bahan-bahan dari bongkahan kayu
yang berkualitas. Masyarakat nelayan Binuangeun memiliki jenis perahu
tradisional yang dimiliki yaitu Perahu Rampus memiliki fungsi untuk digunakan
II.2.1 Jenis dan Kriteria kayu yang digunakan
Yuliansyah, Kasasi , Suwarno, (1994) menyatakan bahwa didalam memilih bahan
baku untuk pembuatan perahu tradisional, masyarakat memiliki kriteria tersendiri
untuk kayu yang akan dijadikan sebagai bahan baku didalam pembuatan perahu
tradisional ini. Kriteria kayu yang digunakan untuk pembuatan perahu antar
lainnya yaitu kayu harus kuat ringan, tidak mudah pecah, lurus serta tahan
terhadap serangan organisme perusak kayu khususnya binatang laut. Dalam
pemilihan jenis pohon dipilih pohon yang memiliki batang bebas cabang cukup
panjang ini sangat berpengaruh terhadap kekuatan kayu itu sendiri.
Kemampuan kayu untuk mengapung karena kekuatan apung yang timbul sebagai
akibat perbedaan antara kerapatan kayu dan kerapatan air yang didesak terhadap
kayu tersebut. jika terendam dalam air. Jenis kayu yang memiliki berat jenis (Bj)
lebih dari 1,0 mengandung zat dinding sel kering yang cukup banyak ditambah zat
ekstraktif, sehingga kayu itu dapat tenggelam pada keadaan kering tanur
sekalipun. Tetapi jika kayu kering mengandung sebagian besar rongga udara,
maka kayu itu dapat mengapung. Jika kayu-kayu ini direndam, rongga udara akan
terisi oleh air dan kerapatan kayu naik sampai sama dengan atau melebihi air yang
didesak, maka kayu akan tenggelam (fiunardi, 1974) dalam (Gultom, 1995).
Dari hasil pengamatan ada dua jenis kayu yang digunakan oleh masyarakat
nelayan Binuangeun dalam membuat perahu tradisional yaitu
A. Kayu Laban, dalam situs resmi Prohati yang merupakan pangkalan data
memuat berbagai jenis tumbuhan menjelaskan bahwa, Laban adalah spesies
Vitex Pinata L, dalam bahasa Inggris disebut Vitex, berasal dari tumbuhan
berupa pohon, tingginya mencapai ± 25 m, diameter batang 35-45 cm,
pohon ini mempunyai banyak cabang yang tidak lurus/bengkok serta tidak
teratur, Kayunya cukup keras, padat, seratnya lurus, warnanya
berselang-seling coklat kuning dan coklat pudar tua. Terdapat hampir di seluruh
Indonesia, Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bangka.
sampai 60 cm, tinggi banir (akar yang menganjur ke luar menyerupai
dinding penopang pohon) 1m, kadang akarnya memiliki tinggi sampai 30
cm timbul tegak diatas permukaan tanah. Kulit luar berwarna kelabu atau
cokelat tua sampai hitam, beralur dangkal, sedikit mengelupas dalam
lembaran besar dan tebal.
Gambar II.4 Bahan berupa kayu untuk perahu Sumber: Dokumentasi pribadi
Jenis kayu Laban dan Bungur yang digunakan untuk pembuatan perahu Rampus
di Binuangeun diambil dari hutan Ujung Kulon.
II.2.2 Bagian Badan Perahu
Untuk bagian badan perahu digunakan jenis kayu yang kuat, dibuat ringan tidak
mudah pecah dan mudah terapung kemudian diberikan banyak kerangka siku-siku
berupa gading untuk menahan dan menyatukan bagian sisi kanan dan kiri badan
Gambar II.5 Gading perahu Sumber: Dokumentasi pribadi
Setiap daerah yang mendiami perairan memiliki perbedaan pada konstruksi
perahu yang dibuat, seperti Labuan, yaitu daerah tetangga, bentuk pada
konstruksinya tidak terlalu banyak gading dan pada kayunya tidak terlalu padat
(mengkerap), bentuknya gemuk dan tidak menggunakan kayu Laban dan Bungur
karena cuaca disana tidak sama dengan di Binuangeun (Pandi, 2016).
Bagian ini merupakan hal yang terpenting yang membedakan diantara perahu
yang lainnya, karena banyaknya gading atau berupa siku-siku yang menahan
perahu Binuangeun menjadi perahu yang kuat yang tidak mudah retak ataupun
rusak karena ombak dan faktor cuaca yang keras di Binuangeun.
II.2.3 Proses Pembuatan Perahu Tradisional Binuangeun
Pengambilan bahan berupa kayu yang digunakan dapat dilakukan kapan saja
tergantung adanya perahu yang dibuat maka sebelum pembuatan perahu
dilaksanakan bahan yang akan digunakan sudah dipesan sebelumnya di hutan
Ujung Kulon.
Setelah kayu sudah dipesan maka pembuatan pertama yang dilakukan adalah
mempersiapkan alat, alat yang digunakan yaitu berupa :
1. Presan
2. Bor
4. Caplak (untuk menahan kayu) 5. Kapak
6. Pendel (alat untuk meratakan papan atau kayu dengan mode cepat)
7. Meteran
8. Semawar dan tabung gas (alat untuk pembakaran pada kayu agar
membentuk lengkungan)
9. Dempul Poksi
10. Palu
11. Mur dan baud ukuran 17
12. Paku perahu dan batangan besi ukuran 10 cm untuk merapatkan papan ke papan lainnya.
Gambar II.6 Perbaikan Perahu di galangan Sumber: Dokumentasi pribadi
Hal pertama yang dilakukan adalah membuat lunas dan linggi agar bagian sisi kanan dan kiri papan yang sudah diluabangi dengan bor kemudian dimasukan
menggunakan alat palu yang dipukulkan pada papan sehingga papan-papan dapat
menyatu rapat.
Gambar II.7 Ilustrasi Lunas dan Linggi Sumber: Dokumentasi pribadi
Gambar II.8 Proses perapatan papan dengan alat Palu Sumber: Dokumentasi pribadi
Pada sisi kanan dan kiri bagian badan dari depan linggi hingga ekor perahu menghabiskan 15 lembar papan yang digunakan, disamping itu proses
pembakaran juga dilakukan agar kayu atau papan yang sudah halus membentuk
lengkungan.
Banyaknya biaya dalam sekali pembuatan perahu bisa mencapai 150 juta rupiah
dalam sekali pembuatannya (Pandi, 2016).
II.2.4 Perlakuan dan Perawatan Masa Perahu
Pada umunya masyarakat menyadari bahwa perahu yang dimiliki akan cepat
mengalami kerusakan apabila tidak melakukan perbaikan dan perawatan yang
baik, perlakuan yang diberikan yaitu untuk memperpanjang perahu agar tetap bisa
terpakai (Eho, 2016).
Gambar II.10 Pembersihan Perahu Sumber: Dokumentasi pribadi
Pada setiap pertengahan bulan diantara tanggal 14 dan 15 tiga bulan sekali,
pemilik perahu mengangkat perahu ke darat untuk membersihkan seluruh badan
perahu dari lumut dan mencat ulang perahu atau memberikan dempul poksi pada bagian badan perahu yang sudah dianggap rusak. Masa umur Rampus perahu
untuk di perbaiki sekitar tujuh tahun sekali dilakukan perbaikan pada sebagian
kayu yang sudah rapuh dan biasanya umur perahu Rampus di Binuangeun
mencapai 12-15 tahun dalam masa pakai (Pandi, 2016)
Pengetahuan mengenai cara pembuatan perahu tradisional Binuangeun merupakan
pengetahuan asli masyarakat setempat, pengetahuan ini diperoleh secara turun
temurun, tidak semua masyarakat yang berada dilokasi mengetahui cara
pembuatannya, kebanyakan dari mereka memesan pada pengrajin masyarakat
nelayan yang membuat perahu (Sehu, 2016).
Angin yang kuat dan kencang juga akhirnya menjadikan perahu yang dibuat oleh
orang Binuangeun terkenal cukup kuat dibandingkan daerah-daerah tetangga
seperti Palabuan Ratu dan Labuan (pandi, 2015).
II.3 Pola Pemukiman dan Sehari-hari nelayan
Kusnadi (2000) menjelaskan “Kampung-kampung yang padat tidak hanya
membatasi gerak penduduknya, tetapi juga menyumbang terhadap pemeliharaan keamanan kampung dari gangguan pencuri” (h.42).
Bapa Wildan (40 tahun), selaku ketua RT dan RW menjelaskan bahwa “di pesisir Binuangeun terdapat beberapa pemukiman, di wilayah Basisir disepanjang sungai
yang mengalir ke laut, pemukiman sedikit padat jarak rumah ke rumah sangat
dekat jumlah perumahan nya belum terlalu padat dan tanah yang didiami tanah
milik pemerintah daerah, jenis rumahnya ada yang tembok ada yang terbuat dari
bambu-bambu atau bilik-bilik, rata-rata kondisi nya cukup baik dan sederhana ada
pula yang kondisi rumahnya tidak baik dan sederhana, sebagian rumah di wilayah Basisir dipindahkan ke dusun yang lainnya” (Wildan, 2015).
Rata-rata rumah penduduk menghadap ke jalan-jalan utama desa dan gang-gang
yang kecil, rumah diluar pemukiman nelayan rata-rata rumahnya luas dan besar
jarak antara rumah ke rumah tidak terlalu dekat, tanah yang dimiliki rata-rata
milik pribadi, tinggi rumah rata-rata sangat besar, adapula ukuran rumahnya yang
sedang-sedang saja, rata-rata jarak antara dusun-dusun di Binuangun dipisahkan
dengan jalan utama dan gang-gang yang sempit ada juga yang besar.
Setiap pagi-pagi sekali para nelayan pergi ke laut dan malam hari baru pulang,
peluang menangkap ikan di daerah pesisir nelayan Binuangeun bukan hanya
seperti Palabuan Ratu dan Labuan beroperasi dikawasan perairan yang dekat
dengan Binuangeun, berbagai peralatan alat tangkap dengan menggunakan perahu
Rampus dan Nilon mencapai 4 sampai 5 orang, cara mereka menangkap ikan di lautan dengan menggunakan cara tradisional yang diturunkan turun temurun
dengan menggunakan jaring Rampus dan pancing Rawe ketika di lautan mereka menggunakan insting dan melihat alam keadaan sekitar, melihat cuaca yang
sedang terjadi jika arah angin menuju utara misalnya, maka ikan akan mengikuti
arah angin (Endang, 2015).
Gambar II.11 Suasana Perairan Sumber: Dokumentasi pribadi
di wilayah Basisir tindak kriminal seperti pencurian jarang terjadi meski
rumah-rumah begitu dekat dan sedikit padat, Kehidupan masyarakat nelayan Binuangeun
sehari-harinya melakukan kegiatan di perahu jika tidak sedang melaut dengan
memperbaiki jaring-jaring, menguras, memandikan perahu, mengecek mesin, agar
nantinya disaat melaut persiapan nya sudah matang (Wildan, 2015).
Kusnadi (2000) berpendapat bahwa “Sumber daya laut adalah potensi utama yang
menggerakkan kegiatan perekonomian desa. Secara umum perekonomian desa
bersifat fluktuatif karena sangat tinggi-rendahnya produktivitas perikanan. Jika
produktivitas tinggi, tingkat penghasilan masyarakat akan meningkat. Sebaliknya,
jika produktivitas rendah, tingkat penghasilan nelayan akan menurun sehingga
tingkat daya beli masyarakat rendah. Kondisi demikian sangat mempengaruhi
Aktivitas kegiatan perekonomian masyarakat nelayan Binuangeun berpusat
sendiri tepatnya di Tempat Pelelangan Ikan, yang menyatu dengan pasar
tradisional, proses lelang dimulai pukul 06.00-12.00 WIB (Petugas TPI, 2015).
Jenis ikan yang ditangkap nelayan beragam mulai dari, Ikan Layur, Cawang, Jabrig, Tuna, Cucut, Blue Marlin, Black Marlin, Tenggiri, Bawal hitam Cakalang
(Tongkol), Teri (Petugas TPI, 2015).
Gambar II.12 Grafik produksi ikan di Binuangeun Sumber: Kantor PPI Binuangeun
Petugas TPI dalam wawancara (2015 ) menjelaskan bahwa, dari hasil
penangkapan ikan di laut, semua perahu berlabuh di TPI Binuangeun untuk di
bongkar ikan-ikannya yang kemudian dilelang dan pembayarannya langsung,
apabila pembayaran belum lunas maka diberi waktu 1 (satu) hari, Mekanisme
sistem pelelangan TPA Binuangeun, yaitu :
1. Kapal nelayan merapat di Binuangeun pukul 06.00-10.00 WIB.
2. Ikan langsung dibongkar oleh ABK.
3. Ikan langsung dibawa ke pelelangan.
4. Pemenang mendapatkan karcis ketika hasil pelelangan selesai dan
5. Nelayan mendapatkan hasil lelang 8% dari jumlah seluruhnya
Kusnadi (2000) menjelaskan “Pesisir menjadi tempat pendistribusian produksi ikan ke berbagai tempat, baik untuk kebutuhan konsumen atau usaha lokal
maupun konsumen diluar pesisir” (h.58).
II.4 Pengaruh Cuaca Terhadap Nelayan
Tim Gunung Djati (2008) menjelaskan bahwa, “Para nelayan menggantungkan
kehidupannya di laut. Namun, tidak setiap pemancingan ikan di laut selalu
berhasil dengan baik. Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh saat
memancing ikan di laut, diantaranya adalah faktor cuaca atau faktor alam” (h.22).
Salim (seperti yang dikutip Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007)
Adanya ikatan antara manusia dengan alam memberikan pengetahuan dan pikiran
tentang bagaimana mereka memperlakukan lingkungannya. Oleh karena itu,
mereka menyadari betul akan segala perubahan dalam lingkungan sekitarnya, dan
mampu pula dalam mengatasinya demi kepentingannya. Salah satu cara ialah
dengan mengembangkan, etika, sikap kelakuan, gaya alam, dan tradisi yang
mempunyai implikasi positif terhadap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan
alam. Sebagaimana nelayan di desa Muara Binuangeun mengenal adanya dua
musim yang mempengaruhi aktivitas mereka saat mencari ikan di laut. Dua
musim tersebut diantaranya adalah musim angin selatan dan musim angin barat.
Musim angin selatan biasanya disebut dengan musim paceklik atau paila. Pada musim ini, intensitas tiupan angin sangat kencang dan ketinggian ombak sangat
tinggi. Jarak tempat melaut pun menjadi lebih dekat bahkan banyak nelayan yang
memutuskan untuk tidak pergi melaut. Hal ini berakibat pada menurunnya
pendapatan nelayan, Sedangkan musim angin barat adalah musim yang
merupakan berkah bagi para nelayan Musim angin barat biasanya disebut sebagai
stabil sehingga memungkinkan nelayan untuk beraktivitas di laut untuk
menangkap ikan (Endang, 2015).
II.5 Analisis
Sebagai mana dari hasil wawancara yang terlampir bahwa :
Nelayan Binuangeun di kabupaten Lebak ini memiliki potensi bukan hanya pada
pantai yang indah, kekayaan alam yang subur dan cara melaut yang tradisional
akan tetapi masyarakatnya pun memiliki kemampuan dalam membuat perahu
tradisional yang dikenal cukup kuat dalam bentuk konstruksinya karena secara
geografis keadaan alam yang cukup keras seperti angin dan ombak yang kencang
dan besar sehingga disebut dengan wilayah laut selatan sehingga memaksa
masyarakat untuk memiliki kemampuan dibidang pembuatan perahu tradisional
dengan konstruksi yang baik.
Pengetahuan lokal yang terjadi di Binuangeun khususnya dibidang pembuatan
perahu menjadi peran penting sebagai sumber ilmu pengetahuan yang identik
dengan perkembangan masyarakat Indonesia khususnya di wilayah Binuangeun,
hal ini belum begitu dikenal oleh masyarakat luar.
II.6 Resume
Kemajuan dari perkembangan teknologi akan dapat mempengaruhi bahkan akan
dapat merubah pola pikir masyarakat, akibat lebih lanjut dapat menyebabkan
ketidaktahuan sehingga untuk itu perlunya kemampuan menyebarkan kembali
informasi mengenai pengetahuan lokal nelayan Binuangeun sebagai bagian dari
perkembangan masyarakat pesisir Indonesia, kepada masyarakat luar Binuangeun
BAB III. STRATEGI PERANCANGAN DAN KONSEP VISUAL MEDIA INFORMASI
III.1 Strategi Perancangan
Strategi perancangan terdiri dari dua kata yaitu strategi dan perancangan dan
masing-masing memiliki arti kata yang berbeda, strategi adalah sebuah proses
pencapaian.
Antony (dalam Hidayat 2000: 1) menyatakan bahwa strategi adalah suatu teknik
yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Secara umum strategi diartikan
suatu cara, teknik, taktik, atau siasat yang dilakukan seseorang atau sekelompok
orang untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan perancangan
diartikan sebagai sebuah aktivitas mengenai usulan-usulan yang merubah sesuatu
yang telah ada menjadi sesuatu yang lebih baik.
Strategi Perancangan mengenai nelayan Binuangeun pada pengrajin perahu
tradisional yang dibuat oleh masyarakat setempat yaitu melalui media informasi
berupa video dokumenter dengan menggunakan teknik faktual dan eksposisi,
faktual bertujuan untuk menggambarkan keadaan objek berdasarkan fakta-fakta
yang dilihat Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Faktual dapat diartikan
sebagai hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan, sesuatu yang
benar-benar ada atau terjadi. Sedangkan eksposisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Eksposisi yaitu uraian (paparan) yang bertujuan menjelaskan maksud dan tujuan,
dimana Perancangan ini juga bertujuan untuk memaparkan atau menjelaskan
sesuatu dengan tujuan memberikan informasi dan memperluas pengetahuan
kepada masyarakat.
III.1.1 Tujuan Komunikasi
Mengenai perancangan suatu informasi, hal yang sangat penting adalah
komunikasi yang dibutuhkan dalam memberikan sebuah informasi agar
khalayak mengetahui pesan-pesan yang akan disampaikan dengan mudah dan
dimengerti.
III.1.2 Pendekatan Komunikasi
Secara umum komunikasi dapat disebutkan sebagai proses pengiriman dan
penerimaan pesan atau berita (informasi) antara dua orang atau lebih dengan cara
efektif, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Barata, 2003).
Dalam menyampaikan sebuah informasi kepada masyarakat maka harus adanya
sebuah pendekatan komunikasi agar informasi yang disampaikan dapat dengan
mudah dipahami oleh masyarakat, sehingga diharapkan pendekatan ini dapat
menarik, komunikatif dan inovatif. Maka dibuatlah strategi komunikasi visual dan
strategi komunikasi verbal untuk menyampaikan sebuah informasi mengenai
perahu tradisional nelayan Binuangeun dalam video dokumenter.
Berikut ini merupakan penjelasan dari komunikasi verbal dan komunikasi visual
yang digunakan dalam menyampaikan informasi perahu tradisional nelayan
Binuangeun melalui media video dokumenter.
1. Pendekatan Visual
Strategi komunikasi visual yang digunakan di media video dokumenter ini
menggunakan gaya cinematography Observatory atau Direct Cinema.
Observatory atau Direct Cinema adalah suatu teori dan konsep video dokumenter
yang dianggap mampu memperlihatkan realita visual secara sederhana dan apa
adanya, karena dapat mempertahankan atau menjaga spontanitas aksi dan karakter
sesuai kejadian (Garzon 2008: 15). Pendekatan yang bersifat observasi ini
utamanya ingin merekam kejadian secara natural dan tidak dibuat-buat bersifat
apa adanya. Oleh karena itu pendekatan visual video dokumenter tentang
pengrajin perahu tradisional nelayan Binuangeun dengan konsep visual
Observatory atau Direct Cinema akan sangat tepat karena memberikan informasi
mengenai kehidupan masyarakat pesisir khususnya dalam pengrajin pembuatan
2. Pendekatan Verbal
Pendekatan verbal yang digunakan dalam media informasi ini lebih menitik
beratkan pada narasi dan objek dilokasi menggunakan bahasa Indonesia yang
tidak baku dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga berguna untuk
menjelaskan mengenai objek dilokasi, sehingga video dokumenter ini akan mudah
dan cepat dipahami oleh audient. Kemudian pada penggunaan audio atau lagu
untuk video dokumenter ini menggunakan natural dan travel yaitu musik-musik ilustrasi, musik ilustrasi menurut Pratista 2008, menjelaskan bahwa “musik
ilustrasi adalah musik latar yang mengiringi aksi selama film berjalan (h:154).
III.1.3 Mandatory
Gambar III.1 Logo Banten
Sumber:https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/1a/Banten_coa.png/4 55px-Banten_coa.png
(Diakses pada 08/08/2016)
Program DISBUDPAR (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) Provinsi Banten yang
dibentuk berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2012, diantaranya memiliki
program-program beserta visi dan misi yaitu :
VISI :
MEWUJUDKAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA BANTEN YANG
Makna yang terkandung dalam visi tersebut adalah bahwa dalam lima tahun ke
depan diharapkan pembangunan kebudayaan dan pariwisata Banten
memperhatikan dan menjamin keberlangsungan usaha-usaha ekonomi, kehidupan
sosial-budaya, pelestarian lingkungan hidup dan pelestarian kebudayaan daerah.
Memberikan ruang kepada masyarakat lokal untuk menggali potensi dan
kreativitas guna menghasilkan produk-produk yang berdaya saing dalam
peningkatan kesehjahtraan secara berkelanjutan.
MISI :
Misi Ke-1 :
Melestarikan Nilai, keragaman dan kekayaan Budaya ditujukan untuk : (1)
meningkatkan kualitas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan bidang
kesenian; (2) meningkatkan nilai-nilai tradisi; dan (3) meningkatkan kualitas
pelestarian warisan budaya;
Misi Ke 2 :
Mengembangkan destinasi pariwisata yang berdaya saing ditujukan untuk : (1)
mengembangkan destinasi pariwisata yang berdaya saing; dan (2) Meningkatkan
kualitas usaha pariwisata berbasis ekonomi kreatif;
Misi Ke 3 :
Meningkatkan SDM dan kelembagaan kebudayaan & pariwisata yang profesional
ditujukan untuk (1) meningkatkan kerjasama dan kemitraan; (2) meningkatkan
penguatan kelembagaan; dan (3) Meningkatkan daya saing sumber daya manusia;
Misi Ke 4 :
Mengembangkan pemasaran kebudayaan dan pariwisata ditujukan
Misi Ke 5 :
Meningkatkan kapasitas kelembagaan dinas budaya dan pariwisata ditujukan
untuk (1) Meningkatkan kualitas SDM Dinas kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Banten yang profesional dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi; (2)
Terwujudnya rencana program dan penganggaran serta evaluasi dan pelaporan
yang berkualitas; (3) Terwujudnya organisasi dan tatalaksana yang sesuai dengan
kebutuhan tugas pokok dan fungsi; dan (4) Meningkatkan ketersediaan data dan
informasi pembangunan yang akurat.
Hubungan mengenai program DISBUDPAR (Dinas kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Banten) dengan adanya pembuatan perahu tradisional Rampus di
Binuangeun terlampir pada Misi Ke-1 alinea ke 1,2 dan 3 yaitu Melestarikan
Nilai, keragaman dan kekayaan Budaya, perahu Rampus adalah warisan leluhur
masyarakat terdahulu yang pembuatannya sudah lama dilakukan.
III.1.4 Materi Pesan
Materi pesan yang disampaikan pada media informasi ini adalah menyampaikan
bagaimana mengenai situasi pembuatan perahu tradisional Binuangeun serta
memberikan rahasia cara pembuatan perahu yang baik dan kuat dalam struktur
kerangka pembuatannya oleh masyarakat nelayan pengrajin setempat dan
memberikan informasi mengenai nilai-nilai yang terkandung didalamnya melalui
ilustrasi gambar visual berupa video dokumenter dengan ditambah narasi dan
audio yang sudah ditentukan agar diharapkan masyarakat khalayak tidak bosan
ketika melihatnya.
III.1.5 Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan yaitu menggunakan bahasa Indonesia yang tidak
baku dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga berguna untuk menjelaskan
mengenai objek dilokasi, dan yang kedua bahasa Sunda untuk istilah-istilah yang
materi pesan yang akan disampaikan mudah dimengerti masyarakat khalayak
sasaran.
III.1.5.1 Tagline
Keyword atau kata kunci dari video dokumenter ini adalah “Perahu Tradisional
Rampus”.
III.1.6 Khalayak Sasaran
Khalayak sasaran dari Video dokumenter perahu tradisional Rampus nelayan
Binuangeun adalah masyarakat luar daerah terutama remaja hingga dewasa yang
memiliki ketertarikan akan nilai keterampilan. Pemilihan segmentasi remaja
hingga dewasa didasari karena mereka merupakan orang-orang yang dapat
memberikan perubahan terhadap nilai aset budaya seni di masa mendatang.
A. Target Audient
Segmentasi dari target masyarakat yang dituju dalam perancangan informasi
melalui media Video dokumenter ini meliputi beberapa faktor diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Demografis
Ditinjau dari aspek demografis, target sasaran dari perancangan informasi media
video dokumenter perahu tradisional nelayan Binuangeun adalah : Usia : Masa Dewasa 18- 30 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki dan Perempuan Kelas Sosial : Menengah ke atas
Pendidikan : Diatas semua golongan Status : Belum menikah dan Menikah Agama : Semua Agama
Alasan memilih faktor usia diantara 18 hingga 30 tahun menurut Kisdarto
Masa dewasa, umur 18-30 tahun pada usia ini lebih tertarik pada hal-hal baru,
sehingga lebih ingin mempelajari tentang sesuatu hal yang menarik terutama
dalam mengejar cita-cita. Oleh karena itu, mereka diharapkan dapat mengetahui
budaya serta pengetahuan dalam pengrajin perahu nelayan tradisional Rampus
yang belum mereka ketahui di Binuangeun.
2. Geografis
Dilihat dari segi geografis dalam video dokumenter ini meliputi luar wilayah
Binuanngeun, seperti kota serang dan wilayah Banten yang lainnya.
3. Psikografis
Berdasarkan usia pada target audient yaitu usia 18-30 tahun, ini ditunjukkan
kepada laki-laki dan perempuan yang menyukai tentang keterampilan dalam
pembuatan perahu tradisional juga lebih mencintai pesona pedesaan.
III.1.7 Strategi Kreatif
Dalam strategi kreatif yang dilakukan hal utama yaitu menentukan identitas dari
wilayah Binuangeun dengan adanya pembuatan perahu Rampus di lokasi
Binuangeun yang memiliki kelebihan akan kekuatan konstruksinya sehingga
menjadi sebuah informasi yang dapat mewakili Binuangeun.
Didalam strategi kreatif ini dimunculkan penggambaran cerita seseorang yang
bernama Adi akan mengunjungi Binuangeun sekaligus sahabatnya yang tinggal di
Binuangeun, dengan penggambaran seorang Adi, target khalayak akan dibawa
secara emosional melalui cerita Adi, sehingga diharapkan dapat memberikan
kesan positif dan pencitraan yang baik sehingga informasi ini dapat diingat
III.1.8 Strategi Media
Dalam menyampaikan informasi tentang pembuatan perahu tradisional nelayan
Binuangeun yaitu dengan menggunakan media berupa video dokumenter.
A. Media Utama
Media utama yang dipilih yaitu video dokumenter. Video dokumenter merupakan
cara kreatif mempresentasikan realitas (Effendi 2002:11).
Video dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, Pendidikan
dan Propaganda (Effendi 2002:12). Dan tentunya video ini membahas mengenai
informasi pembuatan perahu tradisional Binuangeun oleh pengrajin nelayan
setempat dari mulai keadaan dilokasi dan aktivitas pembuatan perahu di
Binuangeun.
B. Media Pendukung
Selain media utama, maka perlu juga sebuah atribut atau media yang dapat
membantu media pendukung, untuk membantu mewakili jalannya sebuah
informasi mengenai perahu tradisional Binuangeun, sehingga dapat memberikan
kesan yang positif pada khalayak.
Beberapa media pendukung yang digunakan adalah sebagai berikut :
Poster
Digunakan untuk membantu memberikan sebuah informasi mengenai video
dokumenter perahu tradisional Binuangeun yang nantinya akan di tempatkan di
media digital seperti facebook dan papan informasi
X-banner
Media x-banner ditempatkan di media digital seperti youtube dan facebook serta
Cover Dvd
Penggunaan media cover dvd digunakan untuk memberikan identitas atau
informasi dari video yang dikemas ke dalam Dvd, agar terlihat bahwa itu
merupakan dvd video dokumenter mengenai Binuangeun.
Diunggah ke media sosial, Youtube, Facebook (www.youtube.com ,
www.facebook.com)
Pada era ini media digital juga sangat berkontribusi terhadap
perkembangan-perkembangan informasi, sehingga penempatan video dokumenter mengenai
perahu tradisional Binuangeun akan di unggah ke situs Youtube dan Facebook
agar informasi mengenai video dokumenter ini dapat dengan mudah di lihat.
T-shirt
Penggunaan media t-shirt digunakan sebagai media pengingat selain itu juga
penempatan t-shit adalah sebagai media informasi yang berjalan karena digunakan
sebagai pakaian yang dipakai setidaknya 2 sampai 3 hari dalam seminggu.
Stiker
Media stiker dibagikan pada khalayak sehingga dapat digunakan untuk
ditempatkan pada kendaraan roda dua atau roda empat, jika nantinya sudah
terbaca dan mengetahui mengenai video dokumrnter ini, maka setidaknya dapat
memberikan kesan nilai positif.
Pin
Penggunaan pada media pin juga merupakan media yang cocok karena dapat
memberikan informasi yang berjalan sehingga kesan dan ditempatkan di tas atau
Topi
Ditujukan untuk khalayak, oleh karena cuaca yang panas maka media topi
digunakan
Miniatur perahu Rampus
Media ini nantinya menjadi media yang dapat dipajangkan di ruang tamu atau
ruangan-ruangan baik perkantoran atau ruangan sehari hari.
Gantungan kunci
Media gantungan kunci ini digunakan agar khalayak dapat mengingat bahwa
pentingnya melestarikan akan nilai-nilai budaya sebagai pengetahuan dan
pembelajaran.
.
III.1.9 Strategi Distribusi
Distribusi atau penyebaran media dilakukan sesuai dengan tabel penjadwalan
seperti tabel di atas, jadwal penyebaran media dilakukan pada bulan pertama yaitu
berupa poster dan X-banner, poster dan X-banner dilakukan pada bulan pertama
melalui sosial media seperti facebook dan youtube dikarenakan penyebaran melalui media digital akan sangat cepat dan efektif, begitu juga tempat-tempat
pemberangkatan dan pemberhentian travel mobil akan sangat lebih praktis
orang-orang yang akan berpergian melihat media x-banner dan poster, setelah bulan
pertama sudah mencapai target khalayak yang dituju media berupa video di sebar
melalui youtube secara gratis dan juga dilakukan penayangan di kampus-kampus dan pasar seni melalui stand pasar seni atau stand kampus terutama
kampus-kampus di Banten. Dan untuk media-media pendukung seperti Miniatur perahu
dan lain sebagainya akan disebarkan secara berbayar dengan satu full set box yang
berisikan kaos, topi, pin, miniatur perahu, gantungan kunci, stiker dan sebagainya.
III.2 Konsep Visual III.2.1 Format Video
Video merupakan rangkaian dari banyak frame (bingkai) gambar yang dijalankan
dengan cepat. masing-masing bingkai merupakan tahap-tahap (sekuen) dari suatu
gerakan, mata kita tidak akan dapat menangkap perbedaan (titik jeda perpindahan)
antara-frame jika rangkaian tersebut diputar dengan kecepatan diatas 20
frame/detik. Otak kita akan menangkapnya sebagai ilusi gerak (Sianipar, 2008).
Format video yang digunakan adalah format video digital dengan resolusi full
high definition 1080x720 pixel berdurasi 20 menit dalam format Televisi.
Studi visual pada video dokumenter ini yaitu menggunakan pengembangan video dokumenter yang berjudul “Lewa Di Lembata” karya produksi Watchdog yang disponsori oleh BAKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia).
Penggunaan referensi tersebut karena salah satunya menggunakan teknik
pengambilan gambar secara langsung yang terjadi di lokasi dan juga
gambar mengenai alam dan masyarakatnya dan dikombinasikan dengan
perkembangan situasi disana.
Gambar III.2 Scerencapture Video Dokumenter “Lewa Di Lembata”
Sumber : Video Lewa Di Lembata
Gambar III.3 Screncapture Video Dokumenter “Perahu Tradisional Rampus Binuangeun”
Sumber: Dokumentasi Pribadi
III.2.2 Tata Letak (Layout)
Tata letak dalam video dokumenter ini menggunakan menggunakan teknik The
Rule of Thirds yang artinya teknik yang menggambarkan penghindaran sebuah
subyek utama di tengah-tengah frame kamera, artinya subyek utama pada
pengambilan gambar ini tidak selalu ditempatkan di tengah kamera yang nantinya
Fajar (2007) menjelaskan “The Rule of Trids, hindari pula pusat perhatian berada tepat ditengah gambar. Biasanya jika subyek utama kita ditempatkan persis
ditengah-tengah frame akan terlihat statis dan kurang menarik perhatian. Biasanya, kita akan menghasilkan gambar yang baik dengan menempatkan pusat
perhatian berdasarkan rule of thirds (h:122).
Komposisi Rule of third adalah petunjuk bagaimana caranya mengkomposisikan obyek di satu per tiga bagian dalam foto agar lebih enak dilihat. Tujuannya adalah
agar Video dokumenter ini terlihat menarik karena komposisi objek tidak selalu
harus ada di tengah agar kreatifitas pengambilan gambar objek tidak
membosankan untuk ditonton.
Gambar III.4 Pembagian komposisi Rule of thirds Sumber: Dokumen Pribadi
Untuk penggunaan aspek ratio pada video dokumenter mengenai Binuangeun, dalam pembuat perahu Rampus ini agar terlihat berkesan dan bagus, maka
penggunaan aspek rationya menggunakan aspek ratio yang lebar supaya tampilan keadaan gambar dilokasi semua terlihat oleh kamera, aspek rationya yaitu 16:9,
Karena video dokumenter adalah video yang mendokumentasikan gambaran
secara realitas mengenai suatu kehidupan yang terjadi juga mendukung pada layar
tampilan LCD yang diproduksi di Indonesia pada masa sekarang. Aspek ratio adalah perbandingan antara lebar dan tinggi bingkai gambar (frame) (Effendi, 2002).
III.2.3 Tipografi
Tipografi dalam konteks desain komunikasi Visual mencakup pemilihan bentuk
huruf, besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat
(Tinarbuko,2009)
pada penggunaan huruf tipografi dalam video dokumenter ini yaitu menggunakan
huruf-huruf gaya art nouveau sebagaimana menurut Danton Sihombing menjelaskan (2001) “Art nouveau mengangkat alam sebagai referensi dengan keindahan dan harmoni (h:51)
karena video ini lebih menitik beratkan pada konstruksi perahu yang berada di
wilayah pesisir selatan Binuangeun sebagai gambaran lokasi alam, dipadukan
dengan huruf-huruf san serif untuk penggunaan Cover Video, X-banner, stiker. Poster, T-shirt dan topi, huruf-huruf yang digunakan dalam video dokumenter
Sementara itu untuk bagian judul pada video Dokumenter ini dipadukan dengan
huruf LuggerBug dan Lakmus font type
Gambar III.5 Judul Video Dokumenter Sumber: Dokumen Pribadi
Penggunaan Gill Sans MT digunakan untuk keterangan nama objek dan diletakkan
dibawah Frame, dapat dilihat dari gambar berikut :
Gambar III.6 Keterangan penempatan huruf untuk objek dalam Video Sumber: Dokumen Pribadi
III.2.4 WARNA
Santoso (2013:55) mengatakan bahwa “Konsep pewarnaan sangat penting karena
terukur, penonton akan terbantu untuk lebih cepat masuk ke cerita film. Dengan
kata lain penonton akan menyatu dengan video atau film yang sedang
ditontonya”. Dalam penggunaan warna, warna yang digunakan dalam media
utama dan media pendukung ini adalah warna-warna biru, hitam, putih, coklat dan
biru tua yang dapat menambah kesan yang baik, berikut warna yang digunakan
dalam media utama dan pendukung.
Gambar III.7 Color Picker CMYK Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar III.8 Color Picker RGB Sumber: Dokumen Pribadi
III.2.5 Musik
Untuk mendukung suasana dalam video dokumenter, maka pada penggunaan
musik instrumen yang mengiringi jalannya video agar kesan dalam video
dokumenter ini semakin nikmat didengar oleh audiens juga menjadi penanda
suasana pada video.
Pratista 2008, menjelaskan bahwa “musik ilustrasi adalah musik latar yang
mengiringi aksi selama film berjalan” (h:154).
Menurut Widagdo 2007 dalam bukunya bikin film indie itu mudah menerangkan
bahwa “musik ilustrasi berguna untuk menciptakan mood (suasana kejiwaan), memperkuat informasi ataupun mempertegas informasi” (h:3).
III.2.6 Ide Cerita
Melakukan pembuatan video dokumenter mengenai “Pembuat perahu Rampus
Binuangeun” adalah daerah pesisir yang memiliki wilayah perairan yang indah
dan juga mempunyai kemampuan dalam membuat sebuah perahu tradisional
merupakan nilai-nilai pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat nelayan
setempat sebagai bagian dari perkembangan masyarakat Indonesia khususnya di
wilayah pesisir, serta memperlihatkan secara mendalam nilai-nilai pengetahuan
yang bisa dipelajari dari masyarakat nelayan Binuangeun juga dalam pembuat
perahu tradisional. Tujuannya agar masyarakat khalayak yaitu masyarakat luar
Binuangeun lebih mengetahui tentang nilai-nilai pengetahuan nelayan Binuangeun
dalam pembuatan perahu.
III.2.7 Video Statement
Binuangeun merupakan wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya bernelayan,
dikawasan tersebut terdapat nelayan pembuat perahu tradisional yang dikenal kuat
dalam konstruksinya. Apakah masyarakat luas mengetahui keberadaan pembuat
perahu tradisional di Binuangeun ?. Bila tahu, apakah masyarakat luar tahu
mengenai bentuk dan konstruksinya ?. Apa yang akan masyarakat khalayak
lakukan jika mengetahui pembuatanya ?. Apabila tidak ada perahu tradisional di
III.2.8 Storytelling
Alur cerita Pada video dokumenter ini adalah mengenai perjalanan seseorang
sebut saja Adi, Adi adalah orang yang menyukai traveling yaitu Adi menyukai
perjalanan ekspedisi ke wilayah-wilayah ujung Indonesia, saat itu kebetulan Adi
memiliki sahabat yang tinggal di wilayah selatan pulau Jawa yaitu Binuangun,
setelah Adi menghubungi sahabatnya dan mengobrol panjang, karena sebelum
sahabatnya pulang ke daerahnya, sahabatnya pernah bercerita mengenai tempat
tinggalnya yaitu desa nelayan, dalam obrolan Adi dan sahabatnya, diceritakan Adi
ingin mengunjungi daerah Binuangeun, Adi menanyakan mengenai keterampilan
masyarakat nelayan didaerah Binuangeun, kemudian sahabatnya menjawab yaitu
adanya pembuatan perahu yang sudah dilakukan turun temurun, yang sampai saat
ini hanya diketahui oleh masyarakat Binuangeun, setelah beberapa hari Adi
berangkat menuju lokasi dengan mendokumentasikan perjalanannya dengan
peralatan berupa kamera untuk dijadikannya dalam sebuah video dokumenter, saat
di perjalanan Adi menyalakan kamera setelah sahabatnya menjemputnya di
terminal bus, diawal sebelum memasuki wilayah pemukiman nelayan, iya melihat
padang rumput yang hijau beserta lautan yang biru dengan pepohonan kelapa
yang cuacanya lumayan panas, diperjalanan Adi menceritakan mengenai
perjalanannya dan mengajak penonton atau khalayak bahwa Adi sedang dalam
perjalanan menuju Binuangeun dan ingin berbagi cerita mengenai aktivitas di
Binuangeun, setelah Adi melewati jalanan padang rumput hijau dan lautan,
terlihat tulisan gapura selamat datang di pantai Binuangeun, setelah memasuki
gapura iya memasuki wilayah pinggiran pantai Binuangeun, setelah itu adi
beristirahat lalu ke esok kan harinya iya memulai perjalanan menuju pembuatan
perahu, di perjalanan iya merekam dengan menggambarkan suasana di pagi hari,
kemudian setelah itu untuk menuju lokasi maka Adi dan sahabatnya menaiki
perahu Binuangeun, dan setelah itu iya mendarat, kemudian iya melewati pasar
lokal dan pelelangan ikan di Binuangeun dengan menggambarkan hiruk pikuk
kehidupan disana, setelah melewati semua itu Adi berjalan menuju pinggiran
perairan untuk pergi ke rumah pengrajin perahu dan berangkat bersama ke
galangan kapal, sebutlah bapa Pandi. Adi adalah orang yang sangat penasaran
akhirnya sahabatnya mempertemukan dengan seorang pengrajin perahu, karena di
galangan perahu, bapa Pandi akan mengajak melihat aktivitas pembuatan perahu
dan mengobrol mengenai perahu Binuangeun, setelah Adi dirasa cukup dengan
mewawancarai selama beberapa jam akhirnya Adi mengambil kesimpulan
mengenai perahu Binuangeun dan Adi sangat puas dengan perjalanannya.
III.2.9 Storyline
Gambaran cerita atau Storyline yang akan dimunculkan pada video dokumenter ini adalah sebagai berikut :
Scene 1
Video dokumenter ini dimulai dengan menampilkan salah satu jalan raya yang
menuju ke lokasi Binuangeun dengan ditambah pemandangan laut di sisi jalan
raya lalu setelah itu muncul “Paradokstudio Present”.
Scene 2
Scene ini merupakan tampilan dari suasana pagi hari saat dimulainya aktivitas
masyarakat di Binuangeun.
Scene 3
Di bagian scene ini pembukaan Video Dokumenter “Pembuat Perahu Rampus Binuangeun” dengan suasana di perairan sungai.
Scene 4
Menggambarkan perjalanan diatas sungai yang menjorok ke laut lepas untuk
menuju lokasi pembuat perahu dengan ditambah narasi.
Scene 5
Menggambarkan suasana pusat perekonomian pasar tradisional Binuangeun.
Scene 6
Scene 7
Setelah TPI, audient akan diajak berjalan menyusuri jalanan pesisir Binuangeun,
untuk menjumpai seorang pengrajin perahu Rampus dirumahnya dan berangkat
menuju galangan pembuatan perahu
Scene 6
Pada scene ini menampilkan lokasi pembuatan dan menjelaskan mengenai perahu tradisional Binuanageun yang dikenal kuat konstruksi perahunya, serta
menampilkan suasana keadaan saat kerja dilokasi.
Scene 7
Melakukan interaksi antara penanya dan narasumber mengenai perahu Rampus
Binuangeun.
Scene 8
Ketika dipertengahan di scene kedelapan sedang menjelaskan mengenai perahu, kemudian dibagian scene yang kesembilan, ketika scene delapan menjelaskan scene sembilan menggambarkan pekerjaan-pekerjaan dilokasi.
Scene 9
Pada scene terakhir ini, penutupan kesimpulan mengenai “Pembuat perahu
Rampus”.dengan menggambarkan lokasi diatas gedung.
III.2.10 Shooting List (Sasaran Tembak Kamera)
Shooting List (Sasaran Tembak Kamera) merupakan daftar mengenai gambaran
yang akan ditampilkan dalam video dokumenter ini. Nama-nama lokasi di
Binuageun yang menjadi Shooting list diantaranya adalah :
1. Pangasinan
2. Pantai Karang Seke
4. Pantai Karang Malang
5. Gapura
6. Aliran Sungai
7. Tempat Pembuatan Perahu tradisional
8. Rumah-rumah warga
9. Pasar Tradisional
10. TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
III.2.11 Storyboard
Gambar III. 10 Scene 3 dan 4 Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar III. 11 Scene 5 dan 6 Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar III. 13 Scene 9 dan 10 Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar III. 14 Scene 11 dan 12 Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar III. 16 Scene 15 dan 16 Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar III. 17 Scene 17 dan 18 Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar III. 19 Scene 21 dan 22 Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar III. 20 Scene 23 dan 24 Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar III. 21 Scene 27 dan 28 Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar III. 22 Scene 29 dan 30 Sumber: Dokumen Pribadi
BAB IV. TEKNIS PRODUKSI MEDIA
IV.1 Perlengkapan
IV.1.1 Perlengkapan Pengambilan Gambar
Tabel IV.1 Perlengkapan dan alat yang digunakan
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Nama Barang Gambar
Canon 60d
Canon 600d
Canon d1200
LENSA Lensa 85 Lensa 50 Lensa 18135 Lensa 18-135 Lensa Fisheye
Slider
SD Card V-GEN
Laptop
Intel core(TM) i3 CPU M380 2.53GHz . (RAM) 4GB. System Type
64-bit Operating Syistem. Hardisk 500GB
IV.1.2 Software Penunjang Adobe Premiere Pro cs5
Digunakan untuk mengedit Video beserta Audio juga timelapse Adobe Photoshop cs 5
Digunakan untuk membuat media pendukung
Adobe Ilustrator cs 5
Adobe Audition
Digunakan untuk mengedit suara narasi
IV.1.3 Anggota Tim
Abdul Haris : Sutradara, Editor, Kameramen Priansyah : Kameramen
Angga : Kameramen Deny : kameramen
IV.1.4 Proses Pengambilan Gambar
Proses pengambilan gambar menggunakan kamera 60d dengan menggunakan
lensa 18-135 dan fisheye serta penggunaan kamera 600d dengan menggunakan
lensa 85, 50 dan 18135 begitu juga sebaliknya, proses pengambilan gambar juga
dengan menggunakan teknik rumus Einsten yang terkenal yaitu � = �.�2. Rumus ini jika diterjemahkan akan menjadi Estabilish, Medium dan Close Up +
Close Up dan diarahkan pada tiap-tiap proses pengambilan gambar yang sudah di
susun atau di list sebelumnya, berikut urutan susunan gambar.
Tabel IV.2 Pengambilan Gambar
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Keterangan Gambar
Pada durasi 42 detik muncul nama
studio yang menggarap video yaitu