• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Tahun 2012"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN POLA ASUH MAKAN PADA ANAK USIA BAWAH DUA TAHUN (BADUTA) GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

SUKAMULYA KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh : SITI JULAEHA

105101003255

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 Desember 2012

(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 30 Desember 2012

Siti Julaeha, NIM: 105101003255

Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012

xxvii + 148 halaman, 8 tabel, 2 bagan, 5 lampiran

ABSTRAK

Kekurangan gizi pada baduta baik akut maupun kronis, dapat dipastikan mempengaruhi daya tahan tubuh, pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif baduta, yang pada gilirannya memberikan kontribusi pada meningkatnya kematian dan kesakitan baduta, serta menurunnya prestasi akademik dan produktivitas sumber daya manusia di masa mendatang. Pola asuh anak yang tidak memadai merupakan faktor penting dalam menyebabkan masalah gizi kurang pada Baduta. Pola asuh makan merupakan bagian dari pola asuh gizi, yang dapat dilihat dari perilaku ibu dalam pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola asuh makan pada baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012 yang dilakukan pada bulan April - Desember tahun 2012. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sampel yang digunakan sebanyak 15 orang yang terdiri dari 7 orang informan utama dan 9 orang informan pendukung. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi mengenai pengetahuan, sikap, dan praktik ibu dalam hal perilaku pemberian ASI dan MP-ASI pada baduta, penilaian status gizi baduta dilakukan dengan cara mengukur berat badan anak dengan menggunakandacin dan panjang badan dengan menggunakanSECA atau microtoice. Penilaian status gizi berdasarkan z-score BB/U dan PB/U dibandingkan dengan baku WHO-NCHS. Informan utama dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak gizi kurang yang berusia dibawah dua tahun (baduta) di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.

(4)

yang baik terhadap frekuensi pemberian ASI dan memiliki praktik yang baik dalam hal frekuensi pemberian ASI dan lamanya pemberian ASI.

Gambaran pola pemberian MP-ASI pada ibu baduta gizi kurang juga secara umum juga buruk. Sebagian informan memiliki pengetahuan, sikap dan praktek yang buruk terhadap pemberian MP-ASI, waktu pemberian MP-ASI pertama kali, tahapan pemberian MP-ASI, dan manfaat MP-ASI yang tepat bagi anak. Namun meskipun demikian pengetahuan, sikap dan praktik ibu baduta gizi kurang terhadap komposisi dan porsi MP-ASI, frekuensi pemberian MP-Asi serta cara pembuatan MP-ASI sudah cukup baik.

Pola asuh makan atau perilaku ibu baduta gizi kurang yang buruk dalam hal pemberian ASI dan MP-ASI, merupakan penyebab baduta menderita gizi kurang. Perilaku ibu baduta yang buruk, mungkin disebabkan oleh kurangnya penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan atau kurangnya pemahaman dan kesadaran mereka dalam hal pentingnya ASI eksklusif dan MP-ASI yang tepat untuk pertumbuhan dan perkrmbangan anak serta dimungkinkan karena kebiasaan-kebiasaan pemberian makanan baduta yang sejak awal memang sudah buruk.

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada petugas Puskesmas sebaiknya melakukan pendekatan-pendekatan dengan cara bekerjasama denga tokoh masyarakat yang berpengaruh diwilayah setempat dalam upaya memperbaiki perilaku atau kebiasaan-kebiasaan buruk terkait pemberian ASI dan MP-ASI yang sudah mendarah daging di masyarakat, selain itu perlu dilakukan peningkatan program penyuluhan kesehatan dan pendampingan gizi baik secara individu maupun kelompok dengan menggunakan contoh menu makanan yang dilengkapi dengan komposisi, porsi, frekuensi dan cara penyajiannya sehingga dapat mudah dipahami oleh ibu baduta, serta memberikan reward kepada ibu baduta yang memiliki perilaku baik dalam hal pemberian ASI dan MP-ASI.

Daftar bacaan: 52 (1987-2011)

(5)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH

Undergraduate Thesis, 30 December 2012 Siti Julaeha, NIM: 105101003255

DescribeParentingEatAtChildren Under The Age Of Two

Years(Baduta)MalnutritionIn The Working AreaSukamulyaTangerang DistrictHealth Centers (Puskesmas)In 2012

xxvii + 148 pages, 8 tables, 2 charts, 5 attachments

ABSTRACT

This studyaims to describeparentingeatatchildren under the age of two years(baduta)malnutritionin the working areaSukamulyaTangerang districthealth centers (Puskesmas)in 2012. It wasconducted inApril-Decemberin 2012.This study used a qualitative approach. Samples used as many as 15 people consisting of 7 the key informants and 9 secondary informants.Data was collected by in-depth interviews and observations of the knowledge, attitudes and practices of mothers in breastfeeding behaviors and MP-ASI on baduta, assessment of nutritional status baduta done by measuring the child's weight using the balance scales and the length of the body by using a SECA or microtoice. Assessment of nutritional status based on z-score W / A and PB / U compared with standard WHO-NCHS. Key informants in this study were mothers of undernourished baduta in the working area of Tangerang District Health Center Sukamulya 2012.

This study shows that the parenting maternal eating baduta malnutrition at health center working area Sukamulya is generally bad because most of the informants have the poor knowledge, attitude and practice of breastfeeding and complementary feeding. Almost all informants have poor knowledge, attitude and practices related toexclusive breastfeeding, colostrum, good timingat first time breastfeeding. They do not understand the composition of breast milk, the dangers of early complementary feeding, and the right time to do the weaning. However, some mothers’ baduta malnutrition have good knowledge in terms of frequency and duration of breastfeeding, in addition they have a good attitude towards the frequency of breast-feeding and weaning age and they also have a good practices in terms of the frequency of breast-feeding and duration of breastfeeding.

(6)

The bad parenting dining or maternal behavior baduta malnutrition,in terms of breastfeeding and complementary feeding, is a cause baduta suffer malnutrition. Baduta poor maternal behavior may be caused by a lack of health education from health personnel or lack of understanding and awareness on the importance of exclusive breastfeeding and appropriate complementary feeding for children growth. This is also may be caused by the feeding habits baduta that since the beginning gone bad.

Based on these results, it is recommended to the health center personnel make approaches by working premises of influential community leaders local region in an effort to improve behavior or bad habits associated with breastfeeding and complementary feeding which is ingrained in the community, but it needs to be done increased health education programs and nutrition assistance either individually or in groups using a sample menu of food that comes with the composition, portion, frequency and manner of presentation so that it can be easily understood by the mother baduta, and give rewards to baduta mother who had good behavior in terms of breastfeeding and MP-ASI.

The reading list : 52 (1987-2011)

(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

GAMBARAN POLA ASUH MAKAN PADA BADUTA GIZI KURANG

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKAMULYA KABUPATEN

TANGERANG TAHUN 2012

Telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 30 Desember2012

Mengetahui

Febrianti, M.Si Minsarnawati, SKM, M.Kes

(8)

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta,16 Januari 2013

Mengetahui,

Penguji I

Raihana N.Alkaff, M. MA

Penguji II

Ratri Ciptaningtyas, SSN. Kes

Penguji III

(9)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Identitas Diri

Nama : Siti Julaeha

Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang 27 Juni 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Status : Menikah

Alamat : Kp. Palis Tegal Ds. Kaliasin RT. 07/01 Kecamatan

Sukamulya Kabupaten Tangerang 15610

Nomor Telepon : 083870926723/ 082110705689

Riwayat Pendidikan

1994 – 2000 SDN Jengkol III Kecamatan Kresek

2000 – 2003 Madrasah Tsanawiyah Negeri Sukamulya

2003 – 2006 SMAN I Kabupaten Tangerang (Kelas III bidang studi

IPA)

2005 – 2012 Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)

(10)

LEMBAR PERSEMBAHAN

Sembah Bakti penulis haturkan kepada ayahanda tercinta abah H. Asnali yang

sudah banyak membekali penulis dengan pendidikan/ sekolah sebagai bekal untuk

masa depan dalam mengarungi hidup.

Teruntuk ibunda tercinta Hj. Jamsah yang telah melahirkan, membesarkan

dan mendidik anaknya dengan penuh cinta kasih dan sayang. Semoga penulis dapat

mengikuti jejak bunda menjadi orangtua yang bijaksana dalam mendidik,

membesarkan dan mengantar anak-anak menggapai masa depan yang cerah. Do’akan

anakmu bunda...

Ayahanda mertua Alm. H. Buang dan ibunda mertua Hj. Arimah atas doa

yang tulus yang senantiasa mengiringi langkahku menapak hari-hari dalam hidup.

Kakanda tercinta Mr. Kusnadi M.Pd, Abdul Rohim, Jaelani beserta

bidadari-bidadari nan cantik & baik hati (Mama Hilal, Ami Kiki, Bunda Afsel, De eva) serta

Adik-adiku tersayang (Su’ud, Lila, Anam dan Cuel) Terimakasih untuk segala cinta

dan kasih sayang.

Suamiku tercinta (Hidayat S.Ag), terima kasih atas pengertian, dukungan dan

pengorbanan lahir batin yang telah diberikan. Doa setiap waktu dalam Shalat

malammu yang memberi kekuatan dan semangat penulis dalam menyelesaikan

pendidikan.

Anakku tercinta Muhammad Farhan Kamil “Bunda sayang Ade..” Doa, tawa

dan ceriamu menjadi energi positif yang memberi kekuatan buat bunda dalam

(11)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan

limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul “Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah

Kerja Puskesmas Sukamulya Tahun 2012”. Shalawat serta salam penulis mohonkan

ke hadirat Allah SWT, semoga selalu dialirkan kepada nabi dan rasul akhir zaman,

Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, segenap sahabat dan umat-Nya. Amin.

Ucapan terima kasih teruntukIbu Febrianti, M.Si dan Ibu Minsarnawati,

SKM, M.Kes,selakuPembimbing I dan Pembimbing IIyang dengan penuh kesabaran,

ketekunan dan kelembutan telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta

motivasi dalam penyusunan skripsi.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu tersusunnya skripsi ini. Terima kasih ini penulis haturkan kepada :

1. Bapak Prof. DR (HC) dr. MK Tajudin S.And, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Febrianti, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan masyarakat UIN

syarif Hidayatullah Jakarta beserta para Dosen yang sangat berjasa dalam

memberikan pendidikan sebagai bekal hidup yang berharga bagi penulis.

3. Ibu Raihana N.Alkaff, M. MA, Ibu Ratri Ciptaningtyas, SSN. Kes, Ibu Catur

Rosidati, SKM.MKM, selaku dosen penguji skripsi sekaligus pembimbing

(12)

4. Staf Puskesmas Sukamulya, Ibu Henalusti (TPG) dan Bpk.Khaerudin,

SKMserta staf Puskesmas lain yang sudah banyak membantu, Selamat

bertugas.

5. Para Ibu bayi beserta keluarga informan, terimakasih atas kesediaannya

menjadi informan .

6. Sahabat-sahabatku Endah, Giri, Ita, Retno, Eka dan sahabat satu bimbingan

yang lain. Terimakasih atas doa, semangat dan bantuannya selama ini.

Bersama kalian aku jadi berani untuk melangkah maju.

7. Sahabat-sahabatku Nungky, Eva, Rahma,Rofa, Pipit, Riri dan Elok.

Terimakasih atas saran, doa dan dukungannya, sampai kapanpun kalian tetap

sahabatku.

8. Sahabat-sahabatku sedari kecil “wong palis kabeh”, terimakasih untuk semua.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih kurang dari sempurna, sehingga

sangat diharapkan saran dan kritikanya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak.

Jakarta, 15 Desember 2012

(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ...ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vi

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... viii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 10

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.4.1 Tujuan Umum ... 10

1.4.2 Tujuan Khusus ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

1.5.1 Manfaat Bagi Puskesmas ... 10

1.5.2 Manfaat Bagi Ibu Baduta ... 11

1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti ... 11

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 12

BAB II ... 13

TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Perilaku ... 13

2.1.1 Pengertian ... 13

2.1.2 Proses Adopsi Perilaku ... 17

(14)

2.1.4 Perilaku Kesehatan ... 21

2.1.5 Pengukuran dan Indikator Perilaku Kesehatan ... 22

2.2 Pola Asuh Anak ... 26

2.3 Pola Asuh Makan ... 30

2.4 Jenis-jenis makanan anak usia 0-24 bulan ... 32

2.4.1 Air Susu Ibu (ASI) ... 32

2.4.2 Makanan Pengganti Air Susu Ibu (PASI) ... 34

2.4.3 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) ... 37

2.4.4 Kebutuhan Gizi Anak Usia 0 sampai 24 Bulan... 45

2.4.5 Persiapan dan Penyimpanan Makanan ... 55

2.4.6 Perawatan Kesehatan ... 55

2.5 Status Gizi ... 58

2.5.1 Penilaian Status Gizi ... 60

2.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi ... 66

BAB III ... 70

KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH ... 70

3.1 Kerangka Pikir ... 70

3.2 Definisi Istilah ... 71

BAB IV ... 76

METODE PENELITIAN ... 76

4.1 Jenis Penelitian ... 76

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 76

4.3 Informan Penelitian ... 77

4.4 Instrumen Penelitian ... 78

4.5 Pengumpulan Data ... 78

4.6 Analisis Data ... 79

4.7 Validasi Data ... 80

BAB V ... 81

HASIL PENELITIAN ... 81

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 81

[image:14.612.116.544.45.754.2]
(15)

5.1.2 Gambaran Umum Program Perbaikan Gizi di Puskesmas Sukamulya .. 82

5.2 Karakteristik Informan ... 83

5.2.1 Informan Utama ... 84

5.2.2 Informan Pendukung ... 88

5.3 Hasil Penelitian ... 91

5.3.1 Gambaran Pola Asuh Makan ... 91

BAB VI ... 104

PEMBAHASAN ... 104

6.1 Pengetahuan Pemberian ASI ... 104

6.2 Sikap Pemberian ASI ... 106

6.3 Praktek Pemberian ASI ... 108

6.4 Pengetahuan Pemberian MP-ASI ... 110

6.5 Sikap Pemberian MP-ASI ... 113

6.6 Praktek Pemberian MP-ASI... 113

[image:15.612.112.546.70.467.2]
(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usia 0 sampai 24 bulan atau yang biasa dikenal dengan istilah baduta (bayi

dibawah dua tahun) merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,

sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode

emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi

yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada

masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas

akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi

dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes RI, 2006).

Baduta merupakan salah satu kelompok rawan gizi. Kekurangan gizi pada

baduta dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, social,

dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa.

Selain itu kekurangan gizi dapat menyebabkan terjadinya penurunan atau rendahnya

daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. World Healthy Organization (WHO)

menyatakan terjadinya gagal tumbuh akibat kurang gizi pada masa bayi

mengakibatkan terjadinya penurunan Intelektual Question (IQ) 11 point lebih rendah

dibandingkan dengan anak yang tidak kurang gizi (Depkes RI, 2006)

Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan seimbang

melalui pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI).

(17)

paling baik dalam memenuhi kebutuhan gizi bayi, dilanjutkan dengan pemberian

MP-ASI yang tepat serta MP-ASI dilanjutkan pemberiannya sampai usia dua tahun merupakan

kunci agar anak dapat tumbuh kembang secara optimal (Dinkes Prop SU, 2006).

Anjuran WHO adalah memberikan ASI secara maksimal, tetapi sampai usia

tertentu ASI tidak dapat lagi memenuhi seluruh kebutuhan, karena bayi memerlukan

makanan tambahan sebagai pendamping ASI. (WHO, 1999).

MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan

kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya.MP-ASI adalah makanan yang

diberikan pada bayi yang telah berusia enam bulan atau lebih karena ASI tidak lagi

memenuhi gizi bayi. Pemberian makanan pendamping dilakukan secara

berangsur-angsur untuk mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta

menerima macam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa. MP-ASI

merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan

yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan ketrampilan motorikoral.

Ketrampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan

makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah

bagian depan ke lidah bagian belakang (Sulistijani, 2001).

Dalam periode pemberian MP-ASI, bayi tergantung sepenuhnya pada

perawatan dan pemberian makanan oleh ibunya. Oleh karena itu pengetahuan dan

sikap ibu sangat berperanan, sebab pengetahuan tentang ASI danMP-ASI dan sikap

yang baik terhadap pemberian ASI dan MP-ASI akan menyebabkan seseorang

(18)

pengetahuan gizi seseorang maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan

jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi (Ahmad Djaeni, 2000).

Untuk dapat menyusun menu yang adekuat, seseorang perlu memiliki

pengetahuan dan sikap yang baik mengenai bahan makanan dan zat gizi, kebutuhan

gizi seseorang serta pengetahuan hidangan dan pengolahannya. Umumnya menu

disusun oleh ibu (Soegeng Santoso dan Anna Lies Ranti, 1999).

Pemberian MP-ASI meliputi terutama mengenai kapan MP-ASI harus

diberikan, jenis bentuk dan jumlahnya (Krisnatuti, 2000). Waktu yang tepat untuk

pemberian MP-ASI adalah usia 4 sampai 6 bulan (Lawson, 2003). Cara pemberian

pertama kali berbentuk cair menjadi lebih kental secara bertahap (Octopus, 2006).

Jadi pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas ataupun kuantitas, penting

untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak (Graimes, 2008).

Pemberian MP-ASI ini juga harus memperhatikan kondisi anak, ciri anak

yang siap diberikan MP-ASI diantaranya adalah bayi dapat duduk dengan baik tanpa

dibantu; Reflek lidah bayi sudah hilang dan tidak secara otomatis mendorong

makanan padat keluar dari mulutnya dengan lidah; Bayi sudah siap dan mau

mengunyah; Bayi sudah bisa “menjumput”, dimana dia bisa memegang makanan atau

benda lainnya dengan jempol dan telunjuknya. Menggunakan jari dan menggosokkan

makanan ke telapak tangan tidak bisa menggantikan gerakan “menjumput”. Bayi

kelihatan bersemangat untuk ikut serta pada saat makan dan mungkin akan mencoba

untuk meraih makanan dan memasukkannya ke dalam mulut (Sulistijani, 2001).

Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada

(19)

yang tidak tepat. Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta

adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung

menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada

anak usia dibawah 2 tahun (Depkes RI, 2000).

Penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2006) pada keluarga miskin di

Kelurahan Gundaling-I Kecamatan Brastagi, menunjukkan bahwa ada hubungan

antara praktek pemberian makan yang baik dengan status gizi anak 0 sampai 2 tahun.

Analisis analitik yang dilakukan oleh Alphara Anggraeni menunjukkan bahwa ada

hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan tingkat

konsumsi protein anak usia 0 sampai 24 bulan (nilai p=0,001). Hasil uji analitik juga

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan ibu

tentang MP-ASI dengan tingkat konsumsi energi (nilai p=0,105) anak usia baduta,

tidak ada hubungan bermakna antara usia awal pemberian MP-ASI dengan tingkat

konsumsi energi (nilai p=0,140) dan tingkat konsumsi protein (nilai p=0,174) anak

usia baduta dan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi

dengan status gizi (nilai p=0,577) dan tingkat konsumsi protein dengan status gizi

anak usia baduta (nilai p=0,458).

Di Indonesia umumnya MP-ASI diberikan terlalu dini, terlalu banyak, dan

terlalu sering padahal keadaan lingkungan kurang menguntungkan sehingga infeksi

sering terjadi pada anak masa penyapihan. Disamping itu makanan yang diberikan

mempunyai kualitas rendah baik energi, protein, vitamin maupun mineral (Krause V,

2000). Pemberian makanan yang terlalu dini, terlalu sering dan terlalu banyak ini

(20)

berkurang, akibatnya produksi ASI berkurang, padahal makanan sapihan yang

diberikan tidak sebaik ASI. Jadi sudah ada perubahan praktek pemberian makanan

dari makanan pendamping ASI menjadi makanan pengganti ASI (Susanto JC, 2003).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rita Mutia Bahri Terdapat hubungan

yang signifikan antara pengetahuan dengan pemberian MP-ASI (0,001), dan

hubungan yang signifikan antara sikap dengan pemberian MP-ASI (0,002).

Berdasarkan study kasus yang dilakukan di puskesmas kuala leumping kota bengkulu

diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan status

gizi anak usia 6 sampai 24 bulan dimana semakin baik pengetahuan ibu maka

semakin baik pula status gizi anak usia 6 sampai 24 bulan (Susanto JC, 2003).

Hasil Riskesdas tahun 2007 memperlihatkan bahwa secara umum prevalensi

gizi buruk dan gizi kurang menurut indikator BB/U di Indonesia yaitu gizi buruk

sebesar 5,4% dan gizi kurang sebesar 13,0%. Untuk Provinsi Banten prevalensi gizi

buruk yaitu sebesar 4,4% dan gizi kurang 12,2%. Sedangkan untuk Kabupaten

Tangerang prevalensi gizi buruk yaitu sebesar 2,6% dan gizi kurang sebesar 10,3%.

Meskipun prevalensi gizi buruk di Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten

dibawah angka prevalensi nasional, namun masalah ini merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang serius (Depkes RI, 2008).

Kekurangan gizi pada anak baik akut maupun kronis, dapat dipastikan

mempengaruhi daya tahan tubuh, pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif anak

yang pada gilirannya memberikan kontribusi pada meningkatnya kematian dan

kesakitan anak serta menurunnya prestasi akademik dan produktivitas sumber daya

(21)

(2001), kurang gizi pada usia muda dapat berpengaruh terhadap perkembangan

mental (kemampuan berfikir). Otak mencapai bentuk maksimal pada usia dua tahun,

kekurangan gizi pada usia ini dapat berakibat terganggunya fungsi otak secara

permanen (Almatsier, 2001).

Pada umumnya bayi mempunyai status gizi saat lahir yang kurang lebih sama

dengan status gizi bayi di Amerika. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya umur,

disertai dengan adanya asupan zat gizi yang lebih rendah dibandingkan kebutuhari

serta tingginya beban penyakit infeksi pada awal-awal kehidupan maka sebagian

besar bayi Indonesia terus mengalami penurunan status gizi dengan puncak

penurunan pada umur kurang lebih 18 sampai 24 bulan. Pada kelompok umur inilah

prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai tertinggi

(Hadi, 2001). Setelah melewati umur 24 bulan, status gizi balita umumnya

mengalami perbaikan meskipun tidak sempurna. Balita yang kurang gizi mempunyai

risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Setiap tahun

kurang lebih 11 juta dan balita di seluruh dunia meninggal oleh karena

penyakit-penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare, malaria,

campak, dan lainnya. Ironisnya, 54% dan kematian tersebut berkaitan dengan adanya

kurang gizi (WHO, 2002).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 memperlihatkan bahwa

secara umum prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan

kurang) secara nasional adalah sebesar 17,9 persen diantaranya 4,9 persen yang

gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang menurut provinsi yang tertinggi adalah

(22)

Sementara itu prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar

35,6 persen, dengan rentang 22,5 persen (DI Yogyakarta) sampai 58,4 persen

(NTT). Prevalensi balita kurus (wasting) secara nasional adalah sebesar 13,3

persen, dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Jambi (20%), dan terendah

adalah Bangka Belitung (7,6%). Hasil Riskesdas 2010 menunjukan 40,6 persen

penduduk mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70%

dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan

kelompok umur dijumpai 24,4 persen Balita, 41,2 persen anak usia sekolah,

54,5 persen remaja, 40.2 persen Dewasa, serta 44,2 persen ibu hamil

mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal. Untuk Provinsi Banten

prevalensi gizi buruk yaitu sebesar 4,4% dan gizi kurang 12,2%. Sedangkan untuk

Kabupaten Tangerang prevalensi gizi buruk yaitu sebesar 2,6% dan gizi kurang

sebesar 10,3%. Meskipun prevalensi gizi buruk di Kabupaten Tangerang dan Provinsi

Banten dibawah angka prevalensi nasional yaitu sebesar 17,9% , namun masalah ini

merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius(Depkes RI, 2008).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Sukamulya

pada bulan februaritahun 2012 diketahui bahwa jumlah keseluruhan balita yang ada

di wilayah kerja puskesmas sukamulya berjumlah 5.980 dan jumlah balita yang

ditimbang sebanyak 4.576 dengan jumlah kasus gizi buruk sebanyak 33 kasus

(0,72%), dan gizi kurang sebanyak 165 kasus (3,61%). Setelah dilakukan validasi

data gizi buruk pada tanggal 5-19 november 2012 diketahui dari jumlah 33 kasus

balita gizi buruk yang divalidasi berdasarkan indikator berat badan per umur (BB/U)

(23)

buruk dan sebanyak 26 balita berstatus gizi kurang. Dari hasil validasi data gizi buruk

tersebut diketahui jumlah kasus balita gizi kurang yang berusia antara 12 sampai 24

bulan sebanyak 8 kasus (Data Puskesmas, 2011).

Pada keluarga dengan pengetahuan tentang MP-ASI yang rendah seringkali

anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan

gizinya. Pada umumnya anak-anak yang masih kecil (bayi dan balita) mendapat

makanannya secara dijatah oleh ibunya dan tidak memilih serta mengambil sendiri

mana yang disukainya (Ahmad Djaeni,2000). Sehingga dapat dipastikan bahwa

terjadinya kasus gizi kurang dan gizi buruk pada baduta di wilayah kerja Puskesmas

Sukamulya ditengarai akibat pemberian ASI dan MP-ASI yang tidak tepat.

Maka berdasarkan hal tersebut peneliti terdorong untuk mengetahui

gambaran praktik pola asuh makan yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada

baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang

yang perlu diketahui apakah sudah dilakukan dengan baik dan benar atau sebaliknya.

Selain itu, di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya belum pernah dilakukan penelitian

sebelumnya terkait pola asuh makan pada baduta.

1.2 Rumusan Masalah

Manfaat ASI untuk pertumbuhan dan perkembangan anak sudah dibuktikan

secara akurat yaitu untuk imunitas tubuh, ekonomis, psikologis, praktis dan lain-lain.

Pemberian ASI secara eksklusif yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan lain dan

direkomendasikan selama 6 bulan. Sedangkan MP-ASI direkomendasikan setelah

usia bayi 6 bulan seiring dengan bertambahnya kebutuhan gizi bayi dan menurunnya

(24)

Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan pemberian makanan

pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat serta ASI yang dilanjutkan pemberiannya

sampai usia dua tahun merupakan kunci agar anak dapat tumbuh kembang secara

optimal. (Dinkes Prop SU, 2006).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Sukamulya pada

bulan februari tahun 2012 diketahui bahwa jumlah keseluruhan balita yang ada di

wilayah kerja puskesmas sukamulya berjumlah 5.980 dan jumlah balita yang

ditimbang sebanyak 4.576 dengan jumlah kasus gizi buruk sebanyak 33 kasus

(0,72%), dan gizi kurang sebanyak 165 kasus (3,61%). Setelah dilakukan validasi

data gizi buruk pada tanggal 5 sampai 19 november 2012 diketahui dari jumlah 33

kasus balita gizi buruk yang divalidasi berdasarkan indikator BB/U dan BB/TB

sebanyak 7 orang balita berstatus gizi buruk dan sebanyak 26 balita berstatus gizi

kurang. Dari hasil validasi data gizi buruk tersebut diketahui jumlah kasus balita gizi

kurang yang berusia antara 12 sampai 24 bulan sebanyak 8 kasus (Data Puskesmas,

2011).

Dari hasil pengamatan yang dilakukan peneliti di lingkungan sekitar terhadap

ibu yang memiliki baduta diketahui pola asuh makan yang meliputi pemberian ASI

dan MP-ASI tidak sesuai seperti ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif,

pemberian MP-ASI dini serta praktik pemberian MP-ASI yang tidak sesuai dengan

umur dan kebutuhan gizi bayi.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti memfokuskan pada gambaran

praktik pola asuh makan yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada baduta gizi

(25)

Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk mengetahui gambaran pola asuh makan

pada baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten

Tangerang tahun 2012.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran pola asuh makan pada baduta gizi kurang yang

meliputi pemberian ASI dan MP-ASI di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya

Kabupaten Tangerang tahun 2012?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran pola asuh makan pada baduta gizi kurang di wilayah

kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan praktik ibu dalam pemberian

ASI pada baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya

Kabupaten Tangerang tahun 2012.

2. Mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan praktik ibu dalam pemberian

makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada baduta gizi kurang di wilayah kerja

Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Bagi Puskesmas

1. Memberikan informasi kepada Puskesmas Sukamulya maupun Dinas

Kesehatan Kabupaten Tangerang mengenai pola pemberian ASI dan

(26)

berbagai program ataupun upaya yang dilakukan untuk meningkatkan

status gizi baduta dan peningkatan pemberian ASI eksklusif.

2. Dapat menjadi masukan dan informasi mengenai status gizi anak yang

ada di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya.

3. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi Puskesmas Sukamulya

maupun Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang dalam menentukan

arah kebijakan gizi masyarakat maupun penyempurnaan program

khususnya yang berkaitan dengan program peningkatan status gizi

anak di masa yang akan datang.

1.5.2 Manfaat Bagi Ibu Baduta

1. Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya pemberian ASI

eksklusif pada ibu baduta di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya

dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang

optimal.

2. Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya pemberian MP-ASI

yang tepat sesuai dengan kebutuhan gizi dan usia anak dalam

mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.

1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti

1. Memberikan pengetahuan mengenai pola asuh makan pada baduta gizi

kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang

tahun 2012.

2. Sebagai bahan masukan untuk penelitian di tempat yang berbeda atau

(27)

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang berjudul Gambaran Pola Asuh Makan pada Baduta Gizi

Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012

ini bertujuan melakukan analisis mendalam mengenai perilaku ibu dalam

memberikan ASI dan makanan pendamping ASI pada baduta gizi kurang di wilayah

kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012. Penelitian ini

dilakukan dengan melihat gambaran pengetahuan, sikap dan praktik pola asuh makan

yang meliputi pemberian ASI dan makanan pendamping ASI pada baduta gizi kurang

di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.

Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswa Peminatan Gizi Program Studi

Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan menggunakan

pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

wawancara mendalam (Indepth Interview), pengamatan atau observasi sebagai data

primer serta pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan data profil

puskesmas dan data-data terkait masalah gizi yang diperoleh dari Puskesmas

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku

2.1.1 Pengertian

Menurut Notoatmodjo (2007), dari segi biologis, perilaku adalah suatu

kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab

itu, dari sudut pandang bilogis semua makhluk hidup mulai dari tumbuhan, binatang

sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing

– masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia pada hakikatnya adalah

tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang

sagat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah,

menulis, membaca dan lain sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas

manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh

pihak luar. (Notoatmodjo, 2010)

Menurut Lewit yang dikutip oleh Maulana (2009) perilaku merupakan hasil

pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara

kekuatan atau pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku seseorang dapat berubah

jika terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan didalam diri seseorang.

Sedangkan menurut Skiner (1938) seorang ahli psikologi yang dikutip dalam

(29)

reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini

terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme

tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus

Organisme Respons.Skiner mebedakan adanya dua respons.

1. Respondent respons atau reflexive, yankni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulasi) tertentu. Stimulus semacam ini disebut

elicting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.

Misalnya: makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya

terang menyebabkan mata tertutup, dan sebaliknya. Respondent respons ini

juga mencakup perilaku emosional misalnya mendengar berita musibah

menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan

mengadakan pesta, dan sebagainya.

2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau prangsang tertentu.

Prangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena

memperkuat respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan

melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap tugasnya atau job

skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atasnnya (stimulus baru),

maka petugas kesehatan itu akan lebih baik lagi dalam melaksanakan

(30)

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, menurut Notoatmodjo (2007)

perilaku dapat dibedakan menjadi dua:

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup

(covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,

persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima

stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Misalnya:

seorang ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa

HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.

Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek

(practice). Misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa

anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi.

Seperti telah disebutkan di atas, sebagaian besar perilaku manusia adalah

operant respone. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku perlu

diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur

pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skiner adalah sebagai

berikut :

1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau

reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan

(31)

2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil

yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian

komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju

kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.

3. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan

sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk

masing-masing komponen tersebut.

4. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan

komponen yang telah tersusun. Apabila komponen pertama telah

dilakukan, maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakbatkan

komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering

dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan komponen

(perilaku) yang kedua yang kemudian diberi hadiah (komponen

pertama tidak memerlukan hadiah lagi).

Demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu

dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh

perilaku yang diharapkan terbentuk.

Sebagai ilustrasi, misalnya dikehendaki agar anak mempunyai kebiasaan

menggosok gigi sebelum tidur. Untuk berperilaku seperti ini maka anak tersebut

harus :

1. Pergi ke kamar mandi sebelum tidur,

2. Mengambil sikat dan odol,

(32)

4. Melaksanakan gosok gigi,

5. Menyimpan sikat gigi dan odol,

6. Pergi ke kamar tidur

Kalau dapat diidentifikasi hadiah-hadiah (tidak berupa uang) bagi

masing-masing komponen perilaku tersebut (komponen 1-6), maka akan dapat dilakukan

pembentukan kebiasaan tersebut.

Contoh di atas adalah suatu penyederhanaan prodesur pembentukan perilku

operant melalui operant coditioning. Di dalm kenyataanya prosedur itu banyak dan

bervariasi sekali dan lebih kompleks daripada contoh di atas. Teori Skiner ini sangat

besar pengaruhnya terutama di Amerika Serikat. Konsep-konsep behaviour control,

behaviour therapy, dan behaviour modification yang dewasa ini berkembang adalah

bersum ber pada teori ini.

2.1.2 Proses Adopsi Perilaku

Rogers (1974) dalam Maulana (2009) mengungkapkan bahwa sebelum

individu mengadopsi perilaku baru, terjadi proses berurutan dalam dirinya. Proses ini

disebut AIETA, meliputi awareness (individu menyadari atau mengetahui adanya

stimulus/objek), interest (orang mulai tertarik pada stimulus), evaluation (menimbang

baik buruknya stimulus bagi dirinya), trial (orang mulai mencoba perilaku baru), dan

adoption (orang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan

sikapnya terhadap stimulus). Dalam penelitian berikutnya Rogers menyimpulkan,

proses adopsi perilaku tidak selalu melalui tahap-tahap tersebut (Maulana, 2009).

Selain itu menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2003), apabila penerimaan

(33)

pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat

langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh

pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.

2.1.3 Domain Perilaku

Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2005) membagi perilaku

manusia itu ke dalam tiga ranah atau domain yakni: kognitif (cognitive), afektif

(affective), dan psikomotor (psychomotor). Kemudian oleh ahli pendidikan di

Indonesia, ketiga domain ini diterjemahkan kedalam cipta (kognitif), rasa (afektif),

dan karsa (psikomotor), atau peri cipta, peri rasa, dan peri tindak (Notoatmodjo,

2005).

Dalam perkembangan selanjutnya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk

pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni menjadi tiga tingkat ranah perilaku

sebagai berikut:

1. Pengetahuan

Menurut Engel, Blackwell dan Mianiard (1995) dalam Khomsan dkk (2007),

pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan dan menjadi penentu

utama perilaku seseorang. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2005) pengetahuan

adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui

indera yang dimilikinya.

Selanjutnya menurut Winkel (1984) dalam Khomsan dkk (2007)

mengemukakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh

(34)

dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan

kejelasan konsep mengenai objek tertentu (Khomsan dkk, 2007).

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan atau kognitif merupakan domain

yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Tingkat pengetahuan di

dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: tahu, memahami, aplikasi,

analisis, sintesis dan evaluasi.

2. Sikap

Menurut Campbell (1950) dalam Notoatmodjo (2005), sikap adalah suatu

sindroma atau kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek. Sedangkan

menurut Notoatmodjo (2005), sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap

stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang

bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan

sebagainya). Sikap itu melibatkan pikiran perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan

yang lain.

Menurut Mar’at (1981) dalam Khomsan dkk (2007), sikap belum merupakan

suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi berupa predisposisi tingkah laku. Predisposisi

untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu mencakup

komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Komponen kognisi akan menjawab pertanyaan

apa yang dipikirkan tentang apa yang dirasakan, senang atau tidak senang terhadap

suatu obyek. Komponen konasi akan menjawab pertanyaan bagaimana/kesiapan

untuk bertindak terhadap obyek (Khomsan dkk, 2007).

Senada dengan hal diatas Newcomb dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan

(35)

merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum

merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan

predisposisi perilaku (tindakan) atau rekasi tertutup (Notoatmodjo, 2005).

Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3

komponen pokok:

a. Kepercayaan (keyakinan) ide, dan konsep terhadap suatu objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Menurut Notoatmodjo (2005), ketiga komponen diatas secara bersama-sama

membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini,

pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti

halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan berdasarkan intentitasnya, yaitu

terdiri dari menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing) dan

bertanggung jawab (responsible).

Maulana (2009) menyatakan bahwa sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi

dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan

individu. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak lepas dari pengaruh interaksi dengan

orang lain (eksternal), selain mahluk individual (internal). Kedua faktor tersebut

berpengaruh terhadap sikap.

3. Praktik atau tindakan (practice)

Menurut Notoatmodjo (2005) sikap belum tentu terwujud dalam tindakan,

sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas

(36)

Menurut Maulana (2009), praktik atau tindakan memiliki beberapa tingkatan, yaitu:

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon terpimpin (guided response)

Hal ini berarti dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh.

3. Mekanisme (mechanism)

Mekanisme berarti dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,

atau telah merupakan kebiasaan.

4. Adopsi (adoption)

Adalah suatu praktik atau tindakan yang telah berkembang dengan baik. Hal

ini berarti tindakan tersebut telah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan

tersebut.

2.1.4 Perilaku Kesehatan

Berdasarkan teori perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan

adalah respons seseorang (orgnisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan

dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta

lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3

kelompok.

(37)

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan,

atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking

beahaviour)

3. Perilaku kesehatan lingkungan(Notoatmodjo, 2007)

2.1.5 Pengukuran dan Indikator Perilaku Kesehatan

Notoatmodjo (2005) menyatakan untuk mengukur perilaku dan perubahannya,

khususnya perilaku kesehatan mengacu pada tiga domain perilaku.

1. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), sebelum seseorang mengadopsi perilaku

(berperilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku

tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Masih menurut Notoatmodjo (2005),

pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang

terhadap cara-cara memelihara kesehatan.

Indikator-indikator apa yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat

pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi:

a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi penyebab penyakit,

gejala atau tanda-tanda penyakit, bagaimana cara pengobatan, atau kemana

mencari pengobatan, bagaimana cara penularannya, bagaimana cara

pencegahannya termasuk imunisasi, dan sebagainya.

b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat yang

meliputi jenis-jenis makanan yang bergizi, manfaat makan yang bergizi bagi

(38)

c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan yang meliputi manfaat air bersih,

cara-cara pembuangan limbah yang sehat dan sampah, manfaat pencahayaan

dan penerangan rumah yang sehat, akibat polusi bagi kesehatan dan

sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2005), untuk mengukur pengetahuan kesehatan adalah

dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau

melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket. Indikator pengetahuan kesehatan

adalah “tingginya pengetahuan” responden tentang kesehatan, atau besarnya

presentase kelompok responden atau masyarakat tentang variabel-variabel atau

komponen-komponen kesehatan.

2. Sikap

Pranadji (1988) dalam Khomsan dkk (2007) mengemukakan bahwa sikap

seseorang dapat diketahui dari kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada

obyek tertentu. Sikap positif akan menumbuhkan perilaku positif dan sebaliknya

sikap negatif akan menumbuhkan perilaku negatif pula seperti: menolak, menjauhi,

meninggalkan bahkan sampai hal-hal yang merusak. Melalui pendidikan baik formal

maupun nonformal akan memungkinkan terjadinya perubahan sikap dan kepercayaan.

Pendidikan akan menimbulkan pengalaman belajar pada seseorang, sehingga

mengetahui dan lebih mengerti fakta-fakta tentang berbagai obyek baik positif

maupun negatif.

Notoatmojdo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan penilaian (bisa

berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau objek (dalam hal ini adalah

(39)

ataobjek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek

kesehatan tersebut. Oleh sebab itu indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan

dengan pengetahuan kesehatan, yakni:

a. Sikap terhadap sakit dan penyakit

Adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap: gejala atau

tanda- tanda penyakit, penyebab penyakit, cara pencegahannya atau cara

mengatasinya.

b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat

Adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan

berperilaku hidup sehat. Dengan perkataan lain pendapat atau penilaian lain

terhadap makanan, minuman, olahraga dan sebagainya.

c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan

Adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap cara-cara memelihara dan

berperilaku hidup sehat. Misalnya pendapat atau penilaian terhadap air bersih,

pembuangan limbah, polusi, dan sebagainya (Notoatmojdo, 2003).

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.

Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana

pendapat responden tentang imunisasi pada anak balita dan sebagainya

(Notoatmodjo, 2005).

3. Praktek atau Tindakan (practice)

Menurut Notoatmodjo (2003) setelah seseorang mengetahui stimulus atau

(40)

diketahui atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan

ia akan melaksanakan atau mempraktekan apa yang diketahui atau disikapinya

(dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practice) kesehatan, atau dapat juga

dikatakan perilaku kesehatan (overt behavior). Oleh sebab itu indikator praktek

kesehatan menurut Notoatmodjo (2003) ini juga mencakup hal-hal tersebut diatas,

yakni:

a. Tindakan (praktek) sehubungan dengan penyakit

Mencakup pencegahan penyakit misalnya dengan mengimunisasikan anaknya

dan penyembuhan penyakit misalnya dengan minum obat sesuai anjuran

dokter dan sebagainya.

b. Tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

Mencakup antara lain: mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang,

melakukan olahraga secara teratur dan sebagainya.

c. Tindakan (praktek) kesehatan lingkungan

Mencakup antara lain: membuang air besar di jamban, membuang sampah

pada tempatnya dan sebagainya.

Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua cara,

secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengukuran perilaku yang paling baik

adalah secara langsung, yakni dengan pengamatan (observasi), yaitu mengamati

tindakan dari subjek dalam rangka memelihara kesehatannya, misalnya: dimana

responden membuang air besar, makanan yang disajikan ibu dalam keluarga untuk

(41)

Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali

(recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek tentang

apa yang telah dilakukan berhubungan dengan objek tertentu (Notoatmodjo, 2005)

2.2Pola Asuh Anak

Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga, jantung dalam tubuh

merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Apabila jantung

berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan hidupnya. Dari

perumpaan ini bisa disimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral

dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Pentingnya seorang ibu terutama

terlihat sejak kelahiran anaknya. (Gunarsa, 1993).

Agar pola hidup anak bisa sesuai dengan standar kesehatan, disamping harus

mengatur pola makan yang benar juga tak kalah pentingnya mengatur pola asuh yang

benar pula. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang

penuh serta kasih sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup untuk menikmati

kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga. Dalam masa pengasuhan, lingkungan

pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan

berkembang di bawah asuhan dan perawatan orang tua oleh karena itu orang tua

merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak

beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola

pergaulan hidup yang berlaku dilingkungannya. Dengan demikian dasar

pengembangan dari seorang individu telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek

(42)

Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai makna menjaga,

merawat dan mendidik anak yang masih kecil. Wagnel dan Funk menyebutkan bahwa

mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan ke

arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster yang mengatakan bahwa

mengasuh itu membimbing menuju ke pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan

memberikan pendidikan, makanan dan sebagainya terhadap mereka yang di asuh

(Sunarti, 1989).

Dari beberapa pengertian tentang batas asuh, menurut Whiting dan Child

dalam proses pengasuhan anak yang harus diperhatikan adalah orang-orang yang

mengasuh dan cara penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan. Larangan

maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam. Tetapi pada

prinsipnya cara pengasuhan anak mengandung sifat : pengajaran (instructing),

pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting) (Sunarti, 1989). Di negara

timur seperti Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut dan peran ibu seringkali di

pegang oleh beberapa orang lainnya seperti nenek, keluarga dekat atau saudara serta

dapat juga di asuh oleh pembantu (Nadesul, 1995).

Pola asuh anak merupakan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk

menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan

berkembang dengan sebaik-baiknya baik fisik, mental, dan sosial, berupa sikap dan

perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan

makan, merawat kebersihan, dan memberi kasih sayang (Zeitlin, 2000 dalam

(43)

pengasuhan yang diterapkan kepada anak balita yang berkaitan dengan makanan

balita dan pemeliharaan kesehatan.

Sedangkan menurut Moersintowarti dkk (2002) kebutuhan akan asuh pada

anak meliputi kebutuhan akan nutrisi yang adekuat dan seimbang, perawatan

kesehatan dasar, pakaian, perumahan, higiene diri dan sanitasi lingkungan, dan

kesegaran jasmani berupa olahraga dan rekreasi.

Teori positive deviance (Zeitlin, 1990) menyatakan bahwa berbagai stimulus

yang rutin diberikan oleh ibu atau pengasuh terhadap bayi, baikstimulus visual,

verbal dan auditif akan dapat menyebabkan stimulasigrowth hormone, metabolisme

energi menjadi normal dan imun responlebih baik.

Peranan pengasuhan ini pertama kali diindentifikasi dalam JointNutrition

Support Program in Iringa, Tanzania dan kemudian digunakanpada berbagai studi

positive deviance di berbagai negara. Peranandeterminan pola asuhan terhadap

pertumbuhan bayi cukup besar, dimanapola asuhan yang baik dapat meningkatkan

tingkat kecukupan gizi dankesehatan bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan

langsungberpengaruh terhadap pertumbuhan bayi (Engel, 1992).

Pola pengasuhan anak adalah pengasuhan anak dalam pra danpasca kelahiran,

pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhanbermain (Hamzat A, 2000).

Menurut Jus’at (2000) pola pengasuhan adalah kemampuankeluarga untuk

menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadapanak agar dapat tumbuh dan

berkembang dengan sebaik-baiknya secarafisik, mental dan sosial. Pola pengasuhan

anak berupa sikap dan praktikpengasuhan ibu lainnya dalam kedekatannya dengan

(44)

Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagaikelompok sosial

dan kelompok budaya. Fungsi ini meliputi pemenuhankebutuhan dasar anak seperti

pemberian makanan, mandi, danmenyediakan dan memakaikan pakaian buat anak.

Termasuk didalamnya adalah monitoring kesehatan si anak, menyediakan obat, dan

merawat serta membawanya ke petugas kesehatan profesional.Tambahan lain adalah

diterimanya fungsi hiburan, pendidikan,sosialisasi, penerimaan informasi pandangan

serta nilai dari pengasuhmereka (O'Connel,1994 Bahar, 2002). Pengasuhan anak

adalah aktivitasyang berhubungan dengan pemenuhan pangan, pemeliharaan fisikdan

perhatian terhadap anak (Haviland,1988 Bahar, 2002). Berdasarkan pengertian

tersebut "pengasuhan" pada dasarnya adalah suatu praktekyang dijalankan oleh orang

lebih dewasa terhadap anak yangdihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan

pangan/gizi, perawatandasar (termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah atau

tempatyang layak, higine perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaranjasmani

(Soetjiningsih, 1995). Serupa dengan yang diajukan oleh Mosleydan Chen 1988

(Bahar,2002) pengasuhan anak meliputi aktivitasperawatan terkait gizi/penyiapan

makanan dan menyusui, pencegahandan pengobatan penyakit, memandikan anak,

membersihkan pakaiananak, membersihkan rumah.

Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat pentingkarena akan

mempengaruhi proses tumbuh kembang balita. Polapengasuhan anak berkaitan erat

dengan keadaan ibu terutamakesehatan, pendidikan, pengetahuan, sikap dan praktik

tentangpengasuhan anak ( Suharsih, 2001).

Pola asuh gizi merupakan bagian dari pola asuh anak yaitu praktik di rumah

(45)

sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.

Aspek kunci dalam pola asuh gizi meliputi perawatan dan perlindungan bagi ibu,

praktik menyusui, pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI),

penyiapan makanan, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktik kesehatan di

rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan (Zeitlin, 2000 dalam Rosmana, 2003).

Berdasarkan kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang

dikembangkan lebih lanjut oleh Engle et al (1997) menekankan bahwa ada tiga

komponen yang merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menunjang

pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal diantaranya adalah : makanan,

kesehatan, dan asuhan. Engle et al (1997) mengemukakan bahwa pola asuh meliputi

6 hal yaitu : (1) perhatian / dukungan ibu terhadap anak, (2) pemberian ASI atau

makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak, (4)

persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan atau higiene dan

sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit seperti pencarian

pelayanan kesehatan.

Pemberian ASI dan makanan pendamping ASI pada anak serta persiapan dan

penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian makan atau pola asuh

makan (Engle, 1997).

2.3 Pola Asuh Makan

Pengaturan makan untuk bayi dan anak dibahas secara tersendiri, sebab bayi

dan anak mempunyai ciri khas yang membedakannya dari orang dewasa, yaitu berada

(46)

Untuk kebutuhan pangan/gizi, ibu menyiapkan diri sejak prenataldalam mengatur

dietnya selama kehamilan, masa neo-natal berupapemberian ASI, menyiapkan

makanan tambahan berupa makanan padatyang lebih bervariasi bahannya atau

makanan yang diperkaya, dandukungan emosional untuk anak. Status sakit, pola

aktivitas, asupan gizirendah, frekuensi konsepsi terkait pertumbuhan anak melalui

status giziibu (Pengasuhan makanan anak terdiri atas hal yang berhubungandengan

menyusui, dan pemberian makanan selain ASI buat anak).Pengasuhan makanan anak

fase 6 bulan pertama adalahpemenuhan kebutuhan anak oleh ibu dalam bentuk

pemberian ASI ataumakanan pendamping/pengganti ASI pada anak. Dinyatakan

cukup biladiberi ASI semata sejak lahir sampai usia 4-6 bulan dengan frekuensikapan

saja anak minta dan dinyatakan kurang bila tak memenuhi kriteriatersebut.

Pengasuhan makanan anak pada fase 6 bulan ke-dua adalahpemenuhan

kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu,dinyatakan cukup bila anak

diberikan ASI plus makanan lumat yangterdiri dari tepung-tepungan dicampur susu,

dan atau nasi (berupa buburatau nasi biasa) bersama ikan, daging atau putih telur

lainnya ditambahsayuran (dalam bentuk kombinasi atau tunggal) diberi dalam

frekuensisama atau lebih 3 x per hari, dan kurang bila tidak memenuhi

kriteriatersebut (Bahar, 2002).

Ada dua tujuan pengaturan makan untuk bayi dan anak yang pertama adalah

memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk pemeliharaan dan

atau pemulihan serta peningkatan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan fisik

dan psikomotor serta melakukan aktivitas fisik. Yang kedua adalah untuk mendidik

(47)

Makanan untuk bayi dan anak haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut :

1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur

2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan

yang tersedia setempat, kebiasaan makan, dan selera terhadap makan

3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan

keadaan faali bayi / anak.

4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan. (Prabantini, 2010).

Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan seimbang

melalui pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI).

2.4Jenis-jenis makanan anak usia 0-24 bulan

Jenis-jenis makanan Anak usia 0 sampai 24 bulan terdiri dari : Air Susu Ibu

(ASI), Pengganti Air Susu Ibu (PASI), dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).

(Prabantini, 2010)

2.4.1 Air Susu Ibu (ASI)

ASI merupakan pangan kompleks yang mengandung zat-zat gizi lengkap dan

bahan-bahan bioaktif yang diperlukan untuk tumbuh kembang dan pemeliharaan

kesehatan bayi. Sebelumnya ASI eksklusif (hanya memberikan ASI sebagai makanan

bayi) dianjurkan hingga bayi berumur 4 bulan. Setelah itu bayi diberi makanan

pendamping berupa sari buah dan bubur. Namun sejak tahun 2001, berdasarkan

hasil-hasil penelitian, world health organization (WHO) menganjurkan pemberian ASI

eksklusif hingga bayi berumur 6 bulan.setelah itu diperkenalkan makanan

(48)

dimakan. ASI dianjurkan tetap diberikan hingga bayi berumur 2 tahun.(Almatsier,dkk

2011).

Menurut Soetjiningsih (1997), Dibandingkan dengan susu lainnya, ASI

memiliki beberapa keunggulan, yaitu:

a. Mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan gizi bayi.

b. Tidak memberatkan fungsi saluran pencernaan dan ginjal.

c. Mengandung beberapa zat antibodi sehingga mencegah terjadinya infeksi

d. Ekonomis dan praktis. Tersedia setiap waktu pada suhu ideal dan dalam

keadaan segar serta bebas dari kuman.

e. Berfungsi menjarangkan kehamilan.

f. Membina hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang antara ibu dan bayi.

Bila ibu dan bayi sehat, ASI hendaknya secepatnya diberikan karena ASI

merupakan makanan terbaik dan dapat memenuhi kebutuhan gizi selama 3 – 4 bulan

Gambar

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................................................
Gambaran Umum Program Perbaikan Gizi di Puskesmas Sukamulya .. 82
Tabel 2.1 Jumlah Kebutuhan Zat Gizi Pada Bayi
Gambar2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Status Gizi Bayi dengan Pemberian ASI Ekslusif, Tingkat Pendidikan Ibu dan Status Ekonomi Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir.. Pendidikan dan

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang menunjukkan hasil bahwa tingkat pengetahuan ibu berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian gizi buruk

Jika suami ragu terhadap efek samping yang ditimbulkan setelah imunisasi maka sebaiknya suami menanyakan hal tersebut pada petugas kesehatan agar mendapat

Hubungan pola asuh psikososial dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas. Belimbing

Marani, 2016 Gambaran Pola Asuh, Pendidikan Ibu, Pengetahuam Ibu Dan Tinggi Badan Orang Tua Pada Anak Balita Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas Motaha Kabupaten Konawe

Gambaran Pengetahuan Gizi Ibu, Asupan Energi, Protein Dan Zat Besi Pada Balita Stunting Di Wilayah Puskesmas Kecamatan Tomia Kabupaten Wakatobi.. Poltekkes Kemenkes

Sebaliknya, pada masyarakat yang keadaan sosial ekonominya baik, sebagian besar anak pada umumnya tidak mengalami gangguan pertumbuhan linear, sehingga dalam keadaan biasa maupun luar

Pola Asuh Makan Cara pengolahan data diperoleh dari kuesioner yang berisi pertanyaan- pertanyaan setelah terisi, selanjutnya dilakukan penilaian dimana setiap jawaban yang benar dari