Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun oleh:
Dwi Kurniati Zaenab
105017000416
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Skripsi berjudul “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Koneksi Matematik Siswa”, disusun oleh Dwi Kurniati Zaenab, Nomor Induk Mahasiswa 105017000416, Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, Juni 2010
Yang Mengesahkan
Pembimbing I Pembimbing II
Kemampuan Koneksi Matematik Siswa” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqasah pada tanggal 14 Juni 2010 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjana S1 (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Matematika.
Jakarta, Juni 2010
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Jurusan/Prodi Tanggal Tanda Tangan
Maifalinda Fatra, M.Pd
NIP. 19700528 199603 2 002 ... ...
Sekertaris Jurusan/Prodi Otong Suhyanto, M.Si
NIP. 19681104 199903 1 001 ... ...
Penguji I
Otong Suhyanto, M. Si
NIP. 19681104 199903 1 001 ... ...
Penguji II
Dra. Muhlisrarini, M.Pd
NIP. 19680712 199903 2 001 ... ... Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Nama : Dwi Kurniati Zaenab NIM : 105017000416 Jurusan : Pendidikan Matematika Angkatan : 2005
Alamat : Jl. Pengukiran V no. 47 RT. 008/RW. 02, Tambora, Jakarta-Barat, 11240
MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA
Bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Koneksi Matematik Siswa adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:
1. Nama : Dr. Kadir, M.Pd
NIP : 19670812 199402 1 001 Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika 2. Nama : Firdausi, M.Pd
NIP : 19690629 200501 1 003 Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.
Jakarta, Juni 2010 Yang Menyatakan
i
ABSTRAK
DWI KURNIATI ZAENAB (105017000416), “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Koneksi Matematik Siswa”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Juni 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemampuan koneksi matematik siswa setelah diterapkan pembelajaran kontekstual dan pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematik. Penelitian ini dilakukan di SMK Negeri 11 Jakarta tahun ajaran 2009/2010.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen dengan desain penelitian randomize subjects postest only control group desain. Subyek penelitian ini adalah 62 siswa yang terdiri dari 32 siswa untuk kelompok eksperimen dan 30 siswa untuk kelompok kontrol yang diperoleh dengan teknik cluster random sampling pada siswa kelas X.
Pengumpulan data dilakukan setelah diberi perlakuan diperoleh dari nilai tes kemampuan koneksi matematik siswa pada pokok bahasan program linear. Tes yang diberikan terdiri dari 7 soal bentuk uraian, dengan koefisien reliabilitas interater 0,67.
ii
ABSTRACT
DWI KURNIATI ZAENAB (105017000416), “The effect of Contextual Teaching
and Learning to Students Mathematical Connection”. Thesis for Math Education, Faculty of Tarbiya and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, June 2010.
The purpose of this research is to discover the effect of Contextual Teaching and Learning to Students Mathematical Connection. The research was conducted at SMK Negeri 11 Jakarta for academic year 2009/2010.
The method used in this research is quasi experimental method with the randomize subjects postest only control group desain. Subject for this research are 62 students consist of 32 students for experimental group and 30 for control group which selected in cluster random sampling technique from 10th grade.
The data collection after being given obtained from the test score of students mathematical connection at the subject of linear programming. Test consisted of 7 question in essay, with the coefficient of interater reliability is 0,67.
iii
KATA PENGANTAR
ﻳﺤرﻟاﻦ ﺤرﻟاﷲا ﺳﺑ
Alhamdulillah segala puji kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat serta hidayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Matematika pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat kerja keras, do’a, perjuangan, kesungguhan hati dan bimbingan, pengarahan, serta dukungan dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
2. Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika. 3. Bapak Otong Suhyanto, M.Si, selaku Sekertaris Jurusan Pendidikan
Matematika.
4. Bapak Dr. Kadir, M.Pd, selaku pembimbing I yang penuh kesabaran dan keikhlasan dalam membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan-masukan penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Firdausi, M.Pd, selaku pembimbing II yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Dra. Muhlisrarini, M.Pd, selaku penasehat akademik yang selalu memberikan bimbingan dan nasihat kepada penulis selama proses mengikuti perkuliahan.
7. Seluruh Dosen dan Staff Jurusan Pendidikan Matematika.
iv
9. Ibu Dwi Novianti, S.Pd, selaku guru pamong tempat penulis mengadakan penelitian.
10. Teristimewa untuk kedua orang tuaku, Bapak Abul Khair dan Umi Maryam yang selalu penulis banggakan dan sayangi. Mereka tak henti-hentinya mendo’akan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teristimewa untuk keluargaku, kakak dan adikku tersayang, Sakinah dan Muhammad Rayhan yang senantiasa memberikan motivasi, dukungan, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Siswa dan siswi SMK Negeri 11 Jakarta Barat, khususnya kelas AP 1 dan AP 2 yang telah membantu selama penulis mengadakan penelitian.
13. Sahabat-sahabat seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan 2005, kelas A dan B yang tidak dapat disebutkan satu persatu. semoga kebersamaan kita menjadi kenangan indah untuk mencapai kesuksesan dimasa mendatang.
14. Semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan, dan informasi serta pendapat yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT dapat menerima sebagai amal kebaikan atas jasa baik yang diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan karena terbatasnya kemampuan penulis. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya.
Jakarta, Juni 2010 Penulis
v
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Maslah ... 7
D. Perumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Kegunaan Penelitian ... 8
BAB II DESKRIPSI TEORITIK DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 10
A.Deskripsi Teoritik ... 10
1. Kemampuan Koneksi Matematik ... 10
a. Pengertian Matematika ... 10
b. Koneksi Matematik ... 12
1. Pengertian dan Tujuan Koneksi Matematik ... 12
2. Jenis-jenis Koneksi Matematik ... 15
c. Kemampuan Koneksi Matematik ... 18
2. Pembelajaran Kontekstual ... 19
a. Pengertian Belajar dan Pembelajaran ... 19
b. Pembelajaran Kontekstual ... 22
3. Pembelajaran Konvensional ... 32
C.Kerangka Berpikir ... 36
D.Hipotesis Penelitian ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38
B. Metode dan Desain Penelitian ... 38
C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 39
D. Teknik Pengumpulan Data ... 40
1. Variabel yang Diteliti ... 40
2. Sumber Data ... 40
3. Instrumen Penelitian ... 40
a. Definisi Konsep Kemampuan Koneksi Matematik ... 40
b. Definisi Operasional Kemampuan Koneksi Matematik ... 41
4. Uji Instrumen Penelitian ... 41
a. Uji Validitas ... 41
b. Reliabilitas Interrater ... 44
E. Teknik Analisis Data ... 44
1. Uji Persyaratan Analisis ... 44
a. Uji Normalitas ... 45
b. Uji Homogenitas ... 46
2. Uji Hipotesis Penelitian ... 47
F. Hipotesis Statistik ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49
A. Deskripsi Data ... 49
1. Kemampuan Koneksi Matematik Kelompok Eksperimen ... 50
2. Kemampuan Koneksi Matematik Kelompok Kontrol ... 51
B. Hasil Analisis Data ... 54
1. Hasil Pengujian Prasyarat ... 54
a. Uji Normalitas ... 54
2. Hasil Pengujian Hipotesis dan Pembahasan ... 55
a Pengujian Hipotesis ... 56
b Pembahasan ... 58
C. Keterbatasan Penelitian ... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61
A. Kesimpulan ... 61
B. Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
viii
[image:12.612.114.523.142.549.2]
Tabel 1. Perbandingan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran
Konvensional ... 33
Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Tes ... 42
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kemampuan Koneksi Matematik Kelompok Eksperimen ... 50
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kemampuan Koneksi Matematik Kelompok Kontrol ... 52
Tabel 5. Perbandingan Hasil Tes Kemampuan Koneksi Matematik Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 54
Tabel 6. Hasil perhitungan Uji Normalitas ... 55
Tabel 7. Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ... 56
ix
[image:13.612.114.522.130.546.2]
Gambar 1. Standar Proses Koneksi Matematik ... 13 Gambar 2. Desain Penelitian ... 38 Gambar 3. Grafik Historam dan Poligon Distribusi Frekuensi Kemampuan
Koneksi Matematik Kelompok Eksperimen ... 51 Gambar 4. Grafik Histogram dan Poligon Distribusi Frekuensi Kemampuan
x
Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas Eksperimen .... 68
Lampiran 3. Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 92
Lampiran 4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas Kontrol ... 119
Lampiran 5. Penilaian Instrumen Kemampuan Koneksi Matematik Oleh para rater ... 136
Lampiran 6. Hasil Penilaian Validitas Isi Oleh Para Rater ... 143
Lampiran 7. Reliabilitas Interrater ... 144
Lampiran 8. Instrumen Tes ... 146
Lampiran 9. Pedoman Penskoran ... 149
Lampiran 10. Nilai Kemampuan Koneksi Matematik ... 155
Lampiran 11. Perhitungan Daftar Distribusi Frekuensi, Mean, Median, Modus, Varians, Simpangan Baku, Kemiringan, dan Kurtosis Kelompok Ekspermen ... 156
Lampiran 12. Perhitungan Daftar Distribusi Frekuensi, Mean, Median, Modus, Varians, Simpangan Baku, Kemiringan, dan Kurtosis Kelompok Kontrol ... 159
Lampiran 13. Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Eksperimen ... 162
Lampiran 14. Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Kontrol ... 164
Lampiran 15. Perhitungan Uji Homogenitas ... 166
Lampiran 16. Perhitungan Uji Hipotesis Statistik ... 167
Lampiran 17. Nilai Kritis Distribusi Kai Kuadrat (Chi Square) ... 169
1
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif, dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa kalah bersaing dalam menjalani era globlisasi tersebut. Pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 11 yaitu:
Artinya: …. niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujadilah: 11)
Berdasarkan ayat di atas, Allah memberikan perbedaan untuk orang yang berilmu serta meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Oleh karena itu manusia memiliki kewajiban untuk selalu belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan.
Pendidikan merupakan keseluruhan proses dimana seorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya yang bernilai positf dalam masyarakat ditempat hidupnya.1 Salah satu jalur pendidikan yang sangat akrab di lingkungan kita adalah pendidikan formal yang pelaksanaannya telah diatur oleh pemerintah. Pendidikan formal pada intinya
1
adalah kegiatan belajar mengajar. Komponen yang terlibat dalam proses belajar ini meliputi: guru, siswa, kurikulum dan sarana penunjang pendidikan. Siswa merupakan komponen utama diantara komponen-komponen yang lain, sebab siswa merupakan obyek yang akan dididik dan dibimbing untuk menjadi manusia-manusia yang berkualitas dan tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin maju.
Salah satu mata pelajaran yang diberikan disetiap jenjang pendidikan adalah matematika. Pendidikan matematika yang diberikan di sekolah memberikan sumbangan penting bagi siswa dalam pengembangan kemampuan yang sejalan dengan tujuan pendidikan. Menurut Depdiknas (2006:388) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika di SD, SMP, SMA, dan SMK bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:2
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Tujuan tersebut di atas hanya bisa dicapai melalui pembelajaran yang berakhir pada pemahaman siswa yang komprehensif tentang materi yang disajikan. Artinya pemahaman siswa tidak sekedar memenuhi tuntutan pembelajaran matematika secara substansif saja, akan tetapi diharapkan muncul “efek ringan” dari pembelajaran matematika. Astuti dan Zubaidah mengatakan bahwa efek ringan tersebut adalah (1) memahami keterkaitan antar topik
2 Fadjar Shadiq, Apa dan Mengapa Matematika itu Begitu Penting?, dari
matematika, (2) memahami akan pentingnya matematika bagi bidang lain, (3) mampu berpikir logis, kritis dan sistematis, (4) kreatif dan inovatif dalam mencari solusi pemecahan masalah, (5) peduli pada lingkungan sekitar.3
Berdasarkan data hasil studi TIMSS tahun 2007 untuk siswa kelas VIII, menempatkan siswa Indonesia pada urutan ke-36 dari 49 negara dengan nilai rata-rata untuk kemampuan matematika secara umum adalah 397. Nilai tersebut masih jauh dari standard minimal nilai rata-rata kemampuan matematika yang ditetapkan TIMSS yaitu 500. Prestasi siswa Indonesia ini berada dibawah siswa Malaysia dan Singapura. Siswa Malaysia memperoleh nilai rata-rata 474 dan Singapura memperoleh nilai rata-rata 593.4 Skala matematika TIMSS-Benchmark Internasional menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada peringkat bawah, Malaysia pada peringkat tengah, dan Singapura berada pada peringkat atas. Padahal jam pelajaran matematika di Indonesia 136 jam untuk kelas VIII, lebih banyak dibanding Malaysia yang hanya 123 jam dan Singapura 124 jam.5 Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya prestasi belajar matematika.
Rendahnya prestasi belajar matematika dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kurangnya pemahaman terhadap konsep-konsep yang telah diajarkan karena proses pembelajaran di sekolah pada umumnya berpusat pada guru. Pelaksanaan pembelajaran matematika sebaiknya harus mengacu pada empat pilar pendidikan universal yang disarankan UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together.6
Melalui proses learning to know siswa akan memiliki pemahaman dan penalaran akan matematika dari hasil dan proses yang terkoneksikan, serta dari mana asal muasal konsep, dan ide-ide matematika terbentuk. Melalui proses mengetahui akan matematika, siswa akan memiliki potensi untuk
3 Dwi Astuti, dan Zubaidah, 2007, Pengembangan Model Pembelajaran yang
Berorientasi Contextual Open-Ended Problem Solving untuk Meningkatkan Koneksi Matematika Siswa dalam Pembelajaran Matematika di SMA, (Pontianak: Universitas Tanjungpura, Laporan Penelitian) hal.1
4
Ina V.S. Mullis, dkk, “TIMSS 2007 International Mathematics Report”, dari http://timss.bc.edu/TIMSS2007/techreport.html, 6 September 2009, 17.00WIB, hal. 38.
5
Ibid., hal: 195.
6
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari atau bidang studi lainnya. Proses learning to do memberi kesempatan pada siswa untuk terampil dalam mengkoneksikan antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan pengetahuan baru, sehingga dalam benaknya tercipta bahwa ide-ide/konsep matematika terjalin dari suatu hubungan yang erat, dan tak dapat terpisah berdiri sendiri. Proses learning to be matematika bersamaan dengan proses learning to do, sehingga siswa akan memahami dan menghargai terhadap nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses serta terbentuknya matematika. Sedangkan melalui learning to live together siswa akan diberi kesempatan untuk belajar secara berkelompok, bekerja sama, bertukar pikiran-sharing dan saling menghargai.
Untuk mencapai kemampuan yang diharapkan keempat pilar UNESCO, maka pembelajaran matematika hendaknya mengutamakan pada pengembangan daya matematis (mathematical power). Istilah daya matematis tidak tercantum secara eksplisit dalam kurikulum pembelajaran matematika di Indonesia, namun tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum di Indonesia mengisyaratkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai yaitu7: kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan berargumentasi (reasoning), kemampuan berkomunikasi (communication), kemampuan membuat koneksi (connection), dan kemampuan representasi (representation).
Hal serupa dikemukakan Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa “belajar matematika akan berhasil jika proses pengajarannya diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur”.8 Kemampuan mengaitkan konsep matematika yang satu dengan yang lainnya; kemampuan untuk mengaitkan matematika dengan disiplin ilmu lain; dan kemampuan untuk mengaitkan matematika dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari; merupakan kemampuan koneksi matematik.
7
Mumum Syaban, ”Menumbuhkembangkan Daya Matematis Siswa” dari: http://educare.e-fkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=62&Itemid=7
(EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, volume 5, nomor 2, Februari 2008), hal: 2, 20 September 2009, 13.00 WIB.
8
Kemampuan koneksi matematik penting dimiliki siswa karena kemampuan tersebut akan membuat pemikiran dan wawasan siswa semakin luas; siswa memandang bahwa matematika adalah suatu keseluruhan yang padu, bukan sebagai materi yang berdiri sendiri-sendiri; siswa dapat mengetahui manfaat matematika di sekolah maupun di luar sekolah. Namun Ruspiani (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa kemampuan koneksi matematik siswa masih tergolong rendah.9 Ruspiani mengungkap bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi matematik siswa sekolah menengah masih rendah, nilai rata-ratanya kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22.2% untuk koneksi matematik dengan pokok bahasan lain, 44.9% untuk koneksi matematik dengan bidang studi lain, dan 67.3 % untuk koneksi matematikdengan kehidupan keseharian.
Hal ini disebabkan oleh pembelajaran matematika di kelas masih cenderung menggunakan paradigma lama dengan menyajikan pengetahuan matematika tanpa mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah aplikasi dari konsep matematika jarang diberikan dalam pembelajaran. Selain itu konsep yang diberikan dalam bentuk jadi dan pembelajaran ditekankan pada drilling untuk mengejar perolehan nilai Ujian Nasional. Hal serupa juga dikemukakan oleh Lia Kurniawati berdasarkan hasil studi pendahuluannya ditemukan bahwa pembelajaran dimulai dengan guru menjelaskan materi terlebih dahulu di depan kelas dilanjutkan memberi beberapa latihan soal, untuk soal serupa dengan contoh yang diberikan oleh guru, tampak sebagian besar siswa melihat cara-cara yang ada di papan tulis untuk menyelesaikannya, tetapi ketika soal yang diberikan sedikit berbeda dengan contoh, siswa terlihat tidak mampu dalam menyelesaikannya.10
Untuk memperoleh kemampuan koneksi matematik yang dapat menunjang hasil belajar matematika, diperlukan suatu pembelajaran yang memberikan banyak peluang kepada siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dari masalah dunia nyata, melatih siswa untuk mencari hubungan/menghubungkan
9
Ruspiani, Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika, (Tesis Bandung: UPI), td
10
konsep-konsep yang akan dan sudah dikuasai dan menemukan hubungan antar konsep matematika dengan pelajaran lain.
Menurut Hernowo pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.11
Hal tersebut berarti bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep pembelajaran yang dapat membantu guru menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendorong mereka untuk bekerja keras dalam menerapkan hasil belajarnya. Beberapa penelitian mengenai pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika memberikan hasil bahwa pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman konsep dan hasil belajar matematik siswa.
Berdasarkan latar belakang di atas, timbullah keinginan penulis untuk mengadakan penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut, yang diberi judul “PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIK SISWA”
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Masih rendahnya hasil belajar matematika siswa 2. Masih rendahnya kemampuan koneksi matematik siswa 3. Pembelajaran matematika selama ini cenderung konvensional
11
C.
Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah proses penelitian maka penulis membatasi permasalahan hanya pada:
1. Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan mengambil suatu masalah, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi mengenai masalah kontekstual yang diberikan, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari dan dibahas.
Pembelajaran kontekstual disini adalah siswa lebih banyak belajar sendiri, tidak semua materi program linear disampaikan secara final tetapi beberapa bagian harus dicari dan diidentifikasikan oleh pelajar sendiri dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru, sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuan mereka. Dalam pembelajaran ini tugas utama guru adalah memilih masalah yang perlu diberikan kepada siswa untuk dipecahkan.
2. Koneksi matematika
Koneksi matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah koneksi internal dan eksternal yaitu kemampuan siswa dalam mengaitkan konsep matematika yang sedang dibahas dengan konsep matematika lain dan koneksi matematika dengan bidang ilmu lain yang berhubungan dengan konsep yang sedang dibahas atau berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. 3. Penelitian dibatasi pada tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan
sampel sebanyak dua kelas untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Adapun pokok bahasan yang akan dijadikan penelitian adalah program linear
D.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
2. Apakah kemampun koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual lebih baik dari siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional?
E.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. bagaimana kemampuan koneksi matematik setelah diterapkan pembelajaran kontekstual.
2. apakah kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan menggunakan pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
F.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk digunakan oleh beberapa pihak, diantaranya:
1. Bagi siswa
Penerapan pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep, meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa, mendorong siswa untuk menyenangi matematika sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar matematika dan dapat berperan aktif dalam mengkonstruksi sendiri pengetahuannya sehingga dapat melatih dan mengembangkan daya matematis siswa
2. Bagi guru
Guru memperoleh pengalaman dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran kontekstual. Diharapkan guru dapat mengembangkan model, pendekatan atau strategi pembelajaran yang bervariasi dalam rangka memperbaiki kualitas pembelajaran matematika bagi siswanya.
3. Bagi sekolah
4. Bagi peneliti
10
A.
Deskripsi Teoritik
1.
Kemampuan Koneksi Matematik
a.
Pengertian Matematika
Istilah mathematics (Inggris), mathematic (Jerman), mathematique
(Perancis), matematico (Italia), matematiceski (Rusia) atau
mathematick/wiskunde (Belanda) berasal dari perkataan latin mathematica,
yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike, yang berarti
“relating to learning”. Perkataan mathematike berhubungan sangat erat
dengan sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathanein yang
mengandung arti belajar atau berfikir.1
Menurut Rusefendi matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran
manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran2. Sedangkan
menurut beberapa ahli seperti Kline, Lerner, Johnson dan Myklebust
berpendapat bahwa matematika adalah bahasa simbolis3. NRC (National
Reasearch Council) di Amerika Serikat menyatakan dengan singkat
bahwa: ”Mathematics is a science of pattern in order”.4 Matematika
adalah ilmu yang membahas tentang pola atau keteraturan (pattern) dan
tingkatan (order).
Sedangkan menurut Paling (1982) dalam Abdurahman berpendapat
bahwa:
matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi; menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran,
1
Tim MKKB Jurusan Pendidikan Matematika, Startegi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA Universitas Pendidikan Indonesia, 2001) hal:18
2
Ibid.
3 Mulyono Abdurahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2003), hal: 252
4
menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan mnggunakan hubungan-hubungan.5
Berdasarkan pendapat Paling tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menemukan jawaban atas setiap masalah yang dihadapinya, manusia
akan menggunakan (1) informasi yang berkaitan dengan masalah yang
dihadapi; (2) pengetahuan tentang bilangan, bentuk, dan ukuran; (3)
kemampuan untuk menghitung; dan (4) kemampuan untuk mengingat dan
menggunakan hubungan-hubungan.
Menurut Soejadi beberapa karakteristik yang dimiliki oleh
matematika adalah:6 (1) memiliki obyek kajian yang abstrak, maksudnya
adalah obyek dasar yang dipelajari matematika merupakan sesuatu yang
abstrak sering juga disebut obyek mental yaitu fakta, konsep, operasi atau
relasi, dan prinsip (2) bertumpu pada kesepakatan, dalam matematika
kesepakatan yang digunakan adalah aksioma dan konsep primitif yang
sering digunakan untuk pembuktian dan pendefinisian, (3) memiliki
simbol yang kosong, yaitu bahwa matematika mempunyai banyak simbol
yang kemudian membentuk serangkaian simbol, selanjutnya membentuk
model matematika seperti persamaan dan pertidaksamaan yang kosong
sehingga akan tergantung terhadap permasalahan yang menakibatkan
model itu, (4) memperhatikan semesta pembicaraan, (5) konsisten dalam
sistemnya ini dapat dilihat jika a + b = x dan x + y = p maka a + b + x = p.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, secara umum dapat
disimpulkan bahwa matematika adalah bahasa simbolis yang terdiri dari
suatu kumpulan sistem matematika yang setiap sistemnya memiliki
struktur tersendiri dan bersifat deduktif. Penalaran deduktif bekerja atas
dasar asumsi, yaitu kebenaran logis dari kebenaran sebelumnya, sehingga
keterkaitan antar konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat
konsisten.
5
Mulyono Abdurahman, loc.cit.
6
b.
Koneksi Matematik
1.
Pengertian dan Tujuan Koneksi Matematik
Pembelajaran matematika yang dirumuskan oleh National Council of
Teachers of Mathematics atau NCTM bahwa siswa harus mempelajari
matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru
dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Ada lima
tujuan mendasar dalam belajar matematika yang dikenal dengan istilah
standar proses daya matematis (mathematical power proses standards)
yaitu:7
1) Kemampuan pemecahan masalah (problem solving); 2) Kemampuan berargumentasi/penalaran (reasoning); 3) Kemampuan berkomunikasi (communication); 4) Kemampuan membuat koneksi (connection); 5) Kemampuan representasi (represntation).
Salah satu standar kurikulum yang dikemukakan oleh NCTM di atas
adalah koneksi matematik atau mathematical connection yang merupakan
pengaitan matematika dengan pelajaran lain atau dengan topik lain.
Sumarmo (2003) menyatakan bahwa koneksi matematika (mathematical connection) adalah kegiatan yang meliputi:8 (1) mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur, (2) memahami hubungan antar topik matematik, (3) menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari, (4) memahami representasi ekuivalen konsep yang sama, (5) mencari representasi satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen, (6) menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain.
Sedangkan menurut Suhenda koneksi matematik adalah ”hubungan
satu ide atau gagasan dengan ide atau gagasan lain dalam lingkup yang
sama atau bidang lain dalam lingkup yang lain”.9 Dari uraian di atas dapat
7
Mumum Syaban, ”Menumbuhkembangkan Daya Matematis Siswa” dari: http://educare.e-fkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=62&Itemid=7
(EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, volume 5, nomor 2, Februari 2008), hal: 2, 20 September 2009, 13.00 WIB
8
Ibid., hal: 6
9
disimpulkan bahwa koneksi matematik adalah pemahaman menggunakan
hubungan antara satu konsep matematika dengan konsep matematika lain
atau dengan disiplin ilmu lain atau dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut NCTM standar koneksi untuk kelas IX – XII hendaknya
memuat koneksi sehingga siswa mampu:10
1. Mengenal dan menggunakan koneksi/hubungan antara ide-ide
matematika (recognize and use connection among mathematical
ideas).
2. Memahami bagaimana ide-ide dalam matematika berhubungan dan
membangun satu sama lain untuk menghasilkan keseluruhan yang padu (understand how mathematical ideas interconnect and build on one another to produce a coherent whole).
3. Mengenal dan mempergunakan matematika dalam konteks diluar
[image:27.612.114.502.190.596.2]matematika atau bidang lain (recognize and apply mathematics in contexts outside of mathematics).
Gambar 1. Standar Proses Koneksi Matematik.11
10
Principles and Standars for School Mathematics, (va: National Council of Teacher of Mathematics, 2000), dari http://www.nctm.org/standards/default.aspx?id=58 , h.300, 24 oktober 2009, 16.25 WIB
11
Berdasarkan standar proses koneksi matematik di atas, dapat
disimpulkan bahwa koneksi matematik di sekolah bertujuan untuk:
1. Membantu siswa menghubungkan konsep-konsep matematik untuk
menyelesaikan suatu permasalahan matematik, sehingga siswa dapat
memandang matematika suatu keseluruhan yang padu bukan konsep
atau materi yang berdiri sendiri
2. Mengembangkan pengetahuan siswa.
3. Menunjukkan bahwa matematika dapat bermanfaat untuk
menyelesaikan kehidupan sehari-hari.
Didalam NCTM juga disebutkan “when students can see the
connection across different mathematical content areas, they develop a view of mathematics as an integrated whole. As they build on their previous mathematical understandings while learning new concepts, students become increasingly aware of the connection among varios mathematical topics. As students knowledge of mathematics, their ability to use a wide range of mathematical representation , and their access to sophisticated technolohy and software increase. The connection they make with other academic diciplines, especially the science and social science, give them greater mathematical power”.12
Artinya ketika siswa mampu menghubungkan antar topik
matematika yang berbeda, mereka mengembangkan pandangan bahwa
matematika merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi. Sebagaimana
mereka membangun pemahaman matematika sebelumnya sambil
mempelajari konsep baru, siswa menjadi bertambah pengetahuannya
tentang hubungan antar bermacam-macam topik matematika. Dengan
pengetahuan matematika yang dimilikinya, mereka mampu menggunakan
kemampuannya untuk cakupan yang lebih luas dengan kemampuan
representasi matematik, dan mereka mampu menggunakan software dan
teknologi yang canggih. Hubungan/koneksi yang mereka buat antar
disiplin akademik, terutama dalam bidang science dan sosial memberikan
mereka kemampuan matematika yang lebih tinggi.
12
2.
Jenis-jenis Koneksi Matematik
Berdasarkan tujuan dari koneksi matematik di atas, NCTM
mengklasifikasikan koneksi matematik menjadi tiga macam yaitu:13 (1)
koneksi antar topik matematika, (2) koneksi matematika dengan disiplin
ilmu yang lain, dan (3) koneksi matematika dengan masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
Mikovch dan Monroe (1994: 371) menyatakan tiga koneksi
matematik yaitu, koneksi dalam matematika, koneksi untuk semua
kurikulum, dan dengan konteks dunia nyata.14 Kutz (1991: 272)
berpendapat hampir serupa, ia menyatakan koneksi matematika berkaitan
dengan koneksi internal dan koneksi eksternal. Koneksi internal memuat
koneksi antar topik matematika, sedngkan koneksi eksternal memuat
koneksi matematika dengan displin ilmu dan dengan masalah dalam
kehidupan sehari-hari.15 Sedangkan Riedesel (1996: 33-34) membagi
koneksi matematika sebagai berikut: (1) koneksi antar topik dalam
matematika, (2) koneksi antara beberapa macam tipe pengetahuan, (3)
koneksi antara beberapa macam representasi, (4) koneksi dari matematika
ke daerah kurikulum lain, (5) koneksi siswa dengan matematika.16
Koneksi matematika yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi
koneksi internal dan eksternal sesuai dengan pendapat Kutz. Koneksi
internal meliputi koneksi antar topik matematika, sedangkan koneksi
eksternal meliputi koneksi matematika dengan pelajaran lain atau dengan
kehidupan sehari-hari.
13
Gusni Satriawati dan Lia Kurniawati, Menggunakan Fungsi-Fungsi Untuk Membuat Koneksi-Koneksi Matematik, (Algoritma Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika vol.3 no.1, Juni 2008), hal: 97
14
Ibid
15
Ibid
16
a. Koneksi Internal
Koneksi internal atau koneksi antar topik matematika yaitu
keterkaitan antara konsep/topik matematika yang sedang dipelajari
dengan konsep/topik matematika yang lain. Bruner mengemukakan
dalam dalil pengaitannya (konektivitas) bahwa ”matematika antara
satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat”.17
Materi yang satu mungkin merupakan materi prasyarat untuk
menjelaskan materi yang lain. Pernyataan ini menunjukkan bahwa
setiap topik terkait dengan topik lain dalam matematika sendiri.
Ruspiani (2000) mengklasifikasian koneksi antar topik matematika
sebagai berikut:18
1) Koneksi matematika yang digambarkan oleh NCTM, yaitu satu
permasalahan yang diselesaikan dengan dua cara yang berbeda.
Salah satu contohnya dalam materi sistem persamaan linear dua
variabel, siswa dapat menyelesaikan soal atau permasalahan
tersebut dengan cara geometri (grafik) atau dengan cara aljabar
(eliminasi atau substitusi).
2) Koneksi bebas yakni topik-topik yang berhubungan dengan
persoalan tidak ada hubungannya satu sama lain, namun
topik-topik itu menyatu dalam satu soal. Salah satu contohnya adalah:
Diketahui 4 suku pertama barisan aritmatika yaitu:
I. 5, 3, 2, 0, …
II. 0, 2, 4, 6, …
III. 4, 6, 8, 10, …
a. Tentukan rumus suku ke – n dari barisan I, II, dan III
kemudian butlah grafik dari persamaan rumus tersebut
b. Diketahui x ≥ 0; y ≥ 0; jika E merupakan daerah yang dibatasi
oleh barisan I, II, dan III, tentukan daerah E dan buatlah
sistem pertidaksamaannya
17
Tim MKKB Jurusan Pendidikan Matematika, op.cit., hal: 48
18
Pada soal di atas topik utamanya adalah program linear.
Masing-masing topik lepas satu sama lain dalam arti topik yang
satu tidak bergantung pada topik yang lain.
3) Koneksi terikat yakni antara topik-topik yang saling terlibat
koneksi bergantung satu sama lain. Salah satu contohnya adalah:
Diketahui 4 buah matriks sebagai berikut:
jika
fungsi dengan syarat:
; ;
Tentukan nilai maksimum di M
Topik-topik yang terlibat dari permasalahan diatas adalah
determinan matriks, dengan pertidaksamaan linear.
b. Koneksi eksternal
Koneksi eksternal terdiri dari koneksi matematik dengan
pelajaran lain dan dengan kehidupan sehari-hari. Selain dalam ilmu
pengetahuan eksak matematika juga membantu pengembangan
disiplin ilmu lain, maupun dalam memecahkan permasalahan dalam
kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh dalam kehidupan sehari-hari yang
berhubungan dengan program linear adalah:
Ami menabungkan uangnya di bank Rp.20.000.000,00 dengan bunga
20% per tahun, bunga yang diberikan berbentuk bunga majemuk atau
bunganya berbunga lagi pada tahun berikutnya. Pada akhir tahun ke-4
uang Ami diambil, dan digunakan untuk memperbaiki kiosnya sebesar
Rp.1.472.000 sisanya dijadikan modal usaha tas. Ami menjual dua
jenis tas, yaitu tas model A dan tas model B. untuk tas model A ami
menjual Rp.110.000,00 dengan keuntungan Rp.10.000,00/tas
keuntungan Rp.7.500,00/tas, jika kiosnya hanya dapat menampung
450 tas. Tentukan keuntungan maksimum yang diperoleh Ami.
c.
Kemampuan Koneksi Matematik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari
kata dasar mampu yang diberi awalan ke- dan akhiran -an. Mampu
memiliki arti kuasa (sanggup, bisa) melakukan sesuatu, dapat, sedangkan
kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan kita berusaha
dengan-diri sendiri.19 Kemampuan menurut (Littrell, 1984) seperti yang
dikutip oleh Firdausi adalah ”kekuatan mental dan fisik untuk melakukan
tugas atau keterampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktek”.20
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
koneksi matematik adalah kesanggupan siswa dalam menggunakan
hubungan topik/konsep matematika yang sedang dibahas dengan konsep
matematika lainnya, dengan pelajaran lain atau disiplin ilmu lain, dan
dengan kehidupan sehari-hari dalam menyelesaikan masalah matematika.
Secara umum, kemampuan koneksi matematik dapat dilihat dari
kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal koneksi. Menurut
Suhenda, seseorang dikatakan mampu mengaitkan antara satu hal dengan
yang lainnya bila dapat melakukan beberapa hal dibawah ini:21
a) Menghubungkan antar topik atau pokok bahasan matematika
dengan topik atau pokok bahasan matematika lainnya
b) Mengaitkan berbagai topik atau pokok bahasan dalam matematika dengan bidang lain atu hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
19
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka), hal: 707
20 Firdausi, ”Studi Korelasi Pengetahuan Matematika dengan Kemampuan guru
mengevaluasi Hasil Belajar Siswa pada SMU Unggulan di DKI Jakarta ”. Algoritma Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika vol.1 no.002, h.182
21
Untuk dapat megukur sejauh mana siswa mampu melakukan
koneksi matematik instrumen yang dibuat dapat memenuhi hal-hal berikut:
a) Membuat siswa menemukan keterkaitan antar proses dalam suatu
konsep matematika
b) Membuat siswa menemukan keterkaitan antar topik matematika
yang satu dengan topik matematika yang lain
c) Membuat siswa menemukan keterkaitan matematika dengan
kehidupan nyata siswa.
2.
Pembelajaran Kontekstual
a.
Pengertian Belajar dan Pembelajaran
Belajar dapat diartikan suatu proses bagi seseorang untuk
memperoleh kecakapan, keterampilan, dan sikap.22 Dalam perspektif
psikologi pendidikan belajar adalah suatu perubahan tingkah laku dalam
diri seseorang yang relatif menetap sebagai hasil dari sebuah
pengalaman.23 Seperti dikutip dari Sardiman, menurut Cronbach, Harold
Spears dan Geoch mengatakan bahwa ”belajar merupakan perubahan
tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya
dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain
sebagainya”.24 Sedangkan belajar menurut Gagne adalah perubahan
kemampuan yang diperoleh seseorang melalui aktivitas.25
Biggs mendefinisikan belajar dalam 3 macam rumusan, ”yaitu:
rumusan kuantitatif, institusional, dan kualitatif. Dalam rumusan ini
kata-kata seperti perubahan dan tingkah laku tak lagi disebut secara eksplisit
22
Zurinal Z dan Wahyudi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar & Dasar-Dasar Pelaksanaan Pendidikan, (Jakarta: UIN Press, 2006), h. 117
23
Ibid.
24 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003) hal. 20
25
mengingat kedua istilah ini sudah menjadi kebenaran umum yang
diketahui semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan”26
Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti
kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta
sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut
berapa banyak materi yang dikuasai siswa. Secara institusional (tinjauan
kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses ”validasi” atau
pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah ia
pelajari. Bukti institusional yang menunjukan siswa telah belajar dapat
diketahui sesuai dengan proses mengajar. Ukurannya, semakin baik mutu
guru mengajar akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang
kemudian dinyatakan dalam bentuk skor. Pengertian belajar secara
kualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti dan
pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia disekeliling
siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir
dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang
kini dan nanti dihadapi siswa.
Menurut pandangan konstruktivisme belajar merupakan proses
mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang
dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga
pengertiannya menjadi berkembang.27
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
belajar pada hakikatnya adalah perubahan seluruh tingkah laku seseorang
yang besifat relatif konstan sebagai hasil pengalaman dan interaksi
langsung dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas
pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama
26
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Jakarta: PT.Remaja Rosdakarya, 2008), hal: 91-92
27
keberhasilan pendidikan.28 Menurut Corey (1986:195) mengatakan bahwa
pembelajaran adalah suatu prosess dimana lingkungan seseorang, secara
disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku
tertentu dalam kondisi –kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap
situasi tertentu.29
Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses kerja sama
antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber
yang ada baik potensi yang berasal dari dalam diri siswa itu sendiri
maupun potensi yang ada di luar diri siswa.30 Menurut Zurinal
pembelajaran adalah suatu usaha dan proses yang yang dilakukan secara
sadar dan mengacu pada tujuan (pembentukan kompetensi) yang dengan
sistmatik dan terarah pada terwujudnya perubahan tingkah laku.31
Sedangkan Pembelajaran menurut Fontana adalah upaya penataan
lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan
berkembang secara optimal. Dengan demikian proses belajar bersifat
internal dan unik dalam diri individu siswa, sedangkan proses
pembelajaran bersifat eksternal yang sengaja direncanakan dan bersifat
rekayasa prilaku.32 Sedangkan mengajar menurut H. Burton adalah upaya
memberikan bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar
terjadi proses belajar.33 Pengajaran adalah usaha menunjukkan atau
membantu seseorang untuk belajar dan bagaimana melakukan sesuatu,
memberi pengetahuan dan manfaat bagi seseorang.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa
agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal untuk
mengarahkan peserta didik kedalam suatu proses belajar dengan
28
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran Untuk Membantu Problematika Belajar dan Mengajar, (Bandung: Alfa Beta, 2007) hal. 61
29
Ibid
30
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2008) hal.26
31
Zurinal Z dan Wahyudi Sayuti, op.cit, hal: 117
32
Tim MKKB Jurusan Pendidikan Matematika, op.cit., hal: 8
33
memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang
berasal dari dalam diri siswa itu sendiri maupun potensi yang ada di luar
diri siswa.
Pembelajaran memiliki dua karakteristik yaitu:34 (1) dalam proses
pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan
hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi
menghendaki aktivitas siswa dalam proses berfikir. (2) dalam
pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab
terus-menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan berfikir siswa, sehingga dapat membantu siswa untuk
memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
b.
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari.35 Menurut Sanjaya Contextual
Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka.36
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning
(CTL) adalah upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar
program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal untuk
mengarahkan peserta didik kedalam suatu proses belajar dimana guru
34
Ibid. hal: 63
35 Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher, 2007) , hal: 103
36
menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama,
CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan
materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman
secara langsung. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan
hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata
siswa, artinya siswa dituntut untuk menangkap hubungan antara
pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Ketiga, CTL
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat lima karakteristik penting
dalam proses pembelajaran menggunakan pendekatan CTL:37
1. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan
yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang dipelajari tidak
terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian
pengetahuan yang diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang
memiliki keterkaitan satu sama lain.
2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan
menambah pengetahuan baru. Pengetahuan baru ini diperoleh dengan
cara deduktif artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara
keseluruhan kemudian memperhatikan detainya.
3. Pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan
untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.
4. Memperaktekkan pengalaman dan pengetahuan tersebut (applying
knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus
dapat di aplikasikandalam kehidupan siswa.
5. Melakukan refleksi (reflection knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan.
37
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual melibatkan tujuh
komponen utama, yaitu:38 (1) constructivisme (konstruktivisme,
membangun, membentuk), (2) inquiry (penemuan), (3) questioning
(bertanya), (4) learning comunity (masyarakat belajar), (5) modelling
(pemodelan), (6) reflection (refleksi atau umpan balik), (7) authentic
assesment ( penilaian yang sebenarnya).
Untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran kontekstual, guru
dalam pembelajarannya mengaitkan antara materi yang akan diajarkannya
dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama CTL yakni sebagai
berikut:
1. Konstruktivisme
Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar
yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal. Siswa
harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri,
pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman
berkembang semakin dalam semakin kuat apabila selalu diuji oleh
pengalaman baru. Menurut pandangan konstruktivisme guru hanya
berperan sebagai motivator (memberikan motivasi kepada siswa untuk
belajar) dan fasilitator dalam membimbing siswa selama proses
pembelajaran. Seperti yang dikemukakan Cobb bahwa belajar matematika
merupakan proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan
matematika.39 Dalam konstruktivisme aktivitas matematika mungkin
diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil dan
diskusi kelas dimana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang
memiliki makna matematika.
Tujuan pembelajaran dalam pandangan konstruktivis adalah
pemahaman. Pemahaman memberi makna apa yang dipelajari.
38
Trianto, op.cit., hal: 105
39
Pembelajaran merupakan proses aktif artinya pengetahuan baru tidak
terbentuk dengan diberikan kepada siswa dalam bentuk jadi tetapi
pengetahuan dibentuk oleh siswa itu sendiri dengan berinteraksi terhadap
lingkungannya melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
pengetahuan baru dibangun dari struktur pengetahuan yang sudah ada,
sedangkan akomodasi adalah struktur pengetahuan yang sudah ada
dimodifikasi untuk menampung/menyesuaikan hadirnya pengalaman
baru.40 Konstruktivisme dalam hal ini berarti membangun atau
membentuk sendiri pengetahuan mereka, dalam proses ini siswa dilatih
untuk menemukan sendiri informasi atau masalah yang diberikan dengan
difasilitasi pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan kepada penemuan
satu konsep.
2. Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry)
Pengetahuan dan keterampilan siswa diharapkan bukan hanya hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi juga hasil menemukan sendiri.
Siklus inkuiri meliputi:41 (1) observasi (observation), (2) bertanya
(questioning), (3) mengajukan dugaaan (hipotesis), (4) pengumpulan data,
(5) penyimpulan sendiri.
Beberapa tahapan yang mungkin dilakukan dalam kegiatan inkuri
adalah:42 (1) guru merangsang siswa dengan pertanyaan, masalah,
permainan dan teka-teki, (2) sebagai jawaban atas rangsangan yang
diterimanya, siswa menentukan prosedur, mencari dan mengumpulkan
informasi atau data yang diperlukannya untuk memecahkan pertanyaan,
pernyataan, atau masalah, (3) siswa menghayati pengetahuan yang
diperolehnya dengan inkuri yang baru dilaksanakan, (4) siswa
menganalisis metode inkuiri dan prosedur yang ditemukan untuk dijadikan
metode umum yang dapat diterapkan ke situasi lain.
40 Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konstektual, (Jakarta:
Bumi aksara, 2007), hal: 44
41
Syaiful Sagala, op.cit., hal: 89
42
Berdasarkan tahapan diatas, inkuiri diawali dengan langkah pengamatan
dalam rangka pemahaman suatu konsep, dengan memberi pertanyaan yang
dapat mengarahkan pengamatan menuju satu konsep yang menjadi tujuan
pembelajaran. Untuk itu, siswa akan mencari tahu yang tentang hal-hal
belum diketahuinya. Setelah apa yang belum diketahuinya terkumpul,
siswa perlu merancang dan menganalisa data-data agar dapat menarik
kesimpulan dari suatu masalah.
3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan (questioning).
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya.
Bertanya dipandang sebagai upaya guru untuk mengaktifkan siswa,
mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk
memperoleh informasi, sekaligus mengetahui kemampuan berpikir siswa.
Sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya menunjukkan ada perhatian
terhadap materi yang dipelajari dan ada upaya untuk menemukan jawaban
sebagai bentuk pengetahuan. Bertanya diterapkan antara siswa dengan
siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa
dengan orang baru yang didatangkan di kelas. Realisasinya dalam
pembelajaran bentuk questioning dilakukan pada semua aktivitas belajar,
seperti: ketika siswa berdiakusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui
kesulitan, ketika mengamati, dan sebagainya.
4. Masyarakat Belajar (learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari hasil kerja sama dengan orang lain. Hal ini berarti hasil
belajar bisa diperoleh dengan sharing antar teman, antar kelompok, dan
antar yang tahu kepada yang tidak tahu sehinnga terjadi komunikasi dua
atau multi arah. Learning community terjadi apabila masing-masing pihak
di dalamnya bahwa pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang
dimilikinya bermanfaat bagi yang lain.43
43
Pada proses pembelajaran, guru hendaknya mampu menciptakan
lingkungan belajar yang alamiah dan dinamis sehingga terjadi interaksi
yang sehat antara guru dengan siswa atau antara siswa dengan siswa baik
di dalam maupun di luar kelas.
5. Pemodelan (modeling)
Maksudnya dalam sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa
ditiru. Model berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola
dalam olahraga, cara menyelesaikan soal, atau guru memberi contoh cara
mengerjakan sesuatu.44 Dalam matematika, salah satu contoh pemodelan
adalah bagaimana guru menyelesaikan soal. Guru memperagakan
bagaimana langkah-langkah yang ditempuh dalam menyelesaikan soal
dengan baik, bagaimana menemukan kata kunci dalam membuat model
matematika.
Prosedur ini perlu ditiru oleh siswa, guru memberi model tentang
bagaimana cara menyelesaikan soal dengan baik, namun demikian guru
bukan satu-satunya model, seorang siswa bisa meniru melalui temannya
atau pihak lain untuk hal-hal yang perlu ditiru.
6. Refleksi (reflection)
Reffleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa
lalu.45 Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas yang
dilakukan atau pengetahuan yang diterima.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses belajar. Pengetahuan
yang diperoleh siswa diperluas melalui bimbingan guru. Guru membantu
siswa membuat hubungan–hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan refleksi, merasa
memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru ia
pelajari.
44
Sardiman, Interaksi&Motivasi Belajar-Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal: 226
45
Wujud refleksi antara lain:46(1) pernyataan langsung siswa tentang apa-apa yang diperoleh siswa setelah melakukan pembelajaran; (2) catatan atau jurnal di buku siswa; (3) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran itu; (4) diskusi; (5) hasil karya.
Realisasinya dalam pembelajaran bentuk refleksi dilakukan dengan
guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang
berupa pernyataan langsung tentang setelah melakukan pembelajaran.
7. Penilaian sesungguhnya (authentic assesment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.47 Kemajuan belajar
dinilai dari proses, bukan melalui hasil, dan dengan berbagai cara. Tes
hanya salah satunya itulah hakekat penilaian yang sebenarnya. Ciri-ciri
penilaian autentik adalah:48 (1) dilaksanakan selama dan sesudah proses
pembelajaran berlangsung, (2) bisa digunakan formatif atau sumatif, (3)
yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta, (4)
berkesinambungan, (5) terintegrasi, (6) dapat digunakan sebagai feed back.
Realisasinya dalam pembelajaran bentuk penilaian sesungguhnya
dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung yaitu dilakukan ketika
diskusi kelompok dan setelah proses pembelajaran dilakukan dengan
memberikan latihan.
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pembelajaran kontekstual,
jika menerapkan komponen utama dalam pembelajarannya. Penerapan
pembelajaran kontekstual secara garis besar langkah-langkahnya adalah:49
(1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna
dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuan barunya; (2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan
inquiry untuk semua pokok bahasan; (3) mengembangkan sikap ingin tahu
siswa dengan bertanya; (4) menciptakan masyarakat belajar; (5)
46 Sardiman, opcit, hal: 227 47
Ibid, hal:227-228
48
Ibid, hal: 228-229
49
menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran; (6) melakukan refleksi
diakhir pertemuan; (7) melakukan penilaian sebenarnya dengan berbagai
cara.
Berdasarkan karakteristik dan komponen pendekatan kontekstual,
beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan melalui
pembelajaran kontekstual antara lain sebagai berikut:50
1. Pembelajaran berbasis masalah
Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu bentuk pengajaran
yang menggunakan masalah-masalah dunia nyata sebagai suatu konteks
bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan keterampilan pemecahan
masalah.
2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman
belajar
Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan diberbagai
konteks lingkungan siswa antara lain disekolah, keluarga, dan
masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan
kesempatan bagi siswa untuk belajar diluar kelas.
3. Memberikan aktivitas kelompok
Aktivitas belajar kelompok dapat memperluas perspektif serta
membangun kecakpan interpersonal untuk berhubungan dengan orang
lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima, maupun
delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.
4. Membuat aktivitas belajar mandiri
Siswa mampu mencari, menganalisis, dan menggunakan informasi
dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Agar dapat
melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka
memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan
menggunakan pengetahuan yang mereka peroleh).
50
5. Membuat aktivitas belajar bekerja sama dengan masyarakat
Sekolah dapat melakukan kerjasama dengan orang tua siswa yang
memiliki keahlian khusus sebagai guru tamu. Hal ini perlu dilakukan
guna memberikan pengalaman belajar secara langsung, dimana siswa
dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama
juga apat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk
memberikan pengalaman kerja. Misalnya siswa diminta untuk magang
ditempat kerja.
6. Menerapkan penilaian autentik
Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan
kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka
pelajari selama proses belajar mengajar. Adapun bentuk penilaian yang
dapat dilakukan oleh guru, yaitu portofolio, tugas kelompok,
demonstrasi, dan laporan tertulis.
Sedangkan Blancard (M.Nur, 2001) mengidentifikasi 6 strategi
CTL sebagai berikut:51
1. Menekankan pada pemecahan masalah
2. Menyadari kebutuhan akan pengajaran dan pembelajaran yang terjadi
dalam berbagai konteks seperti dirumah, masyarakat dan pekerjaan
3. Mengarahkan siswa memonitor dan mengarahkan pembelajaran mereka
sendiri sehingga mereka menjadi pembelajar yang mandiri
4. Mengaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang
berbeda-beda
5. Mendorong untuk belajar dari sesama teman dan belajar bersama
6. Menerapkan penilaian autentik.
51
Berdasarkan karakteristik, komponen, serta strategi dalam
pembelajaran kontekstual, maka beberapa tahapan yang dapat
dikembangkan melalui pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini
antara lain sebagai berikut:
1. Siswa dibuat kelompok kecil sekitar 4-5 orang dengan kemampuan
yang heterogen.
2. Pada awal pembelajaran guru memberikan apersepsi, manfaat materi
yang akan dipelajarinya serta membahas beberapa soal PR yang
terpilih.
3. Kelompok siswa diberikan permasalahan kontekstual (dalam bentuk
LKS) yang menantang siswa, agar mencari solusinya.
4. Siswa mengeksplorasi pengetahuan dengan cara mengkoneksikan
pengetahuan yang sudah dimilikinya untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi, baik secara berkelompok ataupun sendiri.
5. Guru menggunakan sistem tanya jawab yang interaktif antara siswa
dengan siswa ataupun siswa dengan guru, untuk menjelaskan hal yang
tidak dimengerti oleh siswa.
6. Saat siswa mengerjakan LKS per kelompok, guru berkeliling kelas
bertindak sebagai fasilitator dan moderator, dan membimbing siswa
yang mengalami kesulitan.
7. Saat siswa selesai berdiskusi secara berkelompok, perwakilan salah satu
kelompok mempresentasikan hasil diskusinya ke depan kelas. Melalui
interaksi siswa diajak membahas permasalahan yang disajikan.
8. Diakhir pertemuan, diadakan refleksi terhadap pembelajaran yang
sudah berlangsung. Siswa dapat merangkum hasil pembelajaran,
selanjutnya guru memberikan beberapa soal latihan untuk dikerjakan
3.
Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan suatu istilah yang lazim
diterapkan dalam pengajaran matematika. Konvensional adalah sebuah
pendekatan secara klasikal yang biasa digunakan olek setiap pendidik
dalam mendidik siswanya, yang dimaksud dengan pendekatan ini adalah
pendekatan pengajaran yang menempatkan guru sebagai inti dalam
keberlangsungan proses belajar mengajar. Guru memegang peranan
penting dalam keberlangsungan proses belajar mengajar karena guru harus
menjelaskan materi secara panjang lebar untuk menjamin materi tersebut
dapat dipahami oleh semua peserta pembelajaran. Dengan demikian proses
pembelajaran konvensional lebih berpusat pada guru.
Menurut Depdiknas, dalam pembelajaran konvensional cenderung
pada hapalan yang mentolerir respon-respon yang bersifat konvergen,
menekankan informasi konsep, latihan soal dalam teks. Belajar hapalan
mengacu pada penghapalan fakta-fakta, hubungan, prinsip dan konsep.52
Menurut Nasution menjelaskan bahwa ciri-ciri pembelajaran biasa
adalah:53 (1) tujuan tidak dirumuskan secara spesifik dalam bentuk
kelakuan yang dapat diamati dan diukur, (2) bahan pelajaran disajikan
kepada kelompok, kepada kelas sebagai keseluruhan tanpa memperhatikan
siswa secara individual, (3) kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk
ceramah, kuliah, tugas tertulis, dan media lain menurut pertimbangan guru,
(4) siswa umumnya pasif karena dominan mendengarkan uraian guru, (5)
dalam hal kecepatan belajar, semua siswa harus belajar dengan kecepatan
yang umum ditentukan oleh kecepatan guru mengajar, (6) keberhasilan
belajar umumnya dinilai oleh guru secara subjektif, (7) diharapkan bahwa
hanya sebagian kecil saja hanya menguasai bahan pelajaran secara tuntas,
sebagian lagi akan menguasainya sebagian saja, dan ada lagi yang gagal,
52
Doantara Yasa, Pembelajaran Konvensional, dari http://ipotes.wordpress/com/pembelajaran-konvensional, 20 Januari 2010, 11:20 WIB
53
(8) guru terutama berfungsi sebagai penyebar atau penyalur pengetahuan
(sebagai sumber informasi/pengetahuan).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran
matematika secara konvensional adalah suatu kegiatan pembelajaran yang
dilakukan oleh guru pada umumnya dimana guru mendominasi kelas
denga