• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Propofol 2 Mg/Kgbb-Ketamin 0,5 Mg/Kgbb Intravena Dan Propofol 2 Mg/Kgbb-Fentanil 1µg/Kgbb Intravena Dalam Hal Efek Analgetik Pada Tindakan Kuretase Kasus Kebidanan Dengan Anestesi Total Intravena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Propofol 2 Mg/Kgbb-Ketamin 0,5 Mg/Kgbb Intravena Dan Propofol 2 Mg/Kgbb-Fentanil 1µg/Kgbb Intravena Dalam Hal Efek Analgetik Pada Tindakan Kuretase Kasus Kebidanan Dengan Anestesi Total Intravena"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERBANDINGAN PROPOFOL 2 MG/KGBB-KETAMIN 0,5 MG/KGBB

INTRAVENA DAN PROPOFOL 2 MG/KGBB-FENTANIL 1µG/KGBB

INTRAVENA DALAM HAL EFEK ANALGETIK PADA TINDAKAN

KURETASE KASUS KEBIDANAN DENGAN ANESTESI TOTAL

INTRAVENA

Oleh :

ESTER LANTIKA RONAULI SILAEN

NIM. 087114002

TESIS

PROGRAM MAGISTER KLINIK – SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP. HAJI ADAM MALIK

MEDAN

(2)

ii

Judul : Perbandingan Propofol 2 Mg/Kgbb-Ketamin 0,5 Mg/Kgbb

Intravena Dan Propofol 2 Mg/Kgbb-Fentanil 1µg/Kgbb Intravena Dalam Hal Efek Analgetik Pada Tindakan Kuretase Kasus Kebidanan Dengan Anestesi Total Intravena

Nama :

Ester Lantika Ronauli Silaen

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi : Anestesiologi dan Terapi Intensif

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn.

NIP. 19510712 198103 1 002 NIP. 19500914 198206 1 001

Ketua Program Magister Ketua TKP – PPDS

dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC dr. H. Zainuddin Amir, SpP.(K)

(3)

iii

Telah diuji pada Tanggal

:

19 Desember 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

1.

Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC

NIP. 19520826 198102 1 001

2.

dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV

NIP. 19510712 198103 1 002

(4)

iv

PERBANDINGAN PROPOFOL 2 MG/KGBB-KETAMIN 0,5 MG/KGBB

INTRAVENA DAN PROPOFOL 2 MG/KGBB-FENTANIL 1µG/KGBB

INTRAVENA DALAM HAL EFEK ANALGETIK PADA TINDAKAN

KURETASE KASUS KEBIDANAN DENGAN ANESTESI TOTAL

INTRAVENA

TESIS

Oleh

ESTER LANTIKA RONAULI SILAEN

NIM. 087114002

Pembimbing I

:

Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA

Pembimbing II

:

dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn.

Tesis Ini Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik di

Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM MAGISTER KLINIK – SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP. HAJI ADAM MALIK

MEDAN

(5)

i

KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera

Pujian dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena kasih dan karunia– Nya kepada saya sehingga dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, serta menyusun dan menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian dibidang Anestesiologi dan Terapi Intensif .

Saya menyadari tulisan ini mungkin jauh dari sempurna baik isi maupun bahasa. Akan tetapi saya berharap tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan tentang Perbandingan Propofol 2 mg/kgBB-Ketamin 0,5 mg/kgBB Intravena dan Propofol 2 mg/kgBB-Fentanil 1 µg/kgBB Intravena dalam Hal Efek Analgetik pada Tindakan Kuretase Kasus Kebidanan dengan Anestesi Total Intravena.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidkan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di Universitas ini. Bapak Direktur RSUP H Adam Malik Medan, Direktur RS Pirngadi Medan dan Direktur RS Haji Medan, Direktur RSUD FL Tobing Sibolga, Direktur Rumkit Tk II Putri Hijau Medan, Direktur RSU Sundari, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk belajar dan bekerja di lingkungan rumah sakit tersebut.

Dengan penuh rasa hormat, saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada DR.dr.Nazaruddin Umar, Sp.An KNA dan dr.Syamsul Bahri,Sp.An sebagai pembimbing tesis saya, yang telah banyak memberikan waktu, bimbingan, dan perhatian sehingga tesis ini dapat saya selesaikan.

(6)

sebesar-ii

besarnya juga saya sampaikan kepada dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Akhyar Hamonangan Nasution, SpAn. KAKV sebagai Sekretaris Program Studi.

Rasa hormat dan terima kasih kepada semua guru-guru kami, dr. A. Sani P. Nasution, SpAn.KIC, dr. Chairul M. Mursin, SpAn, Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC, dr. Hasanul Arifin, SpAn. KAP. KIC, Dr. dr. Nazaruddin Umar, SpAn. KNA, dr. Asmin Lubis, DAF. SpAn, KAP. KMN, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn. KAKV, dr. Yutu Solihat, SpAn. KAKV, dr. Nadi Zaini, SpAn, Dr. Soejat Harto, SpAn.KAP, dr. Muhammad A R, SpAn, dr. Syamsul Bahri, SpAn, dr. Walman Sitohang, SpAn, dr. Tumbur, SpAn, dr. Veronica HY, SpAn KIC, dr Tjahaya Indra Utama,SpAn, dr. Nugroho K.S, SpAn, dr. Dadik Wahyu Wijaya, SpAn, dr. M. Ihsan, SpAn, dr. Guido M. Solihin, SpAn, dr.Qadri F Tanjung, Sp.An KAKV, dr. Romy F Nadeak, Sp.An

Kepada Dr. Erna Mutiara, sebagai pembimbing statistik yang banyak membantu dalam penelitian ini khususnya dalam hal metodologi penelitian dan analisa statistik. Terimakasih kepada dr.Akhyar H Nasution, Sp.An KAKV, dr. H.M.Haidir, Sp.OG , MHA, Ibu Hj.Sundari Usman, Mukhtar Rahmad Sedayu, SST, Pak Darul Ray, yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian.

(7)

iii

Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua saya, ayahanda St.Drs.TH Silaen,Ak. MHum dan ibunda tercinta, Dra. Minar Panjaitan, terhadap kasih sayangnya tidak berkesudahan, pengorbanannya tidak terkira, jerih payahnya tidak terbalaskan serta adik-adik saya tersayang Audita Silaen S.Psi, Daniel Silaen, ST, David Silaen dan Maria Silaen untuk doa dan semangatnya selama saya menjalani pendidikan ini. Terimakasih kepada keluarga besar Op. Ester yang mendukung saya sedari kecil.

Terima kasih kepada kedua mertua saya, Barita Simangunsong, SH dan Porman br Simanjuntak, serta abang dan kakak ipar yang telah memberikan dorongan semangat dalam pendidikan ini.

Terimakasih dan rasa hormat secara khusus kepada mentor dan juga orangtua saya, dr. Mangatas Silaen, Sp.OG dan keluarga dr.Todung H Marbun, Sp.An atas dukungan sedari awal saya mengambil pendidikan kedokteran ini.

Akhirnya kepada keluarga kecilku, suamiku Benhard Prasetyo Simangunsong, ST, dan putriku Sonang Theodora Bestrisha Simangungsong, yang dengan kasih, sabar, dan pengertian mendampingi saya selama ini. Terimakasih dan semua kerja keras ini untuk kalian.

Akhirnya hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kita berserah diri dan memohon berkat dan pengampunan. Mudah-mudahan ilmu yang didapat, bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk masyarakat, agama,bangsa dan negara.

Medan, Desember 2011

(8)

iv DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR GRAFIK ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Hipotesa ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

1.5.1 Manfaat Akademis ... 9

1.5.2 Manfaat Praktis ... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri ... 10

2.1.1 Fisiologi Nyeri ... 10

(9)

v

2.1.3 Pengukuran Intensitas Nyeri ... 15

2.2 Mekanisme Kerja Obat Analgetik ... 20

2.2.1 Mekanisme Kerja AINS ... 20

2.2.2 Mekanisme Kerja Opioid ... 20

2.3 Nyeri Pada Abortus ... 21

2.3.1 Inervasi Uterus ... 22

2.3.2 Kuretase ... 22

2.4 Anastesi Total Intravena (TIVA) ... 22

2.4.1 Propofol ... 24

2.4.2 Fentanil ... 29

2.4.3 Ketamin ... 33

2.5 Kerangka Teori ... 37

2.6 Kerangka Konsep ... 38

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain ... 39

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

3.2.1 Tempat ... 39

3.2.2 Waktu ... 39

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 39

3.3.1 Populasi ... 39

3.3.2 Sampel ... 39

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 39

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 39

(10)

vi

3.4.3 Kriteria Putus ... 40

3.5 Estimasi Besar Sampel ... 40

3.6 Informed Concent ... 40

3.7 Alat, Bahan, dan Cara Kerja ... 41

3.7.1 Alat dan Bahan ... 41

3.7.2 Cara Kerja ... 41

3.8 Identifikasi Variabel ... 43

3.8.1 Variabel Bebas ... 43

3.8.2 Variabel Tergantung ... 44

3.9 Rencana Manajemen dan Analisis Data ... 44

3.10 Definisi Operasional ... 44

3.11 Masalah Etika ... 45

3.12 Alur Penelitian ... 47

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 48

4.2 Tingkat Pendidikan dan Suku ... 49

4.3 Waktu Kuretase dan Total Propofol yang Digunakan ... 49

4.4 Karakteristik Perubahan Tekanan darah, Laju nadi, Laju nafas, dan Pulse Oksimetri ... 50

4.5 Karakteristik Rasa Nyeri Sebelum, Saat, dan Sesudah Kuretase.... 56

4.6 Karakteristik Pemulihan ... 58

(11)

vii

5.2 Perubahan Nilai Tekanan darah, Laju Nadi, Laju Nafas, dan

Oksimetri Setelah Perlakuan ... 60

5.3 Penilaian Nyeri Sebelum, Saat dan Sesudah Kuretase ... 62

5.4 Karakteristik Pemulihan ... 64

5.5 Limitasi Penelitian ... 64

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 65

6.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(12)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skala FLACC ... 23

Tabel 2 The Behavioral Pain Scale ... 19

Tabel 3 Colorado Behavioral Numerical Pain Scale ... 20

Tabel 4.1-1 Karakteristik umum berdasarkan umur, BMI ... 48

Tabel 4.2-1 Karakteristik umum berdasarkan tingkat pendidikan ... 49

Tabel 4.2-2 Karakteristik umum berdasarkan jenis suku ... 49

Tabel 4.3 Karakteristik waktu kuretase dan total propofol ... 50

Tabel 4.4-1 Karakteristik hemodinamik pre-kuretase ... 51

Tabel 4.4-2 Karakteristik tekanan darah sistolik rerata diantara kedua kelompok... 51

Tabel 4.4-3 Karakteristik tekanan darah diastolik rerata diantara kedua kelompok... 52

Tabel 4.4-4 Karakteristik laju nadi rerata diantara kedua kelompok ... 53

Tabel 4.4-5 Karakteristik laju nafas rerata diantara kedua kelompok ... 54

Tabel 4.4-6 Karakteristik pulse oksimetri rerata diantara kedua kelompok ... 55

Tabel 4.5 Karakteristik skor VRS dan CBNPS ... 56

Tabel 4.6-1 Karakteristik waktu hingga buka mata spontan dan Orientasi tempat ... 58

(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Mekanisme Nyeri ... 9

Gambar 2 Perjalanan Nyeri ... 11

Gambar 3 Visual Analogue Scale ... 15

Gambar 4 Wong Baker Faces Pain Rating Scale ... 20

Gambar 5 Rumus Bangun Propofol ... 20

Gambar 6 Rumus Bangun Fentanil ... 21

(14)

x

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.4-1 Rata-rata tekanan sistolik diantara kedua kelompok ... 48

Grafik 4.4-2 Rata-rata tekanan diastolic diantara kedua kelompok ... 50

Grafik 4.4-3 Rata-rata laju nadi diantara kedua kelompok ... 51

Grafik 4.4-4 Rata-rata laju nafas diantara kedua kelompok ... 53

Grafik 4.4-5 Rata-rata pulse oksimetri diantara kedua kelompok ... 56

Grafik 4.5-1 Sebaran skor CBNPS pada menit ke-1 ... 58

Grafik 4.5-2 Sebaran skon CBNPS pada menit ke-5 ... 61

Grafik 4.5-3 Sebaran skor nyeri pasca kuretase ... 62

(15)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti ... 71

Lampiran 2 Jadwal Tahapan Penelitian ... 72

Lampiran 3 Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian ... 73

Lampiran 4 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ... 75

Lampiran 5 Lembaran Observasi Perioperatif Pasien ... 76

Lampiran 6 Lembaran Blok Sampel dan Randomisasi Sampel ... 78

Lampiran 7 Lembaran Komite Etik FK USU... 79

(16)

xii

DAFTAR SINGKATAN

TIVA : Total Intravenous Anesthesia

IASP : International Association for the Study of Pain NMDA : N-Methyl-D-Aspartate

GABA : Gamma Amino Butyric Acid

CBF : Cerebral Blood Flow ICP : Intra Cranial Pressure

CMRO2 : Cerebral Metabolic Rate Oxygen CPP : Cerebral Perfusion Pressure VAS : Visual Analog Scale

VRS : Verbal Rating Scale

FLACC : Faces, Legs, Activity, Cry, and Consolability CBNPS : Colorado Behavioral Numerical Pain Scale MAP : Mean Arterial Pressure

CVP : Central Venous Pressure CNS : Central Nervus System EKG : Elektroensefalogram

SD : Standard Deviasi

(17)

xiii ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan: Kuretase merupakan salah satu prosedur obstetric dan ginekologi yang sering dilakukan. Prosedur singkat ini memerlukan teknik anestesi yang dapat menghasilkan tingkat analgesi serta sedasi yang adekuat disamping waktu pulih yang singkat. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif secara random tersamar ganda. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi obat mana yang lebih efektif dalam hal analgetik untuk prosedur kuretase dengan TIVA.

Metode : Setelah mendapatkan persetujuan dari komite etika, empat puluh enam pasien ASA1 menjalani prosedur kuretase kebidanan secara acak dialokasikan untuk menerima kombinasi fentanil 1 µg/kgBB/iv (kelompok A) dan ketamin 0,5 mg/kgBB/iv (kelompok B). Keduanya dikombinasi dengan propofol dosis 2 mg/kgBB/iv.

Hasil : Data demografi dan keadaan klinis awal pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan

tetapi tidak bermakna. Ada perbedaan bermakna pada skor nyeri CBNPS pada menit ke-5 pada saat prosedur. Kelompok ketamin memiliki skor nyeri lebih rendah. Ada perbedaan signifikan pada kelompok fentanil yang memiliki rata-rata pengukuran tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan laju nadi yang lebih rendah daripada kelompok ketamin. Sedangkan pada karakteristik waktu pulih dijumpai buka mata spontan dan orientasi terhadap waktu tidak dijumpai perbedaan bermakna. Efek samping lebih banyak dijumpai pada kelompok ketamin.

Selanjutnya diukur skala nyeri pada saat prosedur dengan skor nyeri CBNPS. Setelah obat masuk dan setelah induksi propofol juga diukur tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolic, laju nadi, laju nafas, dan pulse oksimetri. Selain itu juga diukur waktu hingga dapat membuka mata spontan dan orientasi terhadap waktu, serta efek samping yang terjadi. Data dari hasil penelitian diuji dengan chi-square dan

Mann-Whitnety test, dimana p < 0,05 dianggap signifikan.

Kesimpulan : Kedua kelompok baik ketamin maupun fentanil dapat digunakan untuk

menghilangkan nyeri dengan kombinasi propofol pada anestesi total intravena untuk prosedur kuretase kebidanan. Akan tetapi bila dilihat dari efek samping maka kombinasi propofol fentanil tampak lebih superior.

(18)

xiv ABSTRACK

Background and Objectives :

Curretage is one of the obstetric and gynaecologist procedure is usually done. This short procedure need anesthetic technic which can produce adequate analgesic and sedation besides short recovery. The design of this study is randomized prospective double blind clinical trial. The main purpose of this research is to know which combination that more effective for used in curettage with total intravenous anesthesia.

Method :

After getting approval from the FK USU ethical’s committee, forty six ASA 1 patients underwent elective curettage. All patients were divided into 2 groups. Group Fentanyl 1 mcg/kg/iv giving 5 minutes before induction propofol 2 mg/kg (PF) versus ketamin 0,5 mg/kg/iv giving 3 minutes before induction propofol 2 mg/kg (PK). The primary outcome was pain, rated using CBNPS technique. Secondary outcomes included the hemodynamic profile, include rate of breathing and pulse oxymetry, propofol doses required to achieve and maintain sedation, times needed to open eye spontaneous and well oriented of place, and also side effects of the interventions. Data were analyzed with chi-square test and Mann-Whitney Test, whether p < 0.05 is significant.

Result :

Patient in both did not differ in significantly in demographic and hymodinamic profile. CBNPS score in the 5th

Result : Both of the group is good for using as agent that effective for produce analgesic. Thus, the fentanyl group is more superior regard the side effect.

(19)
(20)

xiii ABSTRAK

Latar belakang dan tujuan: Kuretase merupakan salah satu prosedur obstetric dan ginekologi yang sering dilakukan. Prosedur singkat ini memerlukan teknik anestesi yang dapat menghasilkan tingkat analgesi serta sedasi yang adekuat disamping waktu pulih yang singkat. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif secara random tersamar ganda. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi obat mana yang lebih efektif dalam hal analgetik untuk prosedur kuretase dengan TIVA.

Metode : Setelah mendapatkan persetujuan dari komite etika, empat puluh enam pasien ASA1 menjalani prosedur kuretase kebidanan secara acak dialokasikan untuk menerima kombinasi fentanil 1 µg/kgBB/iv (kelompok A) dan ketamin 0,5 mg/kgBB/iv (kelompok B). Keduanya dikombinasi dengan propofol dosis 2 mg/kgBB/iv.

Hasil : Data demografi dan keadaan klinis awal pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan

tetapi tidak bermakna. Ada perbedaan bermakna pada skor nyeri CBNPS pada menit ke-5 pada saat prosedur. Kelompok ketamin memiliki skor nyeri lebih rendah. Ada perbedaan signifikan pada kelompok fentanil yang memiliki rata-rata pengukuran tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan laju nadi yang lebih rendah daripada kelompok ketamin. Sedangkan pada karakteristik waktu pulih dijumpai buka mata spontan dan orientasi terhadap waktu tidak dijumpai perbedaan bermakna. Efek samping lebih banyak dijumpai pada kelompok ketamin.

Selanjutnya diukur skala nyeri pada saat prosedur dengan skor nyeri CBNPS. Setelah obat masuk dan setelah induksi propofol juga diukur tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolic, laju nadi, laju nafas, dan pulse oksimetri. Selain itu juga diukur waktu hingga dapat membuka mata spontan dan orientasi terhadap waktu, serta efek samping yang terjadi. Data dari hasil penelitian diuji dengan chi-square dan

Mann-Whitnety test, dimana p < 0,05 dianggap signifikan.

Kesimpulan : Kedua kelompok baik ketamin maupun fentanil dapat digunakan untuk

menghilangkan nyeri dengan kombinasi propofol pada anestesi total intravena untuk prosedur kuretase kebidanan. Akan tetapi bila dilihat dari efek samping maka kombinasi propofol fentanil tampak lebih superior.

(21)

xiv ABSTRACK

Background and Objectives :

Curretage is one of the obstetric and gynaecologist procedure is usually done. This short procedure need anesthetic technic which can produce adequate analgesic and sedation besides short recovery. The design of this study is randomized prospective double blind clinical trial. The main purpose of this research is to know which combination that more effective for used in curettage with total intravenous anesthesia.

Method :

After getting approval from the FK USU ethical’s committee, forty six ASA 1 patients underwent elective curettage. All patients were divided into 2 groups. Group Fentanyl 1 mcg/kg/iv giving 5 minutes before induction propofol 2 mg/kg (PF) versus ketamin 0,5 mg/kg/iv giving 3 minutes before induction propofol 2 mg/kg (PK). The primary outcome was pain, rated using CBNPS technique. Secondary outcomes included the hemodynamic profile, include rate of breathing and pulse oxymetry, propofol doses required to achieve and maintain sedation, times needed to open eye spontaneous and well oriented of place, and also side effects of the interventions. Data were analyzed with chi-square test and Mann-Whitney Test, whether p < 0.05 is significant.

Result :

Patient in both did not differ in significantly in demographic and hymodinamic profile. CBNPS score in the 5th

Result : Both of the group is good for using as agent that effective for produce analgesic. Thus, the fentanyl group is more superior regard the side effect.

(22)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kuretase merupakan salah satu prosedur obstetrik dan ginekologi yang sering dilakukan. Baik untuk pengosongan sisa konsepsi dari kavum uteri akibat abortus. Ataupun untuk mengetahui kelainan perdarahan uterus pada kasus ginekologi. Prosedur ini berlangsung dalam waktu singkat. Kasus yang membutuhkan tindakan kuretase bermacam-macam, diantaranya abortus, blighted ovum, plasenta rest, dan hamil anggur. Ada juga kasus kuret yang ditujukan untuk diagnostik seperti biopsi endometrium.

Diantara kasus kebidanan yang paling banyak memerlukan kuret diantaranya adalah abortus. Menurut data resmi WHO (1994) abortus terjadi pada 10% dari seluruh kehamilan.1 Di Inggris, setiap tahunnya ada 185.000 kasus induced abortion setiap tahun dan 11.500 kasus di Skotlandia.2 Di Indonesia sendiri diperkirakan ada lima juta kehamilan pertahun, dimana 10-15% diantaranya atau sekitar 500.000-750.000 mengalami abortus setiap tahun.3

Studi-studi terkini melaporkan 97% wanita merasakan nyeri mulai dari intensitas yang ringan sampai dengan berat selama dan setelah abortus berlangsung.

Dan frekuensinya terus meningkat setiap tahun.

4

Dahulu kuretase sering menggunakan anestesi dengan blok paraservikal maupun intraservical. Namun, hal ini mulai ditinggalkan karena seringnya saat injeksi anestesi lokal menjadi periode nyeri paling hebat dari seluruh rangkaian prosedur dilatasi dan kuretase. Hal ini ditambah ketidaknyamanan pasien dengan tindakan tersebut dan kesuksesan tindakan ini sangat dipengaruhi skill dari operator yang melakukan blok paraservical tersebut. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan meskipun sudah diblok paraservical tetap saja sekitar 21.3-50% pasien mengeluhkan nyeri hebat pada saat kuretase berlangsung.

Tindakan pencegahan atau menghilangkan rasa nyeri yang berhubungan dengan dilatasi kuretase ini bisa dilakukan dengan anestesi umum maupun anestesi lokal. Dan seiring dengan perkembangan waktu semakin banyak yang dikerjakan setelah diberikan anestesi terlebih dahulu.

5

(23)

2

Salah satu komplikasi kuretase adalah perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus ke rongga peritoneum, ke ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh sebab itu, letak uterus harus ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada awal tindakan, dan pada dilatasi serviks tidak boleh digunakan tekanan berlebihan. Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis.7

Pranom et al. (2005) dalam penelitiannya membandingkan penggunaan asam mefenamat oral 500 mg dua jam sebelum kuretase dan penggunaan paraservical blok untuk mengatasi nyeri pada prosedur kuretase. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa skala nyeri maksimum (menggunakan VAS 1-10) yang dialami pasien berkisar 7.5 dengan asam mefenamat dan 6.5 dengan paraservical blok. Dan setelah prosedur selesai pasien tetap mengalami nyeri meskipun berkurang kadarnya. Belum lagi rasa kebas (numbness) yang dialami kelompok pasien dengan blok paraservical.

Arifin tahun 2009 membandingkan efek analgetika kombinasi blok paraservikal dengan ketoprofen dengan blok pareservikal dengan placebo pada tindakan kuretase. Yang menjadi latar belakang pada penelitian ini bahwa inervasi fundus uteri berbeda dengan inervasi daerah servik uteri. Sehingga rasa mulas akibat pelepasan prostaglandin di bagian fundus tidak bisa diblok oleh anestesi blok paraservikal.

5

Sirirat (2008) dalam penelitiannya membandingkan antara pasien yang diberi injeksi petidin dengan yang diberikan paraservikal blok untuk anestesi kuretase. Hasil penelitiannya menunjukkan injeksi petidin lebih efektif dalam menghilangkan nyeri dibandingkan dengan paraservical blok.

6

Sehingga dalam perkembangannya di kemudian hari anestesi kuretase lebih banyak digunakan dengan menggunakan jalur intravena. Hal ini memunculkan kebutuhan untuk mencari kombinasi obat anestesi yang dapat menghadirkan anestesi yang cepat mula kerjanya dengan waktu pulih yang singkat dan memberikan kenyamanan serta analgesi yang adekuat.

8

(24)

3

Propofol adalah sedative hipnotik non barbiturate yang mulai berkembang penggunaanya di Eropa sekitar tahun 1970 dan secara bertahap penggunaannya digunakan oleh ahli anestesi di Amerika Serikat lebih dari dua dekade ini. Penggunaannya populer di Instalasi Gawat Darurat sebagai bagian dari agen untuk prosedur yang membutuhkan sedasi dan analgesi. Propofol lebih dipilih karena profil farmakokinetiknya dengan mula kerja obat yang cepat dan waktu pulih yang singkat. Keunggulan lainnya adalah fungsinya sebagai antiemetic, anti kejang, dan amnesia agen.10

Disamping kelebihan- kelebihan diatas, propofol juga mempunyai kekurangan-kekurangan, yaitu dapat menyebabkan penurunan tekanan darah arteri, penurunan denyut jantung, depresi pernafasan, sampai henti nafas. Propofol menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik berkisar 25-40%. Mekanisme penurunan tekanan darah ini disebabkan oleh efek inotropik negatif dan relaksasi dari otot polos pembuluh darah.

Propofol sebagai agen anestesi dikatakan lack of analgesia. Karena itu apabila digunakan sendiri akan menjadi inefektif karena masih akan timbul pergerakan atau menarik diri pada saat prosedur berlangsung.

10,11

12

Sehingga dalam penggunaanya, propofol sering dikombinasikan dengan analgesik, seperti golongan opioid, maupun ketamin dosis rendah.

Fentanil digunakan secara luas untuk anestesi total intravena saat ini. Fentanil merupakan opioid sintetik dengan seratus kali lebih poten dari morfin sebagai analgesik, dan sebagai bagaian dari anestesi berimbang, obat ini menghilangkan nyeri, mengurangi respon somatik dan autonomic terhadap manipulasi airway, dengan hemodinamik yang lebih stabil dengan mula kerja yang cepat dan durasi kerja yang singkat. Tetapi disamping itu kelemahannya adalah mempengaruh ventilasi pernafasan dan mual muntah pasca operasi.

13

Obat lain yang sering dikombinasi dengan propofol adalah ketamin. Obat ini merupakan anlagesik poten, dengan efek anestesi dan analgesi dengan mekanisme kerja yang berbeda. Keuntungan ketamin adalah rentang batas keamanan yang tinggi, tidak mengiritasi vena dan berefek negatif pada ventilasi pernafasan maupun sirkulasi. Kelemahan ketamin yang utama ada

emergence delirium, yang tampaknya bisa dihilangkan bila digunakan bersama propofol.

13

13

(25)

4

Penelitian Hamdani et al. (1999) menyimpulkan tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara kombinasi propofol fentanil dan propofol ketamin sebagai agen anestesi intravena baik pada efikasi maupun toleransi pada prosedur ginekologik minor. Selain itu dari hasil penelitian ini juga didapati dosis ketamin 0.3 mg/kg tidak cukup sebagai analgesia pada prosedur ini.14

Motoko dkk.(2001) menggunakan propofol 0,8mg/kg dan ketamin 0,7 mg/kg untuk prosedur dilatasi dan kuretase mendapati pergerakan tubuh yang sering.

Aynur Akin (2005) meneliti perbandingan propofol 1 mg/kg dan ketamin 0.5 mg/kg dengan propofol 1mg/kg dan fentanil 1µg/kg dan didapati mual,vertigo dan pandangan kabur lebih banyak pada grup propofol 1 mg/kg dan ketamin 0.5 mg/kg dan waktu pulih lebih singkat pada grup propofol fentanil. Tetapi penelitian ini tidak membahas mengenai rasa nyeri ataupun banyak tidaknya pergerakan tubuh pada saat tindakan berlangsung.

15

Castillo et al. (2004) dalam penelitiannya menggunakan beberapa dosis remifentanil ( 0,5 µg/kg, 1,0 µg/kg dan 1,5 µg/kg) dengan propofol (2 mg/kg) untuk menilai respon stress pembedahan pada proses dilatasi dan kuretase. Jika laju nadi naik 15% dari preoperasi, tekanan darah sistolik lebih dari 15% preoperasi, serta banyak pergerakan dari ekstremitas, mata terbuka, atau meringis, dan berkeringat, serta menangis maka diberi tambahan bolus remifentanil 0,25 µg/kg setiap menit jika diperlukan. Rumatan anestesi dengan 60% N2O dalam O2 dengan masker 12 L/menit. Penelitian dengan kelompok dosis remifentanil 0,5 µg/kg tidak dilanjutkan karena dalam perjalanan penelitian dosis ini tidak cukup untuk melawan respon stimulus pembedahan. Sehingga oleh peneliti dianggap tidak etis dan hanya dosis 1,0 µg/kg dan 1,5 µg/kg yang diberikan. Hasil penelitian memberikan bahwa dosis 1,5 µg/kg lebih baik untuk mencegah respon stimulus pembedahan, waktu pulih yang lebih singkat, tambahan remifentanil tidak diperlukan. Tapi peneliti juga mencatat kejadian henti nafas yang terjadi hingga 50% pada kelompok 1,5 µg/kg (16). Penilaian nyeri dilakukan saat akan meninggalkan kamar operasi dengan Verbal Pain Scale.

16

Mahajan dkk. (2010) meneliti perbandingan fentanil (2µ/kg) dan ketamin (1mg/kg) dengan propofol ( 2 mg/kg) untuk operasi yang berlangsung singkat (kurang dari satu jam) dan menyimpulkan bahwa baik ketamin maupun fentanil sama dalam hal hemodinamik dan waktu pulih bila digabung dengan propofol untuk operasi singkat.

17

(26)

5

Penelitian David et al. (2008) menyimpulkan ketamin dosis rendah (0.3 mg.kg) lebih aman daripada fentanil (1.5µg/kg) pada prosedur sedasi analgesi di IGD dengan propofol dan memiliki efikasi yang serupa dalam hal adekuasi sedasi dan analgesia serta waktu pulih. Penilaian nyeri dilakukan dengan Visual Analogue Scale (VAS) sebelum prosedur dan saat prosedur. Dan nyeri saat prosedur ditanyakan sesudah prosedur selesai. Akan tetapi dalam diskusi limitasi penelitian hal ini diungkapkan ada kelemahan, karena pasien tidak mampu mengingat kejadian tersebut. Disamping itu dilaporkan juga mengenai kepuasan operator anestesi mengenai adekuatnya sedasi analgesia hanya berkisar 6-7,6 (digunakan skala 1-10 dengan nilai 10 sebagai sangat memuaskan.

Smita Lisa (2005) dalam penelitiannya melaporkan pada kasus debridement luka bakar, tidak dijumpai henti nafas dan hipoventilasi serta analgesia pasca operasi yang lebih lama pada grup propofol dengan ketamin (0.5 mg/kg) dibandingkan dengan grup propofol dengan fentanil (2 µ/kg) (15). Pada penelitian ini nyeri dinilai dengan VAS sebelum dan sesudah prosedur.

11

18

Hasil berbeda dikemukakan Vallejo dkk. (2002) yang meneliti perbandingan propofol dengan ketamin (1-1.5 mg/kg) dibandingkan propofol dengan fentanil (3-5 µ/kg) untuk prosedur laparascopy ligasi tuba uteri dengan anestesi umum pada pasien one day care dan didapati bahwa pada grup propofol ketamin memiliki laju nadi yang lebih cepat, membutuhkan obat penghilang rasa sakit lebih banyak, dan frekuensi bermimpi lebih banyak dibandingkan grup propofol fentanil. Sehingga disimpulkan dalam penelitian ini bahwa penggunaan propofol ketamin tidak memperbaiki analgesi, mual muntah pasca operasi dan waktu pulih dibandingkan dengan penggunaan propofol fentanil.19

Senada dengan Vallejo dkk. (2002), Loh G (2007) melakukan pengkajian terhadap sebelas penelitian mengenai penggunaan propofol dengan ketamin dosis rendah secara intravena. Dari hasil pengkajian didapati kombinasi propofol ketamin, meskipun lebih sedikit pasien yang mengalami hemodinamik yang tidak stabil pada kenyataannya pasien yang mendapat ketamin dosis rendah lebih tinggi, dilaporkan memiliki peningkatan insidensi mual, muntah, dan

emergence reaction. Hanya sedikit hasil penelitian yang menggambarkan rating kepuasan pasien

(27)

6

Sejumlah penelitian diatas menggunakan propofol dalam berbagai dosis dan cara pemberian, apakah melalui bolus atau titrasi. Castillo tahun 2004 menggunakan propofol dengan cara bolus 2 mg/kgBB intravena pada kasus kuretase. Untuk analgetiknya digunakan remifentanil yang dibolus dengan besar dosis sesuai dengan kelompok penelitian. Alasan penggunaan bolus dikarenakan dilatasi dan kuretase merupakan prosedur yang sangat singkat, dan sesuai dengan waktu paruh remifentanil yang singkatme dan penggunaan infusion dianggap tidak rasional secara ekonomi. Selain itu penggunaan teknik bolus lebih sesuai, lebih mudah, lebih murah, dan lebih praktis untuk prosedur yang sangat singkat ini.17 Penggunaan dosis propofol 2mg/kgBB juga dipilih oleh Mahajan et al (2010) yang memilih berdasarkan dosis induksi.13 Penelitian Smita Lisa (2005) mendapatkan dosis rata-rata propofol yang dibutuhkan untuk induksi anestesi total intravena pada debridement berkisar 1,62- 2,02 mg/kgBB.18 Sehingga peneliti memilih untuk menggunakan propofol dosis 2 mg/kgBB untuk induksi.

Fentanil memiliki berbagai variasi dosis, akan tetapi untuk analgesia dalam Stoelting (2006) dapat berkisar pada 1-2 µg/kgBB. Propofol sering dikombinasikan dengan fentanil dengan rentang dosis 1-2 µg/kgBB dalam prosedur sedasi analgesia.

Analgesia dari kelas opioid memilik kelemahan karena memiliki efek samping mendepresi pernafasan. Dosis fentanil yang lebih besar sering menyebabkan efek samping hipoventilasi hingga henti nafas. Penelitian Castillo menggunakan remifentanil dengan dosis 1,5 µg/kgBB mendapatkan efek analgesi yang optimal akan tetapi efek samping henti nafas yang mencapai 50% dari kelompok subjek penelitian. Disisi lain Castillo juga meneliti dengan remifentannil dosis 0,5 µg/kgBB, akan tetapi kelompok grup ini tidak dilanjutkan. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaanya dosis itu tidak mampu menghilangkan rasa nyeri akibat stimulus nyeri kuretase. Penelitian Smita Lisa menggunakan dosis fentanil 2µg/kgBB akan tetapi insidensi henti nafas mencapai 22%. Sehingga peneliti mengambil dosis fentanil 1 µg/kgBB sebagai salah satu kelompok penelitian. Dipilihnya dosis ini dengan harapan dosis analgetik bekerja maksimal dan efek samping hipoventilasi bisa dihindari.

(28)

7

intravena tidak cukup sebagai analgetik pada prosedur ginekologik minor. Aynur Akin (2005) telah menggunakan dosis ketamin 0,5 mg/kgBB intravena akan tetapi dalam prosedur sedasi biosi endometrium. Akan tetapi dalam pengukurannya tidak memperhitungkan masalah nyeri. Sehingga peneliti berkeinginan untuk meneliti dosis ketamin 0,5 mg/kgBB intravena sebagai analgetik dalam kasus kuretase kebidanan.

Sebagai gambaran, sebuah studi pendahuluan telah dilaksanakan peneliti dengan menggunakan propofol 2 mg/kgBB intravena dikombinasi dengan fentanil 1 µg/kgBB intravena (grup PF) dibandingkan dalam hal analgesi dengan kombinasi propofol 2 mg/kgBB dengan ketamin 0,5 mg/kgBB intravena (grup PK) pada kasus kuretase kebidanan. Skala nyeri pada saat tindakan diukur dengan Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS). Skor CBNPS dengan rentang hasil 0-5 yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri dengan skor semakin tinggi. Studi pendahuluan dilakukan dengan sampel tiap grup sebanyak 10 subjek. Hasilnya didapati pada grup PF memiliki skor CBNPS sama dengan 0 sebanyak 60% dan grup PK 40% yang memiliki skor 0. Akan tetapi mengingat jumlah sampel yang sangat terbahfnmtas maka hal ini belum bisa dijadikan acuan.

Berdasarkan berbagai hasil penelitian dan latar belakang diatas, peneliti berkeinginan meneliti lagi untuk menilai efek analgetik terhadap kombinasi propofol (2 mg/kgBB) dengan ketamin (0.5 mg/kgBB) dan dengan fentanil (1µg/kgBB) pada tindakan dilatasi dan kuretase dengan anestesi total intravena dengan alasan :

1. Kasus kuretase bertambah banyak setiap tahunnya. Sedangkan penelitian yang secara khusus mengenai anestesi total intravena pada prosedur ini tidak banyak.

2. Dari beberapa penelitian diatas mengungkapkan masih perlunya dilakukan penelitian lagi terhadap efek analgesi antara kedua kombinasi. Karena kebanyakan menilai skala nyeri sesudah prosedur berlangsung, padahal prosedur nyeri ini terjadi pada saat pasien tersedasi. Sehingga diperlukan penilaian skala nyeri dari pengamatan terhadap tingkah laku pasien dan dibandingkan dengan self reported oleh pasien sesudah pulih dari pembiusan.

(29)

8

mengenai karakteristik waktu pulih termasuk efek-efek samping yang terjadi sesudah selesai tindakan anestesi.

4. Keinginan peneliti untuk menemukan kombinasi mana yang lebih efektif jika digunakan dalam setting prosedur kuretase di Indonesia khususnya di Sumatera Utara

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan efek analgesi saat pasien tersedasi pada kombinasi propofol (2 mg/kgBB) dengan fentanil (1µg/kgBB) dan dengan ketamin (0.5 mg/kgBB) pada pasien dengan tindakan kuretase kebidanan dengan anestesi total intravena?

1.3 Hipotesa

Ada perbedaan efek analgesi pada pasien kuretase kebidanan dengan anestesi total intravena dengan kombinasi propofol (2 mg/kgBB) dengan fentanil (1 µg/kgBB) dan dengan ketamin (0.5 mg/kgBB).

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Untuk memperoleh kombinasi obat yang lebih efektif dalam anestesi total intravena pada prosedur dilatasi dan kuretase kebidanan

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran derajat analgesia antara kombinasi propofol fentanil dan propofol ketamin pada waktu tersedasi dan setelah pulih pada prosedur dilatasi dan kuretase kebidanan dengan anestesi total intravena.

2. Untuk mengetahui perbandingan waktu pulih antara kombinasi propofol fentanil dan propofol ketamin pada prosedur dilatasi dan kuretase kebidanan dengan anestesi total intravena.

3. Untuk mengetahui perbandingan timbulnya halusinasi dan mual muntah paska operasi antara kombinasi propofol fentanil dan propofol ketamin pada prosedur dilatasi dan kuretase kebidanan dengan anestesi total intravena.

(30)

9

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan tambahan dalam penelitian lanjutan tentang kombinasi anestesi total intravena dalam prosedur dilatasi kuretase kebidanan.

1.5.2 Manfaat Praktis

(31)

10 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 NYERI

2.1.1 Fisiologi Nyeri

Nyeri menurut International Association for the Study of Pain adalah pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial.22 Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang cultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya dan tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orangtua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.23

Kata nosisepsi berasal dari kata “noci” dari bahasa Latin yang artinya harm atau injury dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata ini digunakan untuk menggambarkan respon neural hanya pada traumatik atau stimulus noksius. Banyak pasien merasakan nyeri meskipun tidak ada stimulus noksius.24 Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi stimulus noksius.

(32)

11

dan jaringan dalam. Contoh nyeri somatic termasuk nyeri akut pasca operasi dan patah tulang. Nyeri visceral juga diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, khususnya infiltrasi, kompresi dan distensi dari organ dalam. Biasanya dideskripsikan sebagai nyeri yang tumpul dan sukar dilokalisasi dan bisa menyebar ke tempat lain. Misalnya nyeri perut yang disebabkan oleh konstipasi. Sedangkan nyeri neuropati dihasilkan dari kerusakan terhadap sistem saraf baik pusat maupun periferl. Tertembak, sengatan listrik, ataupun luka bakar sering bersamaan dengan latar belakang timbulnya sensasi nyeri dan terbakar. Contohnya, neuropati diabetik dan neuralgia post

herpetic.26

2.1.2 Mekanisme Nyeri

A. Respon Terhadap Stimulus Nyeri Akut

Secara klinis nyeri dapat diberi label “nosiseptif” jika melibatkan nyeri yang berdasarkan aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun perubahan neuroplastik ( seperti hal-hal yang mempengaruhi sensistisasi jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.27

Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara lain adalah prostaglandin, histamine, serotonin, bradikinin, substansi P, leukotrien; dimana zat-zat tadi akan ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke neuroaksis.

(33)

12

[image:33.612.163.448.104.335.2]

Respon refleks suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis dan stimulasi hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan meningkat.28

Gambar 1 Mekanisme Nyeri

B. Sensitisasi Perifer

Sensitivitas daripada terminal nosiseptor perifer tidaklah tetap, dan aktivasinya dapat dilakukan baik melalui stimulasi perifer berulang atau melalui perubahan komposisi kimia dari terminal dapat mensensitisasi neuron sensor primer. Fenomena ini dikatakan sebagai sensitisasi perifer.29

C. Sensitisasi Sentral dan Modulasi

(34)

13 D. Nosiseptor 26

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vascular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noxious yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidakb aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke CNS untuk interpretasi nyeri.

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya menimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemi kulit 20 sampai 30 menit.

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.

(35)

14 E. Perjalanan Nyeri 30

Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh jalur nyeri.

2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron berikutnya

3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).

[image:35.612.243.409.388.623.2]

4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tlersebut.

(36)

15 F. Analgesia Preemptif

Pemberian analgesik sebelum dan saat dilakukan pemberian rangsang nyeri yang bertujuan untuk mencegah berkembangnya status hipersensitifitas terhadap nyeri 27.Usaha ini diantaranya dapat berupa memberikan lokal anestesi, blokade neural sentral, ataupun pemberian opioid, obat anti inflamsi non steroid, ataupun ketamin. Uji eksperimental menunjukkan bahwa preemptif analgesia dapat secara efektif menghalau sensitisasi perifer maupun sentral terhadap nyeri 27.

G. Analgesia Preventif

Konsep daripada preventif analgesia sebenarnya adalah mencegah terjadinya nyeri paska operasi, dimana nyeri kronik yang persisten bisa terjadi pada 10-50% kasus yang tidak mendapat adekuat analgetik setelah operasi.31 Sehingga preventif analgesia ini berdasarkan pada asumsi bahwa satu-satunya cara untuk mencegah terjadinya sensitisasi sentral adalah dengan secara lengkap memblokade sinyal nyeri apapun dari luka operasi, mulai dari saat insisi hingga penyembuhan luka sempurna. Diharapkan melalui pemberian analgetik secara menyeluruh sebelum nyeri timbul dan sesudah operasi, maka dapat mengurangi intensitas dan durasi nyeri pada nyeri akut paska operasi, yang pada akhirnya mencegah timbulnya nyeri persisten.32

2.1.3 Pengukuran Intensitas Nyeri

(37)

16

melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan ketidakmampuan verbal baik karena terganggu kognitifnya, dalam keadaan tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator.33

A. Skala Nyeri Verbal (Self Reported)

Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini dibagi atas skala kategorik (tidak sakit,sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat). Ataupun penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal atau vertical yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri dan “10” menandakan nyeri yang hebat.

Verbal Rating Scale. 33

Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkat nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yang dirasakannya. Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :

• 0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya

• 1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya

• 2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya

• 3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah merintih

atau menangis

Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan tingkat kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif, skala nyeri verbal ini sulit digunakan.

Visual Analogue Scale

Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS). 34

[image:37.612.75.531.556.685.2]

Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.

Gambar 3 Skala Visual Analog

(38)

17 Wong Baker Faces Pain Scale 35

[image:38.612.177.430.168.260.2]

Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau keterbatasan verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.

Gambar 4 Wong Baker Faces Pain Scale

B. Skala Nyeri Non Verbal

Biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi verbal baik karena usia, kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat sedasi dan di dalam mesin ventilator. Berdasarkan guidelines yang dikeluarkan AHCPR tahun 1992 menyatakan penggunaan baik fisiologis dan respon tingkah laku terhadap nyeri untuk dilakukan penilaian ketika self-report tidak bisa dilakukan.36

Skala FLACC 37

Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun. Setiap kategori (Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk mendapatkan total 0-10

(39)
[image:39.612.80.438.84.396.2]

18 Tabel 1. Skala FLACC

Behavioral Pain Scale 38

Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang tidak responsive, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh Payen pada tahun 2001. Payen membandingkan prospektif 30 pasien yang berada dalam mekanikal ventilator yang mendapat sedasi dan analgesi. BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur yang menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini sudah divalidasi. BPS terdiri dari tiga penilaian, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan komplians dengan mesin ventilator. Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4 (respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat diterima

(40)
[image:40.612.68.544.87.409.2]

19

Tabel 2 The Behavioral Pain Scale

Item Description Score

Facial expression Relaxed 1

Partially tightened 2

Fully tightened 3

Grimacing 4

Upper Limbs No movement 1

Partially bent 2

Fully bent with finger flexion 3

Permanently retracted 4

Compliance with ventilation Tolerating movement 1

Coughing but tolerating ventilation for most of the time

2

Fighting ventilator 3

Unable to control ventilation 4

Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS)

CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai nyeri pada pasien yang tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik endoskopi maupun kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala yang lebih mudah, tanpa harus menggunakan ekspresi verbal.Skala CBNPS dibentuk berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai dengan penilaian nyeri oleh Agency of Health Care (USA) tahun 1992.39 CBNPS menilai tingkah laku yang dideskripsikan dengan skala 0-5, yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri. Pada penelitian Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam numerik, dengan nilai 0 tidak ada nyeri hingga 5 yaitu nyeri hebat.40

Tabel 3 Colorado Behavioral Numerical Pain Scale

(41)

20

0 Rileks, tidak ada ekspresi wajah

1 Mengeluh, mengerutkan dahi, gelisah/tidak tenang

2 Wajah meringis, memproteksi posisi tubuh

3 Menangis, Resistif

4 Menjerit, melempar sesuatu

5 Melawan

2.2 Mekanisme Kerja Obat Analgetik

Obat analgetik pada dasarnya terbagi dua, yaitu yang bekerja di perifer dan yang bekerja di sentral. Golongan obat AINS (anti inflamasi non steroid) berkerja di perifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktivitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi.25 Pada golongan opioid, bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.30

2.2.1 Mekanisme kerja AINS

Enzim siklooksigenase (COX) adalah enzim yang mengkatalisa sintesa prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah proses ditubuh termasuk proteksi lambung dari sekresi yang dirangsang inflamasi dan nyeri, mempertahankan perfusi ginjal dan agregasi trombosit. Obat AINS menghambat produksi dari enzim COX yang selanjutnya menurunkan induksi prostaglandin. Hasilnya ada dua yaitu, positif (analgesia, antiinflamasi) dan negative (ulkus lambung, penurunan perfusi ginjal dan perdarahan).41

2.2.2 Mekanisme Kerja Opioid 30

Ada empat tempat yang telah diidentifikasi dimana opioid dapat bekerja untuk menghilangkan nyeri. Ketika morfin atau jenis opioid lain diberikan kepada pasien maka terjadi :

1. Aktivasi reseptor opioid di midbrain dan “turning on” sistem desending (melalui disinhibisi).

(42)

21

3. Aktivasi reseptor opioid di sentral terminal C-fiber di medula spinalis, mencegah pelepasan neurotranmiter nyeri

4. Aktivasi reseptor opioid di perifer untuk menghambat aktivasi dari nosiseptor yang dapat melepaskan mediator inflamasi.

Ketamin dinyatakan dalam Stoelting tahun 2006 dapat berinteraksi dengan reseptor opioid yaitu, mu, delta, dan kappa. Meskipun mekanisme pastinya belum sepenuhnya dimengerti, ketamin sebagai non kompetitif antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-Aspartat) berperan dalam menghambat sentisisasi sentral. Pada proses sensitisasi sentral, salah satu neurotransmiter yang berperan adalah glutamate. Glutamat merupakan asam amino dan berperan sebagai neurotranmiter eksitatori. Melekatnya glutamat di membran post synaps akan menyebabkan transmisi impuls saraf dan menyebabkan saraf turun ambang nyerinya. Keadaan ini menyebabkan timbulnya allodinia dan hiperalgesia. Ketamin akan menduduki reseptor NMDA dan bukannya glutamat, sehingga mengurangi fase awal dari sensitisasi sentral.42

2.3 Nyeri Pada Abortus

Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan nekrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut.

Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi korialis belum menembus desidua secara dalam jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu janin dikeluarkan terlebih dahulu daripada plasenta hasil konsepsi keluar dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tidak jelas bentuknya (blightes ovum),janin lahir mati, janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus papiraseus.43

(43)

22 2.3.1 Inervasi Uterus 44

Rasa nyeri pada alat-alat tubuh di daerah pelvis, terutama pada daerah traktus genitalia interna disalurkan melalui susunan saraf simpatik dan untuk sebagian melalui sistem parasimpatik. Aksi kerja saraf simpatik menyebabkan kontraksi dan vasokonstriksi. Sebaliknya aksi kerja saraf parasimpatik mencegah kontraksi dan menyebabkan vasodilatasi. Oleh karena itu efeknya terhadap uterus, yaitu saraf simpatik menjaga tonus uterus, sedangkan saraf parasimpatik mencegah kontraksi uterus, jadim menghambat tonus uterus.

Pengaruh dari kedua jenis persarafan ini menyebabkan terjadinya kontraksi uterus yang intermiten. Rangkaian susunan saraf simpatik daerah pelvic terdiri dari tiga rangkaian, yaitu rantai sakralis, pleksus hipogastrika superior, dan pleksus hipogastrika inferior.

Sistem saraf simpatik masuk ke rongga panggul sebagai pleksus hipogastrika superior (nervus presakralis) dan melalui promontorium terus kebawah sebagai nervus hipogastrika inferior (pleksus hipogastrika inferior) dan pleksus frankenhauser (pleksus uterovaginalis).

Rasa sakit yang disalurkan melalui pleksus hipogastrika superior diteruskan melalui rantai torakal bagian bawah dan rantai lumbal, untuk kemudian disalurkan melalui saraf spinalis ke otak. Pleksus hipogastrika superior menerima sebagaian besar saluran rasa sakit dari traktus genitalia interna, terutama uterus dan serviks.

2.3.2 Kuretase

Prosedur ini adalah serangkaian proses pelepasan jaringan yang melekat pada dinding kavum uteri. Salah satu cara dengan dilatasi serviks dengan busi hegar dan pelepasan jaringan dengan sendok kuret yang dimasukkan ke dalam kavum uteri. Sendok kuret akan melepaskan jaringan tersebut dengan teknik pengerokan secara sistematik. Prosedur kuretase bisa mengakibatkan komplikasi seperti perforasi uterus, laserasi serviks, perdarahan, dan infeksi.7 Selain rasa nyeri akibat kontraksi uterus pada abortus, rasa nyeri juga timbul pada saat proses dilatasi dan kuretase. Terutama adanya sharp pain pada saat pengerokan dengan sendok kuret tajam.

Disamping rasa tidak nyaman dan cemas. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi ini termasuk dengan memberikan anestesi total intravena.

(44)

23

Anestesi total intravena adalah teknik anestesi dimana induksi dan rumatan anestesi dicapai melalui obat-obatan yang diberikan lewat jalur intravena saja; menghindari pemakaian agen volatile ataupun N2O. Pada teknik ini pasien dibiarkan bernafas spontan atau diberikan ventilasi dengan campuran oksigen dan air.45 TIVA sendiri pertama kali muncul pada awal tahun 1900 dan mulai popular digunakan di seluruh dunia sejak akhir abad 20, sekitar tahun 1990an.46

Konsep TIVA sendiri telah mengalami perkembangan dari induksi untuk anestesi umum menuju TIVA modern dimana sudah lebih dipahami farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obatan yang digunakan, dimana obat dapat secara akurat dititrasi dan diberikan lewat jalur intravena.

Kriteria Obat Untuk TIVA :18

1. Larut di dalam air sehingga penggunaan pelarut/solvent dapat dihindari 2. Obat tetap stabil meskipun terlarut dan terpapar cahahaya matahari 3. Tidak adsorpsi terhadap bahan-bahan plastik seperti infuse set

4. Tidak iritan terhadap vena (baik nyeri pada penyuntikan, vena phlebitis atau thrombosis) atau merusak jaringan ketika diberikan intravena maupun intraarterial

5. Menghasilkan hipnotik/tertidur dalam one arm circulation time

6. Mula kerja obat cepat dan diinaktifkan oleh metabolisme baik hati, darah maupun jaringan lain

7. Minimal efek terhadap kardiovascular dan respirasi

Dari pemaparan diatas, jelas bahwa belum ada satu obat pun yang mampu memenuhi semua kriteria diatas.

Indikasi Anestesi Total Intravena : 1. Sebagai alternative agen volatil.

2. Untuk situasi dimana anestesi konvensional sulit untuk dikerjakan, misalnya pada operasi di medan perang, ataupun pada setting daerah yang kurang peralatan anestesi dan obat -obat anestesi

3. Pada keadaan dimana gas N2O tidak diperbolehkan atau kontraindikasi relatif, misalnya pada operasi yang membutuhkan konsentrasi inspirasi O2 yang tinggi, middle ear surgery Keuntungan TIVA :

(45)

24

3. Bermanfaat pada kondisi setting terbatas

4. Menghindari efek tidak diinginkan dari anestesi volatile 5. Mengurangi polusi udara

6. Sedikit efek yang mencetus terjadinya hipertermi maligna

7. Day care surgeries, cepat pulit sadar

Kesulitan dan keterbatasan TIVA :

1. Untuk menghasilkan konsentrasi obat dalam darah secara cepat dan mempertahankan jumlah yang diinginkan terkadang dibutuhkan peralatan yang lebih kompleks seperti zero order infusion

2. Tidak terprediksinya hubungan antara dosis dan respons pasien yang bervariasi terhadap obat, premedikasi dan bolus.

3. Tidak terprediksinya pulih dari anesthesia dan efek samping pasca anestesi berdasarkan variasi distribusi, eliminasi dan farmakokinetik obat, usia, jenis kelamin, dan lain-lain. 4. Akumulasi obat-obat TIVA yang berakibat pada pemanjangan waktu pulih

5. Interaksi obat

6. Definisi yang tidak tegas tentang berakhirnya masa anestesi 7. Ada kemungkinan tidak bisa mengontrol kedalaman anestesi 8. Kebutuhan untuk menciptakan jalur intravena terpisah

Beberapa obat anestesi intravena yang sering digunakan dalam praktek sehari-hari adalah propofol, ketamin, midazolam, dan dikombinasi dengan golongan opioid maupun ketamin dosis rendah.

2.4.1 Propofol

Propofol (2,6-diisopropylophenol) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977, dilarutkan dalam kremofor karena sifatnya yang tidak larut dalam air. Kemudian propofol ini ditarik dari peredaran karena pernah dilaporkan terjadinya insiden reaksi anafilaktik pada saat penyuntikan. Pelarut yang adekuat untuk propofol ditemukan berdasarkan penelitian klinis pada tahun 1983 dan dipakai diseluruh dunia sampai saat ini.10

(46)

25

Kelebihan lainnya, pasien merasa lebih nyaman pada periode paska bedah disbanding anestesi intravena lainnya. Mual dan muntah paska bedah lebih jarang karena propofol mempunyai efek anti muntah.10,47,48,49

A. Struktur Kimia

Propofol mengandung satu cincin fenol dengan dua ikatan grup isoprofil dengan berat moleku 178 Da. Panjang ikatan alkilfenol ini mempengaruhi potensi, induksi, dan karakteristik pemulihan. Propofol tidak larut dalam air, tetapi 1% larutan air (10mg/mL) dapat digunakan sebagai obat intravena dalam larutan emulsi minyak dalam air yang mengandung 10% minyak kedelai, 2,25 % gliserol dan 1.2% lesitin telur.43 Riwayat alergi telur tidak langsung dijadikan kontraindikasi penggunaan propofol karena kebanyakan alergi telur melibatkan reaksi dengan putih telur (contoh albumin) sedangkan lesitin diekstraksi dari kuning telur.

Formula ini menyebabkan nyeri pada saat penyuntikan yang dapat dikurangi dengan penyuntikan pada vena besar dan dengan pemberian injeksi lidokain 0,1 mg/kgBB sebelum penyuntikan propofol atau dengan mencampurkan 2 mL lidokain 1% dengan 18 mL propofol dapat menurunkan pH dari 8 menjadi 6,3. Propofol adalah obat yang tidak larut dan membutuhkan lemak untuk emulsifikasi. Formulasi propofol saat ini menggunakan minyak kedelai sebagai fase minyak dan lesiti telur sebagai zat emulsifikasi yang terdiri dari trigliserida cincin panjang. Formulasi ini mendukung pertumbuhan bacterial dan meningkatkan konsentrasi trigliserida plasma khususnya ketika penggunaan infuse intravena yang lama.10,45,47

(47)

26

B. Mekanisme Kerja

Propofol adalah modulator selektif dari reseptor gamaa amino butyric acid (GABAA) dan tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada kosentrasi yang relevan secara klinis. Propofol memberikan efek sedative hipnotik melalui intraksi reseptor GABAA. Resepor ini adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membrane sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu meningkatkan laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membrane sel.45,48

C. Farmakokinetik

Pemberian propofol 1.5-2.5 mg/kg IV (setara dengan thiopental 4-5 mg/kg IV atau metoheksital 1,5 mg/kg (IV) sebagai injeksi IV (< 15 detik), mengakibatkan ketidaksadaran dalam 30 detik. Sifat kelarutannya yang tinggi di dalam lemak menyebabkan mulai masa kerjanya sama cepatnya dengan thiopental (satu siklus sirkulasi dari lengan ke otak) konsentrasi puncak di otak diperoleh dalam 30 detik. Sifat kelarutannya yang tinggi dalam lemak menyebabkan mulai masa kerjanya sama cepatnya dengan thiopental (satu siklus sirkulasi dari lengan ke otak) konsentrasi puncak di otak diperoleh dalam 30 detik dan efek maksimum diperoleh dalam 1 menit. Pulih sadar dari dosis tunggal juga cepat disebabkan waktu paruh distribusinya (2-8) menit. Lebih cepat bangun atau sadar penuh setelah induksi anestesi disbanding semua obat lain yang digunakan untuk induksi anestesi IV yang cepat. Pengembalian kesadaran yang lebih cepat dengan residu minimal dari system saraf pusat (CNS) adalah salah satu keuntungan yang penting dari propofol dibandingkan dengan obat alternatif lain yang diberikan untuk tujuan yang sama.10,45,48

(48)

27

Klirens propofol dari plasma melebihi aliran darah hepatik, menegaskan bahwa ambilan jaringan (mungkin ke dalam paru), sama baiknya dengan metabolisme oksidatif hepatik oleh sitokrom P-450, dan ini penting dalam mengeluarkan obat ini dari plasma. Dalam hal ini, metabolisme propofol pada manusia dianggap bersifat hepatic dan ekstrahepatik. Metabolisme hepatik cepat dan luas, menghasilkan sulfat yang tidak aktif dan larut dalam air serta metabolit asam glukoronik yang diekskresikan oleh ginjal. Propofol juga menjalani hidroksilasi cincin oleh sitokrom P-450 membentuk 4-hidroksipropofol yang kemudian di glukoronidasi atau sulfat. Meskipun glukoronida dan konjugasi sulfat dari propofol terlihat tidak aktif secara farmakologi, 4-hidroksipropofol memiliki sepertiga aktivitas hipnotik dari propofol. Kurang dari 0,3% dari dosis yang diekskresikan tidak berubah dalam urine.10,48

Induksi Anestesi

Dengan kadar darah 2-6 µg/mL yang menghasilkan ketidaksadaran tergantung pada pengobatan dan pada usia pasien. Onset hypnosis propofol sangat cepat (one arm-brain

circulation) dengan durasi hypnosis 5-10 menit. Seperti halnya dengan barbiturate, anak

membutuhkan dosis induksi dari propofol yang lebih tinggi per kilogram badan, kemungkinan berhubungan dengan volume distribusi sentral lebih besar dan juga angka bersihan yang tinggi. Pasien lansia membutuhkan dosis induksi yang lebih rendah (25% hingga 50% terjadi penurunan) akibat penurunan volume distribusi sentral dan juga penurunan laju bersihan. Pasien sadar biasanya terjadi pada konsentrasi propofol plasma 1,0 hingga 1,5 µg/mL.48

Rumatan Anestesi

Dosis khusus dari propofol untuk pemeliharaan anestesia adalah 100-300 µg/kgBB/menit IV, seringkali dikombinasikan dengan opioid kerja jangka pendek. Anestesia umum menggunakan propofol mempunyai efek mual dan muntah paska operasi yang minimal dan kesadaran yang lebih cepat dengan efek residual yang minimal.10

D. Farmakodinamik

Sistem Saraf Pusat

(49)

28

perfusi otak (CPP). Pada level sedasi yang sama, propofol menghasilkan gangguan memori pada derajat yang sama seperti midazolam. Peningkatan toleransi terhadap obat dalam menekan system saraf pusat sering terjadi pada pasien yang sering menggunakan opioid, obat hipnotik sedatif, ketamin dan nitrous oksida.48

Sistem Kardiovaskular

Propofol menghasilkan penurunan tekanan darah sistemik yang lebih besar dibandingkan dosis thiopental pada saat induksi. Pada keadaan dimana tidak ada gangguan kardiovaskuler, dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 25-40%. Perubahan yang sama terlihat juga terhadap tekanan arteri rerata (MAP) dan tekanan darah diastolic. Penurunan tekanan darah ini mengikuti penurunan curah jantung sebesar 15% dan penurunan resistensi vascular sistemik sebesar 15-25%. Relaksasi otot polos vascular dihasilkan oleh propofol adalah terutama berkaitan dengan hambatan aktivitas saraf simpatik. Menurut Dhungana Y, propofol menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi perifer yang diakibatkan oleh peningkatan produksi endothelial dan lepasnya nitric oxide.47,49

Efek inotropik negative dari propofol dapat dihasilkan dari penurunan kalsium intraselular akibat hambatan influks kalsium trans sarkolema. Efek tekanan darah akibat propofol dapat diperburuk pada pasien hipovolemi, pasien lanjut usia, dan pasien dengan gangguan fungsi

ventrikel kiri yang berkaitan dengan penyakit arteri koroner 10,48

Disamping penurunan tekanan darah sistemik, peningkatan denyut jantung seringkali tidak berubah secara nyata. Bradikardi dan asistol juga telah diamati setelah induksi anestesi dengan propofol, yang menghasilkan rekomendasi dimana obat antikolinergik diberikan ketika stimulasi vagal terjadi berkaitan dengan pemberian propofol. Propofol dapat mengurangi aktivitas sistem saraf simpatik pada cakupan yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas sistem saraf parasimpatik, dengan menghasilkan dominasi aktivitas parasimpatik. Refleks baroreseptor yang mengontrol denyut jantung juga didepresi oleh propofol sehingga mengurangi refleks takikardi yang selalu mengikuti hipotensi. 48

Sistem Respirasi

(50)

29

dengan propofol. Pemberian opioid pada pengobatan preoperative dapat meningkatkan efek depresi ventilasi. Pemakaian infus rumatan propofol akan mengurangi volum tidal dan frekuensi pernafasan. Propofol mengurangi respon ventilasi pada karbon dioksida dan juga hipoksemia. Propofol dapat mengakibatkan bronkodilatasi dan menurunkan insidensi sesak pada pasien asma. Konsentrasi sedasi dari propofol akan menekan respon ventilasi terhadap hiperkapnia disebabkan efek dari kemoreseptor sentral. Berbeda dengan anestesi inhalasi dosis rendah, respon kemorefleks perifer pada karbondioksida masih tetap ada ketika dirangsang oleh karbondioksida dengan adaanya propofol.48

Efek-efek Lain

Propofol tidak mempengaruhi fungsi ginjal atau hepar sebagaimana dinyatakan oleh konsentrasi enzim transaminase liver atau kreatinin. Propofol tidak mempengaruhi sintesis kortikosteroid atau mempengaruhi respon normal terhadap stimulasi ACTH. Propofol dalam formula emulsi tidak mempengaruhi fungsi hematologi atau fibrinolisis.

Propofol juga mempunyai efek antiemetic yang signifikan pada dosis subhipnotik (10 mg) dan telah digunakan untuk mengatasi mual muntah paska operasi (PONV). Peningkatan tekanan bola mata dicegah setelah pemberian propofol. Oleh sebab itu propofol ideal digunakan pada operasi mata.48

Sindroma Infus Propofol

Sindroma infus propofol adalah kejadian yang jarang terjadi dan merupakan suatu keadaan yang kritis pada pasien dengan penggunaan propofol yang lama (lebih dari 48 jam) dan dosis yang tinggi (lebih dari 5 mg/kgBB/jam). Biasanya terjadi pada pasien yang mendapat sedasi di unit perawatan intensif.

Sindroma ini ditandai dengan terjadinya kegagalan jantung, rhabdomiolisis, asidosis metabolik, dan gagal ginjal. Penanganannya adalah oksigenasi yang adekuat, stabilisasi hemodinamik, pemberian dekstrosa, dan hemodialisa.51

2.4.2 Fentanil

(51)

30

morfin.Opioid agonis menghasilkan analgesia melalui ikatannya dengan reseptor spesifik yang terdapat di otak dan medula spinalis dan terlibat dalam transmisidan modulasi nyeri. Terdapat beberapa kategori reseptor opioid antara lain reseptor mu (µ), delta (�) dan kappa (κ).52,53

Gambar 6 Rumus Bangun Fentanil

A. Farmakokinetik 54

Fentanil yang diberikan dosis tunggal intravena memiliki onset yang lebih cepat dan masa kerja obat yang lebih pendek daripada morfin. Meskipun secara klinis fentanil mempunyai onset yang cepat, terdapat perbedaan waktu antara puncak konsentrasi fentanil di plasma dan puncak penurunan gelombang pada EEG. Efek fentanil yang diberikan via darah terhadap otak membutuhkan waktu sekitar 6,4 menit. Potensi yang lebih besar dan onset yang lebih cepat merupakan wujud kelarutan lemak yang lebih besar dari fentanil terhadap morfin, dalam hal fasilitasi hantaran obat melewati barier sawar darah otak. Demikian juga, lama kerja obat yang singkat dari pemberian fenta nil dosis tunggal merefleksikan redistribusi yang cepat pada jaringan tempat obat ini tidak aktif seperti pada jaringan lemak dan otot-otot rangka. Hal ini berhubu

Gambar

Gambar 1 Mekanisme Nyeri ...........................................................................
Gambar 1  Mekanisme Nyeri
Gambar 2 Perjalanan Nyeri
Gambar 3 Skala Visual Analog
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sarana yang digunakan di filing RSUD Bendan Kota Pekalongan adalah tracer, tetapi tracer yang digunakan masih manual dan belum menggunakan kode warna.Jarak antar rak filing

Alhamdulillahi robbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang

Penyebab krisis terutama disebabkan (secara garis besarnya) Utang swasta luar negeri mencapai cukup besar Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar - terjadinya overshooting

Dengan sangat jelas Suparlan menguraikan demikian : Orang-orang Madura hidup mengelompok sesama mereka sendiri baik yang hidup dalam sebuah komuniti berupa dusun yang

Hasil nilai di atas menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh penambahan kinesiotaping pada eccentric exercise terhadap peningkatan kemampuan fungsional de quervain’s

Tekanan darah lansia penderita hipertensi di Dusun Pundung Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta sebelum melakukan senam ergonomis didapatkan lansia yang mengalami

Makna negatif pada hubungan penerimaan keluarga dengan frekuensi kekambuhan pada pasien skizofrenia memiliki makna terbalik yaitu apabila penerimaan keluarga buruk

dilakukan di taman kanak-kanak, karena dalam kegiatan melukis di atas. air ada beberapa hal yang dapat dilakukan pendidik antara lain: