BAB II
PERBUATAN PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
SEBAGAI SYARAT PENJATUHAN PIDANA
A. Konsep dan Unsur-unsur Perbuatan Pidana
Hukum pidana sebagai hukum sanksi mengatur tentang perbuatan yang
dilarang yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, karena itu hukum
pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara.
Hukum pidana sebagai hukum publik menjadi tugas dan kewajiban negara untuk
menerapkan sanksi pidana jika suatu perbuatan yang dilarang itu dilanggar.
Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana itu dalam bahasa
Belanda dikenal dengan istilah “Strafbaar feit” atau “delict”.
Istilah “strafbaar feit” diterjemahkan oleh banyak pakar hukum pidana, sebagaimana D. Simons menterjemahkan istilah tersebut, bahwa “strafbaar feit”
adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggungjawab D. Simons menterjemahkan, “strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggungjawab”.1
Berbeda dengan pemahaman Moeljatno, menterjemahkan “strafbaar feit” atau “delict” dengan memakai istilah “perbuatan pidana”, beliau mengatakan:
“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit: Pertama, adanya kejadian yang tertentu dan Kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.”2
Pandangan Moeljatno, tersebut di atas bahwa digunakannya istilah
perbuatan dari sifatnya yang abstrak menunjuk kepada dua hal yang konkrit harus
ada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana serta harus ada kaitan pula
antara perbuatan atau kelakuan orang dan akibat yang ditimbulkannya. Sedangkan
Van Hamel merumuskan starfbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafraawdig) dan dilakukan dengan kesalahan.”3
Lilik Mulyadi, mengungkapkan dalam kepustakaan ilmu hukum pidana,
istilah “strabaar feit” atau “delict” diterjemahkan, UUDS 1950 pengertian
strafbaar feit itu sebagai peristiwa pidana, Mr. Karni (Ringkasan tentang Hukum Pidana) sebagai perbuatan yang boleh dihukum, sedangkan MH. Tirtaamidjaja
(Pokok-pokok Hukum Pidana), sebagai pelanggaran pidana.4 Demikian pula
Utrecht menerjemahkan dari sudut pandang hukum pidana istilah delict yang ia artikan sebagai “peristiwa pidana” atau strafbaar feit, ialah suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHPidana, dilarangnya suatu kelakuan dan diancam dengan
hukuman apabila sudah ada undang-undang yang mengaturnya. Yaitu dimana
kelakuan yang bersangkutan dengan si pelaku yang membuatnya harus dilarang
dan diancam dengan sanksi pidana. Sependapat dengan Van Hattum yang
mengistilahkan strafbaar feit sebagai “peristiwa pidana” dan pelaku yang membuat peristiwa tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat dan sama sekali
tidak dapat dipisahkan (dat feit en persoon in het strafrecht onafscheidenlijk zijn).5 Jadi menurut Utrecht dari gambaran teoritis tersebut di atas, maka anasir-anasir
peristiwa pidana adalah:6
a. Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum
(onrechtmatig atau wederrechtelijk);
b. Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld
(van de overtreder) te wijten);
c. Suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar).
Menurut C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, yang mengikuti pandangan
Mr. R. Tresna dan E. Utrecht yang menggunakan istilah “peristiwa pidana” untuk
terjemahan “strafbaar feit” atau “delict”, menurut keduanya istilah tersebut yang
4 Lilik Mulyadi. Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus terhadap Proses Penydidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya menurut UU No.31 tahun 199), Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.16.
paling tepat dipakai untuk istilah tindak pidana adalah peristiwa pidana, bukan
saja yang berbuat atau bertindak tetapi juga yang tidak berbuat (melanggar
suruhan/gevolg) atau tidak bertindak.7 Hal ini tindak pidana mengenai berbuat atau yang tidak berbuat, disampaikan oleh Jan Remmelink, mengenai tindak
pidana yang merumuskan,
“bahwa tindak pidana sebaiknya dimengerti sebagai perilaku manusia (gedragingen: yang mencakup dalam hal ini berbuat maupun tidak berbuat) yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya – perilaku mana dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana.”8
Istilah peristiwa pidana dan tindak pidana yang di disetujui oleh C.T.S.
Kansil, yang mengikuti pandangan Utrech, menurutnya paling tepat digunakan
dalam istilah delict atau stafbaar feit. Namun pandangan tersebut tidak disetujui oleh Moeljatno, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, mengatakan:
“Istilah “peristiwa pidana” menurutnya, peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang. Hukum pidana tidak melarang orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Begitu pula dengan istilah Tindak Pidana yang tidak disetujui oleh Moeljatno, antara lain dikatakan bahwa “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka perundang-undangan yang memakai “tindak pidana” baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu memakai pula kata “perbuatan”.9
Pada perumusan peristiwa pidana dan tindak pidana menurut C.S.T Kansil
dan Christine S.T. Kansil dan juga pandangan Utrecht diatas terdapat kata
“berbuat” atau “kelakuan” yang intinya sama dengan apa yang menurut
7C.S.T. Kansil, Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana untuk Tiap Orang, PT. Pradnya Paramita, cet.pertama, Jakarta, 2004, hlm. 37.
8Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm, 86.
Moeljatno, sampaikan mengenai istilah perbuatan pidana, sehingga perdebatan
pengertian delict atau strafbaar feit dalam tulisan ini yang dipakai adalah perbuatan pidana.
Suatu perbuatan dapat dikatakan perbuatan pidana dan diancam dengan
pidana apabila perbuatan tersebut memiliki unsur-unsur tertentu yang
memenuhinya sehingga dapat dikatakan seseorang melakukan perbuatan pidana.
Adapun unsur-unsur atau elemen-elemen perbuatan pidana menurut buku yang
ditulis oleh Moeljatno adalah:10
1. Kelakuan dan akibat (= perbuatan)
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana 4. Unsur melawan hukum yang obyektif
5. Unsur melawan hukum yang subyektif.
Dengan demikian, ke-5 unsur-unsur sebagaimana yang telah diuraikan di
atas, menunjukkan bahwa suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan pidana
manakala terpenuhinya unsur-unsur tersebut dalam suatu perbuatan. Dapat
dikatakan pula, bahwa terpenuhinya unsus-unsur dalam suatu perbuatan pidana
harus bersifat kumulatif, kemudian untuk dapat dipidananya seorang pelaku
perbuatan pidana, Van Bemmelen, menyimpulkan sebagai syarat seorang pelaku
dapat dipidana yaitu bahwa perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan padanya,
perbuatan itu dapat dipertanggung jawabkan kepada si pelaku atau si pelaku
mampu bertanggung jawab, sebagaimana yang diatur dalam substansi Pasal 44
KUHP Bagian Umum Kitab Undang-Undang Pidana. Selanjutnya muncul dari
asas hukum umum, bahwa perbuatan itu dapat disesalkan pada si pelaku
(penyesalan dan perbuatan). Ketiga, bahwa untuk dapat dipidana diperlukan
syarat, bahwa perbuatan itu dilakukan secara melawan hukum.11
1. Sifat Melawan Hukumnya Suatu Perbuatan
Aspek penting dalam suatu perbuatan pidana yang dapat dipidana dan
melahirkan pemidanaan adalah bahwa perbuatan itu harus memenuhi salah satu
unsur yaitu sifat melawan hukumnya suatu perbuatan pidana.
Sifat melawan hukum dalam perbuatan pidana merupakan salah satu faktor
penentu seorang pelaku dapat dipidana atau tidak, akan tetapi Ny. Komariah
Emong, dalam bukunya “Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum
Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam
Yurisprudensi”, menjelaskan bahwa penetapan dalam isi rumusan perbuatan
pidana mengharuskan adanya unsur sifat melawan hukum atau dapat dicelanya
perbuatan tersebut tidak selalu dipenuhi dan tidak selalu dicantumkan dalam suatu
tuntutan, tetapi sebagai tanda tetap ada dengan terlihat dari kelakuan-kelakuan
tertentu, keadaan-keadaan tertentu, atau akibat-akibat tertentu yang dilarang atau
yang diharuskan sebagaimana diatur dalam undang-undang.12 Sebagaimana Ny.
Komariah Emong, mengutip pendapat Van Hamel dan Schaffmeister,
“sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana adalah bagian suatu pengertian yang umum…… Pembuat Undang-Undang Pidana tidak pernah menyatakan bagian ini, tetapi selalu merupakan dugaan, atau dengan kata-kata Schaffmesiter, karena itu pembuat Undang-undang, menurut pendapatnya, tidak perlu selalu mencantumkan sifat melawan hukum dan
11 Van Bemmelen, Hukum Pidana I(Hukum Pidana Material Bagian Umum), Penerbit edisi Indonesia pada Binacipta Anggota IKAPI, cet.pertama, Dordrecht, 1984, hlm. 99.
kesalahan dalam teks undang-undang; hal itu merupakan syarat umum bagi sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.” 13
Lebih lanjut Komariah Emong, menjelaskan bahwa pendapat mengenai
apakah sifat melawan hukum harus dicantumkan atau tidak dalam setiap rumusan
delik dalam kaitannya dengan pemahaman ajaran sifat melawan hukum formil dan
materiel dalam hukum pidana masih diperdebatkan. Ajaran formil, bahwa suatu
perbuatan menjadi tindak pidana apabila telah mecocoki semua unsur rumusan
tindak pidana, jika ada alasan pembenar, maka alasan-alasan tersebut juga harus
dengan tegas dinyatakan dalam undang-undang. Sebaliknya Ajaran Materiel,
bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal (mencocoki semua unsur yang
tercantum dalam rumusan delik), perbuatan tersebut harus benar-benar dirasakan
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela, karena itu pula ajaran
ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang.14 Demikian
mengenai hal tersebut, Soemadi Pradja berpendapat:
“dalam beberapa perumusan tindak pidana, pembentuk undang-undang telah memasukkan sifat melawan hukum sebagai elemen konstitutif khusus. Pembentuk undang-undang telah berbuat demikian, apabila ada ke khawatiran bahwa perbuatan itu walaupun telah adanya unsur-unsur konstitutif lain seringkali tidak dapat dikatakan sebagai melawan hukum. Demikian halnya, dalam asrt 350 Sr. Di mana dapat diingatkan pada kejadian dari pembongkar, yang berdasarkan kontrak-pembongkaran, telah membongkar rumah orang lain. Dengan sendirinya, apabila dikehendaki adanya sifat dapat dipidananya perbuatan itu, walaupun hal itu tidak dicantumkan secara tegas dalam perumusan tindak pidana. Tidak selalu, apabila kita dalam perumusan tindak pidana menjumpai kata seperti melawan hukum atau sifat melawan hukum, kita berhadapan dengan unsur konstitutif obyektif. Dalam art 310 Sr misalnya, sifat melawan hukum dicantumkan sebagai bagian dari keadaan dalam yang subyektif”.15
13 Ibid, hlm. 24. 14 Ibid.,hlm.24-25
Simons yang menganut paham sifat melawan hukum formil mengatakan,
bahwa seseorang dapat dipidana apabila ia memenuhi unsur melawan hukum yang
diatur dalam ketentuan Undang-Undang, dan apabila undang-undang dilanggar
maka orang tersebut dapat dijatuhkan pidana. Karena menurutnya, setiap orang
dianggap mengetahui undang-undang. Sedangkan Vos menjelaskan, yang mana
seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila memenuhi unsur
melawan materiil, karena sifat melawan hukum tersebut perbuatan tersebut tidak
patut dan dicela oleh masyarakat. Sebagaimana E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi
menerangkan alasan penganut sifat melawan hukum materiil dalam bukunya
mengatakan:
“bahwa delik itu tidak hanya mempersoalkan tindakan-tindakan yang terlarang saja, tetapi juga mempersoalkan, apakah pelaku dapat dicela
karena melakukan suatu tindakan yang tercela. Pelaku harus dipersalahkan (dicela) karena ia tidak menghindari (vermeden) melakukan tindakan yang tercela (verweten), yang berarti bersifat melawan hukum. Orang yang melakukan perbuatan yang terpuji, tidak dilarang. Seseorang yang menolong seseorang lainnya yang dalam keadaan bahaya, tidak dilarang malahan terpuji”.16
Indonesia tidak saja menganut unsur sifat melawan hukum secara formil,
tetapi juga menganut unsur sifat melawan hukum secara materiil. Sehingga tidak
saja suatu unsur dari perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut dilarang
dalam undang-undang, tetapi juga perbuatan tersebut dipandang tidak sesuai
dengan nilai-nilai dan kaidah di dalam kehidupan masyarakat. Karena pada
dasarnya setiap peraturan yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan aturan
tertinggi yaitu UUD 1945 yang berdasarkan ideologi Pancasila yang tidak lain
digali dari nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri.
Ny. Komariah mengatakan konsekuensi pencantuman unsur-unsur sifat
melawan hukum dalam rumusan delik, menyebabkan adanya beban pembuktian
bagi jaksa, karena berdasarkan tuntutan yang ia tuduhkan dengan pasal tertentu
mewajibkan untuk memuat unsur-unsur perbuatan pidana yang dituduhkannya
dalam surat dakwaan atau surat tuntutan, dan kemudian membuktikan
dakwaannya.17
Berdasarkan pemahaman tersebut diatas, unsur melawan hukum juga
menjadi bagian dari tindak pidana yang harus dicantumkan dalam surat dakwaan
yang kemudian harus dibuktikan terlebih dahulu dengan ketentuan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila hal tersebut tidak dapat
dibuktikan secara sah dan meyakinkan, maka hakim wajib membebaskan si
pelaku.
2. Alasan Pembenar
Ketentuan khusus dapat tidak dipertanggung jawabkannya seorang pelaku
dalam hukum pidana, dikenal dengan istilah alasan penghapusan pidana. Roeslan
Saleh, yang mengistilahkannya dengan alasan penghapusan pidana, menguraikan
alasan penghapusan pidana antara lain yaitu, Pertama adanya perbuatan yang terdapat dalam rumusan delik tersebut dipandang tidak bersifat melawan hukum
atau dengan kata lain adanya “alasan-alasan pembenar”, kedua perbuatannya memang sesuai dengan ketentuan dalam rumusan delik akan tetapi ia dipandang
tidak mempunyai kesalahan, atau dengan kata lain adanya “alasan pemaaf”.18
17 Ny. Komariah, Op.cit., hlm. 25.
Diantara dasar-dasar yang meniadakan hal melawan hukumnya suatu
perbuatan dan dapat dihukumnya perbuatan pidana, P.A.F Lamintang dan D.
Simons menjelaskan antara lain adalah dilakukannya sesuatu perbuatan karena
keadaan terpaksa (noodweer) yaitu di dalam keadaan-keadaan dimana perbuatan itu karena sesuatu hal ia dalam keadaan terancam dan tidak dapat dihindarinya
lagi, maka dilakukan perbuatan tersebut terpaksa untuk melindungi nyawa atau
harta benda dirinya sendiri.19 Keadaan semacam ini disebut dengan pembelaan
terpaksa atau dalam istilah Belanda dikenal dengan noodweer. Sebagaimana ketentuan dalam pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, menentukan syarat-syarat
dimana melakukan suatu perbuatan pidana untuk membela diri dapat dibenarkan.
Sehingga keadaan seperti ini disebut dengan alasan pembenar dan sifat melawan
hukumnya dapat ditiadakan, kemudian tidak dapat dituntut dengan
pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan pemahaman tersebut, alasan pembenar
merupakan alasan yang meniadakan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan
pidana, sehingga menjadi perbuatan yang dibenarkan.
Demikian menurut pandangan Van Bemmelen, sebagaimana dikutip oleh
Andi Hamzah, alasan pembenar dapat meniadakan unsur melawan hukum yang
mana perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana, apabila jika terjadi penyertaan
yaitu seseorang ikut serta sebagai pembantu, menyuruh melakukan, memancing
untuk melakukan perbuatan pidana, maka ia tidak dapat dipidana. Sehingga alasan
pembenar memiliki unsur obyektif, yaitu perbuatan pidana itu sendiri tidak dapat
dipidana.20
19 P.A.F. Lamintang, D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht), Penerbit Pionir Jaya, cet.pertama,1992, Bandung, hlm. 288.
Suatu alasan pembenar lain selain keadaan terpaksa atau dikenal dengan
istilah noodweer, adalah keadaan darurat (noodtoestand), di mana noodtoestand
menurut Mr.J.E. Jonkers yang dikutip oleh R. Soenarto, merupakan bentuk yang
ketiga dari daya paksa (overmacht) di samping daya paksa yang absolut tetapi juga daya paksa yang relatif,21 daya paksa (overmacht) sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 48 KUHP yang dijelaskan menurut R. Sugandhi, bahwa kalimat
“karena daya paksa” harus diartikan bahwa daya paksa tersebut daya paksa baik
secara batin, maupun secara lahir, rohani, dan jasmani. Adapun daya paksa yang
tidak dapat dilawan, ialah adanya kekuasaan yang lebih besar sehingga tidak
mungkin dapat ditentang.22 Kekuasaan yang lebih besar tersebut merupakan suatu
tekanan dari luar yang memaksa seseorang melakukan suruhan yang memiliki
kekuasaan tersebut, sehingga orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, hal ini Jan Remmelink mengatakan: “bahwa dalam sejarah perundang-undangan, overmacht merupakan alasan atau sebab eksternal yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan menggambarkannya sebagai setiap daya, dorongan, paksaan, yang membuat seseorang tidak berdaya menghadapinya.”23
Selain keadaan diatas, melaksanakan ketentuan undang-undang (wettelijk voorschrif) dan perintah jabatan sah (bevogoed gegeven ambtelijk) merupakan dasar penghapusan pidana atau merupakan alasan pembenar dari suatu sifat
melawan hukumnya perbuatan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 tentang
ketentuan undang-undang dan Pasal 51 ayat (1) KUHP tentang perintah jabatan.
Dimaksud dengan menjalankan undang-undang, R. Sugandhi menjelaskan bahwa
21 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Penerbit Rajawali Pers, Edisi kelima, Jakarta, 2006, hlm. 40.
22 R. Sugandhi, K.U.H.P Dengan Penjelasannya, Penerbit: Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm. 54.
tidak hanya terbatas pada perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang,
tetapi meliputi perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang
diberikan oleh suatu perundang-undangan. R. Sugandhi melanjutkan, mengingat
prinsip yang diletakkan di sini, bahwa apa yang harus diperintahkan oleh suatu
undang-undang, tidak mungkin diancam hukuman dengan undang-undang yang
lain, maka apabila seorang pegawai polisi yang menembak seorang tahanan yang
berbahaya kemudian melarikan diri, tidak dapat dipersalahkan karena mereka
dapat dianggap sebagai melakukan peraturan undang-undang.24
Mengenai perintah jabatan sebagaimana Pasal 51 ayat (1) KUHP, menurut
Jan remmelink dalam bukunya mengatakan:
“bahwa kewajiban untuk bertindak dengan cara tertentu muncul bukan atas dasar suatu aturan hukum umum, melainkan dari suatu perintah yang diberikan berdasarkan atas aturan tersebut. Selanjutnya, aturan yang menetapkan kewenangan memberi suatu perintah tidak mesti tertulis, karena ada juga yang tidak tertulis. Beranjak dari asas keselarasan tertib hukum, untuk keduanya berlaku ketentuan bahwa bilamana perintah tersebut dilaksanakan dan sekaligus suatu tindak pidana terjadi, maka sifat dapat dipidana tindakan tersebut akan hilamh karena di dalam tindakan tersebut tidak terkandung unsur melawan hukum.”25
B. Konsep dan Ruang Lingkup Pertanggungjawaban Pidana
Perbuatan pidana dan orang yang melakukan perbuatan memiliki hubungan
yang sangat erat, karena tidak mungkin ada perbuatan pidana jika tidak ada orang
yang melakukan perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang tersebut. Dalam
perspektif dualisme masalah pertanggung jawaban pidana akan menjadi hal yang
penting dibicarakan apabila dalam diri seseorang benar-benar telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bahwa ia memang melakukan perbuatan pidana.26 Sehingga
24 R. Sugandhi, Op.Cit., hlm. 60. 25 Jan Remmelink, Op.Cit., hlm. 253.
pelaku yang dapat bertanggung jawab dan kemudian dapat dibuktikan
kesalahannya secara sah menurut perundang-undangan yang berlaku dan
meyakinkan menurut hakim, dalam hukum pidana terhadap “melakukan sesuatu”
selalu dihubungkan dengan pertanggungjawaban yang melakukan atau tidak
melakukan perbuatan pidana. Menurut Roeslan Saleh, seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, apabila ia tidak melakukan
perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya dan karenanya tidak mungkin
dijatuhi hukuman pidana. Tetapi sebaliknya, meskipun dia melakukan perbuatan
pidana, belum tentu dia dapat dijatuhkan hukuman pidana.27 Kemudian Roeslan
Saleh mengatakan:
“adakalanya orang atau subyek tindak pidana tersebut telah melakukan perbuatan pidana, setelah dipertanggungjawabkan kepadanya perbuatan yang telah dilakukannya itu, maka ternyata bahwa ia tidak mempunyai kesalahan, sehingga orang itu tidak dipidana. Dasar dari tidak memidana orang itu adalah suatu asas hukum yang tidak tertulis, yang sudah umum dianut oleh negara-negara hukum termasuk Indonesia, yaitu “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.28
Karena untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan
keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya.29 Hal demikian ini
memang pada dasarnya seseorang tidak boleh dipidana apabila tidak melakukan
perbuatan yang dilarang hukum atau undang-undang yang disebut perbuatan
pidana, karena untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku perbuatan pidana harus
merupakan orang yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.
27 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 135. 28 Ibid, hlm. 137.
Untuk itu berdasarkan uraian diatas, meskipun seseorang telah berbuat dan
memenuhi unsur perbuatan pidana belum tentu pelaku telah melakukan perbuatan
pidana, oleh karena itu diperlukan unsur kesalahan yang merupakan
pertanggungjawaban pidana untuk dapat dipidananya seseorang. Adapun
seseorang yang melakukan perbuatan pidana akan tetapi ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan kesalahannya. Sebagaimana E.Y. Kanter dan S.R.
Sianturi menerangkan bahwa seorang pelaku perbuatan pidana yang telah
melakukan suatu perbuatan pidana, dapat saja dipidana atau bahkan dapat
dibebaskan. Pembebasan dikatagorikan menjadi dua macam, yaitu pembebasan
dari pemidanaan apabila tidak terdapat “kesalahan” atau dikenal dengan istilah
bahasa Belanda vrijspraak, dan pelepasan dari segala tuntutan bilamana dakwaan terbukti akan tetapi tidak adanya unsur melawan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).30
Hal demikian diatas dapat diartikan bahwa tidak setiap orang yang
melakukan perbuatan pidana dan memenuhi unsur-unsur di dalamnya, dapat
dipertanggung jawabkan yang dikarenakan ada beberapa ketentuan khusus
mengenai hal tersebut, sebagaimana Van Bemmelen mengemukakan ada dua
peristiwa di mana harus diputuskan pembebasan dari tuntutan hukum. Peristiwa
ini terjadi, jika bagian-bagian dari suatu perbuatan seperti yang dituntut, memang
ada tercantum dan dibuktikan dan juga memenuhi syarat dari semua bagian uraian
delik, akan tetapi ‘perbuatan’ itu ataupun ‘si pelaku’ karena satu atau lain sebab
tidak dapat di pidana.31
1. Kesalahan
Unsur kesalahan dalam hukum pidana merupakan asas yang tidak tertulis,
tetapi menempati posisi mutlak dapat dipidananya sutau perbuatan. Asas ini
terkenal dengan sebutan “geen straaft zonder schuld” yang mengindikasikan adanya kesengajaan (dolus, opzet) dan kealpaan (culpos).
Baik kesalahan itu disengaja (dolus, opzet) maupun karena kealpaan (culpos) berakibat hukum, pelaku atau si pembuat dapat dipidana sesuai dengan kesalahannya. Unsur kesalahan dalam suatu perbuatan pidana akan dilihat dari
niat atau sikap batin pelaku yang berkait erat dalam rumusan delik dengan sifat
melawan hukumnya sutau perbuatan, dikenal dalam hukum pidana sebagai
subyektif onrechts element dan akibat yang ditimbulkannya yang disebut obyektif onrechts element. Moeljatno, menyebutkannya sebagai keadaan lahir atau obyektif yang menyertai suatu perbuatan32. Misalnya, dalam tindak pidana korupsi atau
juga dalam tindak pidana pencucian uang, bahwa terdakwa tidak berhak dan tidak
memiliki kewenangan atas uang yang didapat. Karena uang yang didapat tidak
dilakukan dengan cara yang halal yang dibolehkan oleh hukum.
Sehingga kesalahan berkaitan dengan sikap batin yang menentukan
kesalahan seseorang tersebut sangat penting, karena perbuatan tidak membuat
orang bersalah kecuali jika terdapat sikap batin yang salah, jadi sikap batin yang
salah inilah kesalahan yang merupakan sifat subyektif dari tindak pidana, karena
berada di dalam diri si pelaku. Sehingga kesalahan (schuld) merupakan unsur
yang sangat penting untuk mengetahui bagaimana sikap batin dari si pelaku tindak
pidana.
Sebagaimana menurut Teguh dalam bukunya mengatakan, karena kesalahan
merupakan unsur yang bersifat subyektif dari tindak pidana, maka kesalahan juga
memiliki dua segi yaitu, segi psikologis dan segi yuridis.
“ditinjau dari segi psikologis kesalahan itu harus dicari di dalam batin pelaku, yaitu adanya hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Seorang gila yang melakukan perbuatan melawan hukum barangkali dapat dikatakan tidak memiliki hubungan batin antara dirinya dengan perbuatan yang dilakukan, sebab ia tidak menyadari akibat dari perbuatan itu. Untuk mengetahui sikap batin seseorang yang melakukan tindak pidana tentu saja kita tidak dapat memakai pendirian yang ekstrem bahwa hanya Tuhanlah yang tahu batin orang. Oleh karena itu, harus dipakai cara untuk mengetahuinya dengan menggeserkan kesalahan dalam pengertian psikologis menjadi kesalahan yang normatif, yaitu dengan melihat dari segi yuridis, artinya menurut ukuran yang biasanya dipakai di dalam masyarakat, dipakai ukuran dari luar untuk menetapkan ada tidaknya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya. Menurut Soedarto sebagaimana dikutip oleh Prof. Teguh, mengatakan secara ekstrem bahwa “kesalahan seorang pelaku tidak mungkin dapat dicari di dalam kepala si pelaku sendiri, melainkan di dalam kepala orang lain”, yaitu mereka yang memberikan penilaian adalah hakim pada waktu mengadili suatu perkara dengan mendasarkan pada apa yang didengar, dilihat, dan kemudian disimpulkan di dalam persidangan”.33
Menurut Jan Remmelink, keadaan tertentu yang menyertai adanya
kesalahan tidak dapat dihindari oleh hukum pidana yang berkembang dalam
konteks budaya. Menganggap kesalahan merupakan perilaku menyimpang yang
tidak dapat diterima dalam kehidupan masyarakat umum.
“bagaimanapun juga, kita tidak rela membebankan derita kepada orang lain, sekedar karena orang itu melakukan tindak pidana kecuali jika kita yakin bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu. Karena itu dapat juga diandaikan bahwa manusia dalam kondisi yang tidak terlalu abnormal, sepanjang ia memang menginginkannya, muncul sebagai mahluk yang memiliki akal budi serta sanggup dan mampu menaati norma-norma masuk akal yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai jaminan kehidupannya. Karena itu, kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat – yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu – terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya. Bereaksi secara tidak positif (berkehendak) terhadap tuntutan (perintah) masyarakat hukum dapat dikembalikan pada
tedelnswerte Rechtsgesinnung (pandangan tercela terhadap hukum), tiadanya rasa kebersamaan, atau ringkasnya, egoisme yang tidak dapat diterima dalam kehidupan masyarakat. Kemungkinan dapat dihindari (terjadinya) perilaku menyimpang merupakan lapis pertama untuk menetapkan kesalahan, suatu perbuatan harus memiliki sifat layak dipidana (strafwaardugheid) – dengan kata lain harus relevan dari sudut pandang hukum pidana.”34
2. Kemampuan bertanggungjawab
Ketentuan dalam KUHP pada umumnya tidak mengatur tentang
kemampuan bertanggungjawab, hal tersebut disampaikan oleh H.A. Zainal Abidin
Farid bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diseluruh dunia tidak dapat
ditemukannya pengaturan tentang kemampuan bertanggungjawab, akan tetapi
yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab
sebagaimana tertera dalam pasal 44 KUHP.35
Kemampuan bertanggungjawab atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan
istilah toerekeningsvatbaarheid menurut pendapat Sofjan Sastrawidjaja, ajaran mengenai kemampuan bertanggungjawab ini mengenai keadaan jiwa/batin
seseorang yang normal atau keadaan yang sehat ketika melakukan suatu perbuatan
pidana. Mengenai pengertian kemampuan bertanggungjawab, dalam KUHP
34 Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 142.
sebagaimana diuraikan diatas bahwa tidak ada ketentuan yang menyebutkan
tentang arti kemampuan bertanggungjawab. Sofjan menyebutkan dalam M.v.T
hanya menerangkan secara negatif bahwa,
“tidak mampu bertanggungjawab (ontoerekeningsvatbaarheid) dari pembuat adalah dalam hal pembuat tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang (dalam hal perbuatan yang dipaksa/dwanghandelingen) dan dalam hal pembuat ada di dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak mengerti akibat perbuatannya (nafsu patalogis/patholoigische drife, gila, pikiran tersesat, dan sebagainya.” 36
Sofjan melanjutkan, berdasarkan keterangan M.v.T tersebut yang
mengartikan kemampuan bertanggungjawab secara negatif, dapat dikatakan
bahwa pembentuk undang-undang mengambil sebagai pokok inti bahwa pada
umumnya seseorang memiliki jiwa atau batin yang normal atau sehat, sehingga
mampu bertanggungjawab atas perbuatannya.37
Kemampuan bertanggungjawab menurut Sutrisna dan I Gusti Bagus dalam
bukunya yang berjudul “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana (Tinjauan
terhadap Pasal 44 KUHP)”, sebagaimana mengutip pendapat Andi Hamzah,
mengatakan bahwa:
“di dalam hal kemampuan bertanggungjawab apabila dilihat dari keadaan batin pelaku perbuatan pidana, merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, karena orang yang normal atau sehat inilah yang kemudian dapat mengatur tingkah laku sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.”38
Demikian hal tersebut diatas, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan
bahwa kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan
36 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Penidaan Pidana, Penerbit Armico, Bandung, 1995, hlm. 181.
37 Ibid., hlm. 182.
jiwa (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir
(verstandelijke vermogens) dari seseorang, walaupun dalam istilah resmi digunakan dalam ketentuan Pasal 44 KUHP ialah verstandelijke vermogens yang dalam perkembangan doktrin para ahli hukum diterjemahkan dengan istilah
keadaan dan kemampuan jiwa seseorang.39
Sehingga berdasarkan pemahaman diatas, bahwa seseorang dianggap
mampu bertanggungjawab apabila sikap batin dan atau keadaan jiwa nya dalam
keadaan normal atau sehat melakukan suatu perbuatan pidana dan dapat
dikenakannya sanksi pidana terhadap dirinya.
Sutrisna dan I Gusti Bagus menjelaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 44
KUHP sebenarnya tidak merinci secara tegas mengenai kemampuan
bertanggungjawab, hanya dapat ditemukan menurut pandangan para ahli seperti
Van Hammel yang mengatakan:
“seseorang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu pertama dapat menginsyafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan; kedua, dapat menginsyafi bahwa perbuatannya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat, dan
ketiga, mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.”40
Sedangkan menurut D. Simons mengatakan:
“bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu menentukan kehendaknya.”41
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan
bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor yang sangat pokok, yaitu pertama
faktor akal yang membedakan antar perbuatan yang di perbolehkan dan yang
dilarang atau melanggar hukum, dan faktor kedua mengenai perasaan atau
kehendak yang menentukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya
dengan penuh kesadaran.
3. Sengaja dan Kelalaian
Suatu perbuatan tidak dapat membuat orang bersalah kecuali bila dilakukan
dengan niat jahat, yang mana asas tersebut dikenal dengan istilah Actus non facit reum, nisi mens sit rea. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil menterjemahkan dari kalimat tersebut diambil suatu ekspresi actus reus ini berarti kesengajaan atau kelalaian yang dilarang oleh hukum pidana, menurutnya ada 2 (dua) segi yang
menjadi masalah penting dalam asas actus reus dan mens rea ialah:42
a. Adanya perbuatan lahiriah sebagai penjelmaan dari kehendak, misalnya
perbuatan mengambil dalam perkara pencurian.
b. Kondisi jiwa, iktikad jahat yang melandasi perbuatan tadi.
Sehingga bentuk dari kesalahan adalah Sengaja (dolus, opzet) dan kelalaian
(culpos).
a. Dolus (Kesengajaan)
Kesengajaan merupakan salah satu unsur dari kesalahan, yang mana
unsur tersebut berkaitan dengan sikap batin si pelaku tindak pidana dan hal
tersebut dapat menentukan ia bersalah atau tidak dalam suatu peristiwa pidana
yang diakibatkan oleh si pelaku. Mengenai pengertian kesengajaan, di dalam
KUHP maupun Undang-undang tidak dapat ditemukan pengertian kesengajaan
itu sendiri. Pengertian kesengajaan dalam Memorie van Toelicting Swb
sebagaimana dikutip oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi mengatakan:
“yang dimaksud dengan kesengajaan adalah willens en wetens veroorzaken van een gevolg. Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsyafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya”.43
Sebagian besar perbuatan pidana mempunyai unsur kesengajaan (opzet)
bukan unsur culpa.Kesengajaan yang terkait dengan sikap batin pelaku, harus memenuhi ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu: Kesatu, perbuatan yang dilarang. Kedua, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan
ketiga, bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kesengajaan (opzet) ada 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut :44
1. Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk).
2. Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai
keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn).
3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn).
Berdasarkan uraian diatas, kesengajaan yang merupakan salah satu
bagian dari kesalahan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan kejiwaan
atau batin si pelaku terhadap perbuatannya dibandingkan dengan kelalaian.
Oleh karena itu sebagaimana dikatakan oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,
kesengajaan memiliki ancaman pidana jauh lebih berat dibandingkan dengan
perbuatan atas dasar kelalaian (culpa).45
Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, menjelaskan kesengajaan
terkadang tidak secara murni dengan “menghendaki” suatu perbuatan, akan
tetapi adakalanya mengenai keadaan-keadaan tertentu hanya diisyaratkan
bahwa pelaku telah mengetahui atau bahkan mengenal keadaan tersebut, hal ini
44 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, edisi ketiga, cet.pertama, Bandung, hlm. 66.
ketiganya menyampaikan pendapat Menteri dalam diskusi antara komisi
pelapor dan pemerintah mengatakan,
“Menteri membenarkan hal itu, tetapi menambahkan bahwa kesengajaan adalah arah yang disadari dari kehendak yang tertuju kepada kejahatan tertentu. Menghendaki dan mengetahui berarti seperti dalam percakapan sehari-hari yaitu “sengaja” dan “dengan diketahui dan dikehendaki” dicampuradukan”.46
Dimaksudkan dengan dikehendaki dan diketahui, Moeljatno dalam
bukunya menerangkan, ada teori mengenai 2 (dua) aliran tersebut, yaitu:47
a) Teori kehendak (wilstheorie) yaitu yang paling tua dan pada masa timbulnya teori yang lain mendapat pembelaan kuat dari von Hippel guru besar di Gottingen, Jerman, di Negeri Belanda antara lain dianut oleh
Simons, adalah kehendal yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan itu seperti dirumuskan dalam wet (de op verwerkelijking der wettelijke omshrijving gerichte wil); sedangkan menurut yang lain kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang
diperlukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bj voorstelling van de wettelijke omschrijving behoorende bestandelen).
b) Teori pengetahuan (voorstellingstheorie) yang kira-kira tahun 1910 diajarkan oleh Frank, guru besar di Tubingen, Jerman, dan mendapat sokongan von listiz. Di Nedherland penganutnya antara lain adalah von Hamel, yang ditulis oleh Pompe diambil dari rumusan Frank dan von Hippel, bahwa perbedaan tidak terletak pada kesengajaan untuk
mengadakan kelakuan (positif maupun negatif) itu sendiri yang oleh
dua-46 D. Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, cet.ke-1, Penerbit: Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 88.
duanya disebut sebagai kehendak, tetapi terletak dalam kesengajaan
terhadap unsur-unsur lainnya (sejauh harus diliputi kesengajaan), yaitu
akibat dan keadaan yang menyertainya.
Sengaja dengan maksud menurut van Hattum sebagaimana dikutip oleh
Andi Hamzah, ialah pelaku tersebut memang dengan sengaja menghendaki dan
mengetahui adanya akibat dari perbuatannya. Sedangkan Pompe mengatakan: “bahwa apabila orang mengartikan maksud (oogmerk) sebagai tujuan
(bedoeling) seperti rencana dan keinginan pembuat, berarti ada perbedaan antara maksud (oogmerk) dibatasi sampai tujuan terdekat
(naaste doel) dari pembuat, berarti pengertian maksud (oogmerk) selalu juga berarti sengaja (opzet), tetapi tidak setiap sengaja (opzet) juga merupakan maksud (oogmerk).”48
Sengaja dengan maksud oleh Vos, sebagaimana diterjemahkan oleh
Utrech dengan sengaja tanpa maksud, dalam bukunya menguraikan pendapat
Vos yakni :
“sengaja yang dimaksud adalah, apabila pembuat (dader) menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, andaikata pembuat sebelumnya sudah mengetahi bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi, maka sudah tentu ia tidak melakukan perbuatannya.”49
Sedangkan Gerson W. Bawengan, berpendapat bahwa kesengajaan
dengan kesadaran dengan pasti mengenai tujuan yang pelaku menghendaki
sesuatu tetapi terhalang oleh keadaan di luar perkirannya, kemudian untuk
mencapai niat yang ia kehendakinya tercapai, dengan cara menyingkirkan
penghalangnya secara ia sadari melawan hukum demi mencapai suatu tujuan
utama. Kemudian Gerson memberi contoh, bahwa si A hendak mencuri sebuah
kotak berisi berlian. Untuk melaksanakan niatnya, A harus memasuki kamar B
yang merupakan pemilik yang menjaga harta tersebut. Untuk tidak
menimbulkan kegaduhan si A membunuh si B menikamnya dengan sebilah
pisau.50
Dolus eventualis menurut Moeljatno, dikenal dengan teori “inkauf nehmen” atau op den koop toe nehmen. Menurutnya, dolus eventualis bukan mengenai kesengajaan melainkan akibat atau keadaan yang diketahuinya
kemungkinan akan timbul akibat yang tidak disetujuinya. Namun meskipuan
demi untuk mencapai tujuan yang dimaksud, resiko akan timbulnya akibat
yang tidak disetujuinya tetap diterima. Maka dari itu teori ini dinamakan
“inkauf nehmen” yang diterjemahkan menjadi “teori apa boleh buat”, sebab apabila resiko yang diketahui kemungkinan akan adanya itu sungguh-sungguh
timbul (di samping hal yang dimaksud), apa boleh buat ia juga berani pikul
resikonya. Jadi menurut teori ini, Moeljatno merumuskan untuk adanya dolus eventualis diperlukan 2 (dua) syarat, yaitu:51
1) Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang
merupakan delik.
2) Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul, ialah apa
boleh buat, dapat disetujui dan berani pikul resikonya.
Menurut Jan Remmelink, dalam menerapkan kesengajaan tidak boleh
dibatasi dan terlalu ketat untuk menetapkannya suatu perbuatan sebagai
perbuatan pidana. Namun dalam waktu yang bersamaan, tidak boleh dibiarkan
terlalu longgar dengan cara mengobyektivasi banyak unsur perbuatan pidana.
Remmelink mengatakan:
“hasil akhir yang diharapkan bukanlah tingkat ketelitian yang semakin tinggi, tapi justru kelenturan yang lebih besar. Hal ini dapat dicapai justru
50 Gerson W. Bawengan, Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek, Penerbit: PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 90.
tidak dengan cara menempatkan unsur-unsur atau faktor-faktor delik di dalam atau justru di luar lingkaran pengaruh dolus, melainkan menempatkan sebagian unsur-unsur tersebut ke dalam lingkaran pengaruh dolus, sebagian lainnya di obyektivasi, dan untuk bagian lainnya mengaitkannya dengan persyaratan culpa.”52
Pandangan diatas menggambarkan bahwa adanya perbarengan antara
unsur kesengajan dan unsur kealpaan dalam suatu perbuatan pidana, dalam
istilah hukum pidana dikenal dengan bahasa Belanda pro parte dolus pro parte culpa. Sebagaimana disampaikan juga oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi mengenai pro parte dolus pro parte culpa, bahwa suatu kejahatan tersebut sebagian unsurnya diliputi kesengajaan, tetapi unsur lainnya mungkin diliputi
oleh kesengajaan, tetapi mungkin pula diliputi oleh kealpaan.53
Pro parte dolus pro parte culpa dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 480 KUHP tentang Penadahan yang menggunakan frasa “mengetahui, atau
setidak-tidaknya patut menduganya bahwa” yang jelas mencakup baik dolus
sebagai kesadaran akan kemungkinan maupun culpa. Yang mana cara memperoleh dan seterusnya harus dilakukan dengan sengaja, sedangkan pelaku
sendiri tidak perlu mengetahui asal-usul barang tersebut yang diperoleh dari
kejahatan.54
b. Culpa (Kelalaian)
Suatu peristiwa pidana tidak selalu terjadi karena kesengajaan (opzet), akan tetapi dapat saja disebabkan karena kelalaian (culpa) seseorang, atau karena kurangnya kehati-hatian atau karena kesalahan. Mengenai kurang
kehati-hatian atau kurang berhati-hati, Sofjan Sastrawidjaja membagi menjadi
52 Jan Remmelink, Op.Cit., hlm. 165.
dua yang sebagaimana ia kutip dari pendapat Vos, yang mengemukakan dua
macam kurang berhati-hati (onvoorzichtigheid), yaitu:55
1. Pembuat tidak berkelakukan secara hati-hati menurut semestinya,
dengan contoh bahwa si A seorang tukang cat yang membersihkan
dan mencuci pakaian kerjanya di sebelah tempat perpian di dapur. 2. Pembuat memang berkelakukan sangat hati-hati, tetapi perbuatannya
pada pokoknya tidak boleh dijalankan. Sebagai contoh si A pada
perayaan tahun baru di rumahnya dengan sangat hati-hati menyalakan
mercon, tetapi sebetulnya ia tidak boleh menyalakan mercon itu
karena rumahnya terletak di sebelah pompa bensin.
Sehingga di dalam praktek unsur kurang berhati-hati dalam pengertian
menurut kedua point di atas, dapat dilihat sebagai suatu hubungan erat dengan
kealpaan (culpos), oleh karena itu sudah selayaknya jaksa harus menuduhkan dan membuktikan tentang perbuatan si pelaku yang kurang berhati-hati
tersebut.
Definisi culpa atau kelalaian tidak dapat ditemukan dalam undang-undang maupun KUHP, hanya dalam Memori Penjelasan menjelaskan, bahwa
kelalaian (culpa) terletak antara kesengajaan dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa merupakan sifat yang dipandang lebih ringan dibanding dengan kesengajaan. Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa sebagaimana dikutip oleh
Prof. Andi Hamzah, mengatakan :
“bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan kata Hazewinkel-Suringa dikenal pula di negara-negara Anglo-Saxon yang disebut per infortuninum the killing occured
accidenly. Dalam Memori Jawaban Pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya sedangkan siapa karena salahnya
(culpa) melakukan kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan”.56
Berdasarkan uraian diatas, diartikan bahwa perbuatan pidana atas dasar
karena kelalaian seseorang maka dapat mempengaruhi berat atau ringannya
suatu penjatuhan pidana. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 231 KUHP ayat
(1) yang dilakukan dengan sengaja penjatuhan pidananya lebih berat
dibandingkan dengan penjatuhan pidana karena orang tersebut lalai,
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 231 KUHP ayat (4) yang menggunakan
istilah kelalaian, penjatuhan pidananya lebih ringan.
4. Alasan Pemaaf
Alasan penghapusan pidana, ada yang berdasarkan pidana umum menurut
undang-undang dan penghapus pidana umum di luar undang-undang. Adapun
pidana umum menurut undang-undang adalah, tidak mampu bertanggungjawab,
daya paksa dan keadaan darurat, pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa
melampaui batas, berdasarkan peraturan undang-undang, dan perintah jabatan.
Sedangkan alasan penghapus pidana umum di luar undang-undang ialah, izin;
tidak adanya kesalahan sama sekali (tanpa sifat tercela, diakronimkan menjadi
tanpa sila); dan tidak ada sifat melawan hukum materiel. Schaffmeister, N.
Keijzer, dan PH. Sutorius, mengemukakan:
“dalam literatur ilmiah alasan penghapus pidana lazim dibagi dalam dua jenis, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Kalau ada alasan pembenar, maka sifat melawan hukum umum tidak ada, dan kalau ada alasan pemaaf, maka sifat dapat dicela tidak ada. Bertalian dengan pembagian tersebut,
pertama, tidak menjadi keharusan pembentuk undang-undang hanya menghendaki dihapuskannya pidana kalau sifat melawan hukum atau sifat dapat dicela tidak ada. Juga dapat dipikirkan bahwa dalam situasi-situasi
tertentu karena alasan lain yang bersifat politik hukum, pembentuk undang-undang tidak mehendaki dijatuhkannya pidana. Kedua, meskipun alasan penghapusan pidana pada umumnya mengenai sifat melawan hukum atau sifat dapat dicela, tetapi ini tidak berarti bahwa kedua sifat itu terhapus
seluruhnya karena itu”.57
Dasar penghapusan pidana dengan alasan pemaaf, dikarenakan pelaku
perbuatan pidana tersebut tidak mampu bertanggungjawab sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 44 KUHP, menyatakan bahwa orang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam dua hal yaitu jiwanya yang cacad atau terganggu
karena penyakit. Hal ini disampaikan oleh Andi Zainal Abidin, yang mengatakan
jiwa yang cacad dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit merupakan
unsur ketidakmampuan seseorang dalam bertanggungjawab, sehingga
menghapuskan kesalahannya yang dalam arti luas dan oleh karena itu termasuk
alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond).58 Menurut Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Andi Zainal Abidin, bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah
suatu keadaan yang normalitas psikis dan kematangan dalam berfikir, yang
memiliki 3 (tiga) macam kemampuan, yaitu sebagai berikut : pertama, seorang pelaku yang memahami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri. Kedua, seorang pelaku perbuatan yang menyadari perbuatannya sebagai sesuatu yang tidak
diperbolehkan oleh masyarakat. Dan ketiga, seseorang yang terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya.59
Jadi ketidakmampuan bertanggung jawab memerlukan pembuktian selain
dari perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakit yang disebabkan
57 Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, Op.Cit., hlm. 56-57.
58 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm. 223.
gangguan kejiwaan, juga syarat adanya hubungan sebab akibat antara penyakit
jiwa dan perbuatan pidana.60 Hal demikian menurut Wirjono Prodjodikoro,
meniadakan pemidanaan karena alasan pemaaf, bahwa semua perbuatan yang
dilakukan memenuhi unsur perbuatan pidana sehingga menimbulkan peristiwa
pidana, termasuk sifat melawan hukum tetap ada, tetapi ada hal-hal khusus yang
menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena berkaitan
dengan pribadi si pelaku.61
Ketentuan khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya karena hal tersebut melekat dengan pribadi seorang
pelaku atau persoon ini, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan hal memaafkan pelaku yang termuat dalam beberapa pasal yaitu:62
1. Pasal 44 KUHP yang mengatakan tidak dapat dihukum seorang yang
perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada orang itu
berdasar kurang bertumbuhnya atau ada gangguan penyakit pada daya
berpikir seorang pelaku itu.
2. Pasal 48 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seorang yang
untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan , di dorong oleh sesuatu
paksaan yang tidak dapat dicegah (overmacht).
3. Pasal 49 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seoang yang
melanggar batas membela diri disebabkan oleh keguncangan jiwa karena
akibat serangan terhadap dirinya (noodweer exces).
4. Pasal 51 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa suatu perintah jabatan
yang tidak sah (onbevoegdelijk, gegeven ambtelijk bevel) tidak
60 Ibid., hlm. 225.
menghilangkan sifat pidana, kecuali apabila si pelaku sebagai orang
bawahan secara jujur mengira bahwa si pemberi perintah memiliki
wewenang untuk itu, dan lagi perbuatan yang bersngkutan berada dalam
lingkungan pekerjaan orang bawahan tadi.
Demikian hal tersebut diatas yang dimaksud melekat dengan pribadi
seorang pelaku perbuatan pidana yang dapat dikatakan adanya hal memaafkan
pelaku, atau dalam istilah Belanda dikenal dengan fait d’excuse.
C. Tindak Pidana Pencucian Uang dari Prespektif Hukum Pidana Islam (Jinayat)
Hukum Pidana Islam dalam fiqih islam dibahas dengan istilah Al-Jinnayat,
pengertian dari Jinnayat sendiri ialah bentuk jamak dari kata Jinnayah, yang
artinya perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran.63 Ahmad Wardi Muslich,
dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pidana Islam” mengatakan fiqh jinayah
adalah ilmu tentang hukuman syara yang berkaitan dengan masalah perbuatan
yang dilarang atau yang dapat disebut dengan Jarimah dan hukumannya atau
‘uqubah yang diambil dari dalil-dalil terperinci.64 Kemudian dapat dikatakan pembahasan fiqh Jinnayah secara garis besar ada 2 (dua) yaitu jarimah atau perbuatan pidana dan ‘uqubah atau hukumannya.
63 Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam), Edisi Revisi, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 1.
Adapun menurut sistem hukum pidana islam, Marsum menyebutkan
Jarimah dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:65
1. Jarimah hudud, yaitu jarimah yang baik perbuatannya maupun
hukumannya sudah ditentukan oleh nash (Qur’an dan Hadist), manusia
tidak boleh menambah dan mengurangi, jadi hanya melaksanakan apa
yang ditentukan oleh nash. Termasuk dalam kelompok ini adalah
perzinahan, penuduhan zina yang tidak terbukti, minuman yang
memabukkan, pencurian, perampokan, murtad dan pemberontakan.
2. Jarimah qisos/diyat, yaitu jarimah yang berkenaan dengan nyawa dan
diri manusia. Jarimah ini baik perbuatannya maupun hukumannya juga
sudah ditentukan oleh nash, dan manusia hanya melaksanakan apa yang
ditentukan oleh nash. Termasuk ke dalam golongan ini ialah
pembunuhan sengaja, pembunuhan serupa sengaja, pembunuhan silap,
penganiayaan sengaja dan penganiayaan silap.
3. Jarimah Ta’zir, yaitu jarimah yang hukumannya diserahkan kepada
manusia, yaitu pihak Pemerintah atau Hakim yang diberi wewenang
untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku jarimah ta’zir. Perbuatan
yang tidak termasuk ke 2 kelompok di atas, termasuk ke dalam
kelompok Jarimah Ta’zir. Adapun 2 macam Jarimah Ta’zir, yaitu:
a. Jarimah yang macam perbuatannya sudah ditenukan oleh nash,
tetapi hukumannya diserahkan kepada manusia. Misalnya ialah
perbuatan memfitnah, mengecoh timbangan, menyuap,
menimbun bahan makanan, termasuk dilarang oleh Al-Qur’an
maupun oleh Hadist, tetapi hukumannya tidak disebutkan di
dalamnya.oleh karena itu manusia diberi wewenang untuk
menghukum pelaku perbuatan Jarimah tersebut.
b. Selanjutnya jarimah yang baik macam perbuatannya maupun
hukumannya diserahkan kepada manusia. Misalnya,
peraturan-peraturan yang mengatur lalu lintas, tata tertib kependudukan
dsb, tidak ada pengaturannya dalam nash.
Adapun hukuman Ta’zir adalah hukuman yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukum Ta’zir dijatuhkan dengan mempertimbangan berat dan ringannya perbuatan pidana, situasi dan kondisi
masyarakat. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir tidak diterapkan secara
definitive, melainkan melihat situasi dan kondisi, dan bagaimana perbuatan jarimah terjadi, kapan waktunya, siapa korbanya dan sanksi apa yang pantas
dikenakan demi menjamin ketentraman dan kemaslahatan umat.66 Sebagaimana
dikatakan oleh A. Djazuli, ta’zir berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran.
Disebut dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si
terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah dengan kata lain agar membuatnya
jera.67
Berdasarkan pengertian dan penjelasan di atas, maka dapat diketahui
bahwasanya pidana yang hukumannya belum ditentukan dalam ketentuan syara’
66 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Sukses Offset, Yogyakarta, hlm. 4
adalah Jarimah Ta’zir. kemudian adapun kriteria untuk menjatuhkan jarimah ta’zir
Menurut Ahmad Wardi Muslich, yaitu:68
a. Adanya unsur merugikan kepentingan umum;
b. Perbuatan tersebut mengganggu kepentingan dan ketertiban umum;
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perbuatan yang termasuk
ke dalam jarimah hudud dan qishos diyat bersifat limitatif, artinya hanya pada
delik-delik tertentu saja yang sudah ditentukan oleh nash. Delik-delik yang
termasuk kedua Jarimah tersebut terikat oleh syarat-syarat tertentu. Oleh karena
kejahatan pencucian uang merupakan sebagai kejahatan yang berakibat pada
kemudhorotan yang besar, dapat dimasukan ke dalam jarimah ta’zir yang diancam
dengan hukuman ta’zir yang selain hudud dan qishash diyat, di mana
pelaksanaannya baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nash atau tidak, baik
perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan hukumnya diserahkan
sepenuhnya kepada penguasa.69
Untuk hukuman bagi terpidana pencucian uang ini sepenuhnya diserahkan
kepada hakim sesuai dengan berat ringannya jarimah dan keadaan terpidana,
sebagaimana menurut Ahmad Hasan Hanafi yang dikutip oleh Ari Wibowo dalam
sebuah makalah yang berjudul “tindak pidana pencucian uang dalam Hukum
Islam” yang disampaikan di pondok pesantren UII, mengatakan bahwa:70
68 Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., hlm. 251.
69 http://pesantren.uii.ac.id/content/view/33/52/1/1/ diakses tanggal 12 Maret 2014, jam 14.00