• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Kombinasi Alginat dengan Omperazol terhadap Penyembuhan Ulkus Lambung Tikus yang Diinduksi dengan Aspirin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efek Kombinasi Alginat dengan Omperazol terhadap Penyembuhan Ulkus Lambung Tikus yang Diinduksi dengan Aspirin"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK KOMBINASI ALGINAT DENGAN OMEPRAZOL

TERHADAP PENYEMBUHAN ULKUS LAMBUNG TIKUS

YANG DIINDUKSI DENGAN ASPIRIN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

Sukma Bahri Sihotang

NIM 111501119

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EFEK KOMBINASI ALGINAT DENGAN OMEPRAZOL

TERHADAP PENYEMBUHAN ULKUS LAMBUNG TIKUS

YANG DIINDUKSI DENGAN ASPIRIN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SUKMA BAHRI SIHOTANG

NIM 111501119

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EFEK KOMBINASI ALGINAT DENGAN OMEPRAZOL

TERHADAP PENYEMBUHAN ULKUS LAMBUNG TIKUS

YANG DIINDUKSI DENGAN ASPIRIN

OLEH:

SUKMA BAHRI SIHOTANG NIM 111501119

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 3 September 2015

Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. Prof. Dr. Karsono, Apt. NIP 195201171980031002 NIP 195409091982011001

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. Pembimbing II, NIP 195201171980031002

dr. Alya Amila Fitrie, M.Kes., Sp.PA Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. NIP 197610042001122002 NIP 195504241983031003

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan

anugerah dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi yang

berjudul “Efek Kombinasi Alginat dengan Omperazol terhadap Penyembuhan Ulkus Lambung Tikus yang Diinduksi dengan Aspirin”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar

Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku

Pejabat Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan fasilitas dan masukan selama masa pendidikan dan penelitian,

kepada Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., dan dr. Alya Amila Fitrie, M.Kes., Sp.PA.,

selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan,

dan bantuan selama masa penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Karsono.,

Apt., Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan

skripsi ini serta kepada Drs. Nahitma Ginting, M.Si., Apt., selaku dosen

pembimbing akademik yang selalu membimbing selama masa pendidikan.

Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah

mendidik selama perkuliahan. Ibu kepala Laboratorium Farmasi Fisik yang

(5)

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus dan

tak terhingga kepada Ayahanda Tumbur Sihotang dan Ibunda Riswan

Sigalingging yang tiada hentinya mendoakan, memberikan semangat, dukungan

dan berkorban dengan tulus ikhlas bagi kesuksesan penulis, kepada kakak Rimbun

Sihotang dan adik-adikku Parulian Sihotang dan Ilham Sihotang, teman-teman di

Laboratorium Farmasi Fisik, teman-teman di Laboratorium Teknologi Sediaan

Farmasi II, dan sahabat-sahabatku Feby, Albert, Ridha, Benny, Dian, Arifandi,

Amos, Virginia, Kiky, Ditta, Ardiansyah, Muammar, Sofian, Ririn dan Annisa

yang selalu memberikan dorongan dan motivasi selama penulis melakukan

penelitian.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna,

sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk

penyempurnaannya. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi dan berguna bagi alam semesta.

Medan, Oktober 2015 Penulis,

(6)

EFEK KOMBINASI ALGINAT DENGAN OMEPRAZOL TERHADAP PENYEMBUHAN ULKUS LAMBUNG TIKUS

YANG DIINDUKSI DENGAN ASPIRIN ABSTRAK

Latar Belakang: Ulkus lambung merupakan salah satu penyakit pada lambung yang paling sering terjadi. Penyakit ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor pertahanan dan perusak dari mukosa lambung. Alginat memiliki kemampuan sebagai sitoprotektif dan dapat meregenerasi jaringan pada mukosa lambung tikus. Omeprazol merupakan obat yang dapat mengurangi sekresi asam lambung sehingga proses perbaikan sel epitel lambung dapat terjadi lebih cepat. Tujuan: Untuk mengetahui efek kombinasi alginat dengan omeprazol terhadap penyembuhan ulkus lambung tikus yang diinduksi dengan aspirin. Metode: Percobaan ini menggunakan 126 ekor tikus jantan dengan berat badan 150-200 g. Sebelum pengujian semua tikus dipuasakan selama 36 jam, kemudian diinduksi dengan aspirin 400 mg/kg bb secara oral. Setelah diinduksi tikus dibagi ke dalam 4 kelompok dan menerima pengobatan setiap hari. Kelompok 1 (kontrol negatif), tanpa pengobatan. Kelompok 2 (kontrol positif), menerima 1% sirup alginat. Kelompok 3 (kontrol positif), menerima 1% suspensi omeprazol. Kelompok 4 (sediaan uji), menerima 1% suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol. Tikus dibunuh pada hari ke 3, 7, 10, 14 dan 16, kemudian diambil lambung untuk diamati secara makroskopis dan mikroskopis (histologi).

Hasil: Semua tikus yang diinduksi dengan aspirin menyebabkan ulkus lambung. Sirup alginat, suspensi omeprazol dan suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol mempunyai efek penyembuhan terhadap ulkus lambung, tetapi efek penyembuhan dengan pemberian suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol lebih cepat dibandingkan sirup alginat dan suspensi omeprazol. Tikus yang menerima suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (kelompok 4) telah sembuh pada hari ketiga ditandai dengan rata-rata jumlah ulkus dan indeks ulkus adalah 0, sedangkan tikus yang menerima sirup alginat (kelompok 2) pada hari ketiga rata-rata jumlah ulkus dan dan indeks ulkus adalah 3,27 dan 0,0131 dan telah sembuh pada hari ketujuh dengan jumlah dan indeks ulkus adalah 0. Begitu juga tikus yang menerima suspensi omeprazol (kelompok 3) pada hari ketiga rata-rata jumlah ulkus dan indeks ulkus adalah 2,0 dan 0,00078 dan telah sembuh pada hari ketujuh dengan jumlah dan indeks ulkus adalah 0. Tikus tanpa pengobatan belum sembuh sempurna sampai hari keenambelas, yang mana jumlah dan indeks ulkus adalah 2,5 dan 0,0092.

Kesimpulan: Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol lebih cepat menyembuhkan ulkus lambung tikus yang diinduksi dengan aspirin dibandingkan dengan sirup alginat dan suspensi suspensi omeprazol.

(7)

THE EFFECT OF COMBINATION ALGINATE AND OMEPRAZOLE IN HEALING RATS GASTRIC ULCER ON ASPIRIN-INDUCED

ABSTRACT

Background: Gastric ulcers is one of the most widespread stomach diseases. Gastric ulcer caused by an imbalance between destructive and protective factors of the gastric mucosa. Alginate has a cytoprotective ability and can regenerate tissue in the gastric mucosa. Omeprazole is a subtance that can reduce the secretion of stomach acid in order to repair gastric epithelial cells can occur more quickly.

Purpose: To determine the effect of combination alginate and omeprazole suspension in healing of rats gastric ulcer induced by aspirin.

Methods: This experiment uses 126 male rats with weighing 150-200 g. All of rats were fasted for 36 hours before the test, then the rats were orally induced by aspirin 400 mg/kg body weight. After induced rats were divided into 4 groups and receive treatment everyday. First group (negative control), without treatment. Second group (positive control), received 1% alginat syrup. Third group (positive control), received 1% omeprazole suspension. Fourth group, received 1% combination of alginate and omeprazole suspension. Rats were killed in 3rd, 7th, 10th, 14th and 16th day then observed macroscopically and microscopically (histology).

Results: All of rats induced by aspirin caused gastric ulcer. Alginate syrup, omeprazole suspension and combination of alginate and omeprazole suspension have healing effect to gastric ulcer, but the healing effect by the combination of alginate and omeprazole suspension was faster than alginate syrup and omeprazole suspension. Rats that received the combination of alginate and omeprazole suspension healed on the 3rd day is marked with a number of ulcers and ulcer index was 0, while rats that received alginate syrup on the 3rd day, number of ulcers and ulcer index was 3.17 and 0,0131 and healed on the 7th day the number of ulcers and ulcer index was 0. Likewise, rats that received omeprazole suspension on the 7th day the number of ulcers and ulcer index was 2.0 and 0.0078 and healed on the 7th day the number of ulcers and ulcer index was 0. Rats without treatment had not healed until the 16th day, where the number of ulcers and ulcer index was 2.5 and 0.0092.

Conclusion: The results of this study concluded that the combination of alginate and omeprazole suspension is faster healing of gastric ulcer caused by aspirin than alginate syrup and omeprazole suspension.

(8)
(9)

2.2.3.1 Serosa ... 16

2.2.3.2 Lapisan berotot atau muskularis eksterna ... 16

2.2.3.3 Lapisan submukosa ... 17

2.2.3.4 Lapisan mukosa ... 18

2.2.4 Mekanisme pertahanan mukosa lambung ... 20

2.1.4.1 Mukus lambung ... 22

2.1.4.8 Mekanisme neurohormonal ... 28

2.3 Ulkus Lambung ... 29

2.3.1 Defenisi ulkus lambung ... 29

2.3.2 Patofisiologi ... 30

2.3.3 Gambaran klinis ... 36

2.3.4 Komplikasi ... 37

2.3.5 Mekanisme penyembuhan ulkus lambung ... 39

2.4 Asam Asetilsalisilat (Aspirin) ... 40

2.4.1 Uraian bahan ... 40

2.4.2 Mekanisme terjadi ulkus pada lambung ... 41

2.5 Alginat ... 42

(10)

2.5.2 Sifat dan kegunaan alginat ... 44

3.3.3 Pembuatan supensi omeprazol ... 55

3.3.4 Pembuatan suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol ... 56

3.3.5 Hewan percobaan ... 56

3.3.6 Pembuatan ulkus pada tikus ... 56

3.3.7 Penyembuhan ulkus pada tikus ... 57

3.3.8 Pembuatan preparat mikroskopik ... 58

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 60

4.1 Penginduksian Ulkus Lambung dengan Suspensi Aspirin 400 mg/kg BB ... 60

(11)

4.2.1 Pengamatan makroskopis lambung tikus ... 61

4.2.2 Pengamatan makroskopis lambung tikus pada hari ketiga ... 65

4.2.3 Pengamatan makroskopis lambung tikus pada hari ketujuh ... 67

4.2.4 Pengamatan mikroskopis lambung tikus ... 68

4.2.4.1 Pengamatan mikroskopis lambung tikus pada hari ketiga ... 69

4.2.4.2 Pengamatan mikroskopis lambung tikus pada hari ketujuh ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

5.1 Kesimpulan ... 72

5.2 Saran ... 72

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 2.1 Pengelompokan hewan dan jadwal pembedahan ... 57

4.1 Jumlah ulkus rata-rata pada masing-masing kelompok ... 62

(13)

DAFTAR GAMBAR

4.6 Gambaran histologis jaringan lambung tikus kelompok kontrol ulkus dengan pewarnaan HE, perbesaran 10x10 ... 68

(14)
(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1. Gambar mukosa lambung tikus yang hanya diberi aspirin ... 77

2. Gambar mukosa lambung tikus tanpa pengobatan (3 hari) ... 78

10. Gambar mukosa lambung tikus yang diberi sirup alginat 1% (14 hari) ... 86

(16)

18. Gambar mukosa lambung tikus yang diberi suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (3 hari) ... 94

19. Gambar mukosa lambung tikus yang diberi suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (7 hari) ... 95

20. Gambar mukosa lambung tikus yang diberi suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (10 hari) ... 96

21. Gambar mukosa lambung tikus yang diberi suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (14 hari) ... 97

22. Gambar mukosa lambung tikus yang diberi suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (16 hari) ... 98

23. Gambar histologi jaringan lambung tikus yang diberi suspensi aspirin 400 mg/kgBB ... 99

24. Gambar histologi jaringan lambung tikus tanpa pengobatan

(3 hari) ... 100

25. Gambar histologi jaringan lambung tikus tanpa pengobatan

(7 hari) ... 101

26. Gambar histologi jaringan lambung tikus tanpa pengobatan

(10 hari) ... 102

27. Gambar histologi jaringan lambung tikus tanpa pengobatan

(14 hari) ... 103

28. Gambar histologi jaringan lambung tikus tanpa pengobatan

(16 hari) ... 104

32. Gambar histologi jaringan lambung tikus yang diberi suspensi

omeprazol 0,036% (3 hari) ... 108

33. Gambar histologi jaringan lambung tikus yang diberi suspensi

(17)

34. Gambar histologi jaringan lambung tikus yang diberi suspensi

omeprazol 0,036% (10 hari) ... 110

35. Gambar histologi jaringan lambung tikus yang diberi suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (2 hari) ... 111

36. Gambar histologi jaringan lambung tikus yang diberi suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (3 hari) ... 112

37. Gambar histologi jaringan lambung tikus yang diberi suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (7 hari) ... 113

38. Perhitungan indeks ulkus (IU) ... 114

39. Uji normalitas data ... 146

40. Analisis uji kruskal-wallis ... 147

41. Uji mann-whitney ... 149

42. Posisi tikus sebelum dan setelah dibedah ... 154

43. Gambar alat-alat bedah ... 155

44. Gambar mikrotom dan mikroskop ... 156

45. Gambar sediaan ... 157

46. Surat ethical clearance ... 159

(18)

EFEK KOMBINASI ALGINAT DENGAN OMEPRAZOL TERHADAP PENYEMBUHAN ULKUS LAMBUNG TIKUS

YANG DIINDUKSI DENGAN ASPIRIN ABSTRAK

Latar Belakang: Ulkus lambung merupakan salah satu penyakit pada lambung yang paling sering terjadi. Penyakit ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor pertahanan dan perusak dari mukosa lambung. Alginat memiliki kemampuan sebagai sitoprotektif dan dapat meregenerasi jaringan pada mukosa lambung tikus. Omeprazol merupakan obat yang dapat mengurangi sekresi asam lambung sehingga proses perbaikan sel epitel lambung dapat terjadi lebih cepat. Tujuan: Untuk mengetahui efek kombinasi alginat dengan omeprazol terhadap penyembuhan ulkus lambung tikus yang diinduksi dengan aspirin. Metode: Percobaan ini menggunakan 126 ekor tikus jantan dengan berat badan 150-200 g. Sebelum pengujian semua tikus dipuasakan selama 36 jam, kemudian diinduksi dengan aspirin 400 mg/kg bb secara oral. Setelah diinduksi tikus dibagi ke dalam 4 kelompok dan menerima pengobatan setiap hari. Kelompok 1 (kontrol negatif), tanpa pengobatan. Kelompok 2 (kontrol positif), menerima 1% sirup alginat. Kelompok 3 (kontrol positif), menerima 1% suspensi omeprazol. Kelompok 4 (sediaan uji), menerima 1% suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol. Tikus dibunuh pada hari ke 3, 7, 10, 14 dan 16, kemudian diambil lambung untuk diamati secara makroskopis dan mikroskopis (histologi).

Hasil: Semua tikus yang diinduksi dengan aspirin menyebabkan ulkus lambung. Sirup alginat, suspensi omeprazol dan suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol mempunyai efek penyembuhan terhadap ulkus lambung, tetapi efek penyembuhan dengan pemberian suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol lebih cepat dibandingkan sirup alginat dan suspensi omeprazol. Tikus yang menerima suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol (kelompok 4) telah sembuh pada hari ketiga ditandai dengan rata-rata jumlah ulkus dan indeks ulkus adalah 0, sedangkan tikus yang menerima sirup alginat (kelompok 2) pada hari ketiga rata-rata jumlah ulkus dan dan indeks ulkus adalah 3,27 dan 0,0131 dan telah sembuh pada hari ketujuh dengan jumlah dan indeks ulkus adalah 0. Begitu juga tikus yang menerima suspensi omeprazol (kelompok 3) pada hari ketiga rata-rata jumlah ulkus dan indeks ulkus adalah 2,0 dan 0,00078 dan telah sembuh pada hari ketujuh dengan jumlah dan indeks ulkus adalah 0. Tikus tanpa pengobatan belum sembuh sempurna sampai hari keenambelas, yang mana jumlah dan indeks ulkus adalah 2,5 dan 0,0092.

Kesimpulan: Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol lebih cepat menyembuhkan ulkus lambung tikus yang diinduksi dengan aspirin dibandingkan dengan sirup alginat dan suspensi suspensi omeprazol.

(19)

THE EFFECT OF COMBINATION ALGINATE AND OMEPRAZOLE IN HEALING RATS GASTRIC ULCER ON ASPIRIN-INDUCED

ABSTRACT

Background: Gastric ulcers is one of the most widespread stomach diseases. Gastric ulcer caused by an imbalance between destructive and protective factors of the gastric mucosa. Alginate has a cytoprotective ability and can regenerate tissue in the gastric mucosa. Omeprazole is a subtance that can reduce the secretion of stomach acid in order to repair gastric epithelial cells can occur more quickly.

Purpose: To determine the effect of combination alginate and omeprazole suspension in healing of rats gastric ulcer induced by aspirin.

Methods: This experiment uses 126 male rats with weighing 150-200 g. All of rats were fasted for 36 hours before the test, then the rats were orally induced by aspirin 400 mg/kg body weight. After induced rats were divided into 4 groups and receive treatment everyday. First group (negative control), without treatment. Second group (positive control), received 1% alginat syrup. Third group (positive control), received 1% omeprazole suspension. Fourth group, received 1% combination of alginate and omeprazole suspension. Rats were killed in 3rd, 7th, 10th, 14th and 16th day then observed macroscopically and microscopically (histology).

Results: All of rats induced by aspirin caused gastric ulcer. Alginate syrup, omeprazole suspension and combination of alginate and omeprazole suspension have healing effect to gastric ulcer, but the healing effect by the combination of alginate and omeprazole suspension was faster than alginate syrup and omeprazole suspension. Rats that received the combination of alginate and omeprazole suspension healed on the 3rd day is marked with a number of ulcers and ulcer index was 0, while rats that received alginate syrup on the 3rd day, number of ulcers and ulcer index was 3.17 and 0,0131 and healed on the 7th day the number of ulcers and ulcer index was 0. Likewise, rats that received omeprazole suspension on the 7th day the number of ulcers and ulcer index was 2.0 and 0.0078 and healed on the 7th day the number of ulcers and ulcer index was 0. Rats without treatment had not healed until the 16th day, where the number of ulcers and ulcer index was 2.5 and 0.0092.

Conclusion: The results of this study concluded that the combination of alginate and omeprazole suspension is faster healing of gastric ulcer caused by aspirin than alginate syrup and omeprazole suspension.

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini, tukak lambung menjadi suatu penyakit yang banyak diderita oleh

masyarakat dan dalam kondisi yang parah dapat menjadi penyebab kematian.

Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan

rusaknya lapisan mukosa muskularis (Bandyopadhyay, dkk., 2004). Menurut Aziz

(2002) ulkus peptikum adalah kerusakan pada lapisan mukosa, sub mukosa

sampai lapisan otot saluran cerna. Ketidakseimbangan antara faktor agresif dan

protektif merupakan awal terjadinya tukak lambung. Hipersekresi asam lambung

dan pepsin sebagai faktor agresif adalah kondisi patologis yang terjadi akibat

sekresi HCL yang tidak terkontrol dari sel-sel parietal mukosa lambung melalui

pompa proton H+ / K+ - ATPase yang juga dapat merangsang pelepasan pepsin

oleh adanya makanan berupa protein, sedangkan kerusakan lapisan mukus yang

berfungsi sebagai faktor protektif pada permukaan mukosa lambung dapat

memperparah keadaan diatas (Bandyopadhyay, dkk., 2004; Aziz, 2002).

Banyak kondisi yang menyebabkan ketidakseimbangan kedua faktor

tersebut. Adanya reaksi yang berlebihan terhadap makanan tertentu, minuman

yang mengandung kafein dan alkohol, rangsangan parasimpatis dan histamin

dapat merangsang sel-sel parietal untuk menghasilkan HCl. Penggunaan

obat-obatan seperti antiinflamasi non steroid (AINS) berkaitan erat dengan terjadinya

perdarahan lambung melalui iritasi sel-sel secara langsung dan inhibisi sistemik

(21)

pylori dapat mengganggu pertahanan mukosa melalui elaborasi toksin dan enzim serta meningkatkan pelepasan gastrin (Wells, dkk., 2003).

Klasifikasi ulkus peptikum yang sering digunakan dibuat oleh Schuster

dan Gross (1963) yaitu ulkus peptikum primer dan sekunder. Ulkus peptikum

primer adalah ulkus yang terjadinya terutama dipengaruhi langsung oleh sekresi

asam lambung dan pepsin berlebihan. Ulkus peptikum primer dapat bersifat akut

dan kronis, dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi. Ulkus peptikum primer

akut menunjukkan gambaran proses erosi dengan tepi tajam, tidak ada kongesti,

hanya dijumpai tanda inflamasi minimal sekitar ulkus dan dalam

penyembuhannya tidak disertai fibrosis. Pada ulkus peptikum primer kronis

ditemukan jaringan nekrotik dengan dasar eksudat fibropurulen dan jaringan

granulasi vaskular dengan pembentukan fibrosis. Pada permukaan jaringan

nekrotik tersebut sering ditemukan Helicobacter pylori. Ulkus peptikum sekunder didasarkan adanya gangguan ketahanan mukosa saluran cerna, yang dapat terjadi

setelah mengalami penyakit/trauma berat (stress ulcer), luka bakar (Curling’s

ulcer), penyakit intrakranial (Rokitansky-Cushing’s ulcer), minum aspirin atau

kortikosteroid, dan penyakit hati kronis (Aziz, 2002).

Pada awalnya patogenesis ulkus peptikum dikaitkan dengan faktor stres

dan makanan, sehingga pengobatan diutamakan pada istirahat di rumah sakit dan

pemberian makanan lunak. Kemudian konsep ulkus peptikum didasarkan pada

sekresi asam lambung yang berlebihan (Aziz, 2002). Saputri dkk menyatakan

bahwa alkohol dan aspirin memiliki daya induksi yang tinggi terhadap ulkus

lambung. Berdasarkan hasil analisis terhadap histologi dinding lambung tikus

(22)

dengan etanol 80 %, etanol 96 % dan aspirin-HCl menunjukkan abnormalitas

sel-sel mukosa lambung, dimana terjadi hipertropi dan tampak adanya neutrofil yang

terinfiltrasi ke dalam sel-sel epitel yang menandakan terjadinya inflamasi.

Menurut Cook, dkk., (1986); Price dan Wilson (1995), etanol diketahui merusak

barrier (sawar) mukosa lambung; dan bila aspirin dan alkohol diminum dalam

kombinasi, seperti yang sering terjadi; resiko iritasi lambung bertambah. Oleh

karena itu, efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang akan

merusak lambung. Dalam jumlah sedikit alkohol merangsang produksi asam

lambung berlebih, nafsu makan berkurang dan mual, sedangkan dalam jumlah

banyak alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung, memperburuk gejala tukak

lambung dan mengganggu penyembuhan tukak lambung.

Stres dapat menginduksi perdarahan gastrointestinal dan memperparah

ulkus lambung. Kerusakan pertahanan dan perbaikan mukosa dapat terjadi akibat

stres, dan berdasarkan hasil penelitian, meningkatnya produksi asam pada lumen

lambung menyebabkan kerusakan mukosa dan perdarahan yang nyata sekali.

Perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh ulser adalah komplikasi pada

pasien, yang menuju kepada tingginya angka kematian, morbiditas, dan jumlah

pasien yang membutuhkan penanganan serius (Solouki, dkk., 2009).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solouki dkk, pencegahan

perdarahan gastrointestinal dan pengobatan ulkus dilakukan dengan menetralkan

asam lambung dan mengurangi sekresi asam dengan antagonis reseptor histamin

H2. Penghambat pompa proton (PPI) lebih kuat dan mempunyai efek yang lebih

lama dalam menghambat sekresi asam lambung, dan juga mempunyai interaksi

(23)

Penghambat pompa proton seperti omeprazol, terbukti manjur pada perdarahan

lambung yang disebabkan oleh stres.

Banyak bahan alam yang digunakan untuk pengobatan karena aman dan

relatif murah (Mahattanadul, 1996). Salah satu bahan alam tersebut adalah alginat.

Alginat diperoleh dari alga coklat (Phaeophyceae). Alginat merupakan biopolimer yang memiliki banyak kegunaan. Alginat bersifat non-toksik, biodegradable, dan bersifat mukoadesif. Sifat mukoadhesif dari alginat diperkirakan dapat

memberikan sifat protektif (sifat melindungi) mukosa lambung dari zat-zat iritan

seperti aspirin, asam lambung berlebihan, dan alkohol. Alginat biasanya

digunakan sebagai bahan tambahan pada produk obat tergantung pada

sifatnya sebagai pengental, pembentuk gel, dan penstabil. Hidrokoloid seperti

alginat berperan penting dalam mendesain produk obat pelepasan terkontrol.

Pada pH rendah, hidrasi asam alginat membentuk jel asam dengan viskositas

tinggi. Alginat dengan mudah membentuk jel dengan adanya kation divalen

seperti ion kalsium. Kemampuan alginat membentuk dua jenis jel tergantung

pada pH, jel asam dan jel ionotropik, menghasilkan sifat unik polimer

dibandingkan dengan makromolekul murni. Sejauh ini telah diproduksi lebih

dari 200 kelas alginat dan sejumlah garam alginat (Tonnesen dan Jan, 2002).

Alginat digunakan di bidang biomedis, antara lain sebagai bahan baku pembalut

luka primer (yang kontak langsung dengan luka) karena selain bersifat non-toksik,

biodegradable, dan biocompatible, juga dapat mempercepat pertumbuhan jaringan baru (Mutia dan Rafaida, 2012). Manfaat alginat terhadap aplikasi

biomedis berpotensial meregenerasi jaringan. Alginat telah banyak digunakan

(24)

berbahan dasar alginat diketahui dapat mempercepat penyembuhan luka dengan

menstimulasi monosit untuk meningkatkan produksi sitokin seperti interleukin-6

dan tumor nekrosis faktor-α. Produksi sitokin pada daerah luka menghasilkan

faktor pro-inflamasi yang menguntungkan bagi penyembuhan luka (Sun dan

Huaping, 2013).

Pada penelitian ini penulis menggunakan alginat untuk penyembuhan

ulkus lambung yang diinduksi oleh aspirin. Untuk tujuan pembentukan ulkus,

pemberian aspirin dilakukan secara oral karena mudah dan penetrasinya cepat ke

dalam mukosa lambung (Daniel, dkk., 1997). Pada penelitian ini juga

diformulasikan alginat ke dalam bentuk sediaan sirup. Sirup adalah sediaan pekat

dalam air dari gula atau pengganti gula dengan atau tanpa penambahan bahan

pewangi dan zat obat. Sirup merupakan sediaan yang menyenangkan untuk

pemberian cairan dari suatu obat yang rasanya tidak enak, sirup efektif dalam

pemberian obat untuk anak-anak, karena rasanya yang enak biasanya

menghilangkan keengganan pada anak-anak untuk meminum obat (Ansel, 1989).

Beberapa penelitian telah menggunakan alginat untuk mencegah ulkus

diantaranya (Meilani, 2010) larutan alginat 1% sebanyak 10 ml yang diberikan 1

jam sebelum pemberian asetosal terbukti secara makroskopis dan mikroskopis

dapat mencegah ulkus saluran cerna kelinci yang disebabkan asetosal. Dimana,

asetosal ini bersifat asam. Pada pH lambung, asetosal tidak dibebaskan, akibatnya

mudah menembus sel mukosa dan asetosal mengalami ionisasi (menjadi

bermuatan negatif) dan terperangkap, jadi berpotensi menyebabkan kerusakan sel

(25)

Fransiska (2013), menginformasikan bahwa sirup alginat lebih stabil pada

penyimpanan di dalam kulkas (15°C) dibandingkan penyimpanan pada suhu

kamar, dimana hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan viskositas, pH

dan berat jenis lebih besar daripada sirup alginat yang disimpan pada suhu kamar.

Pemberian sirup alginat r.p. maupun sirup alginat penyimpanan pada suhu kamar

sebanyak 2,5 ml yang diberikan 30 menit sebelum pemberian HCL 0,6 N dapat

mencegah terjadinya ulkus lambung pada tikus. Pemberian sirup alginat akan

meningkatkan efek pertahanan mukosa lambung terhadap asam sehingga asam

tidak akan menembus ke dalam mukosa lambung. Menurut Sianipar (2015), pada

hari ketujuh sudah tidak terlihat adanya ulkus pada kelompok pemberian suspensi

kombinasi alginat dengan antasida. Menurut Manik (2014), pada hari ketujuh

sudah tidak terlihat adanya ulkus pada kelompok pemberian sirup alginat.

Berdasarkan data-data tersebut penulis ingin lebih lanjut membuktikan secara

makroskopik dan mikroskopik apakah sirup alginat dapat menyembuhkan ulkus

lambung yang diinduksi oleh zat iritan lainnya seperti aspirin serta

membandingkannya dengan kombinasi alginat dengan omeprazol dengan tikus

(26)

1.2 Kerangka Pikir

Kerangka pikir atau road map penelitian ini adalah tertera pada Gambar 1.1 dibawah ini.

(27)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan permasalahan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Apakah pemberian suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol dapat

menyembuhkan ulkus lambung yang diinduksi oleh aspirin?

b. Apakah pemberian suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol lebih cepat

menyembuhkan ulkus lambung dibandingkan dengan sirup alginat dan

suspensi omeprazol?

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka hipotesis penelitian adalah

sebagai berikut:

a. Suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol dapat menyembuhkan ulkus

lambung yang diinduksi oleh aspirin.

b. Suspensi kombinasi alginat dengan omeprazol lebih cepat dalam

menyembuhkan ulkus lambung dibandingkan dengan sirup alginat dan

suspensi omeprazol.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui efek penyembuhan ulkus lambung dari suspensi kombinasi alginat

dengan omeprazol yang diinduksi oleh aspirin.

b. Mengetahui kecepatan penyembuhan ulkus lambung dari suspensi kombinasi

alginate dengan omeprazol dibandingkan dengan sirup alginat dan suspensi

(28)

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk pemanfaatan natrium alginat dalam

bentuk suspensi kombinasi dengan omeprazol sebagai sediaan obat untuk

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan berhubungan dengan penerimaan makanan dan

mempersiapkannya untuk diasimilasi oleh tubuh. Saluran pencernaan terdiri atas

mulut, farinx, tekak, usofagus, kerongkongan, ventrikulus, lambung, usus halus,

dan usus besar (Pearce, 1999).

Sistem pencernaan mempunyai fungsi utama yaitu untuk menyuplai nutrisi

bagi sel-sel tubuh (Muttaqin dan Kumala, 2013). Sistem pencernaan (sistem

alimenter) berfungsi untuk memindahkan zat gizi atau nutrien (setelah

memodifikasinya), air, dan elektrolit dari makanan yang kita makan ke dalam

lingkungan internal tubuh (Sherwood, 2001).

2.2 Lambung

Lambung adalah ruang berbentuk kantung mirip huruf J yang terletak di

antara esofagus dan usus halus. Fungsi terpenting lambung adalah menyimpan

makanan yang masuk sampai disalurkan ke usus halus dengan kecepatan yang

sesuai untuk pencernaan dan penyerapan yang optimal. Fungsi kedua lambung

adalah untuk mensekresikan asam klorida (HCl) dan enzim-enzim yang memulai

pencernaan protein. Akhirnya, melalui gerakan mencampur lambung, makanan

yang masuk dihaluskan dan dicampur dengan sekresi lambung untuk

menghasilkan campuran kental yang dikenal sebagai kimus (Sherwood, 2001).

Lambung adalah bagian dari saluran pencernaan yang dapat mekar paling banyak

(30)

kerongkongan dan usus dua belas jari (Laksman, 2005). Meskipun bagian dari

tabung makanan, lambung bukan sebuah tabung, melainkan lebih kepada sebuah

kantong yang merupakan pelebaran dari esofagus dan usus halus (Scanlon dan

Tina, 2007).

2.2.1 Anatomi lambung

Morfologi organ tubuh tikus analog dengan morfologi organ manusia.

Oleh karena itu, sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum

diberikan pada manusia. Salah satu organ tikus yang analogis dengan organ

manusia adalah lambung (Malole, dkk., 1989).

(31)

Berikut merupakan gambaran bentuk anatomi dari lambung yang

dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Anatomi lambung.

Keterangan: (A) Tampilan depan lambung. Dinding lambung dipotong untuk menunjukkan lapisan otot dan kerutan mukosa. (B) Kelenjar-kelenjar lambung, menunjukkan sel-sel yang menghasilkannya (Scanlon dan Tina, 2007).

2.2.2 Fisiologi lambung

Lambung melakukan beberapa fungsi. Fungsi terpenting adalah

menyimpan makanan yang masuk sampai disalurkan ke usus halus dengan

kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan penyerapan yang optimal. Makanan

yang dikonsumsi hanya beberapa menit memerlukan waktu beberapa jam untuk

dicerna dan diserap. Karena usus halus adalah tempat utama pencernaan dan

penyerapan, lambung perlu menyimpan makanan dan menyalurkannya sedikit

demi sedikit ke duodenum dengan kecepatan yang tidak melebihi kapasitas usus

(32)

Fungsi kedua lambung adalah untuk mensekresikan asam klorida (HCl)

dan enzim-enzim yang memulai pencernaan protein (Sherwood, 2001). Fungsi

pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein, sintesis

dan sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain mengandung sel-sel yang mensekresi

mukus, mukosa lambung juga mengandung dua tipe kelenjar tubular yang penting

yaitu kelenjar oksintik (gastrik) dan kelenjar pilorik. Kelenjar oksintik terletak

pada bagian corpus dan fundus lambung, meliputi 80% bagian proksimal lambung.

Kelenjar pilorik terletak pada bagian antral lambung. Kelenjar oksintik

bertanggung jawab membentuk asam dengan mensekresikan mukus, asam

hidroklorida (HCl), faktor intrinsik dan pepsinogen. Kelenjar pilorik berfungsi

mensekresikan mukus untuk melindungi mukosa pilorus, juga beberapa

pepsinogen, renin, lipase lambung dan hormon gastrin (Guyton dan Hall, 2007).

Akhirnya, melalui gerakan mencampur lambung, makanan yang masuk

dihaluskan dan dicampur dengan sekresi lambung untuk menghasilkan campuran

kental yang disebut kimus (Sherwood, 2001).

Lambung menerima makanan dari usofagus melalui orifisium kardiak dan

bekerja sebagai penimbun sementara, sedangkan kontraksi otot mencampur

makanan dengan getah lambung. Gelombang peristaltik dimulai tinggi di fundus,

berjalan berulang-ulang, setiap menit tiga kali dan merayap perlahan-lahan ke

pilorus. Perjalanan makanan masuk lambung praktis berjalan lancar pada waktu

orang sedang makan, tetapi perjalanan makanan keluar lambung tidak dimulai

segera. Mula-mula makanan harus dibuat cair, kemudian jumlah kecil, kira-kira

70 cc, berjalan melalui lubang pilorik masuk duodenum. Isi lambung sangat asam

(33)

asam itu sebagian telah dinetralkan oleh kerja getah duodenum, pankreas dan

empedu yang alkalis. Bila otot sfingter mengendor lagi maka duodenum

menerima kiriman lain dari isi lambung (Pearce, 1999).

Kelenjar dalam lapisan mukosa lambung mengeluarkan sekret yaitu cairan

pencerna penting, getah lambung. Getah ini adalah cairan asam bening tak

berwarna. Mengandung 0,4 persen asam hidroklorida (HCl), yang mengasamkan

semua makanan dan bekerja sebagai zat antiseptik dan disinfektan, membuat

banyak organisme yang ikut masuk bersama makanan, tidak berbahaya, dan

menyediakan lingkungan untuk pencernaan makanan protein (Pearce, 1999).

Setiap hari lambung mengeluarkan 2 liter getah lambung. Beberapa enzim

perncerna terdapat dalam getah lambung (Sherwood, 2001).

Perangsangan sekresi getah lambung sebagian diterima dari rangsangan

saraf dan sebagian dari rangsangan kimiawi. Sekresi mulai pada awal orang

makan, bila melihat dan mencium makanan, akan merangsang sekresi. Hal ini

sering disebut “tahap fisik”. Rasa makanan kemudian merangsang sekrsi karena

kerja saraf. Makanan di dalam lambung menimbulkan rangsangan kimiawi karena

menyebabkan dinding lambung melepaskan hormon (perangsang kimia) yang

disebut gastrin. Sekresi getah lambung dapat dihalangi oleh sistem saraf simpatis, seperti yang terjadi pada gangguan emosi, seperti marah atau takut. Kita sering

bicara tentang orang yang mual karena rasa takut, dalam hal ini sebenarnya

lambungnya yang menolak untuk diisi (Pearce, 1999).

Sel-sel parietal secara aktif mengeluarkan HCL ke dalam lumen kantung

lambung, yang kemudian mengalirkannya ke dalam lumen lambung. pH isi lumen

(34)

(Cl-) secara aktif ditransportasikan oleh pompa yang berbeda di membran plasma

sel parietal. Walaupun sebenarnya HCl tidak mencerna apapun dan tidak mutlak

diperlukan bagi fungsi saluran pencernaan, zat ini melakukan beberapa fungsi

yang membantu pencernaan. Asam hidroklorida (1) mengaktifkan prekursor

enzim pepsinogen menjadi enzim aktif pepsin, dan membentuk lingkungan

asam yang optimal untuk aktivitas pepsin; (2) membantu penguraian serat

otot dan jaringan ikat, sehingga partikel makanan berukuran besar dapat

dipecah-pecah menjadi partikel-partikel kecil; dan (3) bersama dengan lisozim

air liur membunuh bakteri yang masuk melalui lambung (Sherwood, 2001).

Pepsin dihasilkan dari pepsinogen dalam lingkungan asam hidroklorida

dan bekerja atas protein, mengubahnya menjadi bahan yang lebih mudah larut,

yang disebut pepton. Rennin ialah ragi yang membekukan susu membentuk

kasein dari kaseinogen yang dapat larut. Sebuah enzim yang memecahkan lemak

disebut lipase lambung, terdapat dalam jumlah kecil di dalam lambung, dan

pencernaan lemak dimulai di sini (Pearce, 1999). Mukosa lambung juga

mensekresi bikarbonat, bikarbonat dan mukus membentuk lapisan tak teraduk

yang mempunyai pH sekitar 7,0. Lapisan tak teraduk ini ditambah membran

permukaan sel mukosa dan tautan kedap di antaranya membentuk sawar

bikarbonat mukosa yang melindungi sel mukosa dari kerusakan oleh asam

lambung (Ganong, 2008). Dalam keadaan normal cairan lambung juga

mengandung enzim yang dikenal sebagai faktor pembuat darah dari Castle.

Faktor ini perlu untuk absorpsi vitamin B12 sianokobalamin (unsus hematinik).

(35)

2.2.3 Histologi lambung

Lambung terdiri atas 4 lapisan, yaitu lapisan peritoneal luar yang merupakan

lapisan serosa, lapisan submukosa, lapisan mukosa, dan membran mukosa (Pearce,

1999).

Dinding saluran pencernaan memiliki struktur umum yang sama di

sebagian besar panjangnya dari esofagus sampai anus, dengan variasi lokal

yang khas untuk tiap-tiap daerah. Potongan melintang saluran pencernaan

memperlihatkan empat lapisan jaringan utama. Dari yang paling dalam ke

paling luar lapisan-lapisan itu adalah mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa (Sherwood, 2001).

2.2.3.1 Serosa

Lapisan peritoneal luar yang merupakan lapisan serosa (Pearce, 1999).

Pembungkus jaringan ikat di sebelah luar saluran pencernaan adalah serosa, yang

mengeluarkan cairan serosa encer yang melumasi dan mencegah gesekan antara

organ-organ pencernaan dan visera di sekitarnya. Di sepanjang saluran

pencernaan, serosa berhubungan dengan mesentrium, yang menggantung

organ-organ pencernaan ke dinding dalam rongga abdomen seperti sebuah ayunan.

Perlekatan itu menghasilkan friksi relatif, yang menunjang organ-organ

pencernaan dalam posisinya, sementara masih memungkinkan kebebasan

berlangsungnya gerakan mendorong dan mencampur (Sherwood, 2001).

2.2.3.2 Lapisan berotot atau muskularis eksterna

Lapisan berotot yang terdiri atas 3 lapis, (a) serabut longitudinal, yang

tidak dalam dan bersambung dengan otot usofagus, (b) serabut sirkuler yang

(36)

bawah lapisan pertama, dan (c) serabut oblik yang terutama dijumpai pada fundus

lambung dan berjalan dari orofisium kardiak, kemudian membelok ke bawah

melalui kurvatura minor (lengkung kecil) (Pearce, 1999).

Serat-serat otot polos bagian dalam (berdampingan dengan

submukosa) berjalan sirkuler mengelilingi saluran. Kontraksi serat-serat

sirkuler ini menyebabkan kontriksi atau penurunan garis tengah lumen di

titik kontraksi. Kontraksi serat-serat di lapisan luar, yang berjalan secara

longitudinal di sepanjang saluran menyebabkan saluran memendek.

Bersama-sama, aktivitas kontraktil lapisan otot polos menghasilkan gerakan propulsif

dan mencampur. Suatu jaringan saraf lain, pleksus meintrikus, terdapat di antara kedua lapisan otot, dan bersama dengan pleksus submukosa,

membantu aktivitas usus lokal (Sherwood, 2001).

2.2.3.3 Lapisan submukosa

Lapisan submukosa terdapat dibawah lapisan mukosa. Tunika

submukosa meluas ke dalam rugae atau lipatan memanjang lambung, dan

terdiri atas jaringan ikat jarang, dengan serat-serat kolagen dan elastin. Selain

fibroblast, terdapat pula kumpulan limfosit dan sel plasma, terutama dekat

kardia dan pilorus, serta sel mast dan biasanya terdapat beberapa lemak.

Tunika submukosa mengandung pembuluh darah, pembuluh limfa dan saraf

perifer dari pleksus submukosa (Leeson, dkk., 1989).

Lapisan submukosa yang terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh

darah dan saluran limfe (Pearce, 1999). Submukosa (di bawah mukosa)

adalah lapisan tebal jaringan ikat yang menyebabkan saluran pencernaan

(37)

dan limfe yang lebih besar, keduanya bercabang-cabang ke arah dalam ke

lapisan mukosa dan ke arah luar ke lapisan otot di sekitarnya. Yang juga

terdapat di dalam submukosa adalah jaringan saraf yang dikenal sebagai

pleksus submukosa, yang membantu mengontrol aktivitas lokal masing-masing bagian usus (Sherwood, 2001).

2.2.3.4 Lapisan mukosa

Lapisan mukosa yang terletak di sebelah dalam, tebal, dan terdiri atas

banyak kerutan atau rugae, yang hilang bila organ itu mengembang karena berisi

makanan (Pearce, 1999). Mukosa melapisi permukaan luminal saluran pencernaan

(Sherwood, 2001).

Membran mukosa

Membran mukosa dilapisi epitelium silindris dan berisi banyak saluran

limfe. Semua sel-sel itu mengeluarkan sekret mukus. Permukaan mukosa ini

dilintasi saluran-saluran kecil dari kelenjar lambung. Semua ini berjalan dari

kelenjar lambung tubuler yang bercabang-cabang dan lubang-lubang salurannya

dilapisi oleh epitelium silinder. Epitelium ini bersambung dengan permukaan

mukosa dari lambung. Epitelium dari bagian kelenjar yang mengeluarkan sekret

berubah-ubah dan berbeda-beda di beberapa daerah lambung (Pearce, 1999).

Komponen utama mukosa adalah membran mukosa, suatu lapisan epitel bagian

dalam berfungsi sebagai permukaan protektif serta mengalami modifikasi di

daerah-daerah tertentu untuk sekresi dan absorpsi. Membran mukosa mengandung

(38)

membentuk lipatan longitudinal yang disebut rugae dan jumlahnya tergantung pada tinggi rendahnya rentangan organnya. Membran mukosa terdiri dari tiga

komponen yaitu epitelium, lamina propria, dan muskularis mukosa. Epitel

permukaan mukosa ditandai oleh adanya lubang sumuran yang terletak rapat satu

dengan yang lain dan dilapisi epitel sejenis. Bentuk dan kedalaman dari sumuran

ini serta sifat kelenjarnya berbeda pada tiap bagian lambung (Leeson, dkk., 1989).

b. Lamina propria

Mukosa muskularis adalah lapisan otot polos di sebelah luar yang terletak di

sebelah lapisan submukosa (Sherwood, 2001).

Kelenjar kardia

Terletak paling dekat dengan lubang yang ada di sebelah usofagus. Kelenjar di

sini berbentuk tubuler, baik sederhana maupun bercabang dan mengeluarkan

sekret mukus alkali (Pearce, 1999). Kelenjar kardia hanya terdapat pada daerah

yang terletak 2 sampai 4 cm dari muara kardia. Sel-sel yang menyusun kelenjar

terutama terdiri dari sel-sel penghasil mukus dan mirip dengan sel-sel kardia

esofagus tetapi juga terdapat sedikit sel-sel parietal penghasil asam dan beberapa

sel enteroendokrin (Leeson, dkk., 1989).

(39)

Terdahulu bekerja, kelenjarnya tubuler dan berisi berbagai jenis sel. Beberapa sel,

yaitu sel asam atau oxintik, menghasilkan asam yang terdapat dalam getah

lambung. Dan yang lain lagi menghasilkan musin (Pearce, 1999).

Kelenjar pilorik

Kelenjar dalam saluran pilorik juga berbentuk tubuler. Terutama menghasilkan

mukus alkali (Pearce, 1999).

Permukaan mukosa pada umumnya tidak datar dan halus, tetapi

dipenuhi oleh lipatan-lipatan dengan banyak “bukit” dan “lembah”, sehingga

luas permukaan yang tersedia untuk absorpsi sangat meningkat. Pola

pelipatan permukaan dapat dimodifikasi oleh kontraksi mukosa muskularis

(Sherwood, 2001).

2.2.4Mekanisme pertahanan mukosa lambung

Lambung dapat menampung isinya yang mengandung asam kuat dan banyak

enzim proteolitik tanpa merusak dirinya sendiri dengan membentuk lapisan

pelindung. Selain itu, sawar lain yang melindungi mukosa dari kerusakan oleh

asam adalah lapisan mukosa itu sendiri. Pertama, membran luminal sel mukosa

lambung hampir tidak dapat ditembus oleh H+, sehingga asam tidak dapat

menembus ke dalam sel dan menyebabkan kerusakan sel. Selain itu, tepi-tepi

lateral sel-sel tersebut saling bersatu di dekat batas luminal mereka melalui

hubungan taut erat (tight junction), sehingga asam tidak dapat berdifusi di antara sel-sel dari lumen ke dalam submukosa di bawahnya. Sifat mukosa lambung yang

memungkinkan lambung menampung asam tanpa ia sendiri mengalami kerusakan

(40)

diganti setiap tiga hari. Karena pertukaran mukosa yang sangat cepat, sel-sel

biasanya telah diganti sebelum mereka aus karena terpajan ke lingkungan sangat

asam yang tidak bersahabat tersebut cukup lama untuk mengalami kerusakan

(Sherwood, 2001).

Mekanisme lambung dan duodenum yang normal dalam menahan efek korosif

dari pepsin-asam (yaitu, resistensi mukosa terhadap jejas atau pertahanan mukosa) belum sepenuhnya terjelaskan. Meskipun demikian, berbagai faktor yang berperan dan yang dianggap berfungsi dalam pertahanan mukosa, telah dikenali

(Isselbacher, 2000). Lapisan mukosa lambung juga melindungi mukosa dari

kerusakan oleh asam, pada Gambar 2.2 di bawah ini.

Gambar 2.2 Sawar mukosa lambung.

(41)

Mekanisme pertahanan mukosa lambung diantaranya faktor pelindung

lokal dan neurohormonal, yang memungkinkan mukosa tahan terhadap berbagai

faktor perusak. Mekanisme pertahanan mukosa lambung akan dijelaskan dibawah

ini (Fornai, dkk., 2011).

2.2.4.1 Mukus lambung

Permukaan mukosa lambung dilindungi oleh selapis mukus, yang berasal dari

sel epitel permukaan dan sel leher mukosa. Mukus ini berfungsi sebagai

sawar protektif mengatasi beberapa bentuk cedera terhadap mukosa lambung.

Karena sifat lubrikasinya, mukus melindungi mukosa lambung dari cedera

mekanis. Mukus membantu melindungi dinding lambung dari pencernaan-diri

(self-digestion) karena pepsin dihambat apabila berkontak dengan lapisan mukus yang membungkus dinding lambung. (Namun, mukus tidak

mempengaruhi aktivitas pepsin di lumen, tempat berlangsungnya pencernaan

protein makanan). Karena bersifat alkalis, mukus membantu melindungi lambung

dari cedera asam dengan menetralisir HCl yang terdapat di dekat mukosa

lambung (Sherwood, 2001).

Bagaimana lambung dapat menampung isinya yang mengandung asam kuat

dan banyak enzim proteolitik tanpa merusak dirinya sendiri, bahwa mukus

membentuk lapisan pelindung. Selain itu, sawar lain yang melindungi mukosa

dari kerusakan oleh asam adalah lapisan mukosa itu sendiri. Pertama, membran

luminal sel mukosa lambung hampir tidak dapat ditembus oleh H+, sehingga asam

tidak dapat menembus ke dalam sel dan menyebabkan kerusakan sel. Selain itu, tepi-tepi lateral sel-sel tersebut saling bersatu di dekat batas luminal mereka

(42)

antara sel-sel dari lumen ke dalam submukosa di bawahnya. Sifat mukosa

lambung yang memungkinkan lambung menampung asam tanpa ia mengalami

kerusakan tersebut membentuk sawar mukosa lambung (gastric mucosal barrier). Mekanisme protektif ini diperkuat oleh kenyataan bahwa seluruh lapisan lambung

diganti setiap 3 hari. Karena pertukaran mukosa yang sangat cepat, sel-sel

biasanya telah diganti sebelum mereka aus karena terpajan ke lingkungan sangat

asam yang tidak bersahabat tersebut cukup lama untuk mengalami kerusakan

(Sherwood, 2001).

Mukus lambung penting dalam pertahanan mukosa dan dalam mencegah

ulserasi peptik. Mukus lambung disekresi oleh sel mukosa pada epitel mukosa

lambung dan kelenjar lambung. Sekresi mukus dirangsang oleh iritasi mekanis

atau kimiawi dan oleh rangsang kolinergik. Mukus lambung terdapat dalam dua

fase: dalam cairan lambung pada fase terlarut dan sebagai lapisan jeli mukus yang

tidak larut, kira-kira tebalnya 0,2 mm, yang melapisi permukaan mukosa lambung.

Normalnya gel mukus disekresi secara terus menerus oleh sel epitel mukosa

lambung dan secara kontinu dilarutkan oleh pepsin yang disekresi ke dalam lumen

lambung. Mukus lambung merupakan suatu glikoprotein polimer yang besar (2 x

106 berat molekul), mengandung empat subunit yang dihubungkan oleh jembatan

disulfida. Depolimerisasi subunit glikoprotein pada mukus, melalui pencernaan

peptik atau pemutusan ikatan disulfida, menyebabkan glikoprotein tidak mampu

membentuk atau mempertahankan jeli. Jika intak, jeli mukus ini bertindak sebagai

lapisan air yang tidak permeabel terhadap penetrasi oleh makromolekul seperti

pepsin (34.000 berat molekul). Molekul pepsin yang disekresi ke dalam lumen

(43)

sehingga berpotensi melindungi sel mukosa dari jejas proteolitik. Ketebalan jeli

meningkat dengan adanya prostaglandin E dan berkurang dengan adanya obat

antiinflamasi nonsteroid (NSAID), termasuk aspirin. Glikoprotein mukus

lambung juga mengandung determinan antigenik yang digunakan untuk

mengklasifikasikan substansi golongan darah AB(H). Kurang lebih tiga perempat

populasi mensekresikan cairan lambung yang mengandung substansi AB(H) ini,

dan individu demikian disebut sekretor (Isselbacher, 2000). 2.2.4.2 Ion bikarbonat

Ion bikarbonat, yang disekresikan oleh sel nonparietal epitel lambung,

memasuki jeli mukosa, berperan pada pembangunan lingkungan-mikro di dalam

jeli dengan gradien ion hidrogen yang besar diantara zona jeli yang menghadap ke

lumen (pH 1 sampai 2) dan zona yang berhubungan dengan sel mukosa lambung

(pH 6 sampai 7). Sebagai lapisan air yang tidak teraduk, jeli mukus

memperlambat ion hidrogen untuk berdifusi kembali ke permukaan mukosa

lambung, hal ini memungkinkan pendaparan (buffering) oleh bikarbonat di dalam jeli. Sekresi bikarbonat lambung dirangsang oleh kalsium, seri tertentu dari

prostaglandin E dan F , agen kolinergik dan dibutiril siklik guanosin monofosfat.

Sekresi bikarbonat lambung dihambat oleh OAINS, termasuk aspirin, dan oleh

asetazolamid, agen alfa-adrenergik dan etanol (Isselbacher, 2000).

Normalnya, permukaan lumen dan sambungan intraseluler yang ketat dari

sel epitel lambung memberikan barrer mukosa lambung yang hampir total impermeabel terhadap difusi balik ion-ion hidrogen dari lumen; barier ini

tampaknya menjadi komponen penting dari resistensi mukosa terhadap jejas

(44)

asam-asam lemah organik, sehingga memungikinkan terjadinya difusi balik

ion-ion hidrogen dari lumen ke dalam jaringan lambung. Hal ini dapat menyebabkan

jejas sel, pelepasan histamin dari sel mast, rangsangan sekresi asam yang lebih

lanjut, kerusakan pembuluh-pembuluh darah kecil, perdarahan mukosa, dan erosi

atau ulserasi. Interupsi barier mukosa lambung ini tampaknya berperan pada

gastritis erosif hemoragika yang berhubungan dengan konsumsi salisilat atau

etanol dan dengan bentuk jejas mukosa lambung lainnya. Karena tingginya

kecepatan aktivitas metabolik dan perlunya oksigen dalam jumlah besar, upaya

mempertahankan aliran darah normal ke mukosa lambung merupakan suatu komponen penting pada resistensi mukosa terhadap jejas. Penurunan aliran darah

mukosa, yang disertai oleh difusi balik ion hidrogen dari lumen, penting dalam

menimbulkan kerusakan mukosa lambung (Isselbacher, 2000).

2.2.4.3 Prostaglandin

Prostaglandin merupakan asam lemak rantai 20 karbon yang dihasilkan

oleh asam arakhidonat melalui enzim cyclooxygenase (Sunil, dkk., 2012).

Mukosa lambung merupakan sumber produksi prostaglandin, seperti

Prostaglandin E2 (PGE2) dan Prostaglandin I2 (PGI2) yang dianggap sebagai

faktor penting untuk pemeliharaan integritas mukosa dan perlindungan terhadap

faktor melukai. Prostaglandin dapat mengurangi produksi asam, merangsang

produksi mukus, bikarbonat, dan fosfolipid, meningkatkan aliran darah mukosa,

dan mempercepat restitusi epitel dan penyembuhan mukosa. Prostaglandin E2

diketahui dapat menekan pelepasan dari histamin dan TNF-α dari mukosa

lambung, dimana pelepasan dari TNF-α dapat mengakibatkan kerusakakn jaringan

(45)

Prostaglandin terdapat dalam jumlah besar di dalam mukosa lambung.

Bermacam-macam prostaglandin, terutama dari seri E, terlihat menghambat jejas

mukosa lambung yang disebabkan oleh berbagai macam agen. Prostaglandin

endogen merupakan elemen penting membangun pertahanan mukosa.

Prostaglandin ini merangsang sekresi mukus lambung dan bikarbonat

mukosa lambung dan duodenum, yang mendapar sebagian besar asam

lambung yang telah disekresi. Prostaglandin berperan dalam mempertahankan

aliran darah mukosa lambung dan dalam integritas barier mukosa

lambung. Prostaglandin mempermudah pembaruan sel epitel dalam responnya

terhadap jejas mukosa (Isselbacher, 2000).

2.2.4.4 Sel-sel epitel

Lapisan sel epitel permukaan merupakan pertahanan mukosa berikutnya. Sel

epitel ini bertanggung jawab untuk memproduksi mukus, bikarbonat, dan

komponen lain dari penghalang mukosa lambung. Permukaan sel epitel mampu

membentuk penghalang terus menerus yang dapat mencegah difusi kembali asam

dan pepsin. Faktor protektif lain yang relevan tersedia dalam sel epitel diwakili

oleh heat shock protein, yang diaktifkan dalam respon terhadap stres termasuk kenaikan suhu, stres oksidatif dan agen sitotoksik lainnya. Protein ini dapat

mencegah denaturasi protein dan melindungi sel terhadap cedera. Cathelicidin dan

beta-defensin adalah peptida kationik yang memainkan peran yang relevan dalam sistem pertahanan bawaan pada permukaan mukosa, mencegah kolonisasi bakteri

(46)

Pembaharuan sel mukosa

Pembaharuan sel epitel lambung terkoordinasi dengan baik untuk menjamin

penggantian sel yang rusak. Proses pembaharuan epitel lengkap membutuhkan

waktu sekitar 3-7 hari, sedangkan penggantian sel kelenjar secara keseluruhan

membutuhkan waktu berbulan. Namun, pembaharuan epitel permukaan setelah

kerusakan terjadi sangat cepat yaitu beberapa menit. Proses pergantian sel diatur

oleh faktor pertumbuhan. Secara khusus, ditandai ekspresi reseptor faktor

pertumbuhan epidermal (EGF-R). Reseptor tersebut dapat diaktifkan oleh faktor

pertumbuhan mitogenik, seperti TGF-α dan IGF-1. Selain itu, PGE2 dan gastrin

dapat transaktif dengan EGF-R dan mempromosikan aktivasi MAPK akibat

proliferasi sel. EGF tidak terdeteksi pada mukosa normal, meskipun terdapat pada

cairan lambung yang dapat merangsang proliferasi sel mukosa dalam kasus

cedera (Fornai, dkk., 2011).

Aliran darah mukosa

Aliran darah mukosa sangat penting untuk memberikan oksigen dan nutrisi dan

untuk menghilangkan racun dari mukosa lambung. Sel endotel, lapisan

mikrovaskular ini menghasilkan NO dan prostasiklin (PGI2) yang bertindak

sebagai vasodilator, sehingga melindungi mukosa lambung terhadap kerusakan

dan menangkal berbagai efek vasokonstriktor termasuk leukotrien C4, tromboksan

A2, dan endotelin. Selain itu, NO dan PGI2 menjaga kelangsungan hidup sel-sel

endotel dan menghambat platelet dan adhesi leukosit ke mikrovaskular sehingga

mencegah terjadinya mikroiskemia (Fornai, dkk., 2011).

Ketika mukosa lambung terkena iritasi atau difusi asam, maka terjadi peningkatan

(47)

mekanisme penting untuk mencegah cedera sel mukosa lambung dan penurunan

nekrosis jaringan. Peningkatan aliran darah mukosa dimediasi oleh pelepasan NO,

telah dibuktikan bahwa NO melindungi mukosa lambung terhadap cedera yang

disebabkan oleh etanol atau endothelin-1, sedangkan penghambtan sintesis NO

meningkatkan cedera mukosa (Fornai, dkk., 2011).

2.2.4.7 Saraf sensori

Pembuluh darah mukosa dan submukosa lambung dipersarafi oleh neuron

sensori aferen, yang diatur dalam pleksus di dasar lapisan mukosa. Saraf sensori

dapat mendeteksi keasaman atau difusi asam, dimana aktivasi saraf sensori

tersebut memodulasi kontraksi arteri pada submukosa sehingga mengatur aliran

darah mukosa. Secara khusus, stimulasi saraf sensori menyebabkan pelepasan

kalsitonin yang berhubungan dengan peptida (CGRP) dan substansi P dari saraf

disekitar pembuluh besar submukosa. CGRP kemudian berkontribusi pada

pemeliharaan integritas mukosa lambung melalui vasodilatasi pembuluh darah di

submukosa yang dimediasi oleh pelepasan NO. Persarafan sensori memiliki peran

penting dalam perlindungan mukosa dengan meningkatkan sensitivitas lambung

(Fornai, dkk., 2011).

2.2.4.8 Mekanisme neurohormonal

Pertahanan mukosa lambung didukung oleh sistem saraf pusat dan faktor

hormonal. Diketahui bahwa aktivasi nervus vagal merangsang sekresi mukus dan

meningkatkan pH sel epitel dalam lambung. Hormon lainnya, termasuk gastrin,

kolestokinin, thyrotropin-releasing hormon, bombesin, EGF, peptida YY, dan

neurokinin A memainkan peran penting dalam regulasi mekanisme pelindung

(48)

2.3 Ulkus Lambung

atau ulkus peptikum dinding lambung (Sherwood, 2001).

Ulkus peptikum ialah suatu istilah untuk menunjuk kepada suatu

kelompok penyakit ulseratif saluran makanan bagian atas yang melibatkan

terutama bagian proksimal duodenum dan lambung, yang mempunyai patogenesis

yang sama-sama melibatkan asam-pepsin. Bentuk utama ulkus peptikum yang

umum adalah ulkus duodenum dan ulkus lambung, keduanya merupakan penyakit

kronik (Isselbacher, 2000).

Ulkus peptikum atau ulkus peptikumum merupakan keadaan dimana

kontiunitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel.

Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi,

walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus (Fry, 2005). Menurut

defenisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna

yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum,

jejenum, dan setelah tindakan gastroenterostomi. Ulkus peptikum

diklasifikasikan atas ulkus akut dan ulkus kronis, hal tersebut

menggambarkan tingkat kerusakan pada lapisan mukosa yang terlibat (Aziz,

(49)

Ulkus lambung dan duodenum pada manusia terutama berkaitan dengan

rusaknya sawar yang secara normal mencegah iritasi dan autodigesti mukosa

oleh sekresi lambung (Ganong, 2008).

tercipta suatu lingkaran setan. Erosi mukosa, atau ulkus, terus membesar di

bawah pengaruh asam dan pepsin yang kadarnya meningkat. Dua

konsekuensi paling serius adanya ulkus adalah (1) perdarahan akibat

kerusakan kapiler submukosa dan (2) perforasi dinding lambung akibat erosi

total menembus dinding yang disebabkan oleh kerja HCL dan pepsin,

pencernaan__hal ini menjadi dasar gangguan pencernaan selama periode stres

(50)

Asam dan pepsin berdifusi ke dalam mukosa dengan konsekuensi patofisiologis

serius seperti yang terlihat pada Gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3 Pembentukan ulkus.

Keterangan : Apabila asam dan pepsin mampu menembus sawar mukosa lambung yang melemah, asam merangsang pengeluaran histamin yang tersimpan di submukosa. Histamin pada gilirannya merangsang sel- sel parietal untuk mengeluarkan lebih banyak asam, yang berdifusi menembus sawar yang rusak untuk memicu pengeluaran lebih banyak histamin, sehingga terjadi lingkaran setan. Terbentuk ulkus yang secara progresif membesar karena asam dan pepsin terus menyebabkan erosi mukosa lambung (Sherwood, 2001).

Syarat untuk terjadinya ulkus peptikum adalah adanya getah lambung yang

mengandung asam klorida dan pepsin (tanpa asam tak ada ulkus) (Mutschler,

2010). Penyebab umum dari ulserasi peptikum adalah ketidakseimbangan antara

kecepatan sekresi cairan lambung dan derajat perlindungan yang diberikan oleh

sawar mukosa gastroduodenal dan netralisasi asam lambung oleh cairan

duodenum. Semua daerah yang secara normal terpapar oleh cairan lambung

dipasok dengan baik oleh kelenjar mukus, antara lain kelenjar mukus campuran

pada esofagus bawah dan meliputi sel mukus penutup pada mukosa lambung; sel

mukus pada leher kelenjar lambung; kelenjar pilorik profunda (menyekresi

(51)

atas yang menyekresi mukus sangat alkali (Guyton dan Hall, 2007). Ulkus

peptikum terjadi jika efek agresif asam-pepsin lebih banyak daripada efek

protektif pertahanan mukosa lambung atau mukosa duodenum.

Kemampuan/kapasitas normal mukosa lambung atau duodenum bagian proksimal

untuk menahan efek-efek korosif asam dan pepsin ialah unik dalam tubuh. Hal itu

tidak sama dengan yang dimiliki oleh jaringan lain __ karena itu kerentanan

mukosa esofagus terhadap cedera karena getah lambung yang mengalir kembali,

ulserasi usus halus yang sering jika dikaitkan secara operatif kepada mukosa

lambung yang mensekresi secara aktif, dan korosi kulit dapat diramalkan

menyebabkan fistula gastrokutaneus (Isselbacher, 2000).

Banyak yang telah dipelajari mengenai mekanisme yang mengatur sekresi

asam lambung dan faktor yang tampaknya penting dalam perkembangan ulkus

peptikum. Perhatian fisiologi lambung memberikan suatu pengertian mengenai

beberapa elemen etiologik dan juga suatu dasar yang rasional untuk pengobatan

dan pencegahan ulkus peptikum (Isselbacher, 2000).

Sebagai tambahan terhadap perlindungan mukus dari mukosa, duodenum

dilindungi oleh sifat alkali dari sekresi usus halus, terutama adalah sekresi

pankreas-yang mengandung sejumlah besar natrium bikarbonat, berfungsi

menetralisir asam klorida cairan lambung – sehingga menginaktifkan pepsin untuk

mencegah pencernaan mukosa (Lewis, 2000).

Ulkus peptikum dapat disebabkan oleh (1) sekresi asam dan pepsin yang

berlebihan oleh mukosa lambung, atau (2) berkurangnya kemampuan sawar

mukosa gastroduodenalis untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks

(52)

2.3.2.1 Penyebab khusus 1. Infeksi bakteri H. Pylori.

Penyebab pasti ulkus, sampai beberapa waktu yang lalu belum diketahui, tetapi

dalam suatu temuan baru yang mengejutkan, bakteri Helicobacter pylori

diperkirakan merupakan penyebab pada hampir 90% kasus ulkus peptikum.

Infeksi oleh mikroorganisme ini tampaknya memperlemah sawar mukosa

lambung (Sherwood, 2001).

Dalam lima tahun terakhir, ditemukan paling sedikit 75% pasien ulkus peptikum

menderita infeksi kronis pada bagian akhir mukosa lambung, dan bagian mukosa

duodenum oleh bakteri H. Pylori. Sekali pasien terinfeksi, maka infeksi dapat belangsung seumur hidup kecuali bila kuman diberantas dengan pengobatan

antibakterial. Lebih lanjut lagi, bakteri mampu melakukan penetrasi sawar

maupun dengan melapaskan enzim-enzim pencernaan yang mencairkan sawar.

Akibatnya cairan asam kuat pencernaan yang disekresi oleh lambung dapat

berpenetrasi ke dalam jaringan epitelium dan mencernakan epitel, bahkan juga

jaringan-jaringan di sekitarnya. Keadaan ini menuju kepada kondisi ulkus

peptikum (Muttaqin dan Kumala, 2013).

2. Peningkatan sekresi asam

Pada kebanyakan pasien yang menderita ulkus peptikum di bagian awal

duodenum, jumlah sekresi asam lambungnya lebih besar dari normal, bahkan

sering dua kali lipat dari normal.

Sekresi asam hidroklorida lambung dapat dilihat pada Gambar 2.4 di

(53)

Gambar 2.4 Mekanisme sekresi HCl.

Keterangan: Sel-sel parietal lambung secara aktif mengeluarkan H+ dan Cl- melalui kerja dua pompa yang berbeda. Ion H+ yang disekresikan berasal dari H2CO3 yang dibentuk di dalam sel dari CO2 yang

dihasilkan dari proses metabolisme di dalam sel atau berdifusi masuk dari plasma. Ion Cl- yang disekresikan diangkut ke sel parietal dari plasma. Ion HCO3- yang dihasilkan dari penguraian H2CO3

dipindahkan ke dalam plasma sebagai penukar Cl- yang disekresikan (Sherwood, 2001).

Walaupun setengah dari peningkatan asam ini mungkin disebabkan oleh infeksi

bakteri, percobaan pada hewan ditambah bukti adanya perangsangan berlebihan

sekresi asam lambung oleh saraf pada manusia yang menderita ulkus peptikum

mengarah kepada sekresi cairan lambung yang berlebihan (Guyton dan Hall,

2007). Predisposisi peningkatan sekresi asam diantaranya adalah faktor

psikogenik seperti pada saat mengalami depresi atau kecemasan dan merokok

(54)

3. Konsumsi obat-obatan

Obat-obatan seperti OAINS/obat anti-inflamasi nonsteroid seperti

indometasin, ibuprofen, asam salisilat mempunyai efek penghambatan

siklo-oksigenase sehingga menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat

secara sistemik, termasuk pada epitel lambung dan duodenum. Pada sisi lain, hal

ini juga menurunkan sekresi HCO3- sehingga memperlemah perlindungan mukosa

(Muttaqin dan Kumala, 20013). Aspirin dan NSAIDs lain diketahui dengan jelas

mengakibatkan peptik ulser dan obat ini lebih sering dihubungkan dengan lesi

pada ulkus lambung daripada ulkus duodenum (Chung dan Byung-Wook, 2012).

Efek lain dari obat ini adalah merusak mukosa lokal melalui difusi non-ionik ke

dalam sel mukosa. Obat ini juga berdampak terhadap agregasi trombosit sehingga

akan meningkatkan bahaya perdarahan ulkus (Kee dan Evelyn, 1995).

4. Stres fisik

Stres fisik yang disebabkan oleh syok, luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan,

gagal napas, gagal ginjal, dan kerusakan susunan saraf pusat (Lewis, 2000). Bila

kondisi stres fisik ini berlanjut, maka kerusakan epitel akan meluas dan kondisi

ulkus peptikum menjadi lebih parah (Muttaqin dan Kumala, 2013).

5. Refluks usus-lambung

Refluks usus-lambung dengan materi garam empedu dan enzim pankreas yang

berlimpah dan memenuhi permukaan mukosa dapat menjadi predisposisi

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi lambung.   Keterangan: (A) Tampilan   depan   lambung. Dinding   lambung   dipotong untuk  menunjukkan lapisan otot dan kerutan mukosa
Gambar 2.2 Sawar mukosa lambung.
Gambar 2.3 Pembentukan ulkus.
Gambar 2.4 Mekanisme sekresi HCl.
+7

Referensi

Dokumen terkait

tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Angggota Dewan Perwakilan Ralqrat Daerah

 Weight balance: the lift force has to be equal to the weight of all the elements constituting the airplane.  Energy balance: we will first establish the expression

Dengan menyimak dan mencermati teks percakapan, siswa mampu memberikan contoh perilaku di rumah yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila... keempat

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-1/W4, 2015 International Conference on Unmanned Aerial Vehicles

As its main building was constructed with materials taken from Quanzhou, the hall of Fujian in Yantai is located in the old city with its style different from local

The General Planning for China’s Grand Canal Heritage Conservation and Management in stage three divides the resources of China’s Grand Canal heritage into Canal

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus T\rgas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, perlu menetapkan.. Peraturan

Starting with the historical research of Haiyan Hall Earthen Relic Site at Yuanmingyuan Ruins, this paper offers an in-depth knowledge of the original site construction craft