• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemarkah Keinterogatifan Ciri Akustik Dalam Bahasa Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemarkah Keinterogatifan Ciri Akustik Dalam Bahasa Karo"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PEMARKAH KEINTEROGATIFAN

CIRI AKUSTIK DALAM BAHASA KARO

O

L

E

H

ASNI BARUS

057009002

SEKOLAH PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PEMARKAH KEINTEROGATIFAN

CIRI AKUSTIK DALAM BAHASA KARO

O

L

E

H

ASNI BARUS

057009002

Dosen Pembimbing :

1.

Prof. Dr. Jawasi Naibaho, M.Hum. (Ketua)

2.

Dra. T. Syarfina, M.Hum. (Anggota)

SEKOLAH PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

DAFTAR ISI

2.2 Fonetik Eksperimental dan Impresionistik………... 9

2.3 Fonetik dan Fonologi………... 12

2.4 Penelitian Terdahulu……… 14

BAB III METODE PENELITIAN………. 16

3.1 Populasi dan Sampel……… 16

3.2 Teknik Pengumpulan Data………... 16

3.3 Teknik Pengolahan Data………... 17

3.4 Uji Statistik………... 17

BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN……… 19

4.1 Intensitas………... 19

4.1.1 Intensitas Dasar Laki-laki dan Perempuan………... 23

4.1.2 Intensitas Final Laki-laki dan Perempuan……… 24

4.1.3 Intensitas Atas Laki-laki dan Perempuan………. 24

4.1.4 Intensitas Bawah Laki-laki dan Perempuan………. 25

4.1.5 Intensitas Dasar Kelompok Usia……….. 26

4.1.6 Intensitas Final Kelompok Usia………... 27

4.1.7 Intensitas Atas Kelompok Usia……… 28

4.1.8 Intensitas Bawah Kelompok Usia……… 29

4.2 Frekuensi……….. 30

(4)

4.2.2 Nada Akhir……….. 38

4.2.3 Nada Tinggi……… 39

4.2.4 Nada Rendah………... 41

4.3 Durasi……….. 43

4.3.1 Durasi Kelompok Jenis Kelamin……… 45

4.3.2 Durasi Kelompok Usia……… 53

BAB V PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN………... 58

5.1 Intensitas Dasar………... 59

5.2 Intensitas Final………. 60

5.3 Intensitas Atas………. 61

5.4 Intensitas Bawah……….. 62

5.5 Intensitas Dasar Kelompok Usia………. 62

5.6 Intensitas Final Kelompok Usia……….. 63

5.7 Intensitas Atas Kelompok Usia………... 64

5.8 Intensitas Bawah Kelompok Usia………... 64

5.9 Nada Dasar Kelompok Jenis Kelamin………. 65

5.10 Nada Final Kelompok Jenis Kelamin……….. 66

5.11 Nada Atas Kelompok Jenis Kelamin………... 66

5.12 Nada Bawah Kelompok Jenis Kelamin………... 67

5.13 Nada Dasar Kelompok Usia……… 67

5.14 Nada Final Kelompok Usia………. 68

5.15 Nada Atas Kelompok Usia……….. 69

5.16 Nada Bawah Kelompok Usia……….. 69

5.17 Durasi Kelompok Jenis Kelamin/Tipe I………. 70

5.18 Durasi Kelompok Jenis Kelamin/Tipe II……… 71

5.19 Durasi Kelompok Jenis Kelamin/Tipe III………... 71

5.20 Durasi Kelompok Jenis Kelamin/Tipe IV………... 72

5.21 Durasi Kelompok Jenis Kelamin/Tipe V……… 73

5.22 Durasi Kelompok Jenis Kelamin/Tipe VI……….. 74

5.23 Durasi Kelompok Jenis Kelamin/Tipe VII………. 74

(5)
(6)

DAFTAR SINGKATAN

SPSS : Statistics Package for Social Scientist.

IPO : Institiute voor Percepite Onderzoek.

N : Jumlah Responden.

J. Klmn : Jenis Kelamin.

Int : Interogatif.

Tem : Temporal.

Num : Numeral.

Ver : Verbal.

P. into : Paduan Intonasi.

P. ingk : Partikel Ingkar.

Ekor : Berekor.

B. Tanya : Berkata Tanya.

dB : Desibel.

Hz : Hertz.

P : Nilai.

(7)

ABSTRAK

Judul penelitian ini adalah Pemarkah Keinterogatifan Ciri Akustik Dalam Bahasa Karo. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ciri akustik interogatif dalam bahasa Karo, yaitu intensitas, frekuensi dan durasi. Data diambil melalui merekam suara responden yang berjumlah tiga puluh orang. Lokasi penelitian di desa Paribun, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo. Setelah data terkumpul lalu diolah dengan bantuan alat bantu program komputer Praat versi 4.0.27. Dari hasil pengolahan data, selanjutnya dilakukan pengukuran intensitas, frekuensi dan durasi. Setelah itu dilakukan pengukuran ciri akustik terhadap tuturan interogatif bahasa Karo tersebut.

(8)

ABSTRAC

The title of this research is The Interrogative Marker of Acoustics Characteristic in Karo Language. This research intends to describe the interrogative acoustics characteristic in Karo language, i.e. intensity, frequency, and duration. The data is collected by recording the voice of thirty respondents. The location of the research is Desa Paribun, Subdistrict Barusjahe, District Karo. After the data is collected, and then the data is processed by using computer software Praat version 4.0.27. Based on the data processing, and then the intensity, frequency, and duration were measured. And the acoustics characteristics on interrogative mark in Karo Language was measured.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kasihNya penulis dapat

menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini berjudul Pemarkah Keinterogatifan Ciri

Akustik Dalam Bahasa Karo. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik, pada Program

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini mendeskripsikan ciri akustik tuturan interogatif bahasa Karo yaitu

intensitas, frekuensi, dan durasi. Dari penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa

intensitas suara laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, frekuensi suara perempuan

lebih tinggi daripada frekuensi suara laki-laki, dan durasi suara perempuan lebih panjang

daripada durasi suara laki-laki.

Namun, disadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini,

sehingga penulis mengharapkan saran-saran dan masukan yang dapat menyempurnakan

tulisan ilmiah ini.

Medan, 29 September 2007

Penulis

Asni Barus

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih, terutama kepada Bapak

Prof. Jawasi Naibaho M.Hum, selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dra. T. Syarfina

M.Hum, selaku anggota pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan

kepada penulis dalam melaksanakan penelitian dan penulisan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Chairudin P.

Lubis, DTM & H, D. SA (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan izin dan bantuan dana untuk mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu

Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, Msc selaku Direktur Program Pascasarjana, Ibu Prof. T.

Silvana Sinar, M.A, Ph.D selaku Ketua Program Studi Linguistik dan Bapak Drs. Umar

Mono M.Hum selaku sekretaris Program Studi Linguistik.

Selanjutnya, penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada

rekan-rekan mahasiswa 2005, yang tidak penulis sebutkan satu per satu namanya, yang telah

memberikan dorongan dan sumbangan pemikiran dalam penyelesaian tesis ini.

Secara khusus penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulusnya kepada

suami terkasih Drs D. Bangun, dan ketiga putra – putri saya Elda B. Bangun, Isabela K.

Bangun, Jhon Wesly Bangun yang senantiasa memberikan dorongan, pengertian, bantuan

dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan penulisan tesis ini. Penulis

juga mengucapkan terima kasih kepada sahabatku Asriaty, Rohani Ganie, Herlina

Harahap. Akhirnya terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak peneliti sebutkan

(11)

Pascasarjana Linguistik ini. Segala bantuan dorongan, simpati dan kerjasama yang telah

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia terdiri atas suku bangsa yang beragam dan memiliki bahasa

yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional,

bahasa daerah yang beragam itu masih tetap dipakai sebagai alat komunikasi di daerah,

bahkan bahasa daerah itu dipelihara oleh negara seperti tercantum dalam UUD 1945, Bab

XV, Pasal 36 yang menyatakan bahwa bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat

perhubungan oleh masyarakat bahasa setempat, dibina dan dipelihara oleh negara.

Pembinaan bahasa nasional tidak bisa dilepaskan dari pembinaan bahasa daerah,

karena keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang erat. Dalam Politik Bahasa

Nasional dinyatakan bahasa daerah itu memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Salah

satu bahasa daerah tersebut adalah bahasa Karo.

Bahasa memegang peranan penting dalam berkomunikasi, melalui bahasa

kebudayaan dapat dibentuk, dibina dan dikembangkan. Tanpa adanya bahasa masyarakat

tidak dapat berhubungan satu sama lain, dengan adanya bahasa maka seseorang itu dapat

menyampaikan maksud dan isi hatinya kepada orang lain. Menurut Keraf (1972 : 14)

bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara

yang dihasilkan oleh alat-alat ucap manusia. Dalam menyampaikan pesan, ide dalam

tuturan, melalui bahasa dapat digunakan dua cara, yaitu: (1) menuliskan berita dalam

bentuk untaian kata-kata dan (2) menuturkan atau mengucapkan untaian kata-kata itu.

(13)

segmental adalah bunyi yang terdapat secara berurutan, sedangkan bunyi suprasegmnetal

adalah bunyi bahasa yang menyertai bunyi segmental tersebut. Runtunan bunyi

merupakan arus ujaran yang sambung-menyambung terus-menerus yang diselang-selingi

oleh jeda, diikuti oleh intensitas, durasi, frekuensi suara dan sebagainya.

Pada hakekatnya bahasa digunakan oleh para penuturnya dalam berinteraksi.

Melalui bahasa, sesorang mengutarakan pikiran dan perasaannya kepada orang lain,

sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Bahasa

dapat diwujudkan dalam bentuk lisan (spoken), tulisan (written), dan isyarat (gesture).

Oleh karena itu bahasa adalah wahana yang pertama dan utama dalam komunikasi antar

manusia. Manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana komunikasi vital dalam hidup

ini (Tarigan, 1985: 3). Bahasa adalah milik manusia dan menjadi pembeda utama umat

manusia dengan mahluk hidup lainnya di dunia ini. Bahasa itu dinamis, selalu

berubah-ubah dan berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Bahasa memainkan peranan yang

penting pada setiap situasi sosial yang berbeda.

Dalam Bahasa Karo dijumpai dialek-dialek. Seperti yang dikemukakan Tarigan

(1979: 3) terdapat tiga dialek utama, yaitu : (a) Dialek Gunung-gunung, yang disebut

Cakap Karo Gunung-gunung ‘bahasa Karo Gunung-gunung’. Daerah pemakaiannya,

Kecamatan Munthe, Juhar, Tigabinanga, Kutabuluh, dan Mardinding. (b) Dialek

Kabanjahe, yang disebut Cakap Karo Orang Julu ‘bahasa Karo Orang Timur’. Daerah

pemakaiannya, Kecamatan Kabanjahe, Tigapanah, Barusjahe, Simpangempat dan

Payung. (c) Dialek Jahe-Jahe, yang disebut Cakap Karo Jahe-Jahe ‘bahasa Karo

Jahe-Jahe’. Daerah pemakaiannya, Kecamatan Sibolangit, Pancurbatu, Biru-biru, Lau bekeri

(14)

dialek ini ditimbulkan oleh keadaan alam tempat tinggal mereka yang berbukit-bukit.

Perbedaan diantara ketiga dialek tersebut terutama dalam bidang fonologi.

Bahasa Karo adalah salah satu diantara bahasa-bahasa daerah yang ada di

Indonesia. Bahasa Karo dapat mencerminkan adat-istiadat dari budaya Bahasa Karo. Pilar

budaya Karo inilah yang membina masyarakat Karo untuk bersikap dan bertutur kata

sebagai mana layaknya seseorang yang beradat, berbudaya dan tradisi yang sudah

disepakati secara konvensional. Bahasa Karo adalah bahasa daerah yang digunakan di

Kabupaten Karo. Dalam pergaulan sehari-hari peranan Bahasa Karo sangat fungsional.

Pemakaiannya tidak saja terbatas pada suku Karo, tetapi juga oleh suku-suku pendatang.

Di kantor-kantor pun baik kantor pemerintah maupun swasta dipergunakan juga Bahasa

Karo, terlebih-lebih kalau teman bicara itu adalah orang Karo atau orang yang mengethui

bahasa tersebut. Bila pegawai pemerintahan dalam tugasnya memberi penerangan

ataupun bimbingan kepada masyarakat di desa-desa, mereka biasanya menggunakan

bahasa Karo. Jadi Bahasa Karo dipergunakan bukan saja pada situasi yang tidak resmi,

tetapi juga kadang kala pada hal yang resmi.

Mengingat pentingnya fungsi bahasa daerah perlu diadakan penelitian yang

mendasar secara sungguh-sungguh terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bahasa

yang diteliti dalam tesis ini adalah bahasa Karo, yang masih hidup dalam masyarakat

Karo di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara Kabupaten Karo. Pengkajian bahasa

daerah dalam tesis ini merupakan salah satu pelestarian bahasa daerah. Hal ini sesuai

(15)

… Pelestarian dan pengembangan bahasa daerah termasuk juga pemeliharaan sumber bahasa Indonesia tetap dapat terlaksana. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Bab XV Pasal 36 yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa dipakai sebagai alat penghubung hidup dan dibina oleh masyarakat penuturnya, dipelihara dan dilindungi oleh negara karena merupakan bagian dari kebudayaan yang hidup.

Masyarakat Karo juga mempunyai sastra lisan. Sastra lisan pada masyarakat

Karo, mempunyai peranan penting dalam upacara-upacara adat, seperti upacara melamar

gadis, upacara perkawinan, upacara kelahiran anak, upacara kematian dan upacara

memasuki rumah baru. Sastra lisan yang terkenal pada masyarakat Karo adalah

Ndungndungen yaitu sama dengan pantun pada bahasa Indonesia; Bilang-bilang yang

berupa dendang duka; Cakap Lumat atau bahasa halus, yang penuh dengan bahasa kias,

pepatah-petitih, perumpaan, teka-teki; Turi-turian atau cerita yang berbentuk prosa

misalnya mengenai asal-usul marga, cerita binatang, cerita orang sakti; Tabas atau

mantra, umumnya hanya dipakai para dukun.

Salah satu upaya untuk mewujudkan agar bahasa Karo yang masih digunakan

sebagai media komunikasi dapat berkembang kearah mutu pemakaian yang lebih baik

adalah melalui berbagai penelitian. Bahasa Karo salah satu bahasa daerah yang ada di

Indonesia juga mempunyai ciri akustik, dapat diteliti secara lebih mendalam. Berdasarkan

pada asumsi, mungkin ada perbedaan dalam penggunaan bahasa Karo yang dipengaruhi

oleh jenis kelamin dan latar belakang lainnya. Faktor yang mempengaruhi perbedaan ciri

akustik yang lebih mendalam tentu akan dapat diamati secara jelas setelah mengeahui

(16)

1.2 Ruang Lingkup

Adapun yang hendak diteliti ialah pengukuran ciri akustik interogatif bahasa Karo

yaitu, intensitas, durasi dan frekuensi. Penelitian akan berpangkal pada kajian fonetik

akustik yang hasil pengukurannya akan diaplikasikan untuk kajian fonologi.

1.3 Masalah Penelitian

Penelitian ini akan mendeskripsikan ciri akustik interogatif bahasa Karo. Dari

uraian diatas, masalah pokok yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur intensitas dalam bahasa Karo pada modus interogatif?

2. Bagaimana struktur durasi dalam bahasa Karo pada modus interogatif?

3. Bagaimana frekuensi dalam bahasa Karo pada modus interogatif?

1.4 Tujuan Penelititan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini akan menentukan bagaimana struktur intensitas dalam bahasa Karo

menurut modus interogatif.

2. Penelitian ini akan menentukan bagaimana struktur durasi dalam bahasa Karo

menurut modus interogatif.

3. Penelitian ini akan menentukan bagaimana struktur frekuensi dalam bahasa Karo

(17)

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi bahasa Karo, kajian ini dapat menjadi salah satu sumber untuk realisasi

kajian lisan menuju ke penelitian realisasi akustikdalam bahasa.

2. Temuan kajian ini juga memberi tolok ukur pengajaran bahasa Karo.

3. Bagi linguistik di Indonesia, kajian ini akan memperkaya kajian kebahasaan di

(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori

Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa

memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau

tidak. Menurut (Roca dan Johnson melalui Sugiyono, 2003: 72), fonetik adalah ilmu yang

menyelidiki dan menganalisis bunyi-bunyi ujaran yaitu tataran yang merefleksikan

peristiwa artikulasi, akustik dan perseptual. Fonetik lazim didefinisikan sebagai ilmu

yang mengkaji bunyi bahasa sebagai tindak tutur (Trubetzkoy: 1969). Dengan kata lain,

fonetik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa dalam peranannya sebagai

media atau sarana bahasa. Menurut Bright (1992) fonetik akustik menyelidiki gelombang

suara sebagai peristiwa fisika atau fenomena alam yang membentuk hubungan antara

pembicara dan pendengar.

Gelombang-gelombang udara yang bergerak keluar akan mengeluarkan

gelombang suara. Artinya akibat pergeseran molekul-molekul udara yang mengakibatkan

getaran. Bergeraknya molekul udara dan gerakan itu mendorong

molekul-molekul yang lain dan molekul-molekul yang lain mendorong molekul-molekul udara yang lain lagi, dan

begitu seterusnya sampai membentuk gelombang suara itu maka ada beberapa yang harus

diperhatikan yaitu, intensitasnya, durasinya, dan frekuensinya. Untuk mengetahui keras

atau nyaringnya suara bunyi secara akustik yang berpangkal pada luasnya atau lebarnya

gelombang udara disebut intensitas (Hayward, 2000:32). Semakin besar tenaga yang

(19)

terdengar. Ciri akustik inilah yang lebih sering disebut sebagai intensitas bunyi

(Sugiyono, 2003: 82).

Menurut Sugiyono (2003) durasi adalah waktu yang diperlukan untuk realisasi

sebuah segmen yang diukur dalam satuan milidetik. Jika segmen itu kalimat, perbedaan

waktu itu biasa disebut tempo. Struktur temporal yang dikenal juga sebagai durasi, adalah

seperangkat aturan yang menentukan pola durasi dalam tuturan (van Hauven, 1994).

Frekuensi bunyi menurut Lahiste (1970), adalah jumlah gertaran udara yang

didasarkan pada beberapa banyak gelombang tersebut dalam massa 1 detik. Frekuensi

juga menentukan titi nada atau nada. Titi nada atau disebut juga intonasi merupakan

sistem tingkat (naik dan turun) serta keragaman pada rangkaian nada ujaran di dalam

bahasa (Siregar, 2000). Frekuensi bunyi berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya nada

sebuah bunyi (Sugiyono, 2003).

Noteboom (1999:64) memberikan batasan durasi sebagai ciri prosodik dan ritme

tuturan yang diberi pengertian sebagai aspek durasi tuturan yang dikendalikan

penutur(speaker contolled aspect of speech timing). Durasi atau penghentian sesaat lazim

disebut jeda. Jeda digunakan sebagai pembatas konstituen-konstituen pokok ujaran

seperti batas antara klausa yang satu dengan klausa yang lain atau antara konstituen

subjek dan konstituen predikatnya(Cruttenden 1998:30).

Dalam kajian ini ciri akustik tuturan bahasa Karo akan dikaitkan dengan aspek

semantik kalimat atau modus kalimat. Menurut Chaer(1994) modus adalah

pengungkapan atau penggambaran suasana psikologis perbuatan menurut tafsiran si

pembicara atau sikap si pembicara tentang apa yang diucapkannya. Penelitian ini

(20)

penelitian yang bersifat secara impresionistik (kajian yang mengandalkan kepekaan

indera pendengaran untuk mengidentifikasi bunyi bahasa) sangat diperlukan bagi ahli

fonetik untuk memiliki alat pendengaran yang tajam dan terlatih. Hal ini bertujuan untuk

menganalisis bunyi-bunyi bahasa, mengidentifikasi bunyi dalam berbagai bahasa dalam

dimensi artikulatoris, dan mendeskripsikannya ke dalam simbol-simbol fonetik yang

dapat dimengerti.

Sedangkan menurut Lado (1996) dan Cruttenden (1977) penelitian yang

mempergunakan pendekatan instrumental dapat memberikan pemecahan atas

keterbatasan impresionistik. Pendekatan instrumental adalah sama dengan eksperimental.

Ciri akustik dapat diukur dengan menggunakan program komputer seperti Computerized

Research Speech Environment (CRSE) dan Praat. Dengan alat ukur ini dapat dilakukan

pendekatan instrumental untuk mengetahui teknik-teknik pencitraan (imaging technique),

yaitu pelacakan gerak pita suara maupun pengukuran ciri akustik. Maka penelitian ini

menggunakan pendekatan instrumental dengan menggunakan program Praat.

2.2 Fonetik Eksperimental dan Impresionistik

Bila penelitian dengan pendekatan impresionistik (kajian yang mengandalkan

kepekaan indera pendengaran untuk mengidentifikasi bunyi bahasa), maka sangat

diperlukan bagi ahli fonetik untuk memiliki alat pendengaran yang tajam dan terlatih

untuk menganalisis bunyi-bunyi bahasa. Untuk menjadi ahli fonetik impresionistik,

(21)

dimensi artikulatoris, dan mendeskripsikannya ke dalam simbol-simbol fonetik yang

dapat dimengerti secara luas.

Selama berpuluh-puluh tahun, kajian fonetik didominasi dengan kajian

pendekatan impresionistik, yaitu kajian fonetik yang mengandalkan kepekaan indera

pendengaran untuk mengindentifikasi bunyi bahasa. Maka sangat wajarlah seseorang ahli

fonetik dituntut harus mempunyai alat pendengaran yang tajam dan terlatih untuk

menganalisis bunyi-bunyi bahasa. Dengan kata lain untuk menjadi ahli fonetik

impresionistik harus diperlukan kepekaan dan keahlian mengidentifikasi bunyi dari

berbagai bahasa dalam dimensi artikulatoris, dan dapat juga memberikan hasil

identifikasinya pada simbol-simbol atau lambang-lambang fonetik yang dapat dimengerti

sacara luas.

Sedangkan menurut (Lado, 1966) dan (Cruttenden, 1977) penelitian yang

mempergunakan pendekatan instrumental dapat memberikan pemecahan atau solusi atas

keterbatasan pendekatan impresionistik. Pendekatan instrumental adalah sama dengan

eksperimental. Pendekatan instrumental dilakukan dengan bantuan alat ukur yang akurat,

baik dengan teknik pencitraan (imaging technique), pelacakan gerak pita suara maupun

pengukuran ciri akustik. Untuk pengukuran ciri akustik telah banyak dikembangkan

dengan program komputer seperti Computerized Research Speech Environment (CRSE)

dan Praat.

Para ahli psikologi dan fonetik eksperimental, menggunakan pendekatan

instrumental dalam melakukan persepsi tutur dengan mengidentifikasi petunjuk-petunjuk

(22)

atau guru bahasa untuk mendeskripsikan intonasi baik untuk tujuan praktis, misalnya

pengajaran bahasa. Pendekatan eksperimental tidak saja memperluas cakupan kajian

fonetik, bisa mengubah persepsi orang tentang kajian fonetik. Bahkan akhirnya dianggap

kajian fonetik tidak sepenuhnya menjadi bagian dari linguistik seperti apa yang

dipopulerkan Denes dan Pinson (1963) (diadaptasi dari Hayward, 2000:6), yaitu ada tiga

tataran yang harus dilalui dalam sebuah tuturan lisan hingga sampai kepemahaman mitra

tutur dalam sebuah dialog. Ketiga tataran itu adalah tataran linguistik, tataran fisiologis,

tataran akustik.

Seorang penutur akan memastikan apa yang akan dikatakannya, maka penutur

menyusun pesannya dalam bentuk-bentuk linguistik yaitu fonem demi fonem, kata demi

kata, hingga menyusun kalimat dan wacana. Bentuk-bentuk itu yang kemudian diubah

menjadi serangkaian perintah motoris oleh otak yang kemudian memerintah alat ucap

agar memproduksi tuturan sesuai dengan bentuk-bentuk linguistik yang telah disusun.

Dari hasil aktivitas motoris alat ucap itu berbentuk gelombang suara yang bergerak

merambat melalui udara, baik ke telinga pendengar sebagai pesan baru maupun ke telinga

penutur itu sendiri sebagai umpan balik. Sehingga ia dapat mengontrol apakah tuturannya

itu telah direalisasikan sesuai dengan keinginannya. Sinyal suara yang masuk melalui

indera pendengaran, kemudian memberi impuls saraf dan memicu otak pendengar untuk

menafsirkan makna tuturan itu. Ketika masih dalam otak penutur dan ketika sudah

sampai ke otak pendengar, bentuk-bentuk itu berada pada tataran abstraksi linguistik.

Ketika diucapkan oleh penutur atau didengar oleh pendengar bentuk-bentuk itu berada

pada tataran fisiologis. Ketika merambat melalui gelombang udara di luar organ tubuh

(23)

2.3 Fonetik dan Fonologi

Bahasa adalah suatu sistem lambang. Istilah “lambang” di dalam rumusan itu,

diartikan dengan unsur-unsur bahasa yang lazim disebut kata. Kata-kata itu biasanya

digabung-gabung menjadi satuan yang lebih besar berdasarkan pola-pola tertentu.

Kata-kata dan gabungan-gabungan Kata-kata itu melambangkan konsep, benda, peristiwa, ataupun

keadaan yang lazim disebut “makna”. Terlepas dari ketidakterikatan bahasa dari media,

sejarah umat manusia menunjukkan bahwa komunikasi verbal secara lisan merupakan

yang terutama. Dibandingkan dengan penggunaan media lain, penyampaian berita

melalui bunyi merupakan yang terlengkap dan paling mudah dilakukan oleh setiap

manusia normal. Orang yang akan menyampaikan berita melalui tulisan misalnya, paling

tidak memerlukan waktu yang lebih lama dan perlengkapan yang lebih banyak. Belum

lagi keterbatasa sistem tulisan dalam menyatakan berita seperti perasaan dan sikap

pengirim berita itu.

Dari sejarah peradaban manusia, kita lihat bahwa bahasa lisan telah ada semenjak

manusia ada, sedangkan bahasa tulis relatif baru dikembangkan sekitar 5000 tahun lalu

(Hans Lapoliwa). Menurut para ahli bahasa untuk catatan sementara terdapat lebih

kurang tiga ribu bahasa di dunia, tetapi banyak diantara bahasa-bahasa itu yang tidak

mengenal sistem tulisan sendiri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

pengetahuan tentang bunyi merupakan suatu persyarat untuk dapat mempelajari dan

memahami seluk-beluk bahasa dengan baik. Ilmu yang mempelajari seluk-beluk

(24)

Tuturan bahasa terdiri atas bunyi. Bukan sembarang bunyi saja, melainkan bunyi

tuturan yang diucapkan. Bunyi tersebut diselidiki oleh bidang fonetik dan fonologi.

Fonetik meneliti bunyi bahasa menurut cara pelafalannya, dan menurut sifat-sifat

akustiknya. Sedangkan ilmu fonologi meneliti bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya.

Fonetik adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar “fisik” bunyi-bunyi bahasa.

Ada dua segi dasar “fisik” tersebut yaitu segi alat-alat bicara serta penggunaannya dalam

menghasilkan bunyi-bunyi bahasa, dan sifat-sifat akustik bunyi yang telah dihasilkan.

Menurut dasar yang pertama, fonetik disebut “fonetik organik” (karena menyangkut

alat-alat bicara), atau “fonetik artikulatoris” (karena menyangkut pengartikulasian

bunyi-bunyi bahasa). Menurut dasar yang kedua disebut “fonetik akustik”, karena menyangkut

bunyi bahasa dari sudut bunyi sebagai getaran udara.

Bunyi-bunyi bahasa itu dapat kita pelajari dari dua sudut pandang. Pertama, kita

dapat memandang bunyi-bunyi itu sebagai media bahasa semata, yang tidak lebih

daripada benda. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi bahasa, demikian lazim disebut

fonetik. Kedua, kita dapat pula memandang bunyi-bunyi itu sebagai bagian dari sistem

bahasa. Bunyi-bunyi itu merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang bergabung-gabung

berdasarkan pola-pola tertentu (struktur) dan sekaligus berfungsi untuk membedakan

bentuk-bentuk dari berbagai kata. Fonologi yang memandang bunyi itu sebagai bagian

dari sistem bahasa lazim di dalam literatur disebut fonetik.

Fonetik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa dalam peranannya

sebagai media atau sarana bahasa. Dalam menempatkan fonetik konteks studi kebahasaan

pada umumnya secara tepat, perlulah kita menyadari dan menerima keutamaan berita

(25)

dibuat oleh manusia yang memungkinkan berita diwujudkan dalam “bentuk” yang dapat

didengar. Dengan kata lain, fonetik membicarakan proses yang terjadi mulai dari saat

pembentukan bunyi-bunyi oleh si pembicara sampai pada saat si pendengar menyadari

berita yang diwujudkan melalui bunyi-bunyi itu. Dalam pandangan Trubetzkoy (1969:2),

fonetik akan mengkaji bunyi bahasa sebagai tindak tutur (act of speech). Sedangkan

fonologi mengkaji sistem bunyi bahasa itu. Atau dapat dikatakan juga bahwa fonetik

mengkaji bunyi pada tataran permukaan (surface level), yaitu tataran yang merefleksikan

peristiwa artikulasi, akustik, dan perseptual (Roca dan Johnson, 1999:55)

2.4 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terhadap bahasa Karo yang pernah dilakukan antara lain :

fonologi bahasa Karo (Tarigan, 1972) membicarakan tentang pengertian fonologi,

perbedaan fonologi dan fonetik, dan pengertian fonem. Fonotaktik bahasa Karo (Tarigan,

2001) membicarakan deret vokal, diftong, gugus konsonan, deret konsonan dan suku

kata. Sedangkan tentang penelitian suprasegmental bahasa Indonesia yang pernah

dilakukan antara lain:

1. Halim (1969), membicarakan tentang intonasi dalam bahasa Indonesia. Kajian ini

adalah kajian yang pertama dengan cara yang akurat dengan menggunakan alat ukur

Mingograph milik laboratorium fonetik University of Michigan. Alat itu bisa

melakukan pengukuran yang akurat baik dalam intensitas, durasi, frekuensi.

2. Sugiyono (2003), membicarakan tentang prosodik kontras deklaratif dan interogatif

(26)

3. STA (1949), membicarakan intonasi sebagai lagu kalimat. Ia membedakan pola

intonasi dalam bahasa Indonesia menjadi tiga modus kalimat.

4. Ebing (1997), membicarakan bahasa Indonesia. Kajian ini mengkonstruksi model

inonasi bahasa Indonesia yang diverifikasi secara eksperimental, yaitu

membandingkan model ujaran dan kontur intonasi yang telah disederhanakan oleh

komputer.

5. Siregar (2000), membicarakan fungsi pragmatik intonasi di dalam bahasa Indonesia.

6. van Heuven (1994), membicarakan fonetik prosodik.

7. Syamsuri (1971), membicarakan pola intonasi kalimat bahasa Indonesia. Selanjutnya

kajian tentang suprasegmental terhadap bahasa Karo yang telah dilakukan dengan

pendekatan fonetik eksperimental, setahu penulis belum ada. Oleh sebab itu, peneliti

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Populasi dan Sampel

Responden penelitian ini penutur bahasa Karo yang tinggal di wilayah Kabupaten

Karo yaitu Kecamatan Barus Jahe Desa Paribun.Mereka berusia antara 15 dan 60 tahun

dan memiliki alat ucap yang baik dari sekitar seribu penutur bahasa Karo yang diambil 30

orang penutur (2 berjenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan).

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data yang merupakan tuturan interogatif bahasa Karo yang

diperoleh dengan cara merekam tuturan yang diujarkan oleh responden. Untuk

memperoleh tuturan yang diinginkan respoden diberi kondisi berupa narasi yang

mengarahkan responden untuk dapat merealisasikan tuturan sesuai dengan yang

diinginkan.

Untuk mendapatkan data yang jelas, data akan direkam dengan menggunakan

Sony Stereo Cassette-Corder WM-06C yang dilengkapi dengan headset mic SHURE

model SM10A. Alat perekam ini mempunyai keunggulan yang dapat memisahkan setiap

track yang berbeda dan kepekaan perekaman dapat disesuaikan dengan kenyaringan suara

(28)

3.3 Teknik Pengolahan Data

Semua data yang terkumpul diolah dengan menggunakan alat bantu komputer

program Praat versi 4.0.27. Alat ini dipakai oleh para peneliti bidang fonetik

eksprimental, yaitu Remijsen(2002), Sugiyono(2003), Rahyono(2003) dan

T.Syarfina(2006). Alat ini dapat secara mudah melakukan pengukuran intensitas,durasi,

dan frekuensi. Selain itu juga dapat melakukan pengukuran forman bunyi. Dan alat ini

pertama sekali dikembangkan oleh Universitas Amsterdam.

Dalam pengolahan data dibuat tahap-tahapnya, yang pertama adalah tahap

digitalisasi. Data direkam dahulu ke dalam kaset audio, kemudian dimasukkan ke dalam

format digital bentuk sound wave, lalu tuturan dipilih yang baik yang sesuai dengan yang

diinginkan untuk dianalisis. Selanjutnya, segmentasi data, yaitu data yang telah dipilih

lalu dipisah-pisah ke dalam segmen tunggal seterusnya bunyi per bunyi. Setelah selesai

mengolah data, langkah selanjutnya dilakukan pengukuran intesitas, durasi dan frekuensi.

Pengukuran ciri akustik tersebut dilakukan dengan mengadaptasi teori IPO (Instituute

voor Perceptie Onderzoek) (Collier, Cohen dan t Hart, 1990).

3.4 Uji Statistik

Setelah itu dilakukan pengukuran ciri akustik dan mengekstra hasil pengukuran

tersebut ke pangkalan data untuk dianalisis statistik. Terakhir adalah uji statistik untuk

mengetahui signifikan atau tidak signifikan ciri akustik, dengan mengunakan program

komputer SPSS versi 14.0. Dengan merujuk Sugiyono (2003),

0,000 – 0,04 adalah sangat signifikan

(29)

0,1 – 0,14 adalah cukup signifikan

(30)

BAB IV

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Bunyi adalah gelombang-gelombang udara yang bergerak keluar akan

mengeluarkan gelombang suara, suara termasuk bunyi tuturan akibat pergeseran

molekul-molekul udara yang mengakibatkan getaran. Getaran itu merambat sampai ke telinga dan

menggetarkan selaput membran pada indra pendengaran (Sugiyono, 2003). Pola

pergeseran molekul akibat aktivitas sumber suara itulah yang kemudian dalam fisika

disebut sebagai gelombang suara(sound wave) dan dijadikan patokan pengukuran

gelombang.

Untuk mengetahui/melihat karakteristik sebuah bunyi, atas gelombang suara itu

maka harus diukur berapa intensitasnya, yaitu mengukur kelantangan/kenyaringan suara

yang dikeluarkan. Kemudian berapa durasinya, yaitu mengukur waktu atau jarak antara

bunyi per bunyi. Dan berapa frekuensinya, yaitu mengukur atau melihat nada-nada dalam

sebuah bunyi.

4.1 Intensitas

Untuk mengetahui keras atau nyaringnya suara bunyi secara akustik yang

berpangkal pada luasnya atau lebarnya gelombang udara disebut intensitas (Sugiyono,

2003). Jadi semakin besar tenaga yang dikeluarkan, semakin kuat tekanan udara dan oleh

karena itu semakin nyaring suara yang dikeluarkan. Dengan kata lain, intensitas adalah

kelantangan/kenyaringan seseorang mengelurakan suara bunyi. Terdengarnya sesuatu

(31)

bunyi suara terdengar maka lebih tinggi intensitasnya. Intensitas ditentukan oleh

amplitudo suatu gelombang, semakin tinggi amplitudo suatu gelombang maka jumah

intensitas juga makin besar. Intensitas bunyi diukur dalam satuan desibel atau

dilambangkan dengan dB.

Gambar 4.1. Intensitas Suara

Setelah dilakukan pengamatan maka diukur intensitas ketujuh tutran interogatif

(32)

1. Ndigan kin Sentosa ndahi Rina ku Bandung? (Kapankah Sentosa mendatangi

Rina ke Bandung?)

2. Piga wari Sentosa ndahi Rina ku Bandung? (Berapa hari Sentosa mendatangi

Rina ke Bandung?)

3. Erkai Sentosa ndahi Rina ku Bandung? (Mengapa Snetosa mendatangi Rina ke

Bandung?)

4. Sahun kin Sentosa ndahi Rina ku Bandung? (Jadikah Sentosa mendatangi Rina ke

Bandung?)

5. La kin enggo pernah Sentosa ndahi Rina ku Bandung? (Apakah belum pernah

Sentosa mendatangi Rina ke Bandung?)

6. Sentosa ndahi Rina ku Bandung ma? (Sentosa mendatangi Rina ke Bandung

kan?)

7. Kai? Sentosa ndahi Rina ku Bandung? (Apa? Sentosa mendatangi Rina ke

(33)

Tabel 4.1. Rata-rata Intensitas Suara Pada Kelompok Jenis Kelamin

Intensitas N Dasar Final Atas Bawah

Laki-laki 105 620,03 569,83 778,91 88,33

Perempuan 105 615,12 574,59 764,22 87,81

Dari tabel diatas dapat dilihat pengukuran intensitas suara pada kelompok jenis

kelamin pada kalimat iterogratif tersebut, maka lebih tinggi intensitas suara laki-laki

daripada intensitas suara perempuan. Kecuali pada intensitas final, kelompok jenis

kelamin perempuan memiliki angka yang lebih tinggi. Dapat dilihat perbedaan antara

intensitas laki-laki dan perempuan adalah: intensitas dasar (4,91dB ), intensitas atas

(14,69 dB), intensitas bawah (0,52 dB), sedangkan intensitas final perempuan lebih tinggi

(4,76 dB).

Setelah dilakukan pengukuran terhadap suara responden kelompok usia darri

ketujuh tuturan interogatif bahasa Karo maka dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2 Rata-rata Intensitas Suara Pada kelompok Usia

Intensitas N Dasar Final Atas Bawah

15-30 tahun 76 584,51 546,99 758,55 63,13

31-60 tahun 134 636,33 586,51 778,95 102,22

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa intensitas suara untuk kelompok usia pada

(34)

usia 31-60 tahun daripada usia 15-30 tahun. Perbedaan intensitas suara kelompok usia

tersebut adalah sebagai berikut: intensitas dasar (51,82 dB), intensitas final (39,52 dB),

intensitas atas (20,4 dB), intensitas bawah (39,0 dB).

4.1.1 Intensitas Dasar Laki-laki dan Perempuan

Intensitas dasar adalah intensitas awal di dalam sebuah tuturan (Syarfina, 2007).

Perbedaan intensitas dasar pada laki-laki dan perempuan dalam kalimat interogatif

temporal, interogatif numeral, interogatif verbal, interogatif paduan intonasi, interogatif

partikel ingkar, interogatif berekor dan interogatif berkata tanya dapat dilihat tabel di

bawah ini.

Tabel 4.3 Intensitas Dasar Pada Laki-laki Dan Perempuan

J. klmn N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

Lk 15 568,60 596,47 659,53 711,40 619,67 583,13 654,40

Pr 15 565,40 581,53 568,27 616,67 721,00 598,73 654,27

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa intensitas dasar pada bahasa Karo lebih

tinggi intensitas laki-laki daripada perempuan. Tapi pada interogatif numeral, interogatif

berekor lebih tinggi intensitas perempuan. Dapat diambil perbedaan intensitas (laki-laki

dan perempuan) adalah interogatif temporal (3,20dB), interogatif numeral (14,94dB),

interogatif verbal (88,26dB), interogatif berkata tanya (0,13dB), sedangkan pada

interogatif partikel ingkar perempuan lebih tinggi (101,33dB), interogatif berekor

(35)

4.1.2 Intensitas Final Laki-laki dan Perempuan

Intensitas final yaitu intensitas akhir di dalam sebuah tuturan (Syarfina, 2007).

Perbedaan intensitas final pada laki-laki dan perempuan dalam kalimat interogatif

temporal, interogaratif numeral, interogatif verbal, interogatif paduan intonasi, interogatif

partikel ingkar, interogatif berekor dan interogatif berkata tanya dapat dilihat tabel di

bawah ini.

Tabel 4.4 Rata-rata Intensitas Final Pada Laki-laki dan Perempuan

J. klmn N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

Lk 15 535,53 597,87 470,33 530,00 616,53 676,87 561,67

Pr 15 534,47 498,00 560,47 589,20 645,13 601,00 593,87

Dari tabel di atas dapat dilihat intensitas final pada bahasa Karo hampir sama

laki-laki dan perempuan. Perbedaan intensitas (laki-laki-laki-laki dan perempuan) adalah interogatif

temporal laki-laki lebih tinggi (1,06dB), interogatif numeral laki-laki lebih tinggi

(99,87dB), interogtif berekor laki-laki lebih tinggi (75,87dB) sedangkan pada interogatif

verbal perempuan lebih tinggi (90,14dB), interogatif berkata tanya perempuan lebih

tinggi (32,2dB).

4.1.3 Intensitas Atas Laki-laki dan Perempuan

Intensitas atas yaitu intensitas tertinggi di dalam sebuah tuturan (Syarfina, 2007).

Perbedaan intensitas atas pada laki-laki dan perempuan dalam kalimat interogatif

(36)

partikel ingkar, interogatif berekor dan interogatif berkata tanya dapat dilihat tabel di

bawah ini.

Tabel 4.5 Rata-rata Intensitas Atas Pada Laki-laki dan Perempuan.

J. klmn N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

Lk 15 771,13 789,93 766,33 776,06 781,66 781,60 785,66

Pr 15 752,13 760,26 750,00 762,33 774,13 774,53 772,20

Dari tabel di atas dapat dilihat intensitas atas pada bahasa Karo cenderung lebih

tinggi intensitas laki-laki daripada perempuan. Dapat diambil perbedaan intensitas atas

laki-laki dan perempuan adalah interogatif temporal (19), interogatif numeral (29,67dB),

interogtif verbal (16,33dB) interogatif p.intonasi (13,73dB), interogatif p.ingkar (7,53dB),

interogatif berekor (7,07dB) dan interogatif berkata tanya (13,46dB).

4.1.4 Intensitas Bawah Laki-laki dan Perempuan

Intensitas bawah yaitu intensitas terendah di dalam sebuah tuturan (Syarfina,

2007). Perbedaan intensitas bawah pada laki-laki dan perempuan dalam kalimat

interogatif temporal, interogaratif numeral, interogatif verbal, interogatif paduan intonasi,

interogatif partikel ingkar, interogatif berekor dan interogatif berkata tanya dapat dilihat

(37)

Tabel 4.6 Rata-rata Intensitas Bawah Pada Laki-laki dan Perempuan.

J. klmn N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

Lk 15 89,60 89,13 90,00 55,00 75,20 171,73 46,66

Pr 15 40,80 82,53 80,93 43,53 108,00 122,73 136,20

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa intensitas bawah pada tuturan bahasa Karo

masih lebih tinggi intensitas laki-laki daripada perempuan. Pada interogatif p.ingkar dan

interogatif berkata tanya lebih tinggi pula intensitas perempuan. Dapat diambil perbedaan

intensitas laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut : interogatif temporal (48,8dB),

interogatif numeral (6,6dB), interogatif verbal (10,07dB), interogatif p.intonasi

(11,47dB), interogatif berekor (49dB). Sedangkan pada interogatif p.ingkar lebih tinggi

intensitas bawah perempuan daripada laki-laki, perbedaan (32dB), interogatif b.tanya

perbedaan (89,54dB).

4.1.5 Intensitas Dasar Kelompok Usia

Intensitas dasar adalah intensitas awal di dalam sebuah tuturan (Syarfina, 2007).

Perbedaan intensitas dasar pada kelompok usia 15-30 dan kelompok usia 31-60 dalam

kalimat interogatif temporal, interogatif numeral, interogatif verbal, interogatif paduan

intonasi, interogatif partikel ingkar, interogatif berekor dan interogatif berkata tanya

(38)

Tabel 4.7 Rata-rata Intensitas Dasar untuk Kelompok Usia.

Usia N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

15-30 11 518,91 586,36 569,36 694,64 616,27 514,91 606,09

31-60 19 555,37 590,53 637,32 646,32 701,63 634,95 682,26

Ternyata dalam pengukuran ciri akustik intensitas dasar untuk kelompok usia

cenderung lebih tinggi intensitas dasar usia (31-60 tahun) daripada usia (15-30 tahun).

Pada kalimat interogatif temporal dapat diambil perbedaannya (36,46dB), interogatif

numeral perbedaannya (4,17 dB), interogatif verbal (67,96dB), interogatif p.ingkar

(85,36dB), interogatif berekor (120,04dB), interogatif b.tanya (76,17dB). Kecuali pada

interogatif paduan intonasi lebih tinggi intensitas dasar usia 15-30 tahun yaitu

perbedaannya (48,32dB).

4.1.6 Intensitas Final Kelompok Usia

Intensitas final adalah intensitas akhir di dalam sebuah tuturan (Syarfina, 2007).

Perbedaan intensitas final pada kelompok usia 15-30 dan kelompok usia 31-60 dalam

kalimat interogatif temporal, interogatif numeral, interogatif verbal, interogatif paduan

intonasi, interogatif partikel ingkar, interogatif berekor dan interogatif berkata tanya

(39)

Tabel 4.8 Rata-rata Intensitas Final Kelompok Usia.

Usia N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

15-30 11 490,45 605,09 531,09 474,82 661,82 570,55 512,09

31-60 19 560,79 514,84 506,32 608,68 612,89 678,63 615,79

Dari tabel diatas dapat dilihat perbedaan intensitas final pada kelompok usia yaitu:

interogatif temporal, interogatif verbal, interogatif p.intonasi, interogatif berekor,

interogatif b.tanya lebih tinggi intensitas final pada usia 31-60 daripada usia 15-30 tahun.

Sedangkan interogatif numeral, interogatif p.ingkar lebih tinggi pula intensitas final pada

usia 15-30 tahun.

4.1.7 Intensitas Atas Kelompok Usia

Intensitas dasar adalah intensitas tertinggi di dalam sebuah tuturan (Syarfina,

2007). Perbedaan intensitas atas pada kelompok usia 15-30 dan kelompok usia 31-60

dalam kalimat interogatif temporal, interogatif numeral, interogatif verbal, interogatif

paduan intonasi, interogatif partikel ingkar, interogatif berekor dan interogatif berkata

(40)

Tabel 4.9 Rata-rata Intensitas Atas Pada Kelompok Usia

Usia N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

15-30 11 754,81 763,45 739,54 757,00 771,54 757,27 768,90

31-60 19 765,57 781,84 772,10 776,26 781,57 790,10 784,73

Dari tabel di atas dapat dilihat perbedaan intensitas atas pada kelompok usia yaitu

lebih tinggi intensitas atas untuk usia 31-60 tahun daripada 15-30 tahun. Dapat dilihat

perbedaan interogatif temporal (10,76dB), interogatif numeral (18,39dB), interogatif

verbal (32,56dB), interogatif p. intonasi (19,26dB), interogatif p.ingkar (10,03dB),

interogatif berekor (32,83dB), interogatif b.tanya (15,83dB).

4.1.8 Intensitas Bawah Kelompok Usia

Intensitas dasar adalah intensitas terendah di dalam sebuah tuturan (Syarfina,

2007). Perbedaan intensitas bawah pada kelompok usia 15-30 dan kelompok usia 31-60

dalam kalimat interogatif temporal, interogatif numeral, interogatif verbal, interogatif

paduan intonasi, interogatif partikel ingkar, interogatif berekor dan interogatif berkata

(41)

Tabel 4.10 Rata-rata Intensitas Bawah Kelompok Usia.

Usia N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

15-30 11 55,45 94,81 49,72 52,36 83,36 82,27 43,27

31-60 19 70,84 80,63 106,94 47,47 96,36 196,42 119,31

Dari tabel diatas dapat dilihat perbedaan intensitas bawah pada kelompok usia

yaitu: interogatif temporal, interogatif verbal, interogatif p.ingkar, interogatif berekor,

interogatif b.tanya lebih tinggi intensitasnya usia 31-60 tahun. Sedangkan pada interogatif

numeral, interogatif p.intonasi lebih tinggi pula intensitas usia 15-30 tahun.

Simpulan

Setelah dihitung intensitas ketujuh tuturan interogatif bahasa Karo dengan

menggunakan SPSS14.0 maka dapatlah disimpulkan bahwa intensitas suara laki-laki

lebih tinggi daripada intensitas suara perempuan.

4.2 Frekuensi

Pengukuran frekuensi gelombang bunyi didasarkan pada berapa banyak

gelombang dalam massa 1 detik. Satu gelombang inilah yang disebut siklus (cycle) atau

daur, yaitu perulangan penuh satu gelombang. Waktu atau durasi yang diperlukan untuk

(42)

Frekuensi bunyi berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya nada sebuah bunyi.

Seamakin tinggi frekuensi, atau semakin pendek siklusnya maka semakin tinggi nada

bunyi itu. Dalam bunyi tuturan, realisasi ciri akustik ini dipengaruhi oleh tebal atau

tipisnya pita suara dan tegang atau kendurnya pita suara (Sugiyono,2003). Semakin tipis

atau semakin tegang, semakin tinggi frekuensi yang dihasilkan. Sebaliknya semakin tebal

atau semakin kendur pita suara maka semakin rendah frekuensi yang dihasilkan. Keadaan

dan pita suara itulah yang menjelaskan frekuensi suara perempuan cenderung lebih tinggi

daripada frekuensi suara laki-laki.

Pada tataran fonologi, intonasi diberi batasan sebagai penggunaan ciri fonetis

suprasegmental untuk membawa makna fragmatis pada tataran kalimat dalam bentuk

yang terstruktur secara linguistik (Ladd, 1996:12). Ciri fonetis suprasegmental yang

dimaksudkan batasan itu adalah nada (pitch) fungsional yang tidak lain merupakan ciri

perseptual bunyi yang distingtif berupa frekuensi bunyi itu.

Pada tataran fonetik, intonasi diberi pengertian sebagai serangkaian nada,

biasanya satu nada per silabel yang mengkarakterisasi sebuah kalimat di dalam tuturan.

Setiap nada dalam tuturan tidak dilihat secara terpisah-pisah, melainkan membentuk

sebuah struktur yang disebut struktur melodik atau yang lebih dikenal dengan istilah

intonasi. Dari hasil yang diperoleh maka dapat dilihat keterkaitannya dengan teori-teori

yang ada. Seperti teori Sultan Takdir Alisyahbana (1949), yang membicarakan tentang

intonasi bahasa Indonesia sebagai lagu kalimat. Halim (1969) adalah pertama yang

mencoba mendeskripsikan sisitem prosodi bahasa Indonesia dengan teknik pengukuran

yang akurat. Dengan menggunakan Mingograph milik laboratorium fonetik University of

(43)

maupun intensitas. Kajian Halim mengawali kajian intonasi bahasa Indonesia dengan

pengukuran yang lebih teliti. Halim menemukan bahwa intonasi bahasa Indonesia

dikarakterisasi oleh empat satuan intonasional distingtif yang tersusun secara teratur,

yaitu pola intonasi (total) kelompok jeda, kontur dan fonem intonasional seperti tinggi

nada, aksen dan jeda. Sejalan dengan teori tersebut penelitian ini telah menemukan ciri

akustik interogatif bahasa Karo, maka dapat dilihat perbedaan frekuensi suara perempuan

(44)
(45)

Gambar 4.3 Stilisasi

Setelah dilakukan pengukuran terhadap tuturan interogatif bahasa Karo yang

berjumlah tujuh kalimat yaitu: frekuensi dasar laki-laki rata-rata 190,06 Hz, frekuensi

dasar perempuan 273,26 Hz maka ada perbedaan (83,2 Hz) jadi lebih tinggi frekuensi

dasar perempuan.

Nada akhir laki-laki rata-rata 189,63 Hz, sedang nada akhir perempuan 304,23 Hz

(46)

Frekuensi nada atas laki-laki rata-rata 243,99 Hz, sedangkan frekuensi nada atas

perempuan rata-rata 376,71 Hz maka perbedaan (132,72Hz) atau lebih tinggi nada atas

perempuan dari laki-laki.

Frekuensi nada bawah laki-laki rata-rata 132,19Hz, sedangkan frekuensi nada

bawah perempuan 184,15Hz maka ada perbedaan(51 Hz) atau lebih tinggi nada bawah

perempuan daripada laki-laki. Dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.11 Frekuensi Suara Laki-laki dan Perempuan

Jenis Kelamin N Rata-rata

Untuk kelompok usia nada dasar 15-30 tahun rata-rata 236,40 Hz, sedangkan nada

dasar usia 31-60 tahun rata-rata 228,98 Hz. Maka ada perbedaan (7,42 Hz) atau lebih

tinggi nada dasar pada usia 15-30 tahun.

Untuk nada akhir pada usia15-30 tahun rata-rata 239,92 Hz, sedangkan nada akhir

usia 31-60 tahun rata-rata 250,90 Hz. Maka ada perbedaan (10,98Hz) atau lebih tinggi

(47)

Nada tinggi usia 15-30 tahun rata-rata 304,25Hz, sedangkan nada tinggi usia

31-60 tahun rata-rata 313,81Hz. Maka ada perbedaan (9,56Hz) atau lebuh tinggi nada tinggi

pada usia 31-60 tahun.

Untuk frekuensi bawah usia 15-30 tahun rata-rata 171,70Hz, sedangkan frekuensi

bawah usia 31-60 tahun rata-rata 150,49Hz. Maka ada rentanng (21,21Hz) atau lebih

tinggi frekuensi bawah usia 15-30 tahun. Untuk lebih jelas dapat dilihat tabel di bawah ini

Tabel 4.12 Frekuensi Suara Untuk Kelompok Usia

Usia Responden N Rata-rata

Nada dasar adalah nada awal dari tuturan yang digunakan dalam penyebut

frekuensi fundamental. Nada dasar inilah yang digunakan sebagai acuan pendeskripsian

nada-nada yang lainnya. Artinya pola perubahan nada dalam tuturan, pendeskripsiannya

dengan mengukur perbedaan nada-nada tersebut dari nada dasarnya. Inilah yang disebut

(48)

Tabel 4.13 Rata-rata Nada Dasar Laki-laki dan Perempuan.

J. klmn N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

Lk 15 174,35 168,30 180,36 218,04 178,43 171,45 239,51

Pr 15 248,31 231,42 239,51 322,62 269,84 267,43 333,69

Dari tabel diatas dapat dilihat nada dasar perempuan lebih tinggi daripada nada

dasar laki-laki. Dapat dilihat perbedaan pada interogatif temporal (73,96Hz), interogatif

numeral perbedaan (63,12Hz), interogatif verbal perbedaan (59,15Hz), interogatif

p.intonasi perbedaan (104,58Hz), interogatif p.ingkar perbedaan (91,41Hz), interogatif

berekor perbedaan (95,98Hz), interogatif b.tanya perbedaan (94,18Hz). Dari data di atas

dapat dilihat perbedaannya sangat nyata, penelitian ini juga membenarkan Sugiyono

(2003) terhadap penelitiannya yang mengatakan bahwa frekuensi suara perempuan 225

Hz dan frekuensi suara laki-laki 120 Hz.

Tabel 4.14 Rata-rata Nada Dasar Kelompok Usia.

Usia N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

15-30 11 235,58 213,13 218,86 279,02 235,08 213,79 268,37

31-60 19 197,30 192,18 204,77 265,30 217,80 222,71 297,15

Dari table di atas dapat dilihat nada dasar untuk kelompok usia ini, adalah lebih

tinggi nada dasar usia 15-30 tahun pada tuturan interogatif (temporal, numeral, verbal,

(49)

Hz ; verbal 14,09 Hz ; intonasi 13,72 Hz ; partikel ingkar 17,20 Hz. Sedangkan

interogatif berekor dan berkata tanya adalah lebih tinggi usia 31-60 tahun, yaitu

perbedaannya adalah interogatif ekor 8,92 Hz ; interogatif berkata tanya 28,79 Hz.

4.2.2 Nada Akhir

Nada akhir umumnya disebut sebagai nada final, yang berada di akhir intonasi

tuturan. Nada dapat memisahkan satu kontur dengan kontur yang lain. Nada pada

dasarnya sebagai pewatas akhir dari sebuah kontur intonasi (Sugiyono, 2003). Sejalan

dengan ini, perbedaan struktur melodik modus interogatif dapat dilihat pada tuturan

bahasa Karo.

Setelah dilakukan terhadap responden kelompok jenis kelamin pada tuturan

interogatif bahasa Karo, maka dapat dilihat rata-rata nada akhir pada table di bawah ini.

Tabel 4.15 Rata-rata Nada Akhir Laki-laki dan Perempuan

J. klmn N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

Lk 15 181,34 187,58 177,29 189,24 190,05 212,84 189,03

Pr 15 289,89 298,79 308,41 302,89 283,44 316,93 329,22

Sama halnya dengan nada dasar, bahwa pengukuran rata-rata ciri akustik pada

tuturan interogatif juga menunjukkan perbedaan yang nyata antara frekuensi laki-laki dan

perempuan.

Pada tabel diatas dapat dilihat untuk nada akhir pada laki-laki dan perempuan

(50)

perempuan yaitu interogatif temporal perbedaan (108Hz), interogatif numeral perbedaan

(111,21Hz), interogatif verbal perbedaan (131,12Hz), interogatif p.intonasi perbedaan

(113,65Hz), interogatif p.ingkar perbedaan (93,39Hz), interogatif berekor perbedaan

(104,09Hz) dan interogatif b.tanya perbedaan (140,19Hz). Nada final interogatif

perempuan ternyata mempunyai nada final yang tinggi.

Tabel 4.16 Rata-rata Nada Akhir Kelompok Usia.

Usia N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

15-30 11 230,25 234,61 239,97 248,71 232,33 245,22 247,48

31-60 19 238,72 248,15 244,51 244,53 239,30 276,28 265,91

Dari table di atas dapat dilihat perbedaan nada akhir untuk kelompok usia setelah

dilakukan pengukuran. Untuk interogatif (temporal, numeral, verbal, partikel ingkar,

ekor, tanya) adalah lebih tinggi nada akhir untuk kelompok usia 31-60 tahun, yaitu

perbedaannya adalah temporal 8,47 Hz ; numeral 13,54 Hz ; verbal 4,54 Hz ; partikel

ingkar 6,97 Hz ; ekor 31,06 Hz ; berkata tanya 18,43 Hz. Sedangkan interogatif intonasi

lebih tinggi pada kelompok usia 15-30 yaitu perbedaannya 4,18 Hz.

4.2.3 Nada Tinggi

Nada tinggi adalah nada yang digunakan untuk menyebut nada yang paling

atas/tinggi dari sebuah tuturan atau nada tertinggi sebuah kontur intonasi (Sugiyono,

2003). Nada tinggi cenderung berada pada suku kata yang ditekankan pada tuturan. Nada

(51)

dapat dilihat perbedaan nada tinggi tuturan bahasa Karo baik interogatif temporal,

interogatif numeral, interogatif verbal, interogatif p.intonasi, interogatif p.ingkar,

interogatif berekor dan interogatif b.tanya. Setelah dilakukan pengukuran terhadap

tuturan interogatif bahasa Karo untuk laki-laki dan perempuan, maka dapat dilihat

rata-rata nada atas pada tuturan bahasa Karo tersebut di bawah ini.

Tabel 4.17 Rata-rata Nada Tinggi Laki-laki dan Perempuan

J. klmn N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

Lk 15 245,84 233,87 239,77 237,24 245,00 242,05 264,16

Pr 15 343,38 361,44 370,12 362,35 380,13 382,08 437,48

Dari tabel di atas dapat diambil perbedaan nada atas/tinggi (laki-laki dan

perempuan) adalah sebagai berikut: interogatif temporal (97,54Hz), interogatif numeral

(127,57Hz), interogatif verbal (130,35Hz), interogatif p.intonasi (140,03Hz), interogatif

b.tanya (173,32Hz). Dari data di atas maka dapat dilihat bahwa interogatif temporal,

interogatif numeral, interogatif verbal, interogatif p.intonasi, interogatif p.ingkar,

interogatif berekor, interogatif b.tanya memiliki posisi nada tertinggi pada sebuah kontur

(52)

Tabel 4.18 Rata-rata Nada Tinggi Kelompok Usia.

Usia N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

15-30 11 290,18 301,90 300,81 300,94 308,90 302,22 334,19

31-60 19 297,18 295,20 307,34 299,13 314,69 317,77 360,44

Dari table di atas dapat dilihat perbedaan nada tinggi untuk kelompok usia setelah

dilakukan pengukuran. Untuk kelompok usia 31-60 adalah lebih tinggi nada atas pada

interogatif (temporal, verbal, partikel ingkar, ekor, tanya). Perbedaannya adalah

interogatif temporal 7 Hz ; verbal 6,53 Hz ; partikel ingkar 5,79 Hz ; ekor 15,55 Hz ;

berkata tanya 25,81 Hz. Sedangkan interogatif numeral dan p. intonasi adalah lebih tinggi

kelompok usia 15-30 tahun. Perbedaannya adalah numeral 6,7 Hz dan p.intonasi 1,81 Hz

4.2.4 Nada Rendah

Nada rendah adalah nada yang digunakan untuk menyebutkan nada yang dibawah

pada sebuah tuturan atau nada rendah sebuah kontur intonasi (Sugiyono, 2003). Nada ini

adalah sebagai penanda adanya perbedaan antara nada satu dengan nada yang lainnya

dalam tuturan bahasa Karo, nada rendah ini dapat dilihat perbedaan pada laki-laki dan

perempuan dalam kalimat interogatif. Setelah dilakukan pengukuran, rata-rata tuturan

interogatif tersebut baik pada laki-laki dan perempuan maka dapat dilihat rata-rata nada

(53)

Tabel 4.19 Rata-rata Nada Rendah Laki-laki dan Perempuan

J. klmn N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

Lk 15 115,11 126,95 124,44 127,36 126,62 148,62 154,21

Pr 15 165,64 165,21 176,06 174,47 178,02 191,23 238,38

Dari tabel di atas dapat dilihat perbedaan frekuensi nada rendah laki-laki dan

perempuan adalah sebagai berikut: interogatif temporal (58,53Hz), interogatif numeral

(38,26Hz), interogatif verbal (49,62Hz), interogatif p.intonasi (47,11Hz), interogatif

p.ingkar (51,4Hz), interogatif berekor (42,61Hz), interogatif b.tanya (84,17Hz). Dari data

di atas maka dapat dilihat semua interogatif pada laki-laki memiliki nada terendah pada

sebuah kontur intonasi, artinya frekuensi bunyi tuturan interogatif bahasa Karo laki-laki

adalah rendah. Dari hasil perbandingan rata-rata frekuensi suara laki-laki dan perempuan

pada tabel di atas adalah lebih tinggi frekuensi suara perempuan daripada suara laki-laki.

Tabel 4.20 Rata-rata Nada Rendah Untuk Kelompok Usia

Usia N Int.Tem Int.Num Int.Ver Int.Into Int.P.Ing Int.ekor Int.Tanya

15-30 11 155,08 165,20 167,71 163,03 168,82 169,36 221,89

31-60 19 131,86 135,02 141,72 143,90 142,77 170,26 181,48

Dari tabel di atas dapat dilihat perbedaan nada rendah pada kelompok usia adalah

sebagai berikut: untuk usia 15-30 tahun pada interogatif temporal, interogatif numeral,

(54)

lebih tinggi daripada nada rendah untuk usia 31-60 tahun. Sedangkan interogatif berekor

lebih tinggi pula pada usia 31-60 tahun. Dapat dilihat ada perbedaan interogatif temporal

(23,22Hz), interogatif numeral ada perbedaan (30,18Hz), interogatif verbal perbedaan

(25,99Hz), interogatif p.intonasi perbedaan (19,13Hz), interogatif p.ingkar perbedaan

(26,05Hz), interogatif b.tanya perbedaan (40,41Hz). Sementara pada interogatif berekor

lebih tinggi nada rendah usia 31-60 tahun yaitu perbedaan (0,9Hz).

Simpulan

Setelah dihitung frekuensi ketujuh tuturan interogatif bahasa Karo dengan

menggunakan SPSS14.0 maka dapatlah disimpulkan bahwa frekuensi suara perempuan

lebih tinggi daripada suara laki-laki.

4.3 Durasi

Durasi (duration) adalah rentang waktu yang diperlukan untuk realisasi sebuah

segmen yang diukur dalam satuan detik (Sugiyono, 2003). Segmentasi dalam tuturan bisa

berupa bunyi, kata, frasa, klausa dan kalimat. Jika segmen itu berupa kalimat, maka

perbedaan waktu yang digunakan biasanya disebut tempo. Adalah fakta bahwa kapasitas

paru-paru sering mengharuskan seorang penutur harus menghentikan tuturannya sesaat

sebelum melanjutkan ke bagian tuturan berikutnya. Sebaliknya, penutur juga dapat

memanipulasi panjang pendeknya napasnya sehingga penghentian tuturan itu boleh juga

tidak dilakukannya. Akan tetapi lepas dari kapasitas paru-paru dan kemahiran

memanipulasi panjang napas itu, durasi atau hentian sesaat yang lazim disebut jeda.

Dalam sebuah tuturan tampaknya juga mempunyai aturan umum yang dikaitkan dengan

(55)

konstituen-konstituen pokok ujaran, seperti batas antara klausa dengan klausa yang lain

atau antara konstituen subjek dengan konstituen predikatnya. Dalam tuturan interogatif

bahasa Karo, rata-rata lebih panjang durasi suara perempuan daripada laki-laki. Durasi

pada tuturan interogatif bahasa Karo rata-rata untuk perempuan 2,57 detik dan untuk

laki-laki 2,14 detik.

Semakin panjang tuturan dari segi atau jumlah silabel, maka semakin besar pula

durasi yang diperlukan. Dalam penelitian ciri akustik ini, peneliti akan menghitung atau

mengukur durasi tuturan interogatif bahasa Karo hanya bunyi vokal saja bukan konsonan,

dan dapat dilakukan perbandingan antara penutur laki-laki dan perempuan. Lebih

jelasnya penelitian ini difokuskan pada akustik bunyi vokal.

(56)

Gambar 4.5

4.3.1 Durasi Untuk Kelompok Jenis Kelamin

Setelah dilakukan pengukuran durasi secara akustik pada tuturan interogatif

bahasa Karo yaitu pada kalimat Ndigan kin Sentosa ndahi Rina ku Bandung? ”Kapankah

Sentosa mendatangi Rina ke Bandung?”, maka dapat dilihat pada tabel vokal di bawah

ini.

Tabel 4.21 Durasi Tipe I

J.K. N i a i e o a a i i a u a u

Lk 15 0,075 0,076 0,066 0,071 0,113 0,087 0,068 0,074 0,068 0,071 0,052 0,750 0,109

Pr 15 0,098 0,103 0,071 0,076 0,122 0,114 0,103 0,102 0,087 0,097 0,060 0,100 0,143

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perbedaan vokal /i/ pada laki-laki dan

perempuan adalah 0,023 detik, atau durasi suara perempuan lebih panjang dari durasi

suara laki-laki. Perbedaan durasi vokal /i/ pada tuturan interogatif temporal(laki-laki dan

perempuan) adalah sangat signifikan. Perbedaan vokal /a/ pada laki-laki dan perempuan

(57)

laki-laki, maka perbedaannya sangat signifikan. Perbedaan durasi vokal /e/ antara laki-laki

dan perempuan adalah 0,005 detik, atau durasi perempuan lebih panjang daripada durasi

suara laki-laki, maka perbedaannya tidak signifikan. Perbedaan durasi vokal /o/ antara

laki-laki dan perempuan adalah 0,009 detik, atau durasi perempuan lebih panjang

daripada durasi suara laki-laki, maka perbedaannya tidak signifikan. Perbedaan durasi

vokal /u/ antara laki-laki dan perempuan adalah 0,008 detik, atau durasi perempuan lebih

panjang daripada durasi suara laki-laki, maka perbedaannya cukup signifikan.

Total durasi dari tuturan interogatif temporal yaitu pada kalimat Ndigankin

Sentosa ndahi Rina ku Bandung?, untuk laki-laki adalah 2,14 detik sedangkan untuk

perempuan 2,57 detik.

Setelah dilakukan pengukuran durasi secara akustik pada tuturan interogatif

bahasa Karo yaitu pada kalimat Piga wari Sentosa ndahi Rina ku Bandung? ”Berapa hari

kah Sentosa mendatangi Rina ke Bandung?”, maka dapat dilihat tabel vokal di bawah

ini.

Tabel 4.22 Durasi Tipe II

J.K. N i a a i e o a a i i a u a

Lk 15 0,057 0,103 0,096 0,076 0,063 0,096 0,086 0,072 0,072 0,067 0,082 0,056 0,078

Pr 15 0,070 0,107 0,107 0,097 0,068 0,127 0,110 0,087 0,099 0,093 0,097 0,066 0,092

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perbedaan vokal /i/ pada laki-laki dan

perempuan adalah 0,013detik, atau durasi suara perempuan lebih panjang daripada durasi

suara laki-laki. Sejalan dengan ini maka perbedaannya sangat signifikan. Perbedaan vokal

/a/ pada laki-laki dan perempuan adalah 0,004 detik, atau durasi suara perempuan lebih

(58)

signifikan. Perbedaan vokal /e/ pada laki-laki dan perempuan adalah 0,005detik, atau

durasi suara perempuan lebih panjang daripada durasi suara laki-laki, sejalan dengan ini

maka perbedaannya tidak signifikan. Perbedaan vokal /o/ pada laki-laki dan perempuan

adalah 0,031 detik, atau durasi suara perempuan lebih panjang daripada durasi suara

laki-laki. Sejalan dengan ini maka perbedaannya sangat signifikan. Perbedaan vokal /u/ pada

laki-laki dan perempuan adalah 0,010 detik, atau durasi suara perempuan lebih panjang

daripada durasi suara laki-laki. Sejalan dengan ini maka perbedaannya cukup signifikan.

Secara keseluruhan perbedaan tuturan interogatif numeral pada vokal ditemukan

bahwa perbedaannya tidak signifikan. Total durasi tuturan interogatif numeral yaitu pada

kalimat Piga wari Sentosa ndahi Rina ku Bandung?, untuk laki-laki adalah 2,14 detik,

sedangkan untuk perempuan 2,51 detik maka ditemukan perbedaannya tidak signifikan.

Setelah dilakukan pengukuran durasi secara akustik pada tuturan interogatif

bahasa Karo yaitu pada kalimat Erkai Sentosa ndahi Rina ku Bandung? “Mengapa

Sentosa mendatangi Rina ke Bandung”, maka dapat dilihat tabel vokal di bawah ini.

Tabel 4.23 Durasi Tipe III

J.K. N e a i e o a a i i a u a u

Lk 15 0,053 0,112 0,106 0,068 0,094 0,090 0,078 0,075 0,076 0,081 0,058 0,077 0,099

Pr 15 0,072 0,128 0,117 0,069 0,124 0,103 0,097 0,098 0,083 0,101 0,065 0,097 0,122

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perbedaan vokal /e/ antara laki-laki dan

perempuan adalah 0,019detik, atau durasi suara perempuan lebih panjang daripada suara

laki. Maka perbedaan vokal /e/ pada tuturan interogatif verbal (perempuan dan

laki-laki) adalah sangat signifikan. Perbedaan vokal /a/ antara laki-laki dan perempuan adalah

(59)

Maka perbedaan vokal /a/ pada tuturan interogatif verbal antara laki-laki dan perempuan

adalah tidak signifikan. Perbedaan vokal /i/ pada laki-laki dan perempuan adalah 0,106

detik atau durasi suara perempuan lebih panjang daripada suara laki-laki. Maka

perbedaan vokal /i/ pada tuturan interogatif verbal antara laki-laki dan perempuan adalah

tidak signifikan. Perbedaan vokal /o/ pada laki-laki dan perempuan adalah 0,03 detik atau

durasi suara perempuan lebih panjang daripada suara laki-laki. Maka perbedaan vokal /o/

pada tuturan interogatif verbal antara laki-laki dan perempuan adalah sangat signifikan.

Perbedaan vokal /u/ antara laki-laki dan perempuan adalah 0,023detik atau durasi suara

perempuan lebih panjang daripada durasi suara laki-laki, maka perbedaan vokal /u/ pada

tuturan interogatif verbal antara laki-laki dan perempuan adalah tidak signifikan.

Total durasi tuturan interogatif verbal yaitu pada kalimat Erkai Sentosa ndahi

Rina ku Bandung?, untuk laki-laki adalah 2,004 detik sedangkan untuk perempuan 2,296

detik.

Setelah diakukan pengukuran durasi secara akustik pada tuturan interogatif bahasa

Karo yaitu pada kalimat Sahunkin Sentosa ndahi Rina ku Bandung? “Jadikah Sentosa

mendatangi Rina ke Bandung”. Maka dapat dilihat tabel vokal di bawah ini

Tabel 4.24 Durasi Tipe IV

J.K. N a u i e o A a i i a u a u

Lk 15 0,114 0,072 0,070 0,065 0,105 0,096 0,070 0,064 0,068 0,086 0,054 0,081 0,090

Pr 15 0,119 0,084 0,080 0,070 0,126 0,108 0,090 0,090 0,090 0,106 0,070 0,098 0,125

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perbedaan vokal /a/ pada laki-laki dan

perempuan adalah 0,005 detik atau durasi suara perempuan lebih panjang daripada durasi

Gambar

Gambar 4.1.
Tabel 4.2
Tabel 4.3  Intensitas Dasar Pada Laki-laki Dan Perempuan
Tabel 4.4  Rata-rata Intensitas Final Pada Laki-laki dan Perempuan
+7

Referensi

Dokumen terkait

KEGLATAN PENYEDIAAN SARANA DAI'J PRASARANA PENDIDIKAN PTA.. IAIhI SIILTAN AMAI

This study suggested that road management should therefore concentrate some efforts on maintained road surface and improved road facilities in national road to increase

• Besi cor nodular besi cor kelabu + Magnesium atau Cerium “sebelum” di cor • Grafit bentuk nodular.. Struktur Besi Cor

Saluran distribusi merupakan penunjang diperolehnya pendapatan bagi perusahaan dalam usaha pencapaian tujuan dan usaha untuk mencapai laba yang maksimal bagi perusahaan. Tujuan

Penelitian kali ini menggunakan ekstrak daun andalas (M. macroura Miq.) sebagai pengganti capping agent bahan-bahan kimia yang digunakan sebelumnya untuk sintesis

Berita yang ditayangkan dalam program acara wide shot. Jika selama ini acara berita lebih dikenal dengan acara

In this case, a Gricean Cooperative Principle had been tried out for analyzing how it is realized in the utterance context and how implicature is generated in the conversation in

Berdasarkan hal diatas penulis membuat suatu aplikasi dalam Delphi 7.0 yang diharapkan dapat membantu membuat laporan Laboratorium Hematologi agar lebih cepat dan efisien,