RONBOKU NI OKERU SASAKU NO KEKKON NO
DENTOTEKINA GISHIKI
KERTAS KARYA
Dikerjakan
O L E H
IRVINA SARI NIM. 072203024
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG
RONBOKU NI OKERU SASAKU NO KEKKON NO
Dosen Pembimbing Dosen Pembaca
Rani Arfianty, S.S
NIP : 19761110 2005 01 2002 NIP : 19691011 2002 12 1001 Muhammad Pujiono, S.S., M.Hum
Kertas karya ini diajukan kepada panitia ujian
Program pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG
PENGESAHAN
Disetujui Oleh :
Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan
Program Studi D3 Bahasa Jepang
Ketua,
Adriana Hasibuan,S.S.,M.Hum NIP 19620727 198703 2 005
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang
Pada : Tanggal : Hari :
Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
NIP 19650909 199403 1 004 Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.
Panitia :
No. Nama Tanda Tangan
1. Adriana Hasibuan, S.S., M. Hum ( )
2. Rani Arfianty, S.S ( )
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini, sebagai syarat
kelulusan dari program Diploma III Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara. Kertas karya ini berjudul " UPACARA TRADISIONAL
DALAM PERKAWINAN SASAK DI LOMBOK "
Penulis menyadari bahwa apa yang penulis sajikan dalam kertas karya ini, masih
jauh dari sempurna baik dari segi materi maupun penulisannya. Demi kesempurnaannya
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk
menujuke arah perbaikan
Dalam penyelesaian kertas karya ini penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak yang tak ternilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Syaifuddin.M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Adriana Hasibuan,S.S.,M.Hum, selaku Ketua Jurusan Program Studi Bahasa
Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Alimansyar,S.S, selaku Dosen Wali.
4. Ibu Rani Arfianty,S.S, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu demi selesainya kertas karya ini.
5. Bapak Muhammad Pujiono,S.S, selaku Dosen Pembaca
6. Seluruh staf Pengajar Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas
7. Teriatimewa kepada keluarga besar penulis, Ayahanda Sumariyoto Arisaka dan
Ibunda Sudiarti. Kepada abang Irvan Irawan dan kak Lia dan juga ponakan aq
tercinta Nara dan Alfi. Terma kasih atas smua dukungannya dan doa yang telah
dipanjatkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.
8. Tidak lupa penulis juga ingin mengucapkan banyak rasa terima kasih buat teman
saya terutama YONINSTU O2 yaitu Aan ( aCunK ). Izal ( LebOy ), Imel ( p0H ),
Tomi ( cOm coM ), Yana ( pAdanK ), Wahyu ( bOgeL ), Winda ( bAhen0L ) dan
teman- teman stambuk 07 dan juga semua keluarga besar HINODE. Semua pihak
yang telah membantu menyelesaikan kertas karya ini.
Akhir kata penulis memohon maaf kepada para pembaca atas segala kesalahan
ataupun kekurangan dalam pengerjaan kertas karya ini, karena kesempurnaan hanyalah
milik Allah SWT.
Medan, Juli 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….. ii
DAFTAR ISI……… iii
BAB I PENDAHULUAN……… 1
1.1 Alasan Pemilihan Judul……….. 1
1.2 Tujuan Penulisan...……….. 2
1.3 Pembatasan Masalah….……….….... 2
1.4 Metode Penulisan………... 2
BAB II PERKAWINAN SUKU SASAK DI LOMBOK……… 3
2.1 Latar Belakang Masyarakat……… 3
2.2 Kepercayaan...……….……. 5
BAB III UPACARA TRADISIONAL DALAM PERKAWINAN SASAK DI LOMBOK…...………..…….. 7
3.1 Jenis-jenis Perkawinan Sasak Di Lombok... ………. 7
3.1.1 Perondongan ( perjodohan )... 7
3.1.2 Kawin Lamar ( marpadik lamar )... 9
3.1.3 Merarik ( selarian )... 9
3.2 Waktu Penyelenggaraan Upacara...…… ……….. 10
3.3 Tempat Penyelenggaraan Upacara... ... 10
3.4 Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Upacara... 10
3.5 Tahap Persiapan Upacara... ... 11
3.6 Tahap Pelaksaan Upacara... ... 12
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN………...……….. 14
4.1 Kesimpulan……… 14
4.2 Saran……….. 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Alasan pemilihan judul
Kebudayaan adalah bentuk masyarakat. Kebudayaan membentuk jati diri suatu
bangsa. Seperti apa jati diri suatu bangsa tergantung dari kemampuan bangsa yang
bersangkutan dalam merancang dan membangun kebudayaan nasional. Kebudayaan
nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Itu tidak berarti semua unsur
kebudayaan tradisional yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia merupakan unsur
kebudayaan nasional. Menurut Robert H.Lowie (1937) kebudayaan adalah segala
sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat-istiadat,
norma-norma artistik, kebiasan makanan, keahlian yang diperoleh bukan karena
kreativitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau.
Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki Adat Istiadat tersendiri. Adat Iatiadat
ini bisa merupakan kebiasaan, tata upacara tradisional yang dilakukan di suatu daerah.
Tata upacara tradisional berbeda-beda menurut daerah asalnya. Seperti halnya upacara
tradisional perkawinan sasak di lombok. Upacara tradisional perkawinan sasak di lombok
yang disebut Sorong-Serah yang diikuti oleh acara Nyondol dikarenakan upacara ini
memeng tidak diumumkan dan kalau tidak ada hubungan kekeluargaan atau tidak
diundang langsung, kecil kemungkinan untuk dapat menyaksikannya. Karena itu, penulis
1.2 Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan mengangkat "Upacara Tradisional Perkawinan Sasak
Di Lombok" sebagai judul kertas karya adalah sebagai berikut:
1. Agar upacara ini dapat dikenal oleh masyarakat Indonesia.
2. Untuk menambah bahan pengkajian bagi para ahli yang berminat
mempelajari adat perkawinan suku bangsa sasak.
3. Agar dapat dimanfaatkan untuk dijadikan dasar perencanaan bagi pembinaan dan
pengembangan adat Sorong-Serah dan Nyondol.
4. Untuk pengetahuan baik terhadap pembaca dan juga penulis.
5. Melengkapi persyaratan untuk dapat lulus dari D3 Bahasa Jepang
Universitas Sumatera Utara.
1.3 Pembatasan Masalah
Dalam kertas karya ini penulis membahas tentang latar belakang, kepercayaan,
jenis perkawinan suku Sasak di Lombok, tahap persiapan, tahap pelaksanaan, waktu
upacara, tempat upacara, dan pihak-pihak yang terlibat dalam upacara
1.4 Metode Penelitian
Dalam kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan. yaitu
pengumpulan data atau informasi dengan membaca buku sebagai referensi yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan dibahas dalam kertas karya ini. Selanjutnya data
BAB II
PERKAWINAN SUKU SASAK DI LOMBOK
2.1 Latar Belakang Masyarakat
Masyarakat desa Kopang Rembiga adalah masyarakat agraris hampir 80% adalah
petani, yang menggarap tanah sawah yang sempit. Hasil utama adalah padi sebagai
makanan pokoknya, sebagian kecil menggarap kebun dan ladang yang menghasilkan
kelapa, buah-buahan dan sayur-sayuran. Hasil palawijanya mereka jual untuk membeli
beras dan kebutuhan sehari-hari
Sebagian dari mereka adalah petani penggarap dan buruh tani. Mereka menggarap
tanah milik bangsawan atau pemilik tanah yang cukup luas dengan sistem bagi hasil yang
bervariasi. Pembagiannya sesuai perjanjian yang didasarkan tugas dan tanggung jawab
masing-masing.
Masyarakat desa Kopang Rembiga deipimpin seorang Kepala Desa. Sebelum
dasawarsa ke tujuh abad kedua puluh, Kepala Desa menjadi prioritas orang Menak (orang
bangsawan), berasal dari keturunan pendiri desa yang pertama. Sampai sekarang jabatan
Kepala Desa di desa Kopang Rembiga masih merupakan hak prioritas orang Menak.
Orang kebanyakan merasa segan dicalonkan atau mencalonkan diri selama ada calon
orang Menak, disisi lain masyarakat juga tidak menyukai Kepala Desa yang berasal dari
orang kebanyakannya.
Stratifikasi sosial yang dominan mempengaruhi kehidupan masyarakat adalah
didasarkan pada keturunan. Orang yang bersal dari raja dan keluarga raja-raja dari zaman
dalam golongan kaula atau jajar-karang.
Golongan menak berkelas banyak yang ditentukan oleh jauh dan dekatnya
hubungan darah dengan raja. Selain Menak keturunan ada pula Menak karena diangkat.
Pada zaman dahulu seorang laki-laki dari kalangan orang kebanyakan dapat wisuda
menjadi Menak karena jasanya yang besar kepada bangsa dan negara, Menak yang
demikian disebut menak kapardanan. Status Menak Kapardanan sama dengan Menak
keturunan dan orang yang dapat diwisuda tetap menjadi Menak hanya laki-laki.
Anak-anaknya yang lahir sebelum diwisuda tetap menjadi orang kebanyakan, lain dengan
anak-anaknya yang lahir setelah wisuda termasuk golongan menak.
Selain stratifikasi sosial yang didasarkan pada keturunan ada pula kelas-kelas
masyarakat yang didasarkan pada tugas dalam masyarakat, seperti pemimpin masyarakat
desa, pemimpin masyarakat kampung (pembantu kepala desa), pemimpin agama (kyai),
petugas keamanan (lang-lang) atau hansip zaman sekarang dan pengayah yaitu golongan
masyarakat yang bertugas menyisihkan waktu dan tenaga untuk mengerjakan tugas-tugas
yang diberikan oleh raja beberapa hari dalam setahun tanpa upah dan imbalan jasa
lainnya. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, golongan inilah yang diwajibkan
kerja rodi memperbaiki jalan raya.
Besarnya Ajikrama ditentukan berdasarkan pembagian kelas. Pada zaman
kekuasaan raja-raja, besarnya ajikrama bagi setiap golongan masyarakat ditentukan oleh
raja. Setelah raja tidak ada, ketetapan lama masih tetap berlaku tetapi sangat bervariasi.
Pada prinsipnya Ajikrama terdiri dari tampak lemah dan oleh-oleh hanya
merupakan perlambangan. Penyerahannya hanya formalitas kemudian dikembalikan lagi
Sesuai dengan prinsip kekerabatan suku bangsa Sasak, besarnya Ajikrama yang
diserahkan didasarkan pada martabat mempelai laki-laki. Hal ini sesuai dengan tujuan
penyerahan Ajikrama itu yakni untuk menetapkan status mempelai wanita dalam
keluarga suaminya dan status anak-anak yang akan lahir dari perkawinan itu.
2.2 Kepercayaan
Pada umumnya penduduk desa Kopang Rembiga beragama Islam, hanya ada 151
orang yang tidak beragama Islam dan mereka adalah pendatang yang bertugas menjadi
guru di sana. Penduduk desa Kopang Rembiga, seperti desa-desa lain yang terdapat di
pulau Lombok sangat patuh menjalankan syariah Islam. Dakwah-dakwah agama Islam
dilakukan oleh pemuka agama, guru ngaji, dan biasa disebut Tuan Guru. Anak-anak
diajarkan mengaji di mesjid atau di rumah oleh guru ngaji atau orang tua masing-masing.
Dalam kehidupan keagamaan ini masih terdapat unsur-unsur pra Islam. misalnya
yang pergi ziarah ke kuburan keramat untuk membayar kaul atau sesuatu nazar,
melakukan selamatan yang berhubungan dengan kehidupan yang tidak ada dalam agama
Islam.
Pada pandangan awam keharusan adat dan agama hampir tidak dapat dibedakan.
Hampir semua peristiwa kehidupan disertai dengan selamatan, mulai dari kelahiran,
potong rambut, khitanan, perkawinan dan kematian, bayar kaul atau tolak bala, berangkat
haji, lulus dari ujian, khatam Al Quran, selesai panen dan lain-lain karena memperoleh
keuntungan yang diharapkan atau yang tidak terduga-duga. Pada waktu sebelum dasa
warsa ke 7 abad ke 20 potong gigi juga disertai dengan selamatan. Bayar kaul diadakan
lain-lain.
Upacara tolak bala diadakan pada malam jumat, dan dalam bahasa Sasak disebut
tersentulak. Asal kata tulak artinya kembali. Bersentulak artinya mengembalikan.
Maksudnya menolak bala. Upacara dimulai dengan pembacaan berjanji dan diakhiri
dengan doa.
Waktu upacara yang berhubungan dengan syukuran, bayar kaul atau tolak bala
biasanya pada malam jumat,atau hari jumat sehabis sholat jumat. Hidangan selamatan
nasi dan lauk-pauk, diikiti dengan minim teh atau kopi dan makanan kecil jajan dan
buah-buahan. Hidangan selamatan tolak bala cukup dengan minum kopi atau teh dengan
makana kecil. Kelebihan dari yang dimakan dapat mereka bawa pulang sebagai berkat.
Kehidupan keagamaan yang terdapat di Kantor Desa Kopang Rembiga terungkap,
jumlah mesjid 15 buah, musholah 65 buah, madrasah Ibtidaiyah 5 buah dan madrasah
BAB III
UPACARA TRADISIONAL DALAM PERKAWINAN SASAK DI LOMBOK
Perkawinan tidak harus memenuhi syarat agama dan peraturan atau
perundang-undangan negara saja, tetapi juga pelaksanaan syarat-syarat adat. Jika tidak, akan kurang
baik bagi anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Agar kedudukan hukum
anak-anak yang akan lahir dari suatu perkawinan yang jelas, maka perkawinan tersebut
dibebankan suatu upacara Sorong-Serah yang diikuti oleh acara Nyondol. Tetapi
Nyondol bukanlah suatu kewajiban seperti upacara Sorong-Serah.
3.1Jenis-jenis Perkawinan Sasak Di Lombok
Terdapat tiga jenis perkawinan adat sasak, yaitu:
3.1.1Perondongan (Perjodohan)
Perjodohan merupakan salah satu bentuk perkawinan yang sering dilakukan oleh
masyarakat adapt sasak di masa lampau. Paling tidak ada dua alasan orang tua
melakukan perjodohan pada anak- anak mereka, yaitu:
a. Untuk memurnikan keturunan dari sebuah keluarga, biasanya keluarga
keturunan bangsawan tidak mau darahnya bercampur dengan darah orang
lain yang bukan bangsawan atau terutama dari sosialnya rendah.
b. Untuk melanggengkan hubungan persahabatan antar kedua orang tua
mempelai.
c. Karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah akibat
Semasa pendudukan Jepang seringkali tentara Jepang mangambil gadis-gadis lokal
secara paksa untuk dijadikan wanita simpanan. Yang mereka ambil adalah perempuan
yang belum memiliki suami atau perempuan yang belum memiliki ikatan perjodohan.
Karena itu masyarakat melakukan langkah dengan cara menjodohkan anak-anak
perempuannya sejak kanak-kanak. Perkawinan ini kemudian dikenal dengan nama
"kawin tadong". Kalau sudah mendapatkan status perkawinan otomatis tentara jepang
tidak akan mengambilnya.
Alasan yang pertama dan kedua adalah alasan yang paling banyak ditemukan
karena itu biasanya perjodohan dilakukan di dalam garis kekerabatan, misalnya antar
sepupu, yang dalam bahasa sasal disebut pisak.
Dalam perjodohan ini terdapat tiga cara yang digunakan, yaitu:
• Setelah adanya kesepakatan antar kedua orang tua diadakan upacara
pernikahan layaknya upacara perikahan orang dewasa, namun sekalipun
mereka telah berstatus sebagai suami istri mereka dilarang hidup
bersamaan sebagai suami istri. Tempat tinggal mereka dipisahkan dan tetap
tinggal bersama orang tua masing-masing. Mereka akan dinikahkan dalam
arti yang sebenarnya kelak setelah memasuki usia dewasa. Jadi dengan
perikahan dini tersebut sesungguhnya anak-anak telah terikat dalam sebuah
tali perkawinan
• Anak-anak tidak akan dinikahkan akan tetapi hanya cukup dengan
pertunangan, bahwa kelak setelah dewasa anank-anak tersebut akan
dikawinkan dengan perkawinan yang sesungguhnya
cukup diumumkan di publik bahwa anak mereka telah dijodohkan.
Anak-anak tersebut baru akan diberithukan setelah mereka dianggap dewasa. Jika
kelak anak yang telah dijodohkan ini menolak melanjutkan perkawinannya,
orang tua akan memaksa anak-anaknya untuk tetap melanjutkan
perkawinan itu, hal kemudian menimbulkan tradisi kawi paksa. Akan tetapi
jika anak tetap menolak maka orang tua akan melakukan pengusiran ke
desa tertentu. Pengusira itu kemudian disebut"bolang" yang artinya buang
3.1.2 Kawin Lamar ( Merpadik Lamar )
Sistem ini tidak jauh beda dengan sistem lamar yang berlaku di tepat lain, bahwa
setelah calon mempelai bersepakatan melakukan pernikahan, calon mempelai laki-laki
akan memberitahukan orang tuanya dan meminta dilamarkan ke orang tua si gadis. Cara
melamar ini dalam perakteknya sering sekali memerlukan waktu yang panjang, ribet dan
berliku-liku, sehingga sering sekali membuat rasa jenuh dan jengkel bagi sepasang
kekasih, yang bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Karena itu cara ini sangat
populer. Akan di masyarakat yang taat beragama dan atau di masyarakat perkotaan
sistem ini justru lebih populer.
3.1.3Merarik ( Selarian )
Sistem ini adalah yang paling populer, sekalipun mengandung bahaya namun
cara ini adalah cara yang umum dipergunakan oleh masyarakat sasak sampai sekarang.
Menarik adalah sebuah langkah awal dari suatu proses perkawinan yang panjang.
Menarik sering dikonotasikan dengan mencuri wanita dalam arti melarikan wanita untuk
dijadikan istri oleh laki-laki. Jadi perbuatan mencuri wanita bukan kejahatan. Filosofinya
merupakan suatu bentuk penghormatan kepada kaum wanita. Bagi mereka, wanita tidak
bisa disamakan dengan benda yang bisa ditawar-tawar atau diminta.
3.2 Waktu penyelenggaraan Upacara
Waktu penyelengaraan upacara ini selalu dipilih waktu yang senggang, pada hari
dan bulan yang baik, karena upacara ini selalu melibatkan masyarakat banyak,
sekurang-kurangnya segenap anggota keluarga, tetangga dan sahabat. Tetapi ada pula hari-hari
kurang baik menurut kepercayaan untuk menyelenggarakan suatu pesta perkawinan.
Seperti hari Jumat, hari raya Islam, hari-hari berkabung karena kematian seoarang
anggota keluarga kedua mempelai. Penyelenggaraan Sorong-Serah menurut tradisi pada
waktu sore sekitar waktu sholat Ashar.
3.3 Tempat Penyelenggaraan Upacara
Upacara Sorong-Serah umumnya diselenggarakan dirumah orang tua mempelai
wanita, atau dapat juga dirumah kerabat terdekat orang tua mempelai wanita, seperti
dirumah paman atau kakak lelaki yang sudah kawin. Ada juga yang melaksanakan
Sorong-Serah dirumah mempelai laki-laki karena persetujuan kedua keluarga, atau
karena mempelai wanita bukan orang Sasak.
3.4 Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Upacara
Upacara ini banyak melibatkan keluarga besar dari kedua mempelai, tetangga dan
sahabat. Mereka dapat dibagi kedalam beberapa golongan sesuai dengan tugas dan
• Golongan yang bertugas mempersiapkan makanan dan minuman untuk menjamu
tamu.
• Golongan yang bertugas menerima dan mendampingi tamu duduk. • Golongan yang bertugas melayani tamu.
• Pemuka adat dan agama yang menyaksikan dan meluruskan pelaksanaan adat yang
keliru dan yang memimpin upacara doa.
• Mereka yang bertugas menyerahkan Ajikrama ( dari piahak laki-laki dan sebaliknya )
• Mereka yang bertugas Nyondol, mengarak kedua mempelai dari rumah laki-laki
kerumah wanita dan yang bertugas menyongsong rombongan pengantin
• Mereka yang bertugas merias pengantin laki-laki dan wanita
• Mereka yang bertugas sebagai penabuh gamelan yang mengiringi rombongan
pengantin.
3.5 Tahap Persiapan Upacara
Kedua belah pihak keluarga beberapa hari sebelum upacara, sudah mulai sibuk.
Persiapan mulai dari pengumpulan bahan makanan dan minuman, menjalankan undangan
lisan dan tulisan. Keluarga dekat dan tetangga cukup diundang lisan. Sehari sebelum
upacara keluarga dekat dan tetangga sudah mulai berdatangan untuk membantu memasak
dan membuat kelengkapan tempat upacara
Pada hari upacara sejak pukul sepuluh sesuai dengan undangan tamu-tamu sudah
mulai berdatangan. Mereka disambut penerima tamu dan didudukan sesuai martabatnya,
sementara belum dijamu makan dan minum, mereka mengobrol satu dengan yang lain.
persatu. Diantaranya ada yang bertugas mempersiapkan benda-benda yang dipakai untuk
upacara, kelengkapan Ajikrama. Benda-benda Ajikrama, seperti nampak lemah,
oleh-oleh, dan benda-benda lain kalau ada.
Nampak lemah hanya merupakan lambang dan sebagai lambang merupakan
sarana pembinaan kesadaran bagi kedua mempelai dan semua orang yang menyaksikan
upacara tersebut. Nampak lemah dikembalikan utuh kepada keluarga mempelai pria
setelah upacara selesai.
3. 6 Tahap Pelaksanaan Upacara
Upacara Sorong-Serah dan Nyondol dilaksanakn oleh orang sebanyak-banyaknya
diiringi dengan bunyi-bunyian seperti rebana dan rudat. Benda-benda yang akan
diserahkan diatur dalam tempat sesuai dengan jenis bendanya.
Dengan berbaris teratur dan tertib, rombongan penyorong, diikuti oleh rombongan
pengantin yang diiringi bunyi-bunyian, keluar dari rumah orang tua mempelai pria.
Sepanjang jalan benda pelengkapannya itu dibawa dan dijaga dengan baik oleh anggota
rombongan. Setiba di pintu orang tua mempelai wanita, mereka duduk tertib sesuai
urutan seperti sewaktu mulai berangkat. Dan seseorang melaporkan bahwa diluar pintu
rombongan pengantin telah siap masuk dengan berbagai ungkapan. Upacara adat pun
dimulai.
Setelah itu kedua pengantin disambut dan didudukan di pelaminan sejenak dan
anggota rombongan dijamu. Terakhir memberikan ucapan selamat kepada kedua
mempelai dan kedua orangtuanya. Pada zaman dahulu tidak ada pelaminan. Kedua
sementara itu rombongan dijamu dengan makanan dan minuman. Waktu mereka hanya
sebentar kemudian balik membawa pengantin pulang dan selesailah upacara
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
1. Perbedaan masyarakat Suku Sasak di Lombok terlihat sangat jelas misalnya: antara
orang Menak adalah keturunan pendiri desa yang pertama.
2. Kepercayaan yang dianut didaerah ini adalah islam.
3. Jenis-jenis perkawinan Suku Sasak di Lombok ada tiga jenis yaitu: perjodohan, kawin
lamar dan merarik.
4. Perkawinan Sasak di Lombok ini sangat berbeda dikarenakan upacara ini tidak
diumumkan dan kalau tidak ada hubungan atau diundang langsung kecil kemungkinan
untuk dapat dilihat langsung.
4.2 Saran
Dari pembahasan tentang upacara adat di Lombok ini maka penulis menyarankan
sebagai berikut:
1. Agar pemerintah membuat pameran ataupun festival tentang kebudayaan.
2. Agar pemerintah membuat buku-buku tentang adat istiadat daerah.
3. Agar pemerintah memperkenalkan Adat Istiadat melalui radio, televisi dan juga
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1985. Persepsi Manusia Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia
Hamzah. 1988. Upacara tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: