PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Devi Kartika Sari
NPM : 0743023012
Program Studi : Pendidikan Kimia
Fakultas / Jurusan : FKIP MIPA / KIP Kimia
Menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang
pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila ternyata kelak dikemudian hari terbukti ada ketidakbenaran dalam
pernyataan Saya diatas, maka Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya.
Bandar Lampung, 10 Mei 2012
ABSTRAK
PERBEDAAN PENGUASAAN KONSEP SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5 PHASE DENGAN
SIKLUS BELAJAR EMPIRIS-INDUKTIF PADA MATERI REAKSI REDUKSI OKSIDASI
Oleh
DEVI KARTIKA SARI
Dalam membelajarkan konsep reaksi reduksi-oksidasi berdasarkan kurikulum
KTSP adalah proses belajar mengajar berpusat pada siswa, pembelajar (guru)
bertindak sebagai fasilitator. Untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa
terhadap materi reaksi reduksi-oksidasi dipengaruhi oleh peran guru didalam
memilih model pembelajaran yang tepat. Model-model pembelajaran yang
berpusat pada siswa dan berazaskan teori konstruktivisme yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran LC 5-E dan SBEI. Dari dua model
pembelajaran tersebut apakah terdapat perbedaan rata-rata penguasaan konsep
reaksi oksidasi, apakah rata-rata penguasaan konsep reaksi
reduksi-oksidasi yang menggunakan model pembelajaran LC 5-E lebih tingggi daripada
model pembelajaran SBEI. Sehingga tujuan penelitian ini adalah (1)
antara pembelajaran LC 5-E dengan pembelajaran SBEI pada siswa SMA
Negeri 7 Bandar Lampung dan (2) rata-rata penguasaan konsep reaksi redoks
manakah yang lebih tinggi antara pembelajaran LC 5-E dengan pembelajaran
SBEI.
Populasi penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA N 7 Bandar Lampung
tahun ajaran 2011/2012. Sampel diambil menggunakan teknik purposive
sampling. Diperoleh kelas X. 4 sebagai kelas eksperimen I dan kelas X. 5
sebagai kelas eksperimen II. Variabel bebas yaitu pembelajaran dengan model
LC 5-E dan SBEI. Variabel terikat yaitu penguasaan konsep reaksi redoks.
Metode penelitian ini adalah quasi eksperimen. Penelitian ini menggunakan
desain The Matching-Only Posttest-Only Group Design. Analisis data
kuantitatif dilakukan dengan analisis statistik.
Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa (1) ada perbedaan penguasaan konsep
reaksi redoks siswa antara pembelajaran LC 5-E dengan SBEI dan (2) rata-rata
penguasaan konsep reaksi redoks siswa yang diterapkan pembelajaran LC 5-E
lebih tinggi dari pada rata-rata penguasaan konsep reaksi redoks siswa yang
diterapkan pembelajaran SBEI.
Kata kunci : Penguasaan konsep, model pembelajaran LC 5-E, model
Judul Skripsi : PERBEDAAN PENGUASAAN KONSEP SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN LELARNING CYCLE 5-E DENGAN SIKLUS BELAJAR EMPIRIS INDUKTIF PADA MATERI REAKSI REDUKSI OKSIDASI
Mahasiswa : Devi Kartika Sari
Nomor Pokok Mahasiswa : 0743023012
Program Studi : Pendidikan Kimia
Jurusan : Pendidikan MIPA
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Emmawaty Sofya, S.Si., M.Si. Dra. Ila Rosilawati, M.Si.
NIP 19710819 199903 2 001 NIP 19650717 199003 2 001
2. Ketua Jurusan Pendidikan MIPA
Dr. Caswita, M.Si
PERBEDAAN PENGUASAAN KONSEP SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5 PHASE DENGAN
SIKLUS BELAJAR EMPIRIS-INDUKTIF PADA MATERI REAKSI REDUKSI OKSIDASI
Oleh
DEVI KARTIKA SARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan KIMIA
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
PERBEDAAN PENGUASAAN KONSEP SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5 PHASE DENGAN
SIKLUS BELAJAR EMPIRIS-INDUKTIF PADA MATERI REAKSI REDUKSI OKSIDASI
(Skripsi)
Oleh;
DEVI KARTIKA SARI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. The 5-E Learning Cycle Model ... 15
2. Alur Penelitian ... 44
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
A. Teori Belajar Perkembangan Kognitif Jean Piaget ……… 8
B. Pembelajaran Konstruktivisme ... 9
C. Siklus Belajar (Learning Cycle) ……… 11
D. Model Pembelajaran Learning Cycle 5 Phase ... 14
E. Model Pembelajaran Siklus Belajar Empiris Induktif ……….. 19
F. Penguasaan Konsep ... 25
G. Lembar Kerja Siswa ... 27
H. Kerangka Pemikiran ... 29
I. Anggapan Dasar ... 33
III. METODE PENELITIAN ... 34
A. Populasi dan Sampel Penelitian ... 34
B. Variabel Penelitian ……… 35
C. Jenis dan Sumber Data ……….. 35
D. Desain dan Metode Penelitian ... 36
E. Instrumen Penelitian ... 37
F. Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian ... 43
G. Hipotesis Statistik ... 46
H. Teknik Analisis Data ... 47
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51
A. Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 51
B. Pembahasan ... 56
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 69
A. Simpulan ... 69
B. Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 70
LAMPIRAN 1. Silabus ………. 74
2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen Idan II ... 79
4. LKS Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 126
7. Soal Postest ... 190
8. Kunci Jawaban Postest ... 193
9. Rubrik Soal Postest ……….. 195
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Desain penelitian ... 36
2. Makna validitas butir soal ... 40
3. Makna reliabilitas butir soal ... 41
4. Rancangan kegitan kedua kelas ... 45
5. Perolehan nilai penguasaan konsep siswa ... 51
6. Hasil uji normalitas nilai posttest kedua kelas ... 53
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Emmawaty Sofya, S.Si., M.Si. ………
Sekretaris : Dra. Ila Rosilawati, M.Si. …………...
Penguji
Bukan Pembimbing : Dr. Ratu Betta Rudhibyani, M.Si ………
2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dr. Bujang Rahman, M.Si.
NIP. 19600315 198503 1 003
MOTTO
Kita hidup dengan apa yang kita peroleh, namun kita memperoleh
kehidupan dengan apa yang kita berikan
(Winston Churchill)
Setiap tindakan untuk mewujudkan impian anda pasti mendukung resiko
dan harga, tapi itu jauh lebih baik dari pada resiko jangka panjang dan
harga yang lebih mahal yang harus anda bayar dari pada tidak melakukan
apapun
(John Kenedy)
Kita adalah hasil dari ulangan tindakan kita sendiri
(aristoteles)
Percaya pada diri sendiri adalah rahasia pertama kesuksesan
(Ralph Waldo Emerson)
”Bertemunya persiapan dan kesempatan membuahkan hasil yang kita
sebut keberuntungan”
(Anthony Robbins)
Percayalah semua masalah dan rintangan yang kita hadapi bukanlah
untuk melemahkan kita, justru ini akan menjadikan kita lebih kuat, lebih
dewasa, bijaksana, sabar dan beriman.
(Devi Kartika Sari)
Tidak ada yang tidak mungkin, semua pasti akan tercapai jika kita mau
berusaha, kerja keras
dan berdo’a
sukses adalah menukarkan ilmu pengetahuan dengan tindakan yang
positif
menarilah dan terus tertawa walau dunia tak seindah surga
bersyukurlah pada yang kuasa cinta didunia
aku selalu siap untuk belajar tapi aku tidak suka selalu diajari
Keberanian adalah berpindah dari satu kegagalan ke keggagalan yang
lain tanpa kehilangan rasa antusias.
Belajarlah dari kesalahan orang lain, karna anda tidak akan pernah punya
waktu cukup dan dana untuk melakukan semua kesalahan itu sendiri
sangat sulit menjai no 1, namun jauh lebih sulit jadi dirimu sendiri
satu-satunya yang mampu membuat manusia berhasil dalam mencapai
tujuan adalah jangan mengatakan ya, tapi lakukanlah.
resiko terbesar dalam hidup ini adalah tidak mengambil resiko sama
sekali
sebuah senyuman dapat terjadi secepat kilat namun kenangannya mampu
bertahan seumur hidup,,, senyum lahhhh
usaha dan keberanian tidak cukup tanpa adanya tujuan dan arah
(John kenedy)
dan harga yang lebih mahal yang harus anda bayar dari pada tidak
melakukan apapun
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Hargosari Lampung Selatan pada tanggal 1 Juni 1989 sebagai
anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan bapak M. Sujono dengan Ibu Sri
Islamiyati, S.Pd.
Penulis mengawali pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri 2 Ruguk, Lampung
Selatan yang diselesaikan pada tahun 2001, dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Tanjung Bintang pada tahun 2004. Pada tahun
yang sama penulis diterima di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Kalianda dan selesai
pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Universitas
Lampung melalui jalur Non Seleksi Mahasiswa Baru (Non SPMB) pada Program
Studi Pendidikan Kimia, Jurusan FKIP MIPA, Fakultas Keguruan Dan Ilmu
Pendidikan.
Penulis pernah mengikuti Kuliah Kerja Lapangan ke Jakarta, Bandung dan
Yogyakarta pada tahun 2009 dan telah menyelesaikan Program Pengalaman
SANWACANA
Alhamdulillah. Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
ridho-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul “ Perbedaan Penguasaan Konsep Reaksi Reduksi Oksidasi Antara Model Pembelajaran Learning Cycle 5-E dengan Model Pembelajaran Siklus Belajar Empiris
Induktif”, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.S., selaku Dekan FKIP Unila.
2. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA
3. Ibu Dra. Nina Kadarina, M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Kimia.
4. Ibu Emmawati Sofya, M.Si. S.Si., selaku dosen pembimbing akademik serta
pembimbing I, terima kasih atas bantuan dan kesediaannya untuk memberikan
bimbingan, saran, dan kritik, selama ini dalam proses penyelesaian skripsi.
5. Ibu Dra. Ila Rosilawati, M.Si., selaku pembimbing II, terima kasih atas
bantuan dan kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik
selama ini dalam proses penyelesaiaan skripsi.
6. Ibu Dr. Ratu Betta Rudibyani, M.Si., selaku pembahas, terima kasih atas
7. Seluruh Dosen Pendidikan Kimia dan staf administrasi PMIPA Unila.
8. Bapak Drs. Suharto, M.Pd, selaku Kepala SMA N 7 Bandar Lampung yang
telah memberikan izin penulis untuk melaksanakan penelitian. Ibu Rosmeli,
S.Pd., selaku guru mitra, guru, staf serta siswa kelas X TP 2011/2012 SMA N
7 Bandar Lampung terimakasih atas kerjasamanya.
9. Teristimewa untuk Bapak dan Mamak tercinta, yang sudah menjadi sumber
inspirasi dan semangat hidupku. Terima kasih untuk kasih sayang, nasihat,
dan bantunan doa yang tercurah serta dukungan materil yang diberikan untuk
harapan dan keberhasilanku. Mbah, Mbak dan keponakan ku, serta seluruh
keluarga yang turut mendoakan, terima kasih atas dukungan dan perhatiannya
10.Teman-teman seperjuanganku di P. Kimia ’07, agnes, ika, lista, iwing, sulis,
dini, novi, joni, pajar, eliska, ayu, rohma, iis, rosita, filda, neli, gusti, nurani,
berti, yayuk, kiki, giri, wuri, memey, siti, adis, indri, ratu, icha, esti, pita,
mimi, arya. Serta kakak dan adik tingkat yang tidak dapat penuis sebutkan
satu persatu, terima kasih atas dukungan, persaudaraan dan kerjasamanya
Akhirnya penulis panjatkan doa dan syukur, Semoga Allah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua, serta berkenan membalas semua budi baik
yang diberikan kepada penulis dan semoga apa yang penulis sajikan dalam skripsi
ini, bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya, Amin.
Bandar Lampung, 10 Mei 2012
Penulis
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fungsi pendidikan sesungguhnya membentuk karakter yang baik, berpikiran cerdas,
memiliki keahlian, menerapkan teknologi tepat guna dan menguasai ilmu kimia
dalam dunia pendidikan. Ilmu kimia merupakan ilmu terapan (aplikatif) yang
berlandaskan eksperimen, yang berupa fakta, teori, prinsip, hukum, serta temuan
saintis. Ilmu kimia adalah ilmu yang mempelajari struktur, komposisi, reaksi, sifat
dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi. Sifat dan
perubahan materi ilmu kimia mencakup sifat-sifat fisis serta sifat-sifat kimia dari
materi. Sifat fisis mencakup wujud dan tampilan materi, sedangkan sifat kimia yang
mencakup kecenderungan materi untuk berubah, dan menghasilkan materi baru.
Oleh sebab itu, dalam pembelajaran kimia harus memperhatikan karateristik ilmu
kimia sebagai produk dan proses. Yaitu pembelajaran yang menekankan pada
penyampaian pengamatan langsung atau pengembangan kompetensi diri peserta
didik, sehingga peserta didik dapat melihat dan mengamati sendiri keadaan alam
sekitar. Dalam kaitan itu, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah yaitu
2
isi dan standar kompetensi lulusan yang tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 22 dan 23 tahun 2006. Yaitu menetapkan
kurikulum KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan yang mengacu
pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
KTSP adalah kurikulum operasional yang dirancang dan dilaksanakan oleh
masing-masing sekolah di Indonesia. Perbedaan kurikulum KTSP dengan kurikulum
sebelumnya adalah dalam model, strategi dan metode pembelajarannya. Pada
kurikulum sebelumnya, proses belajar-mengajar mengacu pada teachercentris,
sehingga siswa kurang berperan aktif, dan pada kurikulum KTSP siswalah yang
harus aktif dalam membangun pengetahuannya dan guru hanya bertindak sebagai
fasilitator, pembimbing belajar dan motivator. Sehingga siswa memiliki kesempatan
untuk dapat mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan
merakit instrumen percobaan, mengumpulkan data, mengolah data, menafsirkan
data, menyusun laporan, dan mengkomunikasikan hasil percobaan secara tertulis
dan lisan.
Namun fakta dilapangan menunjukkan bahwa guru kimia dalam pembelajarannya
jarang memperhatikan pengetahuan awal siswa (membangun konsep) dan kurang
menggunakan model pembelajaran secara bervariasi yang bersifat membangun
konsep siswa. Selain itu, pengalaman belajar yang diberikan guru pada saat
pembelajaran reaksi redoks tidak disertai dengan praktikum atau demonstrasi dan
3
mengakibatkan siswa menjadi pasif, dan pada saat pembelajaran siswa tidak
dilibatkan dalam menemukan konsep sehingga pembelajaran reaksi redoks menjadi
monoton, membosankan dan siswa kurang termotivasi untuk belajar.
Model-model pembelajaran yang berpusat pada siswa, menggunakan pengetahuan
awal siswa sebagai dasar dalam merancang dan mengimplementasikan pembelajaran
dan berazaskan teori kontruktivisme serta pemahaman konsep adalah model
pem-belajaran learning cycle (LC), model pembelajaran tersebut merupakan model
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) yang terdiri dari
tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat
menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan
jalan berperanan aktif. Pembelajaran LC mengharuskan siswa membangun sendiri
pengetahuannya dengan memecahkan permasalahan yang dibimbing langsung oleh
guru. Saat ini pembelajaran LC sudah dikembangkan menjadi 5 fase yang terdiri dari
tahap-tahap : (1) engagement, (2) exploration, (3) explaination, (4) elaboration, dan
(5) evaluation. (Lorsbach, 2002). Dengan adanya kelima tahap tersebut siswa diberi
kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara mengeksplorasi lingkungan,
mengakomodasi informasi dengan cara mengembangkan konsep, mengorganisasikan
informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau
memperluas konsep yang dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda.
Hal ini ditunjukkan dengan data hasil penelitian Wiwit Desi Kurniawati (2010)
dengan judul Penerapan model pembelajaran Learning Cycle5 Fase untuk
4
(PTK pada siswa kelas 2K2 MA Diniyyah Putri Lampung TP.2009-2010), yang
bertujuan untuk mendiskripsikan aktivitas belajar siswa dan penguasaan konsep asam
basa siswa melalui model pembelajaran LC 5E dari siklus ke siklus. Mengalami
peningkatkan aktivitas dan penguasaan konsep siswa yang tinggi dengan peningkatan
sebesar 10,1% yaitu dari 72,9 pada siklus II menjadi 80,3 pada siklus III. Hal ini
menunjukkan bahwa model pembelajaran lc 5-E membuat siswa dapat dengan
mudah menerima dan memahami materi yang disampaikan oleh guru.
Selain model pembelajaran LC, model pembelajaran lain yang bersifat
kontruktivis-tik adalah siklus belajar empiris-induktif. Model pembelajaran SBEI terdiri dari tiga
tahap, yaitu: (1) tahap eksplorasi, (2) tahap pengenalan konsep, (3) tahap aplikasi
konsep. ((Trowbridge dan Bybee, 1990:306). Model pembelajaran SBEI dapat
memfasilitasi siswa untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan
sebelum-nya, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaitkan informasi baru dengan
struktur kognitif yang sudah dimiliki. Memberikan peluang kepada siswa untuk
menemukan berbagai fakta di lapangan melalui observasi atau dengan praktikum,
sehingga terjadi pengkonstruksian konsep baru di bawah arahan guru, dan dengan
konsep baru tersebut siswa dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga pembelajaran lebih berpusat pada siswa. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Devi Fitriani (2010) dengan judul Penerapan Model Siklus Belajar
Empiris-Induktif (SBEI) Berbasis Keterampilan Proses Sains untuk Meningkatkan
Penguasaan Konsep Materi Pokok Laju Reaksi” (PTK Pada Kelas XI IPA2 SMAN 1
5
model SBEI berbasis KPS dalam meningkatkan persentase rata-rata penguasaan
konsep dan meningkatkan persentase ketuntasan belajar laju reaksi siswa dari siklus
ke siklus. Mengalami peningkatan rata-rata persentase penguasaan konsep laju
reaksi siswa sebesar 22,41% yaitu dari 59,03 dari siklus I menjadi 72,26 pada siklus
II. Hal ini menujukkan bahwa Penguasaan konsep siswa SMAN 1 Bandar Lampung
menggunakan model SBEI membuat siswa lebih mampu menerapkan
konsep-konsep materi yang telah ia dapatkan dari pelajaran melalui arahan guru.
Berdasarkan latar belakang diatas, menunjukkan bahwa sudah peneliti yang meneliti
peningkatan penguasan konsep siswa. Maka dalam penelitian ini, peneliti
melakukan suatu penelitian dengan judul “ Perbedaan Penguasaan Konsep Siswa Antara model pembelajaran Learning Cycle 5-E dengan Siklus Belajar Empiris-Induktif Pada Materi Reaksi Reduksi Oksidasi”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah rata-rata penguasaan konsep siswa yang menggunakan model
pembelajaran learning cycle 5-E lebih tinggi dari pada model pembelajaran
siklus belajar empiris-induktif pada materi reaksi reduksi oksidasi kelas X SMA
6
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan:
1. Perbedaan rata-rata penguasaan konsep siswa antara model pembelajaran LC 5-E
dengan model pembelajaran siklus belajar empiris-induktif pada materi reaksi
reduksi oksidasi kelas X SMA Negeri 7 Bandar Lampung.
2. Rata-rata penguasaan konsep siswa manakah yang lebih tinggi antara model
pembelajaran LC 5-E dengan model pembelajaran siklus belajar empiris-induktif
pada materi reaksi reduksi oksidasi kelas X SMA Negeri 7 Bandar Lampung.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Dapat memberikan kesempatan siswa untuk belajar mengunakan model LC 5-E
dan SBEI
2. Dapat meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan wawasan guru tentang inovasi
memilih model pembelajaran yang dipilih dan sesuai dengan karakteristik materi
pokok pada pembelajaran kimia, terutama pada materi pokok reaksi redoks.
3. Memberikan informasi mengenai model pembelajaran learning cycle 5-E dan
7
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah :
1. Lokasi Penelitian SMA Negeri 7 Bandar Lampung
2. Penguasaan konsep adalah kemampun siswa-siswi menguasai materi reaksi
redoks yang diukur berdasarkan nilai pretest-posttest.
3. Learning cycle 5-E,terdiri dari 5 Fase: (1) Engagement, (2) Eksploration, (3)
Explaination, (4)Elaboration, (5)evaluation.
4. Model SBEI, terdiri dari 3 tahap : (1) tahap eksplorasi (siswa mendapatkan
fakta-fakta),(2) tahap pengenalan konsep, (3) tahap aplikasi konsep
5. Lembar Kerja Siswa (LKS) yang digunakan dalam penelitian adalah LKS non
eksperimen, yang merupakan salah satu alat bantu pembelajaran yang
berorientasi pada peningkatan kemampuan menemukan konsep sendiri. LKS ini
berisi prosedur dan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing siswa pada model
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Belajar Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar
tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar
merupakan interaksi antara individu dan lingkungan dan hal itu terjadi terus-menerus
sepanjang hayatnya. Teori ini mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi
yang terus-menerus antara individu dan lingkungan melalui proses memasukkan
pengetahuan baru kedalam pengetahuan yang sudah ada(asimilasi) dan
menye-suaikan diri dengan infomasi yang baru (akomodasi).
Menurut Jean Piaget dalam Bell (1994), belajar adalah:
Interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan. Artinya, pengetahuan itu suatu proses, bukannya suatu “barang”. Karena itu untuk memahami pengetahuan orang dituntut untuk mengenali dan menjelaskan berbagai cara bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam proses pembelajaran Jean Piaget dalam Bell (1994), menyarankan:
9
B. Pembelajaran Konstruktivisme
Menurut Von Glasersfeld dalam Sardiman (2007), konstruktivisme adalah salah satu
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi
(bentukan) kita sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu imitasi dari kenyataan
(realitas). Von Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyataan. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada.
Tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan
melalui kegiatan seseorang.
Secara sederhana konstruktivisme merupakan konstruksi dari kita yang mengetahui
sesuatu. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan
suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Bagi kaum
konstruktivisme, kegiatan belajar adalah proses aktif siswa untuk menemukan
sesuatu dan membagun sendiri pengetahuannya. Siswa yang membuat penalaran
atas apa yang dipelajari dengan apa yang telah diketahui. Pengetahuan dan
penger-tian tersebut dikonstruksi siswa bila siswa terlibat secara sosial dalam dialog dan
aktif dalam percobaan. Seorang guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang
membantu proses belajar siswa berjalan dengan baik. Guru perlu menciptakan
suasana yang membuat siswa antusias di dalam pembelajaran dan berperan dalam
membantu siswa agar mampu mengkonstruksi pengetahuannya.
Bettencourt menyimpulkan bahwa konstruktivisme tidak bertujuan mengerti hakikat
realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana proses kita menjadi tahu tentang
10
Ciri atau prinsip dalam belajar menurut Suparno dalam Trianto (2010), sebagai berikut:
1. Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami,
2. Konstruksi makna adalah proses yang terus menerus,
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan tetapi perkembangan itu sendiri,
4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya,
5. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, subjek belajar, tujuan, motivasi yang mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.
Menurut (Sagala, S. 2010) Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan kontekstual yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Pe-ngetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk
memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, yaitu siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Landasan berfikir konstruktivisme adalah lebih menekankan pada strategi memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Satu prinsip yang penting dalam psikologi pendidikan menurut teori ini adalah
bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa
harus membangun sendiri pengetahuan didalam benaknya. Guru dapat memberikan
kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan
atau menerapkan ide-idemereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan
secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi
dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut. Nur dalam
11
C. Siklus Belajar (Learning Cycle)
Piaget dan para konstruktivis pada umumnya dalam Sudirman (2007), berpendapat bahwa:
Di dalam mengajar, seharusnya diperhatikan pengetahuan yang telah diperoleh siswa. Mengajar bukan sebagai proses memindahkan gagasan-gagasan guru kepada siswanya, melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan-gagasan
siswa yang sudah ada yang mungkin “salah”, sehingga proses belajar-mengajar tidak monoton dan membosankan karena paradigma guru yang selalu
mengganggap bahwa dirinyalah yang paling benar. Siswa dianggap sebagai suatu wadah kosong sehingga guru hanya mengajarkan apa-apa yang ia ketahui tanpa mengukur apa-apa yang telah diketahui oleh sang anak. Guru adalah seorang yang meluruskan paradigma para muridnya yang mungkin “salah”, sehingga dengan kata lain guru adalah orang yang dianggap oleh seorang siswa sebagai tempat untuk bertukar pendapat.
Salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivis ialah
penggu-naan siklus belajar. Dimana terdapat tiga siklus belajar yaitu: diskriptif,
empiris-induktif, dan hipotesis-deduktif, yang menunjukkan suatu kontinu dari sains
deskriptif ke sains eksperimental.
Model siklus belajar merupakan model pembelajaran yang dilandasi oleh filsafat
konstruktivisme. Pembelajaran melalui model siklus belajar mengharuskan siswa
membangun sendiri pengetahuannya dengan memecahkan permasalahan yang
dibimbing langsung oleh guru. Model pembelajaran ini memiliki tiga langkah
sederhana, yaitu pertama, fase eksplorasi, dalam fase ini, guru menggali konsepsi
awal siswa. Kedua, fase eksplanasi. Ketiga, fase aplikasi, dimaksudkan mengajak
siswa untuk menerapkan konsep pada contoh kejadian yang lain, baik yang sama
12
Karplus dan Their dalam Fajaroh dan Dasna (2007), mengungkapkan bahwa:
Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pembelajar (student centered).
LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi
sedemikian rupa sehingga pembelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC
terdiri dari fase-fase: fase eksplorasi (exploration), fase pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application).
Pada tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca
inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui
kegiatan-kegiatan seperti melakukan eksperimen, menganalisis artikel,
mendisku-sikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain.
Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya
(cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan
yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning)
yang diawali dengan kata-kata seperti “mengapa dan bagaimana”. (Dasna, 2005,
Rahayu, 2005)
Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan
siswa untuk menempuh fase berikutnya, yaitu fase pengenalan konsep.
Pada fase pengenalan konsep diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara
konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsep-konsep yang baru dipelajari,
melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber
pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini siswa mengenal istilah-istilah yang berkaitan
13
Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, siswa diajak menerapkan pemahaman
konsepnya melalui berbagai kegiatan-kegiatan atau melakukan percobaan lebih
lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi
belajar, karena siswa mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari.
Hudojo dalam Fajaroh dan Dasna (2007), mengemukakan bahwa ”LC melalui
kegiatan dalam tiap fase mewadahi pelajar untuk secara aktif membangun
konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial.”
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung secara
konstruktivistik adalah:
1. tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa,
2. tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan, terjadinya
transmisi sosial, yakni interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya,
3. tersedianya media pembelajaran,
4. kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa
terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung
menarik dan menyenangkan.
D. Model Siklus Belajar 5 Fase ( Learning Cycle 5-E )
Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang
14
pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian
pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi.
Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian
tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum
memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus
lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi
kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.
LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5 fase Pada
LC 5 Phase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan ditambahkan
pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept
introduction dan concept application masing-masing diistilahkan menjadi
explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 Phase sering dijuluki LC 5-E
(Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation)
(Lorsbach, 2002).
Model pembelajaran ini bisa membantu cara berpikir siswa dan membuat kimia
menjadi salah satu pelajaran yang menyenangkan. Tahapan ini harus dilakukan
15
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pada Gambar. 1 di bawah ini.
Gambar. 1 the 5 E Learning Cycle Model
( Sumber: www.coe.ilstu.edu)
Fase-fase Learning Cycle 5-E :
1. Engagement (Menarik Perhatian-Mengikat)
Fase Engage merupakan fase awal untuk menggali pengetahuan awal dan
menumbuhkan rasa ingin tahu siswa. Pada fase ini guru menciptakan teka-teki
yang sesuai dengan topik yang akan dipelajari siswa. Guru dapat mengajukan
pertanyaan (misalnya: mengapa hal ini terjadi? bagaimana cara mengetahuinya?
dll), dan jawaban siswa digunakan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang telah
diketahui oleh siswa. Fase ini bertujuan mempersiapkan diri siswa agar terkondisi
dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal
dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi
pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini minat dan
keingintahuan (curiosity) siswa tentang topik yang akan diajarkan berusaha
dibangkitkan. Pada fase ini pula siswa diajak membuat prediksi-prediksi tentang
fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam fase eksplorasi.
16
Pada fase eksplorasi siswa diberi kesempatan untuk bekerja baik secara mandiri
maupun secara berkelompok tanpa instruksi atau pengarahan secara langsung dari
guru, untuk mengeksplorasi fenomena ilmiah, memanipulasi bahan, dan berusaha
untuk memecahkan masalah. Pada fase ini siswa melakukan percobaan (secara
il-miah), melakukan pengamatan, mengumpulkan data, sampai pada membuat
ke-simpulan dari percobaan yang dilakukan. Dalam kegiatan ini guru sebaiknya
ber-peran sebagai fasilitator membantu siswa agar bekerja pada lingkup permasalahan
(hipotesis yang dibuat sebelumnya) dan menguji hipotesis mereka melalui
eksperimen atu observasi.
Sesuai dengan teori Piaget, pada kegiatan eksplorasi siswa diharapkan mengalami ketidaksetimbangan kognitif (disequilibrium). Siswa diharapkan bertanya kepada
dirinya sendiri: “Mengapa demikian” atau “Bagaimana akibatnya bila..” dan sete -rusnya. Kegiatan eksplorasi memberi kesempatan siswa untuk menguji dugaan dan hipotesis yang telah mereka tetapkan. Mereka dapat mencoba beberapa alter-natif pemecahan, mendiskusikannya dengan teman sekelompoknya, mencatat ha-sil pengamatan dan mengemukakan ide dan mengambil keputusan memecahkan-nya (Dasna, 2005:81).
Kegiatan pada fase ini sampai pada tahap presentasi atau komunikasi hasil yang diperoleh dari percobaan atau menelaah bacaan. Dari komunikasi tersebut diha-rapkan diketahui seberapa tingkat pemahaman siswa terhadap masalah yang dipe-cahkan (Dasna, 2005:82).
3. Explaination (Menjelaskan)
Kegiatan belajar pada fase penjelasan ini bertujuan untuk melengkapi,
menyem-purnakan, dan mengembangkan konsep yang diperoleh siswa. Guru mendorong
siswa untuk menjelaskan konsep yang dipahaminya dengan kata-katanya sendiri,
menunjukkan contoh-contoh yang berhubungan dengan konsep untuk
anggo-17
ta kelompok untuk mengkritisi penjelasan konsep dari siswa yang satu dengan
yang lainnya. Pada kegiatan yang berhubungan dengan percobaan, guru dapat
memperdalam hubungan antar variabel atau kesimpulan yang diperoleh siswa.
Hal ini diperlukan agar siswa dapat meningkatkan pemahaman konsep yang baru
diperolehnya
4. Elaboration (Penerapan konsep)
Kegiatan belajar ini mengarahkan siswa menerapkan konsep-konsep yang telah
dipahami dan ketrampilan yang dimiliki pada situasi baru. Guru dapat
mengarahkan siswa untuk memperoleh penjelasan alternatif dengan menggunakan
data atau fakta yang mereka eksplorasi alam situasi yang baru. Guru dapat
memulai dengan mengajukan masalah baru yang memerlukan pengujian lewat
ekplorasi dengan melakukan percobaan, pengamatan, pengumpulan data, analisis
data sampai membuat kesimpulan. Kegiatan fase ini bertujuan untuk
mening-katkan pemahaman siswa tentang apa yang telah mereka ketahui, sehingga siswa
dapat melakukan akomodasi melalui hubungan antar konsep dan pemahaman
siswa menjadi lebih mantap.
5. Evaluation (Evaluasi)
Pada fase akhir evaluation, dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-fase
sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau
kompetensi siswa melalui problem solving dalam konteks baru yang
18
Kegiatan belajar pada fase evaluasi, guru ingin mengamati perubahan pada siswa
sebagai akibat dari proses belajar pada fase ini guru dapat mengajukan pertanyaan
terbuka yang dapat dijawab dengan menggunakan lembar observasi, fakta atau
data dari penjelasan dari sebelumnya yang dapat diterima. Kegiatan pada fase
evaluasi berhubungan dengan penilaian kelas yang dilakukan guru meliputi
penilaian proses dan evaluasi penguasaan konsep yang diperoleh siswa.
Setelah melakukan fase-fase diatas, siswa diharapkan mampu lebih berperan aktif
dalam pembelajaran, dan siswa termotivasi untuk menggali dan memperkaya
wawasan lebih banyak mengenai konsep yang telah dipelajari dan
mengaplikasi-kannya juga pada bidang-bidang lain selain bidang sains tentunya. Siswa juga
diharapkan dapat membangun sendiri pegetahuan kognitif melalui indera untuk
melihat gejala-gejala yang ada di sekitarnya dan kedudukan guru sebagai fasilitator
yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama
perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan
arahan dan proses pembimbingan) dan evaluasi berfungsi membantu siswa
menemukan konsep pengetahuannya. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari model
pembelajaran Learning Cycle 5 Fase sendiri yang pada dasarnya sesuai dengan
pendekatan konstruktivisme. Model pembelajaran LC ini dirasakan sesuai jika
19
E.Siklus Belajar Empiris-Induktif (SBEI)
Siklus belajar ini membuatpara siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), tetapi mereka selanjutnya mengemukakan sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaan penalaran analogi untuk memindahkan atau mentransfer konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru ini (pengenalan konsep), lalu konsep-konsep itu dapat diperkenalkan oleh guru, siswa ataupun keduanya.
Dengan bimbingan guru para siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk melihat apakah sebab-sebab yang dihipotesis ajek dengan data dan fenomena lain yang dikenal (aplikasi konsep). Dengan kata lain pengamatan dilakukan secara deskriptif, tetapi bentuk siklus ini menghendaki lebih jauh yaitu mengemukakan sebab dan menguji sebab itu. Oleh karena itu siklus belajar ini diberi nama empiris-induktif. (Dahar,1996:165).
Menurut (Muhammadzen 2008), bahwa sumber pengetahuan antara lain dimulai dari
suatu pengalaman empiris menuju induktif. Pengalaman empiris didasarkan pada
pengamatan gejala, peristiwa atau fakta-fakta di lapangan yang dianalisis sehingga
didapatkan suatu kesimpulan. Menurut (Lawson 2005), di dalam SBEI, siswa tidak
hanya menggambarkan apa yang diamati, tetapi berusaha untuk membuktikan
hipotesis untuk menjelaskan apa yang diamati. Di dalam SBEI, melibatkan
keterampilan proses dasar dan menyeluruh (mengidentifikasi variabel, membuat
tabel dan grafik, mendeskripsikan hubungan antar variabel, membuat hipotesis,
melakukan analisis dan penyelidikan, mendefinisikan operasional variabel,
merancang penyelidikan, bereksperimen).
Di dalam SBEI, siswa menemukan suatu konsep berdasarkan pengalaman nyata.
20
melalui kegiatan observasi lapangan atau praktikum. Guru memberikan pengalaman
belajar dan membimbing siswa dan siswa sendiri yang berperan aktif.
Untuk mengemas dan menyusun pembelajaran yang menggunakan model
Learning cycle tipe Empiris-Induktifini urutannya harus mencerminkan suatu alur
yang dimulai dengan konsep-konsep dan hubungan-hubungan yang sederhana,
namun akan diperoleh suatu hasil yang bermakna. Berdasarkan langkah-langkah
kegiatan pembelajarannya, ternyata tipe ini mempunyai ciri khas, yaitu pada fase
eksplorasi dimulai dengan sebuah pertanyaan sebab akibat atau pertanyaan
deskriptif, misalnya: “Faktor apa saja yang mempengaruhi?” dan diikuti dengan
mengungkapkan penyebab yang dapat dihipotesis. Lawson, (1988) dalam
Damayanti (2006:24).
Keterampilan guru menggunakan model ini sangat tergantung pada pemahaman,
pengetahuan dan keterampilan guru akan susunan dan keterpautan
komponen-komponen kegiatan pembelajaran juga pandangan guru itu sendiri tentang materi
yang akan diberikan. Disamping itu penggunaan bahasa yang berorientasi pada
interaksi sosial baik antar siswa maupun antara siswa dengan guru harus benar-benar
diperhatikan. Ini dilakukan mengingat siswa tidak dapat mengkonstruksi
penge-tahuannya secara optimal tanpa berkomunikasi dengan yang lainnya.
Dengan memperhatikan setiap karakteristik masing-masing fase Learningcycle tipe
Empiris-Induktif tersebut, maka apabila guru ingin meningkatkan pemahaman
21
beranjak dari isu-isu sains yang relevan dengan lingkungan siswa, menampilkan
fenomena yang kongkrit, memberi kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dengan
orang lain dalam mengemukakan pemahamannya tentang fenomena yang mereka
alami serta senantiasa diikuti dengan kegiatan yang menuntut dilakukannya
eksplorasi baru oleh siswa. Model pembelajaran Learning cycle ini memberikan
suatu format yang adaptable bagi beragam konteks pembelajaran mulai dari jenjang
pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi yang intinya selalu
memberikan pengalaman kongkrit bagi siswa dengan sasaran utama pemahaman
konsep.
Karakteristik model Pembelajaran Empiris induktif (Yasin, 2007):
a. Fase eksplorasi (siswa mendapatkan fakta-fakta)
Tujuan dari tahap ini adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menerapkan pengetahuan awalnya, menghubungkan pengetahuan baru dan
menjelaskan fenomena yang mereka alami, sehingga siswa menemukan
pengalaman konkrit, melakukan ketrampilan ilmiah dan menemukan
konsep-konsep penting. Dalam fase ini, mereka sering kali mengekplorasi fenomena
baru dengan tuntunan minimal. Fenoma baru ini harus memunculkan
pertanyaan-pertanyaan dan rasa ingin tahu siswa atau kekomplekkan yang tidak
dapat dipecahkan dengan konsepsi mereka yang ada atau pola-pola berpikir yang
sudah biasa, seperti bagaimana besi dapat berkarat atau mengapa buah apel yang
telah dikupas dan dibiarkan selama beberapa menit diudara terbuka akan
22
bagi siswa untuk menyuarakan gagasan-gagasan yang tidak tepat yang dapat
memunculkan debat dan analisis alasan-alasan untuk gagasan mereka,
berdasarkan fakta-fakta yang dihasilkan dari observasi lapangan reaksi redoks
dan praktikum reaksi redoks.
b. Fase pengenalan konsep
Pada tahap ini siswa mengkomunikasikan dan mendiskusikan fakta-fakta yang
diperoleh di lapangan dan praktikum, dan pembangunan konsep yang
berdasarkan fakta-fakta dari observasi lapangan dan praktikum di bawah arahan
dan bimbingan guru.
Fase pengenalan konsep dimulai dengan memperkenalkan suatu konsep yang
ada hubungannya dengan fenomena yang diselidiki, dan didiskusikan dalam
konteks apa yang telah diamati selama fase eksplorasi, kemudian dikenalkan
secara konseptual. Perhatian siswa diarahkan pada aspek-aspek tertentu dari
pengalaman eksplorasi. Kemudian konsep-konsep dikenalkan secara formal dan
langsung.
c. Fase aplikasi konsep (Siswa dapat mengaplikasikan konsep baru dalam
kehidupan sehari-hari).
Pada fase aplikasi konsep, disediakan kesempatan bagi siswa untuk
menggu-nakan konsep-konsep yang telah diperkenalkan untuk menyelidiki lebih lanjut
sifat-sifat lain dari fenomena yang sudah diamati. Tujuan fase ini adalah agar
siswa dapat melakukan generalisasi atau metransfer ide-ide ke dalam contoh
yang lain dan menguatkan kembali gagasan-gagasan siswa agar sesuai dengan
23
Siklus belajar empiris induktif berfokus pada peristiwa alam, hubungan atau prinsip
yang melibatkan beberapa konsep. Siswa dituntut untuk menjelaskan fenomena
seperti mengekspresikan beberapa miskonsepsi dan memberikan kesempatan untuk
dialog dan diskusi. Model pembelajaran empiris induktif ini merupakan salah satu
siklus pembelajaran yang terdiri dari tiga fase, yaitu 1) fase eksplorasi, 2) fase
perkenalan istilah, dan 3) fase aplikasi konsep.
(Anton E. Lawson, 1996), menjelaskan ketiga fase tersebut sebagai berikut: Fase eksplorasi, para siswa belajar melalui tindakan-tindakan dan reaksi-reaksi mereka sendiri dalam situasi baru dalam hal ini yaitu saat siswa melakukan obsevasi lapangan sel accu dan percobaan sel volta. Dalam fase ini, mereka sering kali mengekplorasi fenomena baru dengan tuntunan minimal. Fenoma baru ini harus memunculkan pertanyaan-pertanyaan atau kekomplekkan yang tidak dapat dipecahkan dengan konsepsi mereka yang ada atau pola-pola berpikir yang sudah biasa, seperti bagaimana sel accu dapat menyimpan dan menghasilkan arus listrik. Dengan kata lain, eksplorasi memberikan kesempatan bagi siswa untuk menyuarakan gagasan-gagasan yang tidak tepat yang dapat memunculkan debat dan analisis
alasan-alasan untuk gagasan mereka, berdasarkan fakta-fakta yang dihasilkan dari observasi lapangan sel volta dan praktikum sel volta.
Fase perkenalan istilah, secara normal dimulai dengan pengenalan istilah baru, seperti distribusi normal, yang digunakan untuk menamakan pola yang ditemukan selama eksplorasi. Istilah-istilah mungkin dikenalkan oleh guru, textbook, film, melihat langsung ke lapangan atau media lainnya, istilah-istilah baru itu diantaranya seperti sel volta, potensial elektroda, dan jembatan garam. Langkah ini selalu
mengikuti eksplorasi dan berhubungan secara langsung dengan pola yang ditemukan selama aktifitas eksplorasi. Siswa harus didorong untuk mengidentifikasikan
sebanyak mungkin pola baru sebelum dijelaskan kepada teman sekelas, tetapi mengharapkan siswa untuk menemukan semua pola komplek sain modern adalah tidak realistis karena wawasan pengetahuan siswa yang terbatas. Pada pelaksanaan-nya siswa mengkomunikasikan dan mendiskusikan fakta-fakta yang didapat
dilapangan sewaktu melaksanakan observasi sel accu dan percobaan sel volta. Dan pembentukan konsep sel volta dari fakta-fakta yang didapatkan dari observasi lapangan sel accu dan percobaan sel volta dibawah arahan dan bimbingan guru
24
selama sesuai definisinya. Pada fase inilah siswa dapat menerapkan konsep sel volta dalam kehidupan sehari-hari yang konsepnya itu didapatkan pada saat observasi lapangan dan percobaan sel volta serta pada saat siswa mengkomunikasikan serta mendiskusikan dibawah arahan dan bimbingan guru.
Keunggulan dan kelemahan model pembelajaran SBEI adalah sebagai berikut :
a. Keunggulan model pembelajaran empiris-induktif
1. Bagi siswa yaitu :
a). pembelajaran berpusat pada siswa, sehingga proses belajarnya lebih terkondisi.
b). siswa bisa mengeksplorasi pengetahuan atau konsep-konsep yang mereka temukan selama praktikum.
c). siswa lebih berani mengungkapkan pendapat, ide, atau gagasan baik kesesama siswa atau langsung kegurunya.
d).pemahaman konsep siswa akan lebih baik dengan cara melakukan percobaan, sehingga siswa bisa mengkonstruksi konsep sendiri. e). siswa mendapat pengalaman belajar
f) .membiasakan siswa untuk menulis data, mengolah data, membaca data dan melaporkannya.
2. Bagi guru yaitu :
a). guru berfungsi sebagai fasilitator dalam proses pembelajarannya. b). untuk mengenalkan konsep yang baru, guru hanya mengarahkan saja
berdasarkan konsep yang sudah di eksplorasi oleh siswa.
c). memudahkan pengkonstruksian suatu konsep sehingga terjadi suatu proses asimilasi pada siswanya berdasarkan hasil praktikum.
d).selama proses pembelajaran terjadi dialog interaktif antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan guru sehingga semua siswa terlibat langsung dan aktif.
b. Kelemahan proses belajar empiris-induktif:
1. Bagi siswa yaitu :
a). memerlukan waktu yang lama untuk menemukan atau mempelajari sutau konsep baru jika siswa belum terbiasa melakukan praktikum. b). siswa belum terbiasa untuk mengeksplorasi konsep yang didapatkan
selama melaksanakan praktikum.
c). siswa belum terbiasa mengambil suatu kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dari praktikum
d). siswa belum terbiasa melakukan praktikum.
25
a). diperlukan membuat petunjuk (LKS) yang jelas sehingga memudahkan siswa untuk mendapatkan data yang dinginkan untuk memplajari konsep yang dipelajari.
b). diperlukan kesabaran untuk mendengarkan pendapat, ide serta gagasan dari siswa pada saat mengeksplorasi konsep yang diperoleh selama melaksanakan praktikum, sehingga siswa merasa dihargai dan penting selama proses belajar berlangsung.
c). guru perlu mengarahkan siswanya dalam hal pengkonstruksian konsep yang baru.
(Ahmad Yasin, 2007)
F. Penguasaan Konsep
Tidak semua fenomena alam dapat dipahami dengan bahasa sehari-hari, karena itu
diperlukan bahasa khusus yang disebut konsep. Jadi belajar sains memerlukan
ke-mampuan untuk membangun konsep agar bisa ditelaah lebih lanjut. Dalam
pe-lajaran kimia banyak sekali konsep yang harus ditanamkan pada siswa. Hal ini
sangat penting sebab bila gagal dalam memahami dan menguasai konsep kimia maka
dikatakan gagal dalam belajar ilmu kimia. Konsep kimia adalah gagasan mengenai
materi, sebuah atau dua kata konsep kimia akan mempunyai arti yang sama dengan
gagasan kimia itu seluruhnya (Vosen, 1992).
Penguasaan konsep pada materi pokok reaksi redoks diukur melalui hasil tes
penguasaan konsep, sebagai hasil dalam proses pembelajaran. Penguasaan
merupakan salah satu aspek dalam ranah (domain) kognitif dari tujuan kegiatan
belajar mengajar. Ranah kognitif ini meliputi berbagai tingkah laku dari tingkatan
26
sintesis, dan evaluasi. Penguasaan merupakan kemampuan menyerap arti dari materi
suatu bahan yang dipelajari, penguasaan bukan hanya sekedar mengingat mengenai
apa yang telah dipelajari, tetapi menguasai lebih dari itu yakni melibatkan berbagai
proses kegiatan mental sehingga lebih bersifat dinamis. Penguasaan konsep akan
mempengaruhi ketercapaian hasil belajar siswa. Suatu proses dikatakan berhasil
apabila hasil belajar yang didapatkan meningkat atau mengalami perubahan setelah
siswa melakukan aktivitas belajar, pendapat ini di-dukung oleh (Djamarah dan Zain,
1996) yang mengatakan bahwa belajar pada hakikatnya adalah perubahan yang
terjadi di dalam diri seseorang setelah berak-hirnya melakukan aktivitas belajar.
Proses belajar seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah
pembelajaran yang digunakan guru dalam kelas.
Dalam belajar dituntut juga adanya suatu aktivitas yang harus dilakukan siswa
sebagai usaha untuk meningkatkan penguasaan materi. Penguasaan terhadap suatu
konsep tidak mungkin baik jika siswa tidak melakukan belajar karena siswa tidak
akan tahu banyak tentang materi pelajaran. Guru sebagai pengajar harus memiliki
kemampuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif agara siswa dapat
menemukan dan memahami konsep yang diajarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Toulmin dalam Suparno (1997) yang menyatakan bahwa:
27
G. Lembar Kerja Siswa (LKS)
LKS merupakan alat bantu untuk menyampaikan pesan kepada siswa yang
digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Melalui media pembelajaran
berupa LKS ini akan memudahkan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran
dan mengefektifkan waktu, serta akan menimbulkan interaksi antara guru dengan
siswa dalam proses pembelajaran. Menurut (Sriyono 1992), Lembar Kerja Siswa
(LKS) adalah : salah satu bentuk program yang berlandaskan atas tugas yang harus
diselesaikan dan berfungsi sebagai alat untuk mengalihkan pengetahuan dan
keterampilan sehingga mampu mempercepat tumbuhnya minat siswa dalam
mengikuti proses pembelajaran.
Menurut Sudjana dalam Djamarah dan Zain (2000), fungsi LKS adalah :
a) Sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif. b) Sebagai alat bantu untuk melengkapi proses belajar mengajar supaya lebih
menarik perhatian siswa.
c) Untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian pengertian yang diberikan guru.
d) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tetapi lebih aktif dalam pembelajaran.
e) Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan berkesinambungan pada siswa. f) Untuk mempertinggi mutu belajar mengajar, karena hasil belajar yang dicapai
siswa akan tahan lama, sehingga pelajaran mempunyai nilai tinggi.
Menurut (Prianto dan Harnoko, 1997), manfaat dan tujuan LKS antara lain: a) Mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar.
b) Membantu siswa dalam mengembangkan konsep.
c) Melatih siswa untuk menemukan dan mengembangkan proses belajar mengajar.
d) Membantu guru dalam menyusun pelajaran.
e) Sebagai pedoman guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran. f) Membantu siswa memperoleh catatan tentang materi yang dipelajari melalui
kegiatan belajar.
28
Pada proses pembelajaran, LKS menuntut siswa untuk mampu mengemukakan
pendapat dan mampu mengambil keputusan. Melalui LKS siswa dituntut untuk
mampu mengemukakan pendapat dan mampu mengambil kesimpulan. Dalam hal ini
LKS digunakan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran.
LKS yang digunakan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses
pem-belajaran adalalah berupa LKS eksperimen dan LKS noneksperimen.
a. LKS eksperimen
LKS eksperimen merupakan media pembelajaran yang tersusun secara kronologis
agar dapat membantu siswa dalam memperoleh konsep pengetahuan yang
dibangun melalui pengalaman belajar mereka sendiri yang berisi tujuan
percobaan, alat percobaan, bahan percobaan, langkah kerja, pernyataan, hasil
pengamatan, dan soal-soal hingga kesimpulan akhir dari eksperimen yang
dilakukan pada materi pokok yang bersangkutan.
b. LKS noneksperimen
LKS noneksperimen merupakan media pembelajaran yang disusun secara
kronologis, dimana hanya digunakan untuk mengkonstruksi konsep pada sub
materi yang tidak dilakukan eksperimen. Jadi, LKS noneksperimen dirancang
sebagai media teks terprogram yang menghubungkan antara hasil percobaan yang
telah dilakukan dengan konsep yang harus dipahami. Siswa dapat menemukan
konsep pembelajaran berdasarkan hasil percobaan dan soal-soal yang dituliskan
29
H.Kerangka Pemikiran
Penguasaan konsep yang dicapai oleh siswa ada kaitannya dengan kegiatan
pembelajaran yang dilaksanakan oleh seorang guru. Pelaksanaan pembelajaran akan
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran
yang telah ditentukan. Tujuan pembelajaran ini adalah untuk menentukan perbedaan
penguasaan konsep reaksi reduksi-oksidasi antara model pembelajaran LC 5-E
dengan model pembelajaran SBEI dari siswa SMAN 7 Bandar Lampung.
Sebagai variabel bebasnya adalah model pembelajaran (X) dan variabel terikatnya
adalah penguasaan konsep kimia siswa (Y). Semua data diambil dari dua kelas yang
berbeda, satu kelas sebagai eksperimen 1 dan satu kelas sebagai eksperimen 2. Pada
kelas eksperimen 1 diberi perlakuan dengan menggunakan pembelajaran LC 5-E,
sedangkan pada kelas eksperimen 2 diberi perlakuan dengan menggunakan
pembelajaran SBEI. Model pembelajaran LC 5-E dan SBEI masing-masing
memiliki keunggulan dan kelemahan yang berbeda.
Adapun keunggulan model pembelajaran LC 5-E adalah, menempatkan siswa untuk
mengembangkan pemahaman mereka sendiri dari konsep ilmiah, mengeksplorasi
dengan cara melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui
kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur, memperdalam pemahaman tersebut
dengan cara menjelaskan konsep dengan bahasa mereka sendiri, kemudian
mene-rapkan konsep dan keterampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti
30
diberikan evaluasi penilaian kelas yang dilakukan guru sehingga guru dapat
mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan.
Sedangkan kelemahannya, pada proses pembelajaran LC 5-E sering di dominasi oleh
pimpinan kelompok, efektifitas pembelajaran LC 5-E akan rendah apabila guru
kurang menguasai materi, kurang menguasai langkah-langkah pembelajaran dan
kurang menguasai siswa. Pembelajaran LC 5-E juga menuntut kesungguhan dan
kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu
guru dituntut harus menyiapkan teknik pengelolaan kelas, mengatur kerja kelompok
yang lebih terencana dan terorganisasi. Sehingga model pembelajaran LC 5-E
memerlukan waktu yang cukup lama dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun
rencana dan melaksanakan pembelajaran.
Keunggulan pembelajaran Empiris-induktif yaitu memiliki waktu eksplorasi yang
lebih lama sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan
berbagai fakta di lapangan melalui observasi atau dengan praktikum, sehingga terjadi
pengkonstruksian konsep baru di bawah arahan guru, dan dengan konsep baru
tersebut siswa dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
pembelajaran SBEI guru berfungsi sebagai fasilitator dalam proses pembelajarannya.
Untuk mengenalkan konsep yang baru, guru hanya mengarahkan saja berdasarkan
konsep yang sudah di eksplorasi oleh siswa. memudahkan pengkonstruksian suatu
konsep sehingga terjadi suatu proses asimilasi pada siswanya berdasarkan hasil
31
dengan siswa, dan antara siswa dengan guru sehingga semua siswa terlibat langsung
dan aktif.
Adapun kelemahan pembeljaran SBEI yaitu, memerlukan waktu yang lama untuk
menemukan atau mempelajari sutau konsep baru jika siswa belum terbiasa
melakukan praktikum. Apabila siswa belum terbiasa untuk mengeksplorasi konsep
yang didapatkan selama melaksanakan praktikum, belum terbiasa mengambil suatu
kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dari praktikum, dan belum terbiasa
melakukan praktikum. Maka diperlukan kesabaran guru untuk mendengarkan
pendapat, ide serta gagasan dari siswa pada saat mengeksplorasi konsep yang
diperoleh selama melaksanakan praktikum,agar siswa merasa dihargai dan penting
selama proses belajar berlangsung. Sehingga proses pembelajaran ini memerlukan
waktu yang lama untuk menemukan atau mempelajari suatu konsep baru. Guru juga
diharuskan membuat petunjuk (LKS) yang jelas sehingga memudahkan siswa untuk
mendapatkan data yang dinginkan untuk memplajari konsep yang dipelajari, juga
guru perlu mengarahkan siswanya dalam hal pengkonstruksian konsep yang baru.
Berdasarkan karakteristik kedua model pembelajaran tersebut, digarapkan
penguasaan konsep reaksi reduksi-oksidasi dari siswa yang dibelajarkan dengan
model pembelajaran LC5-E akan lebih tinggi daripada siswa yang dibelajarkan
dengan empiris-induktif. Karena model pembelajaran LC 5-E adalah pengembangan
fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 fase. Fase engagement dalam LC 5-E termasuk
dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses
32
aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan
lingkungan fisik maupun sosial.
Implementasi LC 5-E dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis
yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa. 2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi
baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu.
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari
guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses
pe-merolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan
langsung.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini lebih cenderung bahwa model pembelajaran
learning cycle 5 phase akan memberikan penguasaan konsep kimia yang lebih tinggi
dibandingkan dengan model pembelajaran SBEI.
Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut:
X1 Y1
Y1 > Y2
X2 Y2
Gambar 1. Model teoritis antara variabel bebas dan variabel terikat
Keterangan:
X1 = Pembelajaran learning cycle 5 phase
X2 = Pembelajaran Siklus Belajar Empiris Induktif
Y1 = Penguasaan konsep siswa yang menggunakan pembelajaran learning
33
Y2 = Penguasaan konsep siswa yang menggunakan pembalajaran siklus
belajar empiris-induktif pada materi reaksi redoks
I. Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:
1. Siswa kelas X4 dan X5 semester genap SMA Negeri 7 Bandar Lampung tahun
pelajaran 2011-2012 yang menjadi sampel penelitian mempunyai kemampuan
dasar yang sama dalam penguasaan konsep kimia.
2. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penguasaan konsep reaksi reduksi-oksidasi
siswa kelas X semester genap SMA Negeri 7 Bandar Lampung pelajaran
2011-2012 diabaikan.
3. Perbedaan rata-rata penguasaan konsep reaksi redoks semata-mata karena
perbedaan perlakuan dalam proses pembelajaran.
J. Hipotesis Umum
Sebagai pemandu dalam melakukan analisis maka perlu disusun hipotesis umum.
Hipotesis umum dalam penelitian ini jika kedua kelas eksperimen diberi
34
III. METODE PENELITIAN
A. Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Poplasi pada penelitian ini adalah semua siswa-siswi kelas X SMA Negeri 7 Bandar
Lampung tahun ajaran 2011/2012 yang berjumlah sekitar 342 siswa dan tersebar
dalam 9 kelas yaitu X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8, X9.
2. Sampel
Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai sampel adalah bagian dari populasi
penelitian (siswa kelas X SMA Negeri 7 Bandar Lampung). Adapun pengambilan
sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan
sampel yang didasarkan pada tujuan dan pertimbangan tertentu yang dibuat oleh
peneliti sendiri dan berdasarkan saran ahli (guru mitra SMAN 7 Bandar Lampung),
berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya. Purposive
sampling akan baik hasilnya ditangan seorang ahli yang mengenal populasi,
(sudjana, 2005). Dalam hal ini peneliti mengambil kelas X4 dan X5 sebagai sampel.
Kelas X4 sebagai kelompok eksperimen I yang diberi model pembelajaran LC 5-E
35
B. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran, yaitu model
pembelajaran learning cycle 5-e (eksperimen I) dan model pembelajaran SBEI
(eksperimen II).
2. Variabel terikat
Variabel terikatnya adalah penguasaan konsep siswa pada materi pokok reaksi
reduksi oksidasi kelas X SMA Negeri 7 Bandar Lampung.
C. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu data
hasil tes setelah pembelajaran diterapkan (posttest)..
2. Sumber data dibagi menjadi dua yaitu :
a. Data primer yang meliputi :
2.1.Data hasil posttest kelompok eksperimen I
2.2.Data hasil posttest kelompok eksperimen II
b. Data sekunder yang meliputi :
36
3. Teknik pengumpulan data
Data tes yang digunakan untuk memperoleh data penguasaan konsep siswa kelas
eksperimen I dan eksperimen II adalah data nilai posttest. Setelah itu data posttest
tersebut digunakan untuk analisis pengujian hipotesis
D. Desain dan Metode Penelitian
1. Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian yang dimodifikasi dari Fraenkel dan
Wallen (2006) yaitu The Matching-Only Posttest-Only Group Design, yang
bertujuan untuk mengetahui perbedaan penguasaan konsep reaksi antara model
pembelajaran LC 5-E dengan model pembelajaran SBEI, yaitu dengan
mengadakan keseimbangan kondisi terhadap kedua kelompok (kelompok
eksperimen I dan kelompok eksperimen II). Desain ini menggunakan teknik
perbedaan rata-rata nilai posttest kelompok eksperimen I dan kelompok
eksperimen II setelah diadakan perlakuan atau eksperimen yang lebih lanjut,
karena teknik pengumpulan data pada penelitian ini hanya menggunakan data
nilai posttest. Desain penelitian tersebut dapat dijelaskan pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Desain Penelitian
Kelas Perlakuan Postes
Eksperimen I X1 O
Eksperimen II X2 O
37
X1: Pembelajaran kimia menggunakan model pembelajaran LC 5-E
X2: Pembelajaran kimia menggunakan model pembelajaran SBEI
O : Posttest yang diberikan setelah perlakuan
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang di gunakan adalah quasi eksperimen. Di dalam penelitian ini
tes dilakukan sebanyak satu kali yaitu tes setelah pembelajaran diterapkan (posttest).
E. Instrumen Penelitian
1. Instrumen
Instrumen penelitian merupakan suatu alat untuk mengumpulkan data dalam suatu
penelitian. Arikunto dalam Nazir (1983).
Adapun rincian bentuk instrumen penelitian untuk kelas eksperimen I adalah :
a. LKS materi pokok reaksi redoks dengan pembelajaran LC 5-E sejumlah 4 LKS.
b. posttest yang terdiri dari 10 soal pilihan jamak dan 5 soal essay untuk mengukur
penguasaan konsep siswa.
Rincian bentuk instrumen penelitian untuk kelas eksperimen 2 adalah :
a. LKS materi pokok reaksi redoks dengan pembelajaran SBEI sejumlah 4 LKS.
b. Soal posttest yang terdiri dari 10 soal pilihan jamak dan 5 soal essay untuk
mengukur penguasaan konsep siswa.