• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR HBA1C PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR HBA1C PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI LABORATORIUM PATOLOGI KLINIK RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Oleh

AQSHA RAMADHANISA Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR HBA1C PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI LABORATORIUM

(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

1. Tujuan Umum ... 3

2. Tujuan Khusus ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Kerangka Pemikiran ... 5

1. Kerangka Pemikiran ... 5

2. Kerangka Konsep ... 7

F. Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Diabtetes Melitus ... 8

1. Definisi ... 8

2. Klasifikasi ... 9

3. Patofisioligi ... 10

4. Manifestasi Klinik ... 10

5. Diagnosis ... 11

6. Tatlaksana ... 12

7. Komplikasi ... 14

B. Aktivitas Fisik ... 15

1. Otot ... 15

2. Olahraga ... 18

3. Manfaat Olahraga pada DM Tipe 2 ... 19

4. Aktivitas Fisik dan Sensitivitas Insulin ... 22

(14)

ii

III. METODE PENELITIAN ... 28

A. Desain Penelitian ... 28

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

C. Populasi dan Sampel ... 28

1. Populasi ... 28

2. Sampel ... 29

D. Identifikasi Variabel ... 30

1. Variabel Bebas ... 30

2. Variabel Terikat ... 30

E. Definisi Operasional ... 30

F. Metode Pengumpulan Data ... 31

G. Prosedur Penelitian... 31

H. Pengolahan dan Analisis Data ... 32

1. Pengolahan Data ... 32

2. Analisis Data ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Hasil ... 35

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 35

2. Analisis Univariat ... 35

a. Karakteristik Responden ... 35

b. Aktivitas Fisik ... 38

c. Kadar HbA1c ... 38

3. Analisis Bivariat ... 39

B. Pembahasan ... 40

1. Univariat ... 40

a. Karakteristik Responden ... 40

b. Aktivitas Fisik ... 44

c. Kadar HbA1c ... 46

2. Bivariat ... 48

C. Kekurangan dan Keterbatasan Penelitian ... 50

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 51

A. Simpulan ... 51

B. Saran ... 52

(15)

iii DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Aktivitas fisik sehari-hari ... 18

2. Definisi operasional ... ……... 30

3. Distribusi jenis kelamin pasien DM tipe 2 ... 36

4. Distribusi usia pasien DM tipe 2 ... 36

5. Distribusi tingkat pendidikan pasien DM tipe 2 ... 37

6. Distribusi lama pasien menderita diabetes melitus pada pasien DM tipe 2 37 7. Distribusi aktivitas fisik pasien DM tipe 2 ... 38

8. Distribusi kadar HbA1c pasien DM tipe 2 ... 38

9. Hubungan aktivitas fisik dengan kadar HbA1c pasien DM tipe 2 ... 39

10. Chi-square test hubungan aktivitas fisik dengan kadar HbA1c pasien DM tipe 2 ... 39

11. Data Responden Penelitian ... 57

12. Kegiatan sehari-hari ... 64

13. Distribusi Frekuensi Variabel Penelitian ... 65

(16)

iv DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ... 5

2. Kerangka konsep ... 6

3. Langkah-langkah diagnosis DM dan gangguan ... 11

4. Jalur metabolik yang menghasilkan ATP ... 16

5. Dokumentasi wawancara ... 67

6. Alat pemeriksaan HbA1c ... 68

7. Pencatatan hasil laboratorium ... 68

(17)

1

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang prevalensinya cukup tinggi di dunia. World Health Organization (WHO) tahun 2003

menyebutkan, penderita DM angkanya mencapai 194 juta jiwa atau 5,1 persen dari penduduk dunia usia dewasa dan pada tahun 2025 diperkirakan meningkat menjadi 333 juta jiwa. Di Indonesia, penderita DM semakin meningkat. Pada tahun 2000, penderita DM telah mencapai angka 8,4 juta jiwa dan diperkirakan bahwa prevalensi penderita DM tahun 2030 di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar

(18)

2

Diperkirakan masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes yang belum terdiagnosis di Indonesia. Selain itu hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis yang menjalani pengobatan, baik non farmakologis maupun farmakologis. Dari yang menjalani pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja yang terkendali dengan baik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa

komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kontrol glikemik yang optimal yaitu dengan pemeriksaan kadar HbA1c (PERKENI, 2011). HbA1c (glycosylated haemoglobin) adalah protein yang terbentuk dari perpaduan antara gula dan

haemoglobin dalam sel darah merah (Sustrani.L, et al, 2006). Kadar HbA1c mencerminkan kadar glukosa rata-rata dalam 6-8 minggu terakhir (Bender.D, et al, 2012).

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2011 terdapat empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus yaitu; edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani/aktivitas fisik serta intervensi farmakologis. Aktivitas fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun sosial dan tampak sehat. Bagi pasien diabetes melitus, aktivitas fisik dapat mengurangi resiko kejadian kardiovaskular serta meningkatkan harapan hidup (Yunir & Soebardi, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr . Baum dkk di Jerman pada tahun 2007 tentang “Efficiency of vibration exercise for glycemic control in

type 2 diabetes patients “ memperlihatkan hasil yang positif yaitu, dengan

(19)

3

Resistance exercise training lowers HbA1c more than aerobic training in

adults with type 2 diabetes” oleh Bweir yang menunjukkan hasil terjadi

penurunan kadar HbA1c pada pasien DM tipe 2 setelah 10 minggu pemeberian perlakukan. Anjuran untuk melakukan aktivitas fisik bagi pasien DM telah dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti Sui di China dan manfaatnya masih diteliti oleh para ahli hingga kini. Pada diabetes melitus tipe 2, aktivitas fisik dapat memperbaiki kendali glukosa secara menyeluruh (Yunir & Soebardi, 2009). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan kadar HbA1c pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui adakah hubungan aktivitas fisik dengan kadar HbA1c pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung?

C.Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah :

(20)

4

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui gambaran aktivitas fisik pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Untuk mengetahui gambaran kadar HbA1c pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Untuk mengobservasi dan menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan kadar HbA1c pada pasien diabetes melitus tipe 2 di

Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung.

D.Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan peneliti tentang hubungan aktivitas fisik dengan kadar HbA1c pasien diabetes melitus tipe 2. b. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan kepada para tenaga

kesehatan untuk dapat menghimbau pasien diabetes melitus tipe 2 melakukan aktivitas fisik sehingga pasien-pasien tersebut mampu mengontrol kadar HbA1c sesuai target.

(21)

5

E.Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Kadar HbA1c mencerminkan kadar glukosa rata-rata dalam 6-8 minggu terakhir (Murray RK, Graner DK, Rodwell VW, 2009). Sehingga untuk mengetahui terapi pada pasien DM berjalan dengan baik dapat dilakukan pemeriksaan Kadar HbA1c pada pasien tersebut. Terapi yang dilakukan pada paisen DM sebagaimana yang telah disebutkan oleh PERKENI, 2011 yaitu, edukasi, diet gizi, farmakologi, serta aktivitas fisik.

Kadar HbA1c terganggu/tidak tepat pada keadaan dengan anemia hemolitik, hemoglobinopati, dan hemakromatosis serta retikulositosis. Thalasemia dan hemoglobinopati seperti Hb C, Hb S, Hb E, dll yang menyebabkan usia eritrosit memendek menyebabkan penurunan kadar HbA1c (Wardana, 2011).

Meskipun mekanisme belum sepenuhnya diketahui, terjadinya

(22)

6

IRS-1 yang berkaitan dengan jalur PI 3-kinase. Meskipun terdapat

peningkatan pada insulin yang distimulasi oleh pengambilan glukosa yang terlihat setidaknya 5 sampai 7 hari setelah penghentian aktivitas fisik pada subyek yang sebelumnya dilatih, pasien dengan DM tipe 2 biasanya tidak menunjukkan perbaikan homeostasis glukosa darah puasa. Beberapa peneliti telah mengamati bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan menurunnya konsentrasi hemoglobin glikosilasi (HbA1c). Dengan demikian, efek dari aktivitas fisik yang diulang secara teratur akan meningkatkan kontrol glukosa darah jangka panjang pada pasien DM tipe 2 (Horton & Steppel, 2004).

Gambar 1. Kerangka Teori Terapi DM

Intake gizi (Diet Gizi) Aktivitas fisik

Intervensi farmakologis

Kadar HbA1c

Faktor yang merubah jumlah Hemoglobin :

(23)

7

2. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kadar HbA1c pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Aktivitas fisik Kadar HbA1c

(24)

8

II.TINJAUAN PUSTAKA

A.Diabetes Melitus

1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh

(25)

9

2. Klasifikasi

Terdapat klasifikasi dari DM yang diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2009.

a. Diabetes Melitus Tipe 1

(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) i. Melalui proses imunologik

ii. Idiopatik

b. Diabetes Melitus Tipe 2

(Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

c. Diabetes Melitus Tipe Lain i. Defek genetik fungsi sel beta ii. Defek genetik kerja insulin iii.Penyakit Eksokrin Pankreas iv.Endokrinopati

v. Karena obat/zat kimia vi.Infeksi

(26)

10

3. Patofosiologi

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:

a. Resistensi insulin

b. Disfungsi sel beta pankreas

Resistensi insulin adalah keadaan dimana insukin tidak dapat bekerja secara optimal pada sel-ssel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel beta pankreas mensekresi insulin dalam kualitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan

euglikemia. Pada fase tertentu akan terjadi dimana kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia.

Keadaan glukotoksistas akibat kekurangan insulin relatif (walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel beta pankreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2 ( Arifin, 2011).

4. Manifestasi Klinis

(27)

11

mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glukosuria. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan kurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk (Price & Wilson, 2006).

5. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakan atas dasar adanya glukosuria (PERKENI, 2011). Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria

(28)

12

menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer (Purnamasari, 2009).

Gambar 3. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa (PERKENI, 2011)

6. Tatalaksana

(29)

13

a. Edukasi

Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan upaya peningkatan motivasi.

b. Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan pada pasien diabates hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu. Perlu ditekankan pentingnya keteraturan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah dan insulin.

c. Terapi Farmakologis

Pada DM tipe 2, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Disamping itu,

(30)

14

temporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian lainnya.

d. Latihan Jasmani/Aktivitas Fisik

Kegiatan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi resiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat latihan jasmani dapat ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan yang kurang gerak.

7. Komplikasi

Menurut Prince & Wilson (2006), komplikasi-komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu:

a. Komplikasi Metabolik Akut 1) Ketoasidosis diabetik

2) Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik 3) Hipoglikemia

(31)

15

2) Glomerulosklerosis diabetik 3) Nefropati diabetik

4) Neuropati perifer

5) Penyakit makrovaskular mengacu pada aterosklerosis dengan berkembangnya penyakit arteria koronaria, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, dan meningkatnya risiko infeksi.

B. Aktivitas Fisik

1. Otot

Otot adalah spesialis kontraksi pada tubuh (Sherwood, 2012). Kira-kira 40 persen pada pria dan 32 persen pada wanita dari seluruh tubuhnya terdiri dari otot rangka dan mengikuti 10 persen lainnya berupa otot polos dan otot jantung (Gyuton & Hall, 2008).

Dengan menggerakan komponen-komponen intra sel tertentu, sel otot dapat menghasilkan tegangan dan memendek, yaitu, berkontraksi.

(32)

16

otot tidak dapat memendek sehingga terbentuk tegangan dengan panjang otot tetap (Sherwood, 2012).

Bila otot berkontraksi, timbul suatu kerja dan energi diperlukan. Sejumlah besar ATP dipecah membentuk ADP selama proses kontraksi. Semakin besar jumlah kerja yang yang dilakukan oleh otot semakin besar pula ATP yang dibutuhkan untuk dipecahkan (Gyuton & Hall, 2008). Karena ATP adalah satu-satunya sumber energi yang dapat secara langsung digunakan, maka agar aktivitas kontraktil dapat berlanjut, ATP harus terus menerus diberikan. Di jaringan otot persediaan ATP yang dapat segera digunakan berjumlah terbatas, tetapi terdapat tiga jalur yang memberikan tambahan ATP sesuai kebutuhan selama kontraksi otot, yaitu:

1) Transfer fosfat berenergi tinggi dari keratin fosfat ke ADP

2) Fosforilasi oksidatif (siklus asam sitrat dan sistem transport elektron) 3) gilkolisis

(Sherwood, 2012)

(33)
[image:33.595.130.484.98.711.2]

17

(34)

18

2. Olahraga

Olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani. Olahraga merupakan sebagian

kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari karena dapat meningkatkan kebugaran yang diperlukan dalam melakukan tugasnya (Karim, 2002).

Aktivitas fisik dapat terbagi dalam berbagai macam bentuk. Salah satu pembagian tersebut adalah berdasarkan pemakaian oksigen atau sistem energi dominan yang digunakan dalam suatu latihan, yaitu latihan aerobik dan anaerobik. Latihan aerobik adalah latihan yang menggunakan energi yang berasal dari pembakaran dengan oksigen, dan menuntut oksigen tanpa menimbulkan kekurangan oksigen. Contoh latihan aerobik adalah lari, jalan, lari di tempat, bersepeda dan renang. Sedangkan latihan

anaerobik adalah latihan yang menggunakan energi dari pembakaran tanpa oksigen dalam hal ini latihan akan menimbulkan debit oksigen atau

kekurangan oksigen. Contoh latihan anaerobik adalah lari cepat jarak pendek, latihan interval, lari seratus yard, serta bersepeda cepat (Sukmaningtyas, Pudjonarko, & Basjar, 2004).

(35)

19

fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Aktivitas fisik yang dianjurkan berupa aktivitas fisik yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan

[image:35.595.150.503.362.507.2]

berenang. Aktivitas fisik sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas aktivitas fisik bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).

Tabel 1. Aktivitas fisik sehari-hari (PERKENI, 2011)

3. Manfaat Olahraga pada DM tipe 2

Banyak manfaat dari olahraga teratur telah diidentifikasi untuk pasien dengan DM tipe2. Sedangkan latihan pada orang normal memiliki dampak yang lebih sedikit pada konsentrasi glukosa darah, olahraga intensitas sedang pada pasien dengan DM tipe 2 biasanya dikaitkan dengan

(36)

20

meningkatkan kontrol diabetes dalam jangka waktu yang lebih lama. Selain dapat menurunkan glukosa darah dengan cepat pengaruh latihan telah diakui selama bertahun-tahun dapat dikaitkan dengan penurunan konsentrasi glukosa darah puasa dan postprandial serta peningkatan sensitivitas insulin. Hal ini mungkin disebabkan karena peningkatan glukosa transporter- 4 (GLUT-4) yang merupakan efek setelah latihan dan akan dibahas pada bagian selanjutnya. Karena DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin pada otot rangka, jaringan adiposa, dan hati, ada

keinginan yang cukup besar dalam penggunaan latihan fisik sebagai sarana meningkatkan sensitivitas insulin dan dengan demikian latihan fisik

menjadi salah satu yang utama untuk terapi DM tipe 2. Manfaat dari olahraga teratur adalah pengurangan faktor risiko kardiovaskular melalui peningkatan profil lipid dan penurunan tekanan darah. Sekarang

(37)

21

10 sampai 12 mil per minggu dan peningkatan secara bertahap sampai dengan jarak sekitar 40 mil per minggu . Kurang intensifnya aktivitas fisik akan efek sedikit atau tidak berefek pada profil lipid. Efek lain dari latihan fisik adalah penurunan tekanan darah dari sedang sampai ringan.

Penurunan berat badan atau perubahan komposisi tubuh terjadi dengan sendirinya dan dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah baik sistolik dan diastolik dari 5 sampai 10 mm Hg Sebuah metanalysis terakhir dari 54 sampel acak, percobaan untuk melihat efek dari latihan aerobik terhadap tekanan darah menunjukkan bahwa latihan aerobik benar-benar

mengurangi tekanan darah pada orang hipertensi dan juga pada orang bertensi normal. Meskipun mekanisme ini tidak diketahui, hal ini

berhubungan dengan penurunan insulin serum dan konsentrasi trigliserida dan mungkin berhunungan dengan memgembalikan efek hiperinsulinemia kronis pada retensi natrium ginjal. Bukti menunjukkan bahwa latihan fisik memicu pelepasan oksida nitrat dengan meningkatkan aktivitas oksida nitrat sintase. Efek ini mungkin sangat penting dalam penurunan tekanan darah dari latihan endurance. Memang, endothelial nitric oxide (NO) synthase gene polymorphism (Glu298Asp) telah ditemukan berhubungan dengan efek penurunan tekanan darah.

(38)

22

yang sangat rendah kalori, latihan tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap penurunan berat badan selain dari diet itu sendiri. Perlu diingat bahwa bahkan jika penurunan berat badan tidak terlalu baik, redistribusi lemak mungkin penting. Contohnya banyak kehilangan lemak pada intraabdominal, seperti yang terlihat dalam uji penelitian yang dilakukan selama setahun untuk melihat efek latihan terhadap komposisi tubuh pada wanita postmenopause. Pada akhirnya, latihan fisik pasien DM tipe 2 samamanfaatnya seperti pada orang nondiabetes. Ini termasuk peningkatan kesehatan kardiovaskular dan kemampuan fisik dalam bekerja. Selain itu, terdapat keuntungan psikologis termasuk meningkatnya rasa sejahtera dan peningkatan kualitas hidup(Horton & Steppel, 2004).

4. Aktivitas fisik dan Sensitivitas Insulin

Aktivitas fisik sebagai sarana mengobati resistensi insulin dikaitkan dengan obesitas dan DM tipe 2 pertama kali diusulkan oleh Bjorntorp et al. pada awal tahun 1970. Mereka mengamati bahwa pria paruh baya yang

(39)

23

respon glukosa darah, namun konsentrasi insulin secara signifikan menurun. Peningkatan sensitivitas insulin berhubungan erat dengan peningkatan latihan pada olahraga aerobik dan terutama disebabkan oleh penyerapan glukosa yang meningkat pada otot rangka. Kemudian

diketahui bahwa peningkatan sensitivitas insulin dan respon yang berhubungan dengan aktivitas fisik ini cepat hilang ketika aktivitas fisik dihentikan. Burstein et al. menemukan bahwa efeknya banyak berkurang dalam waktu 60 jam, dan peneliti lainnya menyatakan bahwa dampaknya tidak lagi ada setelah 5 sampai 7 hari tanpa aktivitas fisik.

(40)

24

GLUT-4 meningkat dibandingkan dengan peningkatan ekspresi protein. Selain itu, meskipun tampak bahwa terdapat peningkatan fosforilasi tirosin dari reseptor insulin pada diabetes tipe 2 setelah 24 jam aktivitas fisik, tidak tampak bahwa peningkatan sensitivitas insulin terjadi karena meningkatnya aktivitas IRS-1 yang berkaitan dengan jalur PI 3-kinase. Meskipun terdapat peningkatan pada insulin yang distimulasi oleh pengambilan glukosa yang terlihat setidaknya 5 sampai 7 hari setelah penghentian aktivitas fisik pada subyek yang sebelumnya dilatih, pasien dengan DM tipe 2 biasanya tidak menunjukkan perbaikan homeostasis glukosa darah puasa. Beberapa peneliti telah mengamati bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan menurunnya konsentrasi hemoglobin glikosilasi (HbA1c). Dengan demikian, efek dari aktivitas fisik yang diulang secara teratur akan meningkatkan kontrol glukosa darah jangka panjang pada pasien DM tipe-2 (Horton & Steppel, 2004).

C. HbA1c

(41)

25

HbA1c terbentuk dari ikatan glukosa dengan gugus amida pada asam amino valin di ujung rantai beta dari globulin Hb dewasa normal yang terjadi pada 2 tahap. Tahap pertama terjadi ikatan kovalen aldimin berupa basa Schiff yang bersifat labil dan tahap kedua terjadi penyusunan kembali secara Amadori menjadi bentuk ketamin yang stabil. Pada keadaan hiperglikemik akan meningkatkan pembentukan basa Schiff antara gugus aldehid glukosa dengan residu lisin, arginin, dan histidin.

HbA1c terjadi secara lambat yaitu sekitar 120 hari (rentang hidup sel darah merah) dan terjadi terus-menerus sepanjang rentang hidup tersebut, sehingga eritrosit tua akan mengandung HbA1c lebih banyak dibandingkan eritrosit muda. Jumlah hemoglobin yang terglikosilasi bergantung pada jumlah glukosa darah yang tersedia. Jika kadar glukosa darah meningkat selama waktu yang lama, sel darah merah akan tersaturasi dengan glukosa sehingga menghasilkan glikohemoglobin (Suyono, 2007).

Hemoglobin glikosilat atau HbA1c dapat diukur dengan beberapa metode, seperti:

Ion-exchange chromatography

(42)

26

HPLC (high performance liquid chromatography)

Prinsip metode ini sama dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi.

Agar Gel Electroforesis

Hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.

Immunoassay (EIA)

Metode ini hanya mengukur HbA1c, tidak mengukur HbA1c yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.

Affinity chromatography

Pada metode ini non-glycated hemoglobin serta bentuk labil dari HbA1c tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin. Metode ini tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.

Analisis kimiawi dengan kolorimetri

Waktu inkubasi pada metode ini kurang lebih 2 jam. Lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated labil.

(43)

27

Spesimen yang digunakan untuk pengukuran HbA1c adalah darah kapiler atau vena dengan antikoagulan (EDTA, sitrat, atau heparin).

(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 26 November 2012 sampai dengan 17 Januari 2013.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

(45)

29

Abdul Moeloek Provinsi Lampung Bandar Lampung. Populasi

diperkirakan berjumlah 50 orang dengan informasi yang diberikan oleh laboran di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek perkiraan pasien yang melakukan pemeriksaan setiap harinya berjumlah 1-2 orang.

2. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 yang melakukan pemeriksaan HbA1c di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung, pada tanggal 26 November 2012 sampai dengan 17 Januari 2013. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling, yaitu mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian. Seberapapun banyaknya sampel yang ada pada waktu penelitian akan dijadikan sampel penelitian (Notoatmodjo, 2010). Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi :

a. Pasien diabetes melitus tipe 2 b. Memeriksakan kadar HbA1c-nya c. Bersedia menjadi responden

Dan kriteria eksklusi pada penelitian ini meliputi :

(46)

30

D. Identifikasi Variabel

Variabel pada penelitian ini adalah :

a. Variabel independen : Aktivitas fisik pasien diabetes melitus tipe 2 b. Variabel dependen : Kadar HbA1c pasien diabetas melitus tipe 2

E. Definisi Operasional

Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Defenisi

Operasional Cara Ukur Alat

Ukur Skala Hasil Ukur

Aktivitas Fisik Olahraga aerobik ataupun kegiatan yang serupa dengan olahraga aerobik yang dilakukan oleh pasien diabetes melitus tipe 2

Wawancara Kuesioner Ordinal

Dengan kriteria :

1. Baik : melakukan olahraga 3-4kali seminggu selama 30 menit, selama 10-12 minggu atau lebih

2. Kurang : melakukan olahraga kurang dari 3-4kali kurang dari 30 menit atau tidak melakukan olahraga (PERKENI, 2011) Kadar HbA1c Kadar dari hemoglobin terglikolisasi yang sampelnya diambil dari darah kapiler atau vena dengan antikoagulan Pengukuran Laboratoris Immuno assay Ordinal Dari hasil pengukuran, ditentukan kriteria berdasarkan:

1. Baik : ≤7%

(47)

31

F. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan : Data primer

Wawancara langsung menggunakan kuesioner pada pasien diabetes

melitus tipe 2 yang sedang kontrol di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung untuk melihat aktivitas fisik yang dilakukan, lamanya responden melakukan aktivitas fisik serta kerutinan dalam meakukan aktivitas fisik tersebut.

Data sekunder

Melihat laporan hasil pemeriksaan kadar HbA1c pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

G. Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 4 (empat) tahap, yaitu:

a. Tahap Awal

Pelaksanaan penelitian diawali dengan meminta izin kepada pihak pimpinan di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung untuk melakukan penelitian.

b. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahapan ini kegiatan yang akan dilaksanakan adalah :

(48)

32

2) Mengumpulkan data dengan melakukan pengisian kuesioner dengan wawancara.

3) Mengumpulkan data hasil pemeriksaan HbA1c responden yang bersedia menjadi subjek penelitian dari laboratorium.

c. Pengolahan dan analisis data d. Kesimpulan

H. Pengolahan dan Analisis Data

Data diperoleh dengan cara mempelajari data primer berupa hasil wawancara menegenai aktivitas fisik yang dilakukan pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

1. Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah ke dalam bentuk diagram, kemudian data diolah menggunakan alat bantu perangkat lunak program SPSS versi 17.0 for Windows. Selanjutnya, proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri dari beberapa langkah:

a. Coding, untuk menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis. b. Data Entry, memasukkan data ke dalam komputer.

(49)

33

d. Computer Output, hasil analisis yang telah dilakukan oleh komputer kemudian dicetak.

2. Analisis Data

Dengan melihat data yang diperoleh, data akan diolah dengan alat bantu perangkat lunak SPSS 17,0 for Windows. Untuk analisis data digunakan analisis data univariat & analisis bivariat.

a. Analisis data univariat adalah analisis data untuk mengetahui

gambaran masing-masing variabel yaitu aktivitas fisik pasien diabetes melitus tipe 2 dan kadar HbA1c pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

b. Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara aktivitas fisik dengan kadar HbA1c pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Laboratorium Patologi Klinik RSUD dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Analisis ini dilakukan dengan uji statistik Chi Square yaitu:

Keterangan: x2 = Kai kuadrat

fo = Frekuensi hasil observasi dari sampel penelitian

(50)

34

(51)

54

DAFTAR PUSTAKA

ADA. 2011. Standards of medical care in diabetes 2011. ADA.

Adiningsih, R. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 pada Orang Dewasa di Kota Padang Panjang. (Skripsi). Universitas Andalas. Padang.

Anonim. Men ‘more prone to type 2 diabetes’. BBC. 3 Oktober 2011. Diakses pada tanggal 27 Januari 2013 http://www.bbc.co.uk/news/health-15147999 Anonim. Prolonged sitting increase’s women’s diabetes risk. My Health News

Daily. 4 Mei 2012. Diakses pada tanggal 27 Januari 2013 http://www.bbc.co.uk/news/health-15147999

Ardiansyah, M, Fatkhur RMQ. 2012. Hubungan anatar hiperglikemia, usia dan lama menderita pasien diabetes dengan angka kejadian neuropati diabetika. FKKIK (Pendidikan Dokter). Vol. 8, No.9.

Arifin, A. 2011. Panduan Terapi Diabetes Melitus Tipe 2 Trekini. FK UNPAD, Bandung.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Lampung

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Nasional

Basjar, E, Pudjonarko, D, Sukmaningtyas, H. 2004. Pengaruh Latihan Aerobik dan Anaerobik terhadap Sistem Kardiovaskuler dan Kecepatan Reaksi. Media Medika Indonesia. 39:74-79

Baum, K, Schiab, J Votteler, T. 2007. Efficiency of vibration exercise for glycemic control in type 2 diabetes patients. International Journal of Medicine Sciences. 4(3):159-163

(52)

55

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Profil kesehatan Indonesia. Depkes RI.

Dewey, K, Erica P, Susana L, Shanta R, Asslamira F, Charles P, Joan C.L, Barbara S, Joseph V. 2011. Study of women, infant feeding, and type 2 diabetes melitus after GDM pregnancy (SWIFT), a prospective cohort study: methodology and design. BMC Public Health. 11:952

Dewi, RP. 2013. Faktor risiko perilaku yang berhubungan dengan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus tipe 2 di rsud kabupaten karanganyar. Jurnal Kesehatan Masyarakat FKM Undip 2(1): 1-11.

Diabetes Care. 2004. Global prevalence of diabetes: estimates for the year 2000 and projections for 2020. Diabetes Care.

Gallagher EJ, Bloomgarden ZT, Roith D. 2009. Review of hemoglobin A1c in the management of diabetes. J Diabetes. 1:9-17

Guyton, Arthur. C., & Hall. John., E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (edisi 11). EGC, Jakarta. 1179 hlm.

Horton, E, Jeanne. 2004. Exercise in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus: Diabetes Mellitus: A Fundamental and Clinical Text 3rd Ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 1512 hlm.

Karim, Faziati. 2002. Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta. Depkes RI.

Kriska, Andrea. Physical Activity and the Prevention of Type II (Non– Insulin-Dependent) Diabetes . University of Pittsburgh. PCPFS Research DIGEST. Series 2, Number 10.

Malini, F. N. 2010. Gambaran pengetahuan penderita DM tipe 2 terhadap penyakit dan pengelolaan DM tipe 2 di RSUP H. Adam Malik Medan. (Skripsi). Universitas Sumatera Utara. Medan.

Mihardja, L. 2009. Faktor yang berhubungan dengan pengendalian gula darah pada penderita diabetes melitus di perkotaan Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol.59, No. 9, hlm. 418-424.

Murray RK, Graner DK, Rodwell VW. 2009. Biokimia Harper edisi 27. EGC, Jakarta. 709 hlm.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe

(53)

56

Price, Sylvia Anderson & Lorraine Wilson. 2006.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Ed.6. EGC, Jakarta. 1518 hlm.

Purnamasari, D. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.. 1134 hlm.

Rusmiah. 2010.Hubungan Tingkat Pendidikan dan pengetahuan gizi dengan Kepatuhan Diet pada Penderita Diabetes Melitus (Diabetisi) di Ruang Rawat Inap RSUD Dr.H.Moch Ansari Saleh. (Skripsi). Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada Borneo. Banjarmasin.

Sab’ah, S. 2009. Hubungan Kadar HbA1c yang Tinggi dengan Kejadian Ulkus Kaki Diabetik pada Pasien DM Tipe 2 di RS. Lavelette Malang. (Skripsi). Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Ed 6. EGC, Jakarta. 870 hlm.

Soegondo, S. 2009. Farmakoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2 : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1134 hlm. Suyono, S., 2009. Diabetes Melitus di Indonesia : Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1134 hlm.

Taufiq, F. 2012. Hubungan Pengetahuan Tentang Diabetes Melitus dan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Waspadji, S. 2009. Komplikasi Kronik Diabetes Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1134 hlm.

World Health Organization. 2011. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and use Hba1c to diagnostic. Atlas Diabetes.

Gambar

Tabel
Gambar 1. Kerangka Teori
Gambar 2. Kerangka Konsep
Gambar 3. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa (PERKENI, 2011)
+3

Referensi

Dokumen terkait

One day, he increased his average speed by 5km per hour so that he arrived 20 minutes earlier?. Find his usual average speed, in km

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari formula yang tepat dan mempelajari pengaruh penambahan konsentrasi susu kedelai dan nangka terhadap karakteristik melorin

Parasit protozoa secara umum dapat melangsungkan siklus hidupnya tergantu pada keberhasilan stadium bebas ektoparasit menginfeksi ikan lain, mengembangkan responnya

Berdasarkan kriteria kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) (Lampiran 13), lokasi tanam di Bogor memiliki status N tanah rendah. Jika melihat potensi dan

sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Peran Orang Tua Asuh Dalam Mendukung Perkembangan Kemandirian Remaja Putus Sekolah Di Panti Sosial Bina Remaja

Melihat kesuksesan tersebut, maka perlu dilakukan suatu analisis mengenai hal apa yang dapat mendukung kelancaran proses produksi, konsep dan tipe manufaktur, serta aplikasi

[r]

Dalam rangka penyelesaian studi, maka kami memohon dengan hormat agar mahasiswa yang bersangkutan diberi izin untuk mengadakan penelitian skripsi di kantor/lembaga