EFEKTIVITAS PELATIHAN
PENGEMBANGAN KARAKTERISTIK WIRAUSAHAWAN
PADA MAHASISWA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
oleh:
Herman Yosef Paryono 06 9114 064
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
HALAMAN MOTTO
Nothing is impossible
HALAMAN PERSEMBAHAN
Aku manusia
Menentang takdir
Melawan nasib
Untuk menjadi bodoh, miskin, dan tertindas
Aku manusia
Menolak inferioritas
Pantang menyerah
Menuju puncak gunung sukses
Aku manusia
Bebas dan merdeka
Berdiri di atas kaki sendiri
Menentukan jalan hidupku
Aku manusia
Aku dengan Tuhan
Aku percaya
Aku bisa
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 17 Februari 2010
Penulis,
ABSTRAK
EFEKTIVITAS PELATIHAN PENGEMBANGAN KARAKTERISTIK WIRAUSAHAWAN PADA MAHASISWA
Herman Yosef Paryono
ABSTRAK
Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa model ini dirancang untuk meningkatkan soft skills dalam bidang kewirausahaan. Sebelum diduplikasi, pelatihan ini harus dievaluasi terlebih dahulu untuk mengetahui efektivitasnya. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah preexperimental design dengan model one-shot study dan true experimental design dengan model pretest-posttest control group design. Subyek penelitian berjumlah 20 orang dalam kelompok eksperimen dan 19 orang dalam kelompok kontrol. Pengolahan data terhadap Evaluasi Reaksi menggunakan statistik deskriptif mengungkapkan bahwa 75% peserta pelatihan memiliki reaksi yang sangat positif dan 25% peserta pelatihan memiliki reaksi yang positif. Pengolahan data terhadap Evaluasi Pembelajaran dengan menggunakan independent sample t-test mengungkapkan bahwa ada perbedaan signifikan pengetahuan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (t = 2,652; p = 0,006; p < 0,05). Pengolahan data terhadap Evaluasi Perilaku dengan menggunakan independent sample t-test mengungkapkan bahwa ada perbedaan perilaku antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (t = 2,007; p = 0,026; p < 0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa peserta pelatihan merasa puas, ada peningkatan pengetahuan, dan ada perubahan perilaku setelah mengikuti pelatihan yang merupakan indikasi bahwa Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa model ini efektif.
ABSTRACT
THE EFFECTIVENESS OF ENTREPRENEUR’S CHARACTERISTIC DEVELOPMENT TRAINING FOR STUDENTS
Herman Yosef Paryono
ABSTRACT
The Entrepreneur’s Characteristic Development Training for Students is developed to increase soft skills on entrepreneurship. Before duplicated, this training should be evaluated first to know its effectiveness Two designs applied to this research. Those are preexperimental design with one-shot study model and true experimental design with pretest-posttest control group design model. Descriptive statistic applied to the Reaction Evaluation yield that 75% trainees’ reactions are very positive and 25% trainees’ reactions are positive. Independent sample t-test applied to the Learning Evaluation yield that there are significant difference between experimental group and control group’s knowledge (t = 2,652; p = 0,006; p < 0,05). Independent sample t-test applied to the Behavior Evaluation yield that there are significant difference between experimental group and control group’s behavior (t = 2,007; p = 0,026; p < 0,05). So, we can conclude that trainees are satisfied, trainees’ knowledge are increased, and there are changes in trainees’ behavior after attending training. This conclusion indicates that The Entrepreneur’s Characteristic Development Training for Students is effective.
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Herman Yosef Paryono
Nomor Induk Mahasiswa : 06 9114 064
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Efektivitas Pelatihan Pengembangan
Karakteristik Wirausahawan
pada Mahasiswa
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa
perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 17 Februari 2010
Yang menyatakan
KATA PENGANTAR
Satu lagi tahap kehidupan telah diselesaikan. Kali ini dengan cukup baik. Pengalaman-pengalaman yang sangat berkesan selama masa kuliah kini ditutup dengan karya ini. Sungguh berat mengakhirinya, tapi langkah berikutnya harus ditempuh dan kehidupan harus diteruskan.
Karya ini penulis persembahkan kepada semua yang berarti dalam hidup penulis:
1. Tuhan Yesus yang sangat baik kepada penulis karena telah memberikan hidup yang penuh dengan keberuntungan. Tanpa-Mu aku bukan siapa-siapa.
2. Diri sendiri yang terus menyemangatiku. Ayo, tugas-tugas dalam kehidupanmu masih banyak. Semangat!!!
3. Papi dan Mami serta Hans dan Phillip yang mendukungku dengan caranya masing-masing. Semoga aku tidak mengecewakan.
4. Teman-teman seperjuangan di Psikologi, khususnya Andri, Jean, Yaya [Genk Cina I Kelas B hehe], Adel, Clare, Nene, dan Vivin. Thanks buat seluruh pengalaman suka-duka berjuang bersama di Psikologi. Sampai ketemu waktu kita jadi orang sukses ya! God always bless you all guys!
5. Teman-teman Divisi Training “baru” angkatan pertama: Ce Fenny, Mba Dora, Mba Wilis [aku nyusul kalian nih meninggalkan Divisi ini, sedihnya…], Agnes [thanks buat kerjasamanya selama setahun mbangun divisi ini bareng-bareng ya!], Yaya, Rama, Bora, Alberto, Dita, Taman, Noni, Matilda, Mba Via, Vivi, Ajay, Cindy, Lita, Baskoro, Jenny, Yupa. Buat yang masih tinggal, terus jaga api semangat divisi ini ya!!! Semangat pagi!!! Semangat!!!
7. Teman-teman Komunitas Lektor Gereja Kotabaru, khususnya ”kabinet” 2008. Sebagian besar hidupku kuhabiskan di komunitas ini. Kalianlah keluarga ke-dua ku. Special thanks to Mas PJ, Mba Tata, Ko Jimmy, Luci, dan Sekar.
8. Teman-teman Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) Psikologi USD angkatan 2006-2007 [Mba Jes, Wida, Paulin, Momo, dan Anne] dan 2007-2008 [Jezti, Cha-cha, Liem, Chika, Ina, Ira, Ditra, Ike, Elly, dan Reni].
9. Pembimbing skripsiku: Y. Heri Widodo, S.Psi., M.Psi., Psi.. Anda memang “Guru” yang hebat pak! Bukan cuma pembimbing skripsi tapi juga salah satu pembimbing hidup saya. Terima kasih atas pengalaman-pengalaman baik ketika menjadi pendamping di Divisi Training, pembimbing skripsi, pembimbing hidup, maupun teman saya. Semoga terus menginspirasi ya pak!
10.Penguji skripsiku: Agung Santoso, S.Psi., M.A. dan Minta Istono, S.Psi., M.Si.. Terima kasih atas saran-saran dan masukan untuk penyempurnaan karya saya pak! Untuk P. Agung, terima kasih sudah mau direpotin ya pak [baca: sering dirusuhi dengan pertanyaan-pertanyaan ‘ga penting’ tentang statistik hehe].
11.M. L. Anantasari, S.Psi., M.Si. yang banyak memberi inspirasi baik di dalam maupun di luar kelas serta bimbingan dalam menjalani hidup. Terima kasih banyak ya bu.
13.P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku mantan Dekan dan Sylvia Carolina M. Y. M., S.Psi., M.Psi. selaku Kaprodi yang banyak memberi kemudahan bagi penulis baik dalam hal studi maupun di luar studi.
14.Dr. Tjipto Susana, Y. Titik Kristiyani, S.Psi., M.Psi., dan Passchahedona Henrietta P. D. A. D. S., S.Psi., M.A. yang pernah menjadi ’bos’ penulis dalam berbagai kegiatan pelatihan.
15.Dra. Lusia Pratidarmanastiti, Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si., Agnes Endar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si., A. Tanti Arini, S.Psi., M.Si., M. M. Nimas Eki S., S.Psi., M.Si., Drs. H. Wahyudi, M.Si., dan C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi. yang telah membagikan pengalaman hidupnya di dalam kelas-kelas.
16.Mas Doni, Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik, dan Pak Gie yang banyak membantuku dalam melaksanakan tugas-tugas fakultas.
17.Teman-teman di Realia yang memberiku banyak pekerjaan tambahan pada saat yang kritis. Mari lestarikan Bahasa Indonesia!!! Hehe
18.Teman-teman Kebaya (Konseling Sebaya), khususnya Mba Mumun, Mas Panji, Karen, Tya, Asti, dan Ari. Ini adalah tempat pertamaku belajar berorganisasi di Psikologi.
19.Seluruh murid-murid Tae Kwon Do di Victory, SD Tarakanita, SMA Kolese de Britto, dan SMA Santa Maria. Bukan hanya aku yang mengajar kalian, tapi aku juga banyak belajar dari kalian.
20.Bu Rita yang membuatku membuat satu keputusan penting dalam hidupku. Anda merupakan pengirim pesan dari Tuhan.
21.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN MOTTO...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi
ABSTRAK...vii
ABSTRACT...viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...ix
KATA PENGANTAR ...ix
DAFTAR ISI...xiv
DAFTAR TABEL...xviii
DAFTAR GAMBAR...xix
DAFTAR LAMPIRAN...xx
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah...6
C. Tujuan Penelitian ...6
D. Manfaat Penelitian ...7
1. Manfaat Teoritis...7
2. Manfaat Praktis ...7
BAB II LANDASAN TEORI... 8
1. Definisi Wirausahawan ...8
2. Karakteristik Wirausahawan...9
3. Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa ...25
B. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...26
1. Pengertian Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan ...26
2. Dasar Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan ...26
C. Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan ...28
1. Pengertian Efektivitas Pelatihan ...28
2. Faktor-faktor Penentu Efektivitas Pelatihan ...32
3. Pengertian Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...34
D. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa ...34
E. Pertanyaan Penelitian dan Hipotesis ...35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37
A. Desain Penelitian ...37
B. Variabel Penelitian...38
1. Variabel Bebas ...38
2. Variabel Tergantung ...38
3. Variabel Ekstraneous ...39
C. Definisi Operasional ...39
1. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...39
2. Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan ...39
D. Subyek Penelitian...41
E. Prosedur Penelitian ...41
2. Prosedur Penelitian ...46
F. Alat Ukur ...47
1. Form Evaluasi Reaksi Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...47
2. Tes Pengetahuan Materi Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...48
3. Skala Perilaku Karakteristik Wirausahawan...49
G. Teknik Analisa Data ...50
1. Analisa Data Evaluasi Reaksi Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...50
2. Analisa Data Evaluasi Pembelajaran Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...52
3. Analisa Data Evaluasi Perilaku Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...52
BAB IV HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN ... 53
A. Orientasi Kancah Penelitian...53
B. Pelaksanaan Penelitian...55
C. Hasil Penelitian ...55
1. Hasil Uji Asumsi...55
2. Deskripsi Data Penelitian...57
3. Hasil Uji Hipotesis...58
D. Pembahasan...59
1. Pembahasan Utama...59
2. Pembahasan Tambahan...61
A. Keterbatasan Penelitian...65
B. Kesimpulan ...66
C. Saran ...66
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Karakteristik Wirausahawan...14
Tabel 3.1. Blue-print Form Evaluasi Reaksi...47
Tabel 3.2. Blue-print Tes Pengetahuan Materi ...48
Tabel 3.3. Blue-print Skala Perilaku Wirausahawan ...49
Tabel 3.4. Rumus Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi ...50
Tabel 3.4.1. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Keseluruhan Pelatihan...50
Tabel 3.4.2. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Isi Pelatihan...50
Tabel 3.4.3. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Metodologi Pelatihan ...50
Tabel 3.4.4. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Lingkungan Pelatihan ...50
Tabel 3.4.5. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Trainer ...51
Tabel 3.4.6. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Asisten Trainer ...51
Tabel 4.1. Jadwal Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan ...53
Tabel 4.2. Reaksi Peserta terhadap Pelatihan ...56
Tabel 4.3. Hasil Uji-T Sampel Independen gain score Tes Materi Pelatihan ...57
DAFTAR GAMBAR
LAMPIRAN 1 LEMBAR EVALUASI REAKSI... 71
LAMPIRAN 2 LEMBAR EVALUASI PEMBELAJARAN... 76
LAMPIRAN 3 LEMBAR EVALUASI PERILAKU ... 77
LAMPIRAN 4 UJI RELIABILITAS TES PENGETAHUAN MATERI... 78
LAMPIRAN 5 ANALISA TINGKAT KESULITAN ITEM TES PENGETAHUAN MATERI... 87
LAMPIRAN 6 UJI RELIABILITAS SKALA PERILAKU ... 88
LAMPIRAN 7 UJI NORMALITAS TES PENGETAHUAN MATERI... 96
LAMPIRAN 8 UJI NORMALITAS SKALA PERILAKU... 99
LAMPIRAN 9 UJI HIPOTESIS EVALUASI PEMBELAJARAN ... 102
LAMPIRAN 10 UJI HIPOTESIS EVALUASI PERILAKU ... 104
LAMPIRAN 11 KOMENTAR/SARAN PESERTA ... 106
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Badan Pembangunan PBB (UNDP) melaporkan Indonesia menduduki
peringkat ke 109 dari 179 negara pada laporan Human Development Index (HDI)
atau Indeks Pembangunan Manusia (“Human Development”, 2008). HDI dibagi
menjadi 3 kategori berdasarkan angka HDI, yaitu kategori Pembangunan Manusia
Tingkat Tinggi (High Human Development) dengan angka HDI 0.800 – 1,
Pembangunan Manusia Tingkat Menengah (Medium Human Development)
dengan angka HDI 0.500 – 0.799, dan Pembangunan Manusia Tingkat Rendah
(Low Human Development) dengan angka HDI 0.300 – 0.499. Angka HDI
Indonesia adalah 0.726 yang membuat Indonesia masuk dalam kategori
Pembangunan Manusia Tingkat Menengah (Medium Human Development).
Secara sederhana, HDI diukur dari kesehatan dan kependudukan, pendidikan,
dan ekonomi suatu negara. Indikator kesehatan dan kependudukan diukur dari
tingkat harapan hidup. Indikator pendidikan dilihat dari angka tingkat baca tulis
pada orang dewasa dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, dan atas.
Sedangkan indikator ekonomi diukur melalui pengeluaran dan pendapatan per
kapita (“Human Development”, 2008).
Pada masa krisis global sekarang ini, faktor ekonomi merupakan hal yang
sangat penting untuk diperhatikan. Jika menggunakan standar penilaian HDI,
indikator ekonomi diukur melalui pengeluaran dan pendapatan per kapita. Padahal
jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 9,39 juta
tidak mendapatkan pemasukan yang pasti (”BPS: Pengangguran”, 2009). Belum
lagi dampak krisis global yang menyebabkan Organisasi Buruh Internasional
(ILO) memprediksi jumlah pengangguran di seluruh dunia akan bertambah 20 juta
orang sepanjang 2009 (”Pengangguran Dunia”, 2009).
Direktur Deputi ILO Jakarta, Peter van Rooij, dalam diskusi "Dampak Krisis
Global Terhadap Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia" memperkirakan angka
pengangguran akan merangkak naik menjadi 8,87 persen bila dampak krisis
global sampai ke Indonesia (”Pengangguran Dunia”, 2009). Angka tersebut
merupakan prediksi untuk tahun 2009, padahal Pelaksana IMF (International
Monetary Fund), Dominique Strauss-Kahn, memprediksi bahwa pemulihan
ekonomi kemungkinan besar tidak akan terjadi sebelum 2010 (”Resesi Besar”, 11
Maret 2009).
Pada akhir bulan Februari ini, dampak krisis global tersebut sudah semakin
terasa. 37.905 buruh di Indonesia sudah di-PHK dan belum termasuk yang sedang
dalam proses maupun mereka yang dirumahkan (“Sudah 37.905”, 6 Maret 2009).
Jika kondisi ini terus berlanjut, keadaan akan semakin parah, dan angka HDI
Indonesia akan tergelincir turun. Harapan dan cita-cita seluruh orang Indonesia
agar Indonesia mampu menembus angka HDI pada kisaran 0.800 – 1 atau berada
pada kategori Pembangunan Manusia Tingkat Tinggi (High Human Development)
mungkin akan semakin sulit tercapai. Maka perlu alternatif-alternatif solusi yang
dapat dilaksanakan supaya hal tersebut tidak sampai terjadi.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi pengangguran
tersebut adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan.
Tugas tersebut layak diemban oleh wirausahawan yang secara kreatif dapat
pekerjaan yang ia ciptakan. Hal ini juga merupakan salah satu fungsi pengusaha
yang disebut sebagai sumber utama dari lapangan kerja baru (Boone dan Kurtz,
2007). Secara khusus, mahasiswa yang disebut-sebut sebagai agent of change
(inisiasi Sanata Dharma, 2006) juga memegang peranan penting dalam hal ini.
Selain karena lulusan baru akan semakin sulit untuk mencari pekerjaan baru,
mahasiswa memiliki tugas moral kepada masyarakat sehingga merupakan orang
yang paling tepat untuk menjadi wirausahawan dalam masa ini.
Menurut Ciputra, seorang wirausahawan sukses dalam bidang properti,
diperlukan minimal 2 persen pengusaha atau wirausahawan di suatu negara untuk
dapat memajukan ekonominya. Padahal di Indonesia, persentase jumlah wirausaha
tersebut masih di bawah 1 persen, yaitu sekitar 0,18 persen (hanya sekitar 400.000
dari sekitar 220.000.000 jiwa) (“Semangat “Entrepreneurship””, 2009). Hal ini
merupakan suatu masalah yang serius karena untuk memenuhi jumlah minimal
saja, persentase wirausahawan masih sangat kurang; bahkan setengahnya pun
tidak sampai. Namun bila dilihat dari sisi lain, kekurangan jumlah wirausahawan
tersebut sebenarnya bisa dikatakan sebagai sebuah peluang. Ada jarak antara
harapan dan kenyataan yang bisa diinterpretasikan sebagai sebuah kesempatan
untuk memasuki ruang kosong tersebut.
Wirausahawan wajib memiliki dua keahlian (skills) untuk sukses, yaitu hard
skills dan soft skills (Costa, Pedro, Elisabeth Frankus, Ana Leal, Franziska Steffen,
2008). Yang dimaksud sebagai hard skills di sini adalah keahlian teknis atau
administratif yang sesuai dengan inti bisnis usaha tersebut seperti mengoperasikan
komputer, menjalankan protokol standar, dan sebagainya. Sedangkan soft skills
adalah keahlian yang biasanya dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari yang juga
pemecahan masalah, kerjasama tim, dan sebagainya yang sangat berkaitan dengan
unsur psikologis dalam kepribadian seseorang (Coates, 2006).
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata
kesuksesan seseorang lebih ditentukan oleh soft skills ketimbang hard skills.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa soft skills menentukan 80 persen
kesuksesan dan hard skills hanya 20 persen saja (“Antara Hard”, 2009). Hal ini
juga berlaku dalam dunia kewirausahaan tentunya. Sayangnya realita pendidikan
di Indonesia masih berorientasi pada hard skills dan kurikulum serta pendidiknya
belum mampu mengakomodasi soft skills yang seharusnya diajarkan juga pada
peserta didik (“Antara Hard”, 2009).
Sektor kewirausahaan pun juga tidak luput dari masalah minim pengembangan
soft skills tersebut. Contohnya, pemerintah pernah mencoba menyuntikkan dana
sebesar 300 miliar rupiah untuk Depnakertrans yang dialokasikan bagi pelatihan
ketrampilan dan kewirausahaan korban PHK, melengkapi fasilitas pelatihan, dan
program kerja padat karya (“Sudah 37.905”, 6 Maret 2009). Proyek pemerintah
yang digarap oleh Depnakertrans rupanya juga baru dialokasikan bagi pelatihan
ketrampilan kewirausahaan, melengkapi fasilitas pelatihan, dan program kerja
padat karya. Dengan kata lain, fokus pemerintah baru pada infrastruktur dan hard
skills semata.
Maka salah satu solusi yang dapat dilakukan setelah melihat realita di
lapangan adalah dengan memberikan pelatihan soft skills dalam bidang
kewirausahaan pada mahasiswa. Pelatihan soft skills tersebut dapat diajarkan
melalui apa yang disebut dengan psikoedukasi, yaitu sebuah gerakan yang relatif
Psikoedukasi secara sederhana berarti pendidikan psikologis atau sering juga
disebut pendidikan pribadi dan sosial (Supratiknya, 2008). Melalui psikoedukasi
ini, mahasiswa dapat diajarkan aneka ketrampilan psikologis yang bermanfaat
dalam membentuk soft skills untuk menumbuhkan karakteristik wirausahawan.
Psikoedukasi dengan perencanaan dan pemrograman yang tepat dapat secara
praktis diterapkan karena sifatnya yang dapat mengajarkan pendidikan psikologis
tersebut secara massal.
Secara sederhana, implementasi psikoedukasi biasa diartikan sebagai pelatihan
atau training. Penulis menawarkan sebuah program psikoedukasi yang bertajuk
Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan. Tawaran program tersebut
diharapkan dapat diaplikasikan dalam dunia nyata dan dapat menciptakan
wirausahawan-wirausahawan baru yang tangguh (terutama dalam soft skillss
berwirusaha mereka), serta tercipta lapangan-lapangan pekerjaan yang baru
sehingga pengangguran dapat teratasi.
Program Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausawahan pada
Mahasiswa tersebut sebelum diduplikasi tentu perlu dievaluasi efektivitasnya
terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan kaidah manfaat evaluasi atas efektivitas
pelatihan, yaitu untuk menentukan apakah program pelatihan perlu untuk
diteruskan atau tidak dan untuk meningkatkan kualitas program pelatihan jika
memang dirasa perlu dibenahi (Kirkpatrick, 2007; Lin, 2008).
Alasan-alasan lain dalam melakukan evaluasi pelatihan adalah meyakinkan
bahwa proses pembelajaran telah terpenuhi, memaksimalkan nilai dari pelatihan
itu sendiri, menyelaraskan dengan strategi, dan membuktikan bahwa suatu
pelatihan memang benar-benar bernilai (Kirkpatrick, 2007). Dengan demikian,
Pada akhirnya, efektivitas tentu menjadi hasil yang diharapkan dari evaluasi
pelatihan. Sayangnya, hasil tersebut tidak selalu menjadi kenyataan. Salah satu
contoh yang dapat kita cermati bersama adalah kasus konferensi British Learning
Association pada tahun 2006. Sebanyak 72% delegasi yang hadir menyatakan
bahwa pembelajaran dalam pelatihan tidak mengubah apa pun yang menunjukkan
bahwa pelatihan sebagian besar tidak efektif (Dwyer, 2010).
Maister (2008) menyatakan bahwa program pelatihan merupakan program
yang membuang-buang uang dan waktu saja karena implementasinya yang tidak
baik. Khususnya karena pelatihan hanya dianggap sebagai sesuatu yang
menyenangkan jika trainer-nya menarik dan bukan ditekankan pada transfer
materi dan implementasinya. Hal ini juga memperlihatkan ketidakefektifan
pelatihan yang diketahui dari evaluasi pelatihan.
Maka sangat penting untuk melakukan evaluasi pelatihan, khususnya untuk
rancangan pelatihan baru, yaitu Pelatihan Pengembangan Karakteristik
Wirausahawan. Hal ini dilakukan sebagai uji coba efektivitas pelatihan itu sendiri
sehingga langkah selanjutnya untuk pelatihan tersebut dapat ditentukan. Uraian
masalah yang sudah disebutkan di atas merupakan latar belakang yang menjadi
dasar dalam melakukan penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
“Bagaimanakah efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik
Wirausahawan pada Mahasiswa?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian dalam karya tulis ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu manfaat
teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian dalam karya tulis ini turut menyumbang
khasanah keilmuan dalam bidang Psikologi khususnya mengenai efektivitas
pelatihan. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi dasar bagi
penelitian-penelitian serupa selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian dalam karya tulis ini
adalah:
a. Jika terbukti bahwa Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausawahan
pada Mahasiswa efektif, maka pelatihan ini dapat diduplikasikan sehingga
dapat bermanfaat bagi masyarakat.
b. Kelemahan-kelemahan dalam pelatihan ini dapat diperbaiki dan
disempurnakan lagi melalui adanya komentar/saran dari peserta.
c. Mengembangkan karakteristik wirausahawan peserta yang mengikuti
pelatihan ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Karakteristik Wirausahawan
1. Definisi Wirausahawan
Istilah wirausahawan telah ada sejak lama. Demikian pula dengan
pekerjaan sebagai wirausahawan. Setidaknya, hal tersebut dapat dilihat dari
definisi yang diberikan oleh Cantillon (pada abad 18) yang disebut-sebut
sebagai pencetus istilah entrepreneur atau wirausahawan. Cantillon (dalam
Harefa dan Siadari, 2006) mengatakan bahwa inti kegiatan wirausahawan
adalah menanggung resiko dari membeli barang hari ini lalu menjualnya
kembali di lain hari dengan harga yang belum pasti (bisa menguntungkan atau
malah merugikan). Wirausahawan merupakan seseorang yang mempekerjakan
dirinya tanpa kepastian mendapatkan keuntungan. Satu abad kemudian,
ekonom Jean-Baptiste Say (dalam Harefa dan Siadari, 2006) menyatakan
bahwa seorang wirausahawan adalah mereka yang mengubah ide-ide abstrak
menjadi nyata dan dapat dinikmati banyak orang. Awal abad 20, Joseph
Schumpeter (dalam Harefa dan Siadari, 2006) mengatakan bahwa
wirausahawan adalah inovator yang kreatif dan dalam abad yang sama, David
C. McClelland (dalam Harefa dan Siadari, 2006) menyatakan bahwa
wirausahawan memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi.
Pada abad 21, definisi wirausahawan telah berkembang luas dan lebih
komprehensif. Scarborough dan Zimmerer (2006) mengatakan bahwa
menghadapi resiko serta ketidakpastian demi mendapatkan keuntungan dan
berkembang dengan menganalisa kesempatan serta mencari sumber-sumber
yang diperlukan untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Wirausahawan
seringkali memulai usaha atau bisnis mereka dengan hanya sebuah ide yang
sederhana dan tanpa modal. Definisi ini lebih kurang sama dengan apa yang
dikatakan oleh Boone dan Kurtz (2007), yaitu bahwa wirausahawan adalah
pencari peluang dan pengambil resiko dalam mendirikan bisnis mereka
menggunakan sistem perusahaan swasta.
Wirausahawan, dengan demikian, secara definitif adalah seseorang yang
mempekerjakan dirinya sendiri dengan membangun sebuah bisnis mandiri
yang biasanya dimulai tidak lebih dari sebuah ide kreatif dan seringkali tanpa
modal (Boone dan Kurtz, 2007; Ciputra (dalam Harefa dan Siadari; 2006);
Scarborough dan Zimmerer, 2006).
2. Karakteristik Wirausahawan
Karakteristik secara definitif menurut APA Dictionary of Psychology
(2007) adalah: 1) kualitas dari individu terutama segala sesuatu yang terkait
dengan kualitas pribadi yang membedakan seseorang dalam relasi dengan
orang lain, 2) segala sesuatu yang membedakan dan menjadi keistimewaan.
Sedangkan wirausahawan, seperti didefinisikan dalam sub bab sebelumnya,
adalah seseorang yang mempekerjakan dirinya sendiri dengan membangun
sebuah bisnis mandiri yang biasanya dimulai tidak lebih dari sebuah ide
kreatif dan seringkali tanpa modal (Boone dan Kurtz, 2007; Ciputra (dalam
Harefa dan Siadari; 2006); Scarborough dan Zimmerer, 2006). Dengan
dengan kualitas pribadi individu yang memberikan ciri kepada individu
tersebut sehingga dapat dikatakan sebagai seorang wirausahawan.
Banyak studi yang telah membahas mengenai karakteristik wirausahawan
ini. Scarborough dan Zimmerer (2006) menawarkan sebelas profil atau
karakteristik wirausahawan. Boone dan Kurtz (2007) menawarkan delapan.
Ciputra (dalam Harefa dan Siadari, 2006), sang maestro wirausaha dalam
bidang properti di Indonesia, menawarkan tiga ciri utama yang menjadi
karakteristik wirausahawan. Sedangkan Covin & Slevin (dalam Mort,
Weerawardena, dan Carnegie, 2002) menawarkan tiga.
Karakteristik wirausahawan yang ditawarkan oleh Scarborough dan
Zimmerer (2006) adalah sebagai berikut:
1. Memiliki inisiatif: Wirausahawan mempunyai tanggung jawab personal
dalam memulai usahanya dengan ide-ide kreatifnya agar bisnis dapat
berjalan sesuai yang diharapkan.
2. Preferensi untuk resiko moderat: Wirausahawan bukan seorang pengambil
resiko yang liar (petaruh yang sembarangan), namun pengambil resiko
dengan penuh perhitungan walaupun tujuan mereka seringkali sangat
tinggi bahkan tidak mungkin.
3. Percaya pada kemampuan diri untuk sukses: Wirausahawan optimis dan
percaya diri atas kemampuan mereka untuk mencapai kesuksesan dalam
usaha yang mereka jalankan.
4. Menggantungkan nasib pada dirinya sendiri: Wirausahawan
menggantungkan nasib mereka pada dirinya sendiri dan bertanggung
5. Memiliki ketekunan: Walaupun segala sesuatunya berjalan tidak sesuai
rencana, wirausahawan tidak mudah menyerah dan tetap berusaha
menekuni usahanya.
6. Hasrat untuk memperoleh umpan balik secara cepat: Wirausahawan ingin
mengetahui apa dampak dari tindakan-tindakan mereka dan mencari
pengukuh.
7. Level energi yang tinggi: Wirausahawan lebih energik dibandingkan
rata-rata orang kebanyakan.
8. Senang berkompetisi: Wirausahawan menunjukkan sifat senang
berkompetisi dalam kehidupan mereka. Mereka sangat menikmati
kompetisi dan menjadi bagian dalam hidup mereka.
9. Berorientasi pada masa depan: Wirausahawan memiliki mimpi yang besar
dan rencana yang dapat mewujudkan mimpi tersebut suatu haru di masa
depan.
10. Memiliki keinginan mengorganisasi: Wirausahawan memiliki keinginan
mengatur dan mengorganisasi sesuatu yang kacau menjadi satu kesatuan
yang dapat digerakkan mengarah pada tujuan tertentu.
11. Menginginkan pencapaian yang lebih daripada sekedar uang:
Wirausahawan bukan sekedar ingin memperoleh uang, namun
pencapaian-pencapaian. Uang hanyalah salah satu hasil dan simbol dari pencapaian
tersebut.
Karakteristik wirausahawan yang ditawarkan oleh Boone dan Kurtz (2007)
1. Memiliki visi: Wirausahawan memulai sesuatu dengan visi yang akan
dijalaninya. Memiliki visi juga berarti memikirkan sesuatu di luar kotak
(out of the box).
2. Tingkat energi yang tinggi: Wirausahawan rela bekerja keras demi
mencapai visi mereka dan hal tersebut membutuhkan waktu dan tenaga
yang sangat banyak.
3. Kebutuhan untuk mencapai sesuatu: Wirausahawan ingin mencapai
sesuatu lewat kompetisi dalam dunia usaha. Mereka berambisi ingin
meninggalkan sesuatu yang signifikan bagi dunia.
4. Keyakinan diri dan optimisme: Wirausahawan yakin pada diri mereka
bahwa mereka dapat mencapai kesuksesan dan sering menimbulkan
optimisme dalam diri orang lain.
5. Toleransi atas kegagalan: Wirausahawan memandang segala kegagalan
dan kemunduran sebagai sebuah kesempatan berharga untuk belajar.
Mereka tidak mudah kecewa dan menyerah bila segala sesuatu tidak
berjalan sesuai dengan rencana.
6. Kreativitas: Wirausahawan biasanya memiliki gagasan yang kreatif dalam
suatu produk atau jasa dan inovatif dalam mewujudnyatakan gagasan
tersebut.
7. Toleransi atas ambiguitas: Wirausahawan berhadapan dengan
ketidakpastian dan kejadian-kejadian yang tidak diharapkan ketika mereka
meluncurkan suatu usaha.
8. Pengendalian internal: Wirausahawan bergantung pada diri mereka sendiri
dan memiliki kendali atas nasib mereka sendiri; mereka yang membuat
Karakteristik wirausahawan yang ditawarkan oleh Ciputra (dalam Harefa
dan Siadari, 2006) adalah sebagai berikut:
1. Membaca peluang: Wirausahawan memiliki kemampuan untuk melihat
apa yang tidak dilihat orang lain dan memiliki visi untuk menciptakan
sesuatu yang baru yang mampu memicu semangatnya untuk bertindak.
2. Melakukan inovasi: Wirausahawan mampu mengubah suatu keadaan yang
kurang atau tidak menyenangkan menjadi sesuai dengan yang
diinginkannya melalui tindakan inovatif yang diciptakannya.
3. Pengambil resiko: Wirausahawan mengambil resiko secara finansial (rugi)
maupun karakteristik psikologis (dianggap gagal).
Karakteristik wirausahawan yang ditawarkan oleh Covin & Slevin (dalam
Mort, Weerawardena, dan Carnegie, 2002) adalah sebagai berikut:
1. Toleransi atas resiko: Wirausahawan berani mengambil peluang yang
berarti berani mengambil kesempatan dan resiko untuk gagal
2. Proaktif: Wirausahawan memiliki sikap proaktif
Berikut adalah tabel ringkasan karakteristik wirausahawan:
Tabel 2.1. Karakteristik Wirausahawan
Karakteristik Wirausahawan dengan demikian adalah:
1. Proaktif
Karakteristik wirausahawan yang pertama adalah proaktif. Proaktif
lebih dari sekedar memiliki inisiatif saja, melainkan sebuah keadaan di
mana manusia memiliki tanggung jawab terhadap hidupnya sendiri
(Covey, 1994). Hal ini berarti manusia memiliki pilihan atas hidupnya
sendiri dalam setiap keputusan yang ia buat.
Frankl (dalam Schultz, 1991) menyatakan bahwa dalam kehidupan,
individu dapat dan memiliki kebebasan untuk memilih. Frankl juga
menyatakan bahwa di antara stimulus dan respon, masih ada ruang
yang tersisa bagi manusia untuk membuat keputusan akan bereaksi
seperti apa. Hal ini kemudian mendasari konsep karakteristik
psikologis wirausahawan selanjutnya, karena setiap hal yang terjadi
akan merupakan konsekuensi baik langsung maupun tidak langsung
dari setiap keputusan yang dibuat oleh individu dalam hidupnya.
Proaktivitas sendiri merupakan lawan dari reaktivitas, di mana
reaktivitas berarti seseorang langsung bereaksi begitu ada stimulus
yang dihadapi tanpa sempat memilih respon yang akan ia buat serta
cenderung menyalahkan keadaan (Covey, 1994). Individu yang reaktif
cenderung digerakkan oleh perasaan, keadaan, kondisi, dan
lingkungan. Gambar berikut ini menjelaskan pola perilaku reaktif.
STIMULUS RESPON
Gambar 2.1. Pola Perilaku Reaktif
Covey (1994) menjelaskan bahwa paradigma seseorang
menentukan perilakunya, termasuk perilaku reaktif. Seringkali individu
merasa memiliki paradigma yang obyektif, tetapi sebenarnya hal
tersebut ditentukan oleh cermin sosial. Refleksi dari cermin sosial
tersebut membuat individu mengakui bahwa ia tidak memiliki kendali
atas kekuatan hebat yang mengondisikan seseorang untuk berperilaku
sehingga menghalanginya untuk mengeluarkan kemampuan dan
potensi terbaik. Ada tiga peta sosial atau determinisme yang
menentukan sifat manusia yang menghalangi seseorang mengeluarkan
kemampuan dan potensi terbaiknya, yaitu:
a. Determinisme Genetis
Merupakan teori yang menyatakan bahwa jika nenek moyang
seseorang memiliki sifat tertentu, maka generasi berikut-berikutnya
juga akan mewarisi sifat tersebut. Semua sifat tersebut terbawa
dalam DNA yang diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
b. Determinisme Psikis
Merupakan teori yang menyatakan bahwa pola pengasuhan dan
pengalaman masa kanak-kanak membentuk karakter kepribadian
individu. Seseorang terbentuk karena pengalaman masa kecilnya.
c. Determinisme Lingkungan
Merupakan teori yang menyatakan bahwa lingkungan yang
berupa teman-teman, pasangan, keluarga, atau atasan seseorang
memiliki kuasa besar dan bertanggung jawab atas situasi individu.
Sebaliknya dalam perilaku proaktif, individu bertanggung jawab
untuk menomorduakan impuls adalah inti dari proaktivitas. Individu
yang proaktif digerakkan oleh nilai-nilai yang sudah dipikirkan secara
cermat, diseleksi, dan dihayati. Individu seperti ini mampu memilih
reaksinya sendiri berdasarkan empat hal (Covey, 1994):
a. Kesadaran Diri
Individu mampu berpikir mengenai proses berpikirnya sendiri.
Hal ini membuat individu dapat menyadari diri sendiri dan keadaan
lingkungannya sehingga ia mampu mengambil tanggung jawab
untuk setiap perbuatan dari hasil pengambilan respon secara bebas
yang ia lakukan. Individu akhirnya tidak harus terpengaruh oleh
stimulus dalam bertindak sehingga ia mampu untuk tidak
menyalahkan sesuatu atau situasi di sekitarnya.
b. Imajinasi
Manusia memiliki kemampuan untuk melihat ke depan dan
mencipta dalam pikirannya serta di luar realitas saat ini sehingga ia
dapat membayangkan keadaan-keadaan dan berbagai kemungkinan
sesuai dengan keinginannya.
c. Suara Hati
Suara hati berkaitan dengan benar atau salah, prinsip-prinsip
hidup individu tersebut yang mengatur perilakunya, serta
pengertian akan tingkatan pikiran dan perbuatan seseorang yang
d. Kehendak Bebas
Individu memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak
sesuai dengan apa yang diinginkannya tanpa pengaruh dari orang
lain atau keadaan lingkungan sekitarnya.
Keempat hal tersebut mempengaruhi respon mana yang akan dipilih
dan terangkum dalam gambar berikut:
STIMULUS Kebebasan Memilih RESPON
Kesadaran Diri Imajinasi Suara Hati Kehendak Bebas
Gambar 2.2. Pola Perilaku Proaktif
(diadaptasi dari Modul 2 PPKM, 2009)
Sifat dasar manusia adalah bertindak, bukan menjadi sasaran
tindakan. Hal ini membuat seseorang mampu menciptakan keadaan
dan disebut dengan inisiatif. Inisiatif bukan berarti mendesak atau
agresif, namun mengambil suatu langkah untuk membuat sesuatu
terjadi (Covey, 1994). Hal ini juga menjadi sesuatu yang penting dalam
proaktivitas karena merupakan hasil dari kemampuan orang untuk
dapat memilih reaksi yang akan ia lakukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen
dalam karakteristik proaktif adalah memiliki inisiatif dan memiliki
pengendalian internal.
2. Memiliki Visi
Segalanya diciptakan dua kali, yang pertama ada dalam pikiran dan
yang kedua ada dalam ciptaan fisik (Covey, 1994). Kalimat tersebut
fisik sebelumnya telah ada dalam pikiran individu. Jika diterjemahkan
dalam konteks karakteristik wirausahawan, memiliki visi dapat
diartikan memiliki bayangan atau pikiran mengenai tujuan-tujuan yang
akan dicapai dan memiliki keinginan untuk mewujudkannya dalam
misi-misi. Jika seorang wirausahawan tidak memiliki tujuan, maka ia
akan kehilangan arah.
Csikszentmihalyi (2007) menyimpulkan dari studi yang ia lakukan
bahwa visi bagi wirausahawan adalah ekspresi dari cara mengada (way
of being) yang belum ada sebagai langkah antisipasi terhadap masa
depan. Visi membutuhkan pencurahan energi secara finansial, sosial,
dan psikologis untuk mengubah keadaan sekarang menjadi seperti
yang dikehendaki karena keadaan yang serba tidak pasti atau ambigu.
Hal tersebut juga berarti berani menghadapi segala sesuatu yang
menghambat individu untuk mencapai perubahan, termasuk
menghadapi resiko gagal. Pernyataan ini sejalan dengan Byrd (2010)
yang mengatakan bahwa visi tanpa keberanian menghadapi resiko
tidak pernah ada karena untuk mewujudnyatakan visi harus berani
menghadapi resiko. Selain itu, Mills-Senn (2007) menyatakan bahwa
yang berani mengambil resiko lebih besar dan merencanakannya
dengan baik hanyalah orang yang visioner.
Bagi wirausahawan, visi adalah transenden atau tidak
mementingkan tujuan-tujuan pribadi (Csziksentmihalyi, 2007). Hal
tersebut sering disebut dengan upaya mencapai kesempurnaan, yaitu
menjadi yang terbaik yang bisa dicapainya sesuai dengan potensi dan
mengubah dunia menjadi lebih baik. Bahkan ketika masa-masa krisis,
individu dengan visi kuat akan tetap bertahan menjalankan tugasnya.
Selain itu, visi juga mentransformasi individu dari yang statis dan
egois menjadi memiliki kemauan untuk tumbuh dan berhubungan
dengan eksistensi lain. Bahkan lebih dari itu, visi kemudian dapat
mengorganisasi individu-individu bertransformasi membentuk suatu
jaringan eksistensi yang terus bertumbuh. Adler (dalam Hall &
Lindzey, 1993) menyebutkan bahwa jika orang percaya pada cita-cita
sebagai sesuatu yang akan datang, maka hal tersebut akan
mempengaruhi tingkah lakunya menjadi sebuah perjuangan untuk
mencapai cita-cita tersebut. Covey (1994) juga mengatakan bahwa cara
terbaik untuk memiliki tujuan akhir atau visi tersebut adalah dengan
menulis pernyataan pribadi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen
dalam karakteristik memiliki visi adalah berorientasi pada masa depan,
memiliki keinginan mengorganisasi, toleransi atas ambiguitas, dan
toleransi atas resiko.
3. Percaya Diri
Karakteristik wirausahawan yang ketiga adalah percaya diri.
Wirausahawan memiliki kepercayaan diri yang harus dibedakan dari
kesombongan dan arogansi. Pada intinya, kepercayaan diri adalah
keyakinan seseorang untuk dapat mencapai kesuksesan
(www.usaswimming.org, 2006). Orang-orang yang percaya diri merasa
lain, dan santai (Taylor, 2009). Ciri-ciri dari orang yang percaya diri
adalah (Taylor, 2009):
a. Merasa santai, aman, dan nyaman
b. Yakin kepada diri sendiri
c. Tidak percaya bahwa orang lain selalu lebih baik
d. Melakukan yang terbaik
e. Menetapkan tujuan yang dapat dicapai
f. Tidak melihat ada jurang yang lebar ketika membandingkan diri
dengan orang lain
g. Tidak agresif karena merasa tidak aman
h. Memiliki kesadaran ada kemungkinan gagal dan salah dalam
melakukan sesuatu
i. Merasa aman dengan diri sendiri dan tidak khawatir dengan apa
yang orang lain pikirkan
j. Memiliki keberanian untuk mencapai apa yang diinginkan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen
dalam karakteristik percaya diri adalah yakin pada diri sendiri,
independen, dan memiliki optimisme.
4. Memiliki Kebutuhan Berprestasi
Karakteristik wirausahawan yang keempat adalah memiliki
kebutuhan berprestasi. Atkinson (1974; dalam Zenzen, 2002)
menyatakan bahwa kebutuhan berprestasi adalah keinginan untuk
meraih kesuksesan demi diri sendiri untuk kepuasan pribadi atau
kebanggaan pribadi. Sedangkan McClelland (dalam Braden, 2000)
tekun dan berusaha dengan keras untuk berjuang mencapai standar
yang sudah ditetapkan demi meraih kesuksesan. Hal ini juga termasuk
memiliki level energi tinggi sehingga senang berkompetisi untuk
mencapai prestasi-prestasi demi kepuasan batin (McClelland, 1985).
Setidaknya ada empat ciri orang yang memiliki kebutuhan
berprestasi tinggi menurut McClelland (dalam Braden, 2000) yaitu:
a. Mereka mencari tanggung jawab personal untuk mencari solusi
atas permasalahan.
b. Mereka membutuhkan umpan balik yang cepat atas performansi
mereka.
c. Mereka bukan petaruh sembarangan, namun mereka menetapkan
tujuan-tujuan menantang yang bisa diukur.
d. Mereka memasang tujuan-tujuan yang lebih menantang ketika
mereka merasa yakin bahwa mereka dapat mencapai tujuan yang
sedang ingin dicapai.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen
dalam karakteristik memiliki kebutuhan berprestasi adalah memiliki
ketekunan, hasrat untuk memperoleh umpan balik secara cepat, senang
berkompetisi, memiliki tingkat energi yang tinggi, dan memiliki
kebutuhan untuk mencapai sesuatu.
5. Kreatif
Karakteristik wirausahawan yang kelima adalah merupakan
individu kreatif. Orang kreatif berbeda dengan orang lain dalam
mereka yaitu mereka mencintai apa yang mereka lakukan
(Csikszentmihalyi, 1997).
Kreativitas merupakan kemampuan melampaui realitas untuk
menciptakan ide-ide baru (Ward, Smith, dan Vaid, 2001). Kreativitas
juga merupakan proses yang menampilkan cara kerja baru atau obyek
baru (Csikzsentmihalyi, 2007). Selain baru, kreativitas juga harus
memenuhi unsur berguna (Sternberg & Lubart; dalam Deitrich, 2004).
Csikszentmihalyi (1996, 1997), menyatakan bahwa kreativitas
bukan terletak pada apa namun pada bagaimana. Hal ini mencerminkan
suatu hal biasa yang dilakukan dengan cara luar biasa. Ia juga
menyatakan bahwa orang kreatif selalu berusaha menemukan hal-hal
baru. Selain itu, Csikszentmihalyi (2007) juga menyatakan bahwa
sesungguhnya kreativitas merupakan sumber inovasi yang tidak akan
pernah berakhir. Selalu ada jalan untuk melakukan sesuatu dengan cara
yang lebih baik. Bahkan Kamil (2009) mengatakan bahwa derajat
tertinggi dari kreativitas adalah inovasi di mana inovasi
mengedepankan orisinalitas yang belum pernah ada sebelumnya.
Proses kreatif menurut Csikszentmihalyi (1997) dimulai dari
adanya tujuan yang ingin dicapai atau masalah yang ingin dipecahkan.
Orang kreatif memiliki penilaian internal yang memberikan umpan
balik secara langsung kepada diri sendiri terhadap apa yang baru saja
ia lakukan. Ketika proses kreatif berlangsung, individu biasanya
memiliki konsentrasi dan fokus penuh pada apa yang ia kerjakan
sekitar dan lupa waktu. Mereka juga dapat memecah masalah besar
menjadi bagian-bagian yang dapat mereka atur untuk dipecahkan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen
dalam karakteristik kreatif adalah dapat membaca peluang atau melihat
dengan cara berbeda dan melakukan inovasi.
3. Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa
Arehart & Smith (dalam Santrock, 1995) mengemukakan bahwa
mahasiswa masih bergumul dengan komitmen-komitmen ideologi yang
idealis. Mereka sedang mengalami krisis di mana mereka memilih di
antara pilihan-pilihan yang bermakna dan membuat komitmen yang
merupakan tanggung jawab mereka atas pilihan tersebut (Marcia dalam
Santrock, 1995).
Sejalan dengan itu, memiliki karakteristik wirausahawan merupakan
salah satu idealisme mahasiswa di mana mereka dapat membantu
menciptakan lapangan pekerjaan karena menyandang tugas sebagai agent
of change (Inisiasi Sanata Dharma, 2006). Dengan demikian, karakteristik
wirausahawan dapat dikatakan layak dilekatkan kepada mahasiswa yang
sedang bergumul dengan idealisme dan komitmen yang akan mereka buat
atas apa yang akan mereka lakukan sebagai pembawa perubahan.
Selain itu, dari segi usia, mahasiswa paling tepat untuk mendapat
pelatihan ini. Berdasarkan penelitian oleh Sinha di India (dalam Indarti &
Rostiano, 2008) dan Kristiansen di Indonesia (dalam Indarti & Rostiano,
2008), ditemukan bahwa sebagian besar wirausahawan yang sukses berada
dalam usia remaja akhir yang berstatus mahasiswa. Pendidikan yang
tepat untuk memberikan pelatihan ini kepada mahasiswa karena sejalan
dengan hasil penelitian Lee (dalam Indarti & Rostiano, 2008) yang
menyatakan bahwa wirausahawan yang berlatar belakang pendidikan
Universitas lebih memiliki keinginan untuk mencapai sesuatu dalam
bidang kewirausahan.
B. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan
1. Pengertian Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan
Karakteristik wirausahawan terdiri dari lima karakteristik pokok yang
masing-masing berupa kontinum sehingga dapat dikembangkan. Oleh karena
itu, Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan diartikan sebagai
pelatihan untuk mengembangkan karakteristik wirausahawan.
2. Dasar Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan
Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan yang melatihkan
lima karakteristik pokok di dalamnya memiliki dasar sebagai berikut:
a. Proaktif
Dalam kehidupan sehari-hari, kita memiliki kecenderungan pola reaktif
dalam menanggapi situasi. Kecenderungan tersebut harus disadari dulu
oleh peserta. Setelah itu, peserta diajak melihat potensi kekuatan diri untuk
berubah menjadi proaktif, yaitu melalui kesadaran diri, imajinasi, suara
hati, dan kehendak (Modul 2 PPKM, 2009) sehingga peserta pada akhirnya
memiliki inisiatif dan memiliki pengendalian internal.
b. Memiliki Visi
Tidak semua individu memiliki tujuan hidup yang kuat. Peserta dapat
kuat tersebut. Setelah itu, peserta diajak untuk “bermimpi”, yaitu
menciptakan tujuan hidup dan langkah-langkah konkret apa yang akan
ditempuh serta kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi hambatan
demi pencapaian tujuan tersebut (Modul 3 PPKM, 2009) sehingga peserta
pada akhirnya berorientasi pada masa depan, memiliki keinginan
mengorganisasi, toleransi atas ambiguitas, dan toleransi atas resiko.
c. Percaya Diri
Individu bertingkah laku karena dipengaruhi oleh masa lalunya.
Kepercayaan diri juga dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu
dalam hidupnya. Peserta dapat diajak menggunakan pengalaman pribadi
yang positif untuk meningkatkan kepercayaan dirinya (Dale Carnegie
Fundamental Leadership Training Participant Manual, 2007) sehingga
pada akhirnya peserta yakin pada diri sendiri, independen, dan memiliki
optimisme.
d. Memiliki Kebutuhan Berprestasi
Pepatah China kuno mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang bangun
sebelum subuh selama tiga ratus enam puluh hari dalam satu tahun tidak
mampu membuat keluarganya kaya raya”. Pepatah tersebut ingin
mengatakan bahwa jika seseorang rajin, maka prestasi pun akan diraih.
Beberapa penelitian empiris juga mengatakan hal yang serupa. Meta
analisa terhadap penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa ada
yang disebut dengan kaidah 10.000 jam, yaitu orang-orang yang
berprestasi dan biasanya terkenal telah melatih kemampuan yang membuat
mereka berprestasi selama 10.000 jam dalam hidupnya sebelum ia sukses
individu memiliki kebutuhan berprestasi adalah dengan “memaksa”
mereka untuk melatih kemampuan yang menjadi kelebihan mereka.
e. Kreatif
Kreativitas merupakan bagian kerja dari otak kanan. Secara teoritis,
kreativitas dapat dibangkitkan dengan cara menenangkan otak kiri
sehingga otak kanan dapat bekerja secara luar biasa dalam hal kreativitas.
Kuncinya adalah melihat permasalahan yang menghambat kerja otak
kanan tersebut, yaitu terlalu berfungsinya otak kiri (Edwards, 1999; dalam
Pink, 2008). Dengan mencoba melihat out of the box, hal-hal yang sudah
biasa dapat dilihat kembali dengan cara yang lain sehingga peserta pada
akhirnya dapat membaca peluang atau melihat dengan cara berbeda dan
melakukan inovasi.
C. Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan
1. Pengertian Efektivitas Pelatihan
Alvarez, Salas, dan Garofano (2004) menyimpulkan bahwa efektivitas
pelatihan merupakan studi mengenai variabel yang mempengaruhi hasil
pelatihan. Hal ini berbeda dengan evaluasi pelatihan yang merupakan teknik
pengukuran untuk melihat derajat keberhasilan program pelatihan dari
pencapaian terhadap sasaran pelatihan. Namun demikian, efektivitas pelatihan
tidak dapat dipisahkan dari evaluasi pelatihan, bahkan ahli-ahli dalam bidang
pelatihan menggunakan evaluasi pelatihan sebagai sarana untuk melihat
efektivitas pelatihan.
Evaluasi pelatihan untuk melihat efektivitas pelatihan tersebut ada
masih sangat dipercaya oleh ahli-ahli pelatihan profesional adalah
Kirkpatrick’s Four-Level Model (Kirkpatrick 1996, 2004; 2006a; 2006b;
Nelson & Dailey,1998; Hubbard, 2001). Model ini terdiri dari empat level
evaluasi, yaitu reaksi, pembelajaran, perilaku, dan hasil.
a. Level 1: Evaluasi Reaksi
Evaluasi reaksi merupakan evaluasi dalam Kirkpatrick’s Four-Level
Model level pertama (Kirkpatrick 1996, 2004; 2006a; 2006b; Nelson &
Dailey,1998; Hubbard, 2001; Vellios & Kirkpatrick, 2008). Evaluasi ini
pada intinya berfokus pada kepuasan peserta pelatihan yang diasumsikan
berpengaruh pada pemahaman mereka akan materi pelatihan (Alliger et.
al., 1997; dalam Hutomo, 2008). Evaluasi reaksi adalah evaluasi yang
paling minimal harus dilakukan oleh para trainer dalam pelatihan mereka
dan dapat dilakukan setelah program selesai dilaksanakan sebelum peserta
pulang.
Cara mengaplikasikan evaluasi level pertama ini adalah dengan
pedoman sebagai berikut (Vellios & Kirkpatrick, 2008):
1. Daftarlah seluruh butir yang ingin dilihat reaksinya. Hal ini termasuk
organisasi kegiatan (waktu, tempat, fasilitas, makanan, dan
sebagainya), performansi fasilitator, manfaat kegiatan, komentar
pribadi dan atau saran (Supratiknya, 2008).
2. Desainlah sebuah lembar evaluasi reaksi yang dapat
mengkuantifikasikan reaksi.
3. Perbolehkan untuk menulis komentar dan saran.
5. Dapatkan respon yang jujur dengan cara membuat lembar evaluasi
reaksi anonim.
6. Komunikasikan hasilnya pada orang yang tepat.
b. Level 2: Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran adalah evaluasi level kedua dalam Kirkpatrick’s
Four-Level Model (Kirkpatrick 1996, 2004; 2006a; 2006b; Nelson &
Dailey,1998; Hubbard, 2001; Vellios & Kirkpatrick, 2008; Withers, 2009).
Evaluasi ini mengukur apa yang peserta pelajari dari pelatihan.
Cara mengaplikasikan evaluasi level kedua ini adalah dengan pedoman
sebagai berikut (Vellios & Kirkpatrick, 2008):
1. Lakukan evaluasi terhadap pengetahuan, kemampuan, dan atau sikap
sebelum dan setelah program pelatihan.
2. Gunakan tes prestasi untuk mengukur perubahan dalam pengetahuan
dan skala sikap untuk mengukur perubahan dalam sikap peserta.
3. Gunakan tes performansi untuk mengukur perubahan kemampuan.
4. Dapatkan respon seratus persen.
5. Komunikasikan hasilnya pada orang yang tepat.
Selain itu, ada pedoman lain yang dapat diaplikasikan untuk melakukan
evaluasi level dua ini (Withers, 2009):
1. Ketahuilah dahulu apa yang fasilitator inginkan untuk dipelajari oleh
peserta dan mengapa hal tersebut penting.
2. Mengukur efektivitas desain dan cara penghantarannya lebih penting
daripada mengukur apakah peserta merupakan “murid yang baik”.
3. Ketika mengukur apa yang penting, tekankan pada apa yang penting
4. Belajarlah dari evaluasi level dua dengan membuat desain serta
penghantarannya lebih bagus dan dapat melakukan perubahan dalam
hasilnya.
5. Lakukan pengukuran lebih dari sekali untuk melihat perubahannya dari
waktu ke waktu.
c. Level 3: Evaluasi Perilaku
Evaluasi level ketiga adalah evaluasi perilaku (Kirkpatrick 1996, 2004;
2006a; 2006b; Nelson & Dailey,1998; Hubbard, 2001; Vellios &
Kirkpatrick, 2008). Evaluasi ini penting dilakukan karena jika setelah
pelatihan tidak ada perubahan perilaku di tempat kerja, maka dapat
dikatakan ilmu yang didapat dari pelatihan kurang berguna. Evaluasi ini
merupakan evaluasi jangka panjang dalam perubahan perilaku bagi
peserta yang menyelesaikan program pelatihan. Evaluasi ini sangat terkait
dengan evaluasi level empat, yaitu evaluasi hasil.
Cara mengaplikasikan evaluasi level ketiga ini adalah dengan pedoman
sebagai berikut (Vellios & Kirkpatrick, 2008):
1. Jika memungkinkan, lakukan pengukuran sebelum dan sesudah
pelatihan untuk melihat apa saja yang telah berubah.
2. Sediakan cukup waktu agar perubahan dapat muncul.
3. Dapatkan informasi dari peserta sendiri dan dari orang-orang yang
terkait dengan peserta.
4. Dapatkan sampel dari peserta untuk dievaluasi. Semakin banyak
d. Level 4: Evaluasi Hasil
Evaluasi hasil yang merupakan evaluasi level keempat membundel
evaluasi tiga level sebelumnya dan berfungsi untuk melihat hasil yang
dicapai dengan fasilitasi pelatihan yang telah diadakan (Kirkpatrick 1996,
2004; 2006a; 2006b; Nelson & Dailey,1998; Hubbard, 2001; Vellios &
Kirkpatrick, 2008).
Cara mengaplikasikan evaluasi level keempat ini adalah dengan
pedoman sebagai berikut (Vellios & Kirkpatrick, 2008):
1. Lakukan pengukuran sebelum dan setelah pelatihan.
2. Sediakan cukup waktu agar hasil dapat muncul.
3. Ulangi evaluasi pada saat-saat yang tepat.
4. Puaslah dengan petunjuk yang ada jika tidak memungkinkan adanya
bukti.
2. Faktor-faktor Penentu Efektivitas Pelatihan
Tjia (2006; dalam Hutomo, 2008) menjelaskan lima faktor penentu
efektivitas program pelatihan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Fasilitator/Trainer
Peran fasilitator/trainer sangat penting dalam pelaksanaan program
pelatihan karena merupakan orang yang memfasilitasi proses belajar dalam
pelatihan tersebut. Karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh fasilitator
dapat mempengaruhi persepsi peserta sehingga berimbas pada kredibilitas
fasilitator dan tingkat partisipasi peserta. karakteristik-karakteristik
tersebut antara lain pengalaman, penguasaan materi, tingkat kepercayaan,
1991; dalam Hutomo, 2008). Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh fasilitator:
1. Menghindari sikap arogan dan superior dalam presentasi.
2. Bersikap terbuka terhadap segala pertanyaan dan komentar dari
peserta.
3. Memotivasi peserta untuk mengetahui lebih banyak dengan bertanya.
4. Terlibat dengan peserta, memanggil nama, menjaga kontak mata dan
senyum.
5. Memiliki rasa humor dan cerita.
b. Peserta
Sifat dan tipe kepribadian, motivasi, kebutuhan, usia, dan tingkat
pendidikan peserta mempengaruhi efektivitas pelatihan. Efikasi diri
peserta juga mempengaruhi efektivitas pelatihan (Alvarez, Salas, dan
Garofano, 2004).
c. Topik Pelatihan
Topik pelatihan harus merupakan kebutuhan peserta yang didasarkan
pada training need analysis. Hal ini penting karena jika peserta tidak
membutuhkannya, maka peserta tidak akan termotivasi untuk belajar.
d. Metode Pelatihan
Tjia (2006; dalam Hutomo, 2008) merekomendasikan metode
experiential learning dan berorientasi pada pengajaran adult learner agar
efektivitas pelatihan dapat maksimal. Selain itu, pelatihan dibawakan
dengan cara yang mudah dipahami, jelas, menyenangkan, dan membuat
e. Lingkungan
Faktor lingkungan berupa tata ruang, jumlah peserta, dan sarana
prasarana pendukung dapat mempengaruhi efektivitas pelatihan. Tata
ruang dapat mempengaruhi interaksi dan respon peserta selama pelatihan.
Selain itu, sistem ventilasi, penerangan, akses masuk-keluar, tempat
duduk, dan lain-lain juga dapat mempengaruhi efektivitas pelatihan.
Jumlah peserta sebaiknya berkisar antara 16 sampai 24 orang. Lebih dari
itu, peserta akan cenderung merasa tidak nyaman. Kurang dari itu, peserta
juga akan cenderung merasa tidak nyaman kecuali jika sesama peserta
sudah terjalin keakraban sebelum pelatihan.
3. Pengertian Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan
Lima karakteristik wirausahawan secara konseptual dan teoritis dapat
dilatihkan dengan cara-cara yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena
itu, karakteristik wirausahawan juga dapat dilatihkan secara keseluruhan.
Pelatihan tersebut akan mengembangkan lima karakteristik wirausahawan
dengan mempertimbangkan faktor-faktor penentu efektivitas pelatihan yaitu
fasilitator, peserta, topik, metode, dan lingkungan. Hal tersebut diharapkan
dapat membuat peserta puas setelah mengikuti pelatihan, ada perubahan
pengetahuan, dan ada perubahan perilaku sehingga Pelatihan Pengembangan
Karakteristik Wirausahawan dapat dikatakan efektif.
D. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa
Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan merupakan suatu
dampak dari pelatihan ini dapat terasa di masyarakat dan sungguh dapat
membawa perubahan yang berarti.
Subyek mahasiswa dipilih karena mahasiswa dianggap sebagai agent of
change (Inisiasi Sanata Dharma, 2006) yang dapat merubah nasib bangsa. Secara
kognitif, mahasiswa yang merupakan kaum terpelajar dianggap lebih
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak menepuh pendidikan sampai
perguruan tinggi sehingga diharapkan dapat membawa perubahan tersebut.
Dengan demikian, mahasiswa layak diberi pelatihan ini supaya mereka dapat
membuat gerakan yang memperbaiki nasib bangsa.
Pelatihan ini diberikan kepada subyek mahasiswa dengan penyesuaian
tertentu. Penyesuaian tersebut yaitu bahasa yang digunakan sesuai dengan usia
perkembangan mahasiswa (tidak terlalu formal supaya keakraban dapat terbangun
antara trainer dan peserta). Selain itu, alat evaluasi yang digunakan merupakan
alat evaluasi yang khusus dibuat untuk subyek mahasiswa.
E. Pertanyaan Penelitian dan Hipotesis
Penelitian ini ingin melihat apakah Pelatihan Pengembangan Karakteristik
Wirausahawan efektif berdasar pada landasan teoritis yang telah disebutkan. Hal
tersebut dapat diketahui melalui tiga indikator, yang salah satunya adalah jawaban
dar pertanyaan penelitian secara deskripsi kuantitatif melalui statistik deskriptif
dan dua lainnya adalah hasil dari uji hipotesis. Ketiga indikator tersebut yaitu:
Pertanyaan Penelitian : Apakah peserta puas setelah mengikuti Pelatihan
Pengembangan Karakteristik Wirausahawan?
H1 : ada perbedaan yang signifikan antara gain score tes materi dari kelompok
eksperimen dan kontrol di mana gain score tes materi kelompok eksperimen lebih
H2 : ada perbedaan yang signifikan antara gain score perilaku karakteristik
wirausahawan dari kelompok eksperimen dan kontrol di mana gain score perilaku
karakteristik wirausahawan kelompok eksperimen lebih tinggi dari kelompok
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua desain, yaitu desain preexperimental design
dengan model one-shot case study untuk evaluasi reaksi dan desain true
experimental design dengan model pretest-posttest control group design untuk
evaluasi pembelajaran dan evaluasi perilaku.
Desain preexperimental design dengan model one-shot case study merupakan
desain penelitian dengan cara memberikan posttest pada subyek yang diberi
perlakuan (berupa pelatihan) (Creswell, 1994). Desain ini digunakan karena
merupakan desain yang paling memungkinkan untuk dikenakan pada evaluasi
reaksi. Notasi eksperimen dari desain penelitian ini adalah sebagai berikut
(diadaptasi dari Creswell, 1994):
KE X → Y
Keterangan:
KE = kelompok eksperimen
Y = pengukuran
X = perlakuan berupa pelatihan
Desain true experimental design dengan model pretest-posttest control group
design merupakan sebuah desain klasik dengan random assignment pada dua
kelompok di mana salah satu kelompok mendapat perlakuan (berupa pelatihan)
kemudian kedua kelompok diberikan pretest dan posttet (Creswell, 1994). Desain
ini digunakan untuk evaluasi pembelajaran dan evaluasi perilaku karena memiliki
eksperimental yang baik. Notasi eksperimen dari desain penelitian ini adalah
sebagai berikut (diadaptasi dari Creswell, 1994):
KK Y1, Y2 pre Y1, Y2 post R
KE Y1, Y2 pre → X → Y1, Y2 post
keterangan:
R = random assignment KK = kelompok kontrol
KE = kelompok eksperimen
Ypre = pengukuran sebelum perlakuan
X = perlakuan berupa pelatihan
Ypost = pengukuran setelah perlakuan
B. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini ada tiga, yaitu variabel bebas, variabel
tergantung, dan variabel ekstraneous sebagai berikut:
1. Variabel Bebas
Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan
2. Variabel Tergantung
a. Reaksi peserta terhadap Pelatihan Pengembangan Karakteristik
Wirausahawan
b. Pengetahuan peserta terhadap materi Pelatihan Pengembangan
Karakteristik Wirausahawan
3. Variabel Ekstraneous
Pengalaman peserta dalam melakukan kegiatan wirausaha berpengaruh
terhadap penelitian ini. Mereka yang pernah berwirausaha memiliki
kemungkinan mempelajari karakteristik wirausahawan secara tidak langsung
dari pengalaman mereka. Pada mahasiswa, pengalaman tersebut dimiliki oleh
mahasiswa dari Fakultas Ekonomi yang wajib mengambil mata kuliah
kewirausahaan sehingga memiliki pengalaman berwirausaha. Maka, program
studi peserta dikontrol dengan cara constancy, yaitu menyamakan program
studi peserta (Solso, Johnson, dan Beal, 1998).
C. Definisi Operasional
1. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan
Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan merupakan
pelatihan yang melatihkan lima komponen karakteristik wirausahawan.
Pelatihan ini terdiri dari lima modul yang dibagi dalam sesi-sesi selama satu
hari masa pelatihan sesuai dengan rancangan pelatihan. Modul pertama adalah
mengenai proaktivitas, modul kedua mengenai visi, modul ketiga mengenai
kepercayaan diri, modul keempat mengenai kebutuhan berprestasi, dan modul
kelima mengenai kreativitas.
2. Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan
a. Efektivitas Pelatihan
Efektivitas pelatihan di sini berarti melihat efektivitas dari Pelatihan
Pengembangan Karakteristik Wirausahawan dari evaluasi pelatihan
menurut Kirkpatrick’s Four-Level Model. Evaluasi yang digunakan hanya
perilaku. Sedangkan untuk evaluasi hasil dalam penelitian ini tidak
dilakukan karena evaluasi hasil memakan waktu yang relatif lama untuk
diketahui sedangkan waktu penelitian ini terbatas.
b. Level 1: Evaluasi Reaksi
Evaluasi reaksi akan diukur menggunakan form evaluasi reaksi yang
melihat empat komponen, yaitu fasilitator, metode pelatihan, topik
pelatihan, dan lingkungan. Form evaluasi reaksi akan dijelaskan lebh
lanjut dalam sub bab form evaluasi reaksi.
c. Level 2: Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran akan diukur menggunakan from evaluasi
pembelajaran. Evaluasi pembelajaran di sini secara khusus melihat
pengetahuan peserta setelah proses pelatihan, maka evaluasinya
menggunakan tes prestasi sesuai dengan saran dalam Vellios &
Kirkpatrick (2008). Pengukuran pengetahuan tanpa pengukuran perubahan
sikap dan performansi dalam evaluasi pembelajaran merupakan hal yang
umum dilakukan (Kirkpatrick 1996, 2004; 2006a; 2006b; Nelson &
Dailey,1998; Hubbard, 2001; Vellios & Kirkpatrick, 2008). Selain itu,
alasan tidak diukurnya pengukuran perubahan sikap dan performansi
karena diperlukan jeda waktu beberapa saat setelah pelatihan untuk dapat
melihat hal tersebut. Sedangkan untuk pengukuran pengetahuan dapat
segera dilakukan karena perubahan pengetahuan terjadi secara kognitif dan
tidak memerlukan jeda waktu yang lama setelah pelatihan.
d. Level 3: Evaluasi Perilaku
Evaluasi perilaku akan diukur menggunakan form evaluasi perilaku