• Tidak ada hasil yang ditemukan

HALAMAN JUDUL - Efektivitas pelatihan pengembangan karakteristik wirausahawan pada mahasiswa - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HALAMAN JUDUL - Efektivitas pelatihan pengembangan karakteristik wirausahawan pada mahasiswa - USD Repository"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PELATIHAN

PENGEMBANGAN KARAKTERISTIK WIRAUSAHAWAN

PADA MAHASISWA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

oleh:

Herman Yosef Paryono 06 9114 064

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

HALAMAN MOTTO

Nothing is impossible

(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Aku manusia

Menentang takdir

Melawan nasib

Untuk menjadi bodoh, miskin, dan tertindas

Aku manusia

Menolak inferioritas

Pantang menyerah

Menuju puncak gunung sukses

Aku manusia

Bebas dan merdeka

Berdiri di atas kaki sendiri

Menentukan jalan hidupku

Aku manusia

Aku dengan Tuhan

Aku percaya

Aku bisa

(6)

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 17 Februari 2010

Penulis,

(7)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS PELATIHAN PENGEMBANGAN KARAKTERISTIK WIRAUSAHAWAN PADA MAHASISWA

Herman Yosef Paryono

ABSTRAK

Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa model ini dirancang untuk meningkatkan soft skills dalam bidang kewirausahaan. Sebelum diduplikasi, pelatihan ini harus dievaluasi terlebih dahulu untuk mengetahui efektivitasnya. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah preexperimental design dengan model one-shot study dan true experimental design dengan model pretest-posttest control group design. Subyek penelitian berjumlah 20 orang dalam kelompok eksperimen dan 19 orang dalam kelompok kontrol. Pengolahan data terhadap Evaluasi Reaksi menggunakan statistik deskriptif mengungkapkan bahwa 75% peserta pelatihan memiliki reaksi yang sangat positif dan 25% peserta pelatihan memiliki reaksi yang positif. Pengolahan data terhadap Evaluasi Pembelajaran dengan menggunakan independent sample t-test mengungkapkan bahwa ada perbedaan signifikan pengetahuan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (t = 2,652; p = 0,006; p < 0,05). Pengolahan data terhadap Evaluasi Perilaku dengan menggunakan independent sample t-test mengungkapkan bahwa ada perbedaan perilaku antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (t = 2,007; p = 0,026; p < 0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa peserta pelatihan merasa puas, ada peningkatan pengetahuan, dan ada perubahan perilaku setelah mengikuti pelatihan yang merupakan indikasi bahwa Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa model ini efektif.

(8)

ABSTRACT

THE EFFECTIVENESS OF ENTREPRENEUR’S CHARACTERISTIC DEVELOPMENT TRAINING FOR STUDENTS

Herman Yosef Paryono

ABSTRACT

The Entrepreneur’s Characteristic Development Training for Students is developed to increase soft skills on entrepreneurship. Before duplicated, this training should be evaluated first to know its effectiveness Two designs applied to this research. Those are preexperimental design with one-shot study model and true experimental design with pretest-posttest control group design model. Descriptive statistic applied to the Reaction Evaluation yield that 75% trainees’ reactions are very positive and 25% trainees’ reactions are positive. Independent sample t-test applied to the Learning Evaluation yield that there are significant difference between experimental group and control group’s knowledge (t = 2,652; p = 0,006; p < 0,05). Independent sample t-test applied to the Behavior Evaluation yield that there are significant difference between experimental group and control group’s behavior (t = 2,007; p = 0,026; p < 0,05). So, we can conclude that trainees are satisfied, trainees’ knowledge are increased, and there are changes in trainees’ behavior after attending training. This conclusion indicates that The Entrepreneur’s Characteristic Development Training for Students is effective.

(9)

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Herman Yosef Paryono

Nomor Induk Mahasiswa : 06 9114 064

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Efektivitas Pelatihan Pengembangan

Karakteristik Wirausahawan

pada Mahasiswa

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakan Universitas Sanata

Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,

mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan

mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa

perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama

tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 17 Februari 2010

Yang menyatakan

(10)

KATA PENGANTAR

Satu lagi tahap kehidupan telah diselesaikan. Kali ini dengan cukup baik. Pengalaman-pengalaman yang sangat berkesan selama masa kuliah kini ditutup dengan karya ini. Sungguh berat mengakhirinya, tapi langkah berikutnya harus ditempuh dan kehidupan harus diteruskan.

Karya ini penulis persembahkan kepada semua yang berarti dalam hidup penulis:

1. Tuhan Yesus yang sangat baik kepada penulis karena telah memberikan hidup yang penuh dengan keberuntungan. Tanpa-Mu aku bukan siapa-siapa.

2. Diri sendiri yang terus menyemangatiku. Ayo, tugas-tugas dalam kehidupanmu masih banyak. Semangat!!!

3. Papi dan Mami serta Hans dan Phillip yang mendukungku dengan caranya masing-masing. Semoga aku tidak mengecewakan.

4. Teman-teman seperjuangan di Psikologi, khususnya Andri, Jean, Yaya [Genk Cina I Kelas B hehe], Adel, Clare, Nene, dan Vivin. Thanks buat seluruh pengalaman suka-duka berjuang bersama di Psikologi. Sampai ketemu waktu kita jadi orang sukses ya! God always bless you all guys!

5. Teman-teman Divisi Training “baru” angkatan pertama: Ce Fenny, Mba Dora, Mba Wilis [aku nyusul kalian nih meninggalkan Divisi ini, sedihnya…], Agnes [thanks buat kerjasamanya selama setahun mbangun divisi ini bareng-bareng ya!], Yaya, Rama, Bora, Alberto, Dita, Taman, Noni, Matilda, Mba Via, Vivi, Ajay, Cindy, Lita, Baskoro, Jenny, Yupa. Buat yang masih tinggal, terus jaga api semangat divisi ini ya!!! Semangat pagi!!! Semangat!!!

(11)

7. Teman-teman Komunitas Lektor Gereja Kotabaru, khususnya ”kabinet” 2008. Sebagian besar hidupku kuhabiskan di komunitas ini. Kalianlah keluarga ke-dua ku. Special thanks to Mas PJ, Mba Tata, Ko Jimmy, Luci, dan Sekar.

8. Teman-teman Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) Psikologi USD angkatan 2006-2007 [Mba Jes, Wida, Paulin, Momo, dan Anne] dan 2007-2008 [Jezti, Cha-cha, Liem, Chika, Ina, Ira, Ditra, Ike, Elly, dan Reni].

9. Pembimbing skripsiku: Y. Heri Widodo, S.Psi., M.Psi., Psi.. Anda memang “Guru” yang hebat pak! Bukan cuma pembimbing skripsi tapi juga salah satu pembimbing hidup saya. Terima kasih atas pengalaman-pengalaman baik ketika menjadi pendamping di Divisi Training, pembimbing skripsi, pembimbing hidup, maupun teman saya. Semoga terus menginspirasi ya pak!

10.Penguji skripsiku: Agung Santoso, S.Psi., M.A. dan Minta Istono, S.Psi., M.Si.. Terima kasih atas saran-saran dan masukan untuk penyempurnaan karya saya pak! Untuk P. Agung, terima kasih sudah mau direpotin ya pak [baca: sering dirusuhi dengan pertanyaan-pertanyaan ‘ga penting’ tentang statistik hehe].

11.M. L. Anantasari, S.Psi., M.Si. yang banyak memberi inspirasi baik di dalam maupun di luar kelas serta bimbingan dalam menjalani hidup. Terima kasih banyak ya bu.

(12)

13.P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku mantan Dekan dan Sylvia Carolina M. Y. M., S.Psi., M.Psi. selaku Kaprodi yang banyak memberi kemudahan bagi penulis baik dalam hal studi maupun di luar studi.

14.Dr. Tjipto Susana, Y. Titik Kristiyani, S.Psi., M.Psi., dan Passchahedona Henrietta P. D. A. D. S., S.Psi., M.A. yang pernah menjadi ’bos’ penulis dalam berbagai kegiatan pelatihan.

15.Dra. Lusia Pratidarmanastiti, Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si., Agnes Endar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si., A. Tanti Arini, S.Psi., M.Si., M. M. Nimas Eki S., S.Psi., M.Si., Drs. H. Wahyudi, M.Si., dan C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi. yang telah membagikan pengalaman hidupnya di dalam kelas-kelas.

16.Mas Doni, Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik, dan Pak Gie yang banyak membantuku dalam melaksanakan tugas-tugas fakultas.

17.Teman-teman di Realia yang memberiku banyak pekerjaan tambahan pada saat yang kritis. Mari lestarikan Bahasa Indonesia!!! Hehe

18.Teman-teman Kebaya (Konseling Sebaya), khususnya Mba Mumun, Mas Panji, Karen, Tya, Asti, dan Ari. Ini adalah tempat pertamaku belajar berorganisasi di Psikologi.

19.Seluruh murid-murid Tae Kwon Do di Victory, SD Tarakanita, SMA Kolese de Britto, dan SMA Santa Maria. Bukan hanya aku yang mengajar kalian, tapi aku juga banyak belajar dari kalian.

20.Bu Rita yang membuatku membuat satu keputusan penting dalam hidupku. Anda merupakan pengirim pesan dari Tuhan.

21.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

(13)
(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN MOTTO...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...ix

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI...xiv

DAFTAR TABEL...xviii

DAFTAR GAMBAR...xix

DAFTAR LAMPIRAN...xx

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah...6

C. Tujuan Penelitian ...6

D. Manfaat Penelitian ...7

1. Manfaat Teoritis...7

2. Manfaat Praktis ...7

BAB II LANDASAN TEORI... 8

(15)

1. Definisi Wirausahawan ...8

2. Karakteristik Wirausahawan...9

3. Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa ...25

B. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...26

1. Pengertian Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan ...26

2. Dasar Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan ...26

C. Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan ...28

1. Pengertian Efektivitas Pelatihan ...28

2. Faktor-faktor Penentu Efektivitas Pelatihan ...32

3. Pengertian Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...34

D. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa ...34

E. Pertanyaan Penelitian dan Hipotesis ...35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37

A. Desain Penelitian ...37

B. Variabel Penelitian...38

1. Variabel Bebas ...38

2. Variabel Tergantung ...38

3. Variabel Ekstraneous ...39

C. Definisi Operasional ...39

1. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...39

2. Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan ...39

D. Subyek Penelitian...41

E. Prosedur Penelitian ...41

(16)

2. Prosedur Penelitian ...46

F. Alat Ukur ...47

1. Form Evaluasi Reaksi Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...47

2. Tes Pengetahuan Materi Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...48

3. Skala Perilaku Karakteristik Wirausahawan...49

G. Teknik Analisa Data ...50

1. Analisa Data Evaluasi Reaksi Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...50

2. Analisa Data Evaluasi Pembelajaran Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...52

3. Analisa Data Evaluasi Perilaku Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan...52

BAB IV HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN ... 53

A. Orientasi Kancah Penelitian...53

B. Pelaksanaan Penelitian...55

C. Hasil Penelitian ...55

1. Hasil Uji Asumsi...55

2. Deskripsi Data Penelitian...57

3. Hasil Uji Hipotesis...58

D. Pembahasan...59

1. Pembahasan Utama...59

2. Pembahasan Tambahan...61

(17)

A. Keterbatasan Penelitian...65

B. Kesimpulan ...66

C. Saran ...66

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Karakteristik Wirausahawan...14

Tabel 3.1. Blue-print Form Evaluasi Reaksi...47

Tabel 3.2. Blue-print Tes Pengetahuan Materi ...48

Tabel 3.3. Blue-print Skala Perilaku Wirausahawan ...49

Tabel 3.4. Rumus Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi ...50

Tabel 3.4.1. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Keseluruhan Pelatihan...50

Tabel 3.4.2. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Isi Pelatihan...50

Tabel 3.4.3. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Metodologi Pelatihan ...50

Tabel 3.4.4. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Lingkungan Pelatihan ...50

Tabel 3.4.5. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Trainer ...51

Tabel 3.4.6. Norma Kategorisasi Evaluasi Reaksi Asisten Trainer ...51

Tabel 4.1. Jadwal Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan ...53

Tabel 4.2. Reaksi Peserta terhadap Pelatihan ...56

Tabel 4.3. Hasil Uji-T Sampel Independen gain score Tes Materi Pelatihan ...57

(19)

DAFTAR GAMBAR

(20)

LAMPIRAN 1 LEMBAR EVALUASI REAKSI... 71

LAMPIRAN 2 LEMBAR EVALUASI PEMBELAJARAN... 76

LAMPIRAN 3 LEMBAR EVALUASI PERILAKU ... 77

LAMPIRAN 4 UJI RELIABILITAS TES PENGETAHUAN MATERI... 78

LAMPIRAN 5 ANALISA TINGKAT KESULITAN ITEM TES PENGETAHUAN MATERI... 87

LAMPIRAN 6 UJI RELIABILITAS SKALA PERILAKU ... 88

LAMPIRAN 7 UJI NORMALITAS TES PENGETAHUAN MATERI... 96

LAMPIRAN 8 UJI NORMALITAS SKALA PERILAKU... 99

LAMPIRAN 9 UJI HIPOTESIS EVALUASI PEMBELAJARAN ... 102

LAMPIRAN 10 UJI HIPOTESIS EVALUASI PERILAKU ... 104

LAMPIRAN 11 KOMENTAR/SARAN PESERTA ... 106

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Badan Pembangunan PBB (UNDP) melaporkan Indonesia menduduki

peringkat ke 109 dari 179 negara pada laporan Human Development Index (HDI)

atau Indeks Pembangunan Manusia (“Human Development”, 2008). HDI dibagi

menjadi 3 kategori berdasarkan angka HDI, yaitu kategori Pembangunan Manusia

Tingkat Tinggi (High Human Development) dengan angka HDI 0.800 – 1,

Pembangunan Manusia Tingkat Menengah (Medium Human Development)

dengan angka HDI 0.500 – 0.799, dan Pembangunan Manusia Tingkat Rendah

(Low Human Development) dengan angka HDI 0.300 – 0.499. Angka HDI

Indonesia adalah 0.726 yang membuat Indonesia masuk dalam kategori

Pembangunan Manusia Tingkat Menengah (Medium Human Development).

Secara sederhana, HDI diukur dari kesehatan dan kependudukan, pendidikan,

dan ekonomi suatu negara. Indikator kesehatan dan kependudukan diukur dari

tingkat harapan hidup. Indikator pendidikan dilihat dari angka tingkat baca tulis

pada orang dewasa dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, dan atas.

Sedangkan indikator ekonomi diukur melalui pengeluaran dan pendapatan per

kapita (“Human Development”, 2008).

Pada masa krisis global sekarang ini, faktor ekonomi merupakan hal yang

sangat penting untuk diperhatikan. Jika menggunakan standar penilaian HDI,

indikator ekonomi diukur melalui pengeluaran dan pendapatan per kapita. Padahal

jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 9,39 juta

(22)

tidak mendapatkan pemasukan yang pasti (”BPS: Pengangguran”, 2009). Belum

lagi dampak krisis global yang menyebabkan Organisasi Buruh Internasional

(ILO) memprediksi jumlah pengangguran di seluruh dunia akan bertambah 20 juta

orang sepanjang 2009 (”Pengangguran Dunia”, 2009).

Direktur Deputi ILO Jakarta, Peter van Rooij, dalam diskusi "Dampak Krisis

Global Terhadap Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia" memperkirakan angka

pengangguran akan merangkak naik menjadi 8,87 persen bila dampak krisis

global sampai ke Indonesia (”Pengangguran Dunia”, 2009). Angka tersebut

merupakan prediksi untuk tahun 2009, padahal Pelaksana IMF (International

Monetary Fund), Dominique Strauss-Kahn, memprediksi bahwa pemulihan

ekonomi kemungkinan besar tidak akan terjadi sebelum 2010 (”Resesi Besar”, 11

Maret 2009).

Pada akhir bulan Februari ini, dampak krisis global tersebut sudah semakin

terasa. 37.905 buruh di Indonesia sudah di-PHK dan belum termasuk yang sedang

dalam proses maupun mereka yang dirumahkan (“Sudah 37.905”, 6 Maret 2009).

Jika kondisi ini terus berlanjut, keadaan akan semakin parah, dan angka HDI

Indonesia akan tergelincir turun. Harapan dan cita-cita seluruh orang Indonesia

agar Indonesia mampu menembus angka HDI pada kisaran 0.800 – 1 atau berada

pada kategori Pembangunan Manusia Tingkat Tinggi (High Human Development)

mungkin akan semakin sulit tercapai. Maka perlu alternatif-alternatif solusi yang

dapat dilaksanakan supaya hal tersebut tidak sampai terjadi.

Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi pengangguran

tersebut adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan.

Tugas tersebut layak diemban oleh wirausahawan yang secara kreatif dapat

(23)

pekerjaan yang ia ciptakan. Hal ini juga merupakan salah satu fungsi pengusaha

yang disebut sebagai sumber utama dari lapangan kerja baru (Boone dan Kurtz,

2007). Secara khusus, mahasiswa yang disebut-sebut sebagai agent of change

(inisiasi Sanata Dharma, 2006) juga memegang peranan penting dalam hal ini.

Selain karena lulusan baru akan semakin sulit untuk mencari pekerjaan baru,

mahasiswa memiliki tugas moral kepada masyarakat sehingga merupakan orang

yang paling tepat untuk menjadi wirausahawan dalam masa ini.

Menurut Ciputra, seorang wirausahawan sukses dalam bidang properti,

diperlukan minimal 2 persen pengusaha atau wirausahawan di suatu negara untuk

dapat memajukan ekonominya. Padahal di Indonesia, persentase jumlah wirausaha

tersebut masih di bawah 1 persen, yaitu sekitar 0,18 persen (hanya sekitar 400.000

dari sekitar 220.000.000 jiwa) (“Semangat “Entrepreneurship””, 2009). Hal ini

merupakan suatu masalah yang serius karena untuk memenuhi jumlah minimal

saja, persentase wirausahawan masih sangat kurang; bahkan setengahnya pun

tidak sampai. Namun bila dilihat dari sisi lain, kekurangan jumlah wirausahawan

tersebut sebenarnya bisa dikatakan sebagai sebuah peluang. Ada jarak antara

harapan dan kenyataan yang bisa diinterpretasikan sebagai sebuah kesempatan

untuk memasuki ruang kosong tersebut.

Wirausahawan wajib memiliki dua keahlian (skills) untuk sukses, yaitu hard

skills dan soft skills (Costa, Pedro, Elisabeth Frankus, Ana Leal, Franziska Steffen,

2008). Yang dimaksud sebagai hard skills di sini adalah keahlian teknis atau

administratif yang sesuai dengan inti bisnis usaha tersebut seperti mengoperasikan

komputer, menjalankan protokol standar, dan sebagainya. Sedangkan soft skills

adalah keahlian yang biasanya dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari yang juga

(24)

pemecahan masalah, kerjasama tim, dan sebagainya yang sangat berkaitan dengan

unsur psikologis dalam kepribadian seseorang (Coates, 2006).

Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata

kesuksesan seseorang lebih ditentukan oleh soft skills ketimbang hard skills.

Penelitian tersebut menyatakan bahwa soft skills menentukan 80 persen

kesuksesan dan hard skills hanya 20 persen saja (“Antara Hard”, 2009). Hal ini

juga berlaku dalam dunia kewirausahaan tentunya. Sayangnya realita pendidikan

di Indonesia masih berorientasi pada hard skills dan kurikulum serta pendidiknya

belum mampu mengakomodasi soft skills yang seharusnya diajarkan juga pada

peserta didik (“Antara Hard”, 2009).

Sektor kewirausahaan pun juga tidak luput dari masalah minim pengembangan

soft skills tersebut. Contohnya, pemerintah pernah mencoba menyuntikkan dana

sebesar 300 miliar rupiah untuk Depnakertrans yang dialokasikan bagi pelatihan

ketrampilan dan kewirausahaan korban PHK, melengkapi fasilitas pelatihan, dan

program kerja padat karya (“Sudah 37.905”, 6 Maret 2009). Proyek pemerintah

yang digarap oleh Depnakertrans rupanya juga baru dialokasikan bagi pelatihan

ketrampilan kewirausahaan, melengkapi fasilitas pelatihan, dan program kerja

padat karya. Dengan kata lain, fokus pemerintah baru pada infrastruktur dan hard

skills semata.

Maka salah satu solusi yang dapat dilakukan setelah melihat realita di

lapangan adalah dengan memberikan pelatihan soft skills dalam bidang

kewirausahaan pada mahasiswa. Pelatihan soft skills tersebut dapat diajarkan

melalui apa yang disebut dengan psikoedukasi, yaitu sebuah gerakan yang relatif

(25)

Psikoedukasi secara sederhana berarti pendidikan psikologis atau sering juga

disebut pendidikan pribadi dan sosial (Supratiknya, 2008). Melalui psikoedukasi

ini, mahasiswa dapat diajarkan aneka ketrampilan psikologis yang bermanfaat

dalam membentuk soft skills untuk menumbuhkan karakteristik wirausahawan.

Psikoedukasi dengan perencanaan dan pemrograman yang tepat dapat secara

praktis diterapkan karena sifatnya yang dapat mengajarkan pendidikan psikologis

tersebut secara massal.

Secara sederhana, implementasi psikoedukasi biasa diartikan sebagai pelatihan

atau training. Penulis menawarkan sebuah program psikoedukasi yang bertajuk

Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan. Tawaran program tersebut

diharapkan dapat diaplikasikan dalam dunia nyata dan dapat menciptakan

wirausahawan-wirausahawan baru yang tangguh (terutama dalam soft skillss

berwirusaha mereka), serta tercipta lapangan-lapangan pekerjaan yang baru

sehingga pengangguran dapat teratasi.

Program Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausawahan pada

Mahasiswa tersebut sebelum diduplikasi tentu perlu dievaluasi efektivitasnya

terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan kaidah manfaat evaluasi atas efektivitas

pelatihan, yaitu untuk menentukan apakah program pelatihan perlu untuk

diteruskan atau tidak dan untuk meningkatkan kualitas program pelatihan jika

memang dirasa perlu dibenahi (Kirkpatrick, 2007; Lin, 2008).

Alasan-alasan lain dalam melakukan evaluasi pelatihan adalah meyakinkan

bahwa proses pembelajaran telah terpenuhi, memaksimalkan nilai dari pelatihan

itu sendiri, menyelaraskan dengan strategi, dan membuktikan bahwa suatu

pelatihan memang benar-benar bernilai (Kirkpatrick, 2007). Dengan demikian,

(26)

Pada akhirnya, efektivitas tentu menjadi hasil yang diharapkan dari evaluasi

pelatihan. Sayangnya, hasil tersebut tidak selalu menjadi kenyataan. Salah satu

contoh yang dapat kita cermati bersama adalah kasus konferensi British Learning

Association pada tahun 2006. Sebanyak 72% delegasi yang hadir menyatakan

bahwa pembelajaran dalam pelatihan tidak mengubah apa pun yang menunjukkan

bahwa pelatihan sebagian besar tidak efektif (Dwyer, 2010).

Maister (2008) menyatakan bahwa program pelatihan merupakan program

yang membuang-buang uang dan waktu saja karena implementasinya yang tidak

baik. Khususnya karena pelatihan hanya dianggap sebagai sesuatu yang

menyenangkan jika trainer-nya menarik dan bukan ditekankan pada transfer

materi dan implementasinya. Hal ini juga memperlihatkan ketidakefektifan

pelatihan yang diketahui dari evaluasi pelatihan.

Maka sangat penting untuk melakukan evaluasi pelatihan, khususnya untuk

rancangan pelatihan baru, yaitu Pelatihan Pengembangan Karakteristik

Wirausahawan. Hal ini dilakukan sebagai uji coba efektivitas pelatihan itu sendiri

sehingga langkah selanjutnya untuk pelatihan tersebut dapat ditentukan. Uraian

masalah yang sudah disebutkan di atas merupakan latar belakang yang menjadi

dasar dalam melakukan penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

“Bagaimanakah efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik

Wirausahawan pada Mahasiswa?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dalam karya tulis ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas

(27)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu manfaat

teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian dalam karya tulis ini turut menyumbang

khasanah keilmuan dalam bidang Psikologi khususnya mengenai efektivitas

pelatihan. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi dasar bagi

penelitian-penelitian serupa selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian dalam karya tulis ini

adalah:

a. Jika terbukti bahwa Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausawahan

pada Mahasiswa efektif, maka pelatihan ini dapat diduplikasikan sehingga

dapat bermanfaat bagi masyarakat.

b. Kelemahan-kelemahan dalam pelatihan ini dapat diperbaiki dan

disempurnakan lagi melalui adanya komentar/saran dari peserta.

c. Mengembangkan karakteristik wirausahawan peserta yang mengikuti

pelatihan ini.

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Karakteristik Wirausahawan

1. Definisi Wirausahawan

Istilah wirausahawan telah ada sejak lama. Demikian pula dengan

pekerjaan sebagai wirausahawan. Setidaknya, hal tersebut dapat dilihat dari

definisi yang diberikan oleh Cantillon (pada abad 18) yang disebut-sebut

sebagai pencetus istilah entrepreneur atau wirausahawan. Cantillon (dalam

Harefa dan Siadari, 2006) mengatakan bahwa inti kegiatan wirausahawan

adalah menanggung resiko dari membeli barang hari ini lalu menjualnya

kembali di lain hari dengan harga yang belum pasti (bisa menguntungkan atau

malah merugikan). Wirausahawan merupakan seseorang yang mempekerjakan

dirinya tanpa kepastian mendapatkan keuntungan. Satu abad kemudian,

ekonom Jean-Baptiste Say (dalam Harefa dan Siadari, 2006) menyatakan

bahwa seorang wirausahawan adalah mereka yang mengubah ide-ide abstrak

menjadi nyata dan dapat dinikmati banyak orang. Awal abad 20, Joseph

Schumpeter (dalam Harefa dan Siadari, 2006) mengatakan bahwa

wirausahawan adalah inovator yang kreatif dan dalam abad yang sama, David

C. McClelland (dalam Harefa dan Siadari, 2006) menyatakan bahwa

wirausahawan memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi.

Pada abad 21, definisi wirausahawan telah berkembang luas dan lebih

komprehensif. Scarborough dan Zimmerer (2006) mengatakan bahwa

(29)

menghadapi resiko serta ketidakpastian demi mendapatkan keuntungan dan

berkembang dengan menganalisa kesempatan serta mencari sumber-sumber

yang diperlukan untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Wirausahawan

seringkali memulai usaha atau bisnis mereka dengan hanya sebuah ide yang

sederhana dan tanpa modal. Definisi ini lebih kurang sama dengan apa yang

dikatakan oleh Boone dan Kurtz (2007), yaitu bahwa wirausahawan adalah

pencari peluang dan pengambil resiko dalam mendirikan bisnis mereka

menggunakan sistem perusahaan swasta.

Wirausahawan, dengan demikian, secara definitif adalah seseorang yang

mempekerjakan dirinya sendiri dengan membangun sebuah bisnis mandiri

yang biasanya dimulai tidak lebih dari sebuah ide kreatif dan seringkali tanpa

modal (Boone dan Kurtz, 2007; Ciputra (dalam Harefa dan Siadari; 2006);

Scarborough dan Zimmerer, 2006).

2. Karakteristik Wirausahawan

Karakteristik secara definitif menurut APA Dictionary of Psychology

(2007) adalah: 1) kualitas dari individu terutama segala sesuatu yang terkait

dengan kualitas pribadi yang membedakan seseorang dalam relasi dengan

orang lain, 2) segala sesuatu yang membedakan dan menjadi keistimewaan.

Sedangkan wirausahawan, seperti didefinisikan dalam sub bab sebelumnya,

adalah seseorang yang mempekerjakan dirinya sendiri dengan membangun

sebuah bisnis mandiri yang biasanya dimulai tidak lebih dari sebuah ide

kreatif dan seringkali tanpa modal (Boone dan Kurtz, 2007; Ciputra (dalam

Harefa dan Siadari; 2006); Scarborough dan Zimmerer, 2006). Dengan

(30)

dengan kualitas pribadi individu yang memberikan ciri kepada individu

tersebut sehingga dapat dikatakan sebagai seorang wirausahawan.

Banyak studi yang telah membahas mengenai karakteristik wirausahawan

ini. Scarborough dan Zimmerer (2006) menawarkan sebelas profil atau

karakteristik wirausahawan. Boone dan Kurtz (2007) menawarkan delapan.

Ciputra (dalam Harefa dan Siadari, 2006), sang maestro wirausaha dalam

bidang properti di Indonesia, menawarkan tiga ciri utama yang menjadi

karakteristik wirausahawan. Sedangkan Covin & Slevin (dalam Mort,

Weerawardena, dan Carnegie, 2002) menawarkan tiga.

Karakteristik wirausahawan yang ditawarkan oleh Scarborough dan

Zimmerer (2006) adalah sebagai berikut:

1. Memiliki inisiatif: Wirausahawan mempunyai tanggung jawab personal

dalam memulai usahanya dengan ide-ide kreatifnya agar bisnis dapat

berjalan sesuai yang diharapkan.

2. Preferensi untuk resiko moderat: Wirausahawan bukan seorang pengambil

resiko yang liar (petaruh yang sembarangan), namun pengambil resiko

dengan penuh perhitungan walaupun tujuan mereka seringkali sangat

tinggi bahkan tidak mungkin.

3. Percaya pada kemampuan diri untuk sukses: Wirausahawan optimis dan

percaya diri atas kemampuan mereka untuk mencapai kesuksesan dalam

usaha yang mereka jalankan.

4. Menggantungkan nasib pada dirinya sendiri: Wirausahawan

menggantungkan nasib mereka pada dirinya sendiri dan bertanggung

(31)

5. Memiliki ketekunan: Walaupun segala sesuatunya berjalan tidak sesuai

rencana, wirausahawan tidak mudah menyerah dan tetap berusaha

menekuni usahanya.

6. Hasrat untuk memperoleh umpan balik secara cepat: Wirausahawan ingin

mengetahui apa dampak dari tindakan-tindakan mereka dan mencari

pengukuh.

7. Level energi yang tinggi: Wirausahawan lebih energik dibandingkan

rata-rata orang kebanyakan.

8. Senang berkompetisi: Wirausahawan menunjukkan sifat senang

berkompetisi dalam kehidupan mereka. Mereka sangat menikmati

kompetisi dan menjadi bagian dalam hidup mereka.

9. Berorientasi pada masa depan: Wirausahawan memiliki mimpi yang besar

dan rencana yang dapat mewujudkan mimpi tersebut suatu haru di masa

depan.

10. Memiliki keinginan mengorganisasi: Wirausahawan memiliki keinginan

mengatur dan mengorganisasi sesuatu yang kacau menjadi satu kesatuan

yang dapat digerakkan mengarah pada tujuan tertentu.

11. Menginginkan pencapaian yang lebih daripada sekedar uang:

Wirausahawan bukan sekedar ingin memperoleh uang, namun

pencapaian-pencapaian. Uang hanyalah salah satu hasil dan simbol dari pencapaian

tersebut.

Karakteristik wirausahawan yang ditawarkan oleh Boone dan Kurtz (2007)

(32)

1. Memiliki visi: Wirausahawan memulai sesuatu dengan visi yang akan

dijalaninya. Memiliki visi juga berarti memikirkan sesuatu di luar kotak

(out of the box).

2. Tingkat energi yang tinggi: Wirausahawan rela bekerja keras demi

mencapai visi mereka dan hal tersebut membutuhkan waktu dan tenaga

yang sangat banyak.

3. Kebutuhan untuk mencapai sesuatu: Wirausahawan ingin mencapai

sesuatu lewat kompetisi dalam dunia usaha. Mereka berambisi ingin

meninggalkan sesuatu yang signifikan bagi dunia.

4. Keyakinan diri dan optimisme: Wirausahawan yakin pada diri mereka

bahwa mereka dapat mencapai kesuksesan dan sering menimbulkan

optimisme dalam diri orang lain.

5. Toleransi atas kegagalan: Wirausahawan memandang segala kegagalan

dan kemunduran sebagai sebuah kesempatan berharga untuk belajar.

Mereka tidak mudah kecewa dan menyerah bila segala sesuatu tidak

berjalan sesuai dengan rencana.

6. Kreativitas: Wirausahawan biasanya memiliki gagasan yang kreatif dalam

suatu produk atau jasa dan inovatif dalam mewujudnyatakan gagasan

tersebut.

7. Toleransi atas ambiguitas: Wirausahawan berhadapan dengan

ketidakpastian dan kejadian-kejadian yang tidak diharapkan ketika mereka

meluncurkan suatu usaha.

8. Pengendalian internal: Wirausahawan bergantung pada diri mereka sendiri

dan memiliki kendali atas nasib mereka sendiri; mereka yang membuat

(33)

Karakteristik wirausahawan yang ditawarkan oleh Ciputra (dalam Harefa

dan Siadari, 2006) adalah sebagai berikut:

1. Membaca peluang: Wirausahawan memiliki kemampuan untuk melihat

apa yang tidak dilihat orang lain dan memiliki visi untuk menciptakan

sesuatu yang baru yang mampu memicu semangatnya untuk bertindak.

2. Melakukan inovasi: Wirausahawan mampu mengubah suatu keadaan yang

kurang atau tidak menyenangkan menjadi sesuai dengan yang

diinginkannya melalui tindakan inovatif yang diciptakannya.

3. Pengambil resiko: Wirausahawan mengambil resiko secara finansial (rugi)

maupun karakteristik psikologis (dianggap gagal).

Karakteristik wirausahawan yang ditawarkan oleh Covin & Slevin (dalam

Mort, Weerawardena, dan Carnegie, 2002) adalah sebagai berikut:

1. Toleransi atas resiko: Wirausahawan berani mengambil peluang yang

berarti berani mengambil kesempatan dan resiko untuk gagal

2. Proaktif: Wirausahawan memiliki sikap proaktif

(34)

Berikut adalah tabel ringkasan karakteristik wirausahawan:

Tabel 2.1. Karakteristik Wirausahawan

(35)

Karakteristik Wirausahawan dengan demikian adalah:

1. Proaktif

Karakteristik wirausahawan yang pertama adalah proaktif. Proaktif

lebih dari sekedar memiliki inisiatif saja, melainkan sebuah keadaan di

mana manusia memiliki tanggung jawab terhadap hidupnya sendiri

(Covey, 1994). Hal ini berarti manusia memiliki pilihan atas hidupnya

sendiri dalam setiap keputusan yang ia buat.

Frankl (dalam Schultz, 1991) menyatakan bahwa dalam kehidupan,

individu dapat dan memiliki kebebasan untuk memilih. Frankl juga

menyatakan bahwa di antara stimulus dan respon, masih ada ruang

yang tersisa bagi manusia untuk membuat keputusan akan bereaksi

seperti apa. Hal ini kemudian mendasari konsep karakteristik

psikologis wirausahawan selanjutnya, karena setiap hal yang terjadi

akan merupakan konsekuensi baik langsung maupun tidak langsung

dari setiap keputusan yang dibuat oleh individu dalam hidupnya.

Proaktivitas sendiri merupakan lawan dari reaktivitas, di mana

reaktivitas berarti seseorang langsung bereaksi begitu ada stimulus

yang dihadapi tanpa sempat memilih respon yang akan ia buat serta

cenderung menyalahkan keadaan (Covey, 1994). Individu yang reaktif

cenderung digerakkan oleh perasaan, keadaan, kondisi, dan

lingkungan. Gambar berikut ini menjelaskan pola perilaku reaktif.

STIMULUS RESPON

Gambar 2.1. Pola Perilaku Reaktif

(36)

Covey (1994) menjelaskan bahwa paradigma seseorang

menentukan perilakunya, termasuk perilaku reaktif. Seringkali individu

merasa memiliki paradigma yang obyektif, tetapi sebenarnya hal

tersebut ditentukan oleh cermin sosial. Refleksi dari cermin sosial

tersebut membuat individu mengakui bahwa ia tidak memiliki kendali

atas kekuatan hebat yang mengondisikan seseorang untuk berperilaku

sehingga menghalanginya untuk mengeluarkan kemampuan dan

potensi terbaik. Ada tiga peta sosial atau determinisme yang

menentukan sifat manusia yang menghalangi seseorang mengeluarkan

kemampuan dan potensi terbaiknya, yaitu:

a. Determinisme Genetis

Merupakan teori yang menyatakan bahwa jika nenek moyang

seseorang memiliki sifat tertentu, maka generasi berikut-berikutnya

juga akan mewarisi sifat tersebut. Semua sifat tersebut terbawa

dalam DNA yang diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya.

b. Determinisme Psikis

Merupakan teori yang menyatakan bahwa pola pengasuhan dan

pengalaman masa kanak-kanak membentuk karakter kepribadian

individu. Seseorang terbentuk karena pengalaman masa kecilnya.

c. Determinisme Lingkungan

Merupakan teori yang menyatakan bahwa lingkungan yang

berupa teman-teman, pasangan, keluarga, atau atasan seseorang

memiliki kuasa besar dan bertanggung jawab atas situasi individu.

Sebaliknya dalam perilaku proaktif, individu bertanggung jawab

(37)

untuk menomorduakan impuls adalah inti dari proaktivitas. Individu

yang proaktif digerakkan oleh nilai-nilai yang sudah dipikirkan secara

cermat, diseleksi, dan dihayati. Individu seperti ini mampu memilih

reaksinya sendiri berdasarkan empat hal (Covey, 1994):

a. Kesadaran Diri

Individu mampu berpikir mengenai proses berpikirnya sendiri.

Hal ini membuat individu dapat menyadari diri sendiri dan keadaan

lingkungannya sehingga ia mampu mengambil tanggung jawab

untuk setiap perbuatan dari hasil pengambilan respon secara bebas

yang ia lakukan. Individu akhirnya tidak harus terpengaruh oleh

stimulus dalam bertindak sehingga ia mampu untuk tidak

menyalahkan sesuatu atau situasi di sekitarnya.

b. Imajinasi

Manusia memiliki kemampuan untuk melihat ke depan dan

mencipta dalam pikirannya serta di luar realitas saat ini sehingga ia

dapat membayangkan keadaan-keadaan dan berbagai kemungkinan

sesuai dengan keinginannya.

c. Suara Hati

Suara hati berkaitan dengan benar atau salah, prinsip-prinsip

hidup individu tersebut yang mengatur perilakunya, serta

pengertian akan tingkatan pikiran dan perbuatan seseorang yang

(38)

d. Kehendak Bebas

Individu memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak

sesuai dengan apa yang diinginkannya tanpa pengaruh dari orang

lain atau keadaan lingkungan sekitarnya.

Keempat hal tersebut mempengaruhi respon mana yang akan dipilih

dan terangkum dalam gambar berikut:

STIMULUS Kebebasan Memilih RESPON

Kesadaran Diri Imajinasi Suara Hati Kehendak Bebas

Gambar 2.2. Pola Perilaku Proaktif

(diadaptasi dari Modul 2 PPKM, 2009)

Sifat dasar manusia adalah bertindak, bukan menjadi sasaran

tindakan. Hal ini membuat seseorang mampu menciptakan keadaan

dan disebut dengan inisiatif. Inisiatif bukan berarti mendesak atau

agresif, namun mengambil suatu langkah untuk membuat sesuatu

terjadi (Covey, 1994). Hal ini juga menjadi sesuatu yang penting dalam

proaktivitas karena merupakan hasil dari kemampuan orang untuk

dapat memilih reaksi yang akan ia lakukan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen

dalam karakteristik proaktif adalah memiliki inisiatif dan memiliki

pengendalian internal.

2. Memiliki Visi

Segalanya diciptakan dua kali, yang pertama ada dalam pikiran dan

yang kedua ada dalam ciptaan fisik (Covey, 1994). Kalimat tersebut

(39)

fisik sebelumnya telah ada dalam pikiran individu. Jika diterjemahkan

dalam konteks karakteristik wirausahawan, memiliki visi dapat

diartikan memiliki bayangan atau pikiran mengenai tujuan-tujuan yang

akan dicapai dan memiliki keinginan untuk mewujudkannya dalam

misi-misi. Jika seorang wirausahawan tidak memiliki tujuan, maka ia

akan kehilangan arah.

Csikszentmihalyi (2007) menyimpulkan dari studi yang ia lakukan

bahwa visi bagi wirausahawan adalah ekspresi dari cara mengada (way

of being) yang belum ada sebagai langkah antisipasi terhadap masa

depan. Visi membutuhkan pencurahan energi secara finansial, sosial,

dan psikologis untuk mengubah keadaan sekarang menjadi seperti

yang dikehendaki karena keadaan yang serba tidak pasti atau ambigu.

Hal tersebut juga berarti berani menghadapi segala sesuatu yang

menghambat individu untuk mencapai perubahan, termasuk

menghadapi resiko gagal. Pernyataan ini sejalan dengan Byrd (2010)

yang mengatakan bahwa visi tanpa keberanian menghadapi resiko

tidak pernah ada karena untuk mewujudnyatakan visi harus berani

menghadapi resiko. Selain itu, Mills-Senn (2007) menyatakan bahwa

yang berani mengambil resiko lebih besar dan merencanakannya

dengan baik hanyalah orang yang visioner.

Bagi wirausahawan, visi adalah transenden atau tidak

mementingkan tujuan-tujuan pribadi (Csziksentmihalyi, 2007). Hal

tersebut sering disebut dengan upaya mencapai kesempurnaan, yaitu

menjadi yang terbaik yang bisa dicapainya sesuai dengan potensi dan

(40)

mengubah dunia menjadi lebih baik. Bahkan ketika masa-masa krisis,

individu dengan visi kuat akan tetap bertahan menjalankan tugasnya.

Selain itu, visi juga mentransformasi individu dari yang statis dan

egois menjadi memiliki kemauan untuk tumbuh dan berhubungan

dengan eksistensi lain. Bahkan lebih dari itu, visi kemudian dapat

mengorganisasi individu-individu bertransformasi membentuk suatu

jaringan eksistensi yang terus bertumbuh. Adler (dalam Hall &

Lindzey, 1993) menyebutkan bahwa jika orang percaya pada cita-cita

sebagai sesuatu yang akan datang, maka hal tersebut akan

mempengaruhi tingkah lakunya menjadi sebuah perjuangan untuk

mencapai cita-cita tersebut. Covey (1994) juga mengatakan bahwa cara

terbaik untuk memiliki tujuan akhir atau visi tersebut adalah dengan

menulis pernyataan pribadi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen

dalam karakteristik memiliki visi adalah berorientasi pada masa depan,

memiliki keinginan mengorganisasi, toleransi atas ambiguitas, dan

toleransi atas resiko.

3. Percaya Diri

Karakteristik wirausahawan yang ketiga adalah percaya diri.

Wirausahawan memiliki kepercayaan diri yang harus dibedakan dari

kesombongan dan arogansi. Pada intinya, kepercayaan diri adalah

keyakinan seseorang untuk dapat mencapai kesuksesan

(www.usaswimming.org, 2006). Orang-orang yang percaya diri merasa

(41)

lain, dan santai (Taylor, 2009). Ciri-ciri dari orang yang percaya diri

adalah (Taylor, 2009):

a. Merasa santai, aman, dan nyaman

b. Yakin kepada diri sendiri

c. Tidak percaya bahwa orang lain selalu lebih baik

d. Melakukan yang terbaik

e. Menetapkan tujuan yang dapat dicapai

f. Tidak melihat ada jurang yang lebar ketika membandingkan diri

dengan orang lain

g. Tidak agresif karena merasa tidak aman

h. Memiliki kesadaran ada kemungkinan gagal dan salah dalam

melakukan sesuatu

i. Merasa aman dengan diri sendiri dan tidak khawatir dengan apa

yang orang lain pikirkan

j. Memiliki keberanian untuk mencapai apa yang diinginkan

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen

dalam karakteristik percaya diri adalah yakin pada diri sendiri,

independen, dan memiliki optimisme.

4. Memiliki Kebutuhan Berprestasi

Karakteristik wirausahawan yang keempat adalah memiliki

kebutuhan berprestasi. Atkinson (1974; dalam Zenzen, 2002)

menyatakan bahwa kebutuhan berprestasi adalah keinginan untuk

meraih kesuksesan demi diri sendiri untuk kepuasan pribadi atau

kebanggaan pribadi. Sedangkan McClelland (dalam Braden, 2000)

(42)

tekun dan berusaha dengan keras untuk berjuang mencapai standar

yang sudah ditetapkan demi meraih kesuksesan. Hal ini juga termasuk

memiliki level energi tinggi sehingga senang berkompetisi untuk

mencapai prestasi-prestasi demi kepuasan batin (McClelland, 1985).

Setidaknya ada empat ciri orang yang memiliki kebutuhan

berprestasi tinggi menurut McClelland (dalam Braden, 2000) yaitu:

a. Mereka mencari tanggung jawab personal untuk mencari solusi

atas permasalahan.

b. Mereka membutuhkan umpan balik yang cepat atas performansi

mereka.

c. Mereka bukan petaruh sembarangan, namun mereka menetapkan

tujuan-tujuan menantang yang bisa diukur.

d. Mereka memasang tujuan-tujuan yang lebih menantang ketika

mereka merasa yakin bahwa mereka dapat mencapai tujuan yang

sedang ingin dicapai.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen

dalam karakteristik memiliki kebutuhan berprestasi adalah memiliki

ketekunan, hasrat untuk memperoleh umpan balik secara cepat, senang

berkompetisi, memiliki tingkat energi yang tinggi, dan memiliki

kebutuhan untuk mencapai sesuatu.

5. Kreatif

Karakteristik wirausahawan yang kelima adalah merupakan

individu kreatif. Orang kreatif berbeda dengan orang lain dalam

(43)

mereka yaitu mereka mencintai apa yang mereka lakukan

(Csikszentmihalyi, 1997).

Kreativitas merupakan kemampuan melampaui realitas untuk

menciptakan ide-ide baru (Ward, Smith, dan Vaid, 2001). Kreativitas

juga merupakan proses yang menampilkan cara kerja baru atau obyek

baru (Csikzsentmihalyi, 2007). Selain baru, kreativitas juga harus

memenuhi unsur berguna (Sternberg & Lubart; dalam Deitrich, 2004).

Csikszentmihalyi (1996, 1997), menyatakan bahwa kreativitas

bukan terletak pada apa namun pada bagaimana. Hal ini mencerminkan

suatu hal biasa yang dilakukan dengan cara luar biasa. Ia juga

menyatakan bahwa orang kreatif selalu berusaha menemukan hal-hal

baru. Selain itu, Csikszentmihalyi (2007) juga menyatakan bahwa

sesungguhnya kreativitas merupakan sumber inovasi yang tidak akan

pernah berakhir. Selalu ada jalan untuk melakukan sesuatu dengan cara

yang lebih baik. Bahkan Kamil (2009) mengatakan bahwa derajat

tertinggi dari kreativitas adalah inovasi di mana inovasi

mengedepankan orisinalitas yang belum pernah ada sebelumnya.

Proses kreatif menurut Csikszentmihalyi (1997) dimulai dari

adanya tujuan yang ingin dicapai atau masalah yang ingin dipecahkan.

Orang kreatif memiliki penilaian internal yang memberikan umpan

balik secara langsung kepada diri sendiri terhadap apa yang baru saja

ia lakukan. Ketika proses kreatif berlangsung, individu biasanya

memiliki konsentrasi dan fokus penuh pada apa yang ia kerjakan

(44)

sekitar dan lupa waktu. Mereka juga dapat memecah masalah besar

menjadi bagian-bagian yang dapat mereka atur untuk dipecahkan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen

dalam karakteristik kreatif adalah dapat membaca peluang atau melihat

dengan cara berbeda dan melakukan inovasi.

3. Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa

Arehart & Smith (dalam Santrock, 1995) mengemukakan bahwa

mahasiswa masih bergumul dengan komitmen-komitmen ideologi yang

idealis. Mereka sedang mengalami krisis di mana mereka memilih di

antara pilihan-pilihan yang bermakna dan membuat komitmen yang

merupakan tanggung jawab mereka atas pilihan tersebut (Marcia dalam

Santrock, 1995).

Sejalan dengan itu, memiliki karakteristik wirausahawan merupakan

salah satu idealisme mahasiswa di mana mereka dapat membantu

menciptakan lapangan pekerjaan karena menyandang tugas sebagai agent

of change (Inisiasi Sanata Dharma, 2006). Dengan demikian, karakteristik

wirausahawan dapat dikatakan layak dilekatkan kepada mahasiswa yang

sedang bergumul dengan idealisme dan komitmen yang akan mereka buat

atas apa yang akan mereka lakukan sebagai pembawa perubahan.

Selain itu, dari segi usia, mahasiswa paling tepat untuk mendapat

pelatihan ini. Berdasarkan penelitian oleh Sinha di India (dalam Indarti &

Rostiano, 2008) dan Kristiansen di Indonesia (dalam Indarti & Rostiano,

2008), ditemukan bahwa sebagian besar wirausahawan yang sukses berada

dalam usia remaja akhir yang berstatus mahasiswa. Pendidikan yang

(45)

tepat untuk memberikan pelatihan ini kepada mahasiswa karena sejalan

dengan hasil penelitian Lee (dalam Indarti & Rostiano, 2008) yang

menyatakan bahwa wirausahawan yang berlatar belakang pendidikan

Universitas lebih memiliki keinginan untuk mencapai sesuatu dalam

bidang kewirausahan.

B. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan

1. Pengertian Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan

Karakteristik wirausahawan terdiri dari lima karakteristik pokok yang

masing-masing berupa kontinum sehingga dapat dikembangkan. Oleh karena

itu, Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan diartikan sebagai

pelatihan untuk mengembangkan karakteristik wirausahawan.

2. Dasar Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan

Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan yang melatihkan

lima karakteristik pokok di dalamnya memiliki dasar sebagai berikut:

a. Proaktif

Dalam kehidupan sehari-hari, kita memiliki kecenderungan pola reaktif

dalam menanggapi situasi. Kecenderungan tersebut harus disadari dulu

oleh peserta. Setelah itu, peserta diajak melihat potensi kekuatan diri untuk

berubah menjadi proaktif, yaitu melalui kesadaran diri, imajinasi, suara

hati, dan kehendak (Modul 2 PPKM, 2009) sehingga peserta pada akhirnya

memiliki inisiatif dan memiliki pengendalian internal.

b. Memiliki Visi

Tidak semua individu memiliki tujuan hidup yang kuat. Peserta dapat

(46)

kuat tersebut. Setelah itu, peserta diajak untuk “bermimpi”, yaitu

menciptakan tujuan hidup dan langkah-langkah konkret apa yang akan

ditempuh serta kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi hambatan

demi pencapaian tujuan tersebut (Modul 3 PPKM, 2009) sehingga peserta

pada akhirnya berorientasi pada masa depan, memiliki keinginan

mengorganisasi, toleransi atas ambiguitas, dan toleransi atas resiko.

c. Percaya Diri

Individu bertingkah laku karena dipengaruhi oleh masa lalunya.

Kepercayaan diri juga dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu

dalam hidupnya. Peserta dapat diajak menggunakan pengalaman pribadi

yang positif untuk meningkatkan kepercayaan dirinya (Dale Carnegie

Fundamental Leadership Training Participant Manual, 2007) sehingga

pada akhirnya peserta yakin pada diri sendiri, independen, dan memiliki

optimisme.

d. Memiliki Kebutuhan Berprestasi

Pepatah China kuno mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang bangun

sebelum subuh selama tiga ratus enam puluh hari dalam satu tahun tidak

mampu membuat keluarganya kaya raya”. Pepatah tersebut ingin

mengatakan bahwa jika seseorang rajin, maka prestasi pun akan diraih.

Beberapa penelitian empiris juga mengatakan hal yang serupa. Meta

analisa terhadap penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa ada

yang disebut dengan kaidah 10.000 jam, yaitu orang-orang yang

berprestasi dan biasanya terkenal telah melatih kemampuan yang membuat

mereka berprestasi selama 10.000 jam dalam hidupnya sebelum ia sukses

(47)

individu memiliki kebutuhan berprestasi adalah dengan “memaksa”

mereka untuk melatih kemampuan yang menjadi kelebihan mereka.

e. Kreatif

Kreativitas merupakan bagian kerja dari otak kanan. Secara teoritis,

kreativitas dapat dibangkitkan dengan cara menenangkan otak kiri

sehingga otak kanan dapat bekerja secara luar biasa dalam hal kreativitas.

Kuncinya adalah melihat permasalahan yang menghambat kerja otak

kanan tersebut, yaitu terlalu berfungsinya otak kiri (Edwards, 1999; dalam

Pink, 2008). Dengan mencoba melihat out of the box, hal-hal yang sudah

biasa dapat dilihat kembali dengan cara yang lain sehingga peserta pada

akhirnya dapat membaca peluang atau melihat dengan cara berbeda dan

melakukan inovasi.

C. Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan

1. Pengertian Efektivitas Pelatihan

Alvarez, Salas, dan Garofano (2004) menyimpulkan bahwa efektivitas

pelatihan merupakan studi mengenai variabel yang mempengaruhi hasil

pelatihan. Hal ini berbeda dengan evaluasi pelatihan yang merupakan teknik

pengukuran untuk melihat derajat keberhasilan program pelatihan dari

pencapaian terhadap sasaran pelatihan. Namun demikian, efektivitas pelatihan

tidak dapat dipisahkan dari evaluasi pelatihan, bahkan ahli-ahli dalam bidang

pelatihan menggunakan evaluasi pelatihan sebagai sarana untuk melihat

efektivitas pelatihan.

Evaluasi pelatihan untuk melihat efektivitas pelatihan tersebut ada

(48)

masih sangat dipercaya oleh ahli-ahli pelatihan profesional adalah

Kirkpatrick’s Four-Level Model (Kirkpatrick 1996, 2004; 2006a; 2006b;

Nelson & Dailey,1998; Hubbard, 2001). Model ini terdiri dari empat level

evaluasi, yaitu reaksi, pembelajaran, perilaku, dan hasil.

a. Level 1: Evaluasi Reaksi

Evaluasi reaksi merupakan evaluasi dalam Kirkpatrick’s Four-Level

Model level pertama (Kirkpatrick 1996, 2004; 2006a; 2006b; Nelson &

Dailey,1998; Hubbard, 2001; Vellios & Kirkpatrick, 2008). Evaluasi ini

pada intinya berfokus pada kepuasan peserta pelatihan yang diasumsikan

berpengaruh pada pemahaman mereka akan materi pelatihan (Alliger et.

al., 1997; dalam Hutomo, 2008). Evaluasi reaksi adalah evaluasi yang

paling minimal harus dilakukan oleh para trainer dalam pelatihan mereka

dan dapat dilakukan setelah program selesai dilaksanakan sebelum peserta

pulang.

Cara mengaplikasikan evaluasi level pertama ini adalah dengan

pedoman sebagai berikut (Vellios & Kirkpatrick, 2008):

1. Daftarlah seluruh butir yang ingin dilihat reaksinya. Hal ini termasuk

organisasi kegiatan (waktu, tempat, fasilitas, makanan, dan

sebagainya), performansi fasilitator, manfaat kegiatan, komentar

pribadi dan atau saran (Supratiknya, 2008).

2. Desainlah sebuah lembar evaluasi reaksi yang dapat

mengkuantifikasikan reaksi.

3. Perbolehkan untuk menulis komentar dan saran.

(49)

5. Dapatkan respon yang jujur dengan cara membuat lembar evaluasi

reaksi anonim.

6. Komunikasikan hasilnya pada orang yang tepat.

b. Level 2: Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran adalah evaluasi level kedua dalam Kirkpatrick’s

Four-Level Model (Kirkpatrick 1996, 2004; 2006a; 2006b; Nelson &

Dailey,1998; Hubbard, 2001; Vellios & Kirkpatrick, 2008; Withers, 2009).

Evaluasi ini mengukur apa yang peserta pelajari dari pelatihan.

Cara mengaplikasikan evaluasi level kedua ini adalah dengan pedoman

sebagai berikut (Vellios & Kirkpatrick, 2008):

1. Lakukan evaluasi terhadap pengetahuan, kemampuan, dan atau sikap

sebelum dan setelah program pelatihan.

2. Gunakan tes prestasi untuk mengukur perubahan dalam pengetahuan

dan skala sikap untuk mengukur perubahan dalam sikap peserta.

3. Gunakan tes performansi untuk mengukur perubahan kemampuan.

4. Dapatkan respon seratus persen.

5. Komunikasikan hasilnya pada orang yang tepat.

Selain itu, ada pedoman lain yang dapat diaplikasikan untuk melakukan

evaluasi level dua ini (Withers, 2009):

1. Ketahuilah dahulu apa yang fasilitator inginkan untuk dipelajari oleh

peserta dan mengapa hal tersebut penting.

2. Mengukur efektivitas desain dan cara penghantarannya lebih penting

daripada mengukur apakah peserta merupakan “murid yang baik”.

3. Ketika mengukur apa yang penting, tekankan pada apa yang penting

(50)

4. Belajarlah dari evaluasi level dua dengan membuat desain serta

penghantarannya lebih bagus dan dapat melakukan perubahan dalam

hasilnya.

5. Lakukan pengukuran lebih dari sekali untuk melihat perubahannya dari

waktu ke waktu.

c. Level 3: Evaluasi Perilaku

Evaluasi level ketiga adalah evaluasi perilaku (Kirkpatrick 1996, 2004;

2006a; 2006b; Nelson & Dailey,1998; Hubbard, 2001; Vellios &

Kirkpatrick, 2008). Evaluasi ini penting dilakukan karena jika setelah

pelatihan tidak ada perubahan perilaku di tempat kerja, maka dapat

dikatakan ilmu yang didapat dari pelatihan kurang berguna. Evaluasi ini

merupakan evaluasi jangka panjang dalam perubahan perilaku bagi

peserta yang menyelesaikan program pelatihan. Evaluasi ini sangat terkait

dengan evaluasi level empat, yaitu evaluasi hasil.

Cara mengaplikasikan evaluasi level ketiga ini adalah dengan pedoman

sebagai berikut (Vellios & Kirkpatrick, 2008):

1. Jika memungkinkan, lakukan pengukuran sebelum dan sesudah

pelatihan untuk melihat apa saja yang telah berubah.

2. Sediakan cukup waktu agar perubahan dapat muncul.

3. Dapatkan informasi dari peserta sendiri dan dari orang-orang yang

terkait dengan peserta.

4. Dapatkan sampel dari peserta untuk dievaluasi. Semakin banyak

(51)

d. Level 4: Evaluasi Hasil

Evaluasi hasil yang merupakan evaluasi level keempat membundel

evaluasi tiga level sebelumnya dan berfungsi untuk melihat hasil yang

dicapai dengan fasilitasi pelatihan yang telah diadakan (Kirkpatrick 1996,

2004; 2006a; 2006b; Nelson & Dailey,1998; Hubbard, 2001; Vellios &

Kirkpatrick, 2008).

Cara mengaplikasikan evaluasi level keempat ini adalah dengan

pedoman sebagai berikut (Vellios & Kirkpatrick, 2008):

1. Lakukan pengukuran sebelum dan setelah pelatihan.

2. Sediakan cukup waktu agar hasil dapat muncul.

3. Ulangi evaluasi pada saat-saat yang tepat.

4. Puaslah dengan petunjuk yang ada jika tidak memungkinkan adanya

bukti.

2. Faktor-faktor Penentu Efektivitas Pelatihan

Tjia (2006; dalam Hutomo, 2008) menjelaskan lima faktor penentu

efektivitas program pelatihan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Fasilitator/Trainer

Peran fasilitator/trainer sangat penting dalam pelaksanaan program

pelatihan karena merupakan orang yang memfasilitasi proses belajar dalam

pelatihan tersebut. Karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh fasilitator

dapat mempengaruhi persepsi peserta sehingga berimbas pada kredibilitas

fasilitator dan tingkat partisipasi peserta. karakteristik-karakteristik

tersebut antara lain pengalaman, penguasaan materi, tingkat kepercayaan,

(52)

1991; dalam Hutomo, 2008). Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan oleh fasilitator:

1. Menghindari sikap arogan dan superior dalam presentasi.

2. Bersikap terbuka terhadap segala pertanyaan dan komentar dari

peserta.

3. Memotivasi peserta untuk mengetahui lebih banyak dengan bertanya.

4. Terlibat dengan peserta, memanggil nama, menjaga kontak mata dan

senyum.

5. Memiliki rasa humor dan cerita.

b. Peserta

Sifat dan tipe kepribadian, motivasi, kebutuhan, usia, dan tingkat

pendidikan peserta mempengaruhi efektivitas pelatihan. Efikasi diri

peserta juga mempengaruhi efektivitas pelatihan (Alvarez, Salas, dan

Garofano, 2004).

c. Topik Pelatihan

Topik pelatihan harus merupakan kebutuhan peserta yang didasarkan

pada training need analysis. Hal ini penting karena jika peserta tidak

membutuhkannya, maka peserta tidak akan termotivasi untuk belajar.

d. Metode Pelatihan

Tjia (2006; dalam Hutomo, 2008) merekomendasikan metode

experiential learning dan berorientasi pada pengajaran adult learner agar

efektivitas pelatihan dapat maksimal. Selain itu, pelatihan dibawakan

dengan cara yang mudah dipahami, jelas, menyenangkan, dan membuat

(53)

e. Lingkungan

Faktor lingkungan berupa tata ruang, jumlah peserta, dan sarana

prasarana pendukung dapat mempengaruhi efektivitas pelatihan. Tata

ruang dapat mempengaruhi interaksi dan respon peserta selama pelatihan.

Selain itu, sistem ventilasi, penerangan, akses masuk-keluar, tempat

duduk, dan lain-lain juga dapat mempengaruhi efektivitas pelatihan.

Jumlah peserta sebaiknya berkisar antara 16 sampai 24 orang. Lebih dari

itu, peserta akan cenderung merasa tidak nyaman. Kurang dari itu, peserta

juga akan cenderung merasa tidak nyaman kecuali jika sesama peserta

sudah terjalin keakraban sebelum pelatihan.

3. Pengertian Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan

Lima karakteristik wirausahawan secara konseptual dan teoritis dapat

dilatihkan dengan cara-cara yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena

itu, karakteristik wirausahawan juga dapat dilatihkan secara keseluruhan.

Pelatihan tersebut akan mengembangkan lima karakteristik wirausahawan

dengan mempertimbangkan faktor-faktor penentu efektivitas pelatihan yaitu

fasilitator, peserta, topik, metode, dan lingkungan. Hal tersebut diharapkan

dapat membuat peserta puas setelah mengikuti pelatihan, ada perubahan

pengetahuan, dan ada perubahan perilaku sehingga Pelatihan Pengembangan

Karakteristik Wirausahawan dapat dikatakan efektif.

D. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan pada Mahasiswa

Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan merupakan suatu

(54)

dampak dari pelatihan ini dapat terasa di masyarakat dan sungguh dapat

membawa perubahan yang berarti.

Subyek mahasiswa dipilih karena mahasiswa dianggap sebagai agent of

change (Inisiasi Sanata Dharma, 2006) yang dapat merubah nasib bangsa. Secara

kognitif, mahasiswa yang merupakan kaum terpelajar dianggap lebih

dibandingkan dengan orang-orang yang tidak menepuh pendidikan sampai

perguruan tinggi sehingga diharapkan dapat membawa perubahan tersebut.

Dengan demikian, mahasiswa layak diberi pelatihan ini supaya mereka dapat

membuat gerakan yang memperbaiki nasib bangsa.

Pelatihan ini diberikan kepada subyek mahasiswa dengan penyesuaian

tertentu. Penyesuaian tersebut yaitu bahasa yang digunakan sesuai dengan usia

perkembangan mahasiswa (tidak terlalu formal supaya keakraban dapat terbangun

antara trainer dan peserta). Selain itu, alat evaluasi yang digunakan merupakan

alat evaluasi yang khusus dibuat untuk subyek mahasiswa.

E. Pertanyaan Penelitian dan Hipotesis

Penelitian ini ingin melihat apakah Pelatihan Pengembangan Karakteristik

Wirausahawan efektif berdasar pada landasan teoritis yang telah disebutkan. Hal

tersebut dapat diketahui melalui tiga indikator, yang salah satunya adalah jawaban

dar pertanyaan penelitian secara deskripsi kuantitatif melalui statistik deskriptif

dan dua lainnya adalah hasil dari uji hipotesis. Ketiga indikator tersebut yaitu:

Pertanyaan Penelitian : Apakah peserta puas setelah mengikuti Pelatihan

Pengembangan Karakteristik Wirausahawan?

H1 : ada perbedaan yang signifikan antara gain score tes materi dari kelompok

eksperimen dan kontrol di mana gain score tes materi kelompok eksperimen lebih

(55)

H2 : ada perbedaan yang signifikan antara gain score perilaku karakteristik

wirausahawan dari kelompok eksperimen dan kontrol di mana gain score perilaku

karakteristik wirausahawan kelompok eksperimen lebih tinggi dari kelompok

(56)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua desain, yaitu desain preexperimental design

dengan model one-shot case study untuk evaluasi reaksi dan desain true

experimental design dengan model pretest-posttest control group design untuk

evaluasi pembelajaran dan evaluasi perilaku.

Desain preexperimental design dengan model one-shot case study merupakan

desain penelitian dengan cara memberikan posttest pada subyek yang diberi

perlakuan (berupa pelatihan) (Creswell, 1994). Desain ini digunakan karena

merupakan desain yang paling memungkinkan untuk dikenakan pada evaluasi

reaksi. Notasi eksperimen dari desain penelitian ini adalah sebagai berikut

(diadaptasi dari Creswell, 1994):

KE X Y

Keterangan:

KE = kelompok eksperimen

Y = pengukuran

X = perlakuan berupa pelatihan

Desain true experimental design dengan model pretest-posttest control group

design merupakan sebuah desain klasik dengan random assignment pada dua

kelompok di mana salah satu kelompok mendapat perlakuan (berupa pelatihan)

kemudian kedua kelompok diberikan pretest dan posttet (Creswell, 1994). Desain

ini digunakan untuk evaluasi pembelajaran dan evaluasi perilaku karena memiliki

(57)

eksperimental yang baik. Notasi eksperimen dari desain penelitian ini adalah

sebagai berikut (diadaptasi dari Creswell, 1994):

KK Y1, Y2 pre Y1, Y2 post R

KE Y1, Y2 pre X Y1, Y2 post

keterangan:

R = random assignment KK = kelompok kontrol

KE = kelompok eksperimen

Ypre = pengukuran sebelum perlakuan

X = perlakuan berupa pelatihan

Ypost = pengukuran setelah perlakuan

B. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini ada tiga, yaitu variabel bebas, variabel

tergantung, dan variabel ekstraneous sebagai berikut:

1. Variabel Bebas

Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan

2. Variabel Tergantung

a. Reaksi peserta terhadap Pelatihan Pengembangan Karakteristik

Wirausahawan

b. Pengetahuan peserta terhadap materi Pelatihan Pengembangan

Karakteristik Wirausahawan

(58)

3. Variabel Ekstraneous

Pengalaman peserta dalam melakukan kegiatan wirausaha berpengaruh

terhadap penelitian ini. Mereka yang pernah berwirausaha memiliki

kemungkinan mempelajari karakteristik wirausahawan secara tidak langsung

dari pengalaman mereka. Pada mahasiswa, pengalaman tersebut dimiliki oleh

mahasiswa dari Fakultas Ekonomi yang wajib mengambil mata kuliah

kewirausahaan sehingga memiliki pengalaman berwirausaha. Maka, program

studi peserta dikontrol dengan cara constancy, yaitu menyamakan program

studi peserta (Solso, Johnson, dan Beal, 1998).

C. Definisi Operasional

1. Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan

Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan merupakan

pelatihan yang melatihkan lima komponen karakteristik wirausahawan.

Pelatihan ini terdiri dari lima modul yang dibagi dalam sesi-sesi selama satu

hari masa pelatihan sesuai dengan rancangan pelatihan. Modul pertama adalah

mengenai proaktivitas, modul kedua mengenai visi, modul ketiga mengenai

kepercayaan diri, modul keempat mengenai kebutuhan berprestasi, dan modul

kelima mengenai kreativitas.

2. Efektivitas Pelatihan Pengembangan Karakteristik Wirausahawan

a. Efektivitas Pelatihan

Efektivitas pelatihan di sini berarti melihat efektivitas dari Pelatihan

Pengembangan Karakteristik Wirausahawan dari evaluasi pelatihan

menurut Kirkpatrick’s Four-Level Model. Evaluasi yang digunakan hanya

(59)

perilaku. Sedangkan untuk evaluasi hasil dalam penelitian ini tidak

dilakukan karena evaluasi hasil memakan waktu yang relatif lama untuk

diketahui sedangkan waktu penelitian ini terbatas.

b. Level 1: Evaluasi Reaksi

Evaluasi reaksi akan diukur menggunakan form evaluasi reaksi yang

melihat empat komponen, yaitu fasilitator, metode pelatihan, topik

pelatihan, dan lingkungan. Form evaluasi reaksi akan dijelaskan lebh

lanjut dalam sub bab form evaluasi reaksi.

c. Level 2: Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi pembelajaran akan diukur menggunakan from evaluasi

pembelajaran. Evaluasi pembelajaran di sini secara khusus melihat

pengetahuan peserta setelah proses pelatihan, maka evaluasinya

menggunakan tes prestasi sesuai dengan saran dalam Vellios &

Kirkpatrick (2008). Pengukuran pengetahuan tanpa pengukuran perubahan

sikap dan performansi dalam evaluasi pembelajaran merupakan hal yang

umum dilakukan (Kirkpatrick 1996, 2004; 2006a; 2006b; Nelson &

Dailey,1998; Hubbard, 2001; Vellios & Kirkpatrick, 2008). Selain itu,

alasan tidak diukurnya pengukuran perubahan sikap dan performansi

karena diperlukan jeda waktu beberapa saat setelah pelatihan untuk dapat

melihat hal tersebut. Sedangkan untuk pengukuran pengetahuan dapat

segera dilakukan karena perubahan pengetahuan terjadi secara kognitif dan

tidak memerlukan jeda waktu yang lama setelah pelatihan.

d. Level 3: Evaluasi Perilaku

Evaluasi perilaku akan diukur menggunakan form evaluasi perilaku

Gambar

Tabel 2.1. Karakteristik Wirausahawan
Gambar 3.1. Siklus Pembelajaran Eksperiensial
Tabel 3.1. Blue-print Form Evaluasi Reaksi
Tabel 3.2. Blue-print Tes Pengetahuan Materi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil akhir dari penelitian ini adalah membuat suatu sistem yang dapat membantu para pembuat keputusan untuk menentukan solusi pemilihan jenis mobil yang optimal

Dari uraian hasil wawancara dengan seluruh informan penelitian, serta data yang diperoleh dari KPU Kabupaten Sigi dan pendapat akhli yang relevan dengan

Perbedaan waktu dari proyek Bangunan Pergudangan Double dapat diketahui dari besarnya nilai TV (Time Varians/Variasi Waktu). Kecenderungan waktu pelaksanaan selama masa

Hal ini bertujuan agar proses temu kembali arsip tersebut dapat berjalan dengan baik, sehingga arsip tersebut dapat disimpan, ditemukan dan digunakan kembali oleh

Pemberian motivasi biasanya akan diikuti dengan peningkatan produktivitas kerja dan disiplin kerja yang baik sebagai pendorong bagi karyawan untuk tetap bekerja pada

Segala puji hanyalah milik Allah SWT semata yang telah memperkenankan penulis menyelesaikan penelitian dan menuangkan hasilnya dalam bentuk tesis yang berjudul “ Model Investasi

Syukur Alhamdulillah dan Subhanallah atas segala rahmat, karunia Allah SWT, sehingga penulis memiliki kekuatan, kesabaran, dan kepercayaan untuk menyelesaikan tugas