• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Agraria a. Pengertian Hukum Agraria

Keberadaan Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang kita cita-citakan. Hukum agraria yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat akan tercapainya cita-cita tersebut.

Pengertian hukum agraria dalam UUPA dapat dilihat dalam arti luas dan sempit, Pengertian hukum agraria secara luas dapat diliat dari beberapa kelompok hukum hal ini dikarenakan hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum, tetapi mengatur juga hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Secara luas pengertian hukum agraria dapat dibagi menjadi (Boedi Harsono, 2008:8):

1) Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi;

2) Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;

3) Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan;

(2)

4) Hukum Perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;

5) Hukum Penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan “space law”), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

Sedangkan secara sempit pengertian hukum agraria merupakan hukum tanah, hukum tanah adalah hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi. Pengertian mengenai tanah yang dimaksud sebagai permukaan bumi sendiri dapat dilihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUPA:

“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Dari pengertian yang dimaksud oleh Pasal 4 ayat (1) dapat dilihat bahwa yang dimaksud tanah oleh pembentuk undang-undang adalah permukaan bumi. Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar (Boedi Harsono, 2008:18).

Menurut beberapa pakar, pengertian hukum agraria adalah (Boedi Harsono, 2008:14-15):

1) Subekti

Hukum Agraria adalah keseluruhan dari pada ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata, maupun hukum tata negara (staatsrecht) maupun pula hukum tata usaha negara (administratif recht) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.

(3)

2) E. Utrecht

Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka itu.

3) Gouw Giok Siong (Sudargo Gautama)

Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan pula dengan, tetapi tidak melulu mengenai tanah, misalnya persoalan tentang jaminan tanah untuk hutang, seperti ikatan kredit, atau ikatan panen, sewa-menyewa antar golongan, pemberian izin untuk peralihan hak-hak atas tanah dan barang tetap dan sebagainya.

4) S.J Fockema Andreaae

Hukum agraria adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu. 5) J. Valkhoff

Hukum Agraria adalah bukan semua ketentuan hukum yang berhubungan dengan pertanian, melainkan hanya yang mengatur lembaga-lembaga hukum mengenai penguasaan tanah.

6) G. Aksenyonok

Agraria dirumuskan sebagai cabang hukum yang mandiri dari Hukum Soviet Sosialis, yang mengatur seluruh hubungan hukum yang timbul dari nasionalisasi tanah sebagai milik negara.

2. Tinjauan Umum Tentang Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA a. Pengertian Hak Atas Tanah

(4)

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”.

Kemudian didalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut:

1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 “bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:

a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum dan

antar orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar

orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dari bunyi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUPA dapat disimpulkan bahwa hak menguasai tanah oleh negara bukan berarti memiliki tetapi mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan atas tanah dan mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah.

Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

1) Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas

(5)

permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai orang-orang lain serta badan-badan hukum.

2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini

memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang

bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Dari bunyi Pasal (4) ayat (1) dan ayat (2) UUPA dapat disimpulkan bahwa:

a) Atas dasar dari hak menguasai negara ditentukan macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah;

b) Hak atas tanah adalah wewenang untuk mempergunakan tanah

termasuk tubuh bumi, air serta ruang angkasa yang ada diatasnya sekedar diperuntukkan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas-batas yang ditentukan menurut Undang-undang.

Yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya (Sudikno Mertokusumo, 4:1988). Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, pabrik. Kata “mengambil manfaat” mengandung perngertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan, perternakan, perkebunan.

Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 yaitu (Sudikno Mertokusumo, 45:1988):

(6)

1) Wewenang umum

Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga bumi, air, dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan

untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

2) Wewenang khusus

Wewenang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan/ atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha hanya untuk kepentingan usaha di bidang pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.

Menurut Sudargo Gautama wewenang yang dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (2) berisi hak dan kewajiban pada setiap orang yang mempunyai hak atas tanah, adapun kewajiban-kewajiban yang dimaksud adalah sebagaimana yang diatur dalam UUPA yaitu antara lain (Sudargo Gautama, 1997:117):

1) Kewajiban yang ditetapkan dalam Pasal 6 UUPA yang menyatakan

bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial. Definisi di atas menimbulkan (3) komponen atau unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu: pertama, fungsi sosial hak atas tanah berkaitan dengan pemanfaatan tanah yaitu proses penggunaan tanah yang dapat memberikan nilai manfaat atau keuntungan secara ekonomis dan sosial; Kedua, keseimbangan antara kepentingan individu

(7)

pemilik hak atas tanah dengan kepentingan masyarakat, sebagai salah tujuan dari setiap pemanfaatan hak atas tanah; Ketiga, keseimbangan antara kepentingan untuk mengoptimalkan capaian hasil produksi dengan kepentingan pemeliharaan sumberdaya tanah (Nurhasan Ismail dkk, 2010:362). Dalam hal ini hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidak dibenarkan tanahnya itu dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Jadi kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

2) Kewajiban dalam Pasal 10 UUPA yakni kewajiban mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanah pertanian. Dalam Pasal 10 ini menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengusahakan sendiri secara aktif dapat mencegah cara-cara pemerasan. Yang dimaksudkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif bukan berarti segala pekerjaan ini dilakukan sendiri tetapi yang mempunyai hak atas tanah pertanian itu diwajibkan secara langsung turut serta dalam proses produksi dimana tenaga buruh diperbolehkan tetapi juga harus dicegah praktek pemasaran.

3) Kewajiban dalam Pasal 15 UUPA yakni kewajiban memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan serta mencegah kerusakan yang merupakan kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan dengan tanah dengan memperhatikan pihak-pihak ekonomi lemah.

4) Kewajiban dalam Pasal 18 UUPA yang menyatakan bahwa hak-hak atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum. Dalam hal ini pencabutan hak dilakukan demi kepentingan umum yaitu

(8)

termasuk kepentingan bangsa dan negara, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

5) Kewajiban dalam Pasal 19 UUPA yang menyatakan pendaftaran tanah adalah perlu demi kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Pasal 19 ini ditujukan kepada pemerintah agar seluruh Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bertujuan menjamin kepastian hukum.

b. Macam-Macam Hak Atas Tanah

Pasal 4 ayat (2) UUPA menyatakan:

“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini

memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang

bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi”

UUPA merumuskan secara tegas dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) bahwa yang dinamakan permukaan bumi yang dapat diberikan hak atas tanahnya kepada subyek hukum adalah tanah. Namun selain terhadap permukaan bumi, terdapat hak yang secara khusus diberikan oleh UUPA melalui Pasal 4 ayat (2) bahwa kepada pemegang hak atas tanah yaitu juga dapat mempergunakan pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar dipergunakan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah.

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk. Pertama hak-hak atas tanah yang bersifat primer. Kedua hak-hak atas tanah yang bersifat skunder. Pengertian hak-hak atas tanah primer adalah hak-hak atas tanah

(9)

yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya. Dalam UUPA terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu (Supriadi, 2009:4):

1) Hak Milik atas tanah (HM);

2) Hak Guna Usaha (HGU);

3) Hak Guna Bangunan (HGB);

4) Hak Pakai (HP).

Selain hak primer atas tanah di atas, terdapat pula hak atas tanah yang bersifat sekunder. Pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat skunder adalah hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan bersifat sementara, karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, lagi pula hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu (Supriadi, 2009:4):

1) Hak Gadai;

2) Hak Usaha Bagi Hasil;

3) Hak Menumpang;

4) Hak Menyewa Atas Tanah Pertanian.

Selain hak-hak primer yang disebutkan diatas, sebenarnya dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA masih ada beberapa hak lagi, diantaranya adalah Hak Sewa, Hak Membuka Tanah dan juga Hak Memungut Hasil Hutan. Namun ketiga hak tersebut tidak dikatagorikan sebagai hak primer adalah karena pada hak sewa tanah yang dipakai dalam hal melakukan kegiatan yang berkaitan dengan tanah adalah bukan menggunakan tanah sendiri melainkan menggunakan tanah milik orang lain. Sedangkan untuk hak membuka tanah dan memungut hasil hutan si pemilik hak bukanlah orang yang secara langsung mempunyai hak milik atas tanah yang bersangkutan hal tersebut tertera dalam ketentuan Pasal 46 ayat (2) UUPA.

(10)

Berdasarkan konsep hak atas tanah sebagaimana di atas, penulis akan membahas lebih lanjut mengenai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Guna Usaha dengan lebih menjelaskan lebih dalam mengenai Hak Guna Bangunan dan Hak Milik yang dipilih penulis sebagai objek kajian skripsi

1) Hak Milik

a) Pengertian Hak Milik

Pengertian Mengenai hak milik dalam UUPA dapat dilihat dalam Pasal 20 ayat (1) yang menyebutkan:

“Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6”.

Penjelasan Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hak lainya adalah karena ada kata-kata terkuat dan terpenuh. Jadi, sifat khas dari hak milik ialah hak yang turun-menurun, terkuat dan terpenuh. Hak milik mempunyai sifat turun-menurun artinya dapat diwarisi oleh ahli waris yang mempunyai tanah, hal ini berarti hak milik tidak ditentukan jangka waktunya. Sifat terkuat dari hak milik berarti hak itu tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Sedangkan arti terpenuh adalah hak milik itu memberikan wewenang yang paling luas kepada yang mempunyai hak juka dibandingkan dengan hak-hak yang lain, hak milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya, artinya seseorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang dari hak milik: menyewakan, membagihasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai (Adrian Sutedi, 2010: 60-61).

(11)

Hak Milik mempunyai ciri-ciri tertentu yaitu sebagai berikut (Notonagaro, 1974:79):

(1) Merupakan hak atas tanah yang kuat. Bahkan, menurut Pasal 20 UUPA adalah yang terkuat, artinya mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain; (2) Merupakan hak turun-temurun dan dapat beralih, artinya

dapat dialihkan pada ahli waris yang berhak;

(3) Dapat menjadi hak induk, tetapi tidak dapat berinduk pada hak-hak atas tanah lainnya. Ini berarti bahwa hak milik dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya, seperti Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menampung.

(4) Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hypotik atau credietverband;

(5) Dapat dialihkan yaitu dijual, ditukar dengan benda lain, dihibahkan dan diberikan dengan wasiat;

(6) Dapat dilepas oleh yang punya, sehingga tanahnya menjadi milik negara;

(7) Dapat diwakafkan;

(8) Si pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali

ditangan siapapun benda itu berada.

b) Subyek Hak Milik

Pihak-pihak yang dapat menjadi pemegang Hak Milik sudah dijelaskan dalam ketentuan Pasal 21 UUPA. Dalam ketentuan Pasal 21 menyatakan:

(1) Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak

milik.

(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang

(12)

(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan

setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan

kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung

(4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan

Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.

Ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) sudah merumuskan secara tegas bahwa hanya Warga Negara Indonesia tunggal yang dapat mempunyai Hak Milik, hal ini seseuai dengan asas kebangsaan yang tersebut dalam Pasal 1. Sedangkan untuk badan-badan hukum yang dapat memiliki tanah hanya terbatas pada badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial, keagamaan dan ekonomi, sepanjang badan hukum tersebut

menggunakan tanah untuk usahanya dibidang sosial,

keagamaan dan ekonomi itu.

Berkaitan dengan badan-badan hukum yang dapat menjadi subyek Hak Milik, pengaturannya terdapat dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 1963. Badan-badan yang ditunjuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas

(13)

Tanah Tahun 1963, yang terdiri dari (Kartini Muljadi, 2004:31-32):

(1) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut bank negara);

(2) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang

didirikan berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara tahun 1958 nomor 139);

(3) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri

Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;

(4) Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri

Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri

Kesejahteraan Sosial. c) Cara terjadinya Hak Milik

Terjadinya suatu hak milik pengaturannya terdapat dalam ketentuan Pasal 22 UUPA. Pasal 22 UUPA menyatakan:

(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena:

(a) Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

(b) Ketentuan undang-undang.

Dari ketentuan dalam Pasal 22 UUPA, dapat diketahui bahwa ada tiga hal yang dapat merupakan atau menjadi dasar lahirnya Hak Milik atas tanah (Kartini Muljadi, 2004:31-32) yaitu:

(1) Menurut hukum adat, yang diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah. Sehubungan dengan ketentuan ini perlu

(14)

diketahui bahwa hingga saat ini, Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum pernah diterbitkan sama sekali.

Terjadinya hak atas tanah menurut hukum adat lazimnya bersumber pada pembukuan hutan yang merupakan bagian tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Pembukuan hutan secara tidak teratur merugikan masyarakat dan negara (Eddy Ruchiyat, 1999:48);

(2) Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah, harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan UUPA;

(3) Karena ketentuan undang-undang. Terhadap ketentuan ini, hingga saat ini juga belum pernah diterbitkan suatu Undang-undang tentang Hak Milik sebagaimana juga diamanatkan dalam Pasal 50 ayat (1) UUPA.

d) Hapusnya Hak Milik

Pengaturan mengenai hapusnya hak milik dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 27 UUPA. Pasal 27 UUPA menyatakan: Hak milik hapus bila:

(1) Tanahnya jatuh kepada negara:

(a) Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;

(b) Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; (c) Karena diterlantarkan;

(d) Karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2;

(2) Tanahnya musnah.

2) Hak Guna Bangunan

a) Pengertian Hak Guna Bangunan

Pengertian hak guna bangunan dapat dilihat dalam ketentuan pasal 35 UUPA yang menyatakan:

(15)

(1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

Penjelasan yang terdapat pada Pasal 35 UUPA dapat disimpulkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat diberikan bukan untuk tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai oleh negara dapat pula atas tanah hak milik.

b) Jangka Waktu Hak Guna Bangunan

Jangka waktu hak guna bangunan dapat ditemukan ketentuannya dalam Pasal 35 UUPA. Pasal 35 UUPA menyatakan bahwa:

(1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

(2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

Pasal 35 UUPA menyebutkan bahwa dalam hal pemberian hak guna bangunan dapat diberikan dalam jangka waktu sampai dengan masimum 50 tahun lamanya dengan mengingat kepeluan serta keadaan bangunannya.

Selain dalam UUPA pengaturan lebih lanjut mengenai jangka waktu hak guna bangunan juga terdapat dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996 menyatakan:

(16)

“Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama”

c) Subjek Hak Guna Bangunan

Hanya warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia serta berkedudukan di Indonesia yang dapat memperoleh Hak Guna Bangunan, sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) UUPA, yang berbunyi sebagai berikut:

Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah:

1) Warga Negara Indonesia.

2) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia

dan berkedudukan di Indonesia.

Dari Pasal 36 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa hal yang sama seperti dalam Pasal 30 ayat (1) UUPA mengenai subjek Hak Guna Usaha, yaitu bahwa Hak Guna Bangunan dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Badan Hukum yang tidak didirikan menurut hukum Indonesia ataupun tidak berkedudukan di Indonesia tidak diperbolehkan memiliki Hak Guna Bangunan, walaupun memiliki perwakilan Indonesia.

(17)

d) Terjadinya Hak Guna Bangunan

Diatur dalam Pasal 37 UUPA yang berbunyi: Hak Guna Bangunan terjadi:

(1) Mengenai tanah yang dikuasai oleh negara: karena penetapan pemerintah.

(2) Mengenai tanah milik, karena perjanjian yang

berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan tersebut.

Dari Pasal 37 UUPA dapat disimpulkan bahwa Hak Guna Bangunan yang tanahnya dikuasai negara terjadi karena penetapan pemerintah artinya diberikan dengan suatu surat keputusan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Sedangkan Hak Guna Bangunan mengenai tanah Hak Milik terjadi karena perjanjian berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak tersebut, yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

e) Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan

Menurut Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menentukan bahwa pemegang Hak Guna Bangunan berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama jangka waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak

tersebut kepada pihak lain dan membebaninya

(18)

Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban:

1) Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara

pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.

2) Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan dan

persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya.

3) Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya, serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.

4) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan degan Hak

Guna Bangunan kepada negara, pemegang Hak

Pengelolaan, atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus.

5) Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada kepala kantor pertanahan.

6) Memberikan jalan keluar, jalan air, atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Guna Bangunan tersebut. (Richard Eddy, 2010;11)

f) Hapusnya Hak Guna Bangunan

Diatur dalam Pasal 40 UUPA yang berbunyi sebagai berikut:

Hak Guna Bangunan hapus karena: (1) Jangka waktu berakhir.

(2) Dihentikan sebelum jangka waktu berakhir karena sesuatu yang tidak dipenuhi.

(3) Dilepasakan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir.

(4) Dicabut untuk kepentingan umum.

(19)

(6) Tanahnya musnah.

(7) Ketentuan Pasal 36 ayat (2).

Dari Pasal 40 UUPA dapat disimpulkan sebagai berikut:

(1) Hak Guna Bangunan diberikan untuk jangka waktu tertentu, maka pada suatu ketika pasti akan berakhir. (2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut sebelum

ada peraturan umum yang mengatur Hak Guna Bangunan tersebut disebutkan dalam Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan yang bersangkutan.

(3) Hak Guna Bangunan yang dilepaskan oleh pemegang

haknya memerlukan Surat Keputusan penegasan dari Gubernur/Kepala Inspeksi Agraria

(4) Hak guna Bangunan yang dicabut untuk kepentingan umum dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur oleh Undang-undang.

(5) Jika tanah dengan Hak Guna Bangunan ditelantarkan, maka Hak Guna Bangunan tersebut dapat dibatalkan. (6) Hak Guna Bangunan juga dapat hapus jika tanahnya

musnah.

(7) Kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 36 ayat (2) adalah memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam Pasal 36 ayat (1) yaitu mengenai subjek dari Hak Guna Bangunan yang telah disebutkan sebelumnya.

g) Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan

Konsumen perumahan yang memegang Hak Guna Bangunan dapat melakukan perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanahnya itu, seperti mejual, menghibahkan, menukar, mewariskan, menjadikannya sebagai agunan.

(20)

Selain itu konsumen perumahan yang bersangkutan juga dapat memohon perpanjagan dan pembaharuan haknya. Sebagai suatu hak atas tanah yang mempunyai jangka waktu tertentu, Hak Guna Bangunan dapat hapus karena berbagai sebab, antara lain karena jangka waktunya berakhir, tapi Hak Guna Bangunan juga diberi kemungkinan untuk dapat diperpanjang atau diperbaharui sebelum jangka waktunya berakhir bila memenuhi persyaratan sebagai berikut (Maria S.W, 2001:111):

(1) Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai

keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak itu;

(2) Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;

(3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai subjek

Hak Guna Bangunan.

Bagi pemegang Hak Guna Bangunan juga diberi kemungkinan untuk meningkatkan hak atas tanahnya itu menjadi Hak Milik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Konsumen tak perlu ragu terhadap hak atas tanah, dalam hal ini Hak Guna bangunan, yang dibelinya. Pemahaman yang benar tentang macam-macam hak atas tanah dalam sistem hukum tanah nasional sangat diperlukan agar dapat mengurangi kesalah pahaman yang dapat meresahkan pemegang hak atas tanah bersangkutan.

3) Hak Pakai

a) Pengertian Hak Pakai

Pengertian hak pakai dapat ditemukan dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA yang menyatakan:

(21)

(1) Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Penggunaan Hak Pakai di dalam penjelasan Pasal 41 sering diperuntukan untuk gedung-gedung kedutaan Negara-negara Asing, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanah tersebut masih dipergunakan sesuai dengan surat pemberian haknya.

b) Subyek Hak Pakai

Ketentuan mengenai pihak yang dapat mempunyai hak pakai dapat kita lihat ketentuannya dalam Pasal 42 UUPA. Pasal 42 UUPA menyatakan:

Yang dapat mempunyai hak pakai ialah: (1) Warga negara Indonesia;

(2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

(3) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

(4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di

Indonesia.

Berdasarkan penjelasan Pasal 42 UUPA untuk gedung-gedung kedutaan Negara-negara Asing dapat diberikan pula hak pakai, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk itu. Orang-orang dan badan-badan hukum

(22)

asing dapat diberi hak pakai, karena hak ini hanya memberi wewenang yang terbatas.

Pengaturan lebih lanjut menganai subyek hak pakai terdapat dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 menyatakan bahwa :

Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah : (1) Warga Negara Indonesia;

(2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

(3) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan

Pemerintah Daerah;

(4) Badan-badan keagamaan dan sosial;

(5) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

(6) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di

Indonesia;

(7) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan

Internasional.

c) Jangka waktu Hak Pakai

Ketentuan mengenai jangka waktu hak pakai dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah . Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyatakan:

(1) Hak pakai sebagaimana dimaksud dalam pasal 42

diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk

(23)

jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.

Pemberian hak pakai ada yang tidak ditentukan jangka waktunya dalam penjelasan Pasal 45 menjelaskan bahwa mengingat penggunaan hak pakai dalam rangka yang terus berkelanjutan untuk keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan kantor lembaga pemerintah, untuk kantor perwakilan negara asing dan perwakilannya dan untuk keperluan melaksanakan fungsi badan keagamaan dan sosial.

d) Cara Terjadinya Hak Pakai

Ketentuan mengenai cara terjadinya hak pakai dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) UUPA. Pasal 41 ayat (1) UUPA menyatakan:

(1) Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Dari bunyi pasal tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa hak pakai dapat terjadi dengan surat keputusan oleh pejabat yang berwenang atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya.

e) Hapusnya Hak Pakai

Ketentuan mengenai hapusnya hak pakai dapat diliat dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 tahun

(24)

1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996 menyatakan:

(1) Hak pakai hapus karena:

a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;

b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang

Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir karena:

1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban

pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50, pasal 51 dan pasal 52;atau

2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau

kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam

perjanjian pemberian Hak Pakai antara

pemegang Hak Pakai dan pemegang Hak milik

atau perjanjian penggunaan Hak

Pengelolaan;atau

3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap.

c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;

d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20

tahun 1961; e. Diterlantarkan;

f. Tanahnya musnah;

(25)

4) Hak Guna Usaha

a) Pengertian Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha adalah salah satu hak yang keberadaannya diakui dalam ketentuan UUPA. Pengertian Hak Guna Usaha sendiri terdapat dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUPA yang menyatakan:

(1) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan” Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah. Hak Guna Usaha ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Apabila semua persyaratan yang ditentukan dalam permohonan tersebut dipenuhi, maka kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat dari Badan Pertanahan Republik Indonesia yang diberikan pelimpahan kewenangan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH ini wajib di daftarkan ke kantor pertanahan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Pendaftaran SKPH tersebut menandai lahirnya Hak Guna Usaha (Pasal 31 UUPA jo. Pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996).

Pasal 8 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1999 menetapkan bahwa kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi berwenang menerbitkan SKPH atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar. Jika luas tanah HGU lebih dari 200 hektar, maka wewenang peneribitan

(26)

Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1999 adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional. Permen Agraria/Kepala BPN no. 3 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan pendaftaran tanah tertentu. Dalam Pasal 7-nya dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi memberikan keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 1.000.000 m2 (satu juta meter persegi). Kalau luas tanahnya lebih dari 1.000.000 m2, maka yang berwenang memberikan Hak Guna Usaha adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia(Urip Santoso, 2012:102-103).

b) Subyek Hak Guna Usaha

Pihak-pihak yang dapat menjadi pemegang HGU sudah dijelaskan di dalam ketentuan Pasal 30 dan Pasal 31 UUPA. Dalam ketentuan Pasal 30 UUPA menyatakan:

(1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha ialah: a. Warga Negara Indonesia;

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Rumusan Pasal 30 ayat (1) UUPA kita dapat melihat bahwa undang-undang memperluas Subyek yang dapat dijadikan pemegang HGU. Selain orang perorangan undang-undang juga memungkinkan sebuah badan hukum untuk menjadi pemegang HGU, namun Undang-Undang memberi persyaratan bahwa badan hukum yang dapat menjadi pemegang HGU haruslah didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

(27)

Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap badan hukum, selama didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapatlah menjadi

pemegang HGU. Dengan ini berarti, dengan tidak

mempertimbangkan sumber asal dana yang merupakan modal dari badan hukum tersebut, selama badan hukum tersebut memenuhi kriteria yang ditentukan Undang-Undang maka badan hukum tersebut dapatlah menjadi pemegang HGU. Terhadap perusahaan-perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal, baik Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, harus diperhatikan terlebih dahulu ketentuan mengenai Izin Lokasi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999 tentang Izin Lokasi (Kartini Muljadi, 2004:161-162).

Selanjutnya dalam hal pemegang HGU tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah menyatakan:

(1) Pemegang Hak Guna Usaha yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Usaha itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.

(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Hak Guna Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara

(28)

c) Jangka Waktu Hak Guna Usaha

Jangka waktu pemberian HGU dapat ditemukan

ketentuannya dalam ketentuan Pasal 29 UUPA yang menyatakan:

(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.

(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.

(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun

Ketentuan pasal 29 UUPA kita dapat melihat bahwa undang-undang memberikan jangka waktu HGU selama 25 sampai dengan 35 tahun, selain itu undang-undang juga masih memberikan kemungkinan HGU tersebut dapat diperpanjang jangka waktunya paling lama sampai dengan 25 tahun.

Hak Guna Usaha dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum (selama-lamanya) enam puluh tahun, dengan ketentuan bahwa (Kartini Mujadi, 2004:153-154.):

a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan

baik oleh pemegang hak;

c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

d) Cara terjadinya Hak Guna Usaha

Ketentuan mengenai cara terjadinya hak guna usaha dapat diliat dalam ketentuan Pasal 31 UUPA. Pasal 31 UUPA menyatakan:

(29)

“Hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah”

e) Kewajiban Dan Hak Pemegang Hak Guna Usaha

Hak dan kewajiban dari Pemegang HGU dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 12 sampai Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996. Dalam Pasal 12 menyatakan:

(1) Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk:

(a) Membayar uang pemasukan kepada negara;

(b) Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan,

perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntakan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;

(c) Mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha

dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;

(d) Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;

(e) Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(f) Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha;

(g) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan

Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus;

(h) Menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah

(30)

(2) Pemegang Hak Guna Usaha dilarang menyerahkan pengusahaan tanah Hak Guna Usaha kepada pihak lain, kecuali dalam hal-hal diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f) Hapusnya Hak Guna Usaha

Ketentuan mengenai hapusnya Hak Guna Usaha diatur dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan:

Hak Guna Usaha hapus karena: (1) Jangka waktu berakhir;

(2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;

(3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka

waktunya berakhir;

(4) Dicabut untuk kepentingan umum;

(5) Diterlantarkan;

(6) Tanahnya musnah;

(7) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, ketentuan tersebut diperjelas kembali dengan rumusan sebagai berikut:

(1) Hak Guna Usaha hapus karena:

(a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya; (b) Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang

sebelum jangka waktunya berakhir karena :

1. Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban

(31)

ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14;

2. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

(c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

(d) Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20

tahun 1961; (e) Diterlantarkan;

(f) Tanahnya musnah;

(g) Ketentuan Pasal 3 ayat (2)

(2) Hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Presiden.

3. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah a. Pengertian Pendaftaran Tanah

Meskipun Undang-Undang Pokok Agraria mengatur pendaftaran tanah, namun tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah. Bengitu pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah, juga tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah.

Definisi pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang hanya meliputi; pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta

(32)

pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat (M. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, 18-19:2008).

Pengertian pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas stuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Dari pengertian pendaftaran tanah tersebut diatas dapat diuraikan unsur – unsurnya, yaitu (Urip Santoso, 13-14:2010):

1) Adanya serangkaian kegiatan

Adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain, berurutan menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan bagi rakyat.

Kegiatan pendaftaran tanah menghasilkan dua macam data, yaitu data fisik dan data yuridis. Data fisik adalah data keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain yang membeban-bebaninya.

2) Dilakukan oleh pemerintah

Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat merupakan tugas negara yang dilaksanakan oleh pemerintah bagi kepentingan

(33)

rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.

Instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah

adalah Badan Pertanahan Nasional, sedangkan dalam

pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

3) Secara terus-menerus, berkesinambungan

Menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan, yang sekali dimualai tidak aka nada akhirnya. Data yang sudah terkumpul dan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali menghasilkan tanda bukti hak berupa sertifikat.

4) Secara teratur

Menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, biar pun daya kekuatan pembuktiannya

tidak selalu sama dalam hukum negara-negara yang

menyelenggarakan pendaftaran tanah.

Peraturan yang mengatur pendaftaran tanah adalah Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Permen Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, Permen

Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999, Permen

Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999, dan sebagainya.

5) Bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun

Kegiatan pendaftaran tanah dilakukan terhadap Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Hak Tanggungan, dan Tanah Negara.

(34)

6) Pemberian surat tanda bukti hak

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat tanda bukti hak berupa sertifikat atas bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria.

7) Hak hak tertentu yang membebaninya

Dalam pendaftaran tanah dapat terjadi objek pendaftaran tanah dibebani dengan hak yag lain, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Atas Satuan Rumah Susun, dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak tanggungan, atau Hak Milik atas tanah dibebani dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.

b. Asas-Asas Pendaftaran Tanah

Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftran tanah dilaksanakan berdasarkan asas:

1) Asas Sederhana

Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

2) Asas Aman

Asas ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftran tanh itu sendiri.

3) Asas Terjangkau

Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.

(35)

4) Asas Mutakhir

Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya.

5) Asas Terbuka

Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik data yuridis yang benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

c. Tujuan Pendaftaran Tanah

Tujuan pendaftara tanah dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, adalah:

1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum

kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA. Kepastian mengenai letak tanah, batas-batas tanah, panjang dan lebar tanah ini disebut dengan kepastian mengenai objek hak atas tanah (Bachtiar Effendi, 21:1993).

Maka memperoleh sertifikat, bukan sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-undang (Boedi Harsono, 475:2003).

2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

(36)

3) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan yaitu Catur Tertib Pertanhan, meliputi Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah, dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Kelestarian Lingkungan Hidup.

d. Manfaat Pendaftaran Tanah

1) Manfaat Bagi Pemegang Hak

a) Memberikan rasa aman

b) Dapat mengetahui dengan jelas data fisik dan data yuridisnya

c) Memudahkan dalam pelaksanaan peralihan hak

d) Harga tanah menjadi lebih tinggi

e) Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan

f) Penetapan pajak Bumi dan Bangunan tidak mudah keliru

2) Manfaat bagi pemerintah

a) Akan terwujud tertib administrasi pertanahan sebagai salah satu program Catur Tertib Pertanahan

b) Dapat memperlancar kegiatan Pemerintahan yang berkaitan dengan

tanah dalam pembagunan

c) Dapat mengurangi sengketa di bidang pertanahan, misalnya

sengketa batas-batas tanah, pendudukan tanah secara liar. 3) Manfaat bagi calon pembeli atau kreditor

Bagi calon pembeli atau calon kreditor dapat dengan mudah memperoleh keterangan yang jelas mengenai data fisik dan data yuridis tanah yang akan menjadi objek perbuatan hukum mengenai tanah (Urip Santoso, 21:2010).

Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang bisa menjadi objek pendaftaran tanah adalah (Ulfia Hasanah, hal 3):

a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;

(37)

b) Tanah hak pengelolaan;

c) Tanah wakaf;

d) Hak milik atas satuan rumah susun;

e) Hak tanggungan;

(38)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar I

Bagan Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas suatu permasalahan hukum yaitu Peningkatan Hak Atas Tanah Dari Hak Guna Menjadi Hak Milik di Kabupaten Sukoharjo.

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat dijelaskan bahwa peraturan mengenai pertanahan sudah termuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Kemudian agar lebih jelas terhadap peraturan pertanahan dibuatlah peraturan khusus mengenai tanah di Indonesia dan

HAMBATAN

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat

UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria PP. No 24 Tahun1997 tentang Pendaftaran Tanah

PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak GunaBangunan, Dan Hak Pakai Atas Tanah

PP No. 38 Tahun 1963tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah

KMNA/KBPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian hak Milik Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan RumahSederhana (RS)

KMNA/KBPN No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal

PROSEDUR

PENINGKATAN HAK ATAS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI KABUPATEN SUKOHARJO

(39)

lahirlah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang didalamnya mengatur tentang hukum pertanahan di Indonesia yang disempurnakan dengan peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang lain oleh negara.

Hak Atas tanah di Indonesia ada bermacam-macam, diantaranya ada Hak Guna Bangunan, Hak Milik, Hak Pakai dan lain-lain. Hak atas tanah pada umumnya dapat ditingkatkan statusnya tanahnya. Disini penulis ingin mengetahui

bagaimana Pelaknasaan Peningkatan Hak atas tanah dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik. Pelaksanaan peningkatan hak atas tanah tentunya harus berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Peningkatan hak atas tanah dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik di Kabupaten Sukoharjo mengacu pada Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 dan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997. Dari

peningkatan hak atas tanah tersebut tentunya akan ditemukan hambatan. Hambatan yang dimaksud yaitu hambatan yang menghambatan pada saat

peningkatan hak atas tanah yaitu peningkatan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik di Kabupaten Sukoharjo.

Referensi

Dokumen terkait

(2003) bahwa gejala Phaeophleospora yang ditunjukkan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada

Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi sitotoksik dan pemacuan apoptosis FB yang didapat dari isolat 1.3.11 serta efek kombinasi perlakuan FB-doxorubicin pada sel

Tujuan Memorandum Saling Pengertian (MSP) ini adalah untuk membentuk kerjasama jangka panjang antara Para Peserta dan untuk memberikan kerangka bagi Para Peserta dalam

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa walau- pun kadar albumin urin pada ibu hamil dengan preeklampsia berat lebih tinggi dibanding ibu hamil normotensi namun tidak

Penyebaran industri mutiara ini semakin meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, tidak hanya terbatas pada daerah yang merupakan habitat asli kerang mutiara tersebut, tetapi

Masyarakat banyak tidak mematuhi aturan tersebut untuk menyalakan lampu kenderaan disiang hari dikarnakan kebiasaan penerapan budaya hukum yang berbeda antara yang

Dalam teknik wawancara peneliti akan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan strategi kepemimpinan kepala sekolah di SMP Darul Hijrah Puteri, dalam bentuk

Untuk mendapatkan informasi mengenai minat orang tua terhadap Vaksin MR setelah adanya putusan MUI, maka disini terdapat beberapa narasumber yang bersedia untuk