• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memandang dan Memperlakukan Alam dan Lingkungan secara Bersahabat - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Memandang dan Memperlakukan Alam dan Lingkungan secara Bersahabat - Test Repository"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Memandang dan Memperlakukan Alam dan Lingkungan secara Bersahabat

Zakiyuddin Baidhawy

Bumi makin meradang menanggung beban berat yang dipikulkan manusia di atas pundaknya. Hari demi hari adalah rintihan bumi pertiwi, seolah tidak kuasa isi perutnya terus diburai eksploitasi barang-barang tambang, seperti emas, perak, tembaga, bijih besi, minyak bumi dan gas alam; kulitnya terus dicabik alat-alat berat mengeruk pasir dan bebatuan. Sin saw dan kapak terus mencerabut rambutnya berupa hutan belantara dan pepohonan yang dulu tampak mekar dan subur.

Pohon meranggas, semak belukar terbakar, lahan gambut berasap, gunung gundul, sungai mengering, tanah tandus, banjir bandang, dan sebagainya, kini telah menjadi berita harian. Bencana alam datang silih berganti. Masih tergiang di telinga jerit tangis berjuta-juta manusia

menyaksikan kedahsyatan “dendam” alam yang tidak mampu lagi memendam derita karena ditindas, didedah, dipangkas, diinjak, diabaikan oleh makhluk bernama manusia. Setelah getaran gempa menggunjang bumi Aceh dan Nias, diikuti terjangan tsunami terdahsyat sepanjang satu abad lebih, dan dampak kehancurannya sangat fatal. Gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah menyerang dari balik punggung pada saat seluruh pandangan mata tertuju ke arah Gunung Merapi yang sedang membara. Banjir lumpur Sidoarjo menguak mengaramkan desa-desa di sekitarnya. Tsunami di sepanjang pantai Jawa Barat hingga DIY dan Jawa Tengah tak jengah menewaskan puluhan korban, menghancurkan infrastruktur, memporak porandakan pariwisata. Masih banyak bencana terus mengancam. Masih mungkin kerusakan alam muncul berselang waktu. Masih terbuka amuk alam mengoyak ketenangan dan kenyamanan hidup.

Kapankah semua ini akan berakhir? Ini merupakan pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Walau demikian, pertanyaan sederhana ini dapat memancing rasa ingin tahu manusia tentang sebab-sebab bencana, bagaimana menyikapi, serta apa yang dapat diperbuat manusia untuk mengantisipasi dan bahkan mengatasinya.

Penyebab Bencana: Memahami Nasib sebagai Ruang Dialektik

Sebagaimana Allah menciptakan makhluk pria dan wanita berjodoh-jodohan, semua yang terhampar di muka bumi juga berpasang-pasangan. Ada suka dan duka, lipur dan lara, senang dan sengsara, aman dan terancam, nyaman dan derita, tentram dan bencana. Ini adalah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Memang demikian adanya. Namun, apakah manusia sebagai wakil Allah di muka bumi, adalah makhluk yang menyerah begitu saja pada nasib yang sesungguhnya masih dapat dinegosiasi dengan berbagai kekuatan lain yang saling memengaruhi

“sesuatu”, termasuk di dalamnya bencana. Apakah manusia harus menerima bencana sebagai sesuatu yang murni dilahirkan kekuatan-kekuatan di luar dirinya, atau ia sendiri andil dalam pertelingkahan dengan kekuatan-kekuatan luar itu, termasuk kekuatan adikodrati yang disebut Tuhan?

al-Thabathaba'i menjelaskan ada tiga faktor penting yang tidak berdiri sendiri dalam persoalan perbedaan nasib yang diperoleh dan dialami manusia.1 Faktor penentu ketetapan mengenai nasib, termasuk di dalamnya rezeki dan penghidupan dunia (ma`i>shah) bukan di tangan manusia semata, apakah itu berupa kekayaan, kefakiran, kesehatan, jumlah anak, dan sebagainya. Ini bukan sepenuhnya karena Kehendak Allah. Faktor kehendak (ira>dah) dan usaha/kerja ('amal) dari manusia merupakan bagian dari sebagian sebab (al-asba>b al-na>qis}ah)

1

Penjelasan tentang al-Zukhruf 43:32 secara detail lihat tafsirnya al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n (Beirut:

(2)

untuk memperoleh apa yang dicari, meraih nasibnya sendiri. Di belakang kehendak dan usaha manusia, ada sebab-sebab natural (al-asba>b al-kawniyyah) yang merupakan faktor eksternal yang juga bekerja dalam menentukan nasib manusia.

Bencana alam seperti semburan lumpur panas di Sidoarjo, bukan semata Kehendak Allah yang menetapkan. Ada kontribusi manusia (human error) – kesalahan prosedur penambangan -- yang menyebabkan terjadinya semburan tersebut. Sementara hukum alam sudah mengatur proses kesinambungan sebab akibat di dalam dirinya sendiri. Ruang atau celah terbuka (yang diabaikan dalam proses penambangan gas tersebut) membuat lumpur yang terdorong gas, pasti akan keluar melalui celah tersebut.

Jadi, bekerjanya tiga faktor deteminan nasib di atas tidak menempatkan manusia sebagai makhluk yang terpaksa karena sepenuhnya Allah yang menentukan nasib. Ketentuan Allah (ira>dah Allah) bersama-sama dengan dua faktor lain – hukum alam (sunnatullah) dan usaha manusia (kasb)– berada dalam suatu framework determinasi nasib. Tidak ada salah satu dari tiga faktor itu yang dominan. Karena tiga faktor yang saling melengkapi inilah nasib manusia menjadi berbeda-beda sesuai dengan dialektika dan dinamika kesalingtergantungan yang berjalan. Inilah nasib yang dapat dicipta dan dinegosiasikan melalui “kun fayaku>n” sebagai proses dialektika tiga faktor yang telah disebut di muka.

Maqa>s>}id Keenam: H}ifz} al-Bi>’ah, Proteksi dan Konservasi Lingkungan

Pertanyaannya kemudian, apa yang dapat dipikirkan dan dilakukan manusia agar dampak dari eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang mungkin mendatangkan bencana seminimal mungkin dapat dihindarkan? Sumber daya alam dan lingkungan pada hakikatnya diciptakan Allah untuk manusia seluruhnya. Ia dapat mengeksplorasi sumber daya alam dan lingkungan untuk kebutuhan dan keinginannya, dan ini bukanlah hal buruk sejauh kebutuhan dan keinginan itu tidak akan membahayakan kelangsungan (sustainability) hidup dirinya dan masyarakat pada umumnya, serta spesies lainnya yang juga mempunyai hak hidup. Memenuhi dan memanfaatkan kebutuhan dan keinginan harus berada dalam kerangka dan batasan-batasan tertentu agar konsumsi atas sumber daya alam tidak melanggar "rambu-rambu ekologis dan kemanusiaan" dan menjamin keberlangsungan masa depan. Ini mensyaratkan adanya dimensi pertanggung jawaban manusia atas perilakunya kepada Allah yang Maha Kuasa. Dengan cara demikian, eksplorasi sumber daya alam dan lingkungan berkeadilan akan bersikap rasional dan mencari jalan yang benar-benar terbaik untuk memanfaatkan kekayaannya.

Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan tidak semata berorientasi keduniaan dan berjangka pendek, namun juga untuk memastikan kehidupan jangka panjang dan bekerja untuk kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan melalui suatu pengurangan dalam pemborosan dan eksploitasi yang tidak penting.

Perilaku ini harus berpijak pada prinsip keselamatan, yakni sustainability dan investasi masa depan secara kontinyu. Untuk itu, al-Qur’an menegaskan dalam beberapa ayatnya tentang berjuang untuk kesinambungan generasi dan masa depan, kemakmuran bumi dan sekaligus larangan melakukan kerusakan atas lingkungan.

(3)

"Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan perbuatannya untuk kepentingan masa depan, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat."2

Sumber daya yang berlimpah dapat disimpan dan pada saatnya dapat dialihkan untuk menambah produksi dan distribusi guna memenuhi kebutuhan barang-barang. Keyakinan pentingnya masa depan dan pertanggung jawaban Hari Akhir, dapat mencegah seseorang untuk memperkaya diri melalui sarana-sarana yang haram dan merugikan, dan ini berarti membantu orang lain dengan tidak menyembunyikan batas-batas peluang mereka dan tidak mencabutnya dari mata pencaharian mereka.

Dengan demikian, al-Qur'an mengedepankan suatu perspektif jangka panjang (long-term perspective) untuk tindakan produktif dan konsumtif manusia terhadap sumber daya tersebut. Al-Qur'an tidak menghendaki individu melupakan kepentingan mereka sendiri, namun karena sumber daya itu terbatas, sebagai khalifah manusia tidak layak bertindak ekstrem untuk menjadi manusia ekonomi (homo economicus) dan mengabaikan kelangsungan hidup ekologis dan kemanusiaan secara individual maupun sosial.

Visi kesinambungan generasi juga secara tegas dinyatakan oleh al-Qur’an:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan mereka

generasi yang lemah, yang mereka khawatir akan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu

hendaklah mereka takwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar.”3

Ayat ini bersama-sama beberapa ayat sebelum dan sesudahnya berbicara dalam konteks pokok-pokok hukum warisan. Pada ayat sebelumnya, ayat ke 8 surat al-Nisa>’, diungkapkan

tentang anjuran untuk memberikan sedekah sekadarnya kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, dan orang miskin yang tidak mendapatkan harta waris yang hadir dan menyaksikan pembagian harta waris orang yang meninggal dunia. Kehadiran mereka harus diterima dan tidak boleh dilarang. Jika harta waris yang dibagikan banyak maka berilah mereka bagian secukupnya. Namun jika harta waris itu sedikit, maka beri mereka sedikit bagian saja.4

Berkait dengan anjuran sedekah ini, bisa dimengerti bahwa tujuan utama pembagian harta waris itu sendiri sebenarnya adalah untuk mentransfer dan membagi kekayaan si mayit kepada ahli waris yang ditinggalkannya. Dengan cara ini, harta waris dapat memberikan akumulasi kekayaan yang bermanfaat bagi si penerima dan secara ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan. Bersedekah dan berwasiat dalam konteks harta waris diperkenankan, namun jangan sampai melebihi sepertiga bagian dari total harta atau kekayaan. Karena, sebagaimana dinyatakan dalam hadis riwayat Turmudzi di muka, berwasiat dan atau bersedekah sepertiga kekayaan sudah sangat banyak. Jangan sampai sedekah dan wasiat menyebabkan anak-anak dan keturunan yang tinggalkan menjadi miskin atau lemah secara ekonomi. Meninggalkan mereka dalam keadaan kaya dan kelangsungan kehidupan perekonomian yang terjamin jauh lebih baik daripada membiarkan mereka meminta-minta di kemudian hari.

Kedua, ayat-ayat berkaitan dengan prinsip konservasi lingkungan alam dan manusia. Prinsip tentang konservasi kehidupan ini tercermin dalam ungkapan larangan, yakni fasa>d fi

2

Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya…al-H}ashr 59:18, hlm. 919. 3

Ibid., al-Nisa>’ 4:9, hlm. 116.

4

(4)

ard} dan al-`ayth fi al-ard}. Ungkapan yang pertama tersebut dalam al-Qur’an sebanyak 51 kali. Ayat-ayat tersebut antara lain bicara dalam dua konteks: Pertama, ayat yang membincang tentang perlunya proteksi dan jaminan terhadap kehidupan kemanusiaan:

“Barangsiapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau

bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh semua manusia. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah ia telah

memelihara kehidupan semua manusia”5

Membunuh jiwa bi ghayr nafs adalah menghilangkan kehidupan seorang manusia tanpa sebab yang mewajibkan qisas atau tanpa sebab berbuat kerusakan di muka bumi yang dapat mengganggu keamanan dan ketentraman. 6 Pembunuhan semacam itu layak dipandang sebagai membunuh semua orang karena di hadapan Allah tidak ada perbedaan antara orang perorang, musuh bagi satu orang adalah musuh bagi masyarakat manusia secara menyeluruh. Demikian juga dengan perusak alam dan lingkungan hidup, mereka adalah “pembunuh” kehidupan ini. Sebaliknya orang yang menghidupkan manusia lain adalah mereka yang mengharamkan pembunuhan atas manusia atau mencegah terjadinya pembunuhan. Dengan demikian, tindakan mereka itu merupakan wujud pemberian kehidupan bagi semua manusia dengan cara memperluas jaminan keamanan dan ketentraman. Demikian pula para pejuang lingkungan hidup

adalah para “mujahid” yang telah menyelamatkan kehidupan bagi semua makhluk di muka bumi. Keterangan tentang ayat ini mengandung dua manifesto perlindungan atas hak asasi manusia paling fundamental: jaminan atas kebebasan setiap individu manusia untuk hidup (h}ifz} al-nafs) di muka bumi, sekaligus jaminan atas kehidupan bersama semua masyarakat manusia. Adalah antitesis kebenaran (h}aqq) segala tindakan merampas hak hidup individu dan kolektif manusia. Hanya dengan membiarkan mereka menikmati kebebasan hidup itu, maka kelangsungan kehidupan ini memperoleh kepastian.

Kedua, ayat-ayat yang mengupas keharusan untuk menjamin kesinambungan lingkungan alam, melalui ungkapan fasa>d fi al-ard} seperti:

"Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan manusia supaya Allah merasakan kepadanya sebagian dari akibat perbuatannya, agar mereka kembali ke jalan yang benar".7

Berbuat kerusakan di muka bumi itu banyak macamnya, mulai dari perbuatan syirik sebagai kerusakan terbesar, membunuh sesama manusia tanpa alasan yang benar, penguasa tiran yang suka merampas harta rakyatnya, dan seluruh tindakan yang membuat kehidupan di desa-desa dan kota-kota tidak nyaman dan aman bagi penghuninya.8

Ungkapan al-`ayth fi al-ard mengemukakan konsep yang juga tak kurang komprehensifnya berkenaan dengan apakah manusia mempunyai otoritas tak terbatas dalam menangani kekayaan (sumber daya alam dan lingkungan) atau tidak. Ada 4 ayat yang berkaitan

5Ibid.,

al-Ma>’idah 5:32, hlm. 164; lihat juga al-Baqarah 2:251, dan 220. 6

Wahbah al-Zuhaily, Tafsi>r al-Muni>r…vol. 6, hlm. 156.

7Ibid.,

al-Ru>m 30:41, hlm. 647; lihat juga al-Baqarah 2:11 dan 30, al-A`ra>f 7:56, 75, dan 127 Muh}ammad 47:22, Yu>suf 12:73, al-Ra`d 13:25, al-Kahf 18:94, al-Ma>’idah 5:64, dst.

8

(5)

dengan masalah ini.9 Salah satu ayat al-Qur'an tersebut mengecam kesewenang-wenangan kaum Syu'aib yang dapat melahirkan dampak buruk tidak hanya bagi pelaku namun juga keseluruhan sistem sosial-ekonomi. Secara jelas, ayat 85 dalam surat al-Hu>d menerangkan tindakan yang berujung pada akibat-akibat negatif bagi kehidupan dunia. janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu berbuat

kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”. 10

Dalam ayat ini, larangan berbuat kerusakan mengandung dua pengertian.11 Ungkapan wa la> ta`thaw dapat dimaknai sebagai al-`ayth yang artinya segala tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan di muka bumi dan perbuatan tersebut dapat ditangkap secara inderawi atau de facto. Dengan kata lain, meskipun belum ada aturan hukum yang secara eksplisit menyatakan suatu tindakan tertentu dapat dikategorikan dalam perbuatan merusak, namun jika pada kenyataannya menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan di muka bumi, maka tindakan tersebut harus dicegah atau dilarang. Lebih jauh dapat pula ditafsirkan bahwa suatu tindakan yang secara de jure memperoleh legitimasi, namun bila dari segi dampaknya de facto

merugikan, maka tindakan itu juga harus dicegah atau dilarang.

Ungkapan itu juga dipahami sebagai al-`athi>, yakni perbuatan-perbuatan yang jelas dapat

dikategorikan dapat menyebabkan kerusakan dan secara de jure termasuk dalam tindakan pelanggaran atas aturan hukum yang ada.

Dari segi dampaknya, al-Thabathaba’i memerinci tindakan-tindakan tersebut menjadi tiga kategori: kejahatan, eksploitasi dan penindasan baik secara ekonomi (ma>li>), atau secara

kehormatan (ja>hi>), atau secara artifisial (`aradi>).12

Pentingnya menjaga sustainablity generasi masa depan, dan proteksi atas lingkungan manusia dan lingkungan alam sebagaimana telah dibahas di depan, memperoleh penguatan

al-Qur’an berupa perjuangan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi,

seperti tersurat dalam ayat berikut: “Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan

kamu pemakmurnya”.13

Ayat ini menegaskan bahwa materi penciptaan manusia (Adam) kali pertama berasal dari tanah, manusia berikutnya tercipta dari air mani (nutfah) dengan seluruh proses evolusinya. Asal nutfah adalah darah dan darah berasal dari sari-sari makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Tumbuh-tumbuhan dan hewan juga hidup dari tanah. Karena itu logis jika manusia pula yang memiliki tanggung jawab memakmurkan bumi melalui berbagai macam aktivitas seperti pertanian, perkebunan, industri, dan pembangunan secara menyeluruh. Bumi pasti akan menerima semua tindakan pemakmuran yang bermanfaat baik bagi manusia itu sendiri maupun lingkungan alam umumnya.

9

Lihat QS. Al-Baqarah 2:60, al-A`ra>f 7: 74, Hu>d 11:85, dan al-Shu`ara>’ 26:183. 10

Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya… Hu>d 11:85-86, hlm. 340. 11

Lihat al-Thabathaba’i, al-Mi>za>n…juz 22, hal. 351, juga al-Raghib al-Asfahani, Mu`jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), hlm. 333.

12

Al-Thabathaba’i, al-Mi>za>n…ibid.

13

(6)

Semua ayat di muka adalah dasar bahwa perilaku eksplorasi sumber daya alam dan lingkungan perlu mempertimbangkan prinsip keenam dari maqa>s}id al-shari>`ah, yakni h}ifz} al-bi>’ah, yakni menjaga lingkungan secara menyeluruh – lingkungan kemanusiaan dan lingkungan alam – demi memelihara kesinambungan (sustainability) generasi dan menyelamatkan masa depan melalui tindakan pemakmuran bumi dan mencegah kerusakan baik secara de facto maupun de jure.

Al-T}ayyibah: Modal Pembangunan Bebas Korup dan Ramah Lingkungan

Membangun dan memakmurkan kehidupan di muka bumi merupakan tanggung jawab utama manusia. Tentu saja, pembangunan dan pemakmuran tidak mungkin berjalan tanpa memiliki modal. Setidaknya ada dua modal utama, yakni modal sumber daya insani (human capital, termasuk di dalamnya modal budaya, modal sosial) dan modal material.

Berkenaan dengan modal material, al-Qur’an menyebut istilah t}ayyiba>t. Kata ini mengandung pengertian khusus, yakni merujuk pada pemberian Allah yang diterima maupun

diperoleh dari benda dan dengan cara yang baik. Sesuatu dikatakan “baik” karena memenuhi

beberapa kriteria antara lain:

Pertama, baik dari sisi cara memproduksinya seperti ayat:

وَهُّقَ وَ وَ

وَ وْ مِ نَّاا

اوْ ُقَلوَ وَا

اوْ ُ مِ وْنوَا

وْ مِ

مِا وَبيِّ وَ

وْ ُ وْبوَ وَا وَ

نَّمِمِوَ

وَلوْجوَروْخوَا

وْ ُ وَا

وَ مِ

مِ وْ وَ وْا

“Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan

sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu”.14

Kedua, baik dari sisi kedudukan hukum barangnya itu sendiri: “Hai manusia, makanlah yang halal lagi baikdari apa yang terdapat di bumi”. 15

Ada kayfiyyah yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dalam soal mengais rezeki lebih-lebih rezeki itu untuk tujuan infak wajib dan mandu>b. Yakni melalui usaha-usaha yang bersih atau suci. Wajib hukumnya bagi manusia untuk memilih cara kerja yang jayyid (bagus) dan

h}asan (baik).16 Demikian pula modal yang dicari bukan termasuk barang yang kotor (al-khabi>th) atau haram, tidak mengandung unsur-unsur yang meragukan (shubh}at), tidak menyebabkan si pemakan terkena dosa, serta tidak berkaitan dengan hak orang lain, apalagi diperoleh dari merampas milik orang lain. Suatu modal (barang) termasuk t}ayyibah bila mana ia tidak menimbulkan akibat yang berbahaya baik terhadap jasmani, jiwa maupun akal,17 karena maqa>sid al-shari>`ah menghendaki terpeliharanya jiwa (h}ifz} al-nafs) dan akal (h}ifz} al-`aql).

Ketiga, bersih dan terbebas dari segala yang haram. Menurut al-Razi, t}ayyibah

menghendaki tidak boleh ada percampuran (ikhtila>t}) antara yang baik dan buruk, baik dalam cara

maupun unsur barangnya, dan terpisah dengan jelas antara yang halal dan haram.18

Keempat, sesuatu dikatakan t}ayyibah bila memenuhi kriteria pelestarian lingkungan hidup dengan tujuan untuk menghindarkan dari bencana ekologis (ecological cathastrophe).

14Ibid.,

al-Baqarah 2: 267, hlm. 67.

15Ibid.,

al-Baqarah 2:168, hlm. 41; juga lihat al-Ma>'idah 5:88; al-Anfa>l 8:69. 16

Lihat penjelasan Wahbah al-Zuhayli tentang ayat al-Baqarah 2:267 dalam Tafsi>r al-Muni>r fi> al-`Aqi>dah

wa al-Shari>`ah wa al-Manhaj (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), jilid 3, hlm. 60, dan Muhammad Husain al-Thabathaba'i,

al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n…jilid 2, hlm. 397.

17

Baca interpretasi Wahbah al-Zuhayli atas al-Baqarah 2:168 dalam Ibid., jilid 2, hlm. 73. 18

(7)

Manusia diperbolehkan memetik atau memanen hasil dari perkebunan, kehutanan, kelautan, peternakan, maupun pertanian yang dikelolanya untuk makan dan minum, serta mencukupi kebutuhan dasar mereka dengan cara yang sederhana. Tindakan mengeksploitasi bumi dan segala hasilnya tanpa memandang keseimbangan alam tidak saja merugikan manusia itu sendiri, sekaligus juga dapat merusak ekosistem daratan maupun lautan yang berakibat langsung pada kebinasaan dan bencana alam (`aqa>rib). Sebagai upaya preventif agar terhindar dari kiamat kecil (al-qiya>mah al-sughra>), manusia perlu memperhatikan hukum keseimbangan alam dan menjaga

kelestariannya demi generasi masa depan, sebagaimana ayat berikut:

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia."19

Berkaitan dengan human capital, sumber daya insani yang t}ayyibah berarti ia memiliki banyak kebaikan dan melahirkan banyak manfaat. Dalam al-Qur'an tersebut suatu perumpamaan mengenai suatu kalimat yang baik (kali>mah t}ayyibah) ibarat pohon unggul (shajarah t}ayyibah) yang dahannya menjulang ke langit dan rindang, akarnya menghunjam ke bumi dan kokoh. Pohon (baca: sumber daya insani) unggul semacam ini dapat memberi banyak kegunaan bagi mereka yang hendak berteduh dari panasnya mentari dan hujan. Di samping itu, t}ayyibah merupakan kata sifat yang dapat digunakan dalam banyak arti, seperti keindahan dan estetika.20

Dengan dua modal tersebut – modal material dan sumber daya insani yang t}ayyibah—

pembangunan dan pemakmuran akan menyuburkan kehidupan dengan limpahan berkah dari langit dan bumi, dan memelihara kehidupan yang ramah, baik terhadap lingkungan alam maupun lingkungan kemanusiaan secara universal.

Menciptakan Teknologi Ramah Lingkungan

Sumber daya alam dan lingkungan (material capital) dan sumber daya insani (human capital) sama pentingnya dalam proses produksi dalam kerangka memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Oleh karena kebutuhan harus terus tersedia sepanjang masa, proses produksi (eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan) perlu mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomi, utamanya faktor-faktor kelestarian sumber daya alam yang dapat menjamin kelangsungan dan kesinambungan spesies manusia dan non-manusia. Ekologi, dengan demikian, perlu berada di dalam kalkulasi aktivitas perekonomian dan pembangunan pada umumnya, utamanya produksi dan konsumsi. Rasionalitas ini menyadarkan bahwa efisiensi dalam aktivitas memproduksi dan mengonsumsi sumber daya adalah terbatas dan bergantung kepada kondisi-kondisi yang berada di luar dimensi pembangunan dan perekonomian itu sendiri. Melalui rasionalitas ini dapat ditemukan kenyataan bahwa usaha-usaha produksi untuk mengatasi kelangkaan yang bersifat relatif, bukan sebaliknya justru menyebabkan terjadinya kelangkaan yang sifatnya absolut dan tidak dapat diatasi. Bila yang terakhir terjadi maka produksi dapat menimbulkan kerusakan melebih dari apa yang diproduksi. Dengan kata lain, aktivitas produksi semacam ini mengangkangi keseimbangan ekologis dan atau menghancurkan sumber daya yang tidak dapat diperbarui (unrenewable resources) atau melakukan proses regenerasi kembali.

Jawaban atas masalah ini dengan cara meningkatkan produksi tambahan yang kompensasinya adalah peningkatan produksi dari bahan-bahan yang sudah langka akibat proses produksi sebelumnya, justru memperburuk situasi kelangkaan. Respon terhadap persoalan

19

QS. Al-Ru>m 30: 41. 20

Misal, lihat penafsiran Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi terhadap Ibra>hi>m 14:24 dalam Mah}a>sin

(8)

kelangkaan ini tidak berhasil diatasi oleh pertumbuhan, namun ia hanya dapat dijumpai dalam rasionalitas ekologis yang di dalamnya terdapat pembatasan dan pengurangan atas produksi material tanpa kendali. Artinya, proses produksi dalam rangka mengatasi kelangkaan bertumpu pada kelestarian dan keseimbangan sumber daya alam yang dipergunakan secara produktif dan efektif untuk melanggengkan siklus alam, bukan sebaliknya mengeksploitasi dan mencampuri mereka secara sewenang-wenang.

Oleh karena itu, al-Qur'an menegaskan relasi yang seimbang (tawa>zun) antara manusia dan alam. Alam bukanlah proyek promothean, yang menjadi "objek" bagi manusia.

وَ وَ

وْ مِ

ةٍ نَّ اوَ

مِ

مِ وْ وَ وْا

وَ وَ

ةٍرمِا وَ

ُروْقَ مِ وَ

مِ وْ وَا وَلوَمِ

نَّ مِا

مٌ وَ ُا

وْ ُ ُا وَثوْ وَا

"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan sayapnya, melainkan umat-umat juga seperti kamu. ".21

Ayat ini menyatakan pesan bahwa segala yang ada di muka bumi – flora maupun fauna – memiliki kedudukan setara dengan manusia. Mereka semua adalah spesies-spesies (umam) yang menyusun ekosistem secara bersama-sama. Relasi alam flora dan alam fauna dengan manusia adalah relasi "I" dan "Thou", hubungan persaudaraan ekologis antara "aku" dan "kamu". Yakni relasi subjek-subjek yang sama-sama memiliki kontribusi bagi sistem kesemestaan alam dan saling bekerjasama.

Hal ini bertentangan dengan Prinsip Libertarian yang yakin bahwa "dunia pada asalnya tidak ada yang memiliki" dan bahwa "manusia memiliki dirinya sendiri". Dua item prinsip tersebut meletakkan manusia sebagai pusat sehingga berhak menguasai dunia. Prinsip ini menekankan hubungan manusia-alam seperti relasi subjek-obyek, "I" dan "it", "aku" dan "benda", yang dominatif, hegemonik, dan eksploitatif.

Al-Qur'an menyatakan alam bukanlah "sapi perah" yang dapat dimiliki secara mutlak oleh manusia dan dipaksa berproduksi untuk memenuhi keinginan-keinginan manusia secara serampangan. Dominasi total terhadap alam tak terelakkan meminta terjadinya dominasi atas alam melalui teknik-teknik dominasi.

Bumi ini diciptakan menjadi hak bagi semua komunitas makhluk yang ada di dalamnya. Hak yang diperoleh manusia melalui pelimpahan amanah (istikhla>f) dari Allah bukan alasan untuk melanggar hak ekologis bagi spesies-spesies makhluk di luar manusia, sebagaimana diungkapkan dalam ayat berikut: "Dan Allah telah meratakan planet bumi ini untuk semua makhluk-Nya".22

Mempertimbangkan sumber daya alam dan lingkungan serta hak-hak ekologis dari spesies-spesies di luar manusia, proses produksi dan konsumsi yang melibatkan campur tangan teknologi perlu memerhatikan sedemikian rupa kelestarian dan mempertahankan keseimbangan ekologis yang dibutuhkan untuk kehidupan dan memihak kepada perkembangan dan otonomi dari individu-individu dan komunitas-komunitas yang bersifat ramah lingkungan. Al-Qur'an menyebut tindakan semacam ini dengan ungkapan "bersyukur", agar negeri yang damai dan sejahtera, baldah t}ayyibah,dapat menjadi kenyataan.

اوْ ُلُا

وْ مِ

مِ وْ مِ

وْ ُ يِّ وَ

اوْ ُرُ وْ اوَ

ُ وَا

مٌ وَ وْلوَقَ

مٌ وَبيِّ وَ

بٌّ وَ وَ

مٌ وْ ُ وَ

21

Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya…al-An`am 6:38, hlm. 192.

22Ibid.,

(9)

"Makanlah rezeki yang dianugerahkan Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. Negeri yang damai dan sejahtera penuh ampunan Tuhan".23

Dalam Tafsi>r al-Muni>r, dijelaskan mengenai empat ciri negeri yang t}ayyibah atau lestari sebagai berikut:24 Pertama, kathrah ashja>riha>, yaitu negeri yang mempunyai lingkungan sangat

kaya dengan keanekaragaman hayati (biodiversity), baik flora maupun fauna, sekaligus manajemen ekosistem yang accountable. Kedua, t}ayyib thama>riha>, negeri yang memiliki kemampuan mencukupi kebutuhan pangan (agriculture) secara swasembada. Ketiga, i`tida>l hawa>'iha>, negeri yang mempunyai jantung-jantung kota dan desa yang hijau dan berfungsi

sebagai pemasok oksigen sekaligus menyerap karbondioksida. Lingkungan semacam ini memberikan udara kehidupan yang menyegarkan dan bebas polusi, atau disebut juga la> khamma.25 Keempat, s}ihhah mina>h}iha, negeri yang terjamin kesehatan lingkungannya atau

healthy environment. al-Razi menyebutnya sebagai terbebas dari berbagai macam penyakit (t}a>hirah `an al-mu'dhiya>t, la> waba>').26

Melalui empat ciri di atas, dapat dilukiskan bahwa teknologi pembangunan yang ramah lingkungan itu memiliki empat indikator antara lain: Pertama, teknologi yang dapat menjamin keberlangsungan keanekaragaman hayati. Proses produksi yang bersandar pada teknik-teknik dan alat-alat baru diupayakan tidak mengoreksi seleksi alam yang berlaku secara alamiah dalam mencari penyelesaian atas keseimbangan alam. Proses produksi ini justru mampu mempertahankan kekayaan flora dan fauna sebagai jaminan atas tersedianya kebutuhan pokok manusia dari generasi ke generasi. Dengan terjaganya hutan berarti sumber air bersih dapat dipastikan eksistensinya karena tiadanya pasokan air bersih mengancam sanitasi lingkungan dan menimbulkan wabah penyakit serta kematian. Dengan cara itu pula degradasi lingkungan akibat dari proses deforestasi (penggundulan hutan) yang mengakibatkan bencana banjir pada musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau dapat dihindarkan. Pada saat yang sama pengaruh buruk deforestasi terhadap naiknya emisi gas rumah kaca yang berdampak langsung pada naiknya permukaan air laut dapat dieliminasi. 27

Kedua, teknologi ramah lingkungan dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian, perkebunan, perhutanan, dan sebagainya sehingga dapat mencukupi kebutuhan manusia sekaligus persediaan ketika terjadi musim paceklik. Dengan kata lain, teknologi proses produksi dapat membangun sistem ketahanan pangan.

Ketiga, teknologi proses produksi bebas dari polusi atau setidaknya dapat menguranginya hingga tingkat yang paling minimal. Teknologi semacam ini menghindarkan diri dari segala proses produksi yang mengakibatkan pencemaran udara dan air, karena pencemaran merupakan sumber segala penyakit dan perubahan iklim yang menghasilkan banjir dan kekeringan akan berdampak langsung pada kesehatan, serta perubahan temperatur sangat kondusif bagi perkembangan siklus hidup parasit usus dan berbagai vektor penyakit.

Lihat tafsir serupa atas QS. Saba' 34:15 dari Fakhr ad-Din al-Razi dalam Tafsi>r al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1990), jilid 25, hlm 217.

26Ibid

. 27

(10)

Terakhir, teknologi proses produksi menjamin sanitasi lingkungan. Proses produksi semaksimal mungkin memperkecil limbah beracun dan berbahaya yang mengancam kualitas hidup manusia dan lingkungan. Proses produksi, karena itu, perlu memperhitungkan secara cermat dampak penggunaan teknologi sekaligus upaya-upaya untuk mengolah limbah dan mendaur ulang sampah.

Jadi, proses produksi di mana aplikasi teknologi mengambil peranan penting sudah semestinya menunjukkan kepedulian terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, dan tidak bebas nilai. Teknologi pada realitasnya mencerminkan relasi-relasi antara produsen dengan produk, antara pekerja dengan pekerjaan, antara individu dengan kelompok dan masyarakat, dan antara masyarakat dengan lingkungan. Teknologi adalah matriks di mana distribusi kekuasaan, relasi-relasi sosial dari produksi dan pembagian hierarki kerja berakar.28

Dengan demikian, teknologi dan alat-alat yang dipergunakan dalam proses produksi merupakan prasyarat fundamental bagi transformasi sosial-ekonomi berkeadilan. Yakni pengembangan kerjasama sukarela, hak untuk menentukan nasib sendiri dan kebebasan bagi individu dan komunitas untuk memilih dan memanfaatkan teknologi dan metode proses produksi yang tidak merusak lingkungan, tidak menghasilkan residu, dan praktek tanggung jawab sosial-lingkungan (socio-enviromental responsibility) dan pengendalian bersama produsen dan konsumen atas proses-proses produksi dan produk-produknya. Dengan kata lain, proses produksi bukanlah proses destruksi terhadap sumber daya alam; proses produksi tidak memandang alam sebagai sumber daya yang tidak kunjung habis dieksploitasi.

Kapasitas produksi yang mendasarkan pada teknologi yang destruktif memperburuk eksistensi sumber daya alam yang sesungguhnya kini telah jarang. Untuk itu, melalui manajemen proses produksi yang t}ayyibah, rasionalitas ekonomi produksi menekankan pada pelayanan atas sumber daya alam yang dapat diperbarui dan mengurangi konsumsi energi dan bahan-bahan mentah secara sembrono. Teknologi yang ramah lingkungan memandu proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih baik (t}ayyibah), bukan lebih cepat, lebih banyak, dan lebih besar yang cenderung menciptakan sampah (waste-makers), meminjam istilah Vance Packard. Teknologi proses produksi semacam ini membuat manusia dapat menghasilkan barang-barang yang lebih tahan lama, tidak merusak lingkungan atau menciptakan kelangkaan. Dengan cara ini pula peluang untuk hidup lebih baik (h}aya>h t}ayyibah) dengan konsumsi yang lebih sedikit menjadi mungkin bagi manusia. Walla>hu a`lam.

Daftar Pustaka

Thabathaba`i, Muhammad Husein. al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n. Beirut: al-Mu’assasah al-A`la>mi> al-Mat}bu>`a>t, 1991.

Departemen Agama. al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Alwaah, 1989.

Zuhayli, Wahbah. Tafsi>r al-Muni>r fi al-`Aqi>dah wa al-Shari>`ah wa al-Manhaj. Beirut: Da>r

al-Fikr, 1998.

Qurtubi. al-Ja>mi` li Ah}ka>m al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-H}adi>th, 2002.

Razi, Fakhr al-Din. Tafsi>r al-Kabi>r. Beirut: Da>r al-Fikr, 1990.

28

(11)

Qasimi, Muhammad Jamal al-Din. Mah}a>sin al-Ta'wi>l. Beirut: Da>r al-Fikr, 1978..

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kinerja atau performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi baik secara kuantitatif.. maupun kualitatif,

Panitia Pengadaan Barang pada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Sulawesi Barat akan melaksanakan Pelelangan Sederhana Pascakualifikasi secara elektronik

Dengan menggunakan cara : partisi, aproksimasi, jumlahkan, ambil limitnya, integralkan, maka dapat ditentukan luas daerah antara dua kurva tersebut..

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dari instrument penelitian dengan analisis data deskriptif, uji instrument penelitian, uji normalitas, uji

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi model pembelajaran Quantum Teaching dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan mengikuti fase- fase sebagai berikut:

Sama seperti kita belajar dari Tiongkok pada cerita diatas, dengan demikian bukan saatnya kita tidak percaya diri menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean di awal tahun 2016 dan

Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa partisipasi masyarakat merupakan sikap sadar, kemandirian serta kerja sama antar masyarakat maupun aparat desa dalam memanfaatkan