• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGEMUKAN SAPI LOKAL HASIL INSEMINASI BUATAN DAN SAPI BAKALAN IMPOR DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN PAKAN LOKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGEMUKAN SAPI LOKAL HASIL INSEMINASI BUATAN DAN SAPI BAKALAN IMPOR DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN PAKAN LOKAL"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGEMUKAN SAPI LOKAL HASIL INSEMINASI

BUATAN DAN SAPI BAKALAN IMPOR DENGAN

MENGGUNAKAN BAHAN PAKAN LOKAL

(The Fattening of Local Beef Cattle from Artificial Insemination and

Imported Beef Cattle by Using Local Feedstuff)

SOEHARSONO1,R.A.SAPTATI2danK.DIWYANTO2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jl. Rajawali No. 28 Demangan Baru, Yogyakarta 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor

ABSTRACT

The aim of this research was to understand the fattening performance of local beef cattle from artificial insemination (AI) and Brahman Cross (BX) import beef cattle through feeding system with local feedstuff. 12 local and import beef cattles each which has average body weight of 450 kg was maintened in individual stall. Feed was given as much as 2,75% DM from body weight in the form of concentare (CP 8,57% snd TDN 65,52%) and King grass (CP 10,62% and TDN 62,48%) with the ratio 85 : 15%. The feed was given in the morning and afternoon during 3 months. Data of consumption and cost were recorded and measurement their weight were conducted periodically. The increasing of their average daily gain (ADG), feed convertion ratio (FCR), feed cost per gain, revenue/cost (R/C) was analyzed by t-test. The result of this research revealed that the ADG of beef cattle from AI was 1.62 kg/head/day higher than that of from BX 1.42 kg/head/day. FCR and feed cost per gain of beef cattle from AI were 8.99 and Rp. 15,519 respectively, smaller than that of BX 9.38 and Rp. 18,011. The income and R/C counted from variable cost of beef cattle from AI was Rp. 3,274,000/head, 1.36 higher that that of BX Rp 2,860,000 /head and 1.17. Based upon the result has revealed that beef cattle from AI reachs ADG higher and more efficient in the utilization of local feed than that of BX. The level of income over variable cost of the fattening business of beef cattle from AI is higher and more efficient that that of BX.

Key Words: Beef Cattle, Fattening, Local Feed

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja penggemukan pada sapi potong lokal hasil IB dan sapi impor Brahman Cross (BX) dengan sistem pemberian pakan dari bahan pakan lokal. Sapi potong lokal hasil IB dan sapi BX masing-masing sebanyak 12 ekor dengan rataan bobot badan 450 kg dipelihara pada kandang individu. Pakan diberikan sebanyak 2,75% BK dari bobot hidup berupa konsentrat (PK 8,57% dan TDN 65,52%) dan rumput Raja (PK 10,62% dan TDN 62,48%) dengan perbandingan 85 : 15%. Pakan diberikan pada pagi dan sore hari selama 3 bulan. Data konsumsi pakan dan biaya dicatat serta penimbangan bobot badan dilakukan secara periodik. Peningkatan bobot badan harian (ADG), feed convertion ratio (FCR), feed cost per gain, pendapatan dan revenue/cost (R/C) dianalisis dengan t-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ADG sapi potong hasil IB 1,62 kg/ekor/hari lebih besar dibandingkan dengan sapi potong BX 1,42 kg/ekor/hari. FCR dan feed cost per gain sapi potong hasil IB berturut-turut 8,99 dan Rp. 15.519 lebih kecil dibandingkan dengan sapi potong BX 9,38 dan Rp. 18.011. Pendapatan dan R/C atas biaya variabel sapi potong hasil IB sebesar Rp. 3.274.000/ekor dan 1,36 lebih besar dibandingkan dengan sapi potong BX sebesar Rp. 2.860.000/ekor dan 1,17. Dari hasil diatas menunjukkan bahwa sapi potong hasil IB mencapai bobot badan harian lebih tinggi dan lebih efisien dalam memanfaatkan pakan lokal dibanding dengan sapi potong impor BX. Tingkat pendapatan atas biaya variabel pada usaha penggemukan sapi potong hasil IB lebih tinggi dan lebih efisien dibandingkan dengan sapi potong impor BX.

(2)

PENDAHULUAN

Industri penggemukan sapi potong di Indonesia telah berkembang sangat pesat sejak dua dekade yang lalu, dengan mengandalkan impor sapi bakalan (feeder cattle) Brahman Cross (BX) dalam jumlah sangat besar. Setiap tahun impor sapi BX dari Australia cenderung terus meningkat, dan pada tahun 2009 telah mencapai lebih dari 620.000 ekor. Para

feedlotter (pengusaha penggemukan) memilih

sapi BX karena selain harganya cukup murah, mereka juga dapat dengan mudah memperoleh dalam jumlah besar dan ada fasilitas kredit yang sangat menarik dari pihak eksportir. Kemudahan atau fasilitas seperti itu tidak mungkin mereka peroleh bila harus melakukan penggemukan sapi lokal hasil inseminasi buatan (IB).

Sapi BX merupakan sapi silangan antara sapi Brahman yang merupakan keturunan Bos

indicus dan sapi-sapi Eropa yang merupakan

kelompok Bos taurus. Sedangkan sapi lokal hasil IB adalah merupakan hasil persilangan antara sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi-sapi Eropa terutama bangsa Simental maupun Limousin. Sapi PO dibentuk sejak satu abad yang lalu melaui proses up grading antara sapi Jawa dengan sapi Ongole dari India. Masyarakat memberi nama sapi lokal hasil IB dengan Limpo (Limousin dengan PO) dan Simpo (Simental dengan PO). Persentase darah bangsa Bos taurus maupun Bos indicus sapi BX maupun sapi Limpo dan Simpo tidak diketahui, namun Simpo dan Limpo mempunyai darah yang berasal dari sapi Jawa yang merupakan kelompok Bos sondaicus

dalam proporsi yang sangat kecil.

Pemasukan feeder cattle dalam jumlah besar dan dibarengi dengan membanjirnya daging dan jerohan impor ternyata telah mengganggu usaha dan pemasaran sapi lokal. Kondisi ini secara langsung telah mengakibatkan harga daging dan sapi potong turun dengan sangat drastis, yang pada gilirannya telah menyebabkan para peternak sapi lokal mengalami kesulitan dalam memasarkan sapi.

Di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, seorang peternak skala menengah yang telah berpengalaman dalam usaha penggemukan sapi lokal tertarik untuk mencoba melakukan penggemukan sapi BX dengan pertimbangan harganya relatif lebih

murah (Rp. 25.000) dan dapat dibayar kemudian. Pada waktu itu harga sapi bakalan lokal adalah Rp. 26.000/kg bobot hidup dan dalam pengadaannya harus dibayar tunai (cash). Selain itu ada anggapan bahwa sapi BX eks-impor mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan sapi lokal bila dipelihara dengan ransum rasional berbahan baku pakan lokal. Hal ini tentunya menjadi harapan peternak karena diperkirakan akan memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan dengan penggemukan sapi lokal hasil IB. Namun karena peternak belum mempunyai pengalaman, untuk tahap awal dilakukan percobaan dalam jumlah yang sangat terbatas. Percobaan penggemukan ini dikerjakan bekerjasama dengan tim peneliti “SINTA” dari Puslitbang Peternakan dan BPTP Yogyakarta.

Penelitian ini secara khusus dilakukan untuk melihat kinerja sapi BX yang digemukkan dengan pemberian ransum rasional berbahan baku pakan lokal yang biasa digunakan untuk penggemukan sapi lokal hasil IB. Hipotesa yang akan diuji dalam penelitian ini adalah ADG sapi BX dalam waktu 3 (tiga) bulan lebih baik dibandingkan sapi lokal hasil IB, sehingga usaha penggemukan sapi BX akan memberi keuntungan (profit) maupun manfaat (benefit) yang lebih besar.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di CV Restubumi Desa Segoroyoso, Kec. Pleret, Kab. Bantul Yogyakarta pada bulan September – Desember 2009. Sejumlah 12 ekor sapi potong lokal hasil IB (Simemntal cross/Simpo, Limosine cross/ Limpo) dan 12 ekor feeder cattle impor

Brahman cross (BX) dengan kondisi baik dan

sehat digunakan dalam percobaan ini. Sapi tersebut ditempatkan dalam kandang secara individu yang dilengkapi tempat pakan dan minum. Pakan dalam bentuk bahan kering (BK) diberikan sebanyak 2,75% dari bobot hidup (BH). Pakan terdiri atas konsentrat yang disusun dari bahan lokal dan hijauan berupa rumput Raja. Imbangan konsentrat dengan hijauan sebesar 85 : 15%BK. Pakan konsentrat disusun dari bahan-bahan yang tersedia di lokasi penelitian, terdiri atas: (a) sumber energi (dedak kasar, ampas ketela dan ketela); (b) sumber protein (kleci/kulit kedelai dan ampas

(3)

kecap); dan (c) garam sebagai mineral. Jenis dan komposisi kimia pakan disajikan pada Tabel 1.

Konsentrat diberikan dalam bentuk basah dicampur dengan air (dalam bentuk komboran). Sebelum diberikan, konsentrat diolah dengan dimasak hingga sampai terjadi gelatinisasi. Konsentrat diberikan dua kali, pagi dan sore hari. Hijauan sebagai sumber serat berupa rumput raja diberikan pada sore hari, tanpa dicacah. Semua ternak dipelihara dalam satu kandang dan dipelihara oleh seorang petugas yang sudah sangat terlatih. Data konsumsi pakan dan biaya dicatat secara lengkap, serta bobot badan diukur dengan melakukan penimbangan secara periodik dengan menggunakan timbangan digital. Peningkatan bobot badan harian (ADG), feed convertion ratio (FCR), feed cost per gain, pendapatan

dan revenue/cost (R/C) dianalisis dengan

menggunakan t-test. Walaupun harga beli maupun harga jual sapi BX berbeda dengan sapi lokal, dalam penelitian ini diasumsikan harganya sama.

HASIL DAN PEMBAHASAN Selama tiga bulan penelitian semua ternak dalam kondisi baik dan sehat, sehingga semua sapi dapat dijual/dipotong sampai akhir penelitian. Nafsu makan dan tingkah laku kedua kelompok ternak dalam percobaan ini menunjukkan hal yang sama, yaitu mempunyai nafsu makan yang sangat baik dan tidak menunjukkan gejala stress atau kelainan-kelainan fisik dalam bentuk apapun. Pekerja juga tidak mengalami kesulitan dalam memelihara sapi BX maupun sapi lokal hasil IB, walaupun semua sapi diikat selama 24 jam dalam kandang individu dengan ukuran/luas yang memadai.

Data hasil penelitian seperti ADG, FCR,

dan feed cost per gain dalam penelitian ini

disajikan pada Tabel 2. Rata-rata bobot badan awal seluruh ternak adalah 494 kg, dengan rincian rata-rata bobot badan sapi lokal hasil IB

Tabel 1. Bahan dan komposisi kimia bahan pakan untuk penggemukan

Komposisi kimia bahan pakan (% BK) Bahan pakan

Harga (Rp/kg

As fed) BK BO ABU LK PK SK BETN TDN

Dedak padi 1.200 91,11 90,73 9,27 4,13 8,84 26,42 51,34 60,52 Ampas ketela 200 12,00 98,38 1,62 1,74 1,74 8,98 85,92 70,23 Ketela 800 39,70 91,50 8,50 0,30 2,30 4,60 84,30 72,90 Kulit kedelai 2.100 88,32 96,78 3,22 11,11 18,26 14,38 53,03 67,42 Ampas kecap 1.500 55,43 89,88 10,12 17,26 36,38 17,82 18,42 69,55 Rumput Raja 200 18,66 90,77 9,23 2,64 10,62 30,40 47,11 62,48 Ransum 21,84 90,45 9,55 4,68 10,17 21,38 54,21 65,06

BK : bahan kering; BO : bahan organik; LK : lemak kasar; PK : protein kasar; SK : serat kasar; TDN :

total digestible nutrient; BETN : Bahan ekstrak tanpa nitrogen Tabel 2. Bobot badan dan kinerja sapi lokal dan BX

Uraian Sapi lokal hasil IB Sapi BX

Bobot badan awal (kg) 535,00 ± 67,00 450,00 ± 66,00

Bobot badan akhir (kg) 671,00 ± 89,00 569,00 ± 66,00

Peningkatan bobot badan (%)ns 26,08 ± 4,84 27,03 ± 5,92

ADG (kg/hari) 1,62b ± 0,18 1,42a ± 0,22

FCR 8,09a ± 0,83 9,38b ± 1,43

Feed cost per gain (Rp) 15.519a ± 1.592 18.011b ± 2.740

ns

(4)

pada awal pemeliharaan sebesar 535 kg, yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sapi BX dengan rata-rata 450 kg. Pada akhir pemeliharaan menunjukkan bahwa rata-rata bobot badan sapi lokal hasil IB adalah 671 kg, yang lebih besar dibandingkan dengan sapi potong BX dengan rata-rata bobot 569 kg.

Perubahan bobot badan selama pemeliharaan ditunjukkan pada Gambar 1. Dari grafik tersebut terlihat bahwa perubahan bobot badan bulanan selama pemeliharaan sapi potong hasil IB membentuk pola kuadratik y = -4,273x2+65,79x+463 dengan R2 = 0,995; sedangkan sapi potong BX membentuk pola y = -5,5x2+68,15x+385,8 dengan R2 = 0,995. Dari persamaan regresi tersebut dapat diketahui bahwa bobot badan maksimal yang dapat dicapai oleh sapi potong hasil IB mencapai 770 kg lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi potong BX yang maksimal hanya mencapai 620 kg. Angka ini diperoleh berdasarkan hasil perhitungan dari beberapa kali pengamatan. Peningkatan bobot badan selama 3 bulan pemeliharaan menunjukkan bahwa bobot badan sapi potong hasil IB meningkat 26,08% tidak berbeda nyata dibandingkan dengan sapi potong BX yang meningkat 27,03%.

ADG sapi lokal hasil IB sebesar 1,62 kg/hari lebih tinggi (P < 0,05) bila dibandingkan dengan sapi potong impor BX yang hanya mencapai 1,42 kg/hari. Banyaknya protein yang dikonsumsi ternak ruminansia dapat memberikan gambaran terhadap seekor ternak sejauh mana pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan pakan dapat dicapai (KEARL, 1982). Selanjutnya MURTIDJO (1993)

menyatakan bahwa apabila ternak sapi diberi makanan dalam jumlah yang banyak, maka pertumbuhannya juga cepat dan bisa mencapai berat optimal sesuai dengan kemampuan genetiknya. Sebaliknya, apabila ternak sapi memperoleh makanan yang kurang dari cukup, tentu saja pertumbuhannya akan lamban.

FCR sapi lokal hasil IB dalam penelitian ini adalah sebesar 8,09 yang lebih rendah (P < 0,05) bila dibandingkan dengan FCR sapi potong import BX yang mencapai 9,38. Hasil ini menunjukkan bahwa sapi lokal lebih efisien dalam memanfaatkan pakan selama proses penggemukan. Konversi pakan menunjukkan kemampuan ternak mengubah bahan pakan untuk memproduksi satu kilogram pertambahan berat badan (NGADIYONO, 1988). Perbedaan efisiensi penggunaan pakan antara lain disebabkan oleh kapasitas retensi protein atau pertumbuhan urat daging, komposisi pertambahan berat badan, dan distribusi konsumsi energi antara untuk hidup pokok dan produksi (PARAKKASI, 1995). Daya cerna ternak yang bersangkutan, kualitas pakan serta keserasian nutrien pakan dapat mempengaruhi besar kecilnya angka konversi pakan (ANGGORODI, 1984). Angka konversi pakan tergantung pada kualitas pakan yang diberikan, semakin tinggi nutrien yang terkandung dalam pakan akan semakin baik konversi yang dihasilkan (UTOMO, 2001). Besarnya konversi pakan pada sapi PO yang diberi pakan lengkap (complete feed) adalah 10,08 (MUTTAQIN, 2004). Dengan demikian, FCR kedua kelompok sapi penelitian lebih bagus dibandingkan sapi PO.

(5)

Dalam penelitian ini feed cost per gain sapi lokal hasil IB adalah sebesar Rp 15.519 lebih rendah (P < 0,05) bila dibandingkan dengan sapi potong import BX sebesar Rp 18.011,-. Besarnya feed cost per gain yang diperoleh dipengaruhi oleh nilai konversi pakan dalam penelitian ini. Sementara itu nilai feed cost per gain menentukan biaya pakan dan produksi (ADG) yang dapat dicapai oleh individu ternak (FEBRIANDA, 2005). Secara umum diketahui bahwa untuk mengetahui efisiensi produksi dapat diperoleh dengan menghitung biaya pakan yang dikeluarkan untuk mendapatkan satu kilogram berat badan (SETIAWAN, 2005). Dalam penelitian ini diasumsikan harga penjualan sapi berdasarkan bobot hidup sama, walaupun dalam realitas di lapangan terdapat perbedan yang nilainya sering berubah.

Pengolahan pakan konsentrat dengan cara pemasakan dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan kesehatan dan keamanan bagi ternak. Suhu tinggi selama pemasakan berfungsi sebagai sterilisasi sehingga mematikan bakteri/serangga yang bersifat patogen. Pemasakan juga dapat mengakibatkan terjadinya gelatinisasi sehingga karbohidrat

non struktural (pati) lebih mudah dimanfaatkan oleh ternak ruminansia. Temperatur dan adanya air pada proses pemasakan memberikan pengaruh pada tingkat kelarutan nutrien pakan sehingga penyerapan nutrien lebih baik dan cepat, yang pada gilirannya dapat meningkatkan konsumsi, kecernaan dan produktivitas ternak (meningkatkan ADG, konversi pakan, feed cost per gain).

Analisis finansial penggemukan sapi potong hasil IB dan BX dengan pakan lokal disajikan pada Tabel 3. Dalam analisa atau perhitungan ini diasumsikan harga beli dan harga jual sapi BX maupun lokal sama, walaupun kenyataan di lapang tidak demikian.

Dengan asumsi harga penjualan bobot hidup sapi potong pada saat akhir pemeliharaan sebesar Rp. 24.000/kg, maka total pendapatan atas penjualan sapi lokal hasil IB adalah sebesar Rp. 193.296.000 lebih tinggi bila dibandingkan dengan sapi potong BX sebesar Rp. 163.896.000. Penerimaan atas selisih bobot badan awal sampai akhir pemeliharaan menunjukkan bahwa sapi lokal hasil IB sebesar Rp. 39.288.000 lebih besar dibandingkan dengan sapi potong BX sebesar Tabel 3.Analisis finansial penggemukan sapi potong hasil IB dan BX

Hasil IB BX

No. Uraian Jumlah

satuan Harga satuan Jumlah (Rp) Jumlah satuan Harga satuan Jumlah (Rp) 1 Biaya tetap

Pembelian bakalan 12 ekor (kg)

6.417 24.000 154.008.000 5.399 24.000 129.576.000

2 Biaya variabel

Pakan (kg) 1.637 15.519 25.404.603 1.430 18.011 25.755.730 Pengolahan pakan (Rp/hari) 84 6.000 504.000 84 6.000 504.000 Mineral, vitamin, obat

(Rp/hari) 84 6.600 554.400 84 6.600 554.400

Tenaga kerja (Rp/OH) 84 30.000 2.520.000 84 30.000 2.520.000

Total biaya variabel 28.983.003 29.334.130

3 Total biaya (1 + 2) 182.991.003 158.910.130

4 Pendapatan

Penjualan sapi

penggemukan 8.054 24.000 193.296.000 6.829 24.000 163.896.000 5 Penerimaan atas selisih

bobot 1.637 24.000 39.288.000 1.430 24.000 34.320.000 6 Keuntungan (3 – 2) 10.304.997 4.985.870 7 R/C (5/2) 1,36 1,17

(6)

Rp 34.320.000. Dengan demikian potensi keuntungan yang diperoleh peternak pada usaha penggemukan sapi potong hasil IB adalah sebesar Rp 10.304.997 (R/C = 1,36) lebih tinggi dibandingkan dengan usaha penggemukan sapi potong BX yang hanya sebesar Rp. 4.985.870 − (R/C = 1,17). Break even point (BEP) dicapai bila tingkat ADG 1,2 kg/ekor/hari dengan harga Rp. 24.000/kg bobot hidup atau ADG 1,3 kg/ekor/hari dengan harga Rp. 21.500/kg bobot hidup.

Menurut pengalaman peternak diinformasikan bahwa hasil pemotongan ternak yang digemukkan selama 3 bulan (tunda potong) mempunyai persentase karkas yang cukup baik. Untuk sapi potong hasil IB diperkirakan persentase karkas dapat mencapai 55 – 56% sementara untuk sapi potong BX hanya mencapai 51 – 52. Hal ini disebabkan karena meat bone rasio, serta lemak subkutan dan abdominal pada sapi BX jauh lebih lebih besar bila dibandingkan dengan sapi potong hasil IB. Dengan demikian jagal hanya mau membeli sapi potong berdasarkan perkiraan persentase karkas, dan bila dikonversikan pada harga dalam bentuk hidup terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Pada bulan Desember 2009 sapi BX hanya dihargai Rp. 22.500/kg, sedangkan sapi lokal hasil IB dihargai Rp. 24.500/kg.

Sementara itu jagal mempunyai pertimbangan lain terkait nilai penjualan kulit. Walaupun bobot kulit sapi sama, yaitu sekitar 40 kg, namun harga kulit sapi potong BX lebih rendah (Rp. 6.000/kg) dibanding harga kulit sapi potong hasil IB (Rp. 9.000/kg). Dengan demikian secara keseluruhan nilai ekonomis dari usaha penggemukan sapi BX maupun sapi hasil IB harus diperhitungan berdasarkan kinerja teknis yang meliputi ADG, FCR dan persentase karkas, serta faktor-faktor non-teknis yang membedakan kedua jenis sapi tersebut, antara lain harga penjualan maupun harga pembelian sapi bakalan, dan harga kulit yang ternyata selisihnya dapat mencapai sekitar Rp. 120.000/lembar.

KESIMPULAN

1. Secara teknis sapi lokal hasil IB, khususnya Limpo dan Simpo, mempunyai

ADG yang lebih tinggi dan FCR yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi BX, walaupun peningkatan produksi daging selama 3 bulan relatif hampir sama. 2. Peningkatan produksi daging sapi lokal

hasil IB selama 3 bulan mencapai 26,08% pada bobot potong diatas 650 kg, sementara hal tersebut pada sapi BX mencapai 27,03% pada bobot potong diatas 550 kg.

3. Penggemukan sapi lokal hasil IB memberi tingkat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan sapi BX (asumsi: harga beli dan jual sama). Berdasar harga yang berlaku di lapang pada saat penelitian, harga penjualan sapi lokal berdasarkan bobot hidup lebih tinggi sekitar Rp. 2.000/kg dibandingkan dengan sapi BX, sementara harga pembeliannya hanya berbeda sekitar Rp. 1.000/kg. Perbedaan harga ini disebabkan karena kualitas atau persentase karkas sapi lokal lebih baik, dan harga jual kulitnya lebih tinggi dibandingkan dengan sapi BX.

DAFTAR PUSTAKA

ANGGORODI, R. 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.

DIWYANTO K., E.MARTINDAH, R. A.SAPTATI, U. NUSCHATI dan SOEHARSONO. 2009. Teknologi IB pada Sapi Potong untuk Mencapai Service Per Conception Menjadi 1,5 dan Bobot Potong di Atas 300 Kg. Laporan Penelitian. Puslitbang Peternakan, Bogor

DIWYANTO, K. 2009. Masukan untuk: Blue Print

Kegiatan PSDS 2014. Puslitbang Peternakan, Bogor.

FEBRIANDA,D.H. 2005. Pertambahan Bobot Badan Sapi Potong dengan Penambahan Wheat Pollard di Kelompok Ternak Sido Rukun, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirement of.

Ruminants in Developing Countries. Internasional Feed Stuff Institute, Utah State University, Utah.

MURTIDJO, B.A. 1993. Beternak Sapi Potong. Cetakan ke-3. Kanisius, Yogyakarta.

(7)

MUTTAQIN, A. 2004. Pertambahan Bobot Badan Harian Sapi Peranakan Ongole yang Diberi Pakan Lengkap (Complete Feed) dengan Suplementasi Undegraded Protein. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

NGADIYONO,N.1988. Studi Perbandingan Beberapa Sifat Produksi Sapi PO, Shorthorn Cross dan Brahman Cross. Tesis. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

PARAKKASI, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press, Jakarta.

SETIAWAN,A.S. 2005. Kenaikan Berat Badan Sapi Potong yang Dipelihara oleh Peternak dengan Penambahan Onggok Pada Pakan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

SOEDJANA, T.D. 2008. Pedoman Teknis Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta.

UTOMO, R. 2001. Penggunaan Jerami Padi sebagai Pakan Basal: Suplementasi Sumber Energi dan Protein Terhadap Transit Partikel Pakan, Sintesis Protein Mikrobia, Kecernaan dan Kinerja Sapi Potong. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Gambar

Tabel 1. Bahan dan komposisi kimia bahan pakan untuk penggemukan
Gambar 1. Pola perubahan bobot badan sapi potong hasil IB dan BX selama penelitian
Tabel 3.Analisis finansial penggemukan sapi potong hasil IB dan BX

Referensi

Dokumen terkait

Persyaratan WNA yang ingin menghuni rumah susun di Indonesia harus ditentukan karena WNA tidak boleh memiliki hak milik milik atas tanah maupun bangunan.Berdasarkan hasil

VII, Nomor 35, 15 Nubuwwah 1392 HS/November 2013 10 ini, dan semua yang terjadi ini telah diberitahukan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as dan beliau tampilkan di hadapan kita dan untuk

--- = tidak termasuk di dalam penelitian.. kerja yang tinggi. Selain itu, penduduk miskin di Indonesia sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Bidang pendidikan dan

Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa peran PPTK dalam pengadaan barang/jasa sesuai dengan PERMENDAGRI nomor 13 tahun 2006 adalah menyiapkan dokumen

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan: 1).Dengan pemberian reward dan punishment akan mendorong karywan untuk dapat melaksanakan tugas

“PENGEMBANGAN SISTEM KEAMANAN BRANKAS MENGGUNAKAN NFC DENGAN OTENTIKASI PASSWORD VIA SMS DILENGKAPI KAMERA CCTV (HARDWARE)” beserta seluruh isinya adalah karya saya

Hal ini diperlukan agar pemerintah Indonesia dapat membuat kebijakan untuk mengelola tacit knowledge yang telah terbukti banyak digunakan dalam memecahkan berbagai

Lamhot Hutabarat (2010) Pengaruh PDB sektor industri terhadap kualitas lingkungan ditinjau dari tingkat emisi sulfur dan CO 2 di lima negara anggota ASEAN periode 1980- 2000