• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI IKLIM, SUMBER DAYA LAHAN DAN POLA TANAM DI SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI IKLIM, SUMBER DAYA LAHAN DAN POLA TANAM DI SULAWESI SELATAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

218

POTENSI IKLIM, SUMBER DAYA LAHAN

DAN POLA TANAM DI SULAWESI SELATAN Herniwati dan Syafruddin Kadir

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan

Abstrak. Potensi sumber daya iklim dan lahan perlu dioptimalkan untuk menunjang peningkatan produktivitas komoditas pertanian. Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional, memiliki potensi sumberdaya iklim dan lahan yang cukup mendukung berbagai komoditas pertanian. Dengan karakteristik iklim dan lahan yang berbeda, suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya, merupakan kekayaan yang perlu untuk dimanfaatkan dalam menunjang pembangunan pertanian. Berdasarkan kesamaan relatif zona iklimnya, Sulawesi Selatan dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu Sektor Barat, Timur dan Peralihan. Sedangkan berdasarkan klasifikasi Oldemen dibagi atas 13 tipe iklim yaitu A, B1, B2, C1, C2, C3, D1, D2, D3, E1, E2, E3 dan E4. Potensi sumberdaya lahan di Sulawesi Selatan didominasi oleh usaha pertanian semusim yang diusahakan oleh sebagian besar wilayah yang ada di daerah ini. Pola tanam beragam yang diterapkan petani didasarkan pada kondisi curah hujan dan hubungannya dengan tipologi lahan makin memperkaya keanekaragaman pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Pengembangan komoditas di daerah ini yang didasarkan pada tipe iklim, bentuk wilayah dan tanah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan memacu perekonomian daerah.

Kata Kunci : potensi, iklim, sumber daya lahan, pola tanam

PENDAHULUAN

Produktivitas tanaman sangat ditentukan oleh faktor genetik, iklim dan tanah. Curah hujan dan suhu udara sebagai unsur iklim merupakan faktor lingkungan yang menentukan pertumbuhan dan produktivitas tanaman, dimana faktor ini sulit diubah dan/atau dimodifikasi dalam skala di lapangan. Sedangkan faktor genetik dan sebagian faktor tanah tidak bersifat, dengan manajemen dan teknologi dapat diubah dan diperbaiki kualitasnya sesuai dengan tipe penggunaan lahan yang akan dikembangkan (Sys et al. 1993).

Provinsi Sulawesi Selatan terletak antara 0o12' – 8o Lintang Selatan dan 116o48' – 122o36' Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara dan Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah timur. Batas sebelah barat dan timur masing-masing adalah Selat Makassar dan Laut Flores.

Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil tanaman pangan terbesar di Kawasan Timur Indonesia. Predikat sebagai lumbung padi nasional mengukuhkan posisi Sulawesi Selatan sebagai produsen tanaman pangan yang cukup potensial terutama komoditas padi dan jagung sebagai komoditas tanaman pangan andalan. Untuk itu pemerintah telah berusaha mengoptimalkan produksi guna mencapai target sasaran tersebut, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Hal ini dibutikan dengan besarnya perhatian pemerintah daerah pada sektor ini dengan mencanangkan Program Surplus Beras Dua Juta ton dan Surplus Jagung 1,5 juta ton.

Dengan luas wilayah 45.764,53 km2 (BPS 2008), Sulawesi Selatan memiliki sumber daya lahan dan iklim (jenis tanah, bahan induk, fisiologi dan bentuk wilayah, ketinggian tempat, dan iklim) yang sangat bervariasi. Keragaman karakteristik sumber

(2)

219

daya lahan dan iklim merupakan potensi untuk memproduksi komoditas pertanian unggulan di masing-masing wilayah sesuai dengan kondisi agroekosistemnya.

Tulisan ini menyajikan informasi tentang potensi sumber daya iklim dan lahan serta pola tanam yang diterapkan oleh petani di Sulawesi-Selatan. Diharapkan informasi yang disajikan dapat menjadi bahan informasi untuk pengembangan pertanian yang berkelanjutan khususnya di Sulawesi Selatan.

POTENSI SUMBER DAYA IKLIM

Pertanian yang menjadi segmen penting bagi pembangunan Indonesia memiliki ketergantungan pada kondisi iklim dan cuaca. Semakin stabil kondisi atmosfernya, maka akan stabil pula produksi pertaniannya. Jika sebaliknya, maka akan terjadi penurunan produksi pertanian yang berujung pada terhambatnya fungsi pembangunan (Susandi

et.al. 2008)

Potensi iklim di Sulawesi Selatan untuk pembangunan pertanian cukup mendukung. Wilayah pengembangan dikelompokkan menjadi 3 bagian berdasarkan kesamaan relatif zona iklimnya yaitu Sektor Barat, Timur dan Peralihan. Sektor Barat dipengaruhi oleh angin barat, dan sektor timur dipengaruhi oleh angin timur yang sangat erat berkaitan dengan musim hujan dan musim kemarau.

Di sektor barat meliputi beberapa wilayah yang sebagian besar berada di bagian barat Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Maros, Pangkep, Barru, Kota Pare-pare, Kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto dan Selayar. Musim hujan di wilayah sektor barat berlangsung bulan Oktober sampai dengan Maret, dimana pada saat yang bersamaan di sektor timur berlangsung musim kemarau. Zona iklim sektor timur meliputi wilayah-wilayah yang sebagian besar berada di bagian timur Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Sidenreng Rappang, dan Pinrang. Musim hujan di wilayah sektor timur berlangsung bulan April hingga September, dan sementara itu di sektor barat berlangsung musim kemarau. Sektor peralihan merupakan wilayah peralihan antara sektor barat dan timur meliputi kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, Luwu, Luwu utara,Luwu timur, Enrekang dan kota Palopo.

Dua parameter cuaca yaitu curah hujan dan temperatur, menjadi ukuran bagi kestabilan atmosfer (Susandi et,al. 2008). Jumlah curah hujan dan distribusinya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, melalui kontribusinya terhadap ketersedian airdalam tanah. Data curah hujan akan sangat membantu dalam rangka meramalkan pola curah hujan ke depan, dan memberi gambaran kemungkinan kejadian banjir dan kekeringan yang pada gilirannya akan bermanfaat bagi penentu kebijakan menyusun program antisipatif guna menghindari peristiwa-peristiwa iklim yang merugikan pembangunan pertanian. Dengan demikian, data iklim itu penting diinventarisir, dan selanjutnya diproses/diolah agar berdayaguna. Berikut pola curah hujan masing-masing zona iklim di Sulawesi Selatan :

(3)

220

Grafik 1. Pola curah hujan wilayah sektor barat

Grafik 2. Pola curah hujan wilayah sektor timur

Grafik 3. Pola curah hujan wilayah sektor peralihan

Berdasarkan klasifikasi iklim Oldemen, di Sulawesi Selatan terdapat 13 tipe iklim yairu A, B1, B2, C1, C2, C3, D1, D2, D3, E1, E2, E3 dan E4 (Tabel 1). Keragaman tipe iklim antardaerah di Sulawesi Selatan mengindikasikan bahwa gugus pulau di wilayah ini berpotensi besar untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian.

0 200 400 600 800 Cu rah   Hujan   (mm) Bulan

Sektor

 

Barat

1951 ‐1998 0 50 100 150 200 250 300 350 400 Curah   Hujan   (mm) Bulan

Sektor

 

Timur

1994‐2003 0 100 200 300 400 500 600 Curah   Hujan   (mm) Bulan

Sektor

  

Peralihan

1951‐1998

(4)

221

Tabel 1. Tipe Iklim di Sulawesi Selatan

Zona Bulan Basah

>200 mm

Bulan Basah

<100 mm Sebaran

A 10-12 0-2 Luwu Utara

B1 7-9 0-1 Bone-bone, Wotu, Malili

B2 7-9 2-3 Malakaji, Sinjai, Bagian Selatan Sulsel

C123 5-6 0-6 Sinjai Barat, Pare-pare, Watampone, Palopo

D123 3-4 0-6 Pinrang, Takalar

E1234 0-2 0-6 Bagian selatan dan tengah Sulsel, Bone,

Sidrap SUMBER DAYA LAHAN

Potensi sumber daya pertanian di Sulawesi Selatan cukup besar dalam rangka mendukung sektor pertanian (Sofyan et,al. 2002). Lahan yang tersedia untuk pengembangan pertanian tanaman semusim lahan basah ± 2 juta ha, pertanian tanaman tahunan sekitar ± 1 juta ha. Potensi sumber daya lahan di Sulawesi Selatan disajikan pada tabel berikut :

Tabel 2. Potensi sumber daya lahan Sulawesi Selatan (BPS 2008).

Sistem Pertanian Luas (ha)

1. Pertanian Tanaman Semusim ‐ Lahan Basah ‐ Lahan kering ‐ Lainnya 576.650 1.766.652 196.673 2. Pertanian Tanaman Tahunan

‐ Perkebunan Rakyat ‐ Perkebunan Swasta

650 417,09 17.723,29 Sumber : BPS 2008.

Optimalisasi penggunaan sumber daya lahan merupakan suatu alternatif untuk meningkatkan produktivitas lahan (Syafruddin et,al. 2004). Penggunaan lahan di Sulawesi Selatan umumnya masih didominasi untuk usaha pertanian baik untuk tanaman semusim maupun tanaman tahunan selain untuk peternakan an perikanan. Keragaman penggunaan lahan dan kegiatan pertanian di suatu wilayah akan terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi agroekosistem yang berkaitan dengan aspek iklim dan tanah sebagai penentu terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Conway 1987).

Ketersediaan data inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya lahan melalui pemetaan tanah (data spasial) di Sulawesi Selatan sangat terbatas dan belum tersedia secara detail. Pada beberapa wilayah telah dilakukan pemetaan tetapi umumnya masih dalam skala 1 : 250.000. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan/penelitian lebih lanjut untuk memetakan tanah secara detail. Djaenudin (2008) menyatakan bahwa penelitian potensi sumber daya lahan bertujuan untuk (1) mengetahui kualitas dan karakteristik lahan serta potensinya, (2) menentukan strategi pengembangan wilayah, dan (3) menerapkan teknologi pengelolaannya.

Hasil pemetaan lahan selanjutnya digunakan untuk kegiatan evaluasi lahan untuk menentukan kelas kesesuaian lahan yang dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan pertanian di Sulawesi Selatan.

(5)

222

PROGRAM PENGEMBANGAN KOMODITAS DAN POLA TANAM

Dengan predikat sebagai lumbung pangan maka Sulawesi Selatan juga dijadikan sebagai daerah penyanggah stok pangan nasional. Selain itu Sulawesi Selatan dikenal pula sebagai salah satu daerah penghasil jagung terbesar di Indonesia. Berbagai komoditas penting lainnya seperti kakao, kopi arabika, kelapa, kelapa sawit, tebu, lada, kapas juga berperan penting dalam menopang tatanan perekonomian daerah. Selain itu terdapat pula berbagai komoditas buah-buahan dan sayuran yang kontribusinya cukup berarti dalam pembangunan pertanian.

Pertanaman jagung dikembangkan pada wilayah yang cukup luas yaitu di berada di Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Bone, Soppeng, Wajo. Sementara untuk komoditas padi hampir dapat dijumpai di semua daerah, namun pengembangannya terutama difokuskan di daerah Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, dan Luwu (BOSOWASIPILU). Pengembangan tanaman Kakao diarahkan ke daerah Luwu dan Pinrang yang kondisi iklimnya relatif basah, curah hujan tinggi dan merata. Kopi arabika dikembangkan di daerah ketinggian > 1.000 m dpl, antara lain di daerah Tana Toraja, Toraja Utara, Enrekang, Sinjai, dan Luwu. Pengembangan kelapa sawit ditujukan ke daerah-daerah relatif basah meliputi Luwu, Sinjai, dan Bulukumba. Unutk komoditas tebu, wilayah pengembangannya diarahkan di wilayah-wilayah dengan jumlah bulan kering tegas antara lain di daerah Takalar, Gowa dan Bone. Demikian pula dengan kapas diarahkan ke daerah-daerah relatif kering (tegas), seperti Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Bone, Soppeng, dan Wajo. Sayuran dan buah-buahan dataran tinggi diarahkan ke daerah ketinggian seperti Enrekang, Gowa (Malino) dan Sinjai serta beberapa wilayah dataran rendah.

Kriteria yang digunakan dalam pengelompokan pengembangan komoditas tersebut di atas adalah fisiografi, tanah, bentuk wilayah (kelerengan), tipe iklim (curah hujan, jumlah bulan basah dan bulan kering) dan ketinggian tempat serta arahan pengwilayahan komoditas nasional. Diharapkan dengan penetapan komoditas unggulan pada suatu wilayah akan meningkatkan efisiensi usahatani dan memacu perdagangan antar daerah.

Pola tanam yang diterapkan oleh petani di Sulawesi Selatan didasarkan pada kondisi curah hujan dan hubungannya dengan tipologi lahan (Tabel 3). Pada lahan beririgasi teknis umumnya diterapkan pola tanam IP 300 yaitu pola tanam palawija (jagung, kacang-kacangan) sesudah menanam padi. Selain itu sebagian petani juga menerapkan pola tanam mina padi yang dilakukan sesudah menanam palawija (jagung) atau padi. Pola tanam lahan tadah hujan yang terkendala dengan ketersediaan air, pola tanam yang dilakukan adalah penerapan IP 200 antara padi dan palawija atau pakan ternak. Untuk lahan kering, pola tanam yang diterapkan umumnya hanya menanam pertanaman monokultur palawija.

Pada tipologi lahan tadah hujan dan lahan kering diterapkan pula pola tanam tumpang sari antara tanaman jagung dan kacang-kacangan. Pola tanam tumpangsari dapat meningkatkan pendapatan petani dan memperkecil resiko gagal panen. Selain itu pada beberapa tempat, petani juga mempraktekkan pola tanam tumpangsari antara tanaman kapas dan dan palawija (jagung dan kacanga-kacangan). Nappu et al. (1990) melaporkan bahwa pola tumpangsari antara kapas dan kacang hijau dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar 20% – 30% dibandingkan dengan pola tanam monokultur kapas.

(6)

223

Tabel 3. Program pola tanam di Sulawesi Selatan

Tipologi lahan Pola tanam

• Irigasi Teknis Padi – Padi – Palawija (Jagung)

Mina Padi – Mina Padi Jagung – Padi – Mina Padi

• Tadah Hujan Padi – Palawija (Jagung)

Palawija (Sayuran) – Padi Jagung – Padi – Pakan

• Lahan Kering Palawija (Jagung) – Palawija (Jagung,

kacang-kacangan)

Palawija / Palawija (kapas)

Pola pergiliran tanaman seperti pada tabel diatas umumnya dilakukan oleh beberapa wilayah di Sulawesi Selatan. Penerapannya tergantung tipologi lahan wilayah tersebut. Selain itu pada beberapa tempat dijumpai petani menanam tanaman kacang-kacangan pada pematang sawah. Hal ini sangat menguntungkan untuk pengayaan populasi predator dan parasit (musuh alami) terhadap hama dan penyakit (Baehaki 2006). KESIMPULAN

Keragaman potensi sumber daya iklim dan lahan di Sulawesi Selatan, dapat memberi manfaat yang besar untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian. Berdasarkan zona iklimnya maka Sulawesi Selatan dikelompokkan menjadi 3 bagian berdasarkan kesamaan relatif zona iklimnya yaitu Sektor Barat, Timur dan Peralihan. Sedangkan berdasarkan klasifikasi Oldemen dibagi atas 13 tipe iklim yaitu A, B1, B2, C1, C2, C3, D1, D2, D3, E1, E2, E3 dan E4. Pemanfaatan potensi secara optimal akan memberikan hasil yang memuaskan dan berkelanjutan.

Untuk menjamin keberhasilan pengembangan komoditas pertanian maka perlu dilakukan inventarisasi data iklim dan identifikasi sumber lahan yang dituangkan dalam bentuk data spasial (peta) yang lebih detail dan operasional. Hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan perencanaan pengembangan pertanian dan akan bermanfaat untuk digunakan dalam mengevaluasi sumberdaya lahan sehingga dapat memberikan dampak positif yang lebih nyata pada pengembangan komoditas pertanian

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2008. Sulawesi Selatan Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik.

Baehaki, S.E. 2006. Tanaman Kedelai pada pematang sawah, sebagai metode diversifikasi dan keanekaragaman hayati ekologi sawah. Puslitbangtan, Bogor. (tidak dipublikasikan) Conway, G. R. 1987. Rapid Rural Appraisal and Agroecosystem Analysis : A Case Study from

Nothern Pakistan. Proceding of the 1985 Internastional Confrence on RRA. Rural System Res. And Farming System Res. Project. Khon Kaen, Thailand

Djaenudin, D. 2008. Perkembangan Penelitian Sumber Daya Lahan dan Kontribudinya untuk Menatasi Kebutuhan Lahan Pertanian di Indonesia. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 27 (4). Hal 132-137

Nappu, M. B., C. Lopulisa, J. Limbongan, Asmin. 1990. Pengujian Beberapa Varietas Kapas dan Kacang hijau dalam pola tumpangsari di lahan sawah bera. Prosiding Seminar Budidaya Kapas di Lahan Sawah. Departemen Pertanian, Kantor Wilayah Propinsi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia. Skala 1 : 1.000.000. Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

(7)

224

Sofyan, R., H. Sastraminardja, dan D. Djaenuddin. 2002. Potensi Sumberdaya Lahan dan

Agroklimat Pulau Sulawesi untuk Pengembangan Pertanian dan Permasalahannya. Prosiding Ekspose Nasional Penelitian dan Pengembangan pertanian Nasional. Puslitbangtanak. Buku I. Hal. 36-58.

Surmaini E., Susianti, A. Pramudja, dan Irsal Las. 2000. Pemutahiran Zona Agroklimat Oldemen dan Pemwilayahan Curah Hujan. Laporan Akhir. Puslitbangtanak, Bogor.

Susandi, A., M. Tamamadin, dan I. Nurlela. 2008. Fenomena Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Padi. Buku 1. Hal. 73-79.

Syafruddin, A.N. Kairupan, A. Negara, J. Limbongan. 2004. Penataan Sistem Pertanian dan Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona Agroekologi di Sulawesi Selatan. Penelitian dan pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 23 (2), Hal. 54-61.

Sys, C, E van Rast, J. Debaveye, and F. F. Beernaert. 1993. Land Evaluation Part III Crop Requirements. International Training Centre for Post Graduate. Soil Sci. Univ. Ghent. Agric. Publ. No.7.

Gambar

Grafik 2.  Pola curah hujan wilayah sektor timur
Tabel 2.  Potensi sumber daya lahan Sulawesi Selatan (BPS 2008).

Referensi

Dokumen terkait

Bandar Sidoras berdasarkan pola tanam yang diterapkan, diperlukan data hidrologi, klimatologi, topografi yang kemudian akan dianalisa untuk mendapatkan curah hujan efektif,

Pola tanam berbagai komoditas yang ada di Desa Cikarawang pola tanam A yang ditanami oleh ubijalar, ubijalar, dan Padi dengan curah hujan yang tinggi maka biaya pengeluaran

Bandar Sidoras berdasarkan pola tanam yang diterapkan, diperlukan data hidrologi, klimatologi, topografi yang kemudian akan dianalisa untuk mendapatkan curah hujan efektif,

ANALISIS KEBUTUHAN LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI.. PRQPINSI

Di Provinsi Sulawesi Tengah lahan potensial seluas 1.146.373 ha tersebar di dataran aluvial dan telah dimanfaatkan untuk pertanian lahan sawah irigasi dan tadah hujan,

Bandar Sidoras berdasarkan pola tanam yang diterapkan, diperlukan data hidrologi, klimatologi, topografi yang kemudian akan dianalisa untuk mendapatkan curah hujan efektif,

Berdasarkan hasil pengolahan data curah hujan bulanan dari 142 stasiun hujan, wilayah Sulawesi Selatan memiliki tiga (3) pola hujan (Tabel 6) yaitu : (a) Pola Equatorial

Jadwal tanam yang diusulkan memperhitungkan fitur penting sebagai berikut: (1) periode persiapan lahan bertepatan dengan curah hujan, (2) target panen dari tanaman dalam