• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNG DALAM IBADAH HAJI. Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNG DALAM IBADAH HAJI. Skripsi"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh Abdul Hamid 1111011000074

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui dan mengungkapkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam pelaksanaan ibadah haji. Karena melihat fenomenal yang terjadi dalam kehidupan umat manusia pada zaman sekarang ini sudah tidak lagi menghiasi dirinya dengan nilai-nilai akhlak, akibatnya banyak sekali dikalangan umat muslim khususnya ketika menjalankan ibadah haji atau setelah selesai ibadah haji terjadi penyimpangan yang ditemukan dalam kesehari-hariannya, karena minimnya pengetahuan tentang tuntunan praktik ibadah haji..

Metode yang digunakan dalam Penulisan ini adalah menggunakan penelitian kajian kepustakaan (library research) yaitu dengan menggunakan data yang sudah terkumpul sesuai dengan yang akan diteliti, kemudian dianalisis melalui teknik analisis deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan deduktif dan induktif. Buku primer yang digunakan adalah buku ibadah haji dalam filsafat hukum Islam karya Drs. Ishak Farid, buku menyelami seluk beluk ibadah dalam Islam karya Prof Dr. Ahmad Thib Raya, Ma, dan buku fiqh ibadah karya Dr Hj. Zurinal dan Aminuddin.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan akhlak yang terkadung dalam ibadah haji adalah syukur, ikhlas, dan taqwa yang melambangkan bahwa ketaatan dan penyerahan diri secara total kepada Allah baik harta maupun jiwa raga bagi seorang hamba. Karena di hadapan Allah mereka mensyukuri segala nikmat, berdzikir senantiasa, memohon perlindungan dosa, hawa nafsu dan juga godaan syetan. Dan juga tidak melakukan Rafats, fusuq, dan Jidal, dimana dalam ibadah haji ada larangan bagi jamaah ketika memakai pakaian ihrom untuk tidal melakukan perbuatan Rafats, fusuq, dan jidal (perdebatan) dengan sesama. Saling Tolong menolong, Mengendalikan Hawa nafsu, adanya persatuan, dan persaudaraan. Dengan adanya perkumpulan dalam ibadah haji ini yang berasal dari berbagai bangsa dan negara, jamaah harus saling toleransi dan memahami keadaan orang lain agar terciptanya ukhuwah Islamiah.

Kata Kunci: Nilai-nilai Pendidikan Akhlak, Akhlak Dalam Haji, Ibadah Haji.

(7)

i

Education in the Hajj is a job very touching for Muslims when pilgrims perform various terms and pillars of Hajj, with the purpose to be used as a lesson for daily life in the community. With the Hajj that can provide lessons for human life in this world, everything that humanity can emulate a variety of lessons and stories from the pilgrimage.

As for the writing of this paper the author memerupakan library research (library research) is data which has been collected in accordance with that will be examined, and then analyzed by qualitative descriptive analysis technique using deductive and inductive approach.

In the results of this study indicate that moral education contained within the pilgrimage is gratitude, sincerity, and piety which symbolizes that obedience and surrender totally to God both wealth and soul for a servant. Because before God they are grateful for every blessing, dhikr constantly, invoking the protection of sin, lust and temptation of Satan. Not doing Rafats, fusuq, and Jidal, where the Hajj are no restrictions for pilgrims when wearing ihrom to tidal acts Rafats, fusuq, and jidal (debate) with a neighbor. Please help, Controlling lust, unity and fraternity.

(8)

ii

Alhamdulillah segala puji hanya bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah memberikan beribu nikmatnya yang tiada terhingga penulis rasakan. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kebanggaan dan rasa syukur yang tiada henti.

Selama penulisan skripsi yang berjudul nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam ibadah haji, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun berkat kerja keras, doa dan kesungguhan hati serta dukungan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Marhamah, Lc, MA, Sekretaris jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Aminudin Ya’qub, MA, Pembimbing skripsi yang penuh keikhlasan dalam membagi waktu, tenaga dan pikiran beliau dalam upaya memberikan bimbingan, petunjuk, dan motivasi serta mengarahkan penulis dalam proses mengerjakan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai materi perkuliahan. 7. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah

dan Keguruan yang telah memberikan fasilitas berupa kemudahan dalam meminjamkan buku.

(9)

iii

8. Kedua orang tua tercinta bapak H. Romlih dan ummina Hj. Hamliyah, yang selalu penulis banggakan yang telah memberikan dukungan secara moril dan materil, yang selalu mencurahkan cinta dan kasih sayang serta memberikan semangat dan selalu memotivasi yang bertubi-tubi agar anaknya ini bisa berhasil mendapat gelar S-1. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan cinta yang mereka berikan kepada penulis.

9. Kepada Abang- abang dan empok yang tercinta yang selalu memberikan semangat dan motivasi serta memfasilitasi penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini untuk terus maju hingga selesai penulisan ini.

10. Kepada Sahabat-sahabat seperjuangan jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2011, wabilkhusus sahabat tercinta “TWOPAI” (PAI B). Sebuah nama dan cerita yang tidak akan penulis lupakan. Terimakasih atas kebersamaannya, dukungan, bantuan dan motivasi. Tiada hal yang terindah kecuali mengenang masa kita berjuang bersama di kampus tercinta.

11. Kepada Sahabat-sahabat terbaikku Ibnu Kholdun, Deni Maulana, Mohammad Khoirul Imam, Miqdad Ibrahim, Agung Cipto Aji, Faishal Zam-zamie, Ahmad Fahri Rizal. Terimakasih atas doa, dukungan, bantuan yang selama ini kalian berikan. Kalian begitu sabar dan selalu membagi ilmu dan pengalaman kalian kepada saya.

12. Kepada kawan seperjuangan sekelas, dan sekamar di Ponpes Al-Itqon Arih Syuroih, M. Ruslan, Ahmad Ijuddin, Ahmad Zuhair, Abdul Basit, yang selalu menemani, mendukung, dan berbagai pengalaman kepada saya.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan yang sangat bermanfaat bagi penulis demi terselesaikannya skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dan rahmat Allah SWT.

Penulis menyadari sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari salah dan kekurangan, oleh karena itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya

(10)

iv

atas segala kekurangan baik dari sistematika, bahasa, maupun isi. Atas dasar tersebut segala macam kritik dan saran yang bersifat membangun khususnya bagi penulis, sangat penulis harapkan.

Semoga, apa yang telah ditulis dalam skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya Âmîn Yâ Rabbal `Âlâmîn.

Jakarta, 20 Agustus 2016 Penulis

(11)

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Penelitian ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II : KAJIAN TEORITIK A. Nilai Pendidikan Akhlak ... 8

1. Pengertian Pendidikan Akhlak ... 8

2. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak ... 16

3. Metode Pendidikan Akhlak ... 18

4. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak ... 22

5. Tujuan Pendidikan Akhlak ... 24

B. Ibadah Haji ... 27

1. Pengertian Haji ... 27

2. Sejarah pelaksanaan Haji ... 28

3. Dasar-dasar Hukum Haji ... 30

4. Syarat-syarat Haji ... 32

5. Rukun Haji ... 35

(12)

vi

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian ... 40

B. Metode Penelitian ... 40

C. Fokus Penelitian ... 43

D. Prosedur Penelitian ... 43

BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak ... 44

1. Akhlak Kepada Allah a. Syukur ... 44

b. Ikhlas ... 45

c. Taqwa ... 46

2. Akhlak Kepada Rasulullah ... 47

3. Akhlak Kepada Diri Sendiri ... 49

a. Tidak Melakukan Rafats, Fusuq, dan Jidal ... 49

b. Mengendalikan Hawa Nafsu ... 50

c. Tolong Menolong ... 51

d. Persaudaraan ... 52

e. Persatuan Umat Islam ... 54

B. Hasil Analisis Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Ibadah Haji ... 54

1. Akhlak Kepada Allah ... 54

a. Syukur ... 54

b. Ikhlas ... 55

c. Taqwa ... 56

2. Akhlak kepada Rasulullah ... 56

3. Akhlak Kepada Diri Sendiri ... 58

a. Tidak Melakukan Rafats, Fusuq, dan Jidal ... 58

b. Mengendalikan Hawa Nafsu ... 58

(13)

vii

d. Persaudaraan dan Persatuan Umat Islam ... 60

e. Tanggung Jawab terhadap Keluarga ………..……… 61

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 62 B. Implikasi ... 64 C. Saran ... 64 DAFTAR PUSTAKA ... 65 LAMPIRAN

(14)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung selama dalam lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu.1 Pendidikan bisa kita dapatkan dimana saja, bukan hanya di ruangan sekolah tetapi di lingkungan sekitar kita pun bisa dijadikan sebagai pendidikan tanpa kita sadari. Dengan adanya pendidikan maka seseorang dapat berkembang dengan baik.

Dalam pengertian yang sederhana, pendidikan sering dimaknai sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik itu potensi jasmani maupun potensi rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaannya.2

Akhlak adalah merupakan salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Secara historis dan teologis akhlak tampil mengawal dan memandu perjalanan manusia agar selamat dunia dan akhirat.3 Akhlak yang mulia dalam agama Islam adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban, menjauhi segala larangan-larangan, memberikan hak kepada Allah, makhluk, sesama manusia, dan alam sekitar dengan sebaik-baiknya.4 Sebagaimana yang diwajibkan dalam rukun Islam yang kelima yaitu melaksanakan ibadah haji yang didalamnya banyak terkandung pendidikan akhlak yang mulia.

Ibadah merupakan salah satu sarana yang sangat efektif untuk mengarahkan tentang pendidikan akhlak yang mulia secara lurus dan benar

1 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Ed 1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), cet ke 7, h 3

2 Zurinal Z dan Wahyudi Sayuti, Ilmu Pendidikan dan nilaii amaliyahnya, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), cet ke I, h 1

3 Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), cet ke 2, h 149

4 M Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), cet ke I, h 2

(15)

serta merealisasikan pendidikan tersebut secara seimbang dan komprehensif. Ibadah dibagi menjadi dua bagian, ada ibadah mahdloh dan ibadah ghoiru mahdloh. Ibadah mahdloh adalah seperti ibadah fardhu, yaitu sholat, zakat, puasa, dan haji yang semuanya itu masing-masing mempunyai nilai tersendiri, dan juga mengandung maksud untuk mendidik ruh agar selalu bersih dari sifat tercela dan mengarahkan pendidikan akhlak.

Haji adalah sengaja mengunjungi Ka‟bah Allah dan tempat-tempat lainnya untuk melaksanakan thawaf, sa‟i, wukuf, dan semua yang ada hubungannya dengan pelaksanaan manasik, karena memenuhi panggilan Allah dan mencari ridho-Nya pada waktu tertentu dan dengan niat tertentu.5 Ibadah haji merupakan manifestasi pengorbanan yang paling nyata wujudnya selain qurban. Ritual-ritual dan tempat-tempat dalam ibadah haji melambangkan banyak hal yang berhubungan dengan perjalanan rohani manusia. Setiap manusia dalam hidupnya merasakan kehausan spiritual tertentu yang secara psikologis memberi rasa aman, baik itu dari kejenuhan hidup maupun ketidakpastian masa depannya. Adakah tempat yang lebih aman dari rumah Allah?, barangkali kerinduan pada rumah-Nya yang membuat orang mukmin berharap betul untuk dapat menunaikan ibadah haji.6

Dalam rukun Islam yang kelima ini Allah SWT sengaja mewajibkannya untuk mendidik diri dan meluruskan akhlak bagi setiap muslim yang mampu menjalankannya.7 Dengan adanya kewajiban untuk menyempurnakan rukun Islam yang lima ini diharapkan kita bisa mendapatkan jati diri sebagai manusia dengan akhlak yang mulia bukan hanya sekedar proses ibadah formal belaka. Namun untuk mendapatkan akhlak yang mulia tersebut dapat diraih dengan mempelajari makna ibadah haji secara mendalam.

Iman dan Islam sebagai agama saja belum cukup. Ia merupakan pohon yang belum berbuah. Ajaran itu untuk diamalkan bukan sekedar diteorikan,

5 Ahmad Abdul Majid, Seluk Beluk Ibadah Haji dan Umrah, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1993), h 18

6 Abdul Halim dan Ikhwan, Ensiklopedi Haji dan Umrah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), cet ke I, h VII

7 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013), cet ke 2, h 248

(16)

apabila ajaran itu diamalkan maka lahirlah akhlak. Akhlak adalah buah dari amal, iman, dan Islam.8 Maka jadikanlah Islam itu sebagai agama yang dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya diperbincangkan tentang permasalahan-masalah hukumnya saja.

Dari tahun ke tahun, jama‟ah haji termasuk jama‟ah haji Indonesia terus bertambah jumlahnya. Hal ini dilakukan bukan karena tingkat kemampuan ekonomi umat yang semakin meningkat, atau karena tingkat kesadaran keberagamaan umat yang semakin mapan, tetapi juga memang ibadah haji adalah ibadah yang mempunyai daya tarik tersendiri.9

Daya tarik ibadah haji bukan karena panorama kota Mekkah yang indah, bukan pula kerena adat istiadat bangsa Arab yang masih dianggap tradisional, bukan pula tanahnya yang sebagian besar gersang atau udaranya yang panas jauh berbeda dengan alam tropis Indonesia. Justru yang ajaib pada ibadah haji itu antara lain bahwa masing-masing yang melaksanakan ibadah haji akan memperoleh pengalaman-pengalaman ruhaniyah yang berbeda.10 Salah satu pengalaman-pengalaman dari banyaknya pengalaman jama‟ah haji yang bercerita yang berbentuk fisik adalah dapat melihat langsung Ka‟bah secara dekat, dan juga dapat berkumpul dengan sesama muslim sedunia yang masing-masing berbeda suku kata, dan juga kita bisa mengambil banyak ilmu agama (mengaji) dari ulama-ulama yang melaksanakan ibadah haji.

Dengan adanya kewajiban agar mengerjakan ibadah haji, seseorang akan dapat mengambil berbagai nilai-nilai pendidikan, „itibar, dan manfaat baik yang bersifat materi ataupun hal-hal yang bersifat maknawi. Inilah yang lebih berkesan dan juga bisa menambah ketaqwaan hambanya serta keimanan bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji, karena jika Allah SWT mewajibkan berbagai syariat dan larangan, maka hal tersebut tentu tidak akan lepas dari adanya hikmah dan pendidikan, baik yang tersirat mapun tersurat.

8 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet ke I, h 126

9 Amat Iskandar, Ketika Haji Kami Laksanakan, (Semarang: Dahara Press, 1994), h 7 10 Ibid

(17)

Melihat fenomenal yang terjadi dalam kehidupan umat manusia pada zaman sekarang ini sudah tidak lagi menghiasi dirinya dengan nilai-nilai akhlak, akibatnya banyak sekali dikalangan umat muslim khususnya ketika menjalankan ibadah haji atau setelah selesai ibadah haji terjadi penyimpangan yang ditemukan dalam kesehari-hariannya, karena minimnya pengetahuan tentang tuntunan praktik ibadah haji. Padahal pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sekarang semakin lama karena semakin banyak umat muslim yang mendaftar haji, tetapi kenapa tendensi moral masyarakatnya semakin merosot sehingga orang yang sudah pernah melaksankan haji pun akhlak atau moralnya belum berubah.

Salah satu kemulian yang disediakan Allah SWT bagi umat ini adalah keutamaan-keutamaan agung dan sifat-sifat yang dikhususkan bagi individu yang melaksanakan ibadah haji.11 Di antaranya: pertama, orang yang berhaji, hajinya akan menghancurkan dosa-dosanya yang telah lalu. Sebagaimana yang diriwayatkan dari „Amr bin Al-Ash Ra, ketika menjadikan Islam untukku, aku mendatangi Nabi SAW, lalu berkata “Ya Rasulullah bentangkanlah tangan tuan agar saya berbaiat kepadamu, „beliau pun membentangkan tangannya dan aku segera menggenggamnya dengan tanganku. Beliau bertanya, “Hai Amr, engkau mengajukan syarat apa? „Aku menjawab, Aku ingin mengajukan syarat. Beliau bertannya lagi. “syarat apa yang engkau ajukan?, „Aku menjawab, (Allah) mengampuniku. „Beliau bersabda, “tidaklah engkau mengetahui bahwa Islam akan mennghancurkan dosa-dosa sebelumnya, dan haji juga akan menggugurkan (dosa-dosa) sebelumnya.” (HR. Muslim).

Kedua, orang yang berhaji adalah mujahid (pejuang). Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jihad orang tua, anak-anak, dan perempuan adalah melaksanakan haji dan umrah”. (HR.An-Nasa‟i)

11 Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Labbaik Allahumma Labbaik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), cet ke I, h 21

(18)

Ketigat, Orang yang berhaji dikabulkan do‟anya. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibn „Abbas, “Rasulullah SAW bersabda, ada lima orang yang tidak akan ditolak do‟anya, yaitu do‟a orang yang berhaji sampai kembali (dari hajinya), do‟a orang yang berperang sampai pulang (dari perangnya), do‟a orang yang dizholimi sampai ditolong, do‟a orang yang sakit sampai sembuh, dan do‟a saudara bagi saudaranya yang lain. Dan orang yang paling dikabulkan do‟annya adalah do‟a saudar bagi saudara lainnya”. (Hadits-hadits Shahih dari Sa‟id bin Jubair, dari Ibn Abbas).

Penulis beranggapan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah haji merupakan hal yang sangat penting untuk dibahas. Pasalnya masih banyak dari golongan umat muslim yang melaksanakan ibadah haji, tetapi sepulangnya dari ibadah haji belum ada perubahan yang signifikan dalam tingkah laku atau akhlak kesehariannya mereka, mungkin karena mereka beranggapan bahwa dalam melakukan ibadah haji itu hanya untuk melakukan musafir atau bertamasya mengunjungi Mekkah. Selain itu juga disebabkan karena kekeliruan penafsiran atau pemahaman bahwa ibadah haji itu hanya ibadah yang berhubungan Hablu min Allah (urusan kepada Allah) saja sehingga nilai-nilai akhlak pun tidak terakomodasi.

Oleh karena itu, dari permasalahan yang sudah diuraikan di atas, penulis bermaksud untuk mengadakan suatu penelitian yang sesuai dengan permasalahan tersebut yang berjudul “Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam ibadah haji” dengan berdasarkan metode kajian pustaka atau risert library yang relavan dengan tema tersebut.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, diantaranya yaitu:

1. Para jamaah haji kurang memahami tentang tuntunan atau proses ibadah haji

(19)

2. Masih banyak para jamaah haji yang belum mengimplementasikan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari.

3. Bagaimana nilai pendidikan akhlak dapat diperoleh oleh jamaah haji? 4. Sudah adakah perubahan yang optimal terhadap orang yang telah

melaksanakan haji?

C. Pembatasan Masalah

Untuk terarahnya pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membatasi permasalahan-permasalahan yang hendak diteliti agar lebih fokus, yaitu:

1. Apa saja nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam ibadah haji? 2. Bagaimana nilai pendidikan akhlak diperoleh setelah pelaksanaan ibadah

haji?

D. Perumusan Masalah

Setelah membatasi masalah yang akan dibahas, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

“Apa saja nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam pelaksanaan ibadah haji.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin dan optimal, maka penulis harus lebih dahulu mengemukakan tujuan dari penulisan tersebut. Adapun tujuan dan manfaat yang bisa di ambil dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut ini:

1. Tujuan Penulisan

Adapun penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengungkapkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam pelaksanaan ibadah haji.

(20)

2. Manfaat Penulisan

a. Menambah khazanah kajian pendidikan mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah haji khususnya bagi dunia pendidikan, dan adanya kemungkinan penelitian lebih lanjut dari hasil penelitian ini. b. Mengetahui bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam ibadah haji c. Untuk Mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam haji

dikehidupan sehari-hari

d. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana program Strata Satu (S1) pada jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(21)

8

A. Nilai Pendidikan Akhlak

1. Pengertian Pendidikan Akhlak

a. Nilai Pendidikan

Nilai adalah ukuran untuk menghukum atau memilih tindakan dan tujuan tertentu. Nilai sesungguhnya tidak terletak kepada barang atau peristiwa, tetapi manusia memasukkannya ke dalamnya, jadi barang mengandung nilai karena ada subjek yang tahu dan menghargai nilai itu. Tanpa hubungan subjek yang tahu dan menghargai nilai itu, tanpa hubungan subjek atau objek, nilai tidak ada.1

Menurut Hoffmeister yang dikutip oleh Khoiron Rosyadi, nilai adalah implikasi hubungan yang diadakan oleh manusia yang sedang memberi nilai antara satu benda dengan satu ukuran. Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai kita rasakan dalam diri kita masing-masing sebagai pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi penting dalam kehidupan, sampai pada tingkat dimana sementara orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka dari pada mengorbankan nilai.2

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan nilai adalah sifat-sifat yang paling penting atau berguna bagi kehidupan kemanusiaan, sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.3 Sedangkan menurut Mohammad Noor Syaam, nilai adalah sesuatu penetapan atau suatu kualitas objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.4

1 Khairon Rasyadi. Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet ke I, h 114

2 Ibid 115

3 Hasan Alwi dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed ke III, (Jakarta: Dapartemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, 2007), cet ke 4, h 783

4 Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), cet ke 3, h 133

(22)

Jadi dari beberapa definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa nilai itu adalah suatu penetapan atau kualitas objek yang dapat memeberi bekas atau tanda yang khusus bagi objek yang dilihatnya, agar apa yang kita lihat itu dapat dihargai dengan adanya nilai tersebut.

Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagoie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan.5

Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang RI nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.6 Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Oleh karena itu pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas.7

Menurut Alisuf Sobri yang mengutip dari Ahmad D. Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik untuk menuju terbentuknya kepribadian yang utama.8

Menurut Redja Mudyaharjo, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintahan melalui kegiatan bimbingan pengajaran atau latihan yang berlangsung di dalam sekolah

5 Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), cet ke 4, ha 111 6 Ahmad Syar‟i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), cet ke 2, h 4 7 Zuhairini, Filsafat Prndidikan Islam, Ed ke I, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet ke 3, h 149

8 M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet ke I, h 150

(23)

maupun di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar yang terprogram dalam seumur hidup yang bertujuan untuk mengoptimalisasikan pertimbangan kemampuan-kemampuan individu secara tepat.9

Menurut Zakiyah Darajat dkk yang dikutip oleh M. Alisuf Sabri, pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian; pendidikan Islam ini lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbutan sesuai dengan petunjuk ajaran Islam, karena itu pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal.10

Pendidikan Islam menurut Hamka yang dikutip oleh Samsul Nizar dibagi menjadi dua kata, yaitu adalah:

1) Ta‟lim (

ٌم

ِلْي

ْع

َت

), Hamka merujuk penggunaan kata ta‟lim pada QS. Al-Baqarah ayat 31, dalam tafsirnnya, ia mengatakan pengertian ta‟lim pada ayat tersebut mengandung makna bahwa “pendidikan merupakan proses pentransperan seperangkat pengetahuan yang dianugrahkan Allah kepada manusia (Adam)”. Dengan kekuatan yang dimilikinya baik kekuatan panca indra maupun akal, manusia dituntut menguasai materi yang ditransfer.11

2) Tarbiyah (

ٌةَيِبْرَت

), menurut Hamka penggunaan kata Raabb atau Tarbiyah dari QS. At-Taubah: 129, Ar-Ra‟d: 16, dan Al-Falaq: 1, dapat diartikan “pemeliharaan” dan “pelindung”. Pemeliharaan tersebut mencakup pada pemeliharaan semua ciptaan Allah yang ada di muka bumi tanpa terkecuali sesama manusia. Penekanannya lebih

9 Redja Mudyhardjo, Pengantar Pendidikan, Ed I, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012) cet ke 7, h 11

10 Sabri. Loc. Cit.

11 Samsul Nizar, Membincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet ke I, h 106

(24)

memuat pesan nilai akhlak, baik secara vertikal maupun secara horizontal.12

Pendidikan Islam menurut Nur Uhbiyati adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kehidupannya.13

Jadi nilai-nilai pendidikan yang dimaksud adalah sesuatu yang bisa berguna untuk membangkitkan atau mengembangkan seseorang menjadi yang lebih bermanfaat lagi bagi kehidupannya di masyarakat.

b. Pendidikan Akhlak

Secara linguistik (kebahasaan) kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya.14

Menurut bahasa (etimologi) kata akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi‟at. Khuluq merupakan gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriah manusia seperti raut wajah, gerak anggota badan, dan seluruh tubuh.15

Kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya bisa dijumpai pemakaiannya di dalam Al-Qur‟an maupun Hadits sebagaimana dibawah ini.16

“Dan sesungguhnya Engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang Agung”. (QS. Al-Qalam: 4).

12 Ibid 108

13 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI), (Bansung: CV Pustaka Setia, 1997), h 13 14 Moh Ardani, Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadah dan Tasawuf, (Jakarta: CV Karya Mulia, 2005), cet ke 2, h 25

15 M Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2007), cet ke I, h 2

(25)

“Bahwasanya Aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti”. (HR. Ahmad).

Dalam kamus Al-Munjid, khuluq berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi‟at. Akhlak diartikan sebagai ilmu tata krama, ilmu yang berusaha mengenali tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila.17

Menurut Akmal Hawi yang mengutip dari Tatapangarsa mengatakan, dalam pengertian sehari-hari kata “akhlak” umumnya disamakan artinya dengan arti kata budi pekerti, atau kesusilaan, atau sopan santun.18

Sedangkan menurut Ya‟qub, kata akhlak erat sekali hubungannya dengan kata khaliq yang berarti pencipta dan kata makhluk berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluk.19

Menurut Mubarak yang dikutip oleh Abdul Majid mengungkapkan bahwa akhlak adalah keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa memikirkan untung dan rugi. Orang yang berakhlak baik akan melakukan kebaikan secara spontan tanpa pamrih apa pun. Demikian juga orang yang berakhlak buruk, akan melakukan keburukan secara spontan tanpa memikirkan akibat bagi dirinya maupun yang dijahati.20 Adapun bila dilihat dari sudut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat mendefinisikan tentang pengertian akhlak, di antaranya sebagai berikut:

17 Yatimin Abdullah, op. Cit., h 3

18 Akmal Hawi, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet ke I, h 98

19 Ibid

20 Abdul Majid, Dian Andrayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), cet ke I, h 10

(26)

1) Ibrahim Anis, mengatakan akhlak ialah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.21

2) Ahmad Amin, mengatakan bahwa akhlak adalah kebiasaan baik dan buruk, contohnya apabila kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut akhlaqul karimah, dan apabila perbuatan itu tidak baik maka disebut akhlaqul madzmumah.22

3) Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya „Ulum al-Dhin mengatakan akhlak ialah gambaran tingkah laku dalam jiwa yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.23

4) Ibn Maskawaih dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq, beliau mendefinisikan akhlak sebagai suatu keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan.24

Dari beberapa penjelasan yang dituangkan tentang pendidikan akhlak menurut terminologi di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah suatu tingkah laku atau tabi‟at seseorang, yakni keadaan jiwa kita yang sudah terlatih sehingga dalam jiwa kita ini benar-benar sudah melekat dengan sifat-sifat yang baik sehingga dapat melahirkan perbuatan dengan mudah tanpa adanya memikirkan dan pertimbangan lagi.

Dalam kitab al-Mu‟jam al-Wasit disebutkan definisi akhlak sebagai berikut:

21 Yatimin Abdullah, loc. Cit. 22 Ibid

23 Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011) cet ke 2, h 151

(27)

“Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.25

Senada dengan ungkapan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya U‟lumuddin sebagai berikut:

“Al-Khulk ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.26

Istilah akhlak disini mempunyai kesamaan arti dengan beberapa istilah, seperti etika, moral, dan susila.

1) Etika

Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan arti etika dari segi istilah para ahli berbeda pendapat sesuai dengan sudut pandangnya. Di antaranya menurut Ahmad Amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, dan menyatukan tujuan apa yang harus dituju oleh manusia.27

Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, menurutnya etika adalah suatu ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya.28

Moh Ardani mengatakan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seeharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus

25 Ibrahim Anis, Al-Mu‟jam al-Wasit, (Mesir: Darul Ma‟arif, 1972), h 202

26 Imam Al-Ghazali, Ihya „Ulumu al-Dhin, Juz III, (Cairo: Al-Masyhad al-Husain) h 56 27 Abuddin Nata, Akhlak-Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h 90 28 Ibid

(28)

dituju manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.29

2) Moral

Kata moral berasal dari bahasa latin mores, kata jamak dari “mos” yang berarti adat kebiasaan. Yang dimaksud dengan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar.30 Sedangkan didalam kamus besar bahasa Indonesia moral adalah ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban.31

Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, buruk.32

Pengarang Abul A‟la Maududi mengemukakan adanya moral Islam dalam bukunya: Ethical Viewpoint of Islam dan memberikan garis tegas antara moral sekuler dan moral Islam. Moral sekuler bersumber dari pikiran dan prasangka manusia yang beraneka ragam. Sedangkan moral Islam bersandar kepada bimbingan dan petunjuk Allah SWT dalam Al-Qur‟an.33

3) Susila

Susila atau kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”. Kata tersebut berasal dari kata sansekerta, yaitu “Su” dan “Sila”. Su berarti baik, bagus, dan Sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma.34

29 Ardani, Op. cit., h 31

30 Hamzah Ya‟qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah, (Bandung: CV. Diponegoro, 1983), cet ke 2, h 14

31 Alwi Dkk, Op. Cit., h 754 32 Nata, Op. Cit., h 92 33 Hamzah Ya‟qub, Loc. Cit. 34 Nata, Op. Cit., h 96

(29)

Kesusilaan lebih mengacu kepada upaya membimbing, mamandu, mengarahkan, membiasakan, dan memasyarakatkan hidup sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.35

Sedangkan menurut Sa‟adudin yang dikutip oleh Abdul Majid, dan Dian Andrayani mengemukakan bahwa akhlak mengandung beberapa arti, di antaranya:36

1) Tabi‟at, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan.

2) Adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keinginan.

3) Watak, yaitu cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabi‟at dan hal-hal yang diupayakan hingga menjadi adat.

2. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak

Pendidikan akhlak adalah bagian yang terbesar dalam pendidikan Islam, hal ini terlihat jelas dari kedudukan Al-Qur‟an yang menjadi pedoman yang pertama dan terpenting bagi kita semua dalam mendidik akhlak bagi kaum muslimin di seluruh alam ini, baik itu individu, masyarakat, ataupun keluarga. Karena dengan akhlak lah yang akan membuat hidup kita menjadi lebih baik, apalagi di zaman sekarang ini, Pendidikan akhlak sangatlah penting untuk dijadikan tabi‟at yang baik dan sopan, dan seseorang yang mempunyai akhlak yang baik juga dijadikan untuk membedakan antara kita dengan sekumpulan binatang, karena ada suatu istilah yang berbunyi “orang yang tidak berakhlak maka sama saja ia seperti prilaku binatang”.

Akhlak merupakan cermin dari pada umat Islam yang tentu saja mempunyai dasar, dan dasar itulah yang harus dihayati dan diamalkan agar tercipta akhlak yang mulia. Apabila umat muslimin semuanya sudah menjadikan akhlak sebagai cermin maka semuanya juga akan menjadi baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh M. Ali Hasan dalam bukunya Tuntunan

35 Ibid

(30)

akhlak yang dikutip oleh Akmal Hawi mengemukakan bahwa yang menjadi dasar sifat seseorang itu baik atau buruk adalah Al-Qur‟an dan Sunnah. Apa yang baik menurut Al-Qur‟an dan Sunnah, itulah yang baik untuk dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari, sebaliknya, apa yang buruk menurut Al-Qur‟an dan Sunnah berarti itu tidak baik dan harus dijauhi.37 Demikian pentingnya akhlak mulia dalam kehidupan manusia sehingga banyak ayat yang menyebutkan tentang akhlak di dalam Qur‟an dan Al-Hadits, di antaranya yaitu dalam surah an-Nahl ayat 97 yang berbunyi:38

“Barangsiapa mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesunngguhnya akan kami beri balesan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl: 97)

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang ytang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia ba banyak menyebut Allah”. (QS. AL-Ahzab: 21)

Dan sebagai pedoman yang kedua yaitu Al-Hadits, banyak sekali hadits yang menjelaskan tentang akhlak, di antaranya:

37 Hawi, Op.Cit., h 100

38 Heny Narendrany Hidayat, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, (Jakarta: UIN Prees dan LPJm, 2009), h 2

(31)

“Orang mukmin yang sempurna keimanannya adalah orang yyang paling baik akhlaknya”. (HR. At-Turmudzi)

“Bahwasanya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan budi pekerti”. (HR. Ahmad).

3. Metode Pendidikan Akhlak

Metodologi berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua suku kata “metodos” berarti cara atau jalan, dan “logos” yang berarti ilmu. Metodologi berarti ilmu tentang jalan atau cara.39

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata “metode” adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.40

Dari pengertian di atas menjelaskan bahwa metode merupakan cara yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yang kita cita-citakan, namun metode yang dimaksud disini bukan metode yang sering kita kenal di dunia pendidikan sekolah secara umum, seperti menggunakan metode ceramah ataupun metode tanya jawab, tetapi metode yang digunakan disini adalah menjelaskan metode dengan lebih luas cakupannya dari metode yang kita kenal.

Sebagaimana pendidikan mempunyai metode untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yang diinginkan, begitu pula halnya dalam dunia pendidikan akhlak yang harus mempunyai metode-metode yang spesifik agar pendidikan akhlak tersebut bisa di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya masing-masing. Adapun metode-metode tersebut adalah antara lain sebagai berikut:

39 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Prees, 2002), h 87

(32)

a. Metode Keteladanan (Uswah Hasanah)

Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa “Keteladanan” dasar katanya “Teladan” yaitu hal yang dapat ditiru atau dicontoh: tidak perlu kita ragukan lagi.41

Dalam bahasa Arab “Keteladanan” di ungkapkan dengan kata-kta Uswah dan Qudwah, yang berarti prilaku baik yang dapat ditiru oleh orang lain (Peserta Didik).42

Dalam Al-Qur‟an “keteladanan” diistilahkan dengan kata “Uswah” di antaranya dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 6 yang berbunyi:

Pada ayat diatas memperlihatkan bahwa kata “Uswah” digandengkan dengan sesuatu yang positif yaitu kata “Hasanah”.43

Metode keteladanan ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

“Mulailah dari diri sendiri”

Maksud hadits ini adalah dalam hal kebaikan dan kebenaran, apabila kita menghendaki orang lain juga mengerjakannya, maka mulailah dari diri kita sendiri dulu untuk mengerjakannya.44

b. Metode Pembiasaan

Metode ini digunakan dalam memberikan materi pendidikan melalui pembiasaan secara bertahap. Pembiasaan disini dilakukan dalam rangka mempertahankan sifat dan sikap yang baik sehingga selalu menyatu dan terpatri dalam dirinya, begitu juga sebaliknya metode pembiasaan juga digunakan untuk mengubah sifat dan sikap yang buruk sehingga menjadi baik secara bertahap.45

41 Alwi Dkk, Op. Cit., h 1160 42 Arief, Op. Cit., h 124 43 Ibid 118

44 Heri Jauhari Mukhtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008) h 19 45 Ahmad Syar‟I, Op. Cit., h 77

(33)

Dalam pelaksanaan metode pembiasaan ini diperlukan pengertian, kesabaran, dan ketelatenan orang tua, pendidik, dan da‟i terhadap anak didiknya. Contohnya seperti yang dipesankan oleh Rasulullah SAW kepada kita untuk membiasakan atau melatih anak kita untuk melaksanakan sholat sejak mereka berumur tujuh tahun dan memukulnya (dengan tanpa melukai) ketika mereka berumur sepuluh tahun atau lebih, apabila anak kita tidak mengerjakan kewajibannya yaitu sholat fardhu.46 Inti dari metode pembiasaan ini ialah pengulangan, maka motode ini juga bisa berguna untuk hafalan. Sebagaimana Rasulullah SAW berulang-ulang berdoa dengan doa yang sama, akibatnya dia hafal bener doa itu, dan sahabatnya yang mendengarkan doa berulang-ulang itu juga hafal doa itu.47

c. Metode Nasihat

Metode nasihat ini cukup banyak digunakan dalam Qur‟an. Al-Qur‟an menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan kepada ide yang dikehendakinya. Nasihat yang disampaikan juga selalu disertai dengan panutan atau teladan dari si pemberi nasihat tersebut.48

Memberi nasihat sebenarnya merupakan kewajiban kita selaku umat muslim, seperti yang tertera dalam QS. Al-Ashar ayat 3, yaitu agar kita senantiasa memberikan nasihat dalam hal kebenaran dan kesabaran, Rasulullah bersabda:

“Agama itu adalah nasihat”

Maksudnya adalah agama itu berupa nasihat dari Allah SWT bagi umat manusia melalui para Nabi dan Rasul-Nya agar manusia hidup

46 Jauhari Mukhtar, Loc. Cit.

47 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), cet ke 10, h 145.

(34)

bahagia, selamat, dan sejahtera di dunia maupun di akhirat. Selain itu juga menyampaikan ajaran agama pun bisa dilakukan melalui metode nasihat.49

d. Metode Memberi Nasihat

Memberi nasihat berarti tadzkir (peringatan). Yang memberi nasihat hendaknya berulang-ulang kali untuk mengingatkannya, agar nasihat itu meninggalkan kesan sehingga orang yang dinasihati tergerak hatinya untuk mengikuti nasihat itu. Dalam memberi nasihat itu harus dengan keikhlasan dan berulang-ulang agar timbul kesan bahwa yang memberi nasihat itu memang mempunyai keprihatian terhadap nasib pendengarnya dan menyentuh kalbunya.50

Dalam memberi nasihat, agar yang dinasihati dapat menerima atau mengamalkannya, maka kita harus menggunakan bahasa dan kata yang baik dan sopan serta mudah dipahami, tidak menyinggung perasaan orang yang kita beri nasihat, memperhatikan keadaan sekitar, dan sertakan dengan ayat-ayat Al-Qur‟an, Al-Hadits, atau kisah.51

Metode ini biasanya berupa pujian dan penghargaan. Rasulullah sering memuji istrinya, putra-putrinya, keluarga, dan sahabatnya. Misalnya ketika Rasulullah SAW memuji istrinya (Siti Aisyah) dengan panggilan “Ya Khumairoh” artinya wahai yang kemerah-merahan, karena pipi Siti Aisyah berwarna kemerah-merahan.52

e. Metode Hukuman

Hukuman dalam kamus besar bahasa Indonesia, diartikan dengan: “Siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang.53 Sedangkan dalam bahasa Arab “hukuman”

49 Jauhari Mukhtar, Op. Cit., h 20 50 Tafsir, Op. Cit., h 146

51 Jauhari Mukhtar, Op. Cit., h 21 52 Ibid

(35)

diistilahkan dengan “Iqab, Jaza‟, „uqubah”. Kata Iqab bisa berarti balesan.54

Metode ini sebenarnya berhubungan dengan pujian dan penghargaan. Imbalan atau tanggapan terhadap orang lain. Metode itu terdiri dari dua, yaitu penghargaan (reward/targhib) dan hukuman (punishment/tarhib). Hukuman dapat diambil sebagai metode pendidikan apabila terpaksa atau tidak ada alternatif lain yang bisa diambil.55

Metode hukuman tidak dengan sendirinya harus dilaksanakan dalam pendidikan Islam, tetapi melalui proses, artinya bila metode dan berbagai cara telah digunakan namun belum berhasil juga, maka dilakukan hukuman agar anak menyadari kesalahannya dan ini juga tentu harus sesuai dengan kualifikasi kesalahannya.56

4. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Haji

a. Akhlak kepada Allah

1) Syukur

Syukur adalah memanjatkan pujian kepada sang pemberi nikmat atas keutamaan dan kebaikan yang dikaruniakan kepada kita.57

Realitas syukur seorang hamba meliputi tiga rukun, jika belum terkumpul tiga rukun tersebut maka belum dapat disebut syukur, yaitu: pertama, mengakui kenikmatan secara batiniah, kedua, mengucapkannya secara lahiriah, dan ketiga, menggunakannya sebagai motivasi untuk peningkatan ibadah kepada Allah SWT.58

54 Arief, Op. Cit., h 129 55 Jauhari Mukhtar, Loc. Cit. 56 Syar‟i, Op. Cit., h 78

57 Ahmad Faried, Menyucikan Jiwa, Konsep Ulama Salaf, (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), h 103

(36)

2) Ikhlas

Ikhlas ialah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dari berbagai tendensi pribadi. Ada pula yang berpendapat, bahwa ikhlas adalah merefleksikan setiap tujuan semata hanya kepada Allah SWT.59

3) Tawakkal

Tawakal adalah berpasrah diri kepada Allah SWT setelah melakukan upaya-upaya atau berikhtiar terlebih dahulu.60

b. Akhlak kepada Rasulullah

Rasulullah SAW merupakan suri tauladan yang baik bagi umat manusia di dunia ini. Beliau diutus ke muka bumi ini untuk menjadi pembimbing dan membawa perubahan kepada umat manusia menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.

Akhlak kepada Rasulullah SAW dapat dilakukan dengan beberapa cara: di antaranya:61

1) Menerima ajarannya yang dibawanya 2) Mengikuti sunnahnya

3) Mengucapkan salam dan sholawat kepadanya

c. Akhlak kepada Diri Sendiri

1) Mengendalikan Hawa Nafsu

Hawa nafsu mengandung arti kecenderungan hati kepada sesuatu yang disukai dan dicintai yang tidak ada kaitannya dengan urusan akhirat.

Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar kita senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah dan juga menjauhi perintah

59 Ibid, h 1

60 Didiek Ahmad Supadie, Studi Islam I, (Semarang: Unissula Press, 2002), h 90 61 Hamzah Ya‟qub, Etika Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1993), h 145

(37)

hawa nafsu yang dilarang oleh Allah SWT yang akan merugikan dan menghancurkan kehidupan kita.

2) Tolong Menolong

Tolong menolong adalah sikap yang senang menolong orang lain, baik dalam bentuk material maupun tenaga moril.62 Sikap ini dikemukakan dalam QS. Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:

3) Persaudaraan / Ukhuwah Islamiyah

Untuk menumbuhkan kesadaran agar persaudaraan tetep terjaga dan menjauhkan diri dari perpecahan terhadap persaudaraan bahwa pada hakikatnya kita ini semuanya sama kedudukannya sebagai hamba Allah dan khalifah dibumi ini tidak ada yang membedakannya kecuali ketaqwaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:

5. Tujuan Pendidikan Akhlak

Tujuan merupakan sesuatu yang sensial bagi kehidupan manusia. Dengan adanya tujuan, semua aktivitas dan gerak manusia menjadi lebih dinamis, terarah, dan bermakna. Tanpa tujuan, semua aktivitas manusia

(38)

akan kabur dan terombang-ambing. Secara filosofis, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk al-Insan al-Kamil atau manusia paripurna.63 Dalam pandangan Hamka, tujuan Islam adalah mengenal dan mencari keridhoan Allah SWT, membangun budi pekerti untuk berakhlakul mulia serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya.64

Tujuan pendidikan menurut Oemar at-Toumy Asy-Syaibani yang dikutip oleh Sri Minarti ialah perubahan yang diinginkan dan diusahakan untuk mencapainya dalam proses pendidikan. Perubahan ini mencakup tingkah laku individu, baik dari kehidupan pribadi, kehidupan masyarakat, dan alam sekitarnya dimana individu itu hidup, serta pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktifitas yang asasi dalam masyarakat.65

Samsul Nizar mengutip dari pendapat Hasan Langgulung, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia (peserta didik). Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional, perasaan, dan indra, karena itu pendidikan hendaknya mencakup seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, aspek bahasa baik secara individu maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang kearah yang baik dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak kepada perwujudan ketundukkan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh ummat manusia.66

Menurut Mohammad Athiyah al-Abrasy yang dikutip oleh Nur Uhbiyati dalam kajiannya tentang pendidikan islam telah menyimpulkan lima tujuan umum pendidikan Islam, yaitu:67

63 Samsul Nizar, Membincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet ke I, h 116

64 Ibid 117

65 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), cet ke I, h 36 66 Nizar, Op. Cit., h 119

(39)

a. Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat

c. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi manfaatnya

d. Menumbuhkan semangat ilmiyah pada pelajar dan memuaskan keinginan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu

e. Menyiapkan pelajar dari segi profesionalis, teknis, pertukaran supaya ia dapat menguasai profesi tertentu.

Sedangkan tujuan khusus pendidikan islam yang dimaksudkan dibawah ini penumbuhan dorongan semangat agama dan akhlak adalah:68

a. Memperkenalkan kepada generasi muda akan aqidah Islam, dasar-dasarnya, asal usul ibadah, tata cara melaksanakannya dengan betul dengan membiasakan mereka berhati-hati dan menghormati syiar-syiar Islam.

b. Menambah kesadaran yang betul pada diri pelajar terhadap agama termasuk prinsip dan dasar akhlak yang mulia.

c. Menambahkan rasa cinta kepada Al-Qur‟an, membaca dengan baik dan memeliharanya, dan juga mengamalkan ajaran-ajarannya.

d. Menanamkan iman yang kuat kepada Allah pada diri mereka perasaan keagamaan dengan rasa cinta dzikir, taqwa, dan takut kepada Allah SWT.

Akmal Hawi megutip dari pendapat Zakiyah Derajat, mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT Selama hidupnya dan matipun tetap dalam keadaan muslim. Pendapat ini didasari oleh firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 102 yang artinya:69

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-sebenarnya taqwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim”.

68 Ibid, h 53

(40)

Melihat dari segi tujuan akhir setiap ibadah adalah pembinaan taqwa. Bertaqwa mengandung arti melaksanakan segala perintah agama dan meninnggalkan segala larangan agama. Ini berarti menjauhi perbuatan-perbuatan jahat dan melakukan perbuatan-perbuatan-perbuatan-perbuatan baik (Akhlaqul Karimah). Perintah Allah SWT yang ditujukan kepada perbuatan-perbuatan baik dan larangan berbuat jahat (Akhlaqul Mahmudah). Orang yang bertaqwa berarti orang yang berakhlak mulia, berbuat baik, dan berbudi luhur.70

Dari beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk kepribadian dalam diri manusia yang mengabdi kepada Allah (bertaqwa) dan bertanggung jawab kepada dirinya dan masyarakat untuk berubah menjadi budi pekerti yang baik yang melekat pada dirinya agar tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat.

B. Hakikat Haji

1. Pengertian Haji

Haji menurut bahasa artinya sengaja, dan menurut istilah adalah sengaja mengunjungi Ka‟bah Allah dan tempat-tempat lainnya untuk melaksanakan thawaf, sa‟i, wukuf, dan semua yang ada hubungannya dengan pelaksanaan manasik, karena memenuhi panggilan Allah dan mencari ridho-Nya pada waktu tertentu dan dengan niat tertentu.71

Dalam buku fiqh ibadah karya Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas dikatakan bahwa haji menurut bahasa adalah al-qashad ila mu‟azzam (pergi menuju sesuatu yang diagungkan).

Adapun menurut arti istilah (terminologi) jika kalangan ahli bahasa menyebut haji untuk segala jenis maksud berpergian (alqashad) secara umum, maka ahli fiqh mengkhususkan hanya untuk niatan datang ke

70 Yatimin Abdullah, Op. Cit., h 5

71 Ahmad Abdul Majid, Seluk Beluk Ibadah Haji dan Umrah, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1993), h 18

(41)

Baitullah guna menunaikan ritual-ritual peribadatan (manasik) tertentu. Pakar ahli fiqh lain mengatakan haji adalah pergi mengunjungi tempat-tempat tertentu dengan prilaku tertentu dan waktu tertentu.72

Jadi haji adalah suatu ibadah yang dilakukan dengan berniatan mengunjungi Baitullah (ka‟bah) untuk melakukan amalan-amalan tertentu antara lain: wukuf, thowaf, dan sa‟i demi memenuhi panggilan Allah SWT dan mengharapkan ridhoNya, yang dilakukannya mulai dari bulan syawal, dzulqa‟dah, dan sampai diakhirnya yaitu bulan dzulhijjah.

Menurut Sayyid Sabiq, haji adalah mengunjungi Mekkah buat mengerjakan ibadah thawaf, wukuf di padang arafah, dan ibadah-ibadah lainnya demi memenuhi titah Allah dan mengharapkan ridhoNya.73

Haji adalah hijrah kepada Allah SWT untuk memenuhi panggilannya. Ia merupakan musim yang terus bergilir, tempat kaum muslimin bertemu setiap tahun dalam hubungan paling mulia, suci, dan murni. Ia menjadi sasaran bagi setiap jamaah untuk menikmati berbagai manfaat yang dapat di peroleh ditempat ini yang dimuliakan Allah dan bertujuan untuk kebaikan umat muslimin di dunia dan akhirat.74

2. Sejarah Haji

Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isma‟il AS, membangun Ka‟bah untuk tempat beribadah hanya kepada Allah SWT pada zaman penyembahan berhala merajalela di hampir seluruh belahan dunia. Saat itu, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim AS agar menyeru manusia untuk berhaji ke Baitullah yang dari memancar sinar-sinar hidayah melalui agama tauhid yang murni, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT : Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berlajalan kaki, dan mengendarai onta yang

72 Abdul Aziz Muhammad Azzam&Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2013), cet ke 3, h 481-482

73 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 5 (Bandung: Al-Maarif, 1981), cet ke 3, h 26

74Abu Ahmadi&Nor Salami, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet ke 4, h 189

(42)

kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Maka, manusia segera pergi menujunya, lalu menyerap kaidah-kaidah agama, melepaskan diri dari dosa-dosa penyembahan berhala dan kotoran kemusyrikan manuju akidah tauhid yang murni.75

Dengan demikian, agama Nabi Ibrahim AS, menyebar di kepulauan Arab. Dikemudian hari, hampir seluruh kabilah di Arab berhaji ke Baitullah dan mengagungkan kesuciannya dengan tata cara (amalan-amalan) ibadah haji yang telah digariskan nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim sang kekasih Tuhan.76

Ibadah haji mulai diperintahkan pada akhir tahun ke-9 (sembilan setelah Nabi berada di kota Madinah. Perintah haji pada tahun itu belum dapat dilakukan oleh Rasulullah dan kaum muslimin lainnya karena adanya suatu halangan. Haji pun baru dapat dilaksanakan oleh Rasulullah dan kaum muslimin setahun kemudian, yaitu pada tahun ke-10 Hijriah, dan inilah satu-satunya haji yang dilaksanakan oleh Nabi kita.77 Adapun yang bertindak sebagai Amirul Hajj pada tahun ke-9 Hijriah itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.78

Menurut pendapat jumhur ulama yang dikutip oleh Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan, ibadah haji difardhukan pada tahun ke enam hijrayah. Pada tahun itulah turun ayat QS. Al-Baqarah ayat 196 yang berbunyi:

.

“Sempurnakanlah Haji dan Umrah untuk Allah”

Yang dimaksud dengan sempurnakanlah di sini ialah kerjakanlah atau laksanakanlah.79

75 Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Labbaik Allahumma Labbaik: Panduan Lengkap Menuju Haji Mabrur, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), cet ke I, h 34

76 Ibid

77 Ahmad Thib Raya&Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet ke I, h 229

78 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Haji, (Jakarta: NV. Bulan Bintang, 1983), cet ke 3, h 22

(43)

Suatu halangan tidak turutnya Rasulullah bersama para sahabatnya pada tahun ke-9 tersebut, karena orang-orang musyrikin masih berpegang kepada perdamaian Hudaibiyah. Mereka masih masuk ke dalam masjid dan berthawaf dengan bertelanjang.

Pada tahun ke-9 Hijriah itu Nabi menyuruh Ali untuk menyusul Abu Bakar dan menyampaikan kepada khalayak yang berkumpul pada hari nahar bahwa orang-orang musyrikin tidak dibenarkan berhaji lagi pada tahun-tahun berikutnya dan tidak ada orang yang berthawaf dengan telanjang lagi. Dengan demikian murnilah Ka‟bah sekarang sebagai tempat menyembah Allah dan murnilah Masjidil Haram untuk orang-orang yang mengerjakan thawaf, ruku‟, dan sujud.80

3. Dasar Hukum Haji

Fuqoha telah sepakat, bahwa ibadah haji hukumnya adalah fardhu a‟in bagi setiap orang mukallaf yang telah mencukupi syarat-syaratnya dan diwajibkan hanya sekali seumur hidup. Selanjutnya (yang kedua kali dan seterusnya) hukumnya sunnah. Dan barang siapa yang mengingkari kewajibannya haji ia termasuk kepada golongan orang-orang kafir, kecuali orang yang baru masuk islam atau orang yang jauh (tempat tinggalnya) dari tempat ulama, sehingga ia tidak sempat mengerti tentang hukum-hukum agama, maka orang-orang yang seperti ini tidak dianggap kafir menurut pendapat yang kuat/rajih.81

Haji merupakan rukun islam yang kelima dan tergolong kepada al-ma‟lum min adh-dhin bi dh-dharurah, sehingga barang siapa mengingkari akan kewajibannya haji maka dikatakan ia telah menjadi kafir dan murtad (keluar) dari Islam.82

Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 97 yang berbunyi:

80 Ibid, 23

81 Majid, Op. Cit., h 21

(44)

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali-Imran: 97)

Anjuran untuk tidak melakukan pelanggaran dalam melakasankan ibadah haji, agar ibadah hajinya mendapatkan haji yang sah/mabrur, dalam surah al-Baqarah ayat 197 dijelaskan:

“Barangsiapa yang telah menetapkan niatnya untuk melaksanakan ibadah haji dalam bulan-bulan yang ditentukan itu, maka tidak boleh melakukan Rafats (hubungan kelamin dan pendahuluannya), tidak boleh pula berbuat fasiq, dan juga tidak boleh bertengkar”. (QS. Al-Baqarah:197) Adapun dalil yang bersumber dari Sunnah Nabi mengenai kewajiban haji antara lain adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar berkata:

“Islam dibangun di atas lima pilar, yaitu: keasaksian bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, ibadah haji, dan puasa dibulan Ramadhan”.83

(45)

“Dari Abu Hurairah: Rasulullah SAW berkhutbah kepada kami dan beliau berkata,”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kamu, maka lakukanlah haji itu, “Seorang laki-laki bertanya, “Apakah setiap tahun ya Rasulullah?”, Nabi Saw diam, sampai orang laki-laki tersebut bertanya tiga kali. Kemudian beliau menjawab, “Kalau saja (tadi) saya katakan ya, niscaya wajiblah (setiap tahun), dan tentunya kamu tidak akan sanggup”. (HR. Muttafaq „Alayh).84

Selain bernilai ibadah, dalam ibadah haji terkadang banyak hikmah, baik yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan maupun individu. Fluralisme suku, bahasa, bangsa, kulit, dan sebagaimana diikat dalam satu ikatan aqidah Islamiyah, mereka saling bertukar pikiran, membina persaudaraan, dan menjalin kerja sama.85

Sedangkan dalil Ijma‟nya tentang kewajiban haji yaitu, segenap umat telah berbulat menyepakati bahwa haji adalah fardhu „ain bagi setiap muslim dan muslimah. Hal ini sudah berlaku luas di kalanngan mereka, dan tidak ada seoranng pun yang mengingkarinya, sehingga ia menjadi “al-ma‟lum min adh-dhin bi dh-dharurah”, sesuatu yang diketahui dari agama secara pasti dan jelas, adapun orang yang mengingkarinya kafir karena telah mengingkari ketetapan yang sudah baku dalam Al-Qur‟anul karim dan Sunnah Nabi yang shohih.86

84 Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, h 209

85 Supiana&M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet ke 4, h 98

(46)

4. Syarat-syarat Wajib Haji

Fuqoha telah sepakat dalam menetapkan beberapa syarat bagi orang yang melaksanakan ibadah haji, dimana pelaksanaannya jadi tidak wajib jika salah satu syaratnya tidak ada. Syarat-syarat wajib itu adalah:

a. Islam

Beragama Islam merupakan bagian syarat yang mutlak bagi yang akan melaksanakan ibadah haji, karena itu orang kafir tidak mempunyai kewajiban untuk haji. Hal ini berhubungan dengan hak duniawi, adapun urusan akhiratnya, maka ada perbedaan pendapat menurut Ulama fiqh, apakah di akhirat nanti orang kafir akan di siksa karena tidak melaksanakan ibadah haji atau tidak? Perbedaan itu bila kita lihat di perbedaan khilaf/takhlif syari‟ati.87

b. Berakal

Islam dan berakal merupakan syarat wajib sekaligus syarat sah. Oleh karena itu orang yang tidak berakal sepertu gila atau idiot juga tidak diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji, kecuali ia sembuh dari penyakitnya itu. Dan seandainya ia gila, tetap melaksanakan haji juga, maka ibadah hajinya tetap tidak sah. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:88

“Dibebaskan dari hukum (sangsi) dari tiga orang orang, yaitu atas anak kecil sampai ia menjadi baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang yang gila sampai ia sembuh”. (HR. Ibnu Hibban dan Hakim). Adapun jika seseorang gila kemudian sadar (sembuh) selama rentang masa sadarnya, ia diperkirakan mampu menunaikan haji sementara

87 Majid, Op. Cit., h 23 88 Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis, terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy yang terbagi menjadi tiga, yaitu

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan nilai-nilai pendidikan akhlak apa yang terkandung dalam novel Mereguk Cinta dari Surga karya Abdul Karim

memahami nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat al-Mujadalah ayat 11-12. 3) Kurangnya wawasan siswa terhadap nilai-nilai pendidikan akhlak yang

Dalam proses penulisan skripsi ini yang berjudul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM WAHYU PERTAMA (Telaah Terhadap Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5 Dalam Tafsīr

Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Pukat, Serial Anak-Anak Mamak karya Darwis Tere Liye meliputi akhlak terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya, akhlak

Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat „Abasa ayat 1-10, antara lain: memberikan penghargaan yang sama, tidak berfikir negatif terhadap orang lain

Dari berberapa nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Yusuf ayat 20-29, bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 sangat relevan untuk

Mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Ali Imron ayat 159-160.. Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: