• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAMPILAN PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI BALI PADA DUA MUSIM YANG BERBEDA DI TIMOR BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TAMPILAN PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI BALI PADA DUA MUSIM YANG BERBEDA DI TIMOR BARAT"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TAMPILAN PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI BALI PADA

DUA MUSIM YANG BERBEDA DI TIMOR BARAT

(Performances of Bali Cattle During Dry and Wet Seasons in West Timor)

A. POHAN, C. LIEM dan J.NULIK

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur

ABSTRACT

A study on the productivity performances of Bali Cattle during dry and wet seasons was conducted in West Timor. The aim of the study was to obtain proper information on the productivity of Bali cattle in the two seasons. The output expected from the study was to obtain appropriate technology of mating control suitable for the region at which calves can be managed to be born during the period of sufficient fodder, thus with a high survival rate. Methodologies used in the study included survey and direct observations against 250 head of Timor Bali cows and 50 Timor Bali calves during dry and wet seasons involving 100 cooperators (farmers) in the cattle agribusiness program conducted by the Livestock Services. Parameters observed included: birth weight, sex ratio, daily live weight gain, mortality rate, conception rate, and body score condition. The results of the study indicated that there were significant differences in all parameters observed both in calves and cows between the two distinct season (wet and dry). Highly significant differences were obtained in daily live weight gain (DLWG) of cows especially the one with calf where there was body weight loss of 316 g/head/day, while dry cow lost only 75 g/head/day. Mortality rate of calf during dry season was 6.6%.

Key words: DLWG, calf mortality, Timor Bali cattle

ABSTRAK

Suatu penelitian tentang tampilan produktivitas sapi Bali pada dua musim yaitu pada musim hujan dan musim kemarau talah dilaksanakan di Timor Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana perbedaan produktivitas ternak pada kedua musim tersebut serta merubah pola kelahiran yang terjadi pada musim kemarau menjadi musim hujan. Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah menghasilkan suatu teknologi tentang manajemen perkawinan agar kelahiran terjadi pada saat musim hujan dimana ketersediaan pakan memadai baik kualitas maupun kuantitasnya. Metodologi penelitian ini adalah metode survai dan observasi langsung terhadap 250 ekor sapi Bali betina dan 50 ekor anak sapi Bali pada dua musim yang tersebar pada 100 orang petani kooperator penerima program agribisnis peternakan. Parameter yang diamati meliputi: Anak sapi umur 0–5 bulan (berat lahir, sex ratio, Pbbh, dan mortalitas); Induk sapi (prosentase kebuntingan, Pbbh, dan SKT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang signifikan hampir di semua parameter pada anak sapi maupun induk sapi pada dua musim yang berbeda kecuali parameter sex ratio pada anak sapi. Perbedaan yang sangat nyata terjadi pada pertambahan bobot badan harian induk sapi terutama induk menyusui dimana pada musim kemarau terjadi penurunnan Pbbh yaitu sebesar –316 g/ekor/hari, sedangkan induk yang tidak bunting sebesar –75 g/ekor/hari. Sedangkan angka kematian anak pada musim kemarau mencapai 6,6%.

Kata kunci: Pertambahan bobot badan, mortalitas anak, sapi Bali

PENDAHULUAN Potensi peternakan di NTT

Walaupun pemeliharaan ternak sapi di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) baru mulai dikenal pada awal abad ke-20, ternyata

usaha peternakan ini mempunyai prospek yang cukup menggembirakan. Sampai dengan tahun 1980-an populasi sapi berkembang dengan cepat, data terakhir menyatakan populasi ternak sapi potong di NTT berjumlah lebih dari 700.000 ekor (ANONIMOUS, 1998) sehingga

(2)

bibit bagi daerah lainnya di Indonesia. Namun dalam sensus ternak tahun 2002, ternyata populasi sapi di NTT hanya sekitar 500.000 ekor. Sebesar 85% dari jumlah ternak sapi NTT terdiri dari sapi Bali yang terdapat di Pulau Timor (ANONIMOUS, 1990). Setiap

tahunnya sebanyak 60.000-80.000 ekor sapi yang terjual ke luar NTT dan menyumbang sekitar 10% dari pendapatan daerah. Penjualan ternak sapi potong memberikan Timor penting bagi pendapatan dan sebagai penyangga perekonomian rakyat di pedesaan.

Pada umumnya, sistem pemeliharaan ternak sapi mengandalkan sumber pakan ternak dari rumput alam di lahan penggembalaan alam dengan biaya produksi dan penggunaan tenaga yang relatif murah. Produktivitas ternak sapi dengan sistem ini, berfluktuasi mengikuti perubahan musim (WIRDAHAYATI, 1997). Pada musim hujan produksi hijauan melimpah, ternak mengalami peningkatan bobot badan. Sebaliknya di musim kemarau, produksi dan kualitas hijauan menurun dengan tajam, sehingga terjadi kehilangan bobot badan dimana penurunannya dapat mencapai 20-25% dari berat badannya pada musim hujan (BAMUALIM, 1994). Oleh karena itu

pertumbuhan ternak di lahan NTT mengikuti pola seperti mata gergaji (saw tooth pattern).

Para petani di Pulau Timor umumnya mengusahakan penggemukan sapi jantan untuk diantar-pulaukan sebagai ternak potong. Sistem penggemukan dilakukan dengan pengandangan ternak atau diikat pindah di bawah pohon (BAMUALIM et al., 1996) dengan memberikan

hijauan lamtoro sebagai pakan dasar. Lamanya pemeliharaan biasanya berlangsung sampai 1-2 tahun sebelum dijual.

Angka pengeluaran ternak sejak tahun 1970 meningkat dari tahun ke tahun, namun apabila dicermati lebih mendalam, ternyata pengeluaran ternak sapi asal NTT sejak tahun 1984 tidak lagi mengalami kenaikan yang substansial. Hal ini diduga karena peningkatan populasi ternak sapi cenderung menurun, yang mungkin diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain:

i. Masih bertahannya sistem pemeliharaan yang bersifat ekstensif, mengandalkan pakan yang berasal dari padang penggembalaan dengan jumlah dan mutunya yang berfluktuasi menurut musim;

ii. Terjadinya seleksi negatif yaitu peternak cenderung memilih ternak jantan yang mempunyai kualitas baik untuk digemuk-kan dan dijual keluar pulau, sehingga terjadi kekurangan pemacek yang berkualis baik; dan

iii. Terjadinya “inbreeding” yaitu kawin antar kerabat dekat yang berpeluang besar munculnya sifat-sifat resesif dari ternak tersebut.

Masalah pengembangan peternakan di NTT

Tingkat produktivitas ternak sapi yang dipelihara secara ekstensif relatif rendah dan berfluktuasi mengikuti musim. Selama musim hujan kualitas pakan meningkat dan sebaliknya pada musim kemarau, kandungan protein dan mineral pada rumput mengalami penurunan dan serat kasar (SK) meningkat. Akibat fenomena ini terjadi penurunan bobot badan ternak yang sangat ekstrim yang dapat mencapai 20% dari bobot optimal pada musim hujan. Kecenderungan penurunan standar berat badan dan jumlah ternak yang diantar-pulaukan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

i. Semakin berkurangnya populasi ternak betina produktif yang mempunyai “inter-calving-interval” (ICI) satu tahun,

ii. Ketersediaan pakan yang terbatas pada musim kemarau, akibatnya ferlilitas menurun, dan

iii. Pola kelahiran anak yang cenderung terkonsentrasi pada musim kemarau (bulan April-Oktober dengan puncaknya di bulan Juli).

Upaya pemecahan masalah

Perbaikan usaha peternakan diarahkan kepada dua aspek yaitu: (a) Menghasilkan ternak yang bermutu/unggul, dan (b) Dapat memenuhi kebutuhan pasar secara berkelanjutan. Aspek pertama akan terwujud melalui seleksi jantan dan induk serta ketersediaan pakan yang kontinyu sepanjang tahun. Aspek kedua akan terwujud apabila dapat menghasilkan ternak bakalan yang

(3)

bermutu untuk digemukkan serta ternak bibit yang mempunyai fertilitas tinggi.

TUJUAN

1. Mengevaluasi tentang dugaan penurunan produktivitas serta faktor penyebabnya. 2. Merekomendasikan metode seleksi induk

dan jantan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan produktivitas.

3. Menyediakan hijauan pakan dengan jumlah dan kualitas yang memadai sepanjang tahun melalui sistem penanaman “alley cropping” leguminosa herba dan rumput unggul.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan menggunakan dua metode yaitu survai dan observasi/pengamatan terhadap ternak. Sebelum dilakukan survai, terlebih dahulu dilakukan pemilihan lokasi survai secara purposive sampling. Survai dilakukan di tiga kabupaten di Pulau Timor dimana pada setiap kabupaten dipilih satu kecamatan yang terpadat populasi ternak sapi, selanjutnya dalam kecamatan tersebut dipilih dua desa dengan populasi sapi Bali yang terpadat dan yang terrendah. Tujuan survai adalah untuk mengetahui struktur populasi ternak sedangkan untuk mengetahui tampilan produksi dari sapi Bali pada musim hujan dan kemarau dilakukan pengamatan terhadap beberapa parameter teknis selama 12 bulan.

Waktu dan lokasi pengkajian

Pelaksanaan pengumpulan data struktur populasi dilakukan dua kali yaitu pada pada bulan Mei 2002 dan April 2003 di empat Kabupaten yaitu Kabupaten TTU, TTS dan Belu, sedangkan pelaksanaan pengamatan data parameter teknis dilaksanakan sejak bulan Mei tahun 2002 sampai dengan April 2003 pada dua desa padat populasi ternak sapi di Kabupaten TTU.

Parameter yang diamati

Pada pelaksanaan survai parameter yang diambil adalah struktur populasi ternak di

beberapa tempat padat populasi. Sedangkan pelaksanaan pengamatan ternak pada musim hujan dan kemarau diambil beberpa parameter antara lain: Anak sapi meliputi, berat lahir anak (kg), pertumbuhan pada musim hujan dan kemarau (g/ekor/hari), mortalitas anak sapi pada musim hujan dan kemarau (%). Sedangkan untuk induk sapi: persentase kelahiran dan perubahan bobot badan pada muism kemarau dan hujan (g/ekor/hari).

HASIL DAN PEMBAHASAN Tampilan produktivitas anak sapi Bali

Dari hasil penimbangan terhadap berat badan anak sapi yang lahir bulan Mei 2003 dan Desember 2004 yang dilakukan masing-masing selama 6 kali penimbangan dapat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pertambahan bobot badan harian (pbbh) dari anak sapi yang lahir pada bulan Desember lebih baik jika dibandingkan dengan anak sapi yang lahir pada bulan Mei. Namun jika dibandingkan berat lahirnya maka kelahiran pada bulan Mei lebih berat dari pada kelahiran pada bulan Desember.

Rata-rata berat lahir pada kelahiran bulan Mei sebesar 12 kg, sedangkan kelahiran pada bulan Desember mempunyai rataan berat lahir sebesar 10 kg. Adanya perbedaan berat lahir ini, kemungkinan disebabkan oleh pengaruh nutrisi untuk pertumbuhan foetus dimana pada trimester III yaitu antara umur kebuntingan 6 sampai 9 bulan merupakan fase pertumbuhan yang cepat menjelang kelahiran.

Pada anak sapi dengan kelahiran bulan Mei, maka trimester terakhir terjadi antara bulan Maret sampai dengan Mei. Pada masa tersebut tersedia pakan yang cukup banyak pada padang penggembalaan. Sebaliknya kelahiran yang terjadi pada bulan Desember mempunyai berat lahir yang lebih rendah disebabkan oleh trimester III terjadi pada periode antara bulan Oktober sampai dengan Desember dimana pada kurun waktu tersebut terjadi kekurangan pakan sehingga pertumbuhan foetus mengalami gangguan.

Pada Gambar 1 juga dapat terlihat bahwa pbbh anak sapi pada bulan Mei mempunyai rataan pertumbuhan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan yang lahir pada bulan Desember yaitu masing-masing sebesar 187

(4)

g/ekor/hari dan 332 g/ekor/hari. Adanya perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh pakan induk terhadap produksi air susu dimana pada periode menyusui antara Mei sampai September rata-rata produksi air susu sapi Bali sebanyak 1,5 litter, sedangkan produksi susu pada periode menyusui antara bulan Desember sampai dengan Mei lebih banyak yaitu 3,5 litter per ekor per hari. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa rata-rata produksi air susu induk sapi Bali dengan sistem pemeliharaan semi intensif sebesar 3 liter per ekor per hari (POHAN et al.,

1997).

Sex ratio dan mortalitas

Perbandingan anak jantan dan betina yang lahir pada kedua musim tidak menunjukan adanya pengaruh musim tersebut. Jumlah anak yang lahir pada musim hujan sebanyak 40 ekor dengan sex ratio 60% jantan dan 40% bertina sedangkan pada musim kemarau jumlah anak

yang lahir sebanyak 30 ekor dengan 18 ekor jantan dan 12 ekor betina (60 : 40). Angka kematian anak anatara umur 0 sampai dengan 5 bulan pada musim kemarau lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka kematian anak yang lahir dan hidup pada musim hujan. Masing-masing jumlah anak yang lahir dan yang mati selama periode musim kemarau dan hujan disajikan pada Table 1.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa prosentase angka mortalitas anak yang hidup pada musim kemarau sebesar 6,6% sedangkan mortalitas anak yang hidup pada musim hujan sebesar 2,5%. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pakan yang tersedia sangat terbatas baik kebutuhan induk untuk produksi air susu maupun untuk anak sapi sendiri. Pada musim kemarau tidak tersedia rumput muda yang sangat dibutuhkan untuk pencernaan awal dari anak sapi. Rata-rata kematian anak menunjukan tanda-tanda gangguan pencernaan setelah dilakukan pembedahan pada lambung anak sapi.

Gambar 1. Perubahan bobot badan anak sapi Bali pada musim hujan dan kemarau

Tabel 1. Mortalitas anak sapi yang lahir pada musim hujan dan kemarau

Waktu pemeliharaan

Musim hujan Musim kemarau

Jumlah anak Mati % Jumlah anak Mati %

40 1 2,5 30 2 6,6 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 1 2 3 4 5 6 Waktu penimbangan B er at badan ( kg ) Lahir Desember Lahir M ei

(5)

Tampilan produktivitas induk sapi Bali Produktivitas induk sapi Bali menyusui

Dari hasil penimbangan terhadap berat badan induk sapi yang sedang menyusui umur 0 sampai dengan 5 bulan menyusui dapat dilihat pada Gambar 2. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pertambahan bobot badan harian (pbbh) dari induk sapi yang menyusui mulai bulan Mei-September mengalami penurunan sedangkan periode menyusui antara bulan Desember sampai April terlihat mengalami kenaikan. Hasil analisa statistik menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dimana rata-rata penurunan pbbh dari induk periode menyusui Mei sampai dengan September sebesar –316,6 g/ekor/hari sedangkan rata-rata pbbh induk periode menyusui Desember sampai April sebesar 375 g/ekor/hari.

Penurunan pbbh terbesar terjadi sejak periode menyusui memasuki bulan Agustus sampai dengan September yaitu sebesar 633 g/ekor/hari dimana mulai memasuki puncak musim kemarau. Sedangkan pbbh pada induk periode menyusui Desember sampai dengan April mempunyai pbbh yang tertinggi yaitu antara bulan Februari sampai Maret yaitu

sebesar 567 g/ekor/hari dimana terjadi puncak ketersediaan pakan.

Produktivitas induk sapi Bali periode bunting Pemantauan produktivitas ternak induk yang bunting dilakukan pada trimester terakhir yaitu pada umur kebuntingan 6 sampai dengan 9 bulan. Dasar pertimbangan dari pengamatan pada periode ini yaitu pada trimester ini pertumbuhan foetus sangat cepat. Selain alasan tersebut di atas apabila dilakukan pemgamatan selama 9 bulan sesuai dengan umur kebuntingan maka hanya dapat dimonitor kebutingan pada periode musim kemarau saja sedangkan periode musim hujan hanya dapat dimonitor selama 3 bulan saja. Hasil penimbangan tersebut dapat kita lihat pada Gambar 3.

Pada Gambar 3 terlihat bahwa pbbh induk bunting pada periode musim hujan mempunyai pbbh yang lebih besar dari pada periode kebuntingan pada musim kemarau. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara kedua musim. Pbbh yang sangat signifikan pada periode yang sama terjadi pada umur kebuntingan trimester I dengan trimerster II dan III. Adanya perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh hormonal.

Gambar 2. Rataan pertambahan bobot badan harian (pbbh) induk sapi Bali pada musim kemarau dan hujan 0 50 100 150 200 250 300 1 2 3 4 5 Waktu penimbangan Be ra t b da n ( kg ) kemarau ( Mei-Nop) hujan (Des-April)

(6)

Produktivitas induk sapi tidak bunting

Dari hasil penimbangan terhadap perubahan berat badan induk yang tidak bunting pada dua periode musim yang berbeda disajikan pada Gambar 4.

Pada garafik di atas terlihat bahwa hasil analisis statistik terhadap hasil penimbangan yang dilakukan pada musim hujan dan kemarau terjadi perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dimana rataan pbbh pada induk yang tidak bunting untuk musim hujan dan kemarau masing-masing sebesar 458 g/ekor/hari dan –5 g/ekor/hari.

Pada pbbh periode musim hujan mempunyai angka yang tertinggi antara bulan Maret sampai dengan April dimana pada bulan tersebut terjadi kelebihan produksi hijauan pakan ternak yang ada pada padang penggembalaan. Akibatnya pertumbuhan ternak optimum terjadi pada periode tersebut. Sedangkan pada periode kemarau pbbh paling rendah terjadi antara bulan Oktober sampai Nopember dimana pada periode ini terjadi defisiensi pakan, oleh sebab itu pertumbuhan ternak berada pada titik yang kritis.

Gambar 3. Rataan pertambahan bobot badan harian induk sapi periode bunting pada musim hujan dan kemarau

Gambar 4. Rataan pertambahan bobot badan harian induk sapi tidak bunting pada musim hujan dan kemarau 50 100 150 200 250 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Penimbangan ke Berat bad an (k g) kemarau hujan kemarau 0 50 100 150 200 250 300 1 2 3 4 5 6 7 Penimbangan ke Be ra t ba da n (k g) hujan

(7)

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pertambahan bobot badan harian dari anak sapi, induk menyusui, induk bunting dan induk yang tidak bunting pada periode musim hujan mempunyai pbbh yang lebih baik dari pada pbbh yang terjadi pada periode kemarau; dan (2) Berat lahir dari anak oleh induk yang bunting trimester III pada musim hujan lebih besar dari pada berat lahir anak sapi oleh induk yang bunting trimester III pada musim kemarau atau dengan kata lain anak sapi yang lahir pada awal musim kemarau mempunyai berat lahir yang lebih besar dari anak sapi yang lahir pada awal musim hujan namun pbbh dari anak sapi yang lahir pada awal musim kemarau lebih randah dari anak sapi yang lahir apa awal musim hujan.

Agar dapat menekan angka mortalitas dan memperoleh pbbh yang tinggi maka disarankan: (1) Perlu dilakukan pengaturan pola kelahiran anak yang diikuti pula dengan pola perkawinan induk sehingga kelahiran terjadi pada awal sampai pertengan musim hujan; dan (2) Untuk mempertahankan pbbh induk pada trimester III yang terjadi pada akhir musim kemarau agar berat lahir anak tinggi pada kelahiran awal hujan maka perlu diberikan pakan tambahan (suplemen).

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMOUS. 1990. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur T.A. 1989/1990.

ANONYMOUS. 1998. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur T.A. 1997/1998.

BAMUALIM, A. 1994. Usaha peternakan sapi di Nusa Tenggara Timur. Pros. Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan dan Aplikasi Paket Teknologi Pertanian. Sub-Balai Penelitian Ternak Lili/Balai Informasi Pertanian, Noelbaki, Kupang. 1-3 Pebruari 1994.

BAMUALIM, A. 1996 Interaksi peternakan pada sistem pertanian di Pulau Timor. Pros. Seminar Komunikasi dan Aplikasi Paket Teknologi Hasil-hasil Penelitian Peternakan lahan Kering. Sub-Balitnak Lili Kupang. 17-18 Nopember 1994.

WIRDAHAYATI, R.B., C. LIEM, A. POHAN, J. NULIK, P. TH. FERNANDEZ, ASNAH dan A. BAMUALIM. 1997. Pengkajian teknologi usaha pertanian berbasis sapi potong di Nusa Tenggara Timur. Dalam Pertemuan Pra-Raker Badan Litbang Pertanian II. Manado tanggal 3−4 Maret 1997.

Gambar

Gambar 1. Perubahan bobot badan anak sapi Bali pada musim hujan dan kemarau
Gambar 2.  Rataan pertambahan bobot badan harian (pbbh) induk sapi Bali pada musim kemarau dan hujan 050 100 150 200 250 300 12345Waktu penimbangan Berat bdan (kg) kemarau ( Mei-Nop) hujan (Des-April)
Gambar 4. Rataan pertambahan bobot badan harian induk sapi tidak bunting pada musim hujan dan kemarau 501001502002501   23  4  5  67  89Penimbangan keBerat badan (kg)kemarauhujankemarau 0 50 100 150 200 250 300 1 2 3 4 5 6  7 Penimbangan ke Berat badan (kg

Referensi

Dokumen terkait

Bangunan kontruksi habitus Andi serta masyarakat dalam struktur sosial di pinrang saling terkait dan dibangkitkan kembali dalam proses kontestasi di arena pilkada.Adanya

Hubungan Minat Belajar Dengan Hasil Belajar Berdasarkan data yang ditemukan bahwa minat belajar kela X dan XII SMK Putra Tama bantul berada pada kategori sangat tinggi hak ini

Awalnya keluhan muncul semenjak pasien di sekolah menengah pertama yaitu sejak pasien menstruasi, awalnya keluhan berupa ketombe yang banyak pada kepala dan alis yang diikuti

Menimbang, bahwa yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah Penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap Tergugat dengan alasan antara Penggugat dan

Judul gambar (dlm. isi laporan) : Karakter yang dipakai Arial/Times New Roman dengan ukuran 10, jarak antar baris 1 (satu) spasi, justifikasi di tengah bawah gambar. Judul sub-bab

Memang terus terang, ini ada satu kesalahan dari fraksi kita, pada waktu kita mengirimkan ke sekretariat, bahwa ada yang kita tidak mengisi itu, ditulis tetap,

Pada saat persemaian populasi tikus masih tidak terlalu tinggi, tetapi pada fase tanaman tua populasi tikus sudah mulai meningkat sampai pada fase pematangan bulir populasi

Tegal - Bahan Material Jembatan Ruas Jalan Wilayah Kabupaten Brebes 234,000,000 Pengadaan Material Jbt.. Brebes - Campuran Aspal