PENDAKI GUNUNG (
MOUNTAINEERS)
OLEH
AKWILA
802009125
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
PENDAKI GUNUNG (
MOUNTAINEERS)
Akwila
Berta Esti Ari Prasetya
Heru Astikasari Setya Murti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
Tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan gambaran umum sensation seeking trait pada pendaki gunung (mountaineers). Penelitian ini dilakukan karena berbagai fenomena kecelakaan para pendaki gunung belakangan ini seringkali terjadi dikarenakan tindakan-tindakan ekstrim
sebagai bentuk pemuasan sensation seeking trait yang berujung pada kematian, sehingga melalui penelitian ini dapat diperoleh pemahaman tentang sensation seeking trait yang dapat membawa pendaki dalam bahaya saat melakukan pendakian. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan teknik pengambilan data berupa wawancara dan observasi. Partisipan dalam penelitian
ini ialah dua orang pendaki gunung dengan kriteria pernah mendaki setidaknya 4 gunung yang
memiliki ketinggian lebih dari 2500 mdpl. Hasil penelitian menggambarkan bahwa kedua
partisipan memiiliki kecenderungan sensation seeking trait yang ditunjukkan melalui dimensi
Thrill and Adventure Seeking (TAS), Experience Seeking (ES), dan Disinhibition (DIS). Penemuan baru yang ditemukan pada penelitian ini ialah kedua partisipan menggunakan
kegiatan naik gunung sebagai sarana untuk mendapatkan modal sosial berupa jejaring
pertemanan baru yang dianggap menguntungkan di kemudian hari.
Kata kunci: Sensation seeking trait, pendaki gunung
This study aims to describe sensation seeking trait of the mountaineers. It is urgently needed because there were accidents of the Indonesian mountaineers that had reported frequently caused by the acts of sensation seeking which end up with deaths. Thus, through this study, there will be an understanding about sensation seeking trait that can bring the mountaineers into dangers. This study uses qualitative method with interview and observation as the techniques of collecting data. The participants of this study were two mauntaineers who at least had four experiences of more tha n 2.500 heights mountaineering. Result of this study describes that both participants have sensation seeking trait which shown by three dimensions, such as Thrill and Adventure Seeking (TAS), Experience Seeking (ES), dan Disinhibition (DIS). Also, this study found that both participants got social modal of mountaineering such a new circle of friendship that bring benefits in future.
PENDAHULUAN
Manusia, dalam menjalani kehidupan sehari-hari seringkali melibatkan aktivitas yang
berbahaya untuk menghindari kejenuhan dalam hidupnya seperti panjat tebing, outbound,
mountaineering maupun kegiatan lain yang sifatnya menantang atau memacu adrenalin. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan individu untuk membuktikan bahwa manusia tidak akan
pernah merasa puas dengan kondisi yang tenang dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga
selalu melakukan aktivitas yang bisa menimbulkan sensasi atau yang berbahaya bagi
keselamatannya (Zuckerman dalam Atkinson, 1983). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa
setiap individu memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal baru yang bersifat menantang,
berbahaya dan memacu adrenalin dengan tujuan untuk menghindari kejenuhan dan dapat
menimbulkan sensasi meskipun hal tersebut berbahaya bagi keselamatannya.
Zuckerman (2007) memberi definisi sensation seeking sebagai “seeking of variety, novel, complex and intense sensations and experiences”. Istilah variety (perubahan) merujuk pada adanya kebutuhan akan perubahan. Istilah novel (melakukan hal yang baru) merefleksikan adanya ketidaksukaan individu terhadap kejadian-kejadian atau pengalaman yang telah dialami
sebelumnya. Istilah novel juga merujuk pada kesukaan dalam diri individu tersebut terhadap hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable). Sedangkan istilah complex (kompleksitas) merujuk pada jumlah atau banyaknya elemen-elemen pada suatu kegiatan dan
rangkaian-rangkaian dari masing-masing elemen tersebut.
Zuckerman (2007) menjelaskan sensation-seeking sebagai motif biososial, berdasarkan perbedaan dalam biokimia dari neurotransmitter tertentu dari sistem limbik yang mengatur pendekatan, eksplorasi, dan aktivitas umum. Menurut teorinya, orang yang berpartisipasi dalam
Menjelaskan bahwa teori tersebut dikembangkan ke arah teori biologi untuk melihat perbedaan
individu dalam mencari sensasi. Dasar biologis dihubungkan dengan kuatnya refleks terhadap
stimulus dan menguatnya respon terhadap stimulus tersebut. Hal ini terjadi diiringi tingginya
hormon seks (testosteron, esterogen dan esterodial) dan adanya enzim yang merangsang hadirnya
neurotransmitter.
Zuckerman (dalam Kart, 2008) menjelaskan bahwa model pencarian sensasi tinggi
diasosiasikan dengan rendahnya kemampuan arousal sehingga orang tersebut mencari stimulasi untuk mengimbangi tingkat arousal yang rendah. Semakin individu merasa berhasil memenuhi kebutuhannya dalam mencari sensasi, semakin ia merasa memperoleh reward dari perilakunya
yang secara biologis mampu mengimbangi tingkat norepinephrine dalam tubuhnya. Gatzke, Raine, Loeber, Stouthamer-Loeber dan Steinhauer, (2002) berpendapat bahwa pencarian sensasi
sering bertujuan untuk mendapatkan kegairahan dan meningkatkan rangsangan yang optimal
serta cenderung mencari stimulus baru dan luar biasa, meskipun stimulus tersebut berbahaya
bagi orang lain dan menimbulkan kecemasan serta perasaan tidak menyenangkan.
Seiring dengan berbagai penelitian yang dilakukan, definisi sensation seeking pun menjadi semakin berkembang. Zuckerman (2007) memperbaharui sensation seeking menjadi suatu sifat yang didasari oleh pencarian yang bervariasi, baru, kompleks, dan sensasi yang lebih serta
pengalaman, dan keinginan untuk mengambil risiko fisik, sosial, hukum, dan keuangan demi
pengalaman tersebut. Dengan demikian, sensation seeking merupakan sebuah sifat (trait) yang menerangkan tentang suatu kebutuhan akan perubahan (variety), kebutuhan untuk melakukan hal yang baru (novel), pengalaman dan sensasi yang bersifat kompleks (Zuckerman, 2007).
terakhir, para ilmuwan yang bergerak di bidang neuroscience terus membuktikan hipotesis tentang kematangan otak yang berpengaruh pada perilaku berisiko yang diambil seorang
individu (Casey et al, 2008; Steinberg, 2008). Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan bukti
bahwa remaja tidak memiliki kendali yang cukup kuat untuk menghambat dorongan pencarian
sensasi. Hipotesis ini memiliki implikasi yang kuat bahwa pada remaja dengan tingkat
impulsivitas yang tinggi, seperti pencari sensasi, ada sedikit yang bisa dilakukan untuk mencegah
kenaikan risiko dari sensation seeking remaja, yakni dengan membatasi perilaku berisiko tersebut hingga otak mencapai kematangan yang cukup untuk mengontrol perilaku (Nelson et al.
2002; Steinberg 2008).
Berbagai teori telah diusulkan mengenai mekanisme yang mendasari kemampuan untuk
melakukan kontrol atas dorongan atau impuls dan berfokus pada satu mekanisme yang potensial
dalam menunjukkan kematangan dari anak hingga dewasa, yakni kemampuan untuk menunda
kepuasan (Green et al. 1994; Steinberg et al. 2009). Pemberian reward atas penundaan kepuasan tidak pula menurunkan perilaku berisiko yang dilakukan remaja secara drastis. Hal ini
menunjukkan bahwa kematangan otak mungkin diperlukan untuk memunculkan kemampuan
pengendalian impuls. Namun, hipotesis menunjukkan bahwa perbedaan individu dalam
kesempatan untuk belajar mengontrol perilaku impulsif dapat memprediksi peningkatan
kemampuan untuk menunda kepuasan (Steinberg et al, 2009).
Terdapat banyak jenis kegiatan yang mengandung unsur petualangan berisiko, seperti
harus menempuh lereng-lereng sempit untuk bisa dinaiki), para pendaki harus melalui berbagai
jenis medan berbahaya seperti jurang, tebing curam yang mengharuskan pendaki untuk
melakukan hill walking (pendakian bukit), scra mbling (mendaki dengan menggunakan badan sebagai keseimbangan dan tangan untuk berpegangan dengan medan yang memiliki kemiringan
hingga 45 derajat), memanjat tebing batu atau dinding karang (rock climbing) dan melewati jurang tanpa pengaman yang memberikan jaminan keselamatan (Erone, 2010).
Woodman, Scanff dan Castainer (2011) juga menyatakan bahwa salah satu kegiatan yang
bersifat menuntut atau menantang, yang menempatkan individu pada kondisi ekstrem,
mengancam dan membawa individu ke titik terendah adalah kegiatan mendaki gunung atau
mountaineering. Mounta ineering biasa dilakukan di alam bebas (outdoor activity), memiliki resiko yang tinggi (high risk activiy), aktivitas yang menuntut (demanding activity) dan terdapat unsur petualangan dalam setiap kegiatannya (Kusumohartono,1985). Dalam pendakian gunung,
individu terdorong oleh kebutuhan untuk memperoleh sensasi dan variasi dalam hidupnya,
sehingga individu harus mengambil resiko demi memperoleh kondisi tersebut (PAPAS, 2010).
Banyak faktor yang menimbulkan risiko pada pendaki gunung, seperti suhu yang ekstrim di
daerah pegunungan, kecelakaan, kekurangan pasokan makan dan minuman, gangguan fisik
seperti hypothermia, cidera, dehidrasi dan fatique (Erone, 2010).
Dewasa ini, aktivitas mendaki gunung telah menjadi trend baru dan digemari oleh berbagai kalangan masyarakat, bahkan sudah terdapat agen wisata yang menawarkan jasa
perjalanan wisata pendakian gunung. Hal ini juga didukung oleh kondisi geografis indonesia
yang memiliki banyak pegunungan, yaitu lebih dari 400 gunung berapi dan 130 di antaranya
termasuk gunung berapi aktif (huteri.com, 2010). Meskipun berbahaya, menguras tenaga dan
mengesankan. Para pemburu sensasi menganggap dan menerima resiko sebagai nilai atau harga
dari sesuatu yang didapatkan dari sensasi atau pengalaman itu sendiri. Sensation seeking sendiri merupakan sebuah kebutuhan yang mendasar tetapi terkadang kurang disadari. Konsep ini telah
memicu adanya penelitian baru seputar sensation seeking. Sensation seeking trait memiliki empat dimensi yakni (London & Esner, 1978, Zuckerman, 1991): Thrill and Adventure Seeking
(TAS), Boredom Susceptibility (BS), Disinhibition (DIS), Experience Seeking (ES). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi trait sensastion seeking, yakni faktor herediter dan faktor lingkungan (Zuckerman, 1991; Grasha & Krischenbaum, 1980).
Sensation seeking trait pada seseorang bisa menimbulkan bahaya bagi individu tersebut. Banyak kecelakaan yang di timbulkan oleh besarnya hasrat pencarian sensasi pada individu. ada
beberapa kecelakaan maut yang di sebabkan oleh faktor human error, antara lain pada hari Sabtu (16/52015) sore, seorang pendaki yang bernama Eri Yunanto (21) meninggal dunia saat mendaki
Gunung Merapi, tepatnya saat Eri Yunanto mendaki puncak garuda. Padahal sudah ada
peringatan untuk tidak menaiki Puncak Garuda karena alasan tidak ada jalur yang aman untuk
menaiki Puncak Garuda. Alasan utama Eri Yunanto untuk menaiki puncak garuda adalah untuk
mengabadikan foto selfie-nya di Puncak Garuda (Kompas, 2015). Ada pula korban yang bernamaYanuru Aksanu Laila (23) tewas terjatuh dari tebing saat bermaksud untuk selfie di Air Terjun Coban Sewu, Lumajang, pada Jumat (1/5/2015) lalu. Menurut otoritas setempat, korban
tewas karena terpeleset dari tebing yang sebenarnya sudah dipasang rambu dilarang untuk dilalui
(malang-post. 2015).
Adapun kecelakaan lain yang ditimbulkan oleh human error, yakni seorang mahasiswa pascasarjana jurusan teknik elektro Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta yang bernama
karena korban tertimpa longsoran batu saat berada di Watu Gede. Kepala Balai Besar Bromo
Tengger Semeru, Ayu Dewi Utari, mengatakan, sebelumnya telah mengingatkan bahwa batas
pendakian hanya sampai Kalimati. Tapi rombongan tetap nekat menuju puncak. Pendakian ke
puncak Semeru dilarang karena hingga saat ini, status gunung tertinggi di Pulau Jawa itu masih
waspada atau level II. Selain itu, biasanya pada musim kemarau, cuaca di atas gunung sangat
ekstrim. Beberapa pekan lalu cuaca pernah mencapai 6 derajat celsius di malam hari (liputan6,
2014)
Berdasarkan pemaparan fenomena di atas, penelitian ini dilakukan untuk menjawab
pertanyaan penelitian: Bagaimanakah gambaran sensation seeking trait pada pendaki gunung? Dengan demikian, peneliti dapat menggambarkan sensation seeking trait yang didapat oleh para pendaki gunung setelah menempuh perjalanan yang berisiko hingga mencapai puncak. Selain itu,
hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu para mountainers untuk lebih mengenal pola perilaku manusia mengenai kebutuhannya akan pencarian sensasi atau sensation seeking trait
dan diharapkan penelitian ini menjadi manfaat bagi orang-orang yang memiliki sensation seeking trait tinggi, supaya orang-orang yang memiliki sensation seeking trait tinggi dapat mempertimbangkan segala tindakan atau keputusannya untuk melakukan sesuatu yang
menantang dan membahayakan keselamatannya.
KAJIAN TEORI
Pengertian Sensation Seeking
adanya ketidaksukaan individu terhadap kejadian-kejadian atau pengalaman yang telah dialami
sebelumnya. Istilah novel juga merujuk pada kesukaan dalam diri individu tersebut terhadap hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), sedangkan istilah complex (kompleksitas) merujuk pada jumlah atau banyaknya elemen-elemen pada suatu kegiatan dan
rangkaian-rangkaian dari masing-masing elemen tersebut. Dengan demikian, sensation seeking merupakan sebuah sifat (trait) yang menerangkan tentang suatu kebutuhan akan perubahan (variety), kebutuhan untuk melakukan hal yang baru (novel), pengalaman dan sensasi yang bersifat kompleks (Zuckerman, 1979).
Dimensi Sensation seeking trait
Sensation seeking trait meliputi empat dimensi yakni (London & Esner, 1978, Zuckerman, 1991):
1) Thrill and Adventure Seeking (TAS)
Merefleksikan kebutuhan individu untuk melakukan tindakan berisiko dan penuh
petualangan yang menawarkan sensasi unik pada tiap individu. Tindakan berisiko meliputi
keinginan yang kuat untuk terlibat dalam aktivitas fisik yang menuntut kecepatan, berbahaya dan merupakan aktivitas yang ‟melawan‟ gravitasi bumi (seperti terjun payung,
menyelam, dan bungee jumping).
2) Experience Seeking (ES)
Mengekspresikan pencarian individu terhadap pengalaman baru (novel experiences) melalui pemikiran, penginderaan, dan gaya hidup yang tidak konvensional dan tidak
konform dalam berbagai hal, termasuk dalam hal musik, seni, travel style hingga gaya hidup anti konformitas lainnya.
Merefleksikan perilaku impulsif yang ekstrovert pada individu, meliputi keinginan
yang kuat (desire) untuk melakukan perilaku yang mengandung risiko sosial dan risiko kesehatan. Perilaku yang mengandung risiko sosial dan kesehatan adalah perilaku yang
secara potensial dapat menimbulkan dampak negatif terhadap posisi seseorang dalam
masyarakat, terhadap kondisi badan atau pikiran seseorang yang dapat muncul dari proses
di masa kini atau peristiwa di masa yang akan datang. Perilaku disinhibition antara lain adalah mengkonsumsi minuman beralkohol, menyukai pesta, sengaja melanggar peraturan
lalu-lintas, bermesraan di depan umum dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan norma
sosial masyarakat pada umumnya.
4) Boredom Susceptibility (BS)
Merefleksikan perilaku individu yang antipati terhadap pengalaman yang repetitif,
pekerjaan yang rutin, kehadiran orang-orang yang dapat terprediksi, dan reaksi
ketidakpuasan terhadap kondisi yang membosankan tersebut. Boredom susceptibility juga menyebabkan hadirnya kegundahan pada individu saat tidak ada perubahan pada
kehidupannya, dan ketidaksukaan pada orang yang membosankan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sensation seeking trait
Terdapat dua faktor utama yang kerap dikaitkan sebagai faktor yang menjadi sumber
penyebab munculnya sensation seeking trait dalam diri individu, yakni faktor herediter dan faktor lingkungan (Zuckerman, 1991; Grasha & Krischenbaum, 1980). Berikut merupakan
penjelasan faktor-faktor yang mempengaruhi sensation seeking trait:
a) Faktor Herediter
Faktor herediter merupakan faktor utama yang diprediksi sebagai penyebab munculnya
Zuckerman mengindikasikan adanya faktor genetik yang sangat mempengaruhi susunan gen
dan kondisi biologis individu sehingga memiliki kecenderungan untuk mencari sensasi dalam
hidupnya. Keberadaan MAO (monoamine oxidase), kode kelas genetik dopamine 4 (DRD4), kadar hormon seksual dan kadar tingginya neurotransmitter norepinephrine maupun dopamine dipercaya menjadi kondisi biologis yang menyebabkan individu memiliki
kebutuhan arousal dan sensasi yang tinggi. Kondisi biologis ini tentu disebabkan oleh susunan
genetika yang diturunkan oleh generasi sebelumnya. Oleh sebab itu faktor herediter diprediksi
memberikan pengaruh setidaknya 60% pada seseorang untuk memiliki kebutuhan arousal dan sensasi yang tinggi dalam dirinya. (London & Esner, 1978; Zuckerman, 1991).
b) Faktor Lingkungan
Hasil pembelajaran sosial (social learning) merupakan faktor yang juga mempengaruhi dan „mengajarkan‟ individu untuk menyukai sensasi dan perilaku mencari sensasi tertentu.
Faktor lingkungan dan pembelajaran sosial, ini kemudian diprediksi sebagai 40%
kemungkinan seseorang untuk terstimulus dalam memiliki sensation seeking trait dan kebutuhan pencarian sensasi lainnya. Observasi dan imitasi pada orangtua, teman, dan
significant others memungkinkan seseorang untuk mempelajari perilaku yang cenderung mencari sensasi, baik secara tinggi maupun rendah. (Zuckerman, 1991; Grasha &
Krischenbaum, 1980)
Karakteristik Individu dengan Sensation seeking trait
Zuckerman (1991) menyatakan bahwa individu dengan tingkat sensation seeking trait
tertentu memiliki beberapa karakteristik. Karakteristik orang-orang pencari sensasi tinggi antara
1) Terlibat dalam aktivitas hidup yang berisiko tinggi dalam kegiatan olahraga, profesi,
pekerjaan dan hobi.
2) Menyukai situasi fobia yang umum, seperti kegelapan, ketinggian, kedalaman dan hewan
yang berbahaya.
3) Mempunyai keberanian ekstrim.
4) Menyukai segala hal yang menantang.
5) Dapat menikmati segala sesuatu yang berbahaya.
6) Menganggap segala situasi kurang berisiko.
7) Terlibat dalam perilaku berisiko-kecenderungan melakukan hal berbahaya.
8) Banyak melakukan spekulasi.
9) Suka berpergian ke tempat-tempat berbahaya.
10) Keluar dari situasinya karena tidak mendapatkan stimulasi seperti yang diinginkan.
11) Berkurangnya kecemasan dengan adanya penilaian risiko yang sama.
Mountaineering
Mendaki gunung ini umumnya terkait dengan keberanian untuk menjelajah daerah yang
ekstrim. Belum banyak yang mengetahui tentang siapa orang yang mendaki gunung untuk
pertama kali, namun sejarah pendakian gunung umumnya sangat etnosentris, dimulai dari benua
Eropa pada ratusan tahun yang lalu. Memang, hanya sedikit yang mengetahui tentang sejarah
budaya lain tentang pendaki gunung (mountaineers). Salah satu contoh yang membuktikan kesimpulan ini adalah bahwa dari pegunungan Hua Shan, yaitu Puncak Kudus barat (Holy Peak of the West) di Cina. Dalam abad keenam, ketika buku pertama pendakian gunung ditulis oleh seorang peziarah, cendekiawan dan penyair yang telah mendaki Hua Shan untuk berbagai tujuan
Mountaineering merupakan sebuah kegiatan menarik yang bisa menyegarkan pikiran bahkan menjadi hobi bagi banyak orang sekarang ini serta dapat menjadi prestasi yang dapat
dibanggakan. Aktivitas mountaineering nampaknya bukan lagi merupakan suatu kegiatan yang langka, artinya tidak lagi hanya dilakukan oleh orang tertentu saja yang menamakan diri sebagai
kelompok Pencinta Alam, Penjelajah Alam dan semacamnya. Melainkan telah dilakukan oleh
orang-orang dari kalangan umum (MAHESA, 2010). Mountaineering adalah suatu teknik gabungan pendakian yang memerlukan teknik dan alat-alat khusus (Ekapasers, 2006).
Mountaineering menurut istilah umumnya adalah segala kegiatan yang bermedan gunung (Pucangpendowogear, 2011).
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
mountaineering adalah suatu teknik gabungan pendakian dengan kegiatan yang bermedan gunung yang dapat menjadi hobi bagi banyak orang serta menjadi prestasi yang dapat
dibanggakan.
Gambaran Sensation seeking trait pada Pendaki Gunung (Mountaineers)
Salah satu hal yang mendasari adanya perbedaan kebutuhan individual (individual defferences) dalam melakukan pendakian gunung adalah keberadaan trait yang berbeda antara pendaki satu dan lainnya. Kebutuhan terhadap novelty dan kesediaan untuk mengambil risiko yang berbeda pada pendaki gunung ini dipengaruhi oleh keberadaan sensation seeking trait
dalam diri pendaki gunung. Individu yang memiliki sensation seeking trait tinggi memiliki
kebutuhan stimulus dan arousal yang tinggi pula sehingga cenderung berperilaku yang berisiko dan ingin mencari sensasi, tantangan, pengalaman baru, serta variasi yang tinggi dalam hidupnya
Karakteristik pendaki gunung dengan kebutuhan novelty yang tinggi menyerupai karakteristik individu dengan sensation seeking trait tinggi, yang memiliki perilaku yang cenderung berisiko seperti: menyukai hal-hal menantang, menikmati segala sesuatu yang
berbahaya, menganggap segala situasi kurang berisiko, banyak melakukan spekulasi, dan suka
berpergian ke tempat-tempat asing (Zuckerman, 2007).
METODE
Pada penelitian ini, metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Menurut
Bogdan & Taylor (dalam Moleong, 2002), metodologi penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut
secara holistik (utuh). Dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau hipotesis, tetapi
perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan, sedangkan teknik pengambilan data
yang digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu wawancara dan observasi (Moleong, 2002).
Metode ini dipilih karena metode ini dipandang lebih sesuai untuk mengungkap gambaran
sensation seeking trait pada pendaki gunung.
Partisipan
Adapun karakteristik partisipan dalam penelitian adalah mahasiswa UKSW yang sudah
pernah melakukan pendakian gunung. Adapun kriteria yang diperlukan dalam penelitian ini
antara lain sebagai berikut:
1. Partisipan sudah pernah mendaki gunung;
3. Gunung yang didaki memiliki ketinggian lebih dari 2500 mdpl (Gn. Merbabu, Gn,
Merapi, Gn. Selamet, Gn. Gede, Gn. Semeru)
Berdasarkan kriteria tersebut, dua orang mahasiswa yang memenuhi kriteria
diikutsertakan dalam penelitian ini dan memiliki karakteristik sebagai berikut ini:
Tabel 1. Identitas Partisipan
Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif ada kriteria kredibilitas atau derajat kepercayaan. Tehnik
pemeriksaan dari kredibilitas salah satunya adalah triangulasi. Teknik triangulasi yang paling
sering digunakan adalah teknik pemeriksaan dengan berdasarkan sumber. Triangulasi
berdasarkan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Patton
dalam Moleong, 2006).
Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan dengan cara membandingkan data hasil
wawancara dengan data yang diperoleh dari pengamatan selama wawancara dan orang-orang
yang dekat dengan subjek. Pembanding ini dilakukan agar semua data yang terkumpul dapat
dilihat kesesuaiannya satu sama lain sehingga didapat keabsahan data. Setelah itu data yang
diperoleh secara individu dibandingkan satu sama lain dari tiap subjek yang ada dan
disimpulkan. Dalam Moleong (2006), pada penelitian keabsahan data dapat diuji melalui:
Nama Romli
(Bukan nama sebenarnya)
Pitung
(Bukan nama sebenarnya)
Tanggal lahir 31 Desember 1989 06 Agustus 1994
1. Pemeriksaan sejawat melalui reduksi
Diadakannya diskusi-diskusi analitik dengan rekan sejawat mengenai hasil sementara
maupun hasil akhir penelitian.
2. Ketekunan pengamatan
Dengan memusatkan pada permasalahan yang diteliti dihasilkan suatu keandalan
pemahaman terhadap permasalahan tersebut.
3. Kemampuan peneliti dalam bertanya
Kemampuan disini meliputi kemampuan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara
kritis terhadap jawaban yang diberikan subjek.
4. Cek dan ricek data
Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (cek dan recek) data, dengan usaha
menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.
5. Mencatat bebas
Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif
terhadap setting, partisipan ataupun hal-hal yang terkait.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Partisipan
Dua partisipan yang terlibat dalam penelitian memiliki karakteristik dan latar belakang
keluarga, pendidikan, sosial yang berbeda. Berikut ini ialah gambaran umum dari masing-masing
partisipan:
Romli adalah seorang mahasiswa yang menyukai kegiatan seni dan fotografi.
Kecintaannya pada kegiatan mountaineering muncul saat teman-temannya mengajaknya untuk mendaki gunung Merbabu yang mempunyai tinggi mencapai 3126 mdpl, cukup tinggi
dan beresiko untuk pendaki pemula seperti Romli. Romli sangat tertarik untuk mengikuti
kegiatan mountaineering tersebut. Romli berpikir bahwa ketika berada di gunung, dia akan mendapatkan pemandangan yang indah untuk karya seni photography-nya. Romli tidak memiliki dasar apa-apa tentang kegiatan mountaineering. Kegiatan Romli saat ini masih seputar kuliah dan bermain, tidak ada kegiatan yang terlalu beresiko untuk keselamatannya.
Keinginannya untuk bergabung dengan komunitas pecinta alam di kampusnya terhalang
karena kurangnya kepercayaan diri untuk bergabung dengan teman-teman komunitas pecinta
alam di kampusnya.
Romli tinggal di lingkungan vihara bersama keluarganya, dia anak ketiga dari empat
bersaudara. Ayah dan ibunya bekerja di vihara, sehingga Romli sangat menguasai ajaran
Agama Buddha dengan baik. Di lingkungan rumahnya Romli sangat menjaga sikap dan
sifatnya. Hubungan kekeluargaanya sangat baik, jarang diantara mereka yang menciptakan
konflik. Romli cenderung terbuka kepada Ibu dan adik perempuannya, dia bisa menceritakan
apa saja yang menjadi masalah kepada ibu dan adik perempuannya. Tidak ada yang
mempunyai basic pendaki gunung di keluarga Romli, namun ibunya mengatakan bahwa kakeknya pernah mendaki beberapa gunung di pulau Jawa.
b) Pitung (Bukan nama sebenarnya)
Pitung adalah seorang mahasiswa di perguruan tinggi swasta yang bertempat di Kota
Salatiga. Pitung sudah menyukai kegiatan-kegiatan yang ekstrim dari semenjak menduduki
goa dan setelah itu P2 memulai pendakian pertamanya. Pendakian pertama Pitung dilakukan
di gunung Dempo, saat itu Pitung diajak oleh teman-temanya. Pitung mulai aktif mengikuti
kegiatan-kegiatan adventure dan thrilling saat duduk dibangku SMA kelas 1 dan mulai mengikuti komunitas pecinta alam Garis Milang di Lahat, Palembang.
Pitung sangat tertarik dengan kegiatan yang memacu fisik dan adrenalin yang
dilakukan di alam bebas, hal ini didukung oleh keseriusannya mengikuti program DIKSAR
pecinta alam. Pitung mengikuti program DIKSAR selama Sembilan hari. Dihari kedua
program DIKSAR, Pitung mengalami kecelakaan yang cukup serius akibat tersambar
kobaran api yang berasal dari spiritus. Dengan tekad yang kuat yang sudah dia kumpulkan
sejak menduduki bangku SMP, Pitung tetap meneruskan pendakian tersebut walaupun
tubuhnya penuh dengan luka bakar yang cukup serius. Kecelakaan tersebut tidak mumbuat
Pitung jera mengikuti kegiatan-kegiatan yang ekstrim. Pitung sangat menyukai kegiatan
KORAD atau rafting dalam subkegiatan pecinta alam. Walaupun rafting sangat berbahaya bagi keselamatannya, Pitung pernah mengikuti semua kegiatan yang dimiliki semua divisi
pecinta alam seperti, rafting, rock climbing, mountaineering, caving dan observation.
Pitung anak ketiga dari empat bersaudara, ketiga saudaranya semua laki-laki. Pola
asuh dari orang tuanya sangat keras dan hal tersebut membuat anak-anaknya menjadi
pemberontak. Pitung sering bertengkar dengan adiknya yang keempat, sehingga dia sudah
terbiasa menyikapi pertengkaran dengan adiknya. Walaupun Pitung sering betengkar dengan
adiknya, dia tetap menyayangi adiknya dan hubungannya sampai sekarang terjaga dengan
baik. Pitung termasuk orang yang sangat pandai bergaul, dia bisa menjangkau kalangan mana
Gambaran Dimensi Sensation seeking trait Partisipan
a) Thrill and Adventure Seeking (TAS)
Thrill and adventure seeking (TAS) ialah kebutuhan individu untuk melakukan tindakan berisiko dan penuh petualangan yang menawarkan sensasi unik. Berikut ini ialah gambaran
dari dimensi thrill and adventure seeking yang dimiliki oleh kedua partisipan. Romli:
1. Romli merasakan sensasi yang berbeda ketika ia naik gunung. Beberapa gunung di Jawa
Tengah yang ia daki menimbulkan sensasi yang berbeda-beda. Romli merasakan
keindahan alam yang tidak dapat ia rasakan di kota. Pengalaman yang menegangkan ia
rasakan ketika ia melewati hutan, tebing dan medan yang berbatu juga cuaca yang
ekstrim di atas gunung. Hal tersebut membantu melatih fisiknya untuk menjadi lebih
kuat.
“Awalnya tidak tahu apa-apa tentang naik gunung. Pertama kali diajak teman naik gunung. Lalu merasakan sensasi yang menarik ketika naik gunung…. Paling
favorit gunung Merbabu, tapi masing punya keindahannya
masing-masing, sensasinya masing-masing. Merapi bebatuan, kalau merbabu banyak
hutannya. Sudah tidak merasakan sensasinya, awalnya sih merasakan keindahan
alamnya tapi aku lebih nyaman di merbabu. Kalau andong kita bisa langsung view
puncak, pemandangannya bagus. Lawu karena dinginnya, malah untuk melatih
fisik saya.”
2. Romli dapat merasakan bagaimana kesulitannya ketika jauh dari peradaban. Romli hanya
bergantung pada perlengkapan yang secukupnya, hanya dibalutkan dengan sleeping bag
dan jaket yang dia kenakan. Tidak ada yang bisa Romli lakukan selain bertahan di
“Naik gunung hanya membawa bawaan sendiri, saya merasakan titik nol, tidak punya apa-apa dan tidak bisa mengharapkan orang lain.”
3. Setiap resiko yang terjadi di gunung, Romli siap menanggungnya. Beberapa kali Romli
mengalami kecelakaan yang mengakibatkan luka fisik, bahkan Romli pernah tersesat di
tengah-tengah hutan. Namun semua itu adalah hal yang harus Romli tanggung, karena
setiap resikonya adalah keputusan yang tepat menurut Romli.
“Kalau naik gunung resikonya badan capek, kecelakaan itu yang harus saya tanggung.”
4. Keinginan Romli melakukan kegiatan mountaineering sangat besar. Romli mempunyai keinginan untuk mendaki gunung yang lebih tinggi dan berbahaya dari
sebelumnya.
“Besar banget, kalau tentang tertarik kegiatan mountaineering. Cuma masalah dimodal, kalau ada yang kasih modal ke gunung apa saja pasti berangkat…. Saya memang kepikiran untuk ke gunung yang lebih tinggi tetapi tidak everest dulu, mungkin Jaya Wijaya”
5. Romli sering melakukan tindakan yang membahayakan keselamatannya saat di
gunung, ia pernah terbakar saat menyalakan api unggun. Romli sebelumnya sudah
diingatkan oleh teman-temannya agar tidak membuat api unggun di gunung karena
pada saat itu sedang musim kemarau dan rumput-rumput sangat rentan untuk
terbakar. Romli pun hampir terperosok ke jurang saat hendak mengambil kayu
bakar yang berada di tebing, padahal salah satu temannya sudah mengingatkan agar
tidak membuat api unggun di gunung. Lalu kebiasaan Romli lainnya adalah berlari
menuruni gunung yang kapan saja bisa menimbulkan kecelakaan untuk dirinya
maupun pendaki lain.
“Nah itu kecelakaan kedua, kecelakaan yang ketiga yang paling saya inget itu, itu saya diajak temen ke gunung Andong nah dia nganterin temen-temennya saya
ngikut, nah itu lagi saya diajak ketendanya mereka saya ndak mau karena takut
ngeganggu acara mereka, karena kan saya ngikut orang luar istilahnya orang
luar ngikut ya kan, diajak ketenda ndak mau diluar kedinginan, kebetulan saya
bawa bahan bakar, tapi bahan bakarnya bensin, itu salah saya..heheh... itu salah
saya sendiri, eh terusan pas saya mau nyumet, apan itu ee nyalain api iya kan, itu
apinya nyamber ke botol bensin nah saya bingung ini gimana caranya. kemudian
saya injak, botolnya meletot,
“Kalo turun gunung tuh saya sukanya lari, kadang saya sering ndak sabar untuk nunggu teman-teman saya”.
Pitung:
1. Sejak SMP, Pitung hanya sekedar masuk goa, naik gunung hanya sekali. Pitung mulai
tergabung di dalam komunitas pecinta alam ketika menduduki bangku SMA kelas satu.
Hal tersebut didorong oleh keinginan Pitung sendiri. Pitung sangat tertarik terhadap
kegiatan petualangan yang memacu adrenaline, outbond, dan hal-hal yang bersinggungan dengan alam.
“Dari SMP Cuma sekedar masuk goa, naik gunung hanya sekali…. Pada waktu SMA kelas satu, sudah masuk organisasi pecinta alam, memang
keinginan sendiri karena tertarik dengan alam bebas”
2. Pitung pernah mengikuti semua kegiatan rafting, mountainaring, caving, navigation. Semua kegiatan tersebut memiliki resiko kecelakaan yang tinggi. Pitung menyukai
meningkat. Selain itu, semua kegiatan tersebut adalah syarat mengikuti DIKSAR yang
dia inginkan sejak SMP.
“Saya pernah mengikuti semuanya, karena itu syarat mengikuti DIKSAR… Tertarik kerena memacu adrenalin”
3. Pitung memiliki kebiasaan yang membahayakan saat menuruni gunung, yakni ia seringkali berlari
saat menuruninya. Hal tersebut ia lakukan karena ia merasakan keseruan tersendiri yang
membuatnya merasa senang.
“Wih asik kak kalo turun gunung itu sambil lari.. Senang sekali aku kak! Biasanya aku lari dulu ke bawah terus nunggu teman-teman, terus nanti lari lagi, nunggu lagi. Begitu saja terus kak sampai di bawah….”
b) Experience Seeking (ES)
Experience seeking mengacu pada ekspresi individu terhadap pengalaman baru melalui pemikiran, penginderaan, dan gaya hidup yang tidak konvensional dan tidak konform
dalam berbagai. Gambaran experience seeking kedua partisipan dijabarkan sebagai berikut: Romli:
1. Romli menyatakan bahwa masing-masing kegiatan mountaineering punya keseruannya sendiri. Selain naik gunung, Romli mempunyai hobbi photography, theatre dan melukis. Ada sensasi tersendiri yang dirasakan dari kegiatan-kegiatan tersebut.
“Punya keseruan masing-masing antara naik gunung dan kegiatan yang lain. “
2. Romli pernah melakukan pendakian sendirian, Romli merasakan kesulitan dan banyak
kemandirian, dan naluri bertahan hidup. Ketenangan yang ia rasakan di gunung
membuatnya sanggup untuk merefleksikan dirinya, bagaimana ia melihat potensi dari
dalam dirinya sendiri.
“Ketika saya sendirian, saya merasa tenang di gunung, saya mendapatkan sensasi tenang. Saya bisa refleksi diri dan melatih kemampuan survival”
3. Romli seringkali naik gunung sendiri, kira-kira sebanyak lima sampai enam kali. Dia
mendapatkan pengalaman baru. Terkadang ketika kembali ke kota dia merasa jadi anti
sosial dan rindu melihat orang-orang dan teman-temannya.
“Sering naik sendiri, naik sendiri lima sampai enam kali. Dapat pengalaman, terus pulang-pulang jadi anti social dan kangen sama orang-orang. Kangen tapi
jadi anti sosial”.
Pitung:
1. Pitung tidak pernah kapok, ia tetap melanjutkan sampai selesai karena ia sudah bertekad dari SMP. Maka, ketika ada kesempatan sewaktu SMA, iatidak mundur sekalipun terjadi
kecelakaan. Pitung merasa bahwa pengalaman yang diperolehnya saat pra-DIKSAR akan
sia-sia jika ia mundur.
“Karena sudah tekad, jadi saya harus menyelesaikannya. Saya tetap naik gunung tapi tidak mengikuti latihan fisik, karena penuh luka bakar dari kaki
sampai muka. Saya mengikuti kegiatan fisik kurang lebih dua hari. Waktu
melakukan DIKSAR kurang lebih Sembilan hari. Setelah tes fisik hanya dua hari
setelah itu saya terbakar.”
Disinhibition merefleksikan perilaku impulsif yang ekstrovert pada individu, meliputi keinginan yang kuat (desire) untuk melakukan perilaku yang mengandung risiko sosial dan risiko kesehatan.
Romli:
1. Romli pernah melanggar di bagian NAPSA ketika berada di gunung. Menurut Romli,
alkohol bukan NAPSA, dia hanya membawa bawa yang ringan-ringan saja, diantaranya
kopi rokok dan ganja. Karena dia menganggap ketiga hal tersebut adalah teman ketika dia
naik gunung. Romli pun pernah menerima tawaran alcohol dan ganja oleh pendaki lain, hal tersebut membuat dirinya merasa mempunyai teman yang mempunyai kesukaan yang
sama. Merasa bahwa ganja dan alcohol bukan sesuatu yang illegal dimata Romli.
“Saya pernah melanggar di bagian NAPSA… Alkohol bukan NAPSA sih, saya hanya bawa yang ringan-ringan saja, diantaranya kopi rokok dan ganja.
Karena itu teman, yang temenin ya tiga hal itu…. Saya pernah menerima
tawaran oleh pegunung juga. Paling ganja, minuman dan rokok”.
2. Pernah ada yang mengingatkan untuk tidak membawa ganja, tapi Romli tetap membawa
ganja saat melakukan kegiatan mountaineering secara diam-diam. Dia percaya ketika di gunung tidak akan ada yang memeriksa barang bawaannya dan Romli yakin bahwa ganja
tidak membuatnya melakukan tindakan criminal atau merugikan orang lain, melainkan membuatnya merasa tenang saat melakukan pendakian ataupun sedang beristirahat di
gunung.
3. Romli merasakan ketenangan dan euphoria saat menggunakan ganja di gunung. Romli pun
menggunakan ganja saat beristirahat di gunung untuk melepaskan lelah, karena ganja membuat
badannya menjadi rileks dan cepat tidur, juga kualitas tidurnya menjadi baik.
“Saya merasa tenang sehabis menghisap ganja, kalau sedang istirahat tidur lebih enak dan keika bangun badan menjadi lebih segar”.
Pitung:
1. Pitung sudah terbiasa mengkonsumsi minuman keras sebelumnya, selain itu saat ia
berada di gunung minuman beralkohol berfungsi untuk menghangatkan tubuhdan karena
faktor cuaca yang dingin, ia juga pernah menggunakan ganja selama di gunung. Pitung
tidak merasa takut tertangkap saat menggunakan ganja karena pendaki lain juga
melakukannya dan semua pendaki saling mengerti sehingga tidak ada yang melaporkan.
“Kalau minuman keras sudah biasa, untuk menghangatkan juga karena faktor cuaca yang dingin. Pernah bawa ganja juga… Tidak takut, pendaki lain di
daerah saya banyak yang suka, semua pendaki saling mengerti, kalau ada yang
mau melaporkan juga tidak aka nada yang mau menangkap di atas gunung.”
2. Pitung pernah naik gunung hanya untuk bersenang-senang saja dan pesta pora di Gunung
Kaba bersama teman-temannya karena menurut Pitung, Gunung Kaba mudah untuk
dijangkau dan medannya tidak terlalu sulit.
“Pernah, di Kaba kita paling banyak hanya senang-senang saja”
3. Pitung merasa lebih santai dan bebannya menjadi hilang saat menggunakan ganja di gunung.
itu pitung menjadi cepat lapar sehingga ia sering mengkonsumsi makanan dan minuman hal
tersebut membuat daya tahan tubuh Pitung tetap terjaga selama di gunung.
“Wiih.. enak bener kak… Jadi rileks, santai, rasanya happy aja terus pengen
cengar-cengir sendiri. Badannya juga jadi nggak kerasa capeknya, malah laper
terus kak, makan aja terus di atas gunung.. Dinginnya jadi nggak berasa di aku
kak…”
d) Boredom Susceptibility (BS)
Pada dimensi boredom susceptibility, yakni dimensi yang mengacu pada perilaku individu yang antipati terhadap pengalaman yang repetitif, pekerjaan yang rutin, kehadiran
orang-orang yang dapat terprediksi, dan reaksi ketidakpuasan terhadap kondisi yang
membosankan, tidak nampak pada kedua partisipan, baim Romli maupun Pitung. Kedua
patisipan tidak melakukan aktivitas naik gunung ketika mereka sedang merasa bosan dengan
rutinitas yang dijalaninya setiap hari.
Selain empat dimensi yang dikemukakan oleh Zuckerman, peneliti menemukan pula
bahwa melalui kegiatan mountaineering, kedua partisipan mendapatkan modal sosial berupa
jejaring pertemanan baru yang menguntungkan bagi mereka ketika ingin berkunjung atau
melakukan kegiatan naik gunung lain di kemudian hari.
Romli:
”Lha enak kalo naik gunung tuh jadi kenalannya banyak. Pas ke Rinjani kemarin tuh aduh rame banget, ada yang dari Jakarta mereka, dari
Lampung, semua ketemu disitu. Mana ada satu cewek cantik banget Cuma
belom sempet minta nomernya.. Hehehe. Ya itu sih serunya jadi banyak temennya”
“Itu kak, temenku dari Jogja besok ajak naik lagi… Yang dulu ketemu pas di Merbabu itu kak.. Kalo sama dia ni aku cocok lah kak, nggak repot
orangnya, mau susah bareng juga. Soalnya pernah kak aku ajak temenku tapi
mikirin dirinya sendiri. Males aku kak kalo gitu. Malah temen-temen yang
ketemu kenal di gunung nah malah cocok sama aku, jadi sering janjian lagi
ketemu kalo pas aku main-main sana”.
PEMBAHASAN
Fokus dalam penelitian ini bermaksud untuk mengetahui gambaran sensation seeking trait para pendaki gunung (mountaineers). Untuk memahami gambaran tersebut secara komprehensif, penelitian ini menggunakan pandangan Zuckerman (2007) yang mendapati bahwa
terdapat empat dimensi sensation seeking trait, yakni: thrill and adventure seeking (TAS),
experience seeking (ES), disinhibition (DIS), dan boredom susceptibility (BS).
Thrill and adventure seeking (TAS) merupakan salah satu dimensi dalam sensation seeking trait yang merefleksikan kebutuhan pendaki gunung untuk melakukan tindakan yang berisiko dan penuh petualangan yang menawarkan sensasi unik pada tiap pendaki gunung. Hal
ini mempengaruhi dorongan para pendaki gunung untuk melakukan kegiatan yang berisiko
tinggi. Kedua partisipan baik Romli maupun Pitung, menunjukan kecenderungan untuk mencari
sensasi melalui kegiatan-kegiatan yang memicu adrenalin dan berisiko untuk keselamatannya.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya dorongan yang kuat pada kedua partisipan untuk selalu
mencari kegiatan-kegiatan yang berbahaya seperti naik gunung (mountaineering) dengan ketinggian di atas 2500 mdpl. Meskipun beberapa kali mengalami kecelakaan seperti anggota
tubuh yang terbakar bahan bakar, terperosok ke jurang, tersesat di hutan, kehabisan uang dan
naik gunung karena mereka merasa memiliki gairah hidup saat mendapati adrenalinnya terpacu
melalui kegiatan-kegiatan ekstrim.
Dimensi kedua dalam sensation seeking trait ialah experience seeking (ES) yang mengekspresikan pencarian pendaki gunung terhadap pengalaman baru (novel experiences) melalui pemikiran, penginderaan, dan gaya hidup yang tidak konvensional dan tidak konform
dalam berbagai hal. Pencarian pengalaman (experience seeking) juga nampak dalam sensation seeking trait khususnya pada Romli. Bagi Romli, ia dapat melakukan aktivitas naik gunung sendiri dan hal itu seringkali ia lakukan karena ketika naik gunung, ia merasakan bahwa dirinya
bisa merefleksikan hidup seolah kembali ke titik nol. Ia pun menyatakan bahwa ia merasakan
ketenangan setiap kali ia berada di gunung. Berbeda dengan Romli, Pitung tidak menunjukkan
pengalaman intrapersonal yang mendalam saat melakukan aktivitas naik gunung. Kedalaman
pengalaman yang dimiliki Romli ini dapat disebabkan karena latar belakang keluarga Romli
yang menganut ajaran agama Buddha yang menjunjung tinggi keseimbangan dan kesatuan tubuh
dengan alam.
Pada dimensi disinhibition (DIS) yang merefleksikan perilaku impulsif dan mengandung risiko sosial serta kesehatan pada pendaki gunung, baik Romli maupun Pitung
cenderung menunjukkan perilaku ini melalui tindakan mengkonsumsi alkohol dan ganja selama
perjalanan di gunung. Selain itu, pengambilan keputusan baik Romli maupun Pitung tidak
melalui pertimbangan yang matang. Beberapa kali partisipan mengalami kecelakaan fisik
disebabkan oleh kurangnya pertimbangan yang matang dalam memutuskan sesuatu, sebagai
contoh menyalakan api menggunakan bahan bakan cair di tempat yang bukan untuk melakukan
pembakaran di kawasan gunung. Kedua partisipan pun sering mengkonsumsi minuman
beralkohol, diluar dari fungsi minuman beralkohol dapat menghangatkan badan. Kedua
partisipan bisa mendapatkan teman baru dari kebiasaan menggunakan ganja dan alkohol.
Terkadang mereka ditawarkan oleh pendaki lain untuk bergabung mengkonsumsi ganja dan
alkohol. Sebagai pendaki gunung, ganja dan alkohol sudah tidak asing bagi mereka, menurut
Romli ganja membuatnya lebih tenang ketika berada di alam bebas. Berbeda dengan Pitung,
menurut Pitung ganja membuatnya senang dan membuatnya lebih rileks ketika beristirahat di
gunung.
Studi cross-section yang dilakukan oleh Donohew et al. (2000), mengidentifikasikan bahwa sensation seeking memiliki peran yang krusial di dalam penyalahgunaan drug dan alkohol. Individu dengan sensation seeking trait yang tinggi cenderung terlibat dalam situasi yang berisiko dan terhubung dengan perilaku yang berbahaya. Hasil penelitian ini juga
sependapat dengan yang dikemukakan oleh Lee dan Crompton (1992) bahwa yang
mempengaruhi perilaku wisatawan adalah tempat tujuan wisata. Individu yang cenderung
mencari hal-hal unik dan baru akan memilih tempat tujuan wisata yang dapat memenuhi
keinginan mereka, misal daerah yang bebas dan fleksibel untuk mereka melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan norma.
Boredom Susceptibility (BS) yang merefleksikan perilaku pendaki gunung yang antipati terhadap pengalaman yang repetitif, pekerjaan yang rutin, kehadiran orang-orang yang dapat
terprediksi, dan reaksi ketidakpuasan terhadap kondisi yang membosankan. Pada kedua
partisipan tidak dorongan untuk melakukan kegiatan mountaineering yang disebabkan karena kebosanan mereka pada rutinitas sehari-harinya.
Jika dikaji melalui studi neuroscience terkait kematangan otak yang berpengaruh pada
menghambat dorongan pencarian sensasi (Nelson et al. 2002; Steinberg 2008). Namun, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa usia kedua pasrtisipan yang sudah memasuki tahap
perkembangan dewasa awal, yakni 21 tahun (Pitung) dan 25 tahun (Romli) tidak sejalan dengan
kemampuan kontrol atas impuls pencarian sensasi yang dilakukan partisipan. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa pada kedua partisipan dalam penelitian ini, usia tidak merepresentasikan
kematangan otak dalam hal pengambilan keputusan atas kontrol impuls pencarian sensasi. Hal
ini sejalan dengan penelitian Martin et al (2002) pada remaja usia 11 hingga 14 tahun, tidak
ditemukan korelasi antara usia dan sensation seeking pada remaja. Galvan et al (2007) melalui penelitiannya terhadap inidividu usia 7 hingga 29 tahun, melaporkan adanya korelasi negatif
yang signifikan antara usia kronologis dengan impulsivitas. Hal ini mengindikasikan bahwa
kontrol impuls terus belanjut dari masa remaja hingga dewasa.
Selain itu, peneliti menemukan fenomena baru mengenai sensation seeking trait pada pendaki gunung. Kedua partisipan mendapatkan modal sosial dari pengalaman mereka naik
gunung. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang
dimilki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan
terjadinya kerjasama diantara mereka (Fukuyama, 2002). Terdapat tiga unsur utama dalam modal
sosial adalah trust (kepercayaan), reciprocal (timbal balik), dan interaksi sosial. Trust
(kepercayaan) dapat mendorong seseorang untuk bekerjasama dengan orang lain untuk
memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama yang produktif. Romli dan Pitung menemukan
teman-teman baru dan saling menukar alamat, Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan mereka
ketika melakukan perjalanan jauh atau luar pulau. Pertemanan mereka dibangun ketika mandaki
gunung bersama atau sewaktu partisipan melakukan DIKSAR dan Jambore. Ada jejaring dan
Hal itu memudahkan mereka untuk terus menjalin relasi dan membentuk komunitas untuk
melakukan kegiatan pendakian gunung berikutnya. Perluasan jejaring ini dianggap sebagai
modal sosial yang dimiliki partisipan karena dapat memudahkan pasrtisipan ketika ia berkunjung
ke tempat teman baru yang didapat saat naik gunung.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa sensation seeking trait
kedua partisipan tergambar dalam dimensi thrill and adventure seeking, experience seeking, dan
disinhibition. Pada dimensi boredom susceptibility, tidak ditemukan kecenderungan pada kedua partisipan. Namun demikian ada kecenderungan bahwa kedua partisipan mendapatkan modal
sosial dalam bentuk jaringan pertemanan yang diperluas sehingga kedua partisipan bisa
menumbuhkan rasa trust (kepercayaan), reciprocal (timbal balik) dan interaksi social dengan teman yang ditemui ketika melakukan kegiatan mountaineering.
Saran
Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk memilih partisipan dengan usia dan jenis
DAFTAR PUSTAKA
Burk, S. & Orlick, T. (2004). Mental strategies of elite mount everest climbers. Journal of Excellence, no.8.
Casey, B. J., Getz, S., & Galvan, A. (2008). The adolescent brain. Developmental Review, 28,
62–77.
Donohew, L., Zimmerman, R., Cupp, P. S., Novak, S., Colon, S., & Abell, R. (2000). Sensation
seeking, impulsive decision-making, and risky sex: Implications for
risk-taking and design of interventions. Personality and Individual Differences,
28, 1079-1091.
Erone. (2010). Materi pengetahuan pecinta alam. Dokumen untuk pengetahuan pecinta alam pasundan.
Fukuyama, F. (1995). Trust: The social Virtue and The Creation of Properity. New York: New York Free Press.
Galvan, A., Hare, T., Voss, H., Glover, G., & Casey, B. J. (2007). Risk taking and the adolescent brain: Who is at risk? Developmental Science, 10, F8–F14
Kompas. (2015). http://regional.kompas.com/read/2015/05/17/20175971/Ini.Foto.Detik-detik.Sebelum.Eri.Jatuh.ke.Kawah.Merapi. Diakses tanggal 8 September 2015 pukul 23.50 WIB.
Liputan 6. (2015). http://news.liputan6.com/read/2129023/detik-detik-tewasnya-mahasiswa-ugm-di-gunung-semeru. Diakses tanggal 8 September 2015 pukul 23.57 WIB
MAHESA. (2010). Materi pencinta alam. Makasar: MAHESA, Universitas Hasanudin.
Malang Pos. (2015). http://malang-post.com/kriminal/101943-pamit-ibu-tidak-lagi-akan-pulang. Diakses tanggal 8 September 2015 pukul 23.58 WIB.
Martin, C. A., Kelly, T., Rayens, M., Brogli, B., Brenzel, A., Smith, W., et al. (2002). Sensation seeking, puberty and nicotine, alcohol and marijuana use in
adolescence. Journal of the American Academy of Child and
Adolescent Psychiatry, 41, 1495–1502.
Moleong, L.J. (2004). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Pucangpendowogear. (2011). Mountaineering. Jakarta 8 Juli 2011. http://pucangpendowogear.wordpress.com/2011/07/08/mountaineering/
Schultz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanisius.
Steinberg, L. (2008). A social neuroscience perspective on adolescent risk taking. Developmental Review, 28, 78–106.
Stück, M. Balzer, H. Hecht & Schröder, H. (2005) "Psychological and Psychophysiological Effects of a High-Mountain Expedition to Tibet", Journal of Human Performance in Extreme Environments: Vol. 8: Iss. 1, Article 4.