• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 652010018 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 652010018 Full text"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

Keywords : whole wheat, Triticum aestivum L. DWR-162, biscuit, nutrition value, glycemic index, resistant starch, amylose

PENDAHULUAN

Gandum (Triticum aestivum L) adalah salah satu serealia dari familia Graminae yang merupakan salah satu bahan makanan pokok manusia selain beras (Simanjuntak, 2002). Gandum utuh yang ditepungkan berbeda dengan tepung terigu yang biasa digunakan masyarakat di Indonesia. Dalam gambaran umum industri tepung terigu di Indonesia oleh Nursantiyah (2009), tepung terigu dibuat dari bagian dalam gandum saja (endosperm), setelah membuang bagian luarnya yang keras dan banyak mengandung serat (bran) dan bagian paling kecil dari inti biji gandum yang mengandung banyak vitamin dan mineral (germ). Sedangkan gandum utuh terdiri dari ketiga bagian tersebut (Muoma, 2013). Dengan demikian, tepung terigu mengandung hanya sebagian nutrisi yang sebenarnya ada pada gandum utuh.

Gandum bukan merupakan tanaman yang dapat ditanam di Indonesia, tapi digemari oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menyebabkan angka impor gandum terus meningkat, bahkan pada tahun 2011 mencapai 5.486.745 ton (BPS Nasional, 2011). Hal tersebut berkaitan dengan dimulainya budidaya gandum di Indonesia. Salah satu varietas gandum yang berhasil ditanam dan tumbuh serta dikelola di Indonesia adalah gandum varietas Dewata (DWR-162) di Kopeng, Jawa Tengah (Lee, 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka sangat diperlukan pengembangan produk pangan berbahan dasar gandum utuh lokal yang diperkuat dengan analisis kadar gizinya.

Selain tinggi serat, salah satu keunggulan dari gandum utuh adalah kadar amilosanya yang juga lebih tinggi daripada tepung terigu. Berdasarkan penelitian Herawati (2010) tentang produk pati tahan cerna, kadar amilosa dalam gandum utuh adalah 28%. Sedangkan dalam penelitian Hidayati (Hidayati, 2010) tentang pengaruh proporsi bayam dan tepung terigu pada mie basah, kadar amilosa dalam tepung terigu adalah 25%.

(2)

protein, lemak, dan serat. Parameter gizi tersebut kemudian dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Selain itu, pengaruh substitusi gandum utuh lokal terhadap daya cerna pati, kadar amilosa, dan kadar pati resisten dari produk pangan juga dianalisis.

Daya cerna pati dari produk pangan tersebut diharapkan bernilai rendah, karena berdasarkan penelitian Gustiar (2009) tentang sifat fisiko-kimia dan indeks glikemik produk dari pati garut, suatu produk pangan yang memiliki daya cerna pati rendah dapat memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam tubuh, sehingga nilai indeks glikemiknya rendah. Rendahnya daya cerna pati didukung oleh tingginya kadar amilosa dan pati resisten dalam suatu produk pangan (Widowati dkk., 2009; Lemlioglu-Alvin dkk., 2012; Mir dkk., 2013). Penelitian Herawati (2010) tentang potensi pengembangan produk pati tahan cerna membuktikan bahwa amilosa tahan terhadap enzim amilase sehingga daya cerna pati produk rendah. Sedangkan menurut penelitian Sajilata dkk. (2006), pati resisten mampu menurunkan kadar gula darah setelah makan, berperan sebagai prebiotik, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorpsi mineral.

Produk pangan yang dipilih berupa biskuit. Hal ini didasarkan pada budaya masyarakat Indonesia yang menyukai produk tersebut. Berdasarkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2003), kecenderungan masyarakat Indonesia mengkonsumsi produk makanan dari bahan dasar terigu, seperti mie, roti, dan biskuit terus meningkat sejak tahun 1990 hingga kini. Kemudian parameter gizi dibandingkan dengan SNI 01-2973-1992 tentang mutu dan cara uji biskuit (BSN, 1992).

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan :

1. Menentukan kadar gizi biskuit gandum utuh varietas Dewata (DWR-162), meliputi kadar air, abu, karbohidrat, protein, lemak, dan serat

2. Membandingkan kadar gizi biskuit gandum utuh varietas Dewata (DWR-162) dengan SNI 01-2973-1992 tentang mutu dan cara uji biskuit

3. Menentukan pengaruh tepung gandum utuh varietas Dewata (DWR-162) terhadap daya cerna pati, amilosa, dan pati resisten biskuit

(3)

4. Menentukan indeks glikemik biskuit gandum utuh yang disukai berdasarkan organoleptik

BAHAN DAN METODE

Bahan dasar berupa tepung gandum utuh, yang diayak dengan ukuran mesh 40, diperoleh dari Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana, Indonesia. Bahan kimia yang digunakan, antara lain petroleum eter, H2SO4, anthrone, HCl, NaOH, etanol, standar glukosa, standar amilosa, standar maltosa, standar BSA (bovine serum albumin), I2, KI, asam asetat, DNS (asam dinitrosalisilat), CuSO4.5H2O, KNaC4H4O6·4H2O, K2SO4, KOH, buffer fosfat 0,1 M pH 7, buffer asetat 0,4 M pH 4,75, buffer fosfat 0,08 M pH 7. Bahan – bahan tersebut merupakan bahan kimia grade pro analysis dari, E-Merck, Jerman. Selain itu, bahan kimia lainnya adalah enzimtermamyl(α-amilase) dan enzim protease yang diperoleh dari (Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Indonesia), dan enzim amiloglukosidase (Sigma, Amerika Serikat).

Piranti yang digunakan, antara lain oven (WTB binder, Inggris), tanur (Vulcan A-550, Amerika Serikat), spektrofotometer (Optizen 2120 UV, Jerman), penangas air (Memmert, Jerman), neraca analitik (Mettler H80, Swiss), sentrifuge (Swing Type Centrifuge Model C-40 N, Amerika Serikat) dan peralatan gelas (Pyrex, Amerika Serikat dan Herma, Jerman).

Pembuatan Biskuit

Biskuit dibuat dari campuran tepung terigu dan/atau tepung gandum utuh varietas Dewata (DWR-162), gula halus, pati jagung, dan margarin. Biskuit dipanggang pada suhu 160oC selama 25 menit. Substitusi tepung gandum utuh yang digunakan adalah 0-50%.

Analisis Kadar Air

Kadar air ditentukan dengan menggunakan moisture analyzer (Ohaus MB25, Amerika Serikat). Perhitungan kadar air terlampir (Lampiran 1).

Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995 yang dimodifikasi)

(4)

Cawan dan isinya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar abu terlampir (Lampiran 2).

Analisis Kadar Lemak Total (AOAC, 1995)

Sampel ditimbang dengan teliti sebanyak 2 g, lalu dibungkus dengan kertas saring dan ditutup kapas bebas lemak. Kertas saring berisi sampel tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dirangkai dengan kondensor. Pelarut dimasukkan ke dalam labu lemak lalu direfluks selama 5 jam. Sisa pelarut dalam labu lemak dihilangkan dengan dipanaskan dalam oven, lalu ditimbang. Perhitungan kadar lemak terlampir (Lampiran 3).

Analisis Serat Kasar (AOAC, 1995)

Sampel dihaluskan, ditimbang dengan teliti sebanyak 0,2 g dan diekstrak lemaknya dengan soxhlet lalu dipindahkan ke dalam kolf 50 mL. Kemudian ditambahkan 20 mL larutan H2SO4 mendidih 1,25%, lalu ditutup dengan pendingin balik dan dididihkan selama 30 menit. Suspensi disaring, dan residu dicuci dengan air destilata mendidih hingga air cucian tidak bersifat asam lagi. Kemudian residu dipindahkan secara kuantitatif ke erlenmeyer dan sisanya dicuci dengan larutan NaOH mendidih 1,25% sebanyak 20 mL sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer, lalu ditutup dengan pendingin balik dan didihkan selama 30 menit. Kemudian larutan disaring dengan kertas saring kering yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Kemudian residu dicuci dengan air destilata mendidih dan 15 mL alkohol 95%. Kemudian, dikeringkan pada 110oC sampai berat konstan. Kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar serat kasar terlampir (Lampiran 4).

Analisis Karbohidrat Total (Gustiar, 2009 yang dimodifikasi)

(5)

100 mL. Dari larutan tersebut, sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan dengan 5 mL pereaksi Anthrone. Tabung ditutup dan diinkubasi dalam penangas air pada suhu 100oC selama 12 menit. Larutan segera didinginkan dengan air mengalir, lalu dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm. Kadar karbohidrat total sampel ditentukan berdasarkan kurva standar glukosa yang diperoleh dari plot kadar glukosa dan absorbansi larutan glukosa murni. Perhitungan kadar karbohidrat terlampir (Lampiran 5).

Analisis Kadar Protein Terlarut (AOAC, 1995 yang dimodifikasi)

Sampel sebanyak 0,1 g ditimbang dengan teliti dan dimaserasi dengan 1 mL NaOH 1 M dan 9 mL air destilata, larutan tersebut didiamkan selama 15 menit. Kemudian larutan tersebut disentrifugasi selama 15 menit. 1 mL larutan sampel ditambah 4 mL pereaksi biuret. Larutan didiamkan selama 30 menit, lalu dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Kadar protein terlarut sampel ditentukan berdasarkan kurva standar BSA yang diperoleh dari plot kadar BSA dan absorbansi larutan BSA murni. Perhitungan kadar protein terlarut terlampir (Lampiran 6).

Analisis Kadar Amilosa (Gustiar, 2009)

Sampel sebanyak 0,1 g ditimbang dengan teliti dalam tabung reaksi bertutup, kemudian ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL larutan NaOH 1 M. Tabung reaksi bertutup kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95oC selam 10 menit. Larutan pati didinginkan dan digenapkan dalam labu ukur 100 mL. 5 mL larutan pati dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Ke dalam labu takar tersebut, ditambahkan 1,0 mL larutan asam asetat 1 M dan 2 mL larutan iod 0,2%, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Kadar amilosa ditentukan berdasarkan persamaan kurva standar amilosa. Perhitungan kadar amilosa terlampir (Lampiran 7).

Analisis Daya Cerna Pati (Gustiar, 2009)

(6)

hingga mencapai suhu 90oC sambil diaduk. Setelah suhu 90oC tercapai, sampel segera diangkat dan didinginkan. Dari larutan tersebut dipipet sebanyak 2 mL ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan 3 mL air destilata dan 5 mL buffer fosfat 0,1 M pH 7. Sampel dibuat dua kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit. Larutan diangkat dan ditambahkan 5 mL larutan enzim α-amilase (1 mg/mL dalam buffer fosfat 0,1 M pH 7) untuk sampel dan 5 mL buffer fosfat 0,1 M pH 7untuk blanko sampel. Inkubasi dilanjutkan selama 30 menit.

Sebanyak 1 mL campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup berisi 2 mL larutan DNS. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Ke dalam larutan ditambahkan 10 mL air destilata dan disentrifugasi. Kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Daya cerna pati ditentukan berdasarkan persamaan kurva standar maltosa yang diperoleh. Perhitungan daya cerna pati terlampir (Lampiran 8).

Analisis Pati Resisten (Gustiar, 2009 yang dimodifikasi)

Sebanyak 0,1 g sampel dilarutkan dengan 25 mL buffer fosfat 0,08 M pH 6,0 dalam gelas piala 250 mL, lalu ditutup dengan aluminium foil. Kemudian ditambahkan 0,2 mL enzim termamyl (α–amilase) dan campuran diinkubasi dalam penangas air 95oC selama 30 menit dengan diaduk lembut setiap 5 menit sekali.

Larutan didinginkan, pH larutan diatur hingga 4,5 dengan larutan HCl 0,275 M dan ditambahkan 30 μ L enzim amiloglukosidase (10 mg/mL buffer fosfat 0,08 M pH 6,0), lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang 60oC selama 30 menit. Larutan didinginkan, danpH diatur menjadi 7,5 dengan larutan NaOH 0,325 M, lalu ditambahkan 50 μ L enzim protease (0,9 mg/mL buffer fosfat 0,08 M pH 6,0). Campuran diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 60oC selama 30 menit. Setelah inkubasi selesai, larutan disentrifugasi (3000 rpm) selama 10 menit. Kemudian bagian pelet dipisahkan dan dicuci dua kali dengan etanol 80% dan akuades. Supernatan dibuang lalu ditambah 1 mL akuades.

(7)

amiloglukosidase (10 mg/mL buffer asetat 0,4 M pH 4,75). Lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang suhu 60oC selama 30 menit dan disentrifugasi (3500 rpm) selama 30 menit. Kemudian supernatan diambil dan ditepatkan menjadi 10 mL (larutan stok). Larutan stok diambil 1 mL ditepatkan dengan akuades dalam labu takar 100 mL.

Larutan pereaksi Anthrone 0,1% disiapkan. Larutan dibuat sesaat sebelum digunakan. Larutan stok sampel yang telah diencerkan sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan dengan 5 mL pereaksi Anthrone. Sementara itu untuk pembuatan kurva standar, sampel diganti dengan larutan glukosa murni 0,2 mg/mL sebanyak 0,0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 mL yang masing-masing kemudian ditepatkan menjadi 1 mL dengan air destilata. Tabung ditutup dan diinkubasi dalam penangas air pada suhu 100oC selama 12 menit. Larutan segera didinginkan dengan air mengalir. Kemudian absorbansi larutan diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm. Kadar gula pereduksi sampel ditentukan berdasarkan kurva standar glukosa yang diperoleh dari plot kadar glukosa dan absorbansi larutan glukosa murni. Perhitungan kadar pati resisten terlampir (Lampiran 9).

Organoleptik (Soekarto, 1995)

Pengujian organoleptik yang dilakukan berupa uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan akan biskuit dengan variasi kadar substitusi gandum utuh 0-50%. Parameter yang diuji meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan. Skor penilaian yang digunakan dalam uji hedonik menggunakan skala angka. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih. Pengaruh perlakukan terhadap tingkat kesukaan panelis dianalisis statistik dengant-Testterhadap data hasil uji organoleptik.

Analisis Indeks Glikemik (Gustiar, 2009)

(8)

(indeks masa tubuh) normal (18-25). Panelis yang digunakan berjumlah 10 orang (3 pria dan 7 wanita). Selama dua jam pasca pemberian, sampel darah sebanyak 20 μ L (finger-prick capillary blood samples method) diambil setiap 30 menit untuk diukur kadar glukosanya. Pada waktu berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa standar (sebagai pangan acuan) kepada panelis. Perhitungan indeks glikemik terlampir (Lampiran 10).

Nilai Energi (Gustiar, 2009)

Penentuan nilai energi makanan melalui perhitungan dapat dilakukan menurut komposisi karbohidrat, lemak, dan protein dalam makanan tersebut.

Analisis Data (Steel dan Torrie, 1993)

Data yang diperoleh dianalisis dengan rancangan dasar Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 6 perlakuan dan 4 ulangan. Sebagai perlakuan adalah kadar substitusi gandum utuh 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Sebagai kelompok adalah waktu analisis. Beda antar perlakuan ditentukan melalui analisis uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Gizi

Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi tekstur, penampakan dan citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan daya terima, kesegaran, dan daya tahan produk. Kadar air yang rendah dapat memperpanjang umur simpan produk pangan, hal tersebut dikarenakan mikroba sulit tumbuh pada kondisi kering (Widowati dkk., 2009). Kadar air biskuit tanpa dan dengan substitusi gandum utuh kurang dari 1% (Tabel 1), sehingga jauh di bawah batas maksimal yang disyaratkan dalam SNI (5%). Nilai tersebut tergolong rendah sehingga mampu memperkecil risiko kerusakan pangan secara biokimia maupun mikrobiologi (deMan, 1997).

(9)

klorida (Widowati dkk., 2009). Kadar abu biskuit cenderung mengalami peningkatan dari 1,35% hingga 1,41-1,43% seiring dengan penambahan tepung gandum utuh pada resep biskuit hingga 40%-50% substitusi gandum utuh (Tabel 1), namun masih memenuhi SNI (maksimal 1,6%). Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa meningkatnya kadar abu berasal dari tepung gandum utuh. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian kadar abu tepung terigu dan tepung gandum utuh yang digunakan. Tepung terigu memiliki kadar abu 0,47%, sedangkan tepung gandum utuh memiliki kadar abu 1,71% (Lampiran 2).

Lemak dalam suatu pangan umumnya dimanfaatkan sebagai sumber cadangan makanan, yang memiliki nilai energi lebih tinggi dari karbohidrat dan protein (Ketaren, 1986). Kadar lemak biskuit tanpa dan dengan substitusi gandum utuh tidak berbeda secara signifikan namun terdapat kecenderungan untuk mengalami penurunan dari 41,70% menjadi 33,44-36,90% seiring dengan substitusi gandum utuh yang semakin meningkat (Tabel 1). Bagaimanapun, nilai-nilai tersebut tergolong tinggi (jauh lebih tinggi dari batas minimum SNI, 9,5%). Diduga hal tersebut dipengaruhi oleh jumlah margarin yang digunakan dalam resep pembuatan biskuit, yaitu 1:1 dengan jumlah total tepung terigu dan/atau tepung gandum utuh dalam resep biskuit.

Tabel 1. Kadar gizi biskuit gandum utuh 0% (Kontrol) - 50%

Biskuit

a,1 1,35±0,12a 41,70±4,21ab 41,79±2,16ab 21,99±2,52a 3,91±1,69a

10% 0,87±0,17a 1,35±0,08a 36,90±5,75a 37,38±4,85a 33,69±6,69b 6,10±1,81b 20% 0,86±0,19a 1,38±0,07a 39,13±5,37ab 35,68±5,11a 34,64±3,93b 6,83±2,24b 30% 0,89±0,11a 1,40±0,05a 35,98±4,25a 35,21±5,65a 35,12±5,93b 6,95±1,65b 40% 0,89±0,16a 1,41±0,06ab 34,59±4,33a 37,58±7,29a 40,8±4,33b 6,64±1,63b 50% 0,92±0,10a 1,43±0,07ab 33,44±4,77a 39,12±5,89a 45,75±3,97bc 7,26±1,96b

W 0,07 0,06 4,78 5,72 8,38 1,62

SNI Maks. 5 Maks. 1,6 Min. 9,5 Min. 70 Min. 9 Maks. 0,5

1Angka yang ditampilkan merupakan rata-rata ± SE dari 4 ulangan. Angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji BNJ 5%. Angka yang ditampilkan berdasarkan perhitungan berat kering.

(10)

dan maksimal 0,5%) (Tabel 1). Substitusi gandum utuh hingga 50% tidak mempengaruhi kadar karbohidrat total biskuit.Hal ini tidak sesuai dengan harapan mengingat kadar karbohidrat tepung gandum utuh (50,82%) lebih rendah dibanding dengan tepung terigu (57,43%). Sedangkan serat kasarnya meningkat dari 3,91% menjadi 6,10-7,26% seiring penambahan tepung gandum utuh. Hal tersebut dikarenakan kadar serat kasar tepung terigu lebih rendah dibanding tepung gandum utuh. Muoma (2013) menyebutkan bahwa bagianbranbiji gandum banyak mengandung serat. Selain itu, hasil tentang kadar serat kasar tepung terigu dan tepung gandum utuh yang digunakan secara berturut-turut adalah 11,76% dan 14,46%. Nilai serat kasar dalam biskuit yang diteliti tergolong tinggi, hal tersebut bermanfaat bagi kesehatan terutama dalam mencegah timbulnya penyakit yang berhubungan dengan pencernaan seperti wasir, divertikulosis, dan kanker usus besar (Widowati dkk., 2009).

Di samping itu, kadar protein terlarut biskuit tergolong tinggi. Hasil penelitian yang demikian diduga akibat sampel yang tidak terlarut sempurna dalam pelarut dan pereaksi, sehingga menyebabkan larutan menjadi keruh, meskipun telah disentrifugasi. Dalam pengukuran protein terlarut, kejernihan larutan sangat penting karena pengukuran menggunakan spektrofotometer.

Selain itu, dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai energi biskuit kontrol dan biskuit gandum utuh memenuhi syarat SNI.

Tabel 2.Nilai energi biskuit gandum utuh 0 (kontrol)–50% Biskuit

Gandum Utuh

Nilai energi (kal/100 g)

0% (Kontrol) 630,43

10% 616,38

20% 633,42

30% 605,09

40% 624,79

50% 640,39

SNI Min. 400

(11)

Daya Cerna Pati, Amilosa, dan Pati Resisten

Gambar 1.Daya cerna pati biskuit 0 (kontrol)–50% (W=0,58)

Daya cerna pati yang terukur merupakan banyaknya pati yang terhidrolisis (secara enzimatis) menjadi komponen yang lebih sederhana dalam waktu tertentu. Enzim α-amilase memecah pati menjadi bagian yang lebih sederhana, salah satunya adalah maltosa. Daya cerna pati ditentukan menggunakan reagen DNSA yang kemudian hasil absorbansinya diplotkan pada kurva standar maltosa. Gambar 1 menunjukkan pegaruh substitusi tepung gandum utuh dalam biskuit terhadap daya cerna patinya. Dapat dicermati bahwa daya cerna pati biskuit menurun secara signifikan dari kontrol. Hasil yang demikian berhubungan dengan kadar amilosa dan pati resisten biskuit.

Gambar 2.Kadar amilosa biskuit 0 (kontrol)–50% (W=4,44)

Herawati (2010) menyebutkan bahwa gandum utuh mengandung 28% amilosa, sedangkan kadar amilosa tepung terigu dan tepung gandum utuh yang digunakan masing-masing adalah 23,63% dan 26,31%. Kadar amilosa cenderung meningkat

8.62

Kadar Substitusi Biskuit Gandum Utuh (%)

22.55

(12)

seiring dengan penambahan tepung gandum utuh dari 22.55% menjadi 28.74% (Gambar 2).

Gambar 3.Kadar pati resisten biskuit 0 (kontrol)–50% (W=3,69)

Penelitian Widowati dkk. (2009), Lemlioglu-Austin dkk. (2012), dan Mir dkk. (2013) menyebutkan jika kadar amilosa suatu pangan meningkat maka daya cerna patinya menurun, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut disebabkan olehamilosa yang merupakan serat pangan yang sulit dicerna oleh tubuh manusia (Lemlioglu-Alvin dkk., 2012). Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Herawati (2010) tentang produk pati tahan cerna bahwaamilosa merupakan polimer rantai lurus dengan ikatan α-(14)

unit glukosa, yang dapat membentuk sulur ganda yang tahan terhadap amilase.

Hasil penelitian pati resisten biskuit dapat dilihat pada Gambar 3, bahwa pati resisten meningkat secara signifikan seiring penambahan tepung gandum utuh. Hal tersebut didukung dengan data penelitian tentang pati resisten tepung gandum utuh dan tepung terigu yang digunakan, yaitu masing-masing 31,14% dan 25,48%.

Pati resisten (resistant starch, RS) dapat dikelompokkan menjadi empat tipe utama. Tipe pertama (terperangkap) (RS I) secara fisik merupakan pati yang terperangkap di antara matriks, protein atau dinding sel tanaman (Gustiar, 2009). Tipe kedua (terkristalisasi) (RS II) merupakan granula pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan. Tipe ketiga (teretrogradasi) (RS III), yaitu pati yang diubah konformasinya dengan panas atau dingin. Pemanasan pati tersebut dilakukan dengan penambahan air sehingga terjadi distorsi rantai polisakarida yang membentuk konformasi acak, proses ini disebut gelatinisasi. Proses pengkristalan dimulai ketika pendinginan, yang disebut retrogradasi. Tipe keempat (termodifikasi secara kimia) (RS

16.02

Kadar Substitusi Biskuit Gandum Utuh (%)

(13)

IV), salah satu contohnya adalah RS pada bumbu yang diproduksi oleh industri (Alvarez dan Sánchez, 2006).

Dari ke-empat macam pati resisten tersebut dapat dicermati secara teoritis, bahwa pati resisten dalam penelitian ini, selain RS I dan RS II, RS yang terukur juga adalah RS III, karena pembuatan biskuit melalui proses pemanggangan. Oleh karena itu, selain tingginya pati resisten tepung gandum utuh, proses pemanggangan juga merupakan faktor yang menyebabkan pati resisten biskuit meningkat seiring dengan penambahan tepung gandum utuh. Selain itu, Sajilata dkk. (2006) dalam artikelnya tentang pati resisten menyebutkan bahwa penambahan pati jagung juga mampu meningkatkan RS dalam suatu pangan.

Pati resisten banyak dikonsumsi karena nilai fungsionalnya. Hidrolisis RS oleh enzim pencernaan umumnya memerlukan waktu yang lebih lambat (Herawati, 2010), sehingga mengkonsumsi pati resisten dapat menurunkan kandungan gula darah. Hal tersebut disebabkan oleh pati resisten yang menghasilkan energi dengan proses yang cukup lambat, sehingga tidak segera diserap dalam bentuk glukosa (Herawati, 2010). Selain itu, keberadaan pati resisten juga meningkatkan keberadaan GLP-1 (glucacon

like peptide 1), di mana GLP-1 ini menstimulasi pembentukan insulin (Hegsted, 2014). Oleh karena itu, diharapkan dengan tingginya pati resisten dalam biskuit, nilai indeks glikemik pangan tersebut rendah. Ini sesuai dengan penelitian Widowati dkk. (2009) dan Mir dkk. (2013), bahwa ketika kadar amilosa dan pati resisten suatu pangan tinggi, maka daya cerna patinya rendah, sehingga indeks glikemik pangan tersebut pun rendah.

Indeks Glikemik

(14)

Tabel 3.Organoleptik biskuit gandum utuh 0 (kontrol)–50%

Parameter W Kadar substitusi tepung gandum utuh

0% 10% 20% 30% 40% 50%

Warna 0,63 3,96±0,25b 4,2±0,33b 3,96±0,28b 2,88±0,37a 3,28±0,30ab 2,56±0,36a

Aroma 0,55 4±0,24 Tekstur 0,56 3,56±0,33a 3,44±0,33a 3,76±0,29a 3,64±0,36a 3,44±0,29a 3,52±0,33a

Rasa 0,70 3,72±0,3 Keseluruhan 0,59 3,8±0,29a 3,84±0,32a 3,84±0,21a 3,64±0,32a 3,68±0,21a 3,68±0,37a

Tabel 4.Hasil rata-rata respon gula darah

Sampel Waktu (menit) bawah kurvaDaerah di IG

0 30 60 90 120

Glukosa 102,4 152,1 131,1 108,2 94,9 29403 100

Biskuit gandum utuh 0% 93,1 115,8 109,7 99,4 91,1 15273 52,11

Biskuit gandum utuh 20% 95,5 104,6 101,1 96,6 89,6 14622 49,94

Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat memiliki indeks glikemik tinggi, sebaliknya pangan dengan indeks glikemik rendah akan menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat (Widowati dkk., 2009). Berdasarkan indeks glikemiknya pangan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pangan dengan indeks glikemik rendah (<55), sedang (55-70), dan tinggi (>70) (Lemlioglu-Alvin dkk., 2012). Biskuit gandum utuh yang disukai (20%) termasuk ke dalam golongan pangan dengan indeks glikemik rendah dengan nilai indeks glikemik 49,94 (Tabel 4). Bahkan biskuit kontrol pun termasuk ke dalam golongan pangan dengan indeks glikemik rendah. Hal tersebut, seperti telah dijelaskan sebelumnya, berkaitan dengan tingginya kadar amilosa dan pati resisten namun daya cerna patinya rendah.

Sekarang ini, telah banyak penelitian menunjukkan bahwa makanan dengan indeks glikemik tinggi menyebabkan sekresi insulin dalam jumlah besar sebagai akibat dari kenaikkan kadar glukosa darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukkan lemak pada jaringan adipose dalam tubuh (Widowati dkk., 2009). Oleh karena itu biskuit gandum utuh yang memiliki indeks glikemik rendah ini berpotensi menjadi pangan alternatif bagi masyarakat yang ingin mengendalikan glukosa darahnya, seperti penderita diabetes.

(15)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Kadar air biskuit gandum utuh adalah 0,85-0,92%, kadar abu biskuit gandum utuh adalah 1,35-1,43%, kadar lemak biskuit gandum utuh adalah 33,44-41,70%, karbohidrat biskuit gandum utuh adalah 35,21-41,79%, protein terlarut biskuit gandum utuh adalah 21,99-45,75%, dan serat kasar biskuit gandum utuh adalah 3,91-7,26%. Pengukuran protein terlarut belum optimal karena larutan masih keruh.

2. Kadar air, abu dan lemak biskuit gandum utuh sesuai SNI 01-2973-1992, namun karbohidrat dan serat kasarnya tidak.

3. Tepung gandum utuh varietas Dewata (DWR-162) menurunkan daya cerna pati biskuit secara signifikan dari 8,62% menjadi 6,78%, meningkatkan kadar amilosa biskuit dari 22,55% menjadi 28,74% dan pati resisten biskuit secara signifikan dari 16,02% menjadi 27,17%.

4. Indeks glikemik biskuit gandum utuh yang disukai (dengan substitusi gandum utuh sebesar 20%) berdasarkan organoleptik adalah 49,94 yang termasuk dalam pangan dengan indeks glikemik rendah.

Saran

Penelitian selanjutnya perlu dilakukan validasi metode pengukuran protein terlarut (Biuret), pengukuran daya cerna pati, dan pengukuran kadar pati resisten (enzimatis), studi karakteristik enzim α-amilase dan amiloglukosidase.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Djoko Murdono, MP, selaku penyandang dana yang mendapatkan Hibah dari DIKTI.

DAFTAR PUSTAKA

Álvarez EE dan Sánchez PG. 2006. Dietary Fibre. J. Nutr. Hosp. 21 (Supl. 2) 60-71. Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2973-1992 tentang mutu dan cara uji

biskuit.

BPS Nasional. 2011. Penduduk Indonesia menurut provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, dan 2000. Jakarta : BPS.

deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Ed. ke-2. Diterjemahkan oleh: KosasihPadmawinata. Bandung : Penerbit ITB.

(16)

Hegsted M. 2014. The Rediscovery of Resistant Starch. LA:LSU School of Human Ecology.

Herawati H. 2010. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna Sebagai Pangan Fungsional. Ungaran : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

Hidayati N. 2010. Pengaruh Proporsi Bayam Dengan Tepung Terigu Terhadap Kadar Zat Besi, Sifat Fisik Dan Sifat Organoleptik Mie Basah. Semarang : UNIMUS Ketaren S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-Press.

Lee A. 2009. Djoko Murdono, Ketekunan Pemulia Gandum. Jakarta : Kompas.

Lemlioglu-Austin D, Turner ND, McDonough CM, Rooney LW. 2012. Effects of Sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] Crude Extracts on Starch Digestibility, Estimated Glycemic Index (EGI), and Resistant Starch (RS) Contents of Porridges. Journal of Molecules 17 : 11124-11138.

Mir JA, Srikaeo K, Garcia J. 2013. Effects Of Amylose And Resistant Starch On Starch Digestibility Of Rice Flours And Starches. International Food Research Journal 20 (3) : 1329-1335.

Muoma I. 2013. Whole Grain Vs Whole Wheat Vs Whole Meal Vs Granary Refined

Bread? Which is best? What to choose?. URL

www.iketrainer.co.uk/articles/breads.pdf. Diakses pada 15 September 2013. Nursantiyah. 2009. Gambaran Umum Industri Tepung Terigu di Indonesia dan

Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai Terkait. Jakarta : UI.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 2003. Trend Konsumsi Pangan Produk Gandum di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia , 25, hal. 11-12.

Sajilata MG, Singhal RS, Kulkarni PR. 2006. Resistant Starch – a Review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food safty. Vol. 5, hal 5-17. Simanjuntak BH. 2002. Prospek Pengembangan Gandum (Triticum aestivum L) di

Indonesia. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana.

Sudarmadji S, Haryono B, dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : Liberty.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik. Jakarta : Bharata Karya Aksara.

Steel RGD dan JH Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi Ketiga. Terjemahan: Bambang Sumantri. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.

The Association Of Analytical Communities. 1995.Official Methods of Analysis of The Association of Offical Analytical Chemistry.

Widowati S, Santosa S, Astawan M, akhyar. 2009. Penurunan Indeks Glikemik Berbagai Varietas Beras Melalui Proses Pratanak. Jurnal Pascapanen 6 (1): 1-9. Winarno FG. 1993. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia, Jakarta.

(17)

Lampiran 1. Hasil penentuan kadar air

Tabel 5.Kadar air biskuit gandum utuh (B.G.U) 0% (kontrol)–50%

B.G.U Rataan kadar air (%) Rerata±SE

(W=0,07)

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

0% 0,90 0,69 0,91 0,91 0,85±0,13a

10% 0,95 0,65 0,93 0,95 0,87±0,17a

20% 0,91 0,62 0,94 0,96 0,86±0,19a

30% 0,94 0,75 0,92 0,94 0,89±0,11a

40% 0,96 0,69 0,96 0,95 0,89±0,16a

50% 0,95 0,79 0,97 0,95 0,92±0,10a

Tabel 6.Kadar air tepung yang digunakan

Tepung Rataan kadar air (%) Rerata±SE

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

Terigu 12,04 15,04 15,28 12,04 13,6±2,12

(18)

Lampiran 2. Perhitungan kadar abu

Kadar Abu (%) = ( )

( ) × 100%

Tabel 7.Kadar abu biskuit gandum utuh (B.G.U) 0% (kontrol)–50%

B.G.U Massa (g) Kadar air (%) Massa Abu (g) Kadar Abu (%)

Tabel 8.Kadar abu tepung yang digunakan

Tepung Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Rerata±SE

Terigu 0,51 0,45 0,39 0,52 0,47±0,07

(19)

Lampiran 3. Perhitungan kadar lemak

Kadar Lemak (%) = ( )

( ) × 100%

Tabel 9.Kadar lemak biskuit gandum utuh (B.G.U) 0% (kontrol)–50%

B.G.U Massa (g) Kadar air (%) Massa lemak (g) Kadar lemak (%)

Ulangan 1

*Purata yang didapatkan sudah melalui analisa statistik dengan data hilang.

Tabel 10.Kadar lemak tepung yang digunakan

Tepung Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Rerata±SE

Terigu 12,36 11,44 8,96 12,93 11,42±2,06

(20)

Lampiran 4. Perhitungan kadar serat kasar

Kadar Serat Kasar (%) = ( )

( ) × 100%

Tabel 11.Kadar serat kasar biskuit gandum utuh (B.G.U) 0% (kontrol) –50%

B.G.U Massa (g) Kadar air (%) Massa serat (g) Kadar serat (%)

Ulangan 1

40% 0,2047 0,96 0,0127 6, 27

50% 0,1600 0,97 0,0126 7,95

*Purata yang didapatkan sudah melalui analisa statistik dengan data hilang.

Tabel 12.Kadar serat kasar (%) tepung yang digunakan

Tepung Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Rerata±SE

Terigu 12,22 6,88 14,65 13,29 11,76±4,00

(21)

Lampiran 5. Perhitungan kadar karbohidrat

Kadar karbohidrat (%) = . ( / )× ( )× .

( ) × F. K × 100%

Gambar 4.Kurva standar glukosa

Tabel 13.Kadar karbohidrat biskuit gandum utuh (B.G.U) 0% (kontrol)–50%

B.G.U Massa

10% 0,8851 0,3725 66,1132 0,95 67,87

20% 0,9378 0,3311 58,8943 0,91 57,04

30% 0,8661 0,2808 50,1236 0,94 52,58

40% 0,9169 0,1609 29,2169 0,96 28,96

50% 0,8909 0,1523 27,7173 0,95 28,27

U2

10% 0,8327 0,2061 37,0983 0,65 40,36

20% 0,8679 0,1774 32,0940 0,62 33,49

30% 0,8379 0,1632 29,6180 0,75 32,05

40% 0,8239 0,1875 33,8551 0,69 37,24

50% 0,8232 0,1810 32,7217 0,79 36,06

U3

10% 0,8674 0,1890 34,1167 0,93 35,73

20% 0,9340 0,2245 40,3067 0,94 39,21

30% 0,8649 0,2082 37,4645 0,92 39,35

40% 0,9349 0,2448 43,8464 0,96 42,62

50% 0,8573 0,2164 38,8943 0,97 41,23

U4

10% 0,8531 0,2799 49,9667 0,95 53,22

20% 0,8095 0,2679 47,8743 0,96 53,74

30% 0,8244 0,1977 35,6337 0,94 39,27

40% 0,8369 0,2125 38,2143 0,95 41,49

50% 0,8211 0,2270 40,7426 0,95 45,09

(22)

Rerata*±SE (W=5,72)

0% 41,79±2,16ab

10% 37,38±4,85a

20% 35,68±5,11a

30% 35,21±5,65a

40% 37,58±7,29a

50% 39,12±5,89a

*Purata yang didapatkan sudah melalui analisa statistik dengan data hilang.

Tabel 14.Kadar karbohidrat tepung yang digunakan

Tepung Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Rerata±SE

Terigu 50,7 59,78 61,86 57,39 57,43±5,70

Gandum utuh 57,5 41,46 50,26 54,07 50,82±8,13

Contoh perhitungan.

Kadar karbohidrat U1 0% = Kons. ( g/mL) × vol (mL) × F. P

Berat kering ( g) × F. K × 100%

Kons. ( g/mL) = , ,

, = 36,4706 g/mL

Kadar = , × ×

, × ( , × × , %)× 0,9 × 100%= 40,3087% 40,31%

Keterangan :

F.P = faktor pengenceran F.K = faktor konversi glukosa

Penentuan karbohidrat metode ini adalah dengan menghidrolisis pati dengan asam, sehingga diperoleh gula pereduksi.

(C H O )m + m H O m C H O

BM = 162 m BM = 180 m

Sehingga faktor konversi diperoleh dari perbandingan berat molekul pati dengan jumlah berat molekul gula reduksi yang dihasilkan (glukosa) (Sudarmadji, 1996).

F. K = ×

(23)

Lampiran 6. Perhitungan kadar protein terlarut

Kadar Protein Terlarut (%) = . ( / )× ( )

( ) × 100%

Gambar 5.Kurva standar BSA

Tabel 15.Kadar protein terlarut biskuit gandum utuh (B.G.U) 0% (kontrol) –50%

B.G.U Massa

10% 0,1090 0,1511 2,9109 0,65 26,88

20% 0,1049 0,1651 3,2659 0,62 31,33

30% 0,1068 0,1486 2,8475 0,75 26,86

40% 0,1078 0,2195 4,6451 0,69 43,39

50% 0,1040 0,2374 5,0990 0,79 49,42

U2

0% 0,1124 0,1383 2,5864

10

0,91 23,22

10% 0,1119 0,2183 4,6147 0,93 41,63

20% 0,1033 0,1952 4,0290 0,94 39,37

30% 0,1133 0,2015 4,1888 0,92 37,31

40% 0,1021 0,2095 4,3916 0,96 43,43

50% 0,1000 0,2210 4,6832 0,97 47,29

U3

0% 0,1006 0,1322 2,4317

10

0,91 24,39

10% 0,1002 0,1637 3,2304 0,95 32,55

20% 0,1020 0,1742 3,4966 0,96 34,61

30% 0,0998 0,1921 3,9504 0,94 39,96

40% 0,1105 0,1904 3,9073 0,95 35,70

50% 0,1049 0,2061 4,3054 0,95 41,44

U4

0% 0,0977 0,1138 1,9652

10

0,90 20,30

10% 0,1027 0,1663 3,2963 0,95 32,40

20% 0,1053 0,1687 3,3572 0,91 32,17

30% 0,1102 0,1871 3,8237 0,94 35,03

40% 0,1085 0,2080 4,3536 0,96 40,51

50% 0,1078 0,2255 4,7972 0,95 44,93

(24)

Rerata*±SE (W=8,38)

0% 21,99±2,52a

10% 33,69±6,69b

20% 34,64±3,93b

30% 35,12±5,93b

40% 40,8±4,33b

50% 45,75±3,97bc

*Purata yang didapatkan sudah melalui analisa statistik dengan data hilang.

Tabel 16.Kadar protein terlarut tepung yang digunakan

Tepung Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Rerata±SE

Terigu 25,91 30,67 29,70 29,17 28,86±2,43

Gandum utuh 33,31 34,97 35,92 42,67 36,72±4,84

Contoh perhitungan.

Kadar protein terlarut U1 0% = Kons. (mg/mL) × vol (mL)

Berat kering (mg) × 100%

Kons. (mg/mL) = , ,

, = 1,8309mg/mL

Kadar = , / ×

(25)

Lampiran 7. Perhitungan kadar amilosa

Kadar Amilosa (%) = . ( / )× ( )

( ) × 100%

Gambar 6.Kurva standar amilosa

Tabel 17.Kadar amilosa biskuit gandum utuh (B.G.U) 0% (kontrol)–50%

B.G.U Massa

10% 0,1027 0,0754 257,67 0,94 25,33

20% 0,1056 0,0859 292,67 0,91 27,97

30% 0,1184 0,1050 356,33 0,95 30,38

40% 0,1145 0,1066 361,67 0,96 31,89

50% 0,1177 0,1078 365,67 0,94 31,36

U2

0% 0,1074 0,0726 248,33

100

0,92 23,34

10% 0,1027 0,0734 251,00 0,94 24,67

20% 0,1056 0,0815 278,00 0,91 26,57

30% 0,1184 0,0906 308,33 0,95 26,29

40% 0,1145 0,0944 321,00 0,96 28,31

50% 0,1177 0,0934 317,67 0,94 27,25

U3

0% 0,1008 0,0581 200,00

100

0,91 20,02

10% 0,1120 0,0749 256,00 0,95 23,08

20% 0,1005 0,0707 242,00 0,96 24,31

30% 0,1102 0,0850 289,67 0,94 26,54

40% 0,1052 0,0908 309,00 0,95 29,65

50% 0,1103 0,0961 326,67 0,95 29,90

U4

0% 0,1029 0,0815 278,00

100

0,91 27,26

10% 0,1331 0,0958 325,67 0,93 24,69

20% 0,1328 0,1077 365,33 0,94 27,77

30% 0,1391 0,1189 402,67 0,92 29,22

40% 0,1030 0,0677 232,00 0,96 22,74

50% 0,1203 0,1116 378,33 0,97 31,76

(26)

Rerata*±SE (W=4,44)

0% 22,55±2,76a

10% 24,28±0,95a

20% 25,41±2,50a

30% 27,90±2,02ab

40% 27,92±1,66ab

50% 28,74±3,04ab

*Purata yang didapatkan sudah melalui analisa statistik dengan data hilang.

Tabel 18.Kadar amilosa tepung yang digunakan

Tepung Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Rerata±SE

Terigu 24,07 23,16 25,13 22,15 23,63±1,50

Gandum utuh 23,24 26,94 25,65 29,41 26,31±3,03

Contoh perhitungan.

Kadar amilosa U1 0% = Kons. ( g/mL) × vol (mL)

Berat kering ( g) × 100%

Kons. ( g/mL) = , ,

, = 248,3333 g/mL

Kadar = , / ×

(27)

Lampiran 8. Perhitungan kadar daya cerna pati

Daya cerna pati (%)berdasarkan kadar glukosa hasil pencernaan enzim

= Kons. (mg/mL) × vol (mL) × F. P

Berat kering (mg) × F. K × 100%

Gambar 7.Kurva standar maltosa

Tabel 19.Kadar daya cerna pati biskuit gandum utuh (B.G.U) 0% (kontrol)–50%

B.G.U Massa

10% 0,1144 0,0151 0,2679 0,95 5,44

20% 0,0998 0,0245 0,3009 0,96 7,00

30% 0,1034 0,0735 0,4728 0,94 10,62

40% 0,098 0,0333 0,3318 0,95 7,86

50% 0,0676 0,0676 0,4521 0,95 15,53

U2

10% 0,1058 0,0449 0,3725 0,93 8,17

20% 0,1094 0,0472 0,3805 0,94 8,08

30% 0,1171 0,0411 0,3591 0,92 7,12

40% 0,1073 0,0315 0,3254 0,96 7,05

50% 0,1011 0,0272 0,3104 0,97 7,13

U3

10% 0,1085 0,0098 0,2493 0,93 5,34

20% 0,1022 0,0102 0,2507 0,94 5,69

30% 0,1165 0,047 0,3798 0,92 7,57

40% 0,1231 0,0112 0,2542 0,96 4,79

50% 0,1076 0,0495 0,3886 0,97 8,39

U4

10% 0,1033 0,0439 0,3689 0,95 8,29

20% 0,1122 0,0445 0,3711 0,96 7,68

30% 0,1007 0,0355 0,3395 0,94 7,83

40% 0,1049 0.0293 0,3177 0,95 7,03

50% 0,1102 0.0276 0.3118 0,95 6,57

(28)

Rerata*±SE (W=0,58)

0% 8,62±0,18b

10% 8,11±0,19ab

20% 8,03±0,26ab

30% 7,50±0,29a

40% 7,32±0,39a

50% 6,78±0,21a

*Purata yang didapatkan sudah melalui analisa statistik dengan data hilang.

Tabel 20.Kadar daya cerna pati tepung yang digunakan

Tepung Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Rerata±SE

Terigu 8,80 9,52 8,50 9,46 9,07±0,59

Gandum utuh 5,65 6,47 6,76 6,97 6,46±0,68

Contoh perhitungan.

Daya cerna pati U1 0% = Kons. (mg/mL) × vol (mL) × F. P

Berat kering (mg) × F. K × 100%

Kons. (mg/mL) = , ,

, = 0,2942mg/mL

Daya cerna pati = , / × × ,

, × ( , × × , %)× 0,92 × 100%= 6,58%

Keterangan :

F.P = faktor pengenceran F.K = faktor konversi maltosa

Penentuan daya cerna pati metode ini adalah dengan menghidrolisis pati dengan enzim α-amilase,

(C H O )m + m 2 H O m 2 C H O

BM = 162 m BM = 176 m

sehingga faktor konversi diperoleh dari perbandingan berat molekul pati dengan jumlah berat molekul gula reduksi yang dihasilkan (maltosa).

F. K = m × 162

(29)

Lampiran 9. Perhitungan kadar pati resisten

Kadar Pati Resisten (%) = . ( / )× ( )× .

( ) × 0,9 × 100%

Kurva standar glukosa dapat dilihat padaGambar 4.

Tabel 21.Kadar pati resisten biskuit gandum utuh (B.G.U) 0% (kontrol) –50%

B.G.U Massa

10% 0,1023 0,0989 18,4061 0,95 16,34

20% 0,1122 0,1209 22,2422 0,93 18,01

30% 0,1000 0,1072 19,8534 0,97 18,05

40% 0,1049 0,1445 26,3573 0,97 22,83

50% 0,1102 0,1742 31,5360 0,95 26,00

U2

10% 0,5000 0,5454 96,2614 0,95 17,50

20% 0,5100 0,4738 83,7766 0,96 14,93

30% 0,5100 0,5715 100,812 0,94 17,96

40% 0,5000 0,4934 87,1942 0,95 15,85

50% 0,5100 0,4312 76,3486 0,95 13,60

U3

10% 0,1000 0,0697 13,3146 0,93 12,10

20% 0,1000 0,1027 19,0687 0,94 17,33

30% 0,1000 0,1309 23,9859 0,92 21,79

40% 0,1100 0,1025 19,0338 0,96 15,72

50% 0,1000 0,0809 15,2675 0,97 13,88

U4

10% 0,1100 0,1069 19,8010 0,93 16,35

20% 0,1000 0,1070 19,8185 0,94 18,01

30% 0,1000 0,1201 22,1027 0,92 20,08

40% 0,1100 0,1100 20,3416 0,96 16,80

50% 0,1000 0,0889 16,6624 0,97 15,14

R

(30)

Tabel 22.Kadar pati resisten tepung yang digunakan

Tepung Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Rerata±SE

Terigu 22,52 22,52 23,34 23,37 22,94±0,57

Gandum utuh 27,29 28,37 28,72 27,71 28,02±0,76

Contoh perhitungan.

Kadar pati resisten U1 0% = Kons. ( g/mL) × vol (mL) × F. P

Berat kering ( g) × F. K × 100%

Kons. ( g/mL) = , ,

, = 17,9004 g/mL

Kadar = , / × ×

(31)

Lampiran 10. Perhitungan indeks glikemik Tabel 23.Respon glukosa darah standar glukosa

Panelis Waktu (menit) AUC

0 30 60 90 120

1 100 165 132 110 97 15165

2 116 188 163 124 96 17430

3 119 167 129 105 94 15225

4 100 155 114 110 99 14355

5 103 140 122 116 98 14355

6 94 128 153 117 102 14880

7 108 147 125 106 108 14580

8 93 137 124 92 84 13245

9 100 142 128 102 82 13890

10 91 152 121 100 89 13890

rata-rata 102,4 152,1 131,1 108,2 94,9 14701,5

Tabel 24.Respon glukosa darah biskuit 0% (kontrol)

Panelis Waktu (menit) AUC IG

0 30 60 90 120

1 93 118 100 92 86 7335 48,37

2 105 127 112 105 96 8175 46,90

3 100 129 119 108 100 8340 54,78

4 100 113 119 103 98 7995 55,69

5 98 117 109 95 92 7665 53,40

6 73 112 104 97 91 7155 48,08

7 92 110 113 108 94 7755 53,19

8 95 119 112 95 90 7665 57,87

9 88 103 107 95 82 7125 51,30

10 87 110 102 96 82 7155 51,51

(32)

Tabel 24.Respon glukosa darah biskuit gandum utuh 20%

rata-rata 95,5 104,6 101,1 96,6 89,6 7311 49,94

Keterangan :

Gambar 9. Kurva perubahan glukosa darah rata-rata relawan setelah konsumsi biskuit kontrol & biskuit gandum utuh 20%

(33)
(34)

PENGARUH SUBTITUSI GANDUM UTUH (Triticum aestivumL) VARIETAS DWR-162 TERHADAP DAYA CERNA PATI BISKUIT

THE EFFECT OF WHOLE WHEAT (Triticum aestivumL) var. DWR-162 SUBSTITUTION ON THE STARCH DIGESTIBILITY OF BISCUIT

Anik Tri Haryani *, Silvia Andini , Sri Hartini

Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga*

[email protected] dan Jln. Diponegoro no. 52-60 Salatiga 50711 Jawa Tengah–Indonesia*

ABSTRACT

This study is one of the initial steps in the development of Indonesian food. This is related with wheat grown in Indonesia, namely wheat DWR-162. The primary objective of this study was to determine the effect of the whole-wheat flour on the starch digestibility of biscuit. In addition, the nutritional values ofbiscuit i.e moisture content (AOAC), ash (AOAC), total fat (AOAC), total carbohydrate (Anthrone), soluble protein (Biuret), and crude fiber (AOAC) were also determined. The nutritional values were compared to the Indonesian National Standard (SNI) 01-2973-1992 about quality of biscuit. The results of this study showed that biscuits with 10-50% whole wheat flour had moisture, ash and total fat contents of 0.85% to 0.92%, 1.35% to 1.43%, and 33.44% to 41.70%, respectively. These values meet the standard. In addition, the soluble protein content of biscuit was 21.99% to 45.75%. However, the total carbohydrate content, 35.21% to 41.79% was lower than SNI and the crude fiber content, 3.91% to 7.26% was higher than SNI. Meanwhile, the addition of whole wheat flour could decrease the starch digestibility of the biscuit that was from 6.53 to 5.50 g per 100 g dry weight. It was supported by the increased levels of amylose of the biscuit from 27.09 to 27.66 g per 100 g dry weight. Thus, the flour of whole wheat DWR-162 could be potentially employed as a food ingredient to lower glycemic index by decreasing the starch digestibility of the food products.

Keywords: wheat DWR-162, whole wheat flour, biscuit, starch digestibility ABSTRAK

Penelitian ini merupakan salah satu langkah awal pengembangan pangan di Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan gandum yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu gandum varietas DWR-162. Tujuan utama penelitian ini adalah menentukan pengaruh tepung gandum utuh varietas DWR-162 terhadap daya cerna pati biskuit. Selain itu, parameter gizi biskuit meliputi kadar air (AOAC), abu (AOAC), lemak total (AOAC), karbohidrat total (Anthrone), protein terlarut (Biuret), dan serat kasar (AOAC) juga diuji. Parameter gizi tersebut dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2973-1992 tentang mutu dan cara uji biskuit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa biskuit dengan 10-50% tepung gandum utuh memiliki kadar air, abu dan lemak total berturut-turut adalah 0,85-0,92%, 1,35-1,43%, dan 33,44-41,70%. Nilai tersebut memenuhi syarat mutu SNI. Selain itu, kadar protein terlarut biskuit adalah 21,99-45,75%. Namun, karbohidrat total biskuit lebih rendah dari SNI, yaitu 35,21-41,79% dan kadar serat kasarnya lebih tinggi dari SNI yaitu 3,91-7,26%. Sedangkan, penambahan tepung gandum utuh sampai dengan 10% dapat menurunkan daya cerna pati biskuit dari 6,53 menjadi 5,50 g per 100 g berat kering. Hal tersebut didukung dengan meningkatnya kadar amilosa biskuit dari 27,09-27,66 g per 100 g berat kering. Dengan demikian gandum varietas DWR-162 berpotensi menjadi alternatif bahan pangan dengan indeks glikemiks rendah karena mampu menurunkan daya cerna pati produk pangan.

(35)

1. PENDAHULUAN

Gandum (Triticum aestivum L) adalah salah satu serealia dari familia Graminae yang merupakan salah satu bahan makanan pokok manusia selain beras [1]. Gandum utuh yang ditepungkan berbeda dengan tepung terigu yang biasa digunakan masyarakat di Indonesia. Keunggulan dari gandum utuh adalah kadar amilosanya. Berdasarkan penelitian Herawati [2] tentang produk pati tahan cerna, kadar amilosa dalam gandum utuh adalah 28%. Sedangkan dalam penelitian Hidayati [3] tentang pengaruh proporsi bayam dan tepung terigu pada mie basah, kadar amilosa dalam tepung terigu adalah 25%. Selain itu gandum utuh memiliki kandungan gizi antara lain, karbohidrat 60% -80%, protein 6%- 17%, lemak 1,5%- 2,0%, mineral 1,5%- 2,0%, dan sejumlah vitamin [1].

Dalam gambaran umum industri tepung terigu di Indonesiaoleh Nursantiyah [4], tepung terigu dibuat dari bagian dalam gandum saja (endosperm), setelah membuang bagian luarnya yang keras dan banyak mengandung serat (bran) dan bagian paling kecil dari inti biji gandum yang mengandung banyak vitamin dan mineral (germ). Sedangkan gandum utuh terdiri daribran,germdanendosperm[5]. Dengan demikian tepung terigu mengandung hanya sebagian nutrisi yang sebenarnya ada pada gandum utuh.

Gandum bukan merupakan tanaman yang dapat ditanam di Indonesia, tapi digemari oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menyebabkan angka impor gandum terus meningkat, bahkan pada tahun 2011 mencapai 5.486.745 ton [6]. Mengingat hal tersebut, telah mulai dibudidayakan gandum di Indonesia. Salah satu varietas gandum yang berhasil ditanam dan tumbuh serta dikelola di Indonesia adalah gandum varietas DWR-162 di Kopeng, Jawa Tengah [7]. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat diperlukan pengembangan produk pangan berbahan dasar gandum utuh lokal yang diperkuat dengan analisis kadar gizinya.

(36)

pencernaan karbohidrat di dalam tubuh, sehingga nilai indeks glikemiknya rendah. Rendahnya daya cerna pati didukung oleh tingginya kadar amilosa dalam suatu produk pangan [9, 10, 11]. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, kadar amilosa produk pangan yang dihasilkan juga ditentukan.

Adapun produk pangan yang dipilih berupa biskuit, sehingga parameter gizi dibandingkan dengan SNI 01-2973-1992 tentang mutu dan cara uji biskuit [12]. Hal ini didasarkan pada budaya masyarakat Indonesia yang menyukai produk tersebut. Berdasarkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian [13], kecenderungan masyarakat Indonesia mengkonsumsi produk makanan dari bahan dasar terigu, seperti mie, roti, dan biskuit terus meningkat sejak tahun 1990 hingga kini.

2. METODE PENELITIAN 2.1 Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Skripsi dan Laboratorium Reseachand

Development, Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

2.2 Bahan dan Piranti

Bahan dasar berupa tepung gandum utuh mesh 40 diperoleh dari Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana. Bahan kimia yang digunakan antara lain petroleum eter, H2SO4, anthrone, HCl, NaOH, etanol, standar glukosa, standar amilosa, standar maltosa, standar BSA (Bovin Serume Albumin),I2, KI, asam asetat, DNS (asam dinitrosalisilat), CuSO4, KNaC4H4O6·4H2O, K2SO4, dan buffer fosfat 0,1 MpH 7.Bahan – bahan tersebut merupakan bahan kimia grade pro analysisdari, E-Merck, Jerman. Selain itu bahan kimia lainnya adalah enzim termamyl (α-amilase) yang diperoleh dari (Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Indonesia).

Piranti yang digunakan antara lain oven (WTB binder, UK), tanur (Vulcan A-550, Amerika), spektrofotometer (Optizen 2120 UV, Jerman), penangas air (Memmert, Jerman), neraca analitik (Mettler H80, Swiss), sentrifuge (Swing Type Centrifuge Model C-40 N, Amerika) dan peralatan gelas (Pyrex dan Herma).

2.3 Pembuatan biskuit

(37)

2.4 Analisis kadar air[14] yang dimodifikasi

1 g sampel ditimbang teliti dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya. Kemudian sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Cawan dengan isinya kemudian didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali hingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal sampel sebelum dikeringkan dengan berat akhir setelah dikeringkan.

2.5 Analisis kadar abu[14] yang dimodifikasi

Sebanyak 1 g sampel yang ditimbang dengan teliti dimasukkan dalam cawan porselin yang telah diketahui bobot kosongnya, lalu dibakar sampai tidak berasap lagi dan diabukan dalam tanur bersuhu 550oC sampai berwarna putih dan beratnya konstan. Cawan dan isinya didinginkan dan ditimbang.

2.6 Analisis kadar lemak total [14]

Sampel ditimbang sebanyak 5 g, lalu dibungkus dengan kertas disaring dan ditutup kapas bebas lemak. Kertas saring berisi sampel tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dirangkai dengan kondensor. Pelarut dimasukkan ke dalam labu lemak lalu direfluks selama minimal 5 jam. Sisa pelarut dalam labu lemak dihilangkan dengan dipanaskan dalam oven, lalu ditimbang.

2.7 Analisis serat kasar[14]

(38)

2.8Analisis Karbohidrat Total[8]

Sampel sebanyak 3 g ditimbang dengan teliti dan dimaserasi dengan etanol 80% selama 15 menit kemudian dikeringkan selama 6 jam pada suhu 50oC.Sebanyak 0,5 g sampel keringditambah dengan air destilata sebanyak 25 mL dan 5 mL HCl 25%. Lalu dipanaskan di atas penangas air suhu 100oC selama 2,5 jam. Larutan hasil hidrolisis didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 25%, diencerkan sampai volume 100 mL dan dihomogenisasi serta disaring untuk kemudian disebut larutan stok.

Larutan pereaksi Anthrone 0,1% disiapkansesaat sebelum digunakan. Dari larutan stok dipipet 1 mL dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL. Dari larutan tersebut, sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan dengan 5 mL pereaksi Anthrone. Tabung ditutup dan diinkubasi dalam penangas air pada suhu 100oC selama 12 menit. Larutan segera didinginkan dengan air mengalir, lalu dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm. Kadar karbohidrat total sampel ditentukan berdasarkan kurva standar glukosa yang diperoleh dari plot kadar glukosa dan absorbansi larutan glukosa murni.

2.5 Kadar Protein Terlarut[14] yang dimodifikasi

Sampel sebanyak 0,25 g ditimbang dengan teliti dan dimaserasi dengan 1 mL NaOH 1M dan 9 mL air destilata, larutan tersebut didiamkan selama 15 menit. Kemudian larutan tersebut disentrifugasi selama 15 menit. 1 mL larutan sampel ditambah 4 mL pereaksi biuret. Larutan didiamkan selama 30 menit, lalu dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Kadar protein terlarut sampel ditentukan berdasarkan kurva standar BSA yang diperoleh dari plot kadar BSA dan absorbansi larutan BSA murni.

2.6 Kadar Amilosa [8]

(39)

dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Kadar amilosa ditentukan berdasarkan persamaan kurva standard amilosa yang diperoleh.

2.7 Daya Cerna Pati [8]

Sampel sebanyak 1 g ditimbang dengan teliti dan ditambahkan dengan 100 mL air destilata. Wadah ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan dalam waterbath hingga mencapai suhu 90oC sambil diaduk. Setelah suhu 90oC tercapai, sampel segera diangkat dan didinginkan. Dari larutan tersebut dipipet sebanyak 2 mL ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan 3 mL air destilata dan 5 mL buffer fosfat 0,1 MpH 7. Sampel dibuat dua kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit. Larutan diangkat dan ditambahkan 5 mL larutan enzim α-amilase (1 mg/mL dalam buffer fosfat 0,1 M pH 7) untuk sampel dan 5 mL buffer fosfat 0,1 M pH 7untuk blanko sampel. Inkubasi dilanjutkan selama 30 menit.

Sebanyak 1 mL campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup berisi 2 mL larutan DNS. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Ke dalam larutan ditambahkan 10 mL air destilata dan disentrifugasi. Kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Daya cerna pati ditentukan berdasarkan persamaan kurva standard maltosa yang diperoleh.

2.8 Organoleptik [8]

Pengujian organoleptik yang dilakukan berupa pengujian kesukaan indrawi terhadap biskuit gandum utuh. Pengujian meliputi ujihedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan produk. Parameter yang diujimeliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan. Skor penilaian yang digunakan dalam uji hedonik menggunakan skala angka. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih. Untuk mengetahui pengaruh perlakukan terhadap tingkat kesukaan panelis maka dilakukan analisis statistik dengan t-Test terhadap data hasil uji organoleptik.

2.9 Analisa Data [15]

(40)

3. HASIL DANPEMBAHASAN

Hasil penelitian parameter gizi biskuit gandum utuh ditunjukkan dalam Tabel 1. Persentase kadar air, abu dan lemak memenuhi syarat mutu biskuit berdasarkan SNI [12] yaitu berturut-turut, maksimum 5%, maksimum 1,6% dan minimum 9,5% (b/b kering).

Kadar air berpengaruh terhadap tekstur biskuit, semakin kecil kadar airnya maka biskuit semakin renyah. Kadar air biskuit kontrol dan biskuit gandum utuh, semuanya kurang dari 1%, menunjukkan bahwa biskuit yang dihasilkan renyah. Kecilnya kadar air memperkecil risiko kerusakan pangan secara biokimia maupun mikrobiologi [16 dalam 8].

Kadar abu meningkat dari 1,35% hingga 1,41-1,43% seiring dengan penambahan tepung gandum utuh pada resep biskuit hingga 40%-50%. Oleh Karena itu, dapat disimpulkan bahwa meningkatnya kadar abu berasal dari tepung gandum utuh. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian tentang kadar abu tepung terigu dan tepung gandum utuh yang digunakan. Tepung terigu memiliki kadar abu 0,47% (b/b kering), sedangkan tepung gandum utuh memiliki kadar abu 1,71% (b/b kering).

Kadar lemak total biskuit kontrol dan biskuit gandum utuh terdapat beda nyata dan cenderung konstan. Kadar lemak yang tinggi dipengaruhi oleh jumlah margarin yang digunakan dalam resep pembuatan biskuit, yaitu 1:1 dengan jumlah total tepung terigu dan/atau tepung gandum utuh.

Tabel 1 Parameter Gizi Biskuit Gandum Utuh 0% (Kontrol) -50%

Biskuit

(Kontrol) 0,85±0,11a,1 1,35±0,11a 41,70±3,58ab 41,79±1,83ab 21,99±2,15a 3,91±1,44a 10% 0,87±0,15a 1,35±0,07a 36,90±4,89a 37,38±4,12a 33,69±5,69ab 6,10±1,54b 20% 0,86±0,16a 1,38±0,06a 39,13±4,56ab 35,68±4,34a 34,64±3,34ab 6,83±1,90b 30% 0,89±0,09a 1,40±0,05a 35,98±3,61a 35,21±4,81a 35,12±5,04ab 6,95±1,41b 40% 0,89±0,13a 1,41±0,05ab 34,59±3,68a 37,58±6,20a 40,8±3,68ab 6,64±1,39b 50% 0,92±0,08a 1,43±0,06ab 33,44±4,05a 39,12±5,01a 45,75±3,38b 7,26±1,67bc

W 0,074 0,055 4,78 5,72 8,38 1,62

1Angka yang ditampilkan merupakan Rata-rata ± SD dari 4 ulangan. Angka pada kolom yang sama diikuti dengan

(41)

Disisi lain, karbohidrat total dan serat kasarnya lebih rendah dari 70% dan lebih tinggi dari 0,5%, secara berturut-turut yang merupakan nilai SNI [12]. Karbohidrat total biskuit 10-50% berbeda nyata dibanding dengan kontrol dan cenderung mengalami penurunan.

Disamping itu, kadar protein terlarut biskuit sebanding dengan kadar karbohidrat total. Nilai tersebut tergolong tinggi. Hasil penelitian yang demikian diduga akibat, sampel yang tidak terlarut sempurna dalam pelarut dan pereaksi. Sampel yang tidak terlarut dengan sempurna menyebabkan larutan menjadi keruh, meskipun telah disentrifugasi. Dalam pengukuran protein terlarut, kejernihan larutan sangat penting karena pengukurannya menggunakan spektrofotometer.

Herawati [1] menyebutkan bahwa gandum utuh mengandung 28% amilosa, sedangkan kadar amilosa tepung terigu dan tepung gandum utuh yang digunakan adalah 35,63 g per 100 g berat kering dan 36,33 g per 100 g berat kering. Amilosa memiliki rantai lurus yang membentuk sulur ganda. Ikatan hidrogen inter- dan intra- sulur tersebut mengakibatkan terbentuknya struktur hidrofobik dengan kelarutan rendah [1]. Sedangkan serat kasarnya meningkat dari 3,91%-7,26%. Kadar serat kasar meningkat seiring penambahan tepung gandum utuh. Hal tersebut dikarenakan kadar serat kasar tepung terigu lebih rendah dibanding tepung gandum utuh. Hasil tentang kadar serat kasar tepung terigu dan tepung gandum utuh yang digunakan secara berturut-turut adalah 11,76% dan 14,46% (b/b kering).

Gambar1 Kadar amilosa (atas) dan daya cerna pati (bawah)biskuit gandum utuh 0%-50%

(42)

Gambar1 Kadar amilosa (atas) dan daya cerna pati (bawah)biskuit gandum utuh 0%-50%

Penelitian Widowati [9], Lemlioglu-Austin [10], dan Mir [11] menyebutkan jika kadar amilosa suatu pangan meningkat maka daya cerna patinya menurun, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan amilosa. Amilosa merupakan serat panganyang sulit dicerna oleh tubuh manusia [10]. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Herawati [1] tentang produk pati tahan cerna.Amilosa merupakan polimer rantai lurus dengan ikatan α-(14) unit glukosa. Rantai-rantai lurus amilosa tersebut

dapat membentuk sulur ganda yang tahan terhadap amilase [1] yang berarti daya cerna patinya rendah.Daya cerna pati berkaitan dengan nilai indeks glikemik. Indeks glikemik merupakan tingkatan pangan berdasarkan efeknya terhadap kadar glukosa dalam darah [9, 10]. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi indeks glikemik antara lain adalah, kadar amilosa, pati resisten dan daya cerna pati [9]. Kadar amilosa sebanding dengan pati resisten, dan keduanya berbanding terbalik dengan daya cerna pati [9, 10, 11]. Artinya suatu pangan yang kadar amilosa dan pati resistennya tinggi memiliki daya cerna pati yang rendah, sehingga indeks glikemik pangan tersebut rendah.

Hasil penelitian mengenai kadar amilosa dan daya cerna pati disajikan dalam Gambar 1. Dapat dicermati bahwa hasil pengamatan sesuai dengan pernyataan sebelumnya, yaitu ketika kadar amilosa meningkat, daya cerna patinya menurun, begitu pula sebaliknya. Biskuit dengan 10% tepung gandum utuh memiliki kadar amilosa paling tinggi, yaitu 33,38 g per 100 g berat kering dengan daya cerna paling rendah, yaitu 6,67 g per 100 g berat kering sampel.Dengan demikian gandum varietas DWR-162 berpotensi menjadi alternatif bahan pangan dengan indeks glikemiks rendah karena mampu menurunkan daya cerna pati biskuit.Namun, hasil penelitian tentang kadar amilosa dan daya cerna pati tidak berbeda nyata antar perlakuan. Bahkan daya cerna

(43)

pati meningkat pada subtitusi tepung gandum utuh 50%. Hasil yang demikian pada penurunan kadar amilosa, diduga karena penelitian untuk biskuit 0-50% tepung gandum utuh dikerjakan bersamaan sehingga terdapat selisih waktu pada penambahan etanol 80% dan NaOH. Etanol 80% dan NaOH berperan dalam pemecahan karbohidrat kompleks. Demikian juga pada peningkatan daya cerna pati, diduga karena terdapat sesilih waktu pada penambahan enzim dan penghentian kerja enzim. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh subtitusi tepung gandum utuh pada biskuit terhadap daya cerna pati.

Hasil analisis mengenai organoleptik biskuit gandum utuh berdasarkan t-Test, biskuit yang paling disukai adalah biskuit dengan gandum utuh 10%.

4. KESIMPULAN

Kadar air, abu, dan lemak biskuit memenuhi syarat mutu SNI 01-2973-1992 tentang mutu dan cara uji biskuit, sedangakan kabohidrat total dan serat kasarnya tidak. Disamping itu protein terlarut biskuit terlampau tinggi, yang dikarenakan uji Biuret masih menghasilkan larutan yang keruh.

Subtitusi 10% tepung gandum utuh pada biskuitcenderung mampu menurunkan daya cerna pati dari 8,60 g per 100 g berat kering sampel menjadi 6,67 g per 100 g berat kering sampel. Dengan demikian, gandum varietas DWR-162 berpotensi menjadi alternatif bahan pangan dengan indeks glikemiks rendah.

5. PUSTAKA

[1] Simanjutak BH. 2002. Prospek Pengembangan Gandum (Triticum aestivum L) di Indonesia. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana.

[2] Herawati H. 2010. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna Sebagai Pangan Fungsional. Ungaran : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

[3] Hidayati N. 2010. Pengaruh Proporsi Bayam Dengan Tepung Terigu Terhadap Kadar Zat Besi, Sifat Fisik Dan Sifat Organoleptik Mie Basah. Semarang : UNIMUS

[4] Nursantiyah. 2009. Gambaran Umum Industri Tepung Terigu di Indonesia dan Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai Terkait. Jakarta : UI.

[5] Muoma I. 2013. Whole Grain Vs Whole Wheat Vs Whole Meal Vs

(44)

[6] BPS Nasional. 2011. Penduduk Indonesia menurut provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, dan 2000. Jakarta : BPS.

[7] Lee A. 2009. Djoko Murdono, Ketekunan Pemulia Gandum. Jakarta : Kompas. [8] Gustiar H. 2009. Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies

Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi. Bogor : IPB.

[9] Widowati S, Santosa S, Astawan M, akhyar. 2009. Penurunan Indeks Glikemik Berbagai Varietas Beras Melalui Proses Pratanak. Jurnal Pascapanen 6 (1): 1-9. [10] Lemlioglu-Austin D, Turner ND, McDonough CM, Rooney LW. 2012. Effects

of Sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] Crude Extracts on Starch Digestibility, Estimated Glycemic Index (EGI), and Resistant Starch (RS) Contents of Porridges. Journal of Molecules17 : 11124-11138.

[11] Mir JA, Srikaeo K, Garcia J. 2013. Effects Of Amylose And Resistant Starch On

Starch Digestibility Of Rice Flours And Starches. International Food Research Journal 20 (3) : 1329-1335.

[12] Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2973-1992 tentang mutu dan cara uji biskuit.

[13] Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 2003. Trend Konsumsi Pangan Produk Gandum di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia , 25, hal. 11-12.

[14] The Association Of Analytical Communities. 1995.Official Methods of Analysis

of The Association of Offical Analytical Chemistry.

[15] Steel RGD, JH Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi Ketiga. Terjemahan: Bambang Sumantri. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.

(45)
(46)
(47)

PATI RESISTEN BISKUIT GANDUM UTUH (

Triticum aestivum

L)

VARIETAS DWR-162

Anik Tri Haryani*, Silvia Andini, Sri Hartini

Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

Jln. Diponegoro no. 52-60 Salatiga 50711 Jawa Tengah–Indonesia [email protected]*

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh pati resisten biskuit gandum utuh varietas DWR-162 dengan kadar substitusi 10-50%. Pati resisten sampel diukur secara enzimatis dan dikuantitasi sebagai glukosa dengan metode anthrone pada panjang gelombang 630 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pati resisten biskuit meningkat hingga kadar substitusi 50% dari 17,8% menjadi 30,19%. Dengan demikian gandum utuh varietas DWR-162 memiliki potensi menjadi alternatif bahan pangan dengan nilai indeks glikemiks rendah, karena mampu meningkatkan pati resisten produk pangan.

Kata kunci: gandum utuh var. DWR-162, pati resisten, biskuit

PENDAHULUAN

Pati resisten (Resistant Starch, RS) adalah bagian pati yang tidak dapat dicerna dalam usus halus, akan tetapi difermentasi dalam usus besar. Oleh karena itu RS merupakan salah satu komponen serat pangan [1]. RS tidak mempengaruhi kenampakan, rasa maupun tekstur dari suatu pangan [2]. Menurut penelitian Sajilata dkk [3], RS mampu menurunkan kadar gula darah setelah makan, berperan sebagai prebiotik, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorpsi mineral.

Terdapat berbagai macam bahan pangan yang merupakan sumber RS. Semua jenis biji-bijian utuh mengandung RS cukup tinggi, kemudian diikuti tepung biji-biji-bijian tersebut dan produk pangan berbahan dasar biji-bijian [2]. Salah satu bahan pangan tersebut adalah biji gandum. Dalam penelitian ini, tepung gandum utuh lokal varietas DWR-162 digunakan sebagai bahan dasar pembuatan produk pangan.

Produk pangan yang dipilih adalah biskuit, karena budaya masyarakat Indonesia yang menyukai produk tersebut. Berdasarkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian [4], masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan mengkonsumsi produk makanan dari bahan dasar terigu, seperti mie, roti, dan biskuit.

Dengan menggunakan tepung gandum utuh lokal ini, diharapkan produk pangan biskuit tersebut memiliki nilai indeks glikemiks rendah. Hal tersebut berhubungan dengan daya cerna pati, karena semakin tinggi RS, semakin rendah daya cerna pati sehingga memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam tubuh [1]. Dengan demikian penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh gandum utuh varietas DWR-162 dengan kadar substitusi 10-50% pada pati resisten biskuit.

BAHAN DAN METODE Bahan

Gambar

Tabel 1. Kadar gizi biskuit gandum utuh 0% (Kontrol) - 50%
Tabel 2. Nilai energi biskuit gandum utuh 0 (kontrol) – 50%
Gambar 2. Kadar amilosa biskuit 0 (kontrol) – 50% (W=4,44)
Gambar 3. Kadar pati resisten biskuit 0 (kontrol) – 50% (W=3,69)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian pada akhirnya aksi, proses, dan objek bersama dengan skema yang lain diorganisasi dalam skema yang utuh tentang suatu konsep dan dapat digunakan untuk menyelesaikan

Dari 12 pernyatan mahasiswa yang menjawab benar diperoleh hasil paling besar menjawab pernyataan benar terutama pada pernyataan yaitu keuntungan reksadana dikelola

Dan penelitian yang kedua mempromosikan sekolah dengan menampilkan informasi dan bangunan sekolah yang masih utuh lewat animasi 3D, sedangkan dalam perancangan ini

transaksi penjualan dilakukan tunai, maka kode pelanggan NN. Berikut ini adalah gambar desain form penjualan:.. 69. Gambar 38 Form

Fortifikasi dengan tepung kedelai yang dilakukan pada gaplek serta adanya proses fermentasi dapat meningkatkan kadar serta memperkaya jenis asam amino seperti

Dari hasil penelitian ini, bahwa tabel pada hasil penelitiaan yang berkaitan dengan self efficacy menunjukan siswa mendominasi dalam kategori sedang dngan nilai

Sedangkan untuk tiap bagian eceng gondok, biopelet daun memiliki nilai kalor terbesar pada setiap penambahan campuran tepung tapioka, sedangkan untuk biopelet akar

Untuk analisis kualitatif dan kuantitatif asam amino dan kadar gizi serta aplikasi tepung sorgum terfermentasi dengan fortifikasi konsentrat protein kedelai, kondisi